Tuesday, June 30, 2020

Tips Eat Clean: Smoked Salmon Salad|Fashion Style

I do LOVE smoked salmon. No pleasant find in the groceries beside taking packs of smoked salmon inside the shelves to my buying basket. I can eat them with a sandwich, alone, or rolled into my sushi.

It's this type of responsible pleasure to continually emerge as eating more than 100 gram smoked salmon almost each day. Okay, blame me for this. But, I'm a salty food aficionado and smoked salmon are simply too true.

Whether silky-easy and bloodless-smoked, served over cheese-smeared bagel, or as the hot-smoked, richly flaky, rosy-purple centerpiece of a charcuterie platter, smoked salmon is a culinary indulgence that can easily be bought in normal grocery stores in addition to specialty food stores. While salmon is a nutritious and wholesome protein preference, smoked salmon increases the sodium content of the fish.

There is also concern that eating smoked foods can increase cancer risk. There is some evidence, albeit weak, that high intakes of smoked foods—in particular meat and fish— increase the risk of stomach cancer. The best way to balance my sodium intake is by including plenty of fruits and vegetables in my daily diet. A high intake of fruits and vegetables is associated with protection from stomach cancer.

My Danish family treasure salad! They eat salad almost every day with their "dry" meal. Salad is like oase for their mouth after eating too much meat. No need salad if they eat rice with curry. But whenever I see my host dad prepares salad for dinner, it's so intriguing. He really takes care of what should he puts in his bowl. There is always green from the leaves (of course!) and red inside.

"Food is a visible component. Salad is sort of a refreshment at the desk. Once you spot some thing clean, something pink, something fancy, your eyes will note and your mouth receives watered. You need it!" he stated.

To be honest, I disliked salad. In Indonesia, it's now not common for us to consume raw greens. Everything desires to be steamed or at least semi-cooked. Eating raw leaves way which you are equal with cows and goats. So, not our aspect.

But because I love my body, I love salmon, and I try to adore eating clean, I'm trying to fancy my bowl for lunch. I think my host dad is right, we need colours in our plates. I have to eat raw food and fresh vegetables more! So, I've made this recipe for myself.

Smoked Salmon Salad

Beautifully brilliant mixture of everything in our fridge!

Ingredients:

Crispy lettuce

50 g smoked salmon

half can of sweet corn

1 tomato

1/four cucumber

1 slice of rye bread

1 avocado

A pinch of cayenne pepper (I'm a huge fan of highly spiced meals)

I like gambling with colours and put almost the entirety in our fridge into my massive bowl. I was no longer in reality sure approximately the flavor, but exceedingly loved it! Even even though it is easy, but all the extraordinary elements and the spicy dressing made this a snazzy facet dish or adorable lunch essential dish. Since I organized it in a huge bowl, so it turned into pretty sure filling.

Tips Bebasnya Bermesraan di Tempat Umum|Fashion Style

Beberapa minggu yang lalu, saya sempat menemani seorang cowok Korea-Amerika yang datang ke Kopenhagen karena urusan pekerjaan. Karena hanya datang beberapa hari saja, si cowok bermaksud minta temani minum-minum sekalian ngobrol.

Kopenhagen adalah kota kedua yang dia kunjungi setelah London. Setelah ngerumpi seru, saya tahu kalau si cowok sebenarnya bukan orang yang maniak jalan-jalan seperti saya. Kalau bukan karena urusan pekerjaan, si dia lebih senang menetap saja di Philadelphia dan minum-minum bersama temannya.

Karena tidak terlalu suka jalan-jalan dan eksplor tempat baru, cowok ini juga terlalu "everyday" alias menganggap Eropa terlalu aneh.

"Di Amerika, kalau kamu sendirian di bar, biasanya akan ada saja yang mengajak ngobrol dari kanan kiri. Sangat mudah cari kenalan ataupun sekedar teman ngerumpi. Di Denmark, semuanya terkesan individualis dan tertutup," komentarnya.

Welcome to Denmark!

"Tadi saya ke toilet, melewati sepasang muda mudi di sofa sana. It's so weird! Mereka ciuman tanpa henti. Pas saya selesai dan lewat, ciumannya juga masih lanjut," katanya lagi ketika kami sedang berada di sebuah bar fancy favorit saya.

Saya nyengir, "iya, memang begitu (di Denmark). Tidak akan ada yang peduli apa yang kamu lakukan, asalkan jangan berhubungan seks saja disini."

"What? Aneh! Itu tidak sopan, you know? Di Amerika, kalau kamu ingin melakukan yang seperti itu, mending di tempat tertutup. Ada sih yang ciuman di tempat umum, tapi kebanyakan anak-anak ABG yang lagi kasmaran lah. Pokoknya PDA (Public Display Affection) itu terlalu kekanakkan. Mungkin kalau kamu melihat di tv, kayaknya semua film ada bumbu ciuman dan seksnya. Tapi faktanya, seks masih tabu di Amerika."

Si cowok ini berkali-kali mengecap Denmark negara aneh karena sungguh berbeda dari Amerika. Budaya rekan kerja, sistem sosial, hingga betapa bebasnya capcipcup di tempat umum.

Welcome to Scandinavia!

Saya akui, negara-negara Skandinavia (dan Nordik) termasuk yang sangat terbuka terhadap nudity dan seks. Di negara ini, seks bukan lagi hal yang dianggap tabu. Banyak buku dan siaran tv yang secara langsung menunjukkan tentang nudism.

Saya pernah melihat salah satu buku Emilia, host kid saya, tentang proses bagaimana bayi dibuat hingga masa persalinan. Di buku tersebut pun terpampang jelas bagaimana si ilustrator menggambarkan alat kelamin, hubungan ranjang, hingga keadaan bayi keluar dari itunya si ibu.

Karena keliberalan inilah, banyak juga anak-anak ABG yang tidak malu menceritakan tentang cerita seks mereka dengan orang tua. Hubungan seks juga seringkali jadi percobaan dulu sebelum ingin dibawa kemana sebuah hubungan. Banyak anak muda yang berkenalan dengan lawan jenis di bar, tidur dan berhubungan, lalu lihat saja besok paginya. Kalau tidak ada sex compatibility antara mereka, bye! Kalau ternyata ada, pertemuan baru berlanjut di kafe sekalian ngopi-ngopi seru.

Makanya jangan heran dan jijik kalau menemukan banyak pasangan yang tidak malu mengumbar kemesraan di dalam kereta, bar yang penuh orang, tengah jalan, hingga bus kota. Intinya, di negara yang sungguh berbeda dari negara kita, cukup tunjukkan rasa respek saja terhadap mereka. Jangan terus-terusan dipandangi, apalagi diberikan pandangan sinis. Sekali lagi, urusi saja urusan kita sendiri.

...and after all, this what travel teaches us, immersing the differences.

Photo: The Jane

Tips Semua Au Pair di Denmark Tinggal di Basement?|Fashion Style

Ada cerita lucu dan sedikitoffensive tentang tempat tinggal au pair di Denmark yang sebenarnya baru juga saya sadari.

Suatu hari saat saya dan teman-teman sedang makan malam di restoran, beberapa di antara kami ada yang menyinggung soal mengapa banyak sekali orang Denmark yang berlibur ke Thailand. Lalu seorang teman nyeletuk, "selain murah, biasanya mereka mencari perempuan. Satu lagi tuh, Filipina."

"Oh ya? Kenapa?" tanya saya pura-pura bego.

"Soalnya banyak pria Denmark yang bosan dan kesulitan cari perempuan disini. Kamu tahu kan, cewek-cewek Denmark sulitnya bukan main."

"Oh iya tuh, Filipina. Banyak yang liburan kesana, terus pulangnya bawa suvenir cewek-cewek Filipina untuk disimpan di-basement jadi au pair," kata seorang teman cowok lain secara santai.

"Ah, kamar kamu juga bukannya di basement ya?" tanya Ieva, teman cewek asal Latvia, yang saat itu di samping saya sembari nyengir kuda.

"Biiippp! Biiipp! Biiiippp!!" kata Dan, seorang teman cowok, tiba-tiba memperingatkan sesuatu. "Man, it's so offensive. She's an au pair," lanjutnya sambil melihat ke arah saya.

Teman cowok tadi yang memang sebenarnya tidak tahu saya au pair, jadi kelabakan dan tidak enak sendiri. Mukanya dari yang nyengar-nyengir jadi berubah tidak nyaman. Sebenarnya si cowok ini juga baru saya kenal hari itu dari si Dan.

"Tapi dia bukan orang Filipina kok. Dia orang Prancis. Tapi meskipun dia tinggal dibasement, si keluarganya ini memang punya rumah yang super besar," ralat si cowok mencoba untuk tidak menyinggung saya lebih jauh.

Sebenarnya tidak ada kata-kata dia yang bermaksud menyinggung saya dan au pair lainnya. Tapi memang, kata-kata "jadi suvenir di-basement" cukup membuat saya bertanya-tanya. Saya tidak banyak memiliki teman au pair di Denmark, namun dari dua orang teman yang pernah saya kunjungi rumah keluarga angkatnya, kamar mereka memang juga berada di basement.

Suatu kali, saya juga berkesempatan mengunjungi rumah seorang teman au pair yang baru saya kenal dan bertemu dengan teman au pair dia yang lainnya. Entah memang kebetulan atau tidak, 90% dari mereka mengatakan kalau kamar mereka juga berada di basement.

Sebenarnya kamar saya yang berada di basement serasa apartemen pribadi karena memiliki dapur, kamar mandi, hingga ruang gym sendiri. Privasi pun rasanya lebih terjaga karena serasa tinggal di goa. Lalu entah kenapa, sama seperti kamar teman-teman au pair lainnya, kamar tidur yang ada di basement biasanya lebih besar dari kamar utama dan kamar anak-anak si keluarga angkat.

Saya tidak menemukan ada yang salah dari kamar-kamar ini. Tapi memang iya, mengapa justru hampir semua kamar au pair di Denmark berada di bawah tanah?

Hingga satu hari, Vicky, teman Indonesia saya mengatakan kalau sebenarnya ilegal memiliki kamar tidur di basement.

"Iya, Nin. Jadi keluarga aku ini ngomong, kalau sebenarnya basement tidak layak dijadikan kamar tidur. Di Denmark, kamar tidur yang berada di bawah tanah ilegal dan kalaupun ingin menjadikan basement sebagai kamar tidur, si keluarga ini mesti melapor dan membayar pajak properti lebih tinggi."

"Tapi kenapa ilegal ya? Bukannya kita disediakan ruangan pribadi dan kamar mandi sendiri?"

"Iya, memang. Tapi bayangkan saja, bawah tanah jadi kamar tidur? Sebenarnya kurang layak kan? Meskipun sudah diberi heater ataupun semua perabotan, tapi jatuhnya tetap saja tidak layak. Intinya si keluarga angkat harus melapor dulu dan membayar pajak mahal kalau ingin ada orang yang mendiami bawah tanah sebagai kamar tidur," tambahnya lagi.

Dari pengalaman ini, saya juga memperhatikan bahwa rumah-rumah di Denmark memang kebanyakan memiliki ruangan lain di bawah tanah. Karena temperatur suhu yang lembab, ruang bawah tanah justru sering digunakan sebagai ruang penyimpanan wine ataupun tempat cuci dan jemur pakaian.

Kalau pun ingin menambahkan ruangan tidur di bawah tanah, beberapa kebijakan harus diterapkan saat membangun ruangan tersebut. Seperti contohnya memiliki jendela yang cukup besar untuk memungkin si penghuni dapat keluar jika terjadi kebakaran, lalu juga memiliki ventilasi yang baik sebagai pertukaran udara, ataupun space yang luas agar tidak pengap.

Saya pribadi cukup bahagia dengan kamar bawah tanah yang sudah saya tempati hampir dua tahun ini. Meskipun, cukup banyak juga teman-teman non au pair yang sedikit lucu ketika tahu saya tinggal di bawah tanah. Secara keseluruhan, kamar saya cukup luas, jendelanya juga besar, kamar mandi hanya selemparan batu dari kamar tidur, hingga ruang nonton tv sangat luas yang sangat jarang dipakai keluarga ini.

Satu hal, menurut saya keberadaan jendela menjadi remarkable krusial mengingat keadaan temperatur di bawah tanah yang kadang terlalu lembab. Minusnya, ruangan bawah tanah bisa jadi sangat berdebu dibandingkan ruangan lainnya.

Satu cerita pendek lain, karena berada di bawah tanah, biasanya pipa-pipa yang berada di ruangan atas tersambung di plafon ruangan bawah tanah. Karena saat itu pipa wastafel air di dapur atas sedang ada masalah, akhirnya keluarga saya memanggil tukang pipa untuk membersihkan sisa makanan yang menyumbat. Sialnya, entah apa yang terjadi, saat si tukang sedang menyedot pipa, kamar saya justru kebanjiran air dari lantai atas. Merembesnya dari mana? Dari plafon dan lelampuan! Karena insiden ini, saya mesti rela mengungsi dulu di ruang television selama satu bulan sebelum akhirnya kamar saya benar-benar siap untuk dihuni kembali.

So, what do you watched? Is it nonetheless unlawful to have our very own area and massive privacy?

Monday, June 29, 2020

Tips Kelakuan Copenhageners, Helsinkians, dan Brusselèèrs di Kendaraan Umum|Fashion Style

Naik kendaraan umum di Eropa memang seru. Selain bisa berkeliling ke daerah baru, saya juga sekalian mempelajari pola orang-orang yang setiap hari naik kendaraan umum.

Denmark dan Belgia adalah dua negara terlama yang pernah saya tinggali. Meskipun sempat jalan-jalan juga di sekitar Eropa, namun Helsinki adalah satu-satunya ibukota yang transportasi umumnya sudah pernah saya coba semua; baik itu kereta regional, bus, tram, dan metro.

Iseng-iseng tidak ada kerjaan di tengah malam, lucu juga kalau saya membandingkan kelakuan para penduduk ibukota ini saat naik kendaraan umum, ke sebuah tulisan.

Copenhageners

Sebenarnya penduduk Kopenhagen lebih sering naik sepeda kemana-mana ketimbang kendaraan umum. Tapi ada satu hal menarik yang bisa diperhatikan dari pengendara sepeda dan pengguna kendaraan umum lainnya; yaitu sama-sama sibuk dengan ponsel pribadi!

Di kereta, bus, ataupun metro, orang-orang hanya sibuk memperhatikan apa yang ada di ponsel mereka. Orang-orang Kopenhagen ataupun Denmark, berasa mati gaya kalau di tangan mereka tidak ada ponsel. Ponsel orang-orang ini pun kebanyakan mahal-mahal; sebut saja si Apel atau deretan paling baru si Sungsang. Tapi kebanyakan memang si Apel sih (:

Kalau sedang tidak memperhatikan ponsel, coba lihat telinga mereka. Biasanya akan teruntai kabel panjang berwarna putih atau hitam yang siap menemani keautisan sementara di dalam kendaraan umum ataupun jalanan ibukota. Sometimes, it's just too quiet, only them and phones!

Tapi karena penduduk Kopenhagen dan sekitarnya memang kebanyakan mengandalkan sepeda ataupun kendaraan umum, tidak heran kalau penggunanya bisa dari segala usia. Psssttt... coba saja sering-sering naik metro atau sepeda di Kopenhagen, pasti akan menemukan banyak manusia oke dan lucu yang super stylish!

Helsinkians

Meskipun Helsinki adalah ibukota yang ukurannya kecil, namun moda transportasi di tempat ini super lengkap. Sebenarnya saya hanya berkesempatan keliling Helsinki beberapa hari saja. Namun untungnya penjelajahan tidak hanya sebatas downtown, tapi juga ke daerah lain di ujung ibukota.

Berbeda dengan Kopenhagen yang pengguna transportasi umumnya bisa dari segala rentang usia, di Helsinki justru saya banyak bertemu dengan orang tua. Anak-anak muda Helsinki memang lebih sering naik metro ketimbang bus, lebih sering jalan kaki ketimbang naik sepeda, atau lebih banyak juga yang memilih memiliki mobil pribadi ketimbang harus antri menunggu tram.

Tidak seperti orang-orang Kopenhagen yang lebih sibuk dengan ponsel mereka, penduduk Helsinki justru lebih sering diam dan menatap kosong jendela. Saya jarang sekali menemukan pengguna kendaraan umum yang sibuk mendengarkan musik di telinga mereka. Jika pun pergi dengan teman atau keluarga, biasanya mereka hanya mengobrol dengan suara yang tidak terlalu keras.

Brusselèèrs

Di dalam bahasa Inggris, tidak ada panggilan khusus yang ditujukan untuk orang-orang yang tinggal di ibukota Belgia. Karena penduduk yang tinggal di Brussels juga campuran dari banyak wilayah, mereka cukup senang hanya dipanggil Belgians.

Sebut saja saya rasis, tapi pengguna kendaraan umum di Brussels memang paling seru, aneh, dan menyebalkan! Fokus saya biasanya tertuju oleh orang-orang kulit hitam yang memenuhi ibukota.

Coba saja naik kereta melalui tiga stasiun utama Brussels, biasanya saya akan takjub dengan tingkah orang kulit hitam ini. Tidak ada yang salah memang. Tapi kadang mereka bisa sangat pede berdandanan bin ajaib dengan pakaian yang tabrak warna dan motif kesana kemari.

Satu lagi yang paling menyebalkan, orang-orang ini kebiasaan menelpon di kendaraan umum dengan suara yang super duper nyaring! Serasa kereta segerbong-gerbong milik nenek mereka kali ya?!

Kesalnya lagi, kadang mereka sengaja menyetelloudspeaker telepon sekalian bicara super keras. What's the point?! Sampai pernah suatu kali, seorang supir bus mesti menegor wanita paruh baya yang bicara super kencang saat menerima panggilan.

But, TRUST ME!!, kejadian ini malah sangat jarang terjadi ketika saya tinggal di Ghent. Pengguna kendaraan umum biasanya orang-orang Belgia asli yang super kalem dan taat. Saya rasis? Iya.

Tips Bantal|Fashion Style

Saat saya sedang asik menceritakan sesuatu, Tom, seorang kenalan dari Australia, terpaksa harus menginterupsi obrolan ketika kami melintasi toko kamar tidur di Frederiksberg. Bukannya fokus dengan cerita saya, Tom malah menanyakan pertanyaan lain, "are pillows in Indonesia rectangular?"

"Hah? Kenapa?"

"Saya aneh dengan bentuk bantal di Eropa. Kenapa disini semua bantal tidur bentuknya persegi ya? Lihat tuh!" kata Tom sambil menunjuk bantal yang terpajang di depan toko.

"Kenapa? Bagus kan?"

"Aneh, tahu?! Di Australia bentuk bantalnya persegi panjang. Bukannya sama seperti di Indonesia ya?"

"Ah, masa? Di Indonesia bantalnya juga persegi."

"Aneh!" katanya lagi sambil berlalu meninggalkan toko.

Ketika masuk kamar tidur Tom dan menumpang merebahkan badan di atas tempat tidurnya, saya memperhatikan bentuk bantal Tom yang berbentuk persegi. Tiba-tiba saya jadi teringat sesuatu!

"Oh iya iya, Tom!! Di Indonesia bantalnya juga persegi panjang!"

"Nah kan! That's why I said so. I knew it when I was in Bali.Rectangular ones are the best ones."

"Ah yeah, you're right! How can I forget such a thing?!"

"Eropa aneh memang. Bantal-bantal kita isinya juga bulu angsa kan? Do you think it is the best one?"

Saya mengiyakan perkataan Tom lagi sekalian mengingat pengalaman pertama kali tinggal di Eropa. Sewaktu tiba di Belgia, saya memang sempat memperhatikan bantal kamar pertama saya yang juga persegi. Di IKEA pun, rata-rata bentuk bantal tidur yang dijual memang hanya persegi. Ada yang persegi panjang, tapi bentuknya lebih kecil dari yang ada di Indonesia.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan bentuk-bentuk bantal yang ada di Eropa. Bantal berisi kapas sintetis dan fiber biasanya diberi label harga dari yang termahal hingga termurah berdasarkan dengan kualitas serat. Lucunya, semakin empuk bantal justru harganya makin murah.

Dari obrolan singkat dengan Tom, entah kenapa saya tiba-tiba kangen bantal dan kasur-kasur Indonesia yang biasanya berisi kapuk alami ataupun bulu angsa. Semakin padat si kapuk, makin keras juga si kasur. Saya juga jadi ingat dengan bantal kesayangan kakak saya yang harus dibuang gara-gara sudah tidak berbentuk dan si bulu-bulu angsa mulai keluar menusuk kain bantal.

Satu lagi yang membuat saya risih saat tiba di Eropa, yaitu ketidakhadiran guling di atas kasur. Orang Eropa memang hanya terbiasa tidur dengan satu ataupun dua bantal saja. Kadang saya tidak mengerti. Padahal mereka harus tahu betapa nyaman dan lelapnya tidur sekalian memeluk erat si guling.

Goodnight, everybody!

Tips 5 Alasan Musim Semi Terlalu Keren dan Romantis|Fashion Style

Bulan April sudah hampir selesai, tapi para penghuni bagian utara Eropa masih menggerutu betapa dinginnya musim semi tahun ini. Beberapa kali salju masih sering turun membawa harapan summer akan tiba segera hilang. Saat orang-orang di bagian selatan Eropa sudah merasakan hangatnya mentari dan jutaan bunga yang mulai bermekaran, kami yang tinggal di utara mesti harus bersabar menunggu Mei membawa kejutan baru.

Meskipun musim semi tahun ini masih jauh dari ekspektasi, tapi ada beberapa alasan mengapa spring adalah musim paling romantis sepanjang tahun. Selain itu, musim semi juga membawa rasa kegembiraan tersendiri bagi para orang-orang yang rindu hangatnya sinar matahari dan bikini. Hihi.

1. Colors are returned

Sejujurnya, saat saya menulis tulisan ini, banyak pepohonan di hutan masih tampak gersang dan bunga-bunga di taman depan masih menguncup. It's not the time. Not yet.

Walaupun beberapa jenis bunga masih menunggu cuaca benar-benar hangat dulu untuk bermekaran, namun banyak juga bunga-bunga kecil yang sudah mulai cantik berkembang. Perasaan suka cita biasanya muncul bersamaan dengan deretan pepohonan yang menghijau hingga mata kembali fresh melihat warna-warni bunga di taman. Lucunya, bunga-bunga ini memang hanya akan tumbuh di musim semi, lalu kembali layu saat musim panas tiba.

2. Aroma sakura

Di Denmark, banyak pepohonan sakura yang ada di kuburan mulai dipenuhi oleh gradasi pink di sepanjang bulan April. Meskipun judulnya kuburan, tapi taman pemakaman disini tidak ada aura mistis sama sekali seperti yang ada di Indonesia. Bukannya mengerikan, kuburan justru dijadikan tempat rekreasi ataupun jalan-jalan santai.

Saat cuaca mulai sedikit bersahabat, banyak orang yang datang ke taman sakura hanya untuk foto-foto ataupun piknik menggelar tikar. Saya sendiri sudah hapal betul dengan ke-mainstream-an seperti ini di Denmark. Lihat saja saat pertengahan bulan April, news feed Facebook saya pasti dipenuhi postingan seragam teman-teman yang datang dan berfoto ria di Bispebjerg Kirkegaard dan Langeline Park.

Three. Nyamannya berjalan kaki

Meskipun musim semi bisa sedikit basah, berangin, dan dingin, tapi ada beberapa kesempatan terbaik saat cuaca sedang bagus-bagusnya. Ketika matahari sedang bersinar terang hingga membawa suhu hangat di siang hari, saat-saat seperti inilah biasanya dimanfaatkan seseorang untuk mengitari taman ataupun berjalan-jalan santai di luar.

Di bagian utara Eropa, suhu terbaik musim semi di siang hari adalah 14-18 derajat Celcius. Jika suhu bersahabat, taman dan jalanan biasanya akan dipenuhi oleh banyak orang saat akhir pekan. Don't stay inside! Put the glasses on and go grab your Vitamin D!

Four. Musim festival

Karena cuaca sudah mulai bersahabat dengan kulit, banyak festival seru pun sudah banyak digelar di luar ruangan. Selain Festival Sakura, banyak juga festival musik dan olahraga yang memang menunggu musim semi untuk menebar keseruan. Time to check them out and have fun!

Five. Time to be out of doors longer

Sangat kontras dengan musim dingin yang gelap dan suram, musim semi membawa warna baru di siang hari. Hari terasa lebih panjang karena jam 6 pagi sudah mulai terang dan matahari baru mulai terbenam jam setengah 9 malam. Artinya, energi positif dan rasa bahagia bisa membuncah sepanjang hari karena bisa kelayapan lebih lama 😊

Sunday, June 28, 2020

Tips Pengalaman Tes IELTS Pertama di Eropa|Fashion Style

Akhirnya, saya berhasil menaklukkan salah satu ketakutan terbesar dalam hidup: tes IELTS!

Iya, entah kenapa tes Bahasa Inggris yang satu ini selalu jadi momok seram. Meskipun saya sudah belajar bahasa Inggris sedari umur 9 tahun, tapi tetap saja tidak ada keberanian untuk mengikuti uji kefasihan. Selain harganya mahal, kalau ternyata tidak mencapai goal, melayang saja kan uang yang sudah terbayar.

Setelah hampir eight tahun menunda untuk mengikuti IELTS/TOEFL, ujung-ujungnya saya korbankan juga 1875 DKK atau sekitar 3,five juta demi menguji kemampuan bahasa Inggris. Sebenarnya niat tes IELTS memang hanya didasari untuk mendaftar ke salah satu perguruan tinggi, yang sudah diniatkan sejak saya tamat SMA hingga tamat kuliah. Mengingat kontrak au pair di Denmark juga akan habis, saya iseng-iseng saja ingin mendaftar ke salah satu kampus di negara lain.

Ingin mengikuti tes pun sebenarnya maju mundur karena saya sudah malas belajar. Baik itu belajar sebelum mengikuti tes, maupun belajar di bangku kuliah. Tapi setelah pertimbangan matang, dua bulan sebelum tes, saya mendaftar juga.

Di Eropa Utara, harga tesnya lebih mahal dari negara-negara lain. Di Denmark saja, tes IELTS dihargai 1875 DKK (Kopenhagen) hingga lebih dari 2000 DKK (Faroe Island). Sementara di Finlandia, tes IELTS harganya ?250, lebih mahal ?40 dari Belgia ataupun Jerman.

Karena di Kopenhagen cepat sekali penuh, pendaftaran pun harus dilakukan sesegera mungkin. Ada dua opsi untuk bagian tes Speaking, bisa lain hari ataupun di hari yang sama dengan tiga tes lainnya. Merujuk ke pengalaman tes module Bahasa Denmark , saya memilih tes Speaking di hari lain saja.

Speaking Test

Satu minggu sebelum tes dimulai, pihak EDU sudah mengirimkan email konfirmasi soal jadwal dan tempat tes Speaking. Karena memilih beda hari, tes Speaking saya diadakan satu hari sebelum tiga tes lainnya.

Jam 2.45 sore, saya sudah datang ke tempat ujian untuk mendaftarkan diri dan difoto. Sesuai dengan jadwal tes, jam 3 teng, seorang bapak penguji asli Inggris sudah menyambut saya ramah di depan sebuah ruangan.

Si bapak yang bernama Mark ini sebenarnya sama sekali tidak menakutkan. Ekspresinya memang datar, tapi terkesan hangat dan ramah. Saya juga jadinya tidak terlalu deg-degan dan menjawab sesantai mungkin.

Tes Speaking bagian pertama sangat gampang. Topiknya hanya sebatas sekolah, cokelat, dan buku. Semuanya bisa saya jawab dengan lugas karena memang hal semacam ini sudah menjadi pembicaraan sehari-hari.

Bagian kedua, saya mulai kehabisan kata-kata. Topiknya sangat jelek, menurut saya, soal kesibukan. Meskipun sudah mencoba menuliskan poin-poin yang akan diucapkan, saya merasa ada dua poin yang kelupaan.

Bagian ketiga, beberapa pertanyaan lanjutan ditanyakan oleh Mark, yaitu tentang tekanan saat sekolah dan hidup di masa mendatang. Saya sempat berpikir sekitar 2-3 detik sebelum menjawab pertanyaan, karena sedikit bingung menyambung dari opini sebelumnya.

Kuncinya: bicara lugas dan lancar tanpa terlalu pusing memikirkan opini. Isi opini boleh mengarang, yang penting tata bahasa, perkaya kata-kata baru, dan anggap saja si penguji adalah teman kita.

Listening Test

Kalau sudah terbiasa mendengar podcast, lagu berbahasa Inggris, radio, ataupun menonton BBC, sebenarnya tidak ada masalah. Meskipun aksen yang dipakai adalah British-Inggris, tapi kata-kata yang digunakan sebenarnya hampir semuanya sama saja dengan Inggris-Amerika. Justru saya merasa, rekaman orang di IELTS lebih jelas ketimbang mendengarkan teman-teman asal UK mengobrol.

Di bagian awal, percakapan masih mudah karena biasanya hanya menyangkut nama, nomor, umur, ataupun kata-kata dasar yang hanya diperbolehkan ditulis dengan satu kata saja di lembar jawaban.

Masuk ke bagian pertengahan dan akhir, percakapan lebih berat menyangkut soal teknologi, sains, ekonomi, seni, ataupun pendidikan. Sedikit mengecoh, karena selain mendengar, kita juga harus membaca dan berpikir kira-kira jawaban mana yang tepat. Saya sempat sedikit blank di bagian ini hingga harus menjawab asal.

Reading Test

Tes bagian ini menurut saya adalah bagian paling membosankan. Jujur saja, saya sama sekali tidak ada persiapan dan banyak latihan. Tes Reading bahasa Inggris dimana-mana sama saja, ya tidak IELTS, tidak UAN, tidak UAS, ataupun ujian semesteran. Intinya, ada teks yang panjang (sekali), lalu harus menjawab True-False, memilih opsi, ataupun mengisi isian dari A-Z.

Lupakan soal paham atau tidaknya kita dengan seluruh isi teks, karena nyatanya, tugas kita bukan disuruh menerjemahkan. Untuk Academic Test, biasanya peserta tes diharapkan untuk sepenuhnya menganalisa pertanyaan sekalian mencocokan dengan isi teks.

Sekali lagi, bagian paling membosankan dan menyita waktu, karena terlalu tricky. Di sepuluh jawaban terakhir, lagi-lagi saya mulai blank hingga akhirnya asal tembak saja. Sudah dianalisa, dibaca berulang-ulang, dilihat-lihat lagi, tetap saja tidak menemukan jawaban. Oke, goodbye! A! B! C!

Writing Test

Mendengar komentar dari teman-teman yang sudah pernah mengikuti tes IELTS (hingga berkali-kali), saya sepakat kalau tes Writing adalah tes yang HARUS penuh persiapan. Berbeda dengan General Training, peserta tes Academic diharapkan mampu menuangkan opini, ide, serta kemampuan analisa ke dalam tulisan yang bahasanya lebih formal dan tertata.

Meskipun sudah disediakan waktu 70 hari persiapan, saya hanya menggunakan kurang dari five hari untuk latihan menulis. Padahal saya paham sekali dengan kekurangan terbesar saya saat menulis artikel dalam bahasa Inggris.

Sehari sebelum tes pun, saya hanya membuka beberapa artikel internet, lalu mempelajari beberapa pola yang diharapkan oleh IELTS. Mempelajari pola jawaban menjadi sangat penting agar kita tahu struktur bahasa ataupun paragraf seperti apa yang mereka nilai.

Kalau ingin mendapat nilai tinggi di bagian ini, jangan lupa sering-sering membaca berita terbaru berbahasa Inggris. Selain mendapatkan kosa kata non-mainstream, kita juga terbiasa dengan isu terhangat semisal ekonomi, pendidikan, budaya, ataupun masalah dunia lainnya. Struktur tata bahasa menjadi poin penting lainnya agar tulisan kita menjadi tepat sasaran sesuai penggunaan waktu dan kaedah yang berlaku.

Pengalaman saya di bulan April, tes Writing di bagian pertama sebenarnya tidak terlalu banyak analisa karena diagram batang yang digunakan mudah diteliti. Topiknya pun tentang perbandingan jumlah siswa yang belajar di tiap subjek pelajaran.

Sementara bagian kedua, tangan saya hampir patah menulis?Padahal sebenarnya juga tidak ada yang ditulis, tentang topik yang lagi-lagi?Menurut saya?Jelek. Yaitu tentang isu pembangunan di sektor ekonomi yang berdampak dengan kemunduran norma sosial. Apaaaa coba?!

RESULT!!

Kalau ingin jujur, mengingat ini adalah tes pertama, saya sebenarnya tidak menaruh harapan yang terlalu besar soal skor. Iya memang, saya menetapkan skor 7.0 karena memang si kampus yang saya incar menarafkan skor segitu. Tapi sekali lagi, I am happy because it's over.

Tiga belas hari setelah tes selesai, saya sudah bisa mengakses hasilnya di internet. Eng... Ing... Eng....

Skor IELTS saya hanya 6.Zero!

Benar saja, nilai di bagian Writing dan Reading paling anjlok, hanya 5.5. Karena sebelumnya memang sudah tidak ada persiapan matang dan ekspektasi tinggi, saya pun mengakui kemampuan saya di tahun ini berada di taraf itu. I have tried my best yooo! (;

Tapi setelah semuanya berakhir, entah kenapa lagi-lagi saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan mengulang tes selama beberapa tahun ke depan. Seriusan, tes IELTS layaknya ujian mana pun yang stres dan menakutkan. Satu lagi, mahal!

Tips Kembali Kreatif di Kelas Desain|Fashion Style

Minggu ini adalah minggu terakhir kelas desain saya di Designskolen - Designmuseum Danmark. Sedih, tapi juga bahagia karena akhirnya bisa melihat hasil kerja semua siswa dari awal masuk hingga akhir musim.

Masuk sekolah desain memang impian saya dari tamat SMP. Yang dulu saya tahu, desain hanyalah seputar fashion dan mode. Tapi ternyata, sekolah desain lebih luas mencakup grafis, produk, tekstil, hingga perabotan.

Beberapa bulan sebelum kedatangan di Denmark, sebenarnya saya sudah mencari-cari kelas desain yang bisa saya ikuti di Kopenhagen. Sama seperti di Belgia dulu, saya juga ingin tetap kreatif meskipun sedang berada di negara orang. FYI, saya sempat mengikuti kelas menggambar akhir pekan sewaktu di Ghent.

Awalnya, saya ingin mendaftar ke sekolah fashion milik seorang fashion designer terkenal, Margrethe-Skolen/Scandinavian Academy of Fashion Design. Sebelum ke Denmark pun, saya sudah bertanya dengan Louise, host mom saya, tentang keinginan yang ingin bolos seminggu sekali demi mengikuti kelas ini. Alhamdulillah, Louise setuju-setuju saja.

Sesampainya di Denmark, saya urungkan niat ke Margrethe-Skolen karena ternyata setelah dipikir-pikir biayanya cukup mahal. Sekolah fashion design yang cukup menarik lainnya adalah Fashion Design Akademiet. Tapi karena kelas menjahit lebih mahal, saya berniat mengambil kelas Fashion Illustration saja. Masih sekalian menimbang dan mencari, akhirnya ketertarikan saya lebih besar ke proyek-proyek kerja yang diadakan oleh Designskolen - Designmuseum Danmark.

Sebenarnya ada beberapa sekolah desain lain yang juga sama menariknya. Tapi sayangnya, biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit. Jujur saja, niat untuk masuk ke Designskolen pun mesti saya tahan satu tahun karena saya terlalu boros dan selalu kehabisan uang :p

Finally, di kelas musim semi 2017 saya benar-benar bisa mendaftar dan mengikuti kelas hingga akhir. To be honest, I am on a nine cloud! This is what I always dream of: learning design, not only theory but practical. I always miss doing something with my hands.

Sekolah desain ini sendiri adalah kelas yang diadakan oleh Designmuseum Danmark di Kopenhagen. Museum ini lebih fokus ke desain yang pamerannya selalu unik dan mengagumkan, dari mulai fashion hingga kursi-kursi kelas dunia yang didesain Finn Juhl, Arne Jacobsen, dan desainer kursi Denmark terkenal lainnya. Makanya kelas desain saya kali ini sangat beragam dan tidak hanya belajar soal fashion, tapi juga cara mendesain kursi hingga membuat pola di kain.

This class is totally super fun! Kelasnya terbagi dari tiga angkatan; anak-anak, remaja, dan dewasa. Untuk kelas dewasa, diadakan setiap Rabu jam 18.30. Setiap musim hanya menerima maksimum 12-15 orang dan saya adalah satu-satunya orang berbahasa Inggris di musim ini. Bahasa pengantar selalu menggunakan bahasa Denmark, tapi Anders, pengajar kami, tidak sungkan untuk menjelaskan garis besarnya ke saya dalam bahasa Inggris. Untunglah saya sudah belajar bahasa Denmark selama satu tahun lebih, jadi masih ada beberapa frase dasar yang saya bisa ikuti.

Karena kelas desain sudah berakhir, berikut saya tampilkan foto-foto hasil proyek siswa di kelas saya yang sempat dijadikan pameran di sekolah. Enjoy!

Oh ya, ada satu lagi hal menarik dari sekolah desain ini, mereka selalu mengundang desainer ataupun arsitek di setiap subjek. Pernah suatu kali, dua orang arsitek terkenal Denmark, Charlotte Carstensen dan Julie Dufour, datang untuk memberikan proyek chair exhibition design. Dalam 3 pertemuan, semua siswa diberikan peran sebagai desainer dan diberi kesempatan untuk mendesain sendiri sebuah ruangan pameran kursi.

Setelah proyek usai, Charlotte baru memberi tahu kalau ternyata semua hasil proyek siswa akan dipamerkan di Designmuseum Danmark. Oh my G! Tidak semua hasil seni dan desain seseorang bisa dipamerkan di museum seterkenal ini. Seperti kata seorang teman sekelas saya, "kapan lagi hasil karya kita bisa masuk pameran? It's only once in a lifetime!"

Setelah kelas desain ini berakhir, Anders, pengajar kami berharap kalau semua siswa tetap menjadi kreatif dan selalu terhubung dengan ide-ide segar. Walau bagaimana pun setiap sudut Kopenhagen bisa jadi sumber inspirasi dan kelas, tidak hanya di ruang workshop. I agree!

Bagi kalian yang juga ingin belajar ilmu baru selagi di negara orang, just go for it! Kapan lagi belajar langsung dari ahlinya? It's time to learn dan discover something new. It might be a bit pricey, but trust me, it's going to be worth it!

Tips Drama Visa Cina yang Menguras Emosi, Waktu, dan Biaya|Fashion Style

"Mengurus visa turis Cina sangat mudah! Paling mudah! Praktis! Tidak butuh syarat banyak!"

Iya, kalau mengurus aplikasinya di Indonesia! Di Denmark, entah kenapa aplikasi saya malah dipersulit.

Berawal dari niat mengunjungi adik saya yang sedang studi di Cina, saya memutuskan memasukkan aplikasi 3 minggu sebelum keberangkatan. Selain karena waktu mengurus visa Cina yang reguler hanya 4 hari kerja, saya juga harus mengurus aplikasi perpanjangan residence permit baru dulu.

Residence permit saya habis tanggal 6 Mei 2017, sementara saya mesti ke Cina di penghujung bulan Mei. Karena baru saja mengurus perpanjangan permit baru, akhirnya saya tidak mengantongi kartu residence permit yang valid.

Tapi, ada ketentuan tertulis dari Ministry of Immigration, Integration, and Housing, yang memperbolehkan orang yang permit barunya sedang diproses, keluar masuk Denmark selama maksimum 90 hari jika memang ingin travelling. Namanya Re-entry Permit, stiker berbentuk visa yang akan ditempel di paspor kita dan berfungsi sebagai residence permit.

Re-entry Permit dapat diperoleh di kantor Danish Agency atau Citizen Center. Jelas sekali, Re-entry Permit fungsinya sama dengan residence permit yang memperbolehkan kita keluar Denmark sesuai dengan berapa lama kita travelling. More info here.

Karena tahu tidak mengantongi kartu residence permit, saya mencoba menghubungi pihak Kedutaan Besar Cina untuk menanyakan masalah ini. Mungkin saja mereka bisa membantu menjelaskan kira-kira dokumen apa saja yang perlu saya lengkapi saat membuat visa.

Saya e-mail, tidak dibalas. Saya telepon beberapa kali, tidak pernah diangkat. Akhirnya saya nekad saja membuat janji via online untuk menyerahkan aplikasi di Chinese Visa Application Center.

Syarat-syarat dokumen terlihat sangat gampang:

1. Paspor yang masa berlakunya tidak kurang dari 6 bulan PLUS fotokopi halaman facts diri di depan.

2. Pasfoto ukuran 4,8x3,3mm (TRUST ME!! Mereka tidak pernah mengukur sisi kali sisi. Di Denmark sangat sulit menemukan tukang cuci cetak foto. Jadi, jangan permasalahkan ukuran, yang penting terlihat jelas saja sudah cukup. Saya menggunakan foto 4,5x3,5 sama sekali tidak masalah)

3. Formulir aplikasi visa yang diisi dengan lengkap dan ditandatangani (Di VAC Kopenhagen, formulir tersedia dengan gratis di tempat.)

4. Bukti tanda kependudukan legal kalau pemohon membuat visa tidak di negara asal mereka PLUS fotokopinya. Bisa berupa residence permit, kartu mahasiswa, ataupun surat lain yang menyatakan pemohon tinggal secara legal di negara dimana pemohon membuat visa.

Tambahan:

1. Tiket pesawat pulang-pergi

2. Konfirmasi reserving penginapan

3. Surat undangan (jika ada)

4. Detail perjalanan (tidak harus)

Meskipun bisa membuat visa tipe S2, tapi saya batalkan saja untuk tetap membuat visa turis tipe L. Visa tipe S2 diberikan kepada pemohon yang pergi ke Cina dengan tujuan mengunjungi keluarga yang sedang studi ataupun kerja. Masa berlaku tinggal bisa sampai 180 hari, lho.

Hari Pertama

Setelah mengambil nomor antrian, saya menunggu giliran untuk menyerahkan dokumen di loket. Sebenarnya tidak terlalu banyak orang yang mengantri di Chinese VAC Kopenhagen. Tanpa harus booking jadwal thru on-line, orang-orang juga bisa langsung datang, mengisi formulir di tempat, lalu menunggu giliran dipanggil. Namun memang, orang yang reserving jadwal through on-line biasanya akan dilayani terlebih dahulu.

Kantornya pun cukup lengkap. Karena selain mesin fotokopi, orang-orang juga bisa mengeprint dokumen langsung jika ada yang mesti dilengkapi lagi.

Tibalah giliran saya di satu loket yang petugasnya seorang wanita bermuka jutek. Semua petugas loket orang Cina. Tapi entah kenapa hanya dia yang tidak terlalu bersahabat.

"What is your nationality?" katanya.

"Indonesia."

Saat melihat paspor saya masih tertutupi sampul hitam, dia segera menyuruh melepaskannya.

"This because I still have my old passport here. So, I put them together in a passport cover."

"We don't need your old passport. We only need your new one," katanya lagi dengan jutek.

"Okay. I thought you need the old one to see my travel history."

"No, no need."

Dia mengecek dokumen saya dan mencentang statistics-records yang cocok dengan information passport.

"Where is your residence permit?" tanya si petugas jutek sambil terus membolak-balik dokumen yang saya lampirkan.

"Well, it is in the process. I have just submitted my new residence permit application. Thus, I wrote in the note (in visa form) regarding my residence permit extension."

"We cannot give you a visa if you don't have a residence permit."

"But I have attached my Re-entry Permit copy. It works the same as residence permit, which is allowing me to come and leave Denmark multiple times."

"Yes. But we need to see when and where you submit your extension permit. We need to know that you really submit the application of your extension."

Blablabla... Sampai akhirnya dokumen saya semuanya dikembalikan untuk segera dilengkapi. Si petugas jutek menyuruh saya datang lagi sekalian menambahkan surat keterangan dari Citizen Center yang menyatakan kalau saya benar-benar sedang memperpanjang residence permit. Meskipun sedikit kecewa, saya akhirnya pulang ke rumah sekalian meminta konfirmasi lagi ke pihak Citizen Center tempat saya membuat data biometrik.

Hari Kedua

Karena si petugas ingin saya menyertakan surat pernyataan dari Citizen Center, akhirnya saya menghubungi pihak tersebut jikalau mereka bersedia membuatkan saya surat keterangan. Saat e-mail tidak dibalas, saya langsung saja menelpon yang ternyata juga harus antri selama 10 menit.

Setelah berhasil menghubungi mereka dan menceritakan masalah saya, pihak Citizen Center mengatakan kalau mereka sama sekali tidak ada hak untuk membuatkan surat tersebut. Pertama, karena mereka hanya bertugas mengurusi pembuatan residence permit bagi pemohon yang tinggal di Denmark.

Yang kedua, di website New in Denmark sudah jelas sekali menyatakan tentang Re-entry Permit ini. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, Re-entry Permit hanya diberikan kepada pemohon yang MEMANG sedang menunggu perpanjangan residence permit baru, namun harus travelling keluar Denmark selama proses menunggu.

Yang ketiga, dibandingkan dengan surat pernyataan dari Citizen Center, petugas yang sedang menerima panggilan menyarankan untuk meminta host family yang membuatkan surat pernyataan.

"They are the right people to make you that statement since you are living with them," katanya.

"Terus bagaimana saya bisa membuktikan kepada pihak visa center kalau saya memang sedang perpanjangan permit? Apa hanya bisa dibuktikan dengan tanda terima dari Citizen Center saat pengambilan facts biometrik?"

"Yes, that should be fine. Di tanda terima tersebut juga bisa dilihat jika kamu memang sudah mengambil data biometrik yang tujuannya untuk keperluan pembuat permit baru."

Hari Ketiga

Empat hari setelah menyiapkan semua dokumen tambahan, saya datang lagi ke Chinese VAC di Kopenhagen.

Dokumen tambahan tersebut:

1. Fotokopi tanda terima dari Citizen Center yang menyatakan saya sudah selesai mengambil data biometrik.

2. Fotokopi kartu residence permit lama

3. Surat pernyataan au pair dari Louise yang menyatakan saya memang au pair mereka, lama kontrak, hingga masa travelling yang diijinkan oleh pihak keluarga.

Saat tiba giliran menyerahkan dokumen, sialnya saya lagi-lagi mesti bertemu dengan si petugas jutek. Duh!

"So, how is it? What was the last time? Did you bring all the documents?" tanyanya saat mengambil dokumen saya.

Saya hanya diam saja tidak menjawab pertanyaan satu pun. Saya hanya membiarkan dia mengecek sendiri dokumen tambahan yang sudah disiapkan.

"But,..." katanya ragu saat pengecekan. "Where is that statement?"

"I have already contacted them (Citizen Center) and they said, they have no right to make it. They even said, my host family is the right person to make it for me since I am living and working for them," kata saya tegas.

"Iya. Tapi tidak cukup bukti. Kami tidak bisa memberikan visa kalau status kamu tidak jelas di Denmark."

Hah, what, status tidak jelas? Saya hanya menarik napas panjang saat mendengar pernyataan dia.

Dokumen saya dicek halaman demi halaman oleh si petugas. Kata in keeping with kata yang saya tulis, hingga apapun yang ada di formulir visa saya dibaca berulang-ulang.

"So, you are an au pair and you'll be here until September?"

"Yes!"

"And what will you do after?"

"Come back to Indonesia."

"Why do you want double entry visa?"

"Because I am thinking to come back to China with my mom within 6 months."

"No, we cannot give you. You even have no residence permit now. Only single entry."

Saya hanya menarik napas dalam-dalam pasrah.

"This is your receipt," katanya lagi-lagi judes sambil menyerahkan tanda terima. "I don't know about the decision. But maybe you need an interview with the embassy. Maybe."

Hah? Interview lagi? Ini saja sebelum diwawancara pihak kedutaan, saya merasa sudah duluan dicecar banyak pertanyaan oleh si petugas.

Hari Keempat

Hari Senin, saya menerima panggilan dari Chinese VAC, dari orang yang sama, mengatakan kalau ternyata saya memang butuh interview dengan pihak Kedubes Cina.

"Ini saya buatkan janji interview dengan mereka. Hari Kamis, jam 2.30 ya."

Gila! Hari ini baru Senin dan saya mesti menunggu three hari lagi untuk diwawancara. Artinya saya hanya memiliki waktu satu minggu sebelum keberangkatan untuk menunggu fame visa saya yang belum tentu juga diterima.

I'm loss of life! Really!

Hari Kelima

Saya miskomunikasi dengan si petugas Chinese VAC yang membuatkan janji dengan Kedubes Cina.

"Kamu yang mau datang untuk interview ya?" kata seorang petugas di kedubes yang membukakan pintu ketika saya tidak berhenti memencet bel.

"Iya. Jam 2.30 kan?"

"No, it was this morning. Seperti yang kamu tahu, kantor hanya buka dari jam 9-12 siang. Dokumen kamu sudah saya kembalikan lagi ke Chinese VAC dengan catatan kalau ternyata yang di-interview tidak datang."

"Iya. Tapi ditelinga saya, dia mengatakan jam two thirty."

"No, no, ten thirty."

"Yaaah.. Jadi saya mesti membuat janji baru lagi? Saya sudah mesti ke Cina tanggal 23 ini. Apakah kira-kira permohonan saya diterima?"

"Iya, sepertinya masih sempat," kata si petugas sambil berpikir singkat. "Masalahnya, saya harus melihat dokumen kamu dulu baru bisa memutuskan. Begini saja, nanti saya hubungi lagi pihak Chinese VAC dan mengatakan kalau ada miskomunikasi jadi kamu bisa datang lagi hari Selasa."

Double pffttt ~

Hari Keenam

Saya datang lagi ke Kedubes Cina 15 menit sebelum janji interview. Seorang petugas laki-laki yang sebelumnya sempat saya temui ternyata adalah orang yang juga akan mewawancarai saya.

Setelah mewawancarai seorang pemohon, akhirnya tiba giliran saya.

"So, we will take your fingerprints first and then we start the interview," katanya ramah.

Selesai mengambil sidik jari dan memeriksa dokumen saya, si petugas mulai menanyakan tentang keberadaan saya di Denmark. Sudah berapa lama di Denmark, apa itu au pair, siapa yang mengurus program au pair ini, dengan visa apa saya bisa datang ke Denmark, lalu tujuan dan kota mana saja yang akan saya kunjungi di Cina. Wawancara santai pun hanya sekitar five menit.

"The Chinese Visa Application Center will inform you when your passport is ready to be picked up," katanya lagi mengakhiri wawancara hari itu.

Hari Ketujuh

Sempat deg-degan visa tidak akan di-approve, saya cek popularity visa yang bisa ditelusuri through internet site VAC dari hari Rabu. Hari Jumat saya cek, ternyata paspor sudah dikembalikan ke pihak VAC. Artinya, paspor sudah bisa saya ambil hari itu juga.

Kalian harus tahu, biaya visa Cina lewat VAC di Kopenhagen mahalnya 3x lipat dari di Indonesia. Paling mahal adalah pemohon berkewarganegaraan Amerika, lalu Eropa, dan kewarganegaraan lain yang paling murah dimulai dari 765 DKK (sekitar 1,5 juta rupiah) untuk single entry yang jenis reguler 4 hari kerja. Hiks.

Karena sudah habis-habisan biaya transportasi kesana kemari, lalu ditambah lagi biaya visa yang mahal, saya akhirnya lega juga karena paspor sudah tertempel visa Cina.Though, it's never been easy.

Saturday, June 27, 2020

Tips Memahami Keheningan Cowok Finlandia dalam Tiga Bahasa|Fashion Style

Yuk, curcol soal cowok-cowok Eropa lagi! :p

Seriusan, dari sekian kali berkencan dengan para cowok Eropa, hanya cowok dari bangsa satu ini yang membuat saya pusing bukan main. Finlandia, negara bagian utara Eropa yang masuk ke dalam wilayah Nordik meskipun letaknya lebih dekat dengan Rusia dan Eropa Timur.

Ketertarikan saya dengan Finlandia sebenarnya bermula sejak kuliah. Tidak jarang, dosen saya menyebut-nyebut sistem edukasi Finlandia yang terbaik seluruh dunia hingga sering dijadikan tempat untuk studi banding. Karena hal inilah, di awal semester 6 saya nekad belajar bahasa Finlandia secara otodidak!

Hijrah ke Belgia dan Denmark, membuat saya lupa kalau pernah belajar bahasa Finlandia. Hingga suatu ketika, perkenalan saya dengan seorang cowok asli Finlandia pun muncul.

"Hauska tutustua! (Senang berkenalan dengan kamu!)" kata saya saat tahu dia berasal dari Finlandia.

"Wow! Kamu bisa bahasa Finlandia?" katanya takjub sambil tepuk tangan.

"Ei (Tidak). Cuma ingat minun nimeni on Nin (nama saya Nin)."

"M ä  oon Jan (saya Jan)," kata seorang  cowok imut yang sering bolak-balik Finlandia-Denmark dan sudah mapan di usianya yang baru 24 tahun saat itu.

Jan, you are a sweet bastard, seriously! Gara-gara cowok ini, saya jadi tergila-gila dengan cowok Finlandia dan negaranya. Gara-gara cowok ini juga, saya akhirnya belajar tentang Finlandia lebih jauh. Tapi, gara-gara dia juga saya merasa di-PHP!

Ladies, cowok Finlandia yang kalian kenal via internet akan sungguh berbeda jika bertemu secara langsung di benua mereka. They are super confusing! If you do not know how they are.

No small speak, please!

Awal mula berkenalan dengan Jan, saya dan dia sebenarnya lebih banyak bicara through texting. Sama seperti tipe cowok pada umumnya, Jan juga senang mengobrol, berbagi gambar dan suara, hingga kadang suka gombal di WhatsApp.

Tapi karena saya tidak tahu anehnya cowok Finlandia, beberapa minggu kemudian ada yang berubah dari cowok ini. Tiap kali ingin mengobrol, pasti saya duluan yang memulai. Gaya bicaranya pun sudah mulai hemat, tidak lagi boros seperti awal-awal dulu.

Frustasi, bingung, pusing, lalu selalu berasumsi dan menanyakan entah apa yang terjadi dengan cowok ini, saya akhirnya mantap berkesimpulan kalau Jan memang tidak suka dengan saya. Tidak seperti cowok lainnya, yang kalau tertarik dengan cewek pasti penuh dengan rasa penasaran, Jan malah sebaliknya.

Hingga akhirnya, saya mempelajari satu hal baru tentang orang-orang Finlandia; mereka tidak suka basa-basi! Gara-gara rasa frustasi terhadap sinyal Jan, saya akhirnya ikut mempelajari karakter orang Finlandia lewat Finnish Nightmares . I am suddenly falling in love with the character, Matti!

Matti adalah karakter komik yang diciptakan oleh Karolina Korhonen yang memiliki sifat dasar orang-orang Finlandia yang introvert, menyukai ketenangan, Personal area, sopan, dan tidak suka berbasa-basi.

Dari Finnish Nightmares, secara tidak langsung saya jadi paham karakter orang-orang Finlandia yang memang mirip Jan. Ibarat kata, orang-orang Finlandia itu seperti komputer yang hanya bisa menjawab pertanyaan tanpa bertanya balik. Pfft.

How they reply your text?

Natal tahun lalu, saya memang sengaja memotret pohon Natal di rumah dan mengirimkan ucapan selamat Natal ke beberapa kontak di WhatsApp. Termasuk para cowok-cowok Eropa yang masih berhubungan dengan saya via texting.

MERRY CHRISTMAS, (insert nama yang dikirimi pesan)!

Beginilah cara mereka membalas pesan saya:

Lihat cara seorang cowok Finlandia membalas pesan saya? Double pfft? Iya!

Saat mengirim pesan ke doi, saya memang sengaja menuliskan Selamat Natal ke dalam bahasa Finlandia. Lalu dibalas "begitu saja" oleh doi, kiitos samoin (sama-sama ya).

Drunken grasp

Ladies, kalau kalian memang sempat terlanjur jatuh hati dengan para cowok Finlandia, jangan dulu mudah berasumsi kalau mereka tidak tertarik dengan kita ya. Cowok Finlandia memang tidak ekspresif, pemalu, dan irit bicara.

Bagi mereka, diam itu emas. Ini benar-benar kenyataan, lho, bukan hanya pepatah. Daripada tidak ada kata-kata baik yang bisa diucapkan, cowok Finlandia yang fasih berbahasa Swedia dan Inggris pun lebih baik tidak bicara satu kata pun.

Meskipun terlahir ganteng dan menawan, cowok Finlandia juga termasuk tidak percaya diri. Makanya kebanyakan cowok Finlandia pembawaannya misterius dan cool, but so insecure and craving for love inside.

So, how to make Finns talk? Give them vodka! Yessh, orang-orang Finlandia juga terkenal dengan alkohol dan raja mabuk. Katanya, alkohol dapat membantu mereka lebih percaya diri saat mendekati lawan jenis. Alkohol juga yang membuat mereka lebih terbuka dan nyaman diajak bicara. But, I do not know if it's always good to have a first date in the bar.

Master of friend area

Sudah dekat dengan cowok Finlandia, sudah diajak jalan, tapi tiba-tiba dia menghilang dan semakin membingungkan?! How come??!!

Cowok Finlandia memang sangat berhati-hati untuk jatuh cinta, terutama dengan gadis-gadis asing yang mereka temui saat travelling. Meskipun si cewek cantik jelita bak malaikat, tapi kalau ternyata si doski tinggal di Antartika, cowok Finlandia berani saja bye.

Meskipun benci dengan cuaca dingin tanpa henti, tapi cowok Finlandia juga sangat cinta dengan negara mereka. Sangat sulit sekali mengajak si cowok pindah ke negara lain jika kalian memang sedang berada di proses ingin melangsungkan pernikahan. Mereka sangat girang bisa jalan-jalan dan tinggal di negara lain, tapi tidak untuk waktu yang lama. No matter where, they always call Finland a home.

Jadi kalau sudah tahu akan LDR ataupun hubungan tidak akan berlanjut hanya karena jarak, cowok Finlandia lebih baik kabur dan meninggalkan si cewek. Saya pernah mengobrol dengan cowok Finlandia yang tinggal di Tampere dan gebetan doi yang ada di Helsinki.

"It's only two hours driving, right?" tanya saya menguatkan niatnya untuk tetap mengejar si cewek.

"Yes, it is. Tapi susah. Dia tinggal di asrama kampus. Sementara saya juga susah untuk mengambil cuti di hari kerja. It is just so difficult for us."

Jadi sebelum memastikan si doi benar-benar menginginkan komitmen, sebaiknya lupakan saja keinginan untuk pacaran kalau kalian memang tinggal di tempat yang berjauhan. Kecuali, si doi memang tipe pejuang dan petualang yang rela menerobos hutan, badai, dan angin kencang demi bertemu dengan sang tercinta.

Honesty

Katanya, orang-orang Finlandia adalah bangsa paling jujur sedunia. Karena irit bicara, orang-orang Finlandia juga tidak kebanyakan gombal dan berkata-kata manis demi memanjakan pasangan. Selain sulit sekali mengatakan kata I LOVE YOU, mereka lebih suka menyatakan rasa sayang lewat perbuatan ketimbang perkataan.

Orang-orang Finlandia juga menghargai kejujuran, makanya omongan mereka kebanyakan memang benarnya. Jadi, jangan berasumsi kalau mereka hanya gombal saat mengatakan kita cute, cantik, ataupun pintar. Sulit sekali, lho, bagi mereka untuk memuji seseorang dari dalam hati, apalagi untuk si gebetan yang sedang mereka taksir. Take their words more, but actions the most :)

Finnish vs Finnish-Swedish

Walaupun orang-orang asli Swedia hanya kurang dari 10% yang menempati Finlandia, namun kedua bangsa ini masih susah sekali berdamai hingga sekarang.  Orang Finlandia asli yang kebanyakan petani ataupun tukang kayu, sering dipandang down oleh orang keturunan Swedia yang lebih kaya dan sering membawa mobil mewah kemana-mana.

Dari gaya cowok-cowoknya, sebenarnya cowok asli Finlandia lebih maskulin ketimbang keturunan Swedia. Cowok Finlandia dianggap lebih macho karena pandai membuat rumah dan bekerja di hutan. Sementara, cowok keturunan Swedia dianggap lebih flamboyan karena terlalu stylish dan selalu bangga dengan bahasa Swedia mereka.

Kalau dilihat dari fitur muka dan gayanya pun, cowok keturunan Swedia lebih kebanyakan seperti para manusia Skandinavia umumnya; so stylish, blonde, and hot. Sementara cowok Finlandia, saya merasa mereka memiliki muka yang khas dan sedikit mirip-mirip di bagian mata dan hidung; perfectly fit, strong, cute, and very casual.

How to realize if they like you?

Kalian tahu pembalap asal Finlandia, Kimi Raikkonen? Coba saja cek di Youtube bagaimana ekspresi dan reaksi Kimi saat diwawancara. It seems like he hates all the questions! Haha.

Sama seperti cowok Finlandia lainnya, Kimi juga termasuk yang tidak ekspresif. Saat marah, bahagia, ataupun sedih, ekspresi Kimi hanya bisa datar. Ketidakespresifan cowok Finlandia ditambah lagi betapa iritnya mereka bicara, membuat kita para cewek bingung menerjemahkan sinyal cinta mereka. Does he like me? Does he care with me?

So, ladies, I am no longer a Finnish-guy-expert, but possibilities are these symptoms might be close to his behavior while he is inquisitive about you!

1. He is replying your text. Kalau kalian memang rajin textingan dan meskipun si cewek duluan yang selalu texting duluan, tapi selama si cowok masih rajin membalas, it is a clear sign that he likes you. Titik.

2. Dia jujur saat memberikan pujian. Meskipun sulit untuk mengungkapkan rasa suka, tapi cowok Finlandia selalu berusaha untuk memberikan sinyal positif ke si cewek meskipun sedikit.

3. Cowok Finlandia juga terkenal sweet, lho! Saat kamu datang atau pulang dari travelling, mereka tidak segan untuk menjemput ke bandara dan menawarkan menginap di tempat mereka. It happened to me once.

4. Karena memiliki rasa percaya diri yang rendah, cowok Finlandia juga sebenarnya sangat open menjalin hubungan dengan gadis asing asalkan si cewek mau diajak pindah ke negara mereka. Bagi mereka, cewek-cewek asing lebih ramah dan terbuka ketimbang cewek asli Finlandia.

5. You need to be a leader! Jangan takut texting duluan, mengajak jalan duluan, mencium duluan, ataupun menanyakan tentang perasaan si cowok duluan. But, please, don't freak him out! :D

Cowok Finlandia memang sedikit aneh, membingungkan, dan sedikit bicara, tapi bisa jadi merekalah tipe cowok independen dan macho yang kamu cari. Tapi sekali lagi, sebelum berpikiran aneh-aneh terhadap mereka, cobalah untuk lebih dulu mengerti dan belajar budaya Finlandia yang tidak seekspresif dan terbuka orang Indonesia. Moi moi!

Tips Party-nya Anak Muda Eropa|Fashion Style

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Saya lupa kalau hari itu Jumat, tepat di pertengahan Januari dengan suhu musim dingin yang sungguh menusuk. Kereta saya menuju Kopenhagen mulai penuh oleh para anak muda yang sudah bersiap menikmati Jumat malam di ibukota.

Para cowok sudah rapih dengan kemeja dan kadang ada tambahan dasi kupu-kupu, lalu gadis-gadis tampak anggun berbalut gaun mini. Anak-anak muda ini sungguh elegan dan modis meskipun mantel musim dingin yang dipakai cukup konservatif. Kaki-kaki jenjang gadis Denmark tersebut juga hanya berbalutkan stocking tipis yang sebenarnya, saya tahu, menyiksa mereka di tengah gempuran angin dingin.

Saya dan dua orang teman berniat menuju salah satu karaoke bar terkenal (karena cuma satu-satunya) di Kopenhagen. Kami berjalan menyusuri daerah Str?Get di kawasan N?Rreport yang memang ramai saat Jumat dan Sabtu malam. Banyaknya tempat makan, bar, hingga klub malam, menjadikan kawasan pejalan kaki ini penuh oleh anak-anak muda yang ingin rileks sejenak dari penatnya bangku sekolah dan tesis.

Bicara soal pesta para ekstrovert, tentunya berhubungan dengan hura-hura. Apalagi kalau bukan menikmati dentuman musik di klub malam, berdandan seksi, meneguk minuman warna-warni beralkohol, hingga mencari pasangan di lantai dansa.

Tipe pesta seperti ini biasanya dilakukan oleh anak-anak abege tua yang baru boleh minum alkohol dan bermabuk-mabuk ria. Para mahasiswa yang baru masuk kampus biasanya juga selalu menyempatkan agenda berpesta di klub malam sebagai ajang menikmati hidup. They said, party hard like a student!

Tidak hanya para abege tua, para dewasa yang penat dengan essai dan pekerjaan, biasanya juga datang demi sekedar berjoget sekalian flirting kanan kiri. Beberapa dari mereka juga terkadang lebih kalem saat di klub malam karena hanya datang untuk menikmati musik lalu minum-minum bersama teman.

Lalu bagaimana dengan para introvert yang juga mulai muak dengan tugas kampus dan kantor? Walaupun anti dengan kata party, sebenarnya mereka juga tertarik dengan pesta yang sifatnya lebih tertutup dan tidak terlalu banyak orang. Datang ke apartemen teman tanpa berdandan seru, nonton film rame-rame, sambil meneguk beberapa kaleng bir, lebih terasa berharga ketimbang buang-buang energi di klub malam.

Saya pernah juga diundang seorang teman ke acara pesta privat di rumahnya. Para undangan pun sebenarnya hanya terbatas ke para koleganya saja. Walaupun sifatnya privat, namun doi tetap niat menyewa lampu blink-blink dan sound system demi memeriahkan suasana. Makanan pun tidak kalah heboh, 13 courses yang semuanya tentu saja gratis! (Yaiyalah, yang punya acara memang chef di restoran terkenal)

Meskipun anak-anak muda Eropa banyak juga yang hobi mabuk-mabukan, tapi tidak semuanya suka klub malam, lho. Partysering bermakna konotatif yang membuat imej siparty boys/girlsterkesan terlalu liar, kekanakkan, hobi joget-joget di dance floor with strangers, dan cenderung naughty. Padahal ada juga pesta yang sifatnya musiman alias diadakan karena ada event tertentu.

Tapi apakah semua yang masuk klub malam adalah tipikal orang-orang liar? NO! Kadang ada yang datang bersama teman tanpa joget-joget sedikit pun, memesan bir, lalu hanya duduk di sofa tanpa bicara sepatah kata pun. Grup semacam ini biasanya hanya ingin cari suasana sambil memerhatikan orang-orang yang lagi joget. Ada juga yang datang hanya untuk murni joget-joget tanpa tujuan mabuk dan flirting sedikit pun.

Sama halnya seperti di Indonesia yang dandan habis-habisan saat kondangan, anak-anak muda Eropa biasanya memanfaatkan momen party untuk berdandan to the next level. Baju-baju mini dipakai untuk menarik lawan jenis ataupun menyesuaikan keadaan klub malam yang biasanya semakin malam, semakin panas dan sesak.

Saya sendiri sebenarnya bukan penikmat lantai dansa dan klub malam, kecuali datang bersama teman-teman terdekat. Lewat dari jam 1 pun, saya biasanya sudah mulai gelisah ingin segera keluar karena suasana yang makin ramai dan tidak kondusif. Sebalnya lagi, kita mesti rela sikut-sikutan, dorong-dorongan, bahkan injak-injakan kaki dengan para pejoget lainnya.

Intinya, hati-hati bicara kata party dengan orang-orang Eropa yang baru kita kenal. Sekali lagi, meskipun party bermakna konotatif, tapi orang-orang yang masih menjadikan party sebagai hobi bisa dipandang rendah. Makanya, banyak anak muda yang memasuki usia 27 tahun sudah mulai mengurangi frekuensi ke klub malam karena merasa terlalu tua party hard like a student.

Tips Menunggangi Air France A380 Kelas Premium Economy ke Shanghai|Fashion Style

Berniat ingin liburan, merayakan ulang tahun, sekalian mengunjungi adik saya di Cina, saya memang sudah memantau tiket Air France tiga bulan sebelum keberangkatan. Selain karena jadwal dan waktu transit yang cukup nyaman, saya juga sebenarnya penasaran ingin mencoba kursi Premium Economy-nya dari Paris atau Shanghai, mengingat lama penerbangan lebih dari 10 jam.

Tahu ingin mengunjungi si adik, kakak saya di Palembang (lagi-lagi) mendukung penuh dengan membelikan tiket pulang pergi Turkish Airlines kelas Ekonomi. Beruntung sudah memegang tiket dua bulan sebelum keberangkatan, saya lega dan petantang-petenteng saja sekalian mengurus visa di Kopenhagen.

Sialnya, satu hari sebelum keberangkatan tiket saya dibatalkan oleh pihak Turkish Airlines gara-gara masalah verifikasi kartu kredit yang dipakai oleh kakak saya. Karena sedang berada di luar kota, beliau sulit sekali dihubungi. Akhirnya mau tidak mau saya beli tiket baru 20 jam sebelum keberangkatan! Untung, harga tiketnya masih terhitung murah dan sama saja seperti tiga bulan lalu.

Maskapai termurah adalah pesawat pulang-pergi naik Air France dan KLM. Ya sudah, langsung saja saya reserving saat itu juga di Economy Class. Lagi-lagi sial, saat test-in online dan ingin memilih kursi, pilihan saya begitu minim. Antara tetap pada pilihan kursi yang diberikan, 92C, yang notabene ada di tengah-tengah, atau membeli kursi baru yang harganya lebih mahal.

Karena tidak minat membeli kursi, saya akhirnya tinggalkan saja pilihan ke random seat itu. Jujur saja, saya yang terbang sendirian ini bukan penikmat bangku tengah. Tapi mau bagaimana lagi, opsi ini berlaku pada penerbangan saya dari Paris ke Shanghai.

1. Rejeki tidak kemana

Saat mengoper bagasi di Kastrup Airport, konter Air France terlihat sangat sepi. Saya dilayani oleh seorang petugas yang dari awal sampai selesai hanya berbicara bahasa Denmark.

"Oke. Ini boarding pass kamu. Silakan ke atas ya lewat jalur Fast Track," katanya sambil mengecek boarding pass saya .

Hah, Fast Track?

"Oh, tunggu tunggu. Bentar, saya baca dulu," ralatnya lagi. "Ah, maaf. Saya tidak melihat ada ketentuannya disini. Berarti mau tidak mau kamu mesti lewat jalur normal pas security border."

"Iya. It's okay.Sama sekali tidak ada masalah."

"Tapi itu koper kamu sudah saya kasih label Priority kok."

Hah, label Priority?

Saya masih bingung tapi mengangguk-angguk saja dengan apa yang dia bicarakan. Saat memegang boarding pass, sekali lagi saya mengecek tempat duduk di semua penerbangan. Oh wait, ada yang berubah! Kursi saya dari Paris menuju Shanghai dialihkan ke 85K. Mata saya menelusuri kolom terakhir boarding pass yang menerangkan kalau saya sudah di-upgrade ke Premium Economy. Pantas!

Yippie!! Rejeki memang tidak akan kemana. I was on cloud nine! Is this my early present?

Setelah mendarat, saya cepat-cepat keluar pesawat karena hanya memiliki waktu transit di Paris sekitar 45 menitan (pesawat dari Kopenhagen di-delay) dan langsung menuju imigrasi. Karena pesawat dari Paris memang terbang larut malam, beruntung sekali tidak ada yang mengantri di immigration border. Petugas imigrasi Paris pun tidak terlalu bawel dan langsung saja mengecap paspor saya.

Saat tiba di gate keberangkatan, ternyata pesawat sudah boarding dan banyak orang yang sudah mulai masuk pesawat. Beruntungnya kelas Premium Economy, selain mendapatkan label Priority untuk koper, penumpang di kelas ini juga mendapat prioritas boarding yang sama seperti First dan Business Class. Sayangnya, belum ada akses gratis ke living room bagi penumpang kelas Premium Economy Air France.

2. On board

Saya baru tahu thru seatguru.Com, kalau pesawat yang akan digunakan dari Paris ke Shanghai malam itu adalah jenis Airbus A380 jumbo double-decker. Kursi saya berada di dek atas berdekatan dengan Business Class dan beberapa kelas Economy di bagian belakang. Sementara di dek bawah adalah deretan First Class dan ratusan kursi kelas Economy lainnya.

Saat menimang ingin memesan tiket Air France tiga bulan lalu, sebenarnya saya sudah mulai mencari tahu seperti apa kabin Premium Economy Air France lewat internet. Kelas Premium Economy berada di kabin kecil di tengah-tengah kelas Bisnis dan Ekonomi. Susunan kursi berdimensi 2-3-2 yang hanya berjumlah five baris.

Kabin antara Business dan Economy Class juga dipisahkan oleh tirai. Tapi karena kabin begitu kecil, suasana privat lebih terasa. Kursi saya pun terlihat lebih nyaman dari kelas Ekonomi, namun tidak bisa dibaringkan sampai 180° seperti kursi Bisnis. Selain lebih besar dan terdapat sandaran kaki, air mineral ukuran kecil juga sudah disediakan di dekat layar monitor. Di sisi kursi juga terdapat fasilitas premium tambahan yang lumayan lengkap seperti headphone, lampu baca, colokan USB, bantal, remote, dan selimut.

Penerbangan dari Paris ke Shanghai malam itu ternyata begitu ramai. Kalau dihitung-hitung, hampir 90% penumpangnya adalah orang Cina yang ingin pulang kampung. Teman duduk saya pun adalah seorang lelaki usia 30 tahunan, muka Cina, tapi sepertinya lahir dan besar di Prancis. Dari ketemu sampai berpisah, saya selalu diajak bicara bahasa Prancis. Thanks to my French lesson! Setidaknya saya tidak bisu-bisu amat hanya menjawab non atau mérci.

3. Goodie bag Air France

Sebelum pesawat lepas landas, seorang pramugara membagikan daftar menu makanan dan amenities kit kepada semua penumpang di kelas Premium Economy. Saya pikir, penumpang di kelas Ekonomi juga ikut kebagian, seperti halnya di Qatar Airways. Tapi saat saya menoleh ke belakang, ternyata pouch lucu berlis merah atau kuning ini hanya dibagikan bagi penumpang di kabin Premium Economy.

Sepertinya Air France baru saja mengganti desain pouch mereka. Terakhir kali saya membaca review seorang penumpang, pouch yang dibagikan justru lebih lucu. Terlepas dari masalah desain, isi pouch Air France juga lumayan lengkap, dari sarung headphone, sikat gigi dan odol, masker mata, penutup telinga, dan kaos kaki panjang berwarna biru tua. Lumayan, bisa jadi suvenir untuk diri sendiri.

4. In-flight leisure

Menurut saya, hiburan di layar reveal Air France cukup lengkap dan menarik selama perjalanan. Bagian yang paling saya suka adalah video saat menerangkan tentang keselamatan di dalam pesawat. Video yang ditayangkan begitu apik dan khas Parisian sekali. Tidak seperti video kaku lainnya, Air France menayangkan 6 version cewek sebagai pemandu keselamatan.

Lucunya, fashion yang digunakan pun sungguh khas Parisian yang hobi memakai kaos garis-garis, rok A-line selutut, flat shoes, dan lipstik merah. Tingkah para model ini pun sungguh centil dan sangat memanjakan mata. Saya tidak melihat ada satu penumpang pun yang tidak terkesima menyimak video keselamatan sampai akhir.

Karena pesawat memang berangkat tengah malam, mata saya sudah tidak kuat menyimak hiburan yang ada di layar monitor. Setelah selesai menyikat gigi dan kembali ke kursi, akhirnya saya pasang headphone dan menyetel lagu Bruno Mars keras-keras sekalian menemani saya terlelap.

Five. Makanan

Sesaat setelah dibagikan menu makanan sebelum pesawat lepas landas, saya sudah tahu makanan apa yang akan saya pesan. Karena berangkat ke Shanghai, menu makanan pun terbagi jadi dua gaya, Chinese dan French fashion. Walaupun menu makanan Chinese fashion lebih menarik, tapi terpaksa saya urungkan karena menyajikan daging babi. Hiks.

Untuk makan malam kali ini, pilihan saya akhirnya jatuh ke masakan ala Prancis-Timur Tengah, nasi kari ayam. Lidah saya sebenarnya tidak terlalu rewel di dalam pesawat. Dinner kali ini lumayan enak, kecuali kuenya. Karena cukup lapar, saya menghabiskan nasi kari ayam dan side dish-nya yang menurut saya juara, salad udang. Sebagai tambahan, saya memesan white wine. Sementara teman sebangku saya memesan red wine yang pas dengan pork rice-nya.

Keesokan harinya, sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Shanghai, kami kembali disajikan menu makan pagi. Menu hari itu adalah omelette dan creamy spinach dengan tambahan roti, kopi, atau teh.

Overall:

Saya termasuk beruntung bisa di-upgrade ke kursi Premium Economy gratis, karena pesawat hari itu memang kebetulan lagi penuh. Meskipun review yang saya baca selalu pro dan kontra, tapi untuk keseluruhan, kelas Premium Economy Air France cukup worth it. Mengingat lama penerbangan yang panjang, saya rasa tidak ada salahnya menambah beberapa Krona demi kenyamanan.

Terlepas dari masalah tambahan biaya, saya cukup bahagia dengan kursi top class mereka. Meskipun, saya tetap tidak bisa tidur nyenyak karena kursi tidak bisa bersandar terlalu rendah. Akhirnya saya mesti gonta-gonti posisi tidur dan jalan-jalan kesana kemari demi melancarkan peredaran darah.

Oh ya, karena terbang dari Kopenhagen, pesawat saya menuju Paris sama sekali tidak ada masalah kecuali di-delay selama 20 menit. Saya ditempatkan di kursi 10D di dekat pintu keluar dan memungkinkan kaki saya mendapatkan banyak space yang longgar.

Karena Air France termasuk salah satu maskapai terbesar di Eropa, mereka juga menyediakan makanan dan minuman free of charge kepada semua penumpang. Dengan waktu tempuh ke Paris yang hanya 1jam 55 menit, saya memilih sandwich vegetarian sebagai bahan kunyahan malam itu.

Friday, June 26, 2020

Tips Sauna Asli Finlandia, Wajib Bugil!|Fashion Style

Kunjungan saya ke Helsinki kali ini sebenarnya tidak lama, hanya 3 hari. Sebelum berpindah kasur ke Tallinn keesokkan harinya, saya harus mencoba sauna asli Finlandia terlebih dahulu.

Tidak banyak yang tahu memang kalau sauna sebenarnya berasal dari Finlandia. Budaya sauna sendiri sudah jadi tradisi orang Finlandia jauh sebelum Masehi. Sampai sekarang, kabarnya sudah ada 3 juta tempat sauna yang tersebar di seluruh Finlandia.

Jangan bayangkan sauna cutting-edge yang sering kita jumpai di pusat kebugaran, pemandian umum dan kolam berenang, ataupun salon. Faktanya, sauna asli Finlandia jauh dari apa yang kita bayangkan selama ini.

Lupakan soal handuk atau baju renang, karena nyatanya tidak boleh ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh selama di ruang sauna. Lupakan juga soal betapa harmoninya sauna dengan aroma lilin ataupun wewangian, karena sauna Finlandia asli tidak ada wangi-wanginya sama sekali.

Aneh mungkin ya bagi kita yang tidak terbiasa. Tapi sebenarnya hal itu dilakukan karena memang ada alasannya, lho. Sauna berfungsi sebagai kesehatan saat pori-pori kulit kita berusaha mengeluarkan racun di dalam tubuh. Proses mengeluarkan racun ini justru tidak maksimal jika tubuh tertutupi oleh kain seperti handuk atau pakaian renang. Selain itu, orang Finlandia juga kadang menggunakan dedaunan birch untuk disebat-sebatkan ke tubuh yang fungsinya untuk membuat kulit lebih halus.

Orang Finlandia yang karakternya sangat tertutup dan jarang bicara, biasanya akan sangat terbuka di ruang sauna. Bagaimana tidak, hanya ada kamu dan mereka di ruangan yang begitu kecil. Mau tidak mau, percakapan pun sering terjadi di antara orang-orang yang tidak saling mengenal ini.

Saat datang ke Helsinki dan meminta rekomendasi ke Jan, seorang kenalan Finlandia , Jan justru menjawab begini: Bagi saya, sauna terbaik itu justru ada dua. Satu, di tempat pribadi. Dua, di tempat teman.

"Yah, saya kan tidak punya keduanya disini," balas saya.

"Too bad kamu datang pas weekend. Saya hanya bisa menggunakan sauna di apartemen ini setiap Rabu."

Daripada menunggu rekomendasi Jan yang sepertinya juga tidak pernah sauna di tempat publik, akhirnya saya cari-cari saja through internet. Karena hari itu sudah jam 6 sore, banyak tempat sauna yang akan tutup jam 7 atau eight malam. Belum lagi saya mesti naik kendaraan umum, siap-siap, dan segala macamnya, sepertinya tidak sempat lagi.

Hingga akhirnya saya menemukan tempat yang tutup hingga jam 9 malam, Sauna Arla namanya. Beruntung sekali, ternyata sauna ini hanya 12 menit jalan kaki dari penginapan saya di Vallila. Harganya juga murah, €12, tempat antara laki-laki dan wanita dipisah, dan terkenal sebagai salah satu sauna tradisional yang ada di Helsinki. Sempurna!

Saat saya datang, beberapa orang lelaki tengah berbalutkan handuk dan duduk-duduk di luar. Biasanya orang-orang ini rehat sejenak dari uap panas sauna, minum bir, lalu kembali lagi ke ruang sauna.

Seorang bapak di lobi yang sangat kecil menyambut saya ramah dengan aksen Finlandianya yang begitu kental. "Twelve euro, please. Tapi, ada satu hal yang mesti kamu tahu, kami hanya menerima uang tunai."

"That's perfect because I only have cash."

"Kamu punya handuk? Kalau tidak, kamu bisa menyewa disini. Harganya ?2."

Karena kebetulan tidak bawa handuk, akhirnya saya sewa saja di tempat. Sebetulnya saya juga ingin membeli daun birch seharga ?7. Tapi kelihatannya mereka hanya menjual birch yang beku, bukan yang segar.

Saat saya berada di lobi, seorang lelaki lewat dan langsung memberikan komentar positifnya di tempat ini. "This place is so good. You will like it and go out freshly."

Wow, so tempting!

Di tempat ini, ruang sauna wanita berada di lantai bawah sementara lelaki di lantai atas. Di ruangan sauna juga sama sekali tidak boleh berfoto-foto ria karena memang semua orang di dalamnya sedang telanjang. Perlengkapan di tempat ini pun sangat lengkap mulai dari sabun mandi, sampo, hingga pengering rambut.

Ketika saya menaruh barang-barang di loker, seorang ibu dan dua orang anak ceweknya sudah siap-siap ingin pulang. Saya juga bertemu dengan seorang wanita 30an yang sepertinya sudah selesai sauna dan mandi. Karena semua orang sudah selesai, kelihatannya malam itu hanya saya sendirian di ruang sauna.

Saya pun melucuti semua pakaian dan membasuh tubuh terlebih dahulu dengan air dingin. Setelah itu, barulah saya masuk ke ruangan sauna yang ditutupi oleh pintu kayu. Ruangannya berbatu dan tidak terlalu besar. Di samping kanan adalah tungku tinggi dari kayu dan berisi batu-batu panas.

"Tempat duduknya ada 5 tingkat. Kalau kamu baru pertama kali sauna, mungkin jangan dulu ke tingkat yang paling atas, soalnya uap panas akan sangat terasa di bangku itu. Terus, ini ada ember dan gayungnya. Kalau kamu merasa tungkunya mulai kering, kamu bisa menyiramkan air ini ke tungku ya," kata seorang ibu muda yang saya tanyai tentang prosedur sauna.

Ketika pintu ditutup dan ditinggal, saya hanya sendirian di ruangan itu. Kriik.. Krikk.. Saya duduk beralaskan handuk di tingkatan ketiga. Saat tungku yang berisi batu itu mulai kering, saya siram lagi menggunakan air. Temperatur di ruangan sauna kala itu sekitar 120 derajat Celcius.

Selang 15 menit kemudian, saya mulai merasa kepanasan dan keluar sebentar membasuh tubuh dengan air dingin. Karena tubuh kehilangan banyak cairan di ruangan sauna, ada baiknya minum air yang banyak sebelum kembali menguapkan diri.

Satu jam kemudian, setelah mondar-mandir ruang sauna dan kamar mandi, seorang wanita paruh baya datang dan menyapa saya.

"Moi," katanya.

Finally, saya tidak sendirian krik krik di ruang sauna!

"Maaf, tungkunya boleh saya siram air lagi kan?"

"Iya, silakan saja," kata saya.

Syaaas.... Syaaas... Si wanita menyiram air ke tungku dengan begitu kuatnya hingga banyak uap pun keluar. Mendadak, ruangan menjadi sangat panas hingga membuat saya harus berpindah setingkat ke bangku bawah.

"Kalau kamu kepanasan, pindah bangku saja ya. Soalnya saya mau tiduran di bangku paling atas di dekat tungku."

Betul saja, lima menit kemudian, percakapan antara saya dan si wanita pun tercipta. Si wanita cerita kalau Sauna Arla memang jadi favoritnya di Helsinki. Meskipun bisa bersauna di apartemennya, namun karena banyak penghuni apartemen yang mengantri, dia akhirnya memilih untuk pergi ke tempat publik saja.

"Saya biasanya sauna tiga sampai empat kali seminggu. Soalnya bagi saya, sauna itu seperti terapi alami setelah kamu stres dan capek dari kantor. Biasanya pulang-pulang dari sauna, badan saya terasa sangat segar dan enteng," jelasnya.

Setelah terbuka dan cerita tentang pengalaman dia di ruang sauna, 30 menit kemudian akhirnya saya pamit selesai. Badan saya mulai merah-merah seperti udah rebus berada di ruang sauna selama itu.

Setelah keramas dan membasuh diri, saya kembali lagi ke ruangan loker yang ternyata si wanita tadi sedang berbaring di bangku. Cukup mengagetkan! Obrolan saya dan dia pun akhirnya bersambung kembali selagi saya berpakaian. Kali ini temanya tentang makanan khas Finlandia vs makanan Indonesia.

"Oh, wait. Kalau tidak salah tetangga saya juga orang Indonesia, but we never really talk about food," katanya.

Saat sadar jam sudah menunjukkan pukul 8.Forty five malam, akhirnya si wanita juga pamit ke saya.

"I will be back to the room for the last 15 minutes and be ready to go home. It is really nice seeing and talking to you. I hope you have a pleasant day in Helsinki."

"Kiitos samoin!" balas saya.

Tips Ketika Rindu Rumah|Fashion Style

Kapan pulang? dan masih betah disana? adalah dua pertanyaan dominan yang paling sering ditanyakan ke saya dari setibanya di Eropa. Biasanya pertanyaan semacam ini sering sekali dilontarkan oleh teman-teman yang memang masih berkontakan via media sosial. Saya tahu, pertanyaan ini hanya basa-basi terlepas dari apa kabar?.

Bosan sekali ditanya pertanyaan demikian, belum lagi belakangan ini ada satu pertanyaan tambahan, kapan nikah?. HELL OH! Nyaris tiga tahun hijrah ke Eropa, saya kira hanya saya saja yang belum menemukan jodoh di usia segini, tahunya dari 36 mahasiswa seangkatan kuliah dulu, baru 9 orang yang menikah. Ehe.

Jujur saja, saya sangat betah tinggal di Eropa dengan segala kebebasan, kemudahan, kecanggihan, dan kemajuan yang benua ini miliki. Travelling jadi sangat mudah karena letak satu negara ke negara lainnya begitu dekat. Belum lagi, banyak festival dan konser musik internasional yang sering digelar di Eropa. Kalau mau jujur, terlepas dari ukuran ibukota ini, saya lebih kenal Brussels dan Kopenhagen ketimbang Jakarta. I am so scared and feel lost in Jakarta.

Tapiiiii...percayalah, dari banyak kebobrokan, kedangkalan, kesulitan, dan kemacetan yang Indonesia miliki, saya tetap rindu kampung halaman. Bagi saya, home is where my mom is. Jadi selama ibu saya masih tinggal di Palembang, saya tetap akan menyebut kota itu sebagai rumah.

Saya bersyukur sekali bisa hijrah ke Eropa dan mencoba hal-hal baru yang tidak akan pernah bisa saya cicipi di Palembang. Meskipun tercatat sebagai kota terbesar ketujuh di Indonesia, tapi Palembang memang tidak bisa disamakan dengan kota-kota lain di Pulau Jawa. Akses informasi masih lambat, tren kadang ketinggalan, bukan kota seni, tidak banyak tempat hang out, dan sulitnya mencari pekerjaan di industri kreatif selain jadi PNS.

But, man, I miss this city so bad! Saya lahir dan dibesarkan di kota ini. Dari kecil main becek, main layangan, menangkap capung, sampai jadi manusia modern pun saya rasakan di Palembang. Saya rindu dengan orang-orang Palembang yang besar omong dan belagu, tapi sebenarnya rendah diri dan penakut.

Sama seperti kota-kota besar lainnya, orang Palembang juga tetap update dengan tren terbaru dan sering show off. Anak-anak gaul juga sering nongkrong di mall dan kafe. Namun tak jarang, anak-anak gaul juga makannya di pinggir jalan, pecel lele 15 ribuan.

Orang Palembang sekarang sudah konsumtif dan hedonis, tapi bukan berarti mereka tidak tahu dimana tempat belanja murah.We still adore Pasar 16!Banyak mall yang parkirannya selalu penuh saat akhir pekan, tapi mereka juga tahu bahwa Benteng Kuto Besak menyajikan hiburan dan tempat makan lain di sisi Sungai Musi.

Tidak banyak yang bisa dikunjungi di Palembang sebagai tempat wisata, tapi saya rindu dengan tata kotanya belakangan ini yang semakin hijau. Belum lagi Palembang sedang mempersiapkan menjadi tuan rumah SEA Games 2018 dan sedang sibuk membangun LRT demi melancarkan lalu lintas saat banyak tamu internasional datang.

Saya selalu rindu pempek, version, kemplang, martabak Har, dan segala penganan khas Palembang yang mustahil bisa saya dapatkan di Denmark. Pernah suatu kali, saya sampai menangis rindu mencicipi makanan Palembang saat beberapa bulan tiba di Denmark. Salah sekali jika pendatang mengatakan bahwa pempek terenak hanya yang ada di toko-toko besar. Nyatanya, warung pempek dari yang termurah sampai termahal ada di setiap sudut kota Palembang. Semuanya enak!

Lalu kenapa tidak bikin sendiri? Beda rasanya. Bagi saya, pempek terbaik itu yang dibuat dari olahan daging ikan gabus yang lembut. *Alasan! Padahal malas bikin sendiri*

Saya juga rindu pepes ikan Patin pedas buatan nenek dan pindang tulang buatan Uwak Jakyah di Palembang. Rindu sate manis dan sate Padang di dekat rumah. Rindu (sekali!!) mie ayam Bang Ilham di dekat SMA saya dulu. Rindu juga kehidupan masyarakat Tionghoa yang selalu akur dengan masyarakat pribumi di area yang saya tinggali.

Meskipun makanan adalah hal utama yang selalu saya (dan para perantau lain) rindukan, tapi saya juga rindu keluarga dan teman-teman baik di Indonesia. Sulit sekali menemukan teman sebaik teman-teman lama saya di Palembang. Kami memang jarang bicara via media sosial, tapi saya selalu sadar, kadang hanya mereka yang mengerti tentang cita-cita dan perasaan saya terdalam. Because we grew up and fought for dreams together.

Saya selalu kagum dengan kemudahan dan kecanggihan akses transportasi di Eropa. Saya juga selalu sebal dengan kemacetan lalu lintas kota Palembang sekarang ditambah lagi dengan para pengendara yang tidak mau mengalah. Tapi kadang, saya rindu angkot biru, kuning, merah, hijau, yang sempat jadi moda transportasi sejak SMP dulu.

Saya cinta setiap sudut Kopenhagen yang aman, tenteram, dan damai. Tapi saya juga rindu dengan keramahan tetangga, tukang ojek yang saya kenal, dan anjing Tante Jar di Palembang.

Kopenhagen memberikan kemewahan dalam segala hal. Tapi saya juga rindu dengan kesederhanaan orang-orang Palembang dalam hidup. Orang-orang Palembang memang tidak terlalu banyak memiliki harapan tinggi terhadap cita-cita dan masa depan. Pun begitu dengan kebahagiaan. Bagi kami, makan pempek plus cuko atau version panas-panas di warung pinggiran adalah sebuah kebahagiaan di hari itu.

Saya sangat betah hidup di Eropa dan jauh dari kekepoan individu. Tapi saya juga sering kesepian dan sedih jauh dari orang-orang dan makanan tercinta. Selain berkomunikasi dengan keluarga dan teman lewat media sosial, saya juga sering menonton Studio 42 UHF tentang Kelakar Betok khasjoke-joke Palembang yang selalu membuat ngakak.

Dang! I omit Palembang.

Tips Saya Bosan Travelling|Fashion Style

Sekarang saya di Paris lagi untuk ketiga kalinya. Sebelum sampai Paris, badan dan koper saya ini sudah melompat ke beberapa negara seperti Austria, Slovakia, Jerman, dan Islandia. Bayangkan, dalam satu hari, saya bisa ada di 3 negara. Makan pagi di Bratislava, makan siang di Berlin, lalu makan malam di Reykjavík. Saya beruntung? Iya. Saya bahagia? Mungkin. Saya lelah? Iya! Pasti!

Saya tidak pernah tahu kalau saya juga bisa bosan jalan-jalan, apalagi di Eropa. Kelelahan terbesar adalah saat pulang dari Cina awal Juni lalu. Belum penuh mengecas tenaga selama 3 minggu, saya harus terbang lagi ke Barcelona karena tiketnya sudah dibeli dari 6 bulan yang lalu. Tidak sampai seminggu pulang ke Denmark, saya masih mengantongi tiket pesawat ke Vienna.

Kalau ada yang mengatakan saya kaya raya, mungkin mereka salah. Meskipun di tahun 2017 ini saya hampir tiap bulan travelling ke banyak negara, tapi sesungguhnya uang saku perbulan lah yang saya gunakan untuk membiayai ongkos perjalanan. Tidak mau rugi, selama masih tinggal di Eropa, alasan saya. Asal kalian tahu, 80% perjalanan saya di Eropa ini pun, saya lakukan sendiri. Jadi bisa dibayangkan betapa kesepiannya saya kadang.

Puncaknya adalah sekarang, saat saya datang lagi ke Paris. Sebelum ke Paris, saya sempat ganti pesawat dulu di Berlin. Sempat membuncah perasaan ingin cepat-cepat pulang ke Kopenhagen dan berlindung hangat di bawah selimut kamar. Saya tahu, luar negeri tidak diciptakan untuk kenyamanan. Tapi sekali lagi, saya mulai bosan dan hanya ingin cepat pulang. No matter how much you love to travel, if you do it for long or often enough, you will get sick of it.

Perasaan seperti capek sendirian mengangkut koper kesana kemari, naik turun tangga stasiun, hingga mengangkat ke kabin pesawat. Bosan mendengar dengkuran lelah para traveller yang sekamar dengan saya di hostel. Bosan dengan suara loker dan gemerincing kunci yang selalu mengganggu tidur di pagi hari. Lelah mendengar serutan resleting penghuni kamar yang siap packing dan check out. Bosan mencari WiFi yang kadang sekalinya ketemu, kacrutnya bukan main. Belum lagi perasaan kecewa setelah mendapati kamar hostel yang bising karena berdekatan dengan jalan raya, perlengkapan dapur yang tidak lengkap, ataupun toilet yang jorok.

Kesempatan bertemu orang lokal, melihat tempat berarsitektur keren, mencoba makanan setempat, hangout di kafe, bukan lagi hal yang menarik setibanya saya di tempat baru. Padahal, justru itulah momentum berharga yang bisa saya dapatkan saat travelling. Sering kali saya mendapati diri yang hanya ingin berleha-leha di kamar, tidak bicara dan bertemu dengan seorang pun, ataupun hanya menunggu saat pulang.

Back to Paris, I start to hate the locals so bad! Orang-orang lokal yang biasanya selalu saya ingin jumpai, menjadi sangat menyebalkan. Kafe-kafe ala Prancis yang cocok untuk menikmati kopi dan croissant, saya acuhkan begitu saja. Acara kultural seperti nonton kabaret, kunjungan ke museum, atau menemukan hidden gems pun, saya coret habis-habisan dari to-do list. Things start to look the same all over Europe.

Saya tidak mengeluh. Travel burnout atau keadaan dimana para traveller merasa jenuh, muak, dan lelah travelling adalah hal yang lumrah. Travelling itu melelahkan. Packing, unpacking, staying in dorm rooms and hotels, booking flights, planning bus routes, reading maps…it all gets a little bit exhausting. Travellingmenyenangkan di awal-awal, tapi kalau dilakukan secara terus-terusan, kenyamanan saya merasa dirampas dan ingin secara mengecas kembali di tempat, yang disebut "rumah".

Thursday, June 25, 2020

Tips Dinner Sendirian? Siapa Takut!|Fashion Style

Soupa Bistro, Bratislava

Dari kecil hingga kuliah, saya bisa menghitung berapa kali saya terbiasa makan di luar. Saya anaknya memang tidak terlalu suka jajan. Sekalinya makan-makan pun, biasanya bersama teman yang selalu saja available saat diajak ketemuan.

Hijrah ke Denmark dua tahun lalu, saya merasa lebih sering kesepian karena memang jarang sekali menghabiskan waktu dengan teman. Pernah suatu kali, ada pageant seru atau restoran yang pengen saya coba, ternyata tidak terlalu menyenangkan jika datang sendiri.

Kadang kaki ini gatal ingin kesana, ingin kesini, tapi malas karena tidak punya teman jalan. Bosan juga lama-lama sering batal jalan hanya karena tidak ada teman, akhirnya saya paksakan saja datang ke banyak kafe, festival, museum, ataupun restoran sendirian.

Di Eropa menjadi hal yang sangat wajar jika orang-orang datang ke festival ataupun museum sendirian. Tapi untuk dinner solo, hmmm, everything is gonna be awkward!

Daging domba di Kopar Restaurant, Reykjav?Okay

Dulu di Palembang, saya sebenarnya bukan orang yang suka keluar nongkrongin restoran cepat saji hanya untuk mengenyangkan perut. Boleh, sesekali. Tapi entah kenapa sejak tinggal di Denmark, selera saya terhadap makanan berubah. Seorang teman pun pernah mengatakan kalau saya memiliki standar yang cukup tinggi untuk makanan.

Pernah suatu kali, saat saya dan dua orang teman masak mie rebus, si teman saya ini hanya menyeduh mie-nya dengan air panas dan ditambahkan bubuk mie. Sementara saya, harus dimasak di atas kompor, ditambahkan sayuran, telur, daging kepiting, hingga bawang goreng. Untuk semangkuk mie rebus, makanan saya termasuk "mahal".

Perubahan selera makan saya ini akhirnya juga berpengaruh dengan tempat makan yang selalu saya pilih. Sedari kecil, orang tua saya selalu mengatakan kalau makan di luar itu, yang dibeli bukan hanya makanannya, tapi juga atmosfirnya. It's totally okay spending some bucks just for experiencing good food and ambience. Dan inilah saya sekarang, selalu penasaran ingin mencoba fine dining atau tempat makan recommended yang ada di banyak tempat.

F-Hoone, Tallinn

Sayangnya, karena rasa penasaran yang "mahal", lagi-lagi saya kesulitan menemukan teman yang mau diajak mencicipi tasting menu ataupun wine di restoran sekitaran Kopenhagen. Maklum, kantong kami masih pas-pasan. Atau mungkin hanya saya saja yang terlalu boros? ;p

Gara-gara hal inilah, daripada menunggu teman dan mati penasaran, saya beranikan diri mereservasi meja di restoran untuk berdua, lalu datang sendirian. Awkward? Iya, kadang. Tapi sebenarnya saya cuek saja karena orang-orang di restoran sebenarnya tidak terlalu memperhatikan.

Saat liburan di Reykjavík , saya sengaja mereservasi meja di salah satu restoran ternama dan memesan 3-course menu. Restorannya sangat antik dengan kursi-kursi kulit dan meja kayu. Meja di sekeliling saya semuanya penuh oleh pelanggan yang datang bersama pasangan dan teman. Meskipun sempat mati gaya dan sedikit krik krik, tapi saya tahan untuk tidak  mengecek ponsel apalagi sok sibuk dengan internet.

?SterGRO, Kopenhagen

Karena kebiasaan yang sering travelling sendirian , akhirnya saya juga keseringan dinner solo di banyak tempat. Tidak jarang saya mendapati orang-orang yang terlihat takjub dan aneh karena saya makan sendirian. Saat di Tallinn, saya paksakan datang ke sebuah tempat makan oke hanya karena tempat tersebut sangat direkomendasikan. Tahu saya datang sendiri, mereka sengaja memisahkan meja hanya untuk saya. Sialnya, karena posisi meja tepat di tengah ruangan, keberadaan saya sangat sukses menyita perhatian banyak pelanggan yang saat itu kebanyakan datang dengan pasangan. Hiks. Miris.

Meskipun sendirian, saat datang pun biasanya saya tidak tanggung-tanggung, sengaja memakai dress dan pakaian rapih hanya untuk makan di restoran oke. Kadang kala, si pelayan menyangka saya sedang menunggu seseorang. But, no, I am not.

"It is really nice seeing you coming alone. Where did you know this place?" tanya seorang pelanggan di hadapan saya. Restoran kecil tersebut memang di-set di sebuah meja dan bangku panjang hanya untuk menampung 24 orang. Kalau dilihat kanan kiri, memang hanya saya satu-satunya orang yang datang sendirian kesana. Lucunya, sudah sendirian, saya datang paling telat. Tapi tidak jadi masalah karena memang dasarnya saya sudah penasaran mencicipi makanan di tempat tersebut.

Dinner solo memang jadi momen yang sangat tidak menyenangkan, apalagi kalau saya sedang travelling. Tujuan punya teman makan itu, agar kita bisa menilai makanan yang dipesan sekalian cerita-cerita seru. Sungguh, dinner solo bisa sangat kesepian dan awkward. Tapi sekali lagi, daripada saya hanya menunggu kehadiran seseorang atau teman yang tidak satu selera, it's time for being a loner!