Showing posts with label pencarian keluarga angkat. Show all posts
Showing posts with label pencarian keluarga angkat. Show all posts

Thursday, July 16, 2020

Tips Kenapa Jadi Au Pair di Denmark?|Fashion Style

Melanjutkan cerita pencarian keluarga angkat di tahun kedua , sehari setelah wawancara dengan Louise, si ibu Denmark, esoknya dia langsung mengirimkan saya jadwal pekerjaan via email. Sejauh yang saya baca, tidak ada pekerjaan yang terlihat terlalu memberatkan. Semuanya terkesan oke-oke saja dan Louise mengatakan akan kembali menghubungi karena dia masih punya jadwal wawancara dengan dua kandidat lainnya.

Dua hari kemudian, sebuah electronic mail dari Energy Au Pair mengatakan kalau keluarga Louise sudah mengkonfirmasi untuk menerima saya sebagai au pair mereka. Padahal saat itu saya masih dan sedang dalam proses diskusi dengan beberapa keluarga lain di Belanda. Walaupun sudah oke dengan jadwal kerja yang ditawarkan Louise, tapi saya tidak tahu kalau dia sudah mengkonfirmasi langsung ke pihak agensi dalam waktu secepat itu.

Jujur saja, saya sebenarnya belum berani mengatakan "siap a hundred% jadi au pair di Denmark" saat membalas email Louise. Beberapa pertanyaan lainnya seputar tugas dan jam kerja tetap saya tanyakan ke Louise demi mengulur waktu. Di saat yang bersamaan, saya juga masih sibuk berbalasan e-mail dengan dua orang keluarga di Belanda yang menurut saya juga oke-oke.

Pertanyaan-pertanyaan yang cukup menegaskan "belum cukup siap ke Denmark" akhirnya membuat Louise bertanya kembali apakah saya benar-benar mau menjadi au pair untuk keluarga mereka. Louise benar-benar menyadari kalau saya sedang dalam keraguan dan sepertinya banyak pertimbangan di otak saya saat itu.

Setelah beberapa hari bimbang tentang keputusan memilih keluarga mana yang oke, akhirnya saya tetap memilih Denmark dibandingkan Belanda. Dua negara ini memang bukan negara tujuan awal saya. Kedua negara ini juga "sudah" memiliki reputasi cukup buruk di mata saya mengenai kekerasan pada au pair. Lalu kenapa tetap ingin ke Denmark DAN jadi au pair lagi?

Saya belum pernah ke Denmark, tapi pernah mampir dan mendengar banyak cerita tentang Belanda dari teman-teman au pair yang sebelumnya pernah kesana. Banyak yang mengatakan, dibandingkan Denmark, kehidupan di Belanda lebih seru dan rame. Warga Belanda yang juga cenderung ramah dan open dengan orang baru membuat negara ini banyak kelebihannya. But well, it's all about my gut!

Saya percaya tiap negara itu punya kelebihannya masing-masing. Dari namanya saja, Denmark memang tidaklah setenar Belanda, Perancis, atau Jerman. Bahkan banyak juga yang tidak tahu letak geografis Denmark itu tepatnya di Eropa bagian mana. Tapi saya memang bukanlah orang yang cukup percaya tentang "kata orang" sebelum saya sendiri melihat dan merasakannya. Lagipula, Belanda sudah terlalu mainstream sebagai tujuan au pair Indonesia.

Sebenarnya saya juga belum kenal negara-negara Skandinavia sebelumnya. Pernah masuk jadi salah satu member MLM kosmetik asal Swedia, membuat saya akhirnya penasaran dengan Stockholm dan kota-kota di negara Skandinavia lainnya. Sebelum jadi au pair di Belgia, seorang teman juga sudah berpesan ke saya untuk sesegera mungkin melihat Aurora Borealis di langit Eropa Utara saat musim dingin. Keinginan ini sebenarnya adalah keinginan pribadinya si dia yang memang belum bisa tercapai. Denmark memang masuk ke bagian Eropa Utara dan sudah cukup dekat ke Norwegia utara yang katanya bisa lebih jelas melihat Aurora Borealis saat musim dingin. Sewaktu di Belgia, keinginan untuk melihat cahaya utara ini memang sudah ada. Namun karena keterbatasan dana dan waktu, akhirnya keinginan ini harus saya tunda dulu. That's the point!

Dibandingkan Amsterdam, Kopenhagen pernah menjadi peringkat pertama kota teraman di dunia. Sementara tahun ini, lagi-lagi Kopenhagen masuk di antara 10 kota yang layak huni di dunia. Walaupun nantinya saya tidak tinggal di ibukota, tapi jarak kota yang akan saya tinggali hanya sekitar 12 km dari Kopenhagen. Lagipula, Denmark memang sudah mendapatkan reputasi baik sebagai negara dengan tingkat kriminalitas yang sangat rendah. Intinya negara ini benar-benar nyaman untuk ditinggali deh!

Denmark terkesan lebih artistik dan cultural menurut saya. Oke, ini sedikit subjektif. Saya juga mungkin tidak sepenuhnya mengeksplor Belanda dengan lebih baik. Tiap tahun Kopenhagen selalu terlibat dalam penyelenggaraan salah satu acara fashion terbesar, Copenhagen Fashion Week, yang menegaskan bahwa warga Kopenhagen memang stylish dan memiliki desainer oke.

Sementara banyak yang mengatakan Belanda memang penuh sejarah, namun anti-style. Saya memang bukan pengikut tren yang hedonis, tapi selain Copenhagen Fashion Week, banyak juga competition kebudayaan dan seni di ibukota sering diselenggarakan dengan akses yang mudah bagi pengunjung.

Dibandingkan Danish dan Dutch, jelas saja saya lebih memilih Dutch. Saya sudah pernah belajar dan menguasai Bahasa Belanda level dasar sebelumnya. Akan lebih baik jika saya memang memilih Belanda sebagai tujuan au pair untuk meneruskan level Bahasa Belanda lebih lanjut. Sementara Bahasa Denmark, tidak terlalu penting untuk dipelajari kan ya? Tapi, eh, tapi, bahasa Denmark mirip-mirip Bahasa Swedia dan Norwegia. Bukankah lucu juga mempelajari Bahasa Denmark yang mungkin nantinya bisa sekalian mengerti sedikit Bahasa Swedia atau Norwegia?

Walaupun saya juga belum tahu apakah nanti Bahasa Denmark akan berguna untuk karir di masa mendatang, tapi bukankah sebagai au pair ini memang kewajiban? Bahasa Inggris saja tidak akan cukup untuk berkomunikasi dengan host kids maupun orang lokal. Meskipun yang saya tahu orang Denmark umumnya bisa berbahasa Inggris dengan baik, namun akan lebih baik mempelajari satu bahasa bukan untuk tujuan tertentu melainkan komunikasi sehari-hari.

Saat berdiskusi dengan Louise dan keluarga Belanda lainnya, yang paling royal memang keluarga dari Denmark. Mereka bersedia menanggung tiket PP, asuransi, biaya administrasi Danish Immigration Service, dan uang saku di Denmark juga lebih tinggi dibandingkan Belanda. Per tanggal 1 Juli 2015, uang saku au pair di Denmark dinaikkan menjadi minimum 4000DKK (sebelum dipotong pajak 8%). Prinsip saya untuk jadi au pair, mengeluarkan biaya seminim mungkin. Setidaknya, biaya yang saya habiskan cukuplah untuk mengurus visa di Jakarta saja.

Oke, biaya hidup di Denmark memang lebih tinggi 20 hingga 30 persen ketimbang Belanda, wajar jika uang sakunya juga tinggi. Seorang teman eks au pair di Belanda juga mengatakan kalau sebenarnya keluarga Belanda banyak juga yang mau menanggung tiket pesawat PP, biaya kursus, dan biaya lainnya, tergantung tawar-menawar. Tapi karena tawaran dan jadwal kerja dari Louise lebih reasonable, akhirnya saya tetap memilih Denmark sebelum berdiskusi lebih jauh dengan keluarga di Belanda.

Diri saya, semoga ini benar-benar keputusan yang terbaik!

Friday, June 19, 2020

Tips Keluarga Arab? Pikir Lagi!|Fashion Style

September tahun ini, surat kabar di Inggris memberitakan telah terjadi pembunuhan seorang au pair Prancis oleh host family-nya. Si ibu, seorang sosialita dan artis, bekerja sama dengan suaminya tega membakar tubuh au pair mereka di kebun belakang rumah. Pas saya lihat nama host family tersebut, mereka ternyata keturunan Prancis-Aljazair yang menetap di Inggris.

Beberapa kali saya menerima surel dari pembaca blog yang curhat soal calon host family mereka. Calon keluarganya bukannative, melainkan orang keturunan Arab yang lahir dan besar ataupun sudah lama tinggal di negara tersebut. Tanpa pikir panjang, saya langsung menyuruh mereka skip dan cari keluarga lain.

Katakan saja saya rasis, tapi saya memang sudah mem-black list para calon keluarga angkat keturunan Arab. Keturunan Arab disini maksudnya tidak hanya mereka yang tinggal di Arab Saudi, tapi juga Maroko, Libya, Aljazair, ataupun negara berparas Arab lain.

Tidak hanya sekali dua kali saya mendengar berita buruk au pair dari para keluarga Arab tersebut, namun saya pun pernah mengalaminya.

Pertama kali ke Belgia, keluarga angkat saya dua-duanya keturunan Maroko yang besar dan sudah lama tinggal di Belgia. Meskipun dari gaya dan pola pikir sudah mengikuti orang Belgia, namun kultur dan karakter mereka sejatinya tetaplah orang Maroko.

Setelah 5 bulan tinggal bersama, saya resmi stop kontrak dengan mereka. Si ibu memiliki sifat yang terlalu perfeksionis, emosional, dan sangat menyakitkan kalau bicara. Sementara si bapak, diam-diam menghanyutkan. Betul-betul perpaduan keluarga temperamen yang membuat saya cukup tertekan.

Lain lagi dengan kisah teman saya yang harus tinggal dengan pasangan keluarga Tunisia-Denmark. Berbanding terbalik dengan sifat kalem si bapak yang orang Denmark asli, si ibu bersikap paling bossy dan keras di keluarga. Bahkan sebelum mengakhiri kontrak dengan keluarga tersebut, teman saya sampai dimaki-maki dengan kata-kata kasar terlebih dahulu.

Teman saya ini sampai mengalami kecelakaan fisik di tangannya saat bekerja, namun diacuhkan saja oleh si keluarga. Sialnya, karena ibu Arab yang paling berkuasa di rumah, si bapak juga hanya bisa diam dan tak tahu harus berbuat apa. No wonder, Danish men are the passive ones at home.

Pernah juga seorang teman saya tinggal di keluarga pasangan Arab Saudi yang bapaknya exceptional perhitungan dengan waktu dan uang. Entah kenapa, teman saya ini seperti diadu antara tugas dan uang sakunya. Si bapak malah pernah ingin menarik kembali uang yang diberi hanya karena teman saya berani bicara dan menentang.

Tidak hanya keluarga Arab, saya juga sedikit skeptis dengan pasangan keluarga dari negara Asia Selatan dan Timur yang tinggal di Eropa. Mungkin karena sudah terbiasa memiliki pembantu di negara asal mereka, makanya mereka melihat au pair layaknya pembantu rumah tangga yang super fleksibel, mudah disuruh-suruh, dan money-oriented.

Oh, come on! Meskipun berasal dari negara berkembang, kita tidak datang ke Eropa untuk mencari uang layaknya TKW/TKI yang bekerja di Timur Tengah. Kadang kala kita harus bersikap sedikit cool agar tidak direndahkan oleh keluarga Arab yang sok kaya itu.

Oke, tidak semua keluarga Arab yang tinggal di Eropa memperlakukan au pair dengan buruk. Ada juga keluarga yang bersikap transparan, lemah lembut, dan mematuhi regulasi. Tidak adahost family yang sempurna memang. Bahkan keluarga native pun bisa bertindak kasar dan tidak adil dengan au pair mereka. Seperti kata Brian, host dad saya, "sangat tidak fair bicara masalah latar belakang keturunan, karena bukankah keluarga jahat ada dimana-mana? Tidak harus orang Arab kan?"

Lalu, bagaimana mencegah tindakan buruk calon keluarga angkat sebelum betul-betul setuju jadi au pair mereka?

Banyak-banyaklah diskusi! Mau itu keluarga Arab, keluarga Belanda, ataupun keluarga Spanyol, sulit sekali menerka sifat asli seseorang hanya lewat email ataupun Skype. Namun dengan berdiskusi panjang lebar dan mendalam, setidaknya kita bisa mendapatkan gambaran tentang tugas dan ekspektasi si keluarga.

Ada baiknya lagi minta kontak au pair yang sedang atau pernah tinggal dengan mereka. Dari para au pair itu, kita bisa mendapatkan informasi paling relevan tentang bagaimana mereka diperlakukan oleh si keluarga. Red flag kalau mereka pernah punya au pair dari Filipina!

Girls, au pair Filipina adalah tipikal YES-man yang terlalu penurut, money-oriented, dan biasanya "oke-oke saja" bekerja overtime. Banyak sekali kisah au pair Filipina yang bukannya dianggap keluarga, namun asisten rumah tangga semata. Keluarga yang sudah pernah punya au pair Filipina sebelumnya biasanya akan memperlakukan au pair Asia lainnya sama persis dengan perlakuan mereka ke para gadis Filipina tersebut. Kalau mereka diperlakukan baik, chances are you would be treated the same.

Kalau memang si keluarga tidak pernah punya au pair sebelumnya, sering-seringlah bertanya tentang tugas dan hak kalian sedetail mungkin. Keluarga yang baru pertama kali punya au pair biasanya akan lebih santun dan berhati-hati dengan regulasi. Artinya, mereka akan berusaha membuat si au pair merasa nyaman di rumah mereka. Tapi hal ini juga kadang bisa meleset, karena bisa jadi si keluarga terlalu perfeksionis dan banyak ekspektasi.

Jadi, sebelum benar-benar girang karena sudah dapat offer dari satu keluarga, jangan lupa cross-checked lagi tentang latar belakang, ekspektasi, dan referensi keluarga tersebut!

Monday, June 15, 2020

Tips Persiapan Wawancara dengan Calon Host Family|Fashion Style

So, setelah akhirnya mencari host family ke banyak situs dan ternyata matching, kamu dihubungi kembali untuk seleksi wawancara dengan si keluarga. Bahagia? Pasti! Setidaknya, bersyukurlah ternyata profil mu berhasil dilirik oleh si keluarga angkat.

Bagi saya, sesi wawancara dengan host family selalu membuat nervous.Meskipun wawancara dilakukan via Skype, tapi tetap saja, saya tidak ingin tiba-tiba blank dan tidak tahu harus bicara apa dengan si calon keluarga.

Sebenarnya wawancara dengan calon keluarga angkat tidaklah setegang bicara dengan calon atasan di perusahaan besar. Obrolan biasanya terkesan lebih santai dan dimulai dengan proses kenalan. Tapi tetap saja, kita harus serius dan inilah waktunya 'menjual' diri kita di hadapan si keluarga agar diterima menjadi au pair mereka.

Ingat ya, kamu bukanlah satu-satunya calon au pair yang host family wawancarai. Saingan akan lebih berat kalau si keluarga mencari au pair dari seluruh negara. Agar tidak tertatih-tatih saat mengobrol dengan si keluarga, coba persiapkan hal berikut agar kamu lebih percaya diri di kamera.

1. Pelajari profil calon keluarga angkat

Baca lagi tentang profil si keluarga angkat. Umur, pekerjaan orang tua, nama anak dan usia mereka, serta apa saja ekspektasi si keluarga terhadap au pair nanti. Biasanya saat wawancara, si ibu dan/atau ayah angkat akan memperkenalkan diri mereka kembali secara singkat. Mereka juga akan menjelaskan lagi rutinitas, hobi, dan hal-hal mendasar tentang ekspektasi mereka ke kamu.

2. Catat pertanyaan yang menyangkut isi profil

Beberapa keluarga ada yang secara gamblang menuliskan panjang lebar apa ekspektasi mereka lewat profil. Namun ada juga keluarga yang hanya menuliskan sedikit detail, namun diperjelas kembali saat sesi wawancara.

Cari kembali pertanyaan yang kira-kira akan kamu tanyakan dan berhubungan dengan isi profil si keluarga. Contohnya, apakah tempat tinggal mereka jauh dari kota besar, perlu kah kamu menyetrika pakaian, atau apakah mereka pernah punya au pair sebelumnya. Kadang pertanyaan ini akan dijelaskan sendiri oleh si keluarga saat perkenalan.

3. Siapkan 2-four pertanyaan tambahan

Kalau memang ini wawancara pertama mu dengan si keluarga, jangan dulu menanyakan hal-hal yang bersifat meminta. Contohnya, soal tiket pesawat, biaya visa, biaya kursus, atau keadaan kamar.

Tanyakanlah hal-hal yang bersifat netral dan tetap menunjukkan ketertarikan mu dengan keluarga mereka. Contohnya, apakah kamu libur saat akhir pekan, apakah transportasi dari tempat tinggal si keluarga mudah dijangkau, apakah anak-anak mereka sosial, atau tanya juga apakah mereka memberikan mu waktu longgar untuk ke gereja atau kursus.

That's it!

Pertanyaan lainnya semacam tiket pesawat atau biaya kursus, bisa kamu tanyakan di email tambahan atau ketika kamu benar-benar yakin kalau host family juga tertarik setelah wawancara. Jika di wawancara pertama saja kamu sudah banyak minta ini itu, takutnya si keluarga malah berubah pikiran dan justru kamulah yang banyak ekspektasi.

4. Buat draft kasar tentang diri sendiri dan motivasi mu

Selain memperkenalkan diri mereka, si calon keluarga pasti ingin mendengar juga cerita singkat tentang kamu. Sekali lagi, jangan kebanyakan perkenalan dan straight to the point. Sebutkan saja umur, tempat tinggal yang sekarang, pendidikan terakhir, serta pengalaman kerja.

Kalau memang tidak ada pengalaman kerja sebelumnya, katakan saja kalau kamu memiliki ketertarikan dengan anak-anak dan budaya asing. Hal ini juga yang memotivasi kamu untuk jadi au pair di negara mereka. Meskipun ini akan jadi au pair pertama mu, tetaplah percaya diri dengan meyakinkan host family kalau pengalaman mu dengan anak-anak sudah terlatih saat mengasuh adik, sepupu, atau keponakan.

Siapkan juga dua atau empat kalimat yang menerangkan alasan kamu ingin jadi au pair di negara tersebut. Be specific ya, di negara tempat tinggal keluarga yang sedang mewawancarai mu! Mungkin kamu tertarik dengan arsitektur, bahasanya, makanan mereka, atau keinginan kamu yang ingin lanjut studi selepas au pair. Minimalisir kata-kata yang hanya ingin 'jalan-jalan' saja.

5. Atur nada bicara dan latih bahasa asing mu

Hampir semua keluarga angkat menggunakan bahasa Inggris saat sesi wawancara. Namun tidak jarang juga ada keluarga yang lebih nyaman menggunakan bahasa ibu mereka seperti bahasa Jerman atau Prancis. Meskipun kamu merasa cukup lancar bicara bahasa asing ini, tetaplah berlatih sebentar untuk mengutarakan maksud dan motivasi mu ke mereka.

Jangan mencatat semua yang ingin dikatakan, karena akan terkesan kamu tidak lancar berbahasa asing dan hanya membaca saja. Kalau memang tidak terlalu lancar bahasa Inggris, katakan di awal kalau kamu sedikit kesulitan bicara bahasa ini. Then, you need to speak slowly.

Tidak usah terlalu buru-buru saat bicara dengan calon keluarga dan bicaralah dengan intonasi yang jelas. Meskipun sifatnya santai, kamu tetap harus serius dan profesional.

6. Tersenyumlah senatural mungkin

Sebisa mungkin hindari ekspresi datar dan berlatihlah untuk tetap tersenyum saat sesi wawancara. Raut muka serius menandakan kamu bukanlah orang yang terbuka. Banyak cengengesan juga tidak baik karena kamu seperti essential-fundamental. Senyumlah senatural mungkin dan bersikaplah ramah bahkan saat pertama kali memulai percakapan.

Sapa mereka dengan antusias, "Hi... How are you?" atau bisa juga sekalian sebut nama mereka, "Hi Emily, how are you?"

Karena mereka adalah calon keluarga mu nanti, tidak usah panggil Madam atau Mister/Sir. Panggil nama mereka dan anggaplah si keluarga seperti teman mu sendiri.

Wawancara pertama dengan host family mungkin tidak akan menentukan nasib mu menjadi bagian dari keluarga mereka nanti. Tapi berusaha untuk mempersiapkan banyak hal terlebih dahulu setidaknya membuat kamu lebih siap mental dan belajar bersikap profesionaldengan orang asing.

Tenang saja, sebelum melangkah cantik keliling Eropa, saya dulu juga sempat ditolak berkali-kali oleh si keluarga angkat. Padahal saya memiliki pengalaman jadi au pair sebelumnya, lho. Teman saya, belum pernah jadi au pair, langsung diterima setelah satu kali wawancara dengan host family-nya. Jadi, punya pengalaman atau tidak, sebenarnya juga tidak menjamin apakah kamu bisa langsung mencuri hati keluarga angkat saat wawancara.

Saran saya, minta kontak au pair lama si keluarga (kalau memang ada) untuk referensi dan langsung saja tolak host family yang menanyakan apakah kamu punya pengalaman cleaning atau jadi domestic helper sebelumnya. Tipe keluarga seperti ini biasanya akan menaruh ekspektasi bersih-bersih berlebih bagi si calon au pair. Mereka sebenarnya bukan cari au pair, tapi pengganti cleaning lady.

Good success!

Sunday, June 14, 2020

Tips 7 Tips Agar Host Family Melirik Profil Mu|Fashion Style

Membuat profil au pair yang bagus adalah satu hal yang mesti selalu di-improve. Saya ingat betul pertama kali membuat profil di Au Pair World, saya meminta bantuan seorang teman untuk mengoreksi apakah profil saya sudah bagus atau belum. Karena tahu dia pernah pengalaman jadi au pair 2 kali sebelumnya, saya percaya kalau si teman ini setidaknya tahu mana tulisan yang bagus atau tidak.

Betul saja, dia menilai profil saya terlalu etnosentris dan blak-blakan jual mahal. Saya terlalu terpusat pada diri sendiri, tanpa memikirkan si calon keluarga yang membaca. Padahal harusnya profil berfungsi sebagai CV yang memungkinkan host family tahu siapa kita dan motivasi kita jadi au pair.

Tiga kali jadi au pair dan harus menulis profil, saya akhirnya bertemu juga dengan keluarga angkat yang mau meng-hire saya jadi au pair mereka. Tentu saja, tidak semudah itu. Ibaratnya cari kerja, saya juga banyak mengalami penolakan terlebih dahulu meskipun sudah pernah menjadi au pair sebelumnya.

Di postingan tentang pencarian keluarga angkat , saya sudah menuliskan beberapa tips bagaimana menuliskan profil yang menarik di situs pencarian au pair. Berikut saya ulas kembali beberapa tips untuk kalian yang mungkin masih juga bingung bagaimana menuliskan profil yang bagus.Just bear in mind, profil yang bagus tidak akan langsung mengantarkan kamu ke Eropa. Tapi setidaknya, jadikanlah goal agar calon keluarga melirik profil mu dan tertarik untuk mengenal mu lebih jauh.

1. Background kamu

Kalau harus menulis profil tanpa format asli dari agensi atau situs di internet, boleh mulai memperkenalkan diri secara singkat seperti;

"Halo, nama saya Nin, usia 23 tahun, dan berasal dari Palembang, Indonesia."

Tapi kalau memang nama dan umur kamu sudah terlihat jelas di situs tersebut, contohnya Au Pair World, tidak perlu menuliskan identitas kembali. Langsung saja to the point;

"Halo, saya Nin (cukup nama panggilan), berasal dari Palembang, Indonesia, dan sekarang masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir di Universitas X."

Calon host family ingin langsung tahu apa yang sedang kamu lakukan sekarang, seperti pekerjaan atau pendidikan terakhir. Ketimbang harus bertele-tele menuliskan semuanya dalam kalimat yang panjang, mungkin bisa ditulis seperti ini;

"Saya sekarang masih kuliah di kampus X dan mengambil jurusan Farmasi."

"Saya bekerja di TK Anak Bangsa sebagai guru TK selama 3 tahun."

"Sekarang saya masih bekerja di Perusahaan Indah Karya sebagai Akuntan selama 1 tahun."

"Sekarang saya masih tinggal di Berlin sebagai au pair dan kontrak saya akan selesai Juli 2018."

2. What do you do in your spare time?

Selain sibuk bekerja atau sekolah, host family juga ingin tahu, apa yang senang kamu lakukan saat sedang tidak dikerjar deadline kantor atau kampus. Hobi atau kegiatan favorit mu setidaknya sedikit menguak "who you are".

"Selain sibuk kuliah, saya sangat suka renang, mamanggang kue, ataupun hiking."

"Meskipun pekerjaan saya hampir 24/7, tapi saya juga suka melakukan aktifitas lain seperti menggambar atau membaca buku. Buku terakhir yang saya baca berjudul X dan isinya sangat menginspirasi kehidupan saya sekarang."

"Sejak tinggal di Amsterdam, saya jadi sangat suka bersepeda keliling kota setiap akhir pekan sekalian mengunjungi banyak hidden gems yang ternyata tidak semua orang tahu."

Tell them that you are an active person, an interesting girl with bunch of hobbies! Kalau memang suka menonton film, let them know what is your favourite one! Jadi tidak hanya menyebutkan apa yang kamu suka, tapi juga beri keluarga angkat clue kalau kamu banyak mendapatkan manfaat atau ide dari hobi mu itu.

Three. Pengalaman dengan anak-anak

Karena au pair tugasnya lebih relevan ke anak-anak (bukan cleaning, normalnya), maka host family harus tahu juga seberapa lama jam terbang mu meng-handle anak kecil. Jangan takut kalau belum pernah jadi au pair sebelumnya, karena kamu tetap bisa menjual potensi saat mengasuh keponakan.

"Karena sudah bekerja selama 3 tahun di SD 31, saya memiliki tanggung jawab besar untuk mengajar anak-anak membaca dan berhitung."

"Saya memang belum pernah menjadi au pair sebelumnya, tapi pekerjaan sebagai freelance babysitter yang sering saya lakukan membuat saya cukup dekat dengan anak-anak dan dunia mereka."

"Meskipun ini akan menjadi au pair pertama saya, tapi saya yakin dengan kemampuan mengasuh anak-anak sejak beberapa tahun lalu. Banyak om dan tante yang percaya menitipkan anak mereka ke saya saat mereka bekerja. Karena pekerjaan ini, saya pun mengerti bagaimana caranya menidurkan anak, bermain dengan mereka, ataupun memandikan si kecil."

"Karena pengalaman saya menjadi au pair selama satu tahun di Paris, saya pun sudah cukup familiar dengan gaya hidup orang Eropa dan anak-anak mereka."

Tell them more about your experience! Kalau memang pernah bekerja menjadi seorang guru, jelaskan apa yang membuat mereka merasa yakin kalau kamulah au pair yang mereka cari. Apa value yang kamu pelajari selama menjadi seorang guru dan membuat mu bisa mengaplikasikannya ke kehidupan internasional au pair.

Jika kamu memang sering mengasuh keponakan, "jual lagi" diri kamu di dalam profil dan jelaskan kalau kamu tipikal orang yang bisa mengatasi stres hanya karena tangisan anak kecil.

Perlu diingat, anak-anak Australia atau Eropa berbeda dengan anak-anak di Indonesia. Anak kecil di negara Barat sudah dibudayakan untuk mandiri, sementara anak kecil di Indonesia lebih haus perhatian dan pelayanan. Umur 2 tahun di Eropa sudah bisa makan sendiri, sementara di Indonesia, masih harus kejar-kejaran saat menyuapi makan.

4. Motivasi ingin jadi au pair

Ini juga jadi bagian yang paling krusial bagi para calon keluarga untuk tahu apa motivasi mu menjadi au pair. Sekedar jalan-jalan kah, cari pacar bule kah, cari duit kah, cari visa tinggal saja kah, atau lebih dari itu?

Kalau kamu memuat profil di situs au pair Skandinavia, tentu saja kamu harus menuliskan apa alasan kamu ingin jadi au pair di Eropa Utara. Apa yang paling mendasari mimpi mu untuk kesana. Jangan hanya tuliskan ingin jalan-jalan saja, karena au pair bukanlah holiday for free!

Jika harus menulis profil di situs pencarian au pair umum, tulis saja alasan mendasar untuk menjadi au pair. Ingin bertemu teman internasional atau selalu penasaran dengan kuliner khas sana, mungkin?

Tulis juga apa kira-kira pelajaran yang bisa kamu dapatkan dari menjadi seorang au pair. Apa yang bisa membuat hidup mu lebih berarti jika bisa tinggal di Eropa atau Australia. What do you gain by being an au pair?

Kalau kamu sekarang sedang bekerja di Indonesia, apa alasan mu ingin berhenti dan apa yang membuat mu yakin au pair adalah langkah yang tepat. Sama halnya jika kamu sekarang adalah mahasiswa tingkat akhir, mengapa kamu ingin jadi au pair selepas lulus?

Be specific dan tolong juga hindari minta dikasihani seperti profil gadis-gadis Filipina ;

"I need to make cash due to the fact I want to ship my sisters to highschool."

"My father is only a farmer, so I must make extra cash to assist my own family."

Salah? Tentu saja tidak. Banyak sekali profil seperti itu, terutama dari Filipina. That's their own choice, of course! Tapi tentu saja, impian kita ke Eropa bukan hanya cari duit, toh? Jangan samakan mimpi kita dengan para mbak TKI yang berjuang bagi keluarga dan devisa negara. Kita berbeda!

5.Make it simple

Biasanya hanya karena ingin terlihat serius dan panjang, kita lalu menuliskan semua hal di satu profil. Sejujurnya, it is so annoying and boring just to read it. Treat you profile as your CV. Buatlah sesimpel mungkin, tapi memuat seluruh poin terpenting.

Sekali lagi, kalau calon keluarga tertarik ke kamu, mereka pasti ingin mengenal mu lebih jauh dan bisa jadi akan diajak interview. Jadi daripada menulis cerita super panjang soal keluarga mu, just keep it simple by just talking about yourself.

You get my go with the flow?

6. Pasang foto terbaik

Saya berhasil menjadi au pair di keluarga Denmark karena foto-foto yang ada di profil saya. Host dad saya , Brian, juga menggarisbawahi kalau foto adalah bagian terpenting agar host family tahu kamu orang seperti apa.

"We liked your profile because you smiled a lot with the kids," kata Brian.

Contohnya dari 5 foto terbaik yang akan dipajang, usahakan 4 di antaranya adalah foto kamu dan anak-anak. Satunya lagi adalah foto mu dan keluarga atau teman terbaik. Boleh saja pasang swafoto jika memang saat itu kamu sedang melakukan hobi. Contohnya, foto sedang menunggang kuda, foto saat berkunjung ke Bromo, atau foto sedang menjahit baju.

Seperti kata Brian, keep smiling. Ayo, mulai pajang foto terbaik mu tersenyum ceria saat bermain dengan host kids atau keponakan di rumah!

7. Make it personal

Beberapa situs pencarian au pair, contohnya Au Pair World, memungkinkan kamu untuk menyapa calon host family duluan lewat profil mereka. Dibandingkan harus copy-paste tiap pesan ke para keluarga ini, ada baiknya kamu baca dulu profil mereka baik-baik lalu baru tulis pesan secara personal.

"Halo Martha (panggil nama depan mereka), saya sangat tertarik menjadi au pair di Belgia dan saya lihat kalau profil kamu sangat menarik. Kamu punya 2 anak yang umurnya masih kecil dan kebetulan saya pernah mengasuh anak di umur segitu. Kalau tidak keberatan, boleh cek profil saya kembali dan saya sangat berharap bisa mengenal keluarga mu lebih jauh."

Poin plus jika kamu bisa menuliskan opening line dengan bahasa lokal yang keluarga tersebut gunakan. Boleh saja, lho, menarik perhatian keluarga angkat lewat bahasa Prancis atau Jerman yang sudah kamu kuasai sedikit-sedikit.

Buat keluarga angkat tahu kalau kamu adalah kandidat tepat yang mereka cari. Seperti yang saya sebutkan di atas, mungkin kamu belum menemukan host family yang kamu cari hanya karena sudah mengikuti poin-poin saya di atas. Tapi berbahagialah kalau setidaknya kamu mendapatkan respon baik dari calon keluarga. Bukankah memang itu tujuan awal kita?

Sudah mendapatkan respon positif dan ternyata host family ingin lanjut ke proses wawancara? Baca cerita saya sebelumnya tentang persiapan sebelum interview agar kamu tidak terlalu grogi!

Good luck, girls!

Wednesday, June 3, 2020

Tips Pencarian Keluarga Angkat Au Pair Tahun Kedua|Fashion Style

Empat bulan sebelum masa kontrak kerja di Belgia habis, saya memang 70% sudah yakin akan mencari keluarga baru di negara lain lagi. Setelah Belgia, saya sudah berniat sekali melanjutkan program au pair ke Prancis di tahun kedua. Bahkan saya juga sudah menghubungi keluarga di Indonesia untuk segera mengirimkan ijazah dan akte kelahiran ke Belgia karena rencananya saya tidak akan pulang dulu ke Indonesia.

Walaupun 70% sudah yakin akan jadi au pair lagi, namun sejujurnya saya belum yakin apakah akan langsung pindah dari Belgia, ataukah pulang dulu ke Indonesia lalu mengurus visa baru disana. Yang saya malas kalau pulang dulu ke Indonesia, tentunya proses mengurus visa yang agak bertele-tele karena mesti ke Jakarta dulu dari Palembang.

Berbeda halnya jika saya mengurus visa langsung dari Belgia yang jarak kota ke kotanya tidaklah terlalu jauh dan lama. Tinggal naik kereta dan metro yang hanya menghabiskan ongkos ?15, saya sudah sampai di Brussels untuk mengantarkan aplikasi dan pulang di hari yang sama. Sementara dari Palembang, paling murah tentunya dengan naik bus ke Jakarta yang waktu di jalannya sangat panjang. Belum lagi mesti menginap karena saya juga akan mengurus beberapa berkas lagi di Jakarta. Wahh..Makan waktu dan biaya.

Singkat cerita, setelah akhirnya mendengar saran dari teman, keluarga, dan kata hati, akhirnya saya memutuskan untuk tetap pulang ke Indonesia dulu baru lanjut au pairing lagi. Sambil menunggu waktu pulang, tentunya saya semakin gencar mencari keluarga angkat baru karena siapa tahu saya bisa langsung mengurus visa di Belgia saja jika memang sudah ada keluarga yang deal.

Dan petualangan mencari keluarga baru (lagi) akhirnya dimulai....

Go go pass French!

Sebelum memutuskan mencari keluarga ke Prancis, teman-teman au pair lainnya sempat menyarankan saya mencoba au pairing di Belanda. Berdasarkan pengalaman mereka yang pernah jadi au pair disana, Belanda lebih hidup dan seru dibandingkan Belgia. Orang-orangnya juga lebih bersahabat dan terbuka. Selain itu, tidak ada perbedaan bahasa karena walaupun punya aksen yang berbeda, namun level bahasa Belanda saya bisa naik kalau belajar lagi disana.

Namun karena sejak awal saya sudah terlalu sering mendengar cerita buruk soal keluarga angkat Belanda yang suka semena-mena dengan au pair Indonesia, saya akhirnya sama sekali tidak berminat kesana. Lagipula saya lebih cenderung ingin mempelajari bahasa Prancis ketimbang bahasa Belanda. Walaupun sudah terkenal orang Prancis banyak yang tidak bisa bahasa Inggris dan sangat sombong dengan bahasa mereka, namun karena saya juga suka seni dan desain, akhirnya semua terasa matching dan yakin Prancis sudah sepaket dengan hal yang saya suka.

Saya mengaktifkan kembali profil pencarian keluarga angkat di AuPair World, Aupairnet24, Great Aupair, dan Energy Au Pair. Oh ya, website terakhir sebenarnya adalah agensi sekitar negara Skandinavia saja. Namun saya tidak menutup kemungkinan untuk mencari keluarga angkat dari negara-negara tersebut.

Selain itu, saya juga menghubungi agensi au pair di Swiss untuk dicarikan keluarga angkat yang bicara bahasa Prancis ketimbang bahasa Jerman. Namun karena pemerintah Swiss sedang menekan angka au pair non-EU di banyak kanton, saya pasrah saja aplikasi permohonan saya ke Swiss ditunda dulu. Saya juga berupaya mengirimkan aplikasi au pair ke beberapa keluarga di Luksemburg yang juga menggunakan bahasa Perancis di rumah. Well, it's all about French!

Sekali lagi saya mengalami masa-masa krisis menemukan keluarga angkat yang sesuai dengan ekspektasi. Walaupun sudah beberapa kali mengirimkan aplikasi, tetap saja saya ujung-ujungnya digantung atau ditolak. Berpengalaman jadi au pair sebelumnya memang belum jadi jaminan apakah si keluarga mau menerima kita jadi au pair mereka atau tidak.

Namun memang, kalau kita sudah pernah jadi au pair di negara Eropa lainnya, aplikasi kita ke mereka cukup diperhitungkan. Apalagi di Prancis sendiri kebanyakan keluarga mau menerima au pair yang bukan hanya menguasai bahasa Prancis dasar (baca: bahasa bayi) saja, namun setidaknya mampu berkomunikasi dengan si anak dengan cukup baik. Tuh, proses cari keluarga hampir sama sulitnya dengan seleksi beasiswa studi keluar negeri atau melamar kerja yang oke kan?

Setelah beberapa kali dapat email balasan dari keluarga, kita juga belum bisa senang karena mereka tetap akan mewawancarai kita terlebih dulu through Skype. Empat bulan proses pencarian, saya sudah 7 kali diwawancarai oleh para keluarga. Walaupun tidak seketat wawancara seleksi beasiswa atau panggilan kerja, namun tetap saja kadang ada keluarga yang menanyakan kesiapan kita soal tugas-tugas au pair nantinya. Seperti; apakah kita mampu mengatasi keributan anak-anak di rumah? Lalu, bagaimana sikap kita saat ada dua anak yang bertengkar, dua-duanya menangis minta perhatian, dan sama-sama ingin dibela? Waduh! Lalu bagaimana hasil wawancara Skype saya tersebut? Sayangnya semuanya ditolak!

Sebenarnya saya sudah mempunyai calon keluarga angkat yang lumayan cocok dan mereka juga menyatakan ketertarikannya dengan profil saya. Yang satu, orang Maroko (lagi!) yang tinggal di Denmark. Si ibu adalah guru bahasa Prancis dan kelihatannya sangat welcome di beberapa kali obrolan. Namun beberapa minggu kemudian si ibu mengirimkan saya email untuk membatalkan proses pencarian au pair karena mereka lebih memilih babysitter saja. Keluarga ini mengirimkan saya email melalui Great Aupair.

Sementara yang kedua adalah keluarga asli Perancis yang mengirimkan email ketertarikannya pada saya melalui Aupairnet24. Dari awal sampai akhir, si ibu yang namanya Sabrine ini hanya bicara bahasa Prancis sampai saya harus bolak-balik copy-paste omongannya ke Google Translate. Selain email, kita juga sempat SMSan beberapa kali sampai akhirnya si ibu langsung meminta dokumen saya seperti terjemahan ijazah dan akte kelahiran untuk segera dibuatkan surat keterangan au pair di Prancis.

Agak aneh juga karena saya tidak pernah melihat muka si ibu dan anaknya, hanya berdiskusi beberapa kali, si ibu langsung main terima saya begitu saja. Untungnya si ibu punya WhatsApp yang memajang fotonya saat naik mobil sport. Ternyata Sabrine adalah ibu muda yang sangat cantik dan French-looks sekali! Saya malah sudah sempat berpikir kalau keluarga ini palsu dan tidak jelas maunya apa.

Keluarga Prancis ini sebenarnya sudah cukup memenuhi ekspektasi saya; bersedia membayar asuransi, kursus bahasa Prancis, dan uang saku ?Four hundred per bulan. Padahal untuk tahun ini, uang saku au pair di Prancis paling tinggi hanya ?315 per bulan. Karena saya sudah terlanjur membeli tiket pulang ke Indonesia, saya bertanya apakah si ibu bersedia juga menanggung ongkos pesawat dari Indonesia ke Perancis. Namun si ibu hanya bisa menanggung ?One hundred fifty dari semua overall biaya pesawat. Walaupun sudah dibujuk dan dirayu tetap saja si ibu belum bisa menanggung semua biaya transportasi dari Indonesia ke Perancis.

Sebenarnya saat berdiskusi dengan keluarga ini, saya masih di Belgia dan memang sudah terlanjur membeli tiket pulang ke Indonesia. Saya sudah sempat berpikir untuk menunda jadwal kepulangan saya dan langsung berangkat ke Prancis saja. Namun karena saya membatalkan kiriman ijazah dan akte kelahiran asli dari Indonesia, akhirnya saya berpikir dua kali untuk membuat visa au pair di Belgia. Selain itu, saya juga belum mempunyai bukti bahwa saya PERNAH belajar bahasa Prancis.

Saat ini, pengurusan aplikasi visa au pair ke Prancis tidak lagi melalui Campus France di Jakarta. Si pemohon bisa langsung menyerahkan aplikasi visanya ke Kedutaan Prancis langsung. Selain itu, kalau dulu kita harus menyertakan sertifikat keahlian bahasa Prancis minimal level A2 sebagai syarat, sekarang sudah tidak perlu lagi. Walaupun kita belum memiliki sertifikat sampai level A2, namun kita tetap bisa menyerahkan bukti bahwa pernah belajar bahasa Prancis sebelumnya. Bukti tersebut bisa berupa daftar hadir di kelas (jika dulu pernah belajar bahasa Prancis di sekolah atau kuliah).

Sayangnya saya tidak memiliki bukti kuat kalau saya pernah hadir di kelas bahasa Prancis sebelumnya. Padahal hal ini sangat penting sebagai salah satu syarat pengajuan aplikasi visa. Selama ini saya hanya belajar bahasa Prancis otodidak atau belajar langsung dari keluarga Maroko di Londerzeel. Namun semenjak saya pindah ke Laarne, saya tidak bisa mengikuti kursus bahasa Prancis yang kebanyakan diadakan sore hari.

Di Laarne saya juga bicara bahasa Inggris setiap hari ketimbang bahasa Belandanya sendiri. Cukup menyesal juga tidak mengambil kursus bahasa Prancis super intensif di Ghent University yang biayanya saat itu €250. Mahal memang, namun demi ilmu, sebenarnya harga segitu masih cukup affordable bagi saya.

Walaupun ragu untuk tetap melanjutkan mencari keluarga di Prancis, tapi saya masih berdiskusi dengan beberapa keluarga Prancis lain selain Sabrine. Sayangnya beberapa dari mereka tidak mau menanggung biaya kursus atau pesawat, dan uang sakunya juga mengikuti batas maksimum dari regulasi. Karena yakin uang yang nanti saya bawa pulang ke Indonesia hanya cukup untuk bertahan hidup sebulan, pastinya saya mencari keluarga yang bersedia membiayai tiket pesawat. Setelah pertimbangan ini itu, akhirnya saya batalkan tawar-menawar dari keluarga Prancis tersebut. Saya juga akhirnya mencoret Prancis dari daftar pertama.

Always look for the chance everywhere!

Keinginan kuat tinggal sebagai au pair di Prancis sepertinya harus saya hilangkan dan fokus untuk pulang dulu ke Indonesia. Saya juga sudah mulai banyak berekspektasi mencari keluarga baru di negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia lewat Energy Au Pair.

Sempat juga saya berdiskusi dengan satu keluarga yang cukup oke di Swedia, namun lagi-lagi regulasinya membuat saya mundur perlahan. Calon au pair yang sudah pernah menjadi au pair di negara lain sebelumnya, kemungkinan kesempatan dapat visa Swedia-nya kecil. Tahun kedua menjadi au pair di Swedia dianggap bukan lagi sebagai kesempatan pertukaran budaya dan belajar bahasa, namun lebih ke making money. Kabar terakhir yang saya dengar, permohonan visa au pair ke Swedia membutuhkan waktu yang sangat lama, dari 3 hingga 5 bulan.

Sejujurnya, saya juga sedikit skeptis dengan Denmark dan Norwegia. Bahkan Alin, teman au pair dari Bogor, juga sempat bercanda jangan pernah ke Denmark atau Norwegia sebagai au pair karena negara itu sudah jadi lapaknya orang Filipina. Memang benar, sekitar 70-80% au pair yang datang ke kedua negara tersebut memang berasal dari Filipina.

Sayangnya, para gadis Filipina ini sengaja datang ke Eropa bukan untuk belajar atau pertukaran budaya seperti konteks au pair sebenarnya. Mereka benar-benar datang untuk bekerja dan mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk dikirimkan ke keluarga di kampung halaman. Attitude gadis Filipina ini akhirnya membuat pola pikir keluarga di Denmark ikut berubah sejak tahun 60an. Mereka berpikir dengan mempekerjakan gadis-gadis dari Filipina, mereka bisa "untung" dengan membayar uang saku au pair sesuai regulasi, namun bisa tetap menyuruh mereka bekerja fleksibel hingga berjam-jam perhari.

Gadis Filipina yang kalem dan malas berkonfrontasi, mau saja dipekerjakan keluarga sampai 10 jam sehari. Mereka juga rela bekerja di hari libur demi mendapatkan uang lebih untuk dikirim walaupun hal itu ilegal. Hal inilah yang membuat kebanyakan au pair dari Filipina diperlakukan tidak baik karena menurut beberapa keluarga di Skandinavia, para gadis-gadis ini datang ke Eropa hanyalah untuk bekerja dan mengumpulkan uang.

Bahkan sempat juga ada cerita bahwa gadis-gadis ini sangat menjatuhkan diri mereka walau jadi tukang bersih-bersih asal dibayar lebih. Mereka juga bisa melakukan apa saja agar mendapatkan kesempatan tinggal yang lama di Eropa, salah satunya dengan cara menikahi lelaki WNA.

Cerita-cerita buruk soal au pair di Skandinavia ini sebenarnya sangat mengusik niat saya kesana. Sama halnya dengan cerita buruk au pair Indonesia di Belanda, pengalaman tidak mengenakkan yang dialami au pair di negara Skandinavia pun membuat saya down. Nyaris 95% profil keluarga angkat di Energy Au Pair memang mencari gadis-gadis Filipina yang sangat terkenal di negara mereka sebagai pekerja keras demi membantu perekonomian keluarga. Hal ini sebenarnya cukup memberikan implikasi yang sangat buruk bagi gadis Asia lainnya karena pola pikir keluarga Skandinavia yang menganggap gadis-gadis Asia semuanya memiliki attitude seperti gadis Filipina.

Tapi meskipun begitu, saya memilih beberapa keluarga angkat di Denmark atau Norwegia yang profilnya cukup oke untuk diajak diskusi. Berbeda dengan website lainnya, di Energy Au Pair kita bisa memilih keluarga angkat hanya dengan mengklik tombol "I'm interested" atau "I'm not interested" di profil mereka.

Jika kita tertarik pada profil mereka, secara otomatis Energy Au Pair akan mengirimkan profil kita ke keluarga tersebut. Kalau keluarga tersebut juga tertarik dengan kita, mereka akan menghubungi kita dan biasanya juga mengajak mengobrol through Skype. Setiap satu atau dua kali seminggu biasanya Energy Au Pair akan memberikan notifikasi lewat email kalau ada profil keluarga baru yang cocok dengan ekspektasi kita.

Sialnya, karena saya sudah sering menolak banyak keluarga angkat dalam kurun waktu 2 bulan terakhir, entah kenapa pihak Energy Au Pair tidak pernah lagi mengirimkan saya profil keluarga baru. Sudah ditunggu 3 minggu, tetap saja daftar keluarga baru di profil saya kosong. Sedikit patah semangat, iseng-iseng saya juga mencari keluarga baru di Belanda via AuPair World. Walaupun negara di Skandinavia dan Belanda sudah sama-sama punya reputasi buruk di mata saya, tetap saja ujung-ujungnya cari blessing in hatred.

Dua minggu setelah pulang ke Indonesia, Alhamdulillah ada beberapa keluarga angkat di Belanda yang tertarik pada saya.Ada juga satu keluarga di Denmark yang mengirimkan saya email untuk wawancara Skype. Keluarga di Denmark ini adalah keluarga terakhir yang pernah saya "like" profil-nya lewat Energy Au Pair sebelum akhirnya tidak ada notifikasi keluarga baru lagi dari pihak agensi. Bisa dikatakan, mereka adalah keluarga harapan terakhir saya dalam proses pencarian lewat Energy Au Pair.

Ada juga satu keluarga di Belanda yang benar-benar sudah menyatakan rasa ketertarikannya pada saya. Karena saat itu saya sudah pulang ke Indonesia, mereka mengusulkan untuk berdiskusi via Skype saja. Padahal kalau saya masih di Belgia, datang ke Belanda untuk bertemu langsung dengan keluarga tersebut bukanlah hal yang sulit. Si ibu juga sangat positif, fast reply, dan sepertinya benar-benar tipikal easy going person. Si ibu ini keturunan Italia dan si bapak keturunan Namibia. Sejujurnya, sedikit narrow minded juga dengan si bapak yang keturunan kulit hitam. Tapi saya buang perasaan itu jauh-jauh dan mencoba berdiskusi dulu dengan si keluarga di Denmark.

Louise, si ibu Denmark yang saya ajak mengobrol saat itu mengatakan kalau ini adalah pengalaman pertama mereka punya au pair. Mereka punya satu anak cewek umur four tahun dan sekarang si ibu juga sedang mengandung anak kembar yang akan lahir awal bulan Juni ini. Kita juga membahas tentang tugas-tugas di rumah dan apa saja ekspektasi saya di tahun kedua. Louise sepertinya tipikal orang yang sangat berhati-hati dalam berdiskusi namun ekspresinya jelas sekali menunjukkan kalau ia cukup yakin dengan saya. Di hari berikutnya, Louise mengirimkan e-mail tentang daftar tugas utama dan biaya-biaya yang bersedia mereka tanggung.

Di hari yang sama, satu keluarga lain dari Belanda juga mengirimkan email yang cukup oke untuk berdiskusi dengan saya. Si ibu ini keturunan asli Indonesia, namun tidak terlalu fasih bicara bahasa Indonesia. Si bapak keturunan asli Belanda dan mereka punya 3 orang anak cowok yang sangat aktif. Mereka juga sudah berpengalaman memiliki au pair sebelumnya dan cenderung mencari calon au pair baru yang bisa bahasa Belanda. Dari beberapa kali bertukar email, si ibu memang sangat terbuka dan bersahabat. Dia juga sebenarnya bisa sangat senang kalau punya au pair orang Indonesia yang cukup bisa bahasa Belanda, bisa sekalian ngerumpi katanya.

Sekian kalinya saya ditolak setelah wawancara through Skype, akhirnya ketiga keluarga di atas berhasil menemukan faktor X di profil saya yang membuat mereka sangat tertarik dan yakin. Lucunya saya malah mendapatkan banyak tawaran jadi au pair yang negaranya malah ingin dihindari. Kalau sudah begini, saya cenderung lebih mengikuti kata hati dan apa tujuan awal saya jadi au pair di tahun kedua.

Tuesday, June 2, 2020

Tips 10 Tipe Host Family yang Mesti Kamu Pertimbangkan Kembali|Fashion Style

Cari host family yang baik dan sesuai harapan itu tidak mudah. Saya mencari hingga 5 bulan baru akhirnya dipertemukan dengan keluarga Belgia keturunan Maroko via agensi. But, bad thing happened. Belum full satu tahun kontrak, saya sudah angkat kaki dari rumah keluarga tersebut.

Saya tahu, tidak ada keluarga yang sempurna memang. Begitu pula dengan kita, belum tentu sesuai dengan ekspektasi si keluarga angkat. Namun, tetaplah waspada dan pintar saat mencari keluarga. Saya paham, kamu juga senaif saya dulu yang ingin sesegera mungkin merasakan udara sejuk Eropa. Ingin secepatnya jalan-jalan ke negara tetangga dan ingin secepatnya juga meninggalkan Indonesia. Karena muak mungkin?

Namun tetaplah realistis dan hati-hati. Meskipun tidak pernah berharap akan terjadi, tapi kadang ada saja yang membuat kita tidak cocok dengan keluarga angkat. Jadi daripada kamu bermasalah di negara orang nantinya, sebaiknya baca tipe-tipe keluarga yang menurut saya red flag dan mesti kamu pertimbangkan dulu sebelum buru-buru terima tawaran mereka.

1. Tidak mau rugi

Host family seperti ini biasanya hanya akan memberikan fasilitas standar seperti kamar dan uang saku minimum. Beberapa keluarga ada yang jujur dari awal agar kamu tidak pakai listrik dengan boros, hemat air, tidak makan apa yang bukan milik kamu, tiket disuruh bayar sendiri, ataupun mereka yang tidak menganjurkan kamu untuk ikut kursus bahasa. Seriously, tanpa pikir panjang, sebaiknya kamu tolak saja offer dari keluarga begini!

Mereka mengundang kamu bukan untuk diperlakukan sebagai keluarga, tapi personal assistant semata. Untuk apa jauh-jauh ke Eropa kalau kerja kita hanya stay di rumah dan jaga anak?! Sudah hampir semuanya kita yang bayar, mereka juga lebih peduli dengan hasil kerja ketimbang kenyamanan kita.

2. Anak banyak

Bagi saya, anak 3 biji itu paling maksimal. Pun begitu, saya berharap tidak disuruh mengasuh dan mengawasi semuanya. Apalagi kalau mereka semua masih kecil-kecil.

Kalau ini pengalaman kamu pertama kali jadi au pair, saya sarankan hanya memilih keluarga yang anaknya paling banyak 2. Jangan percaya dengan iming-iming keluarga yang akan saling menolong mengasuh anak, karena faktanya kamu bisa kena jebakan. Teman saya harus mengasuh 5 orang anak tanpa bantuan sedikit pun dari host family-nya. Sudah mengasuh anak, ditambah kerjaan rumah yang setiap hari tidak pernah beres. Minusnya lagi, ibu angkatnya super pelit soal makanan dan hobi pinjam duit ke au pair!

Sanggup kamu?

Three. Mantan Filipina

Yes, saya memang sangat skeptis dengan populasi au pair Filipina di Eropa. Menurut saya, keluarga angkat yang pernah punya au pair Filipina sebelumnya akan memperlakukan au pair selanjutnya sama.

Au pair Filipina kebanyakan yes-maam saja karena takut berkonfrontasi dan mengeluarkan pendapat. Tidak sedikit keluarga yang bermasalah dengan au pair Filipina karena miskomunikasi. Kalau pun tidak bermasalah, kamu juga mesti sedikit aware karena au pair Filipina kebanyakan pintar cleaning dan penurut. Makanya banyak keluarga Eropa di utara lebih memilih au pair dari Filipina ketimbang negara lain. No wonder, hampir semua au pair Filipina yang ada di Skandinavia adalah mantan pembantu di Singapura atau Hong Kong.

So, kalau eks au pair si keluarga adalah cewek Filipina , bisa dipastikan ekspektasi keluarga tentang cleaning akan sedikit mirip dengan pekerjaan si mantan. Sialnya, kalau si Filipina mau saja disuruh banyak hal, kamu juga mesti melakukan hal yang sama!

Four. Rumahnya di desa

Saya pernah tinggal di desa saat jadi au pair di Belgia. Awalnya memang bahagia karena jauh dari keramaian dan dekat dengan alam. Lama-lama, saya bosan! Beruntung, tempat saya tinggal saat itu hanya sekitar 40 menit naik bus ke Ghent. Masih lumayanlah kalau ingin rehat saat akhir pekan.

Tapi tidak semua desa dekat dengan kota besar. Belum lagi, biasanya transportasi umum di pedesaan horor alias tidak beroperasi sampai tengah malam dan bisa datang dua jam sekali. Saya sering kali jalan kaki tengah malam dari stasiun terdekat hanya karena ketinggalan bus terakhir.

Travelling ke negara tetangga pun jadi mahal kalau memang harus pergi via bandara yang tiket murahnya justru berada di ibukota. Cari teman juga susah karena kebanyakan tetangga adalah pasangan tua ataupun keluarga yang super sibuk. Makanya sebelum memutuskan deal, sebaiknya kamu cek dulu di peta seberapa jauh desa tersebut dari kota besar. Cek juga halte bus dan stasiun kereta terdekat.

Sejujurnya, saya kapok tinggal di desa! Kita masih muda, masih butuh kehidupan sosial,having fun, danexploring.

5. Cari cleaning lady

Pertama kali kenalan dengan keluarga Denmark, Louise, host mom saya sudah menjelaskan dan jujur kalau sebenarnya mereka lebih butuh housekeeper ketimbang babysitter yang hanya fokus ke anak. Lalu yang terjadi memang benar, pekerjaan saya di Denmark super varitif. Mulai dari mengurus bayi, laundry, beres-beres rumah, masak, loading dishwasher, hingga belanja ke supermarket setiap minggu.

FYI, keluarga di Eropa Utara terkenal "memanfaatkan" au pair hanya untuk mencari cleaning lady murah. Banyak sekali cerita buruk au pair di Skandinavia yang harus bekerja overtime. Menyewa tukang bersih-bersih di Skandinavia memang mahal sekali dan hanya keluarga super kaya yang mampu membayar jasa mereka. Makanya au pair adalah opsi termurah dan all-in; jaga anak iya, masak iya, cleaning lady iya, kadang juga mengurus peliharaan pun iya. Hebat kan tugas au pair di Skandinavia?!

Saran saya, kalau profil keluarga tersebut memang sudah menerangkan urusan rumah tangga akan lebih banyak dari urusan anak, sebaiknya tanya dan diajak diskusi kembali. Kadang ada juga keluarga yang malah ingin kamu ikut gardening. Bahh! Lebih susah menolaknya kalau sudah terlanjur tinggal bersama.

6. Keluarga imigran

Saya sudah pernah membahas tentang keluarga imigran di postingan tentang keluarga Arab . Walaupun lahir, tinggal, dan besar di lingkungan Barat, after all they are still immigrants in heart.

Pengalaman buruk saya dengan keluarga Maroko di Belgia mengajarkan untuk tidak akan pernah mau tinggal lagi dengan keluarga pendatang. Tidak hanya saya, hampir semua teman yang keluarganya imigran juga merasa tidak nyaman dengan treatment dari keluarga tersebut. Mulai dari sifat mereka yang tidak mau rugi, kurang komunikasi, susah diajak diskusi, kurang open-minded,hingga harus kerja berlebihan. Skip deh, meskipun embel-embelnya seagama!

7. Anaknya sudah abege

Di Belgia dan Denmark, batas umur anak terkecil untuk punya au pair hanyalah sampai 12 tahun. Herannya, keluarga angkat biasanya masih manja dan tetap ingin punya au pair meskipun anak-anak mereka sudah mandiri.

Seorang kenalan terpaksa harus merapihkan kamar si anak tertua berumur 18 tahun setiap minggu, meskipun tidak ada dalam kontrak. Hal ini terpaksa dia lakukan karena seperti jebakan Batman, terlanjur pasrah tanpa bisa menolak. Si anak terkecil pun sudah berumur 8 tahun yang notabene mampu mengurus perut dan dirinya sendiri.

Kesimpulan saya, tipe keluarga seperti ini hanya mau dimanja dan sudah ketagihan jasa au pair. Kalau pun tidak disuruh jaga anak, ada juga yang tetap butuh au pair menjaga anjing saat si keluarga liburan. Apa peran au pair kalau semua anak sudah mandiri? Baca poin kelima!

8. Bitchy face

Betul, jangan menilai seseorang cuma dari foto saja. You never know until you get to know them better. Betul itu.

Tapi entah mengapa, sudah 3 orang teman saya bermasalah dengan host mom-nya yang super perhitungan dan rude. Anehnya, para ibu angkat mereka memiliki garis muka yang mirip; muka jutek! Mungkin muka-muka jutek host mom ini ikut berpengaruh ke karakternya di rumah. Kalau kamu bingung seperti apa bitchy face itu, lihat contoh ini;

Intinya muka tante-tante yang fake smiling, kebanyakan gaya, muka angkuh, muka sok cantik, dan muka jutek kayak mau ditonjok. Hah! Just trust me!

9. Track record buruk

Tidak semua tipe keluarga yang sudah saya sebutkan di atas semuanya mean dan rude. Sekali lagi, tidak ada yang bisa menilai sifat manusia sebelum kita bertemu dan kenalan langsung. Tapi kalau kamu punya kesempatan mengobrol dengan mantan au pair mereka, take that chance!

Eks au pair keluarga saya yang sekarang sebetulnya orang Filipina. Jujur saja, keluarga ini juga sempat jadi red alert buat saya. Tapi setelah bicara panjang lebar dengan si eks au pair, saya bisa melihat kalau si Filipina bahagia tinggal dengan keluarga ini. Tidak ada yang ditutup-tutupi dan semuanya terkesan apa adanya.

Au pair adalah kunci untuk tahu jelek baiknya host family saat di rumah. Jangan malas untuk mengulik sedikit tentang kebiasaan host family yang belum kamu tahu.

BUT! Please jangan kebanyakan kepo sampai terlalu banyak bertanya masalah hadiah dan fasilitas yang keluarga akan berikan ke au pair pengganti. Kenyataan akan berbeda, pun begitu dengan treatment keluarga antara au pair pertama dan kedua. Jadikan pengalaman si mantan au pair sebagai pelajaran awal kamu mengenal calon keluarga lebih baik.

10. Tinggal di Britania Raya/Spanyol/Italia

Sudah pernah saya bahas juga di postingan Guide Au Pair , kalau pemegang paspor Indonesia tidak bisa mendapatkan izin tinggal di Inggris atau Spanyol pakai visa au pair.

Kalau kamu memang nekad dan sangat tertarik tinggal di negara tersebut, coba gunakan visa pelajar. Tentu saja, persyaratan dokumennya lebih komplet ketimbang visa au pair. Selain bukti finansial, kamu juga harus melampirkan flight booking, dan LoA dari tempat belajar di negara tersebut. Baca postingan saya tentang au pair ke Irlandia, Spanyol, dan Italia kalau kamu tertarik kesana!

Anyway, kenapa harus jadi au pair disana sih? Kenapa tidak coba apply di negara Eropa lain yang lebih possible, lalu travelling saja ke Inggris atau Italia? Psstt.. pocket money di Spanyol juga kecil kok ðŸ˜›

Sekali lagi, tidak ada yang bisa menjamin nasib kita setelah tiba di Eropa. Bad things could happen dan kenyataan akan sungguh berbeda dari apa yang kita harapkan sebelumnya. Tapi siapa juga yang mau punya pengalaman buruk kan? Tentu saja chemistry berpengaruh saat kamu berdiskusi dengan calon host family. Namun jangan juga kena jebakan Batman hanya karena sifat gegabah yang ingin cepat-cepat ke Eropa tapi melupakan red alert dari calon keluarga.

Good success, ladies!

Saturday, May 2, 2020

Tips 7 Tanda Mungkin Kamu Harus Ganti Host Family|Fashion Style

Tidak akan ada yang bisa menjamin apakah calon keluarga angkat yang kita temui di internet sesuai dengan ekspektasi atau tidak. Meskipun sudah bertukar pesan atau mengobrol lewat Skype beberapa kali sebelum bertemu, namun cara tersebut tidak akan pernah cukup untuk mengetahui karakter asli seseorang. Bahkan mengobrol dengan mantan au pair mereka sebelumnya pun belum tentu membuka semua aib dan kebaikan keluarga tersebut. Entah mereka baik,mean, atau mungkin pelit,you would never know.

Apalagi bagi para au pair baru yang mungkin sangat naif dan punya ekspektasi terlalu tinggi setibanya di negara tujuan. Pasti ada yang bertanya-tanya, apa benar kita harus bersih-bersih toilet setiap minggu, apa mengurus anak lebih dari 5 jam itu sudah termasuk overtime, lalu apakah tidak diajak makan malam setiap hari itu lumrah, serta pertanyaan ajaib lainnya. Ada kalanya au pair merasa emosional, hingga terpikir untuk mencari keluarga baru secepatnya. Atau mungkin sebaliknya, karena tak punya teman curhat dan belum mengerti peraturan, banyak juga au pair yang memutuskan terus tinggal meskipun setiap hari terbawa perasaan tak nyaman.

Tapi sebelum memutuskan untuk terus tinggal, coba cek tanda-tanda di bawah ini yang mungkin akan jadi alasan terbaik mu untuk segera hengkang dari keluarga tersebut!

1. Ketika pola weight loss plan kita mulai diatur

Saya tak pernah sepakat dengan perilaku keluarga yang membeda-bedakan makanan bagi mereka dan au pair. Menurut saya, persoalan pangan menjadi hal yang paling krusial karena menyangkut dengan ketahanan hidup manusia. Tahu kan bahwa au pair itu harusnya dianggap seperti keluarga sendiri, yang artinya makan pun kalau bisa semeja dan sepatutnya bebas makan apapun yang host family juga makan.

Kalau kamu saja tidak boleh makan ini, makan itu, dengan alasan barang tersebut mahal atau karena persediannya tinggal sedikit, this is a huuuge red flag! Saya juga tidak suka dengan ide melarang au pair makan bersama dengan host family, namun malah memberi au pair uang jajan untuk membeli makanan di luar. Parahnya lagi, ada au pair yang bahkan tak diberikan uang tambahan untuk membeli makan, malah disuruh beli makan sendiri pakai uang pribadi.

Intinya, kalau kamu tinggal bersama keluarga yang pelit soal makanan, jangan berpikir dua kali untuk lanjut kontrak dengan mereka!

2. Kamu merasa direndahkan

Ini sebetulnya sempat terjadi dengan saya di Belgia. Selain kasar, keluarga pertama saya dulu juga tidak memberikan kepercayaan sepenuhnya sehingga membuat saya kurang nyaman. Mendatangkan orang baru ke rumah dan langsung percaya sepenuhnya memang tidak mudah. Saat mereka berlibur, gerak-gerik saya tetap dimata-matai oleh adik host mom untuk bahan laporan. Ketika saya buru-buru harus kejar bus dan tidak sempat cuci piring, si adik siangnya datang ke rumah, memoto wastafel dapur lalu diberikan ke kakaknya sebagai bukti. Sukses, saya dimarahi habis-habisan karena meninggalkan rumah tanpa mencuci piring terlebih dahulu!

Si ibu juga sering kali mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat saya sedih, seperti "Pakai mata kalau kerja!", "Siapa yang ingin minum susu kalau sudah dibuka semua?! Susu bayi itu mahal!", "Kalau keluar mandi jangan lupa lampu dimatikan karena listrik di Belgia mahal!", serta berbagai omongan kasar lainnya.

Menurut saya, sebagai anak muda yang baru pertama kali tinggal di luar negeri, host family harusnya bisa sedikit memaklumiculture shock yang kita alami. Tidak usahlah merasa sok kaya dan paling berjasa hanya karena bisa mendatangkan au pair ke negara tersebut. Faktanya, keluarga yang lebih kaya pun masih ada yang menghargai au pair mereka. Lagipula siapa yang mau dimaki-maki dengan kata-kata kasar, meskipun statusnya hanya pembantu sekalipun?!

Three. Meragukan tugas mu

Sulit memang jadi au pair untuk tipe keluarga sok perfeksionis yang biasanya sangat menyebalkan kalau sudah berhubungan dengan tugas bersih-bersih. Kadang sampai harus dicek apakah debu masih menempel di atas meja atau sempat menanyakan "what have you done today?!" saat melihat standar kebersihan kita berbeda dengan mereka. Keluarga seperti ini tidak pernah puas!

Lucunya, mereka sendiri sebetulnya tidak serapi atau sebersih yang kita pikirkan. Kalau memang tidak puas dengan hasil kerja au pair, silakan kerjakan sendiri! Au pair bukanlah babu profesional yang dilatih untuk membersihkan sudut kamar mandi sebersih resort berbintang. Kalau pun ingin bersih, ya mari kerjakan bersama dan beri contoh ke au pair. Bukan hanya menyuruh begini begitu, namun ujungnya tetap saja tidak pernah puas dengan cara kerja kita.

Saya pernah dihakimi habis-habisan hanya karena sudah 3 kali menyikati kamar mandi, namun hasilnya tak seperti yang mereka inginkan. Lucunya, si host dad yang tukang suruh-suruh pun mengaku bahwa beliau sama sekali tak tahu apa yang diharus dilakukan. Ketimbang memberikan arahan yang benar, saya malah disuruh buka YouTube dan belajar sendiri via internet!

Four. Kerja berlebih

Banyak miskonsepsi tentang "working overtime" di kalangan au pair. Ada yang merasa sudah bekerja terlalubanyak, tapi sebetulnya hanya 5-6 jam saja. Ada juga yang merasa "diperbudak", namun faktanya justru banyak libur di kemudian hari. Lalu, mana yang sebetulnya benar?

Yang paling tahu tentu saja kamu. Menurut saya, kerja berlebih itu bisa berarti kerja dari pagi sampai malam non-prevent, dengan waktu istirahat hanya 2-three jam saja. Tapi kalau kamu masih bisa datang ke tempat kursus, masih punya waktu sendiri 4-five jam di siang hari, lalu masih bisa tidur nyenyak saat malam, berarti kamu masih bekerja normal.

Tentu saja setiap au pair memiliki jam kerja dan tugas yang tidak sama. Mungkin saja satu au pair menilai kamu overtime, tapi kamu sendiri merasa hal tersebut normal. Ada juga yang mungkin merasa kamu manja, padahal menurut mu kerjaan lebih dari apa yang disepakati di kontrak. Then just listen to your gut and body! Saat tubuh mulai lelah dan kita sering mengeluh tentang kerjaan hampir setiap hari, berarti memang ada yang salah dengan jadwal tersebut. Saran terbaik saya, ajak keluarga berdiskusi dan speak up dengan apa yang kamu rasakan. Tak ada perubahan setelah diskusi? Then it's time to find a new host family!

Five. Banyak ekspektasi

Sebelum berpikir untuk mengundang au pair datang ke rumah, tiap keluarga harusnya paham bahwa au pair bukanlah anak muda yang langsung punya gelar S3 Pendidikan Mengganti Popok Bayi dari Harvard ataupun S3 Kebersihan Rumah Tangga dari Oxford. Punya pengalaman babysitting sebelumnya dari Indonesia belum tentu membuat au pair paham bagaimana mengurusi anak bule yang kulturnya berbeda. Punya background khusus di dunia pendidikan atau pintar main alat musik, bukan berarti harus menjadikan au pair guru privat di rumah—kecuali sudah ada kesepakatan untuk membayar uang lebih.

Hanya karena sudah membayar ini itu untuk mengundang seorang au pair, bukan berarti juga au pair harus memenuhi semua ekspektasi yang keluarga inginkan. Saya sering mendengar cerita bahwa keluarga angkat menginginkan rumah dan rest room bersih ala bintang lima. Ada juga keluarga yang sebetulnya tidak bisa mengurus dan mendidik anak, namun melimpahkan semuanya ke au pair dengan harapan au pair bisa lebih baik mendidik anak-anak mereka. Lalu hanya karena au pair bisa bahasa Inggris, keluarga mengharapkan di rumah hanya boleh menggunakan bahasa Inggris untuk membentuk lingkungan internasional.

Kalau hanya didatangkan jauh-jauh untuk full-time mengasuh anak dan bersih-bersih rumah, kapan lagi au pair punya waktu untuk belajar dan berinteraksi dengan budaya lokal?!

6. Menyediakan fasilitas tidak layak

Meskipun harusnya au pair mendapatkan kamar tidur dan kamar mandi sendiri , tapi level kemewahan fasilitas yang didapat tidaklah sama. Mungkin au pair A lucky bisa mendapatkan kamar luas ala bintang lima dengan pemandangan langsung menghadap ke sawah, namun au pair B hanya mendapatkan kamar sepetak kecil dengan kamar mandi berbagi dengan anak. Daripada iri dengan au pair A dan ingin segera ganti keluarga, sebaiknya kamu tetap positive thinking dan banyak bersyukur karena untuk sewa kamar sendiri yang luasnya sepetak kecil pun tetap mahal di Eropa. Mungkin kamu memang tak puas dengan fasilitas yang didapatkan sekarang karena tidak sesuai ekspektasi. Namun saran saya, kalau memang kamar tersebut masih layak tinggal, cobalah tetap stay.

Jenis fasilitas tak layak yang saya maksud bisa jadi kamar kalian berada di bawah tanah dengan penerangan temaram dan tanpa jendela. Di Denmark, ada banyak sekali keluarga yang menaruh kamar au pair di bawah tanah dengan keadaan yang cukup gelap tanpa jendela. Kamar jenis ini seharusnya dilarang di Denmark karena akan membahayakan, apalagi jika ditinggali untuk waktu cukup lama. Mengapa, bayangkan jika tiba-tiba kebakaran dan kamu harus menyelamatkan diri, kemana larinya kalau tak ada jendela di sana? (Baca postingan saya tentang au pair Denmark yang rata-rata punya kamar di basement!)

Fasilitas lainnya yang menurut saya tak layak adalah masalah kenyamanan dan keamanan au pair. Untuk au pair Indonesia yang baru pindah ke Eropa, suhu 12 derajat di malam hari mungkin saja sudah luar biasa dinginnya. Au pair yang tidak beruntung, bisa saja mendapati kamar mereka tanpa heater sama sekali bahkan saat musim dingin! Saya pernah mendapat cerita au pair Indonesia yang satu tahun harus tidur di kamar tanpa penghangat! Ketika dilaporkan ke host family, mereka sama sekali tak mau memberikan heater hanya karena ingin hemat listrik! This is NONSENSE!!Kalau memang miskin, kenapa sok-sokan ingin punya au pair?!

Selain itu, kamu juga harusnya bisa minta kamar berkunci untuk diri mu sendiri, lho! We never know kan apa yang akan terjadi, entah karena privasi atau ingin bebas dari anak, kamu tetap bisa mengunci pintu dari dalam. Karena saya selalu ingat pesan dari bibi saya dulu, kunci pintu kamar adalah alat paling privasi yang harus kita dapatkan selama tinggal di rumah orang.

7. Bossy

Punya bos yang bossy itu sudah biasa dan kadang kita memang harus menerima begitulah apa adanya attitude kebanyakan atasan. Namun, host family yang ada di rumah meskipun statusnya memang atasan kita, namun secara kesetaraan, bukan. Oke, mereka yang memberi kita uang saku, mereka adalah penjamin kita selama tinggal di sana, mereka juga yang menyediakan kita fasilitas ini itu, tapi apa pantas mereka menganggap kita seorang pembantu hanya karena sudah memberikan semua hal tersebut?

Bagi saya, kerja dengan atasan yang bossy itu sungguh tak nyaman. Okelah kalau kerjanya di kantor yang mungkin hanya ketemu 8 jam saja per hari. Tapi kalau harus tinggal dengan host family bossy selama 24/7 dan >365 hari, apa nyaman?! Bossy ini pun menurut saya tidak sama untuk semua orang. Ada yang merasa host family jutek dan asal tunjuk ini itu masih normal. Ada lagi yang merasahost family saat memberi tugas dengan suara meninggi itu sudah termasuk bossy. Yang pasti, hanya kamu sendiri yang tahu apakah treatment yang kamu dapatkan lebih seperti bawahan atau keluarga. Meskipun status au pair itu ada di tengah-tengah antara profesional dan kekeluargaan, namun tetap saja tak etis menyuruh au pair ini itu dengan nada meninggi seolah-olah status gap di antara kita dan keluarga sangat luas.

Saat memutuskan pindah keluarga, 3 atau 4 tanda di atas adalah alarm penanda yang membuat saya merasa tak betah lagi tinggal bersama host family. Mungkin terkesan sangat idealis, namun tujuan saya datang ke Eropa memang bukan untuk jadi pembantu rumah tangga yang harus direndahkan! Persoalan kerja dan uang saku yang dibalut program pertukaran budaya ini menurut saya hanyalah win-win solution antara kita dan host family. Hanya karena sudah diberikan semua fasilitas dan uang saku, bukan berarti kita tak punya hak untuk tinggal dan bekerja dengan nyaman kan?

Tapi sekali lagi, meskipun keluarga kamu terlihat bossy atau banyak ekspektasi, saya tetap menyarankan untuk mencurahkan isi hati dan uneg-uneg kamu dulu ke au pair senior atau agensi. Kadang-kadang, saran dari mereka bukan menyuruh mu ganti keluarga tapi introspeksi diri. Bisa jadi, bukannya host family yang bermasalah dan terlalu banyak ekspektasi, namun sebaliknya, kita sendiri yang menaruh standar terlalu tinggi terhadap kehidupan au pair. (Baca postingan saya tentang kehidupan au pair yang tak hanya bertugas mengasuh anak!)

In the end, you're the one who know the real situation. Kamu yang paling tahu dan paling merasakan bagaimana rasanya tinggal bersama keluarga tersebut. Ikuti kata hati dan kalau perlu, tunggulah sampai 1 bulan, sebelum betul-betul memutuskan untuk mencari keluarga baru. Tapi bagi saya, kalau memang sudah tak betah, then nobody should tell you to keep staying. Better to move on and find a new host family ASAP!