Showing posts with label review. Show all posts
Showing posts with label review. Show all posts

Wednesday, July 8, 2020

Tips Mewahnya Penerbangan Internasional Kelas Bisnis Singapore Airlines Rute Kopenhagen - Singapura - Jakarta|Fashion Style

Bermula dari niat yang belum ingin pulang kampung ke Indonesia, tiba-tiba saya dikagetkan dengan kiriman tiket pesawat dari kakak yang ada di Palembang. Sebelumnya memang beliau sudah tahu kalau saya masih beralasan tidak punya uang untuk pulang. Namun karena rasa sayangnya (uhukk), sebulan sebelum keberangkatan saya sudah dikirimi tiket pesawat yang tidak tanggung-tanggung, kelas bisnis!

Maskapai yang dipilihnya pun bukan maskapai sembarangan, Singapore Airlines. Saya yang kere ini, harus kaget ketika tahu berapa harga tiket pergi yang harus beliau bayar melalui tagihan kartu kreditnya. Perbedaannya bisa sampai four kali lipat dari tiket kelas ekonomi.

Jangan Lupa Verifikasi!

Penerbangan extremely panjang kali ini akan dimulai dari Kopenhagen ke Singapura selama 12 jam, baru lanjut ke Jakarta sekitar 1 jam forty five menit. Sayangnya, ada peringatan dari Singapore Airlines yang menyatakan saya harus memverifikasi dulu kartu kredit yang digunakan saat membayar di kantor SIA terdekat.

Sebenarnya verifikasi kartu kredit tidak berlaku apabila pemesanan dilakukan di website travel agent seperti Nusatrip atau Traveloka. Namun beberapa maskapai penerbangan besar memang menerapkan verifikasi kartu kredit terlebih dahulu, jika pemesanan dilakukan lewat website resmi mereka. Verifikasi ini bertujuan untuk menghalangi penipuan data kartu kredit. Gagal menunjukkan kartu kredit saat check-in atau belum menyelesaikan proses verifikasi, seseorang bisa gagal diterbangkan atau harus membeli tiket baru.

Di Palembang tidak ada kantor Singapore Airlines sehingga kakak saya tidak bisa melakukan proses verifikasi. Akhirnya saya mencoba menghubungi pihak SIA yang ada di Kopenhagen via e-mail untuk menerangkan masalah ini. Setelah beberapa kali bertukaran electronic mail, saya akhirnya menyerah dan mengatakan ke kakak untuk membelikan tiket baru di kelas ekonomi saja karena proses verifikasi memang wajib dilakukan.

Lucunya, tiga hari sebelum keberangkatan, pihak SIA mengirimkan e mail lagi ke saya dan mengingatkan untuk (lagi-lagi) jangan lupa verifikasi kartu kredit sebelum take a look at-in. Setelah proses berkirim email yang cukup panjang, akhirnya ada solusi untuk masalah saya ini. Pihak SIA mengatakan, saya tetap bisa menggunakan tiket kelas bisnis asalkan menerangkan ke pihak konter check-in untuk mengisi formulir surat kuasa dan menyertakan information kartu kredit atau kartu debit saya sebagai jaminan.

Rejeki di Kelas Bisnis

Karena tidak ingin mendapatkan masalah soal kartu kredit di konter check-in, kakak saya lebih menganjurkan untuk menggunakan tiket ekonomi saja. Sebenarnya saya juga tidak terlalu berharap lagi naik penerbangan kelas bisnis, tapi iseng-iseng double check-in di kelas bisnis dan ekonomi via online.

Tiba di konter check-in, ternyata ada masalah karena saya ketahuan check-in dua kali. Karena saat itu pihak representatif Singapore Airlines sedang melayani tiga penumpang lain yang juga ada masalah di kelas bisnis, akhirnya saya dibuatkan boarding pass di kelas ekonomi oleh petugas konter check-in. Namun karena pihak konter juga menyayangkan tiket bisnis saya, akhirnya saya disuruh menunggu pihak representatif selesai menangani penumpang lain, lalu melihat apakah tiket saya bisa di-upgrade.

Saya juga sebenarnya sudah benar-benar menyerah di kelas ekonomi. Terlebih lagi sudah tahu kalau Singapore Airlines adalah salah satu maskapai yang sangat strict dan jarang bisa meng-upgrade penumpang tanpa ada alasan tertentu. Tapi tetap saja, karena penasaran dan ingin tahu kelanjutan tiket kelas bisnis yang sudah dipesan, saya sabar menunggu.

Satu jam kemudian, di last minute penutupan konter check-in, akhirnya saya berhasil bicara dengan pihak representatif SIA dan menerangkan soal kartu kredit ini. Di menit-menit terakhir pun, mereka sigap membantu saya mengisi formulir surat kuasa dan tetap mengusahakan saya duduk di bangku kelas bisnis. Boarding pass yang semula kelas ekonomi, berganti menjadi boarding pass berlabel biru milik penumpang kelas bisnis. Benar-benar pengalaman seumur hidup.

"Thank to your brother from me," kata pihak representatif SIA konter gate ramah.

Saat ingin masuk pesawat dan menunjukkan boarding pass berlabel biru, lagi-lagi saya pun disambut ramah oleh petugas konter check-in yang tadinya ikut melayani saya, "oh, so you have changed your mind? I hope you have a good flight."

Catatan:

Verifikasi kartu kredit sebenarnya tidak berlaku di semua maskapai dan semua kelas penerbangan. Kakak saya membelikan tiket kelas ekonomi melalui website Singapore Airlines langsung, namun tidak ada masalah di konter check-in. Verifikasi kartu kredit hanya berlaku (maskapai manapun) apabila ada peringatan di e-tiket yang menyatakan penumpang harus menunjukkan atau memverifikasi kartu kredit yang dipakai saat memesan tiket. Kalau memang diwajibkan, proses verifikasi juga tidak harus datang langsung ke kantor maskapai seperti SIA, tapi bisa melalui websitenya langsung (Qatar Airways), atau mengirimkan information diri, surat kuasa, dan experiment kartu fisik pemilik kartu kredit. Info selengkapnya bisa ditanyakan terlebih dahulu ke maskapai penerbangan atau memperhatikan syarat di internet site resmi mereka.

Privasi dan Kursi yang Nyaman

Masuk ke kabin kelas bisnis, saya disambut ramah oleh pramugara dan pramugari yang semuanya berparas Asia. Mereka tidak berhenti tersenyum sambil menawarkan minuman selagi menunggu pesawat berangkat. Saya pun ditanya ingin minum apa setelah pesawat lepas landas. Karena baru pertama kali naik penerbangan internasional kelas bisnis, saya juga bingung ingin minum apa.

"Nothing special," kata saya. Melihat wajah saya yang kebingungan, pramugaranya seperti kurang puas mendengar jawaban saya. Ia pun menawarkan cocktail, mocktail, atau minuman alhokol lainnya. "Aha! Cocktail!" jawab saya yang diikuti senyuman puas si pramugara.

Sebelum pesawat lepas landas, saya juga sempat berkiriman foto dengan si kakak dan mengucapkan ribuan terima kasih. Beliau juga menghubungi saya dan terus-terusan menanyakan apakah pesawatnya sudah terbang atau belum untuk mengecek keberadaan Wi-Fi on Board yang sayangnya tidak ada. Sepertinya beliau juga ikut bahagia karena saya akhirnya bisa menggunakan tiket yang dia kirimkan.

Kursi di penerbangan kelas bisnis Singapore Airlines benar-benar besaaaar dan nyaman. Kursi yang berbalutkan kulit top class yang empuk ini, bisa disulap jadi kasur untuk tidur. Selimut yang diberikan pun lebih besar dan hangat. Segala kenyamanan seperti ini memang pas dipadukan dengan penerbangan yang extremely lama dari Kopenhagen ke Singapura yang memakan waktu 12 jam.

Sialnya, saya tidak bisa tidur karena jam tubuh lebih mengikuti waktu Kopenhagen. Jadinya saya hanya bisa membalikkan badan kesana kemari saja di atas pesawat. Belum lagi hiburan KrisWorld yang outstanding membosankan dibandingkan banyaknya pilihan movie dan lagu di pesawat Timur Tengah semisal Emirates atau Qatar Airways.

Berbeda dengan penerbangan pendek dari Singapura menuju Jakarta, pesawat yang digunakan agak kecil. Walaupun sama-sama nyaman dan mendapatkan pelayanan spesial, biasanya penumpang juga bisa memilih makanan tertentu sesuai food regimen. Senyum manis ramah pun berkali-kali dihadiahi pramugara atau pramugari yang datang ke kursi kita. Sungguh berbeda dengan pramugara atau pramugari yang melayani kelas ekonomi. Biasanya senyum mereka sedikit pudar dikarenakan kelelahan melayani banyaknya penumpang.

Makan lagi, lagi, dan lagi

Di penerbangan panjang internasional kelas bisnis, biasanya makanan akan ditawarkan secara eksklusif pula. Melihat rentetan menu Singapore Airlines, makanan yang ditawarkan bisa empat hingga lima sajian, apalagi penerbangan tersebut melewati waktu makan malam. Sayangnya, saya tidak mengambil foto makanan satu pun di atas pesawat.

Bedanya dengan penerbangan kelas ekonomi yang memakai peralatan plastik, meja di kelas bisnis akan ditutupi taplak putih terlebih dahulu sebelum diisi oleh piring-piring porselen yang anggun. Beruntungnya saya bisa mencicipi Foie Gras atau hati angsa yang mahal itu. Tapi sayangnya perut sudah kekenyangan di bagian pencuci mulut hingga harus menolak cheese cake danchoco cake, hingga memilih buah-buahan saja.

Walaupun makanan utama sudah lewat, tapi Singapore Airlines juga menyediakan snack ringan seperti biskuit hingga snack berat seperti mie. Melihat penumpang yang masih sadar di jam-jam tidur, biasanya pramugara atau pramugari yang lewat pun tidak berhenti bertanya apakah ada minuman atau makanan yang ingin dipesan. Kalau sudah kekenyangan dan tidak ingin diganggu, aktifkan saja tombol "Do Not Disturb".

Lounge Silver Kris di Changi Airport

Tidak bisa menikmati SAS Lounge di Kopenhagen, saya akhirnya hanya menghabiskan waktu di front room Changi Airport. Transit saya di Singapura kali ini 6 jam sebelum terbang lagi ke Jakarta. Niat awal yang inginnya jalan-jalan dulu di Singapura, harus terhenti ketika tubuh mulai kelelahan dengan penerbangan panjang tanpa tidur. Saya pun tidak sempat foto-foto dan menyempatkan diri tidur sejenak di sofa-couch empuk yang ada di lounge.

Melihat makanan gratis di front room yang semuanya menu-menu Asia, saya belum juga ingin makan apa-apa selain mengambil air mineral. Rasa mengantuk sepertinya lebih besar dari rasa kelaparan. Hingga three jam sebelum keberangkatan dan tetap saja tidak bisa tidur, akhirnya saya niatkan untuk mengambil beberapa makanan mumpung living room lagi sepi.

Lounge Silver Kris sendiri sedikit temaram dengan couch-sofa empuk yang memenuhi isi ruangan. Colokan listrik biasanya berada di bagian dekat dengan dinding. Toiletnya notable bersih dan besar. Karena biasa dijadikan tempat transit, tersedia pula kamar mandi lengkap dengan segala peralatan mandi dan handuk.

Special observe to my brother:

Septian, bunch of thanks! Akhirnya adik mu berhasil mencoret satu lagi daftarTo-do-list-before-dying: naik penerbangan internasional kelas bisnis--gratis!

Saturday, July 4, 2020

Tips Terbang Layaknya Bos dengan WOW Air|Fashion Style

Dua minggu sebelum ide ke Islandia muncul, Louise mengabarkan kalau keluarga mereka akan menghadiri ulang tahun seorang keponakan di Jumat malam. Artinya, mereka tidak akan ada di rumah setelah jam 5 sore dan tentunya saya bisa liburan. Hore!

Sejak saat itu, otak saya sudah mulai berpikir, "ayo kemana lagi ini, Nin? Kapan lagi bisa liburan dari Jumat? Menghabiskan akhir pekan selalu di Kopenhagen rasanya terlalu membosankan. Ujung-ujungnya juga nongkrong di bar, curhat soal cowok Denmark, atau mengeluh soal repetisi yang selalu dilakukan di Sabtu malam. Aduh, begitu saja terus!"

Iseng-iseng saya mengecek beberapa tiket keberangkatan termurah ke beberapa negara di akhir pekan. Jerman? No. Lithuania (lagi)? No. UK? Kan pake visa.Scrolling.. scrolling.. scrolling! Akhirnya saya putuskan menuju Reykjavík, ibukota Islandia, sebagai tujuan weekend getaway.

Hanya ada dua maskapai penerbangan dengan waktu terbang tercepat menuju Reykjav?Ok dari Kopenhagen, WOW Air dan IcelandAir. Harga tiket pulang pergi WOW Air saat itu 1058DKK ( sekitar one hundred twenty,78GBP atau ?142). Mahal gila! Emang!!

IcelandAir jangan ditanya. Karena ini maskapai kebanggaannya orang Islandia, harga yang dipatok pun dua kali lipat lebih mahal. Mana lagi saya booking tiketnya mepet begini. Skip!

Meskipun WOW Air adalah low-cost carrier asal Islandia, tapi maskapai ini juga mempertimbangkan sisi kenyamanan penumpang. Saya cukup tertarik dengan pilihan kursi XXL dan XL yang ditawarkan saat ingin membeli tiket lewat website mereka. Lucunya, kursi XXL ditawarkan dengan tagline "Fly like a boss. Extra extra legroom!" seperti oase bagi pemilik kaki jenjang dan pecandu Kelas Bisnis di low-cost carrier.

Sebenarnya badan saya tidak terlalu tinggi, kaki saya juga tidak jenjang, jadi pilihan kursi biasa memang tidak ada masalah. Tapi karena saya ini oon penasaran ingin mencicipi si kursi XXL, akhirnya saya belilah dua kursi XXL di bagian depan untuk pulang pergi. Harga yang ditawarkan untuk kursi ukuran XXL senilai 22,99 GBP (203 DKK atau €27).

Alasan saya membeli kursi ini, karena saya yakin saya butuh tidur. Apalagi pesawat kembali ke Kopenhagen sangat pagi dan saya yakin sekali akan begadang seharian. Tiga jam di atas pesawat, lumayan juga kan dimanfaatkan untuk tidur. I don't need entertainment after all.

Oh ya, karena ini maskapai low-cost carrier, pertimbangkan juga tas yang akan dibawa. Petugas bandara benar-benar akan mengecek penumpang yang tasnya terlalu besar dan tidak muat di boks pengukuran. Normalnya, setiap penumpang boleh membawa satu tas tangan dan tas kabin berukuran 40 sentimeteran.

Kalau ingin membawa ransel 40L ataupun koper ukuran 50 sentimeteran, beli saja tas kabin ekstra seharga 15,ninety nine GBP (sekitar one hundred forty DKK atau ?19). Karena saya hanya liburan akhir pekan, saya hanya menjinjing tas tangan yang biasa dipakai ke sekolah.

Akhirnya, waktu liburan saya tiba! Jam setengah 11 pagi saya sudah siap di bandara Kopenhagen. Tidak perlu repot menyiapkan print out tiket, karena WOW Air memberikan kemudahan bagi penumpang saat boarding. Selain bisa menggunakan boarding pass yang diunduh via email, penumpang juga bisa mencetak boarding pass langsung di bandara.

Dari Kopenhagen, saya sempat dibuat kecewa karena pesawatnya tidak memiliki kursi XL maupun XXL! Pesawat yang digunakan kali ini ternyata versi Airbus A320 yang hanya memiliki 174 kursi standar. Aaarrgghh!! Buang-buang duit kan?! Saya juga sudah komplain ke WOW Air perihal ini, tapi tetap saja customer service mereka seperti kesulitan memberikan jawaban memuaskan. Duh.

Saat penerbangan pulang dari Reykjavík barulah saya bisa menikmati kursi XXL di bagian depan. Finally!

Benar saja, you'll get what you pay. Kursi 2D yang saya pilih benar-benar luas dan nyaman untuk memanjangkan kaki. Dari review yang saya baca, kursi terbaik di WOW Air memang bagian 2DEF. Meskipun kursi XXL tidak bisa ditransformasi jadi tempat tidur, namun kaki saya sangat lapang dipanjangkan kesana kemari. Lega.

Selain kenyamanan ekstra, saya juga tidak berhenti mengagumi paras wanita Islandia dari para pramugari WOW Air. Walaupun dari bentuk tubuh tidak selangsing pramugari Asia (ada yang sedikit over dan tidak terlalu tinggi lho!), namun mata biru dan rambut blonde mereka sukses menyita perhatian saya. Saat ketahuan diambil fotonya pun, seorang pramugari hanya tersenyum genit dan ramah. Hehe.

Selain membeli kursi dan ekstra bagasi kabin, WOW Air juga menawarkan beberapa tur di area Reykjavík lewat website mereka. Pilihan lainnya, kita juga bisa mereservasi tiket bus pulang pergi dari/ke bandara Keflavik. They pack all the comfortness in one click.

Tiket pesawat ke Reykjav?K lewat Kopenhagen yang saya beli memang tidaklah murah. Belum lagi ada embel-embel ingin mencicipi kursi terbaik mereka. Namun, tidak ada salahnya mereservasi tiket jauh-jauh hari jika memang niat ke Islandia.

Pengalaman saya sejauh ini, pesawat mereka sangat nyaman meskipun hanya menempati kursi standar. Tidak seperti RyanAir yang sedikit sempit dan kusam, WOW Air sangat bersih dan luas. Saat take off dan mendarat pun dilakukan dengan mulus. They promise you that WOW feeling!

Saturday, June 27, 2020

Tips Menunggangi Air France A380 Kelas Premium Economy ke Shanghai|Fashion Style

Berniat ingin liburan, merayakan ulang tahun, sekalian mengunjungi adik saya di Cina, saya memang sudah memantau tiket Air France tiga bulan sebelum keberangkatan. Selain karena jadwal dan waktu transit yang cukup nyaman, saya juga sebenarnya penasaran ingin mencoba kursi Premium Economy-nya dari Paris atau Shanghai, mengingat lama penerbangan lebih dari 10 jam.

Tahu ingin mengunjungi si adik, kakak saya di Palembang (lagi-lagi) mendukung penuh dengan membelikan tiket pulang pergi Turkish Airlines kelas Ekonomi. Beruntung sudah memegang tiket dua bulan sebelum keberangkatan, saya lega dan petantang-petenteng saja sekalian mengurus visa di Kopenhagen.

Sialnya, satu hari sebelum keberangkatan tiket saya dibatalkan oleh pihak Turkish Airlines gara-gara masalah verifikasi kartu kredit yang dipakai oleh kakak saya. Karena sedang berada di luar kota, beliau sulit sekali dihubungi. Akhirnya mau tidak mau saya beli tiket baru 20 jam sebelum keberangkatan! Untung, harga tiketnya masih terhitung murah dan sama saja seperti tiga bulan lalu.

Maskapai termurah adalah pesawat pulang-pergi naik Air France dan KLM. Ya sudah, langsung saja saya reserving saat itu juga di Economy Class. Lagi-lagi sial, saat test-in online dan ingin memilih kursi, pilihan saya begitu minim. Antara tetap pada pilihan kursi yang diberikan, 92C, yang notabene ada di tengah-tengah, atau membeli kursi baru yang harganya lebih mahal.

Karena tidak minat membeli kursi, saya akhirnya tinggalkan saja pilihan ke random seat itu. Jujur saja, saya yang terbang sendirian ini bukan penikmat bangku tengah. Tapi mau bagaimana lagi, opsi ini berlaku pada penerbangan saya dari Paris ke Shanghai.

1. Rejeki tidak kemana

Saat mengoper bagasi di Kastrup Airport, konter Air France terlihat sangat sepi. Saya dilayani oleh seorang petugas yang dari awal sampai selesai hanya berbicara bahasa Denmark.

"Oke. Ini boarding pass kamu. Silakan ke atas ya lewat jalur Fast Track," katanya sambil mengecek boarding pass saya .

Hah, Fast Track?

"Oh, tunggu tunggu. Bentar, saya baca dulu," ralatnya lagi. "Ah, maaf. Saya tidak melihat ada ketentuannya disini. Berarti mau tidak mau kamu mesti lewat jalur normal pas security border."

"Iya. It's okay.Sama sekali tidak ada masalah."

"Tapi itu koper kamu sudah saya kasih label Priority kok."

Hah, label Priority?

Saya masih bingung tapi mengangguk-angguk saja dengan apa yang dia bicarakan. Saat memegang boarding pass, sekali lagi saya mengecek tempat duduk di semua penerbangan. Oh wait, ada yang berubah! Kursi saya dari Paris menuju Shanghai dialihkan ke 85K. Mata saya menelusuri kolom terakhir boarding pass yang menerangkan kalau saya sudah di-upgrade ke Premium Economy. Pantas!

Yippie!! Rejeki memang tidak akan kemana. I was on cloud nine! Is this my early present?

Setelah mendarat, saya cepat-cepat keluar pesawat karena hanya memiliki waktu transit di Paris sekitar 45 menitan (pesawat dari Kopenhagen di-delay) dan langsung menuju imigrasi. Karena pesawat dari Paris memang terbang larut malam, beruntung sekali tidak ada yang mengantri di immigration border. Petugas imigrasi Paris pun tidak terlalu bawel dan langsung saja mengecap paspor saya.

Saat tiba di gate keberangkatan, ternyata pesawat sudah boarding dan banyak orang yang sudah mulai masuk pesawat. Beruntungnya kelas Premium Economy, selain mendapatkan label Priority untuk koper, penumpang di kelas ini juga mendapat prioritas boarding yang sama seperti First dan Business Class. Sayangnya, belum ada akses gratis ke living room bagi penumpang kelas Premium Economy Air France.

2. On board

Saya baru tahu thru seatguru.Com, kalau pesawat yang akan digunakan dari Paris ke Shanghai malam itu adalah jenis Airbus A380 jumbo double-decker. Kursi saya berada di dek atas berdekatan dengan Business Class dan beberapa kelas Economy di bagian belakang. Sementara di dek bawah adalah deretan First Class dan ratusan kursi kelas Economy lainnya.

Saat menimang ingin memesan tiket Air France tiga bulan lalu, sebenarnya saya sudah mulai mencari tahu seperti apa kabin Premium Economy Air France lewat internet. Kelas Premium Economy berada di kabin kecil di tengah-tengah kelas Bisnis dan Ekonomi. Susunan kursi berdimensi 2-3-2 yang hanya berjumlah five baris.

Kabin antara Business dan Economy Class juga dipisahkan oleh tirai. Tapi karena kabin begitu kecil, suasana privat lebih terasa. Kursi saya pun terlihat lebih nyaman dari kelas Ekonomi, namun tidak bisa dibaringkan sampai 180° seperti kursi Bisnis. Selain lebih besar dan terdapat sandaran kaki, air mineral ukuran kecil juga sudah disediakan di dekat layar monitor. Di sisi kursi juga terdapat fasilitas premium tambahan yang lumayan lengkap seperti headphone, lampu baca, colokan USB, bantal, remote, dan selimut.

Penerbangan dari Paris ke Shanghai malam itu ternyata begitu ramai. Kalau dihitung-hitung, hampir 90% penumpangnya adalah orang Cina yang ingin pulang kampung. Teman duduk saya pun adalah seorang lelaki usia 30 tahunan, muka Cina, tapi sepertinya lahir dan besar di Prancis. Dari ketemu sampai berpisah, saya selalu diajak bicara bahasa Prancis. Thanks to my French lesson! Setidaknya saya tidak bisu-bisu amat hanya menjawab non atau mérci.

3. Goodie bag Air France

Sebelum pesawat lepas landas, seorang pramugara membagikan daftar menu makanan dan amenities kit kepada semua penumpang di kelas Premium Economy. Saya pikir, penumpang di kelas Ekonomi juga ikut kebagian, seperti halnya di Qatar Airways. Tapi saat saya menoleh ke belakang, ternyata pouch lucu berlis merah atau kuning ini hanya dibagikan bagi penumpang di kabin Premium Economy.

Sepertinya Air France baru saja mengganti desain pouch mereka. Terakhir kali saya membaca review seorang penumpang, pouch yang dibagikan justru lebih lucu. Terlepas dari masalah desain, isi pouch Air France juga lumayan lengkap, dari sarung headphone, sikat gigi dan odol, masker mata, penutup telinga, dan kaos kaki panjang berwarna biru tua. Lumayan, bisa jadi suvenir untuk diri sendiri.

4. In-flight leisure

Menurut saya, hiburan di layar reveal Air France cukup lengkap dan menarik selama perjalanan. Bagian yang paling saya suka adalah video saat menerangkan tentang keselamatan di dalam pesawat. Video yang ditayangkan begitu apik dan khas Parisian sekali. Tidak seperti video kaku lainnya, Air France menayangkan 6 version cewek sebagai pemandu keselamatan.

Lucunya, fashion yang digunakan pun sungguh khas Parisian yang hobi memakai kaos garis-garis, rok A-line selutut, flat shoes, dan lipstik merah. Tingkah para model ini pun sungguh centil dan sangat memanjakan mata. Saya tidak melihat ada satu penumpang pun yang tidak terkesima menyimak video keselamatan sampai akhir.

Karena pesawat memang berangkat tengah malam, mata saya sudah tidak kuat menyimak hiburan yang ada di layar monitor. Setelah selesai menyikat gigi dan kembali ke kursi, akhirnya saya pasang headphone dan menyetel lagu Bruno Mars keras-keras sekalian menemani saya terlelap.

Five. Makanan

Sesaat setelah dibagikan menu makanan sebelum pesawat lepas landas, saya sudah tahu makanan apa yang akan saya pesan. Karena berangkat ke Shanghai, menu makanan pun terbagi jadi dua gaya, Chinese dan French fashion. Walaupun menu makanan Chinese fashion lebih menarik, tapi terpaksa saya urungkan karena menyajikan daging babi. Hiks.

Untuk makan malam kali ini, pilihan saya akhirnya jatuh ke masakan ala Prancis-Timur Tengah, nasi kari ayam. Lidah saya sebenarnya tidak terlalu rewel di dalam pesawat. Dinner kali ini lumayan enak, kecuali kuenya. Karena cukup lapar, saya menghabiskan nasi kari ayam dan side dish-nya yang menurut saya juara, salad udang. Sebagai tambahan, saya memesan white wine. Sementara teman sebangku saya memesan red wine yang pas dengan pork rice-nya.

Keesokan harinya, sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Shanghai, kami kembali disajikan menu makan pagi. Menu hari itu adalah omelette dan creamy spinach dengan tambahan roti, kopi, atau teh.

Overall:

Saya termasuk beruntung bisa di-upgrade ke kursi Premium Economy gratis, karena pesawat hari itu memang kebetulan lagi penuh. Meskipun review yang saya baca selalu pro dan kontra, tapi untuk keseluruhan, kelas Premium Economy Air France cukup worth it. Mengingat lama penerbangan yang panjang, saya rasa tidak ada salahnya menambah beberapa Krona demi kenyamanan.

Terlepas dari masalah tambahan biaya, saya cukup bahagia dengan kursi top class mereka. Meskipun, saya tetap tidak bisa tidur nyenyak karena kursi tidak bisa bersandar terlalu rendah. Akhirnya saya mesti gonta-gonti posisi tidur dan jalan-jalan kesana kemari demi melancarkan peredaran darah.

Oh ya, karena terbang dari Kopenhagen, pesawat saya menuju Paris sama sekali tidak ada masalah kecuali di-delay selama 20 menit. Saya ditempatkan di kursi 10D di dekat pintu keluar dan memungkinkan kaki saya mendapatkan banyak space yang longgar.

Karena Air France termasuk salah satu maskapai terbesar di Eropa, mereka juga menyediakan makanan dan minuman free of charge kepada semua penumpang. Dengan waktu tempuh ke Paris yang hanya 1jam 55 menit, saya memilih sandwich vegetarian sebagai bahan kunyahan malam itu.

Monday, June 22, 2020

Tips Pengalaman Terbang dengan Thai Airways Rute Kopenhagen - Bangkok|Fashion Style

Di tahun 2017, Thai Airways dinobatkan sebagai maskapai dengan katering dan kelas Ekonomi terbaik. Bertepatan dengan jadwal kepulangan saya di Indonesia, Brian akhirnya memesankan tiket Thai Airways yang memang saat itu adalah yang paling murah dan paling cepat. Belum pernah naik maskapai asal Thailand ini, akhirnya saya hepi-hepi saya dibelikan tiket tersebut.

Rute penerbangan kali ini akan dilayani dari Kopenhagen ke Jakarta. Tapi berhubung saya tidak terlalu banyak mengambil gambar saat transit di Bangkok, jadinya saya hanya merangkum pengalaman naik Boeing 777-three hundred nonstop selama nyaris eleven jam hingga Bangkok saja. Tapi secara keseluruhan, pengalaman naik penerbangan lanjutan menuju Jakarta, pesawat dan pelayanannya pun sama.

Berat bagasi

Di website tertulis kalau bagasi yang boleh dibawa untuk penumpang kelas ekonomi adalah 30 kg**. Jujur saja, saya tinggal di Denmark sudah 2 tahun. Mana mungkin bisa membawa pulang semua barang ke dalam koper yang hanya bermuatan 30 kg. Belum lagi coat tebal dan boot berat yang harus saya lupakan untuk dibawa pulang. Buku-buku dan banyak peralatan gambar pun mau tidak mau ditinggalkan dulu di rumah Louise.

Di malam sebelum keberangkatan, saya dibantu Adel, teman asal Indonesia, berulang lagi bongkar muat isi koper hanya untuk mendapatkan gambaran angka 30 pas di timbangan. Tidak bisa. Berulang kali juga isi koper saya tetap berujung di angka 36 atau 34 kg. Padahal semua baju sudah saya masukkan ke dalam space maker, namun terpaksa harus dibongkar lagi juga.

Setelah bongkar-timbang-bongkar-timbang lebih dari 10 kali, akhirnya saya harus pasrah dengan timbangan koper yang mantap di angka 32 kg. Seingat saya dulu saat pulang dari Belgia menggunakan Garuda Indonesia, ada kebijakan dari beberapa maskapai yang memperbolehkan kelebihan bagasi maksimum 2 kg dari batas everyday. Ya sudah, saya dengan percaya diri bahwa Thai Airways akan berlaku sama dengan Garuda Indonesia.

Untuk mengakali isi koper check-in yang sudah 32 kg, saya terpaksa harus membawa 3 tas besar ke dalam kabin untuk mengangkut sisa barang yang tidak muat. Bayangkan, saya harus membawa 1 koper kabin ukuran 55L, satu tas backpack ukuran 44L, satu tas tangan berisi laptop, serta tas kecil yang menggantung di pundak ke dalam kabin! Oh my!!

**in step with April 2019, Thai Airways hanya memberikan bagasi 20kg bagi tiket berkode L/V/W. Kecuali untuk tiket yang dipesan sebelum 31/4/2019, ketentuan lama masih berlaku.

Proses take a look at-in

Sehari sebelumnya, saya sudah check-in online via website mereka. Selain check-in, penumpang juga bisa memilih kursi dan makanan khusus maksimum 24 jam sebelum terbang. Karena sudah memilih kursi sebelumnya, saya kosongkan saja request makanan.

Saat menimbang bagasi di konter check-in, petugas konter mengatakan kalau koper saya kelebihan bagasi 2 kg yang artinya sudah overweight. Petugas tersebut juga menawarkan jika saya ingin membayar kelebihan bagasi senilai 50 USD per kilo. Karena sayang duit, saya pun keluar dari konter dan berpikir untuk menaruh 2 kg barang ke tas yang akan dibawa ke kabin.

Brian dan Louise yang saat itu ikut mengantar, sampai heran kenapa saya balik lagi ke belakang padahal urusan koper belum selesai.

"It's overweight 2 kilogram," kata saya.

"Cannot we just pay for it?" tanya Brian.

"No, Brian. It's okay. Saya keluarkan saja isinya."

"No, no, no. I will help you," kata Brian mantap sambil menuju konter check-in kembali.

Meskipun Brian berusaha untuk nego 2 kg ke petugas konter yang ganteng itu, tapi tetap saja akhirnya kelebihan bagasi harus tetap dibayar. Kata si petugas, takutnya akan ada masalah saat di Bangkok menuju Jakarta nanti. Thank you, Brian!

Untung saja, petugas konter hanya sibuk mengawasi koper take a look at-in sehingga tas-tas yang akan saya bawa ke kabin, aman! Bayangkan kalau si petugas ikut memeriksa berapa banyak tas kabin saya, bisa-bisa sama saja membeli tiket baru ini namanya.

In-flight service

Pesawat kali ini menggunakan formasi kursi 3-3-three untuk kelas ekonomi. Tapi karena tidak ingin bersikutan dengan banyak orang, saya memilih kursi nomor 39 di dekat lavatory yang memang dikhususkan untuk 2 orang saja.

Selain katering, tahun ini kursi kelas Ekonomi Thai Airways juga dinobatkan sebagai kursi nomor 3 terbaik di dunia. Badan saya yang tidak terlalu tinggi merasa super comfy karena banyaknya space yang tersedia di kursi berukuran 32" ini.

Meskipun repot di awal karena harus mengangkut koper kecil dan backpack ke atas kabin, tapi karena saya memilih kursi di dekat jendela, jadinya masih banyak ruang tersedia untuk menaruh tas lain. Satu hal lagi yang saya suka, kursi Thai Airways terdapat senderan kaki di depan dan belakang yang sangat berguna untuk merilekskan kaki saat tidur. Walaupun saya memilih kursi paling belakang di kabin tersebut, namun kursi tetap bisa disandarkan maksimal.

Di sisi kursi juga terdapat colokan USB untuk mengecas hape. Selain earplugs, penumpang kelas ekonomi juga mendapatkan selimut dan bantal berwarna ungu khas Thai Airways. Sayangnya, hiburan selama di dalam pesawat tidak terlalu oke. Genre film dan musiknya tidak satu selera dengan saya. Jadi selama perjalanan, saya kebanyakan tidur.

Oh iya, saya cukup amazed dengan jumlah penumpang Thai Airways yang kala itu kebanyakan didominasi pasangan beda negara, ceweknya Thai, lakinya bule. Kebanyakan dari mereka ceweknya cantik dan muda, lalu si laki sudah kelihatan tua. Hmm.. liburan ke rumah mertua? :p

In-flight meal

Karena sedang mengikuti application food regimen vegetarian, saya memang biasanya memesan menu khusus sebelum keberangkatan. Plusnya, makanan tersebut akan diantarkan terlebih dahulu saat kita berada di dalam pesawat. Jadi daripada kelamaan menunggu pramugari membagikan makanan, saya biasanya sudah mulai menyuap makanan duluan.

Untuk penerbangan kali ini, saya memang sengaja tidak memesan makanan karena siapa tahu kursi saya bisa di- upgrade seperti kasusnya Air France dan KLM dulu. Hehe. Gambling sih memang, tapi boleh juga dicoba. Meksipun tidak mendapat upgrade di penerbangan kali ini, tapi saya cukup puas dengan pelayanan di kelas ekonomi.

Menu makan malam ayam kari dengan piring porselen

Sarapan pagi omelet dan sosis sapi

Sialnya, saat proses pembagian makan malam saya malah ketiduran. Bangun-bangun, saya sudah mendapati banyak penumpang yang malah selesai menyantap makanan mereka. Sekitar 15 menit kemudian, saya memencet bel dan bermaksud meminta pramugari membawakan makanan saya.

"Can I get my food?" tanya saya.

Pramugari Thailand ramah itu pun hanya menjawab tanpa memberikan opsi, "maaf, makanan kami hanya tersisa babi."

Waduh!

"Kamu tidak makan babi? Bagaimana kalau mie?"

Saya tersenyum tapi ciut dan ragu.

"Tunggu ya, coba kami periksa dulu."

Sekitar five menit kemudian, si pramugari datang lagi dan memberi kabar gembira kalau masih ada menu ayam kari di pentry. Tanpa babibu, langsung saya iyakan. Ya daripada makan mie.

Transit di Suvarnabhumi

Secara keseluruhan, saya sebenarnya cukup puas dengan pelayanan di kelas ekonomi Thai Airways kali itu. Pramugarinya ramah, muda, dan sigap, kursinya enak, meskipun makanannya...Ya, cukup okelah.

Tapi kerepotan masih terus berlanjut saat transit di Suvarnabhumi. Untuk naik ke raise dan pemeriksaan barang pun, antriannya puaanjang sekali! Saran saya, tidak perlu pakai sepatu aneh-aneh, cukup kets ringan atau ballerina saja. Malas sekali kan harus copot sana sini dulu.

Karena hanya memiliki waktu transit 2 jam, saya tidak sempat keliling bandara dulu. Pun begitu, saya tidak tertarik. Badan saya rasanya pegal-pegal semua membawa banyak tas kabin. Penerbangan pun belum usai, karena saya harus menuju Jakarta dan Palembang untuk rute selanjutnya.

Saya tidak kecewa dengan penerbangan kali ini, namun saya akan berpikir dulu kalau harus naik Thai Airways lagi. Capek di jalan dan transit di bandara itu, lho!

Thursday, June 18, 2020

Tips Review Penerbangan Philippine Airlines Kelas Ekonomi Rute Kuala Lumpur - Shanghai |Fashion Style

Sebelum keberangkatan ke suatu tempat dengan maskapai baru, saya memang selalu rajin research dulu tentang kualitas dan tempat duduk pesawat yang akan saya naiki. Kali ini saya akan kembali ke Cina bersama ibu mengunjungi adik yang sedang studi disana. Karena akan membawa emak-emak jalan, saya memang mencari full board airlines yang cukup nyaman untuk penerbangan cukup jauh.

Pilihan pertama saya kemarin adalah Malaysia Airlines yang terbang dari Jakarta PP hanya 3,5 juta saja per orang. Sialnya, saat akan di-booking, harga promo tersebut sudah naik di atas 6 jutaan. Harganya masih oke sih, tapi karena kali ini gantian saya yang akan membelikan tiket, budget terpaksa harus ditekan maksimal 10 juta untuk dua orang.

Sempat bingung cari rute terbaik, akhirnya pilihan jatuh ke Philippine Airlines setelah melihat harganya hanya 1 juta saja one way dari Kuala Lumpur ke Shanghai, dan transit di Manila selama 11 jam. It was a great deal! Meskipun harus transit di malam hari, namun kesempatan ini akan saya gunakan sekalian bertemu teman Filipina yang sudah lama kenal namun belum pernah ketemu.

Sayangnya, tidak banyak review berbahasa Indonesia tentang maskapai ini selain reputasinya sebagai salah satu maskapai paling berbahaya di dunia. Makanya kali ini saya ingin berbagi pengalaman tentang pengalaman penerbangan kami menggunakan Philippine Airlines.

Proses check-in dan bagasi

Satu hari sebelum keberangkatan, saya mencoba check-in via website mereka namun ternyata gagal. Saat membeli tiket via Traveloka, saya sudah bisa memilih tempat duduk. Namun saat mencoba check-in, tempat duduk yang sudah saya pilih sebelumnya (yang ternyata) di kelas premium economy dipindahkan ke bangku ekonomi. Mungkin karena penerbangan rute Kuala Lumpur - Manila sedang sepi kala itu.

Di Kuala Lumpur, petugas konter membantu saya mencetak dua boarding pass untuk penerbangan lanjutan. Tapi katanya, mereka tidak bisa mencetak boarding pass untuk keberangkatan dari Manila. Jadi kami harus mendatangi transfer desk setibanya di Manila untuk meminta boarding pass.

Philippine Airlines termasuk tidak pelit menyediakan bagasi gratis hingga 30 kg* bagi penerbangan internasional. Karena memang kami hanya transit di Manila, jadi bagasi tidak harus diambil di conveyor karena akan menginap dulu di bandara. Petugas imigrasi pun sangat santai memberikan kami cap keluar airport Manila.

*Untuk tiket yang dipesan pada/setelah 17 Agustus 2018, penumpang kelas Economy Saver/Value/Classic/Flex untuk penerbangan internasional Asia (kecuali Jepang) mendapatkan 25 kg, sementara Premium Economy 30kg

Kursi

Pesawat yang akan digunakan untuk kedua rute menggunakan Airbus 321 yang cukup luas berkonfigurasi 3-3 untuk kelas premium economy dan ekonomi. Lebar kursi kelas ekonomi 30 inchi sementara premium economy 34 inchi.

Benar saja, tidak banyak penumpang yang akan berangkat dari Kuala Lumpur ke Manila sehingga kursi bagian belakang pesawat banyak sekali yang kosong.

Beberapa susunan kursi pesawat kali ini menurut saya sedikit aneh. Tapi beruntung juga karena ibu saya kebetulan dapat kursi 42K di dekat pintu keluar dengan ruang gerak yang luas. Sayangnya kursi 42H dan 42J entah kenapa sempit sekali berbeda dengan deretan kursi di nomor belakang.

Saking sempitnya, bapak-bapak yang berada di samping saya jadi pindah ke kursi di depan kami yang memang kosong dan super luas.

Di rute kedua dari Manila ke Shanghai, pesawat ternyata penuh, jadi saya dan ibu bisa mencicipi kursi premium economy di bagian depan yang super luas untuk kaki. Sayangnya karena pesawat yang kami gunakan kali ini hanya untuk penerbangan pendek, tidak ada in-flight entertainment untuk membunuh kebosanan.

Tapi karena pesawat dari Manila berangkat sangat pagi, tak heran, hampir semua penumpang hanya tertidur pulas saat lampu mulai dipadamkan.

Makanan

Ini juga alasan saya kadang lebih melirik full board ketimbang low cost airlines yang kadang harganya lebih mahal; dapat makanan! Meskipun pergi dengan harga 1 juta saja, kami sudah bisa menikmati bagasi dan makanan gratis.

Karena ibu saya vegetarian, jauh sebelum keberangkatan saya sudah menghubungi pihak Traveloka untuk memintaspecial meal. Lucunya, mereka tidak bisa memesankan menu vegetarian selain VGML (pure vegan) only. Oke, noted, saya iyakan saja dulu.

Saya lalu menghubungi pihak Philippine Airlines di Denpasar—setelah yang di Jakarta tidak mengangkat telpon saya, untuk mengganti menu VGML dengan menu vegetarian lain semisal vegetarian oriental (VOML) atau vegetarian lacto-ovo (VLML). Katanya sih sudah diganti, tapi saat di pesawat, kami berdua masih mendapat menu VGML.

FYI, setelah menelpon, sebenarnya saya mengirim email ke mereka lagi untuk mengganti jika ada menu Low Fat atau Halal Meal. Namun tidak dibalas.

Untuk rute Kuala Lumpur ke Manila, kami sebenarnya cukup menyesal memesan menu vegetarian karena ternyata menu regulernya kelihatan lebih enak. Ada pilihan nasi ikan dan nasi ayam yang terlihat lebih berwarna dan menggugah selera. Sementara menu lunch kami kali itu hanya nasi zukini dan labu yang membuat saya tidak nafsu.

Di rute menuju Shanghai, menu reguler bisa dipilih antara American breakfast berkomposisi babi atau sapi. Makanan vegetarian kami lagi-lagi hambar karena hanya terdiri dari nasi, jamur, dan tahu bumbu merah. Saking hambar tapi lapar, ibu saya menambahkan sambal goreng yang memang sempat dibeli saat di Kuala Lumpur.

Menu VGML Philippine Airlines kurang recommended, sementara menu regulernya terlihat lebih enak dan menarik. Kalau memang tidak ada keterbatasan makan seperti kami, boleh saja menikmati menu reguler mereka. Philippine Airlines tidak menyediakan Moslem Meal (MOML), jadi siap-siap harus menyerah saja dengan pilihan lain.

Service on board

Menurut kami, pramugari Philippine Airlines terlihat sangat cantik dan cute dengan seragam biru tua dan lipstik merah mereka. Saat berada di dalam pesawat pun, kami dilayani dengan ramah dan penuh senyuman.

Pramugari yang melayani kelas ekonomi terlihat muda dan fresh, sementara di kelas bisnis lebih tua dan bersahaja. Beberapa kali pramugari pun menawari penumpang teh, kopi, atau air putih dari depan hingga belakang. Terlihat sekali bahwa selling point maskapai ini adalah servis dan keramahan khas Filipina dari para awak kabin mereka.

Meskipun beberapa pramugari membiarkan rambut pendek mereka tergerai, namun kesan profesional dan rapih masih tetap terlihat. Saya pun kadang tidak berhenti memandangi wajah mereka yang super cute itu.

Terminal 2 Ninoy Aquino International Airport (NAIA)

Selama di Manila, kami tiba dan berangkat di Terminal 2 yang memang dikhususkan untuk penerbangan internasional dan domestik menggunakan Philippine Airlines. Bandara terlihat mulai sibuk saat Subuh dengan banyaknya antrian di tempat makan dan minum setelah melewati immigration border.

Kami tiba di Manila sekitar jam 8 malam dan memang sudah berniat menginap di hotel di dekat bandara saja. Carel, teman online yang sudah saya kenal nyaris 7 tahun lalu, sudah menunggu di pintu kedatangan. Hari itu pertama kali saya bertemu dengan Carel setelah sempat losing contact selama beberapa bulan.

Sebenarnya malam itu Carel tidak bisa menjemput karena sedang berada jauh di luar Manila. Tapi demi pertemuan pertama kami, Carel rela naik bus selama 5 jam menuju bandara. Huhu, terharu.

Tips dari Carel, kalau memang baru pertama kali ke Manila dan bingung dengan sistem taksi disana, sebaiknya unduh aplikasi Grab atau Uber. Supir online dari dua aplikasi tersebut bebas keluar masuk NAIA, sampai disediakan spot khusus untuk menjemput penumpang.

Banyak sekali cerita beredar kalau taksi di bandara sering menipu penumpang asing. Makanya daripada bingung harus naik apa dan kemana, mending pakai Grab atau Uber untuk mengantar ke tempat tujuan.

Kami contohnya, untuk menuju hotel yang hanya berjarak 5 km saja dari bandara, dipatok harga 450 Peso oleh supir taksi. Sementara saat menggunakan Grab, kami hanya membayar 177 Peso saja. Enaknya di Filipina, banyak orang bisa berbahasa Inggris sehingga memudahkan komunikasi dengan para supir online.

KESIMPULAN:

Yes for service, kursi, dan bagasi yang tidak pelit. No for vegetarian meal and customer service. Kalau memang sedang ada promo murah dari Philippine Airlines ke tempat lain, saya tidak segan untuk mencoba maskapai ini lagi.

Sunday, June 14, 2020

Tips Nyalon di Istanbul|Fashion Style

Akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di Turki, negara ke-28 yang berhasil saya singgahi hingga sekarang. Setelah sebelumnya menghabiskan waktu di Cappadocia, saya terbang kembali ke Istanbul dan rencananya akan menghabiskan sisa liburan di kota ini.

Jujur saja, ekspektasi saya terhadap kemegahan Istanbul harus terhempas setelah melihat lautan turis dimana-mana. Oke, oke, saya paham. Istanbul kota terbesar di Turki. Cuaca mulai bagus dan tentu saja orang-orang dari seluruh dunia mulai berdatangan. Summer is also coming earlier!

Tapi sungguh, Barcelona pun kalah. Masuk metro, penuh orang lokal. Masuk bus, berdiri pula. Ingin masuk objek wisata, antrinya sudah membuat malas duluan. Jalan kaki, mesti "macet" karena turis lainnya juga ikut jalan. Turis-turis ini macam-macam; mulai dari nenek-nenek sampai bayi. Tahu kan, nenek-nenek kalau diajak jalan banyak bingungnya. Bayi diajak jalan, ada keretanya. Done, Istanbul!

Daripada absen kemana-mana lalu hanya stay di hostel murahan ini, saya kepikiran ide untuk rileks dan leye-leye sejenak mempercantik diri di salon. Tapi harus yang hairdresser-nya bisa bahasa Inggris tentu saja. Meskipun Turki sudah mengadopsi gaya hidup orang Eropa, tapi sungguh sulit menemukan warga Istanbul yang bisa bahasa Inggris. Ada, para anak muda atau orang yang bekerja di bidang pariwisata. Lainnya, "I don like speak Inglish. You, speak Turks to mi." Amburadul!

Jadi ceritanya, saya memang sudah ingin ganti gaya rambut. Setidaknya, potong rambut sedikitlah. Sampai Norwegia, saya malas melirik salon karena mahalnya minta ampun. Harga gunting rambut untuk cewek paling murah 400 NOK, belum termasuk cuci dan blow.

Di Turki, biaya hidupnya kira-kira setengah dari harga pasaran yang ada di Norwegia. Lumayan juga, ketimbang saya mesti jatuh miskin potong rambut di Oslo.

Browsing sana-sini via internet, ketemu juga Salon Kadir yang banyak mendapatkan review bagus di Trip Advisor. Beberapa blogger juga memuat review sangat baik terhadap salon ini. Plusnya, si pegawai bisa bahasa Inggris! That's what tourists are looking for!

Letak si salon kebetulan di daerah Sultan Ahmed dekat terowongan Cankurtaran, hanya jalan kaki sekitar 11 menit dari hostel saya. Tempatnya sangat mudah ditemukan dan kebetulan memang berdekatan dengan beberapa objek wisata yang sering dikunjungi turis.

Bagian potong rambut untuk perempuan dan laki-laki dipisah. Saat saya datang, seorang owner menyapa dan menanyakan keperluan saya ke salon. Maksud Anda, saya bisa beli batako di salon, begitu?

"Okay, just come in. I will call Sevgi," katanya mempersilakan saya menunggu di ruangan khusus perempuan di belakang.

Salonnya sama saja seperti di Indonesia, simpel. Hanya terdapat 2 kaca dan meja rias. Si mbak hairdresser pun datang dan menyambut saya ramah. Dia menanyakan foto gaya rambut yang ingin saya tiru. No comment, just layered. Si mbak mengangguk dan langsung menyuruh saya duduk di kursi keramas sebelum potong rambut.

Si mbak ini namanya Sevgi, asli Turki, dan sudah belajar memotong rambut sejak usianya 12 tahun. Maklum, Salon Kadir sebenarnya salon keluarga yang skill-nya diturunkan dari sang ayah. Salon yang saya datangi ini pun umurnya sudah 30 tahun dan sekarang dikelola oleh sang kakak. Kabarnya, Salon Kadir akan memperluas cabang mereka hingga Amsterdam dan kota lain di Jerman.

Yang saya salut, meskipun bahasa Inggris Sevgi tidak terlalu fasih, tapi saya menghargai niatnya bercerita dan mengobrol. Potongan rambut saya juga sebenarnya biasa saja; layered panjang. Tapi karena si mbak ini telaten mengeriting rambut seusai digunting, saya merasa penampilan saya saat itu WOW sekali! I love it very much!!

Saya memang sudah lama tidak ke salon karena sering kecewa. Ada yang kepanjanganlah, kependekanlah, tidak sesuai bentuk muka lah. Makanya sekali ini saya merasa, amazing! Puas sekali!

Harganya juga cukup terjangkau, 50 TL untuk potong rambut saja. Sementara kalau sekalian cuci dan blow/brush, total semuanya 100 TL (200 NOK). Mahal? Masih lebih mahal di Norwegia!

Alih-alih marketing, Sevgi juga menawarkan ke saya colouring. "Cheap price", katanya. Padahal menurut saya, biasa saja, 150 TL. Tapi dibandingkan Oslo yang harganya paling murah 700 NOK, akhirnya saya nekad juga sekalian mewarnai rambut.

"Your face is so soft. Black colour (hair), no. Too strong!" kata dia sekalian mewarnai helai demi helai rambut saya.

Saya juga sebenarnya masih suka warna alami rambut hitam khas orang Indonesia. Tapi betul juga, setelah melihat hasil pewarnaan rambutnya, garis muka saya terlihat jadi lebih halus. Yang diwarnai juga tipis sekali, tidak semua ujung rambut. Duh, makin puas sama si Mbak Sevgi ini!

Berikut bonus foto saya dengan si mas ganteng yang kebetulan lagi magang di Salon Kadir. Maaf ya fotonya saya sensor karena saat difoto, mata saya lagi mengantuk.

Perhatian: BUKAN IKLAN ya! Saya tidak dibayar, pun menerima diskon tambahan dari hasil me-reviewsalon mereka.

Kalian sendiri bagaimana, ada pengalaman lain saat travelling selain hanya foto-foto dan mengunjungi tempat wisata?

Thursday, June 11, 2020

Tips Book Review: Haram Keliling Dunia|Fashion Style

3 "F"antastic ways to reach your dream fabulously: Focus, Fun, Fascinating - NFW

Itulah salah satu motivation quote milik penulis, Nur Febriani Wardi, dalam bukunya Haram Keliling Dunia. Apa yang kamu lakukan saat kamu punya mimpi yang besar tapi terhalang oleh kehendak orang tua? Menuruti kehendak orang tua lalu menyisihkan mimpi besarmu demi mereka, atau berani mengambil resiko meraih mimpi yang kamu tuju hingga harus kerja keras demi membuktikan sebuah prestasi ke orang tua?

Nur Febriani Wardi, gadis berzodiak Aquarius yang lahir di Kalimantan ini, awalnya memiliki cita-cita menjadi seorang insinyur saat kecil. Sang ayah, awalnya menginginkan anaknya menjadi seorang PNS. Namun, Febri yakin kalau PNS bukanlah satu-satunya pekerjaan yang akan membuat hidupnya bahagia. Ia tak mau terkungkung di belakang meja PNS yang dapat mematikan kreativitasnya. Namun ada harapan lain dan keyakinan penuh dalam diri yang membuatnya selalu berusaha mewujudkan mimpinya hingga bertahan melawan keinginan orang tua, yaitu pergi keliling dunia.

Kaver kuning yang cheerful
Berawal dari Tanah Haram, kegiatan sukarelawan, hingga akhirnya sukses mendapatkan beasiswa S2 dari pemerintahan Belanda, merupakan gerbang awal perjalanannya keliling dunia. Dari mulai menjadi Cinderella di Kapal Henry Dunant, nekad mengunjungi Grotta Azzura yang konon kabarnya merupakan air terbiru di dunia, di-PHP-in cowok India di Berlin, hingga menceritakan sungguh tidak enaknya sakit di luar negeri. Tidak hanya disuguhkan cantiknya benua Eropa, tapi pembaca juga diajak belajar sejarah seperti tragisnya kematian seorang putri kerajaan di Austria atau mengenal kota tua yang sempat hilang dan terlupakan 1700 tahun lamanya.

Cerita perjalanan Febri ke benua Eropa, dituliskan secara ringan dan cocok untuk bacaan anak muda. Gaya bahasa yang kocak dan jujur kerap mengundang senyum serta iri tentang pengalaman yang dialami penulis. Tidak hanya berbagi kisah kepada para penyuka travelling, lebih dari itu, penulis ingin buku ini bisa menginspirasi pemuda-pemudi Indonesia untuk berani bermimpi dan pantang menyerah mengejar mimpi-mimpi itu. Bukan dengan maksud melawan orang tua demi mimpi, namun selama kita masih punya hati dan otak, yakinlah bahwa kita mampu mengalahkan segala keterbatasan yang ada.