Showing posts with label belajar di luar negeri. Show all posts
Showing posts with label belajar di luar negeri. Show all posts

Friday, July 10, 2020

Tips Belajar Bahasa Denmark: Simpel tapi Menantang|Fashion Style

"I hate Danish!"

"When I heard Danes talk their own language, it's like they devour potatoes at the equal time."

"I've been right here for 5 years, however I cannot speak Danish but even though I recognize primarily all of component."

"Meskipun sudah three tahun di Denmark, saya pun masih harus battle sama pronunciation-nya."

Itulah beberapa komentar yang sering saya dengar dari para ekspat tentang bahasa Denmark.Mereka tidak suka dengan bahasa ini, tidak bisa bicara walaupun sudah cukup lama tinggal disini, bahkan malas belajar. Cukup beralasan memang, mengingat Kopenhagen adalah kota internasional dengan penduduk yang kebanyakan warga pendatang dari negara lain. Berbeda dengan ibukota negara lain yang pernah dikunjungi, saya rasanya sedang berada di UK ketika hampir setiap sudut Kopenhagen dipenuhi oleh para pendatang yang berbicara bahasa Inggris.

Orang asli Denmark dari penjuru utara sampai selatan pun sebenarnya sangat fasih bicara bahasa Inggris, kecuali para generasi tua yang tidak terlalu percaya diri dengan kemampuan bahasa mereka. Anak-anak muda dari usia 14 tahun sudah mampu berdialog dengan baik, walaupun kadang mereka masih rendah hati mengakui bahasa Inggris mereka tidak sempurna.

Saat berbelanja atau di kafe, jika pelanggan tidak bisa bicara bahasa Denmark, kasir ataupun pelayan secepatnya langsung berganti ke bahasa Inggris. Di Kopenhagen sendiri pun, kebanyakan orang Denmark akan sangat bangga jika bisa show off tentang Bahasa Inggris mereka ke orang asing. Mereka cenderung lebih nyaman bicara bahasa Inggris ketimbang mendengar orang asing berusaha bicara bahasa mereka dengan pengucapan yang super kacau.

Hampir semua penduduk Denmark bisa bahasa Inggris, lalu kenapa juga mesti belajar bahasa ini? Sayangnya, karena banyak warga pendatang yang memenuhi negara mereka, pemerintah akhirnya "mewajibkan" kursus bahasa Denmark bagi setiap pendatang yang sudah memiliki nomor CPR dengan tujuan pekerjaan ataupun studi. Namun karena biasanya masa studi software Master hanya sekitar 2 tahun, kebanyakan mahasiswa software ini menjadikan kursus bahasa Denmark sebagai opsional.

Di kelas saya, banyak sekali para pencari kerja yang mesti ekstra sabar belajar bahasa ini sampai mereka mampu melamar ke beberapa tempat kerja. Mereka sebenarnya sedikit berjudi dengan keadaan karena ikut suami atau pacar ke Denmark, mengungsi dari daerah perang, ataupun ingin mendapatkan kesempatan hidup yang lebih baik. Walaupun hampir semua orang di Denmark bisa berbahasa Inggris, namun lapangan pekerjaan akan terbuka lebih lebar bagi para pendatang jika mampu berbicara bahasa lokal.

Pelajaran bahasa memang tidak untuk semua orang, terutama mempelajari bahasa baru yang jauh dari bahasa ibu. Selain antusiasme dan motivasi, nilai fungsional sebuah bahasa juga berperan untuk menentukan suka tidaknya kita dengan bahasa tersebut. Bagi pendatang yang bekerja di sektor IT, mungkin saja mereka tidak perlu belajar bahasa Denmark terutama jika lingkungan pekerjaan tersebut lebih mengedepankan bahasa Inggris. Para mahasiswa juga tidak perlu juga repot-repot mengikuti kelas bahasa Denmark di malam hari karena kelas pun kebanyakan internasional dan memakai bahasa Inggris.

Setelah dua bulan mengikuti kelas bahasa di Ballerup, saya cukup mengerti tentang masalah bahasa di Denmark. Selain karena kebanyakan penduduk di Denmark bisa berbahasa Inggris dengan baik, bahasa Denmark sendiri memang terdengar sangat aneh bagi semua orang. Apalagi kelas Modul 1, dimana semua orang baru berkenalan dengan alfabet dan kata-kata baru, pasti menjadikan bahasa ini sebagai ajang lucu-lucuan. Saya pun merasa kalau mereka bicara dengan lidah yang terbelit-belit dulu hingga bisa menjadikan banyak kata menjadi satu kalimat. Intinya, banyak anggapan tentang betapa anehnya bahasa ini makanya banyak yang malas belajar.

Menurut saya, bahasa Denmark memang cukup aneh di awal-awal. Saya sendiri masih cukup sulit berhadapan dengan pelafalan kata-kata yang tidak punya aturan. Bunyi kata-kata itu sendiri bisa berubah sesuai padanan alfabet. Belum lagi saya masih harus belajar ekstra keras untuk membedakan ? Dan e, ? Dan y, atau ? Dan o. Walaupun orang Denmark mengakui pelafalan adalah hal tersulit dari bahasa mereka, namun saya sedikit diuntungkan karena gramatikanya cukup mirip dengan bahasa Belanda. Struktur kalimatnya juga lebih simpel ketimbang bahasa Inggris dan tidak "kesana-kemari" seperti bahasa Belanda.

Kesimpelan bahasa Denmark juga sebenarnya terlihat dari ketiadaan "please", "Madam/Sir", atau "smakkelijk!" yang berarti "selamat menikmati (makanan)!" dalam bahasa Belanda. Karena terlalu kasual, para siswa juga tidak memanggil guru mereka dengan "sopan". Mereka lebih senang jika guru dan siswa seperti teman dengan hanya memanggil nama depan agar terkesan akrab.

Generasi muda Denmark yang juga cuek, tidak peduli apakah harus memanggil "Madam/Sir" saat percakapan formal. Bahkan anak-anak pun bisa memanggil orang tua mereka hanya dengan nama. Dari sini, saya merasa bahwa orang Denmark tidak terlalu suka hal-hal yang bersifat terlalu formal dan serius.

Bagi saya, mempelajari bahasa lokal merupakan proper manner sebagai pendatang. Saya lebih bangga jika mampu berkomunikasi dalam bahasa Denmark dengan pelayan di toko atau kafe meskipun tahu muka saya sangat-sangat Asia. Lagipula sebagai au pair, datang ke sekolah dan bertemu orang-orang baru yang sama struggling-nya belajar bahasa Denmark adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Saya tidak harus selalu berkutat dengan tugas rumah tangga setiap hari sehingga lupa bertemu teman baru. Flot!

Thursday, July 9, 2020

Tips 9 Hal yang Harus Dilakukan Saat Tinggal di Luar Negeri Agar Lebih Bermakna|Fashion Style

Berkesempatan tinggal di luar negeri memang bukanlah untuk semua orang. Baik itu untuk keperluan studi, pertukaran budaya, au pair, ataupun ikut keluarga. Orientasi selama hidup di luar negeri tentunya tidak hanya sebatas foto-foto lalu dipamerkan secara halus di media sosial. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan agar sekembalinya ke Indonesia, kita tidak merasa kehilangan momen penting selama hidup di negara orang.

1. Make friends and stay connected

Berteman dengan orang asing di negara asing memang tidaklah mudah, terlebih lagi kalau kita termasuk orang yang pemalu. Di Denmark sendiri, banyak para imigran dari negara tetangga yang juga merasa kesulitan berteman dengan orang lokal . Orang-orang dari Eropa Utara memang cenderung tidak terlalu terbuka dengan orang asing, terutama yang tidak bisa bahasa mereka. Tapi daripada mati kesepian, cobalah untuk tetap berteman dengan orang-orang yang bukan sebangsa kita. Orang-orang dari Asia, Eropa Timur, ataupun Amerika cukup sociable untuk didekati dan diajak bicara.

Cobalah untuk bergabung di akun Meetup yang akan menghubungkan kita dengan banyak orang di negara yang sedang kita tinggali. Kita juga bisa datang ke acara-acara seru yang cocok dengan minat. Dari acara ini, biasanya kita akan bertemu banyak orang dari negara-negara lain dengan minat yang sama. Saya juga mendapatkan beberapa teman baru (yang sekarang jadi teman dekat) karena sering datang ke beberapa acara yang ada di Meetup.

Memang tidak semua orang yang kita temui akan menjadi teman, tapi setidaknya kita sudah mencoba untuk bersosialisasi. Kalau memang bertemu dengan orang yang pas, jangan lupa untuk selalu stay connected karena siapa tahu kalian bisa jalan atau nongkrong lagi setelahnya. Sebisa mungkin batasi untuk selalu dan hanya ingin berteman dengan teman sebangsa. Selain kesannya menutup diri dari adaptasi di negara orang, kita juga akan kehilangan momen berharga untuk membentuk jaringan dengan teman internasional.

2. Eat like locals

Soal makanan, lidah saya juga termasuk yang sangat Indonesia sekali. Saya tidak bisa hidup tanpa makanan pedas dan segala bentuk rempah-rempahan. Jujur saja, saya pernah menangis karena benar-benar rindu makanan khas Palembang. Mau masak sendiri, malasnya tidak bisa ditawar. Sebalnya lagi, beberapa teman malah sering sekali mengirimkan foto-foto makanan Indonesia yang membuat saya ingin menampar muka mereka dengan kentang rebus. Hiks!

Awalnya saya juga sangat kesulitan menerima makanan yang hanya berasa lada hitam dan garam. Tapi lama-kelamaan, karena terlalu sering dicekoki, akhirnya sampai detik ini nyaman-nyaman saja. Mungkin karena saya tinggal dengan orang lokal, makanya selera makan saya pun terpaksa harus ikut berubah. Yang tadinya harus makan nasi tiga kali sehari, sekarang hanya dibatasi sehari sekali. Itupun bukan nasi, tapi bisa jadi mie, kentang, atau roti.

Walaupun sangat rindu makanan Indonesia, tapi saya tidak selalu menolak makanan lokal yang patut dicoba. Kapan lagi bisa mencicipi Smørrebrød favoritnya orang Denmark atau makan balletjes dan mashed potatoes khas orang Belgia sepuasnya dengan rasa yang otentik kalau bukan di negaranya langsung.

3. Pelajari bahasa dan budaya mereka

Mempelajari bahasa asing memang tidak mudah. Terlebih lagi kalau bahasa tersebut kurang menarik dan hanya sedikit orang yang menggunakannya di dunia ini. Untuk menguasai bahasa asing pun, beberapa orang membutuhkan waktu yang lama. Banyak yang mengatakan, tidak perlu belajar bahasa daerah setempat kalau hanya tinggal setahun dua tahun. Eiittss... Jangan berpikiran begitu dulu! Tidak ada yang sia-sia untuk urusan belajar. Lagipula, saya merasa orang-orang yang hanya berpikiran untuk selalu menggunakan bahasa Inggris adalah tipe-tipe pemalas dan arogan.

Bagi saya, mempelajari bahasa setempat merupakan proper manner kita sebagai pendatang. Tidak harus bisa cas cis cus, cukup dengan mempelajari bahasa dan fase dasar, membuat kita semakin menyatu dengan orang lokal. Berlatih untuk tidak menggunakan bahasa Inggris saat di kafe atau supermarket merupakan upaya awal. Yakinlah, orang lokal akan merasa sangat dihargai kalau orang asing mau belajar bahasa mereka.

Untuk urusan budaya pun, tetaplah bersikap open minded. Di negara-negara barat, pesta biasanya akan selalu dibarengi dengan alkohol. Kalau suatu kali ada teman yang mengundang datang dan nongkrong, jangan juga selalu ditolak. Tetap terima undangan mereka dan jujurlah kalau kita memang tidak minum alkohol. Sejujurnya, mereka sangat menghargai kejujuran kita dan sebisa mungkin menyuguhi minuman non-alkohol.

Saat tinggal di negara orang pun, biasanya kita akan menemui beberapa budaya yang menurut kita aneh, namun tidak untuk mereka. Daripada bersikap terlalu apatis dan seperti menjaga jarak, yakinkan diri untuk selalu menghargai budaya orang. Bagaimana perasaan kita kalau ada orang asing di Indonesia yang sama sekali cuek dengan budaya kita? Bukankah kita juga sebal dengan sikap mereka yang arogan? So, treat people like we want to be treated.

Four. Kenali negara tempat kamu tinggal

Sejujurnya, saya menyesal saat tidak mengenal Belgia dengan baik sewaktu tinggal disana. Saya hanya terpaku dengan Ghent dan Brussels saja, namun tidak ada kesempatan lebih untuk berkunjung ke daerah Selatan. Padahal daerah-daerah di Belgia Selatan kerennya bukan main.

Daripada sibuk memikirkan ingin ke negara ini, ke negara itu, keliling sana, keliling sini, masukan juga beberapa tempat oke di negara yang sedang kita tinggali. Saya yakin, kita pasti akan menemukan beberapa tempat eksotis yang jauh dari keriuhan turis. Kalau cuaca sedang bagus, jalan santai ataupun bersepeda ke sekitar daerah yang kita tempati demi menemukan spot-spot cantik tidak ada salahnya juga. Walaupun kata orang Denmark adalah negara membosankan dengan keterbatasan pemandangan alam, tapi saya tetap bertekad untuk mengunjungi beberapa tempat di utara kok.

5. Jangan kebanyakan atau terlalu pelit jalan-jalan

Saya yakin, saat di Indonesia, kita sudah mempunyai daftar tempat-tempat yang akan dikunjungi sebelum datang dan tinggal di negara orang. Apalagi benua Eropa, yang negara-negaranya berdekatan dan tidak butuh lama untuk lompat dari Swiss ke Kroasia. Tapi janganlah terlalu sibuk mencoret-coret daftar hanya gara-gara pasang target. Menurut saya, jalan-jalan memiliki esensinya masing-masing. Keseringan jalan-jalan tentunya membutuhkan banyak uang dan waktu.

Terlalu sedikit jalan-jalan karena sibuk menabung juga sebenarnya tidak baik. Ayolah, kapan lagi bisa ke Eropa dan melihat Berlin, Oslo, Talinn, lebih dekat? Eropa, dilihat dari peta pun, memiliki celah yang sangat jauh dari Indonesia. Tidak perlu mendatangi setiap negara walaupun kata orang must visit.

Kalau memang sedikit membatasi budget untuk jalan-jalan, coba datangi negara-negara "murah" yang memang must visit before you die ataupun cocok dengan sesuatu yang sedang kita minati. Contohnya, kalau memang suka pantai, negara-negara hangat seperti Yunani atau Spanyol super tepat untuk liburan berikutnya. Bagi penggila arsitektur, menabunglah demi ke Maroko atau Britania Raya untuk mengagumi keindahan interior dan bangunan di negara ini.

6. Lakukan kegiatan yang tidak bisa dilakukan di Indonesia

Mencoba hal-hal baru selama tinggal di luar negeri, tentunya bisa menambah pengalaman kita saat di negara orang. Kalau awalnya tidak sempat kepikiran untuk menonton ballet dan opera saat di Indonesia, cobalah untuk memesan tiket pentas saat berkunjung ke Vienna atau Budapest. Yang tadinya kita sangat sulit menggerakkan badan dan tidak suka menari, bergabung dengan klub salsa yang jauh dari minat, membuat kita merasakan hal seru saat berhasil menggoyangkan tubuh yang kaku.

Bagi yang suka kegiatan seni, membantu orang, dan ingin bergabung dengan beberapa acara seru, cobalah untuk berpartisipasi menjadi sukarelawan. Pekerjaan seperti sukarelawan ini memang terkenal di kalangan pelajar yang ada di negara barat. Jika punya kesempatan untuk kerja part time, kenapa tidak dicoba? Beberapa teman saya bercerita kalau mereka pernah menjadi bartender dan cleaner untuk beberapa waktu.

Kamu tipe anak muda pemalu yang tidak pernah keluar lewat dari jam 9 malam saat di Indonesia? Hentikan kebiasaan itu dan pergilah ke kota lepas jam 10 malam di hari Jumat. Rasakan atmosfir anak-anak muda yang akan menyambut akhir pekan mereka bersama teman di Jumat malam. Tidak mood ikut berpesta dan meneguk minuman keras? Di beberapa kota di luar negeri, masih banyak café bar yang buka hingga larut malam sambil menyuguhkan musik-musik live sebagai teman minum kopi.

7. Belajar dengan serius

Seriusan, belajarlah seserius orang-orang Eropa! Mereka benar-benar bisa membagi waktu antarahaving fun dan tetap belajar di akhir pekan sekali pun. Jangan karena sibuk travelling secara mudah kesana kemari, kita jadi lupa tujuan awal datang dan tinggal di negara orang. Bukan hanya belajar di kampus yang harus serius, tapi setiap hal baru yang sedang dipelajari memang harus dijadikan keseriusan. Apalagi untuk para penerima beasiswa yang usahanya sangat sulit untuk memenangkan hati para pemberi bantuan dana.

8. Berkencan (bagi yang jomblo)

Budaya berkencan di luar negeri memang berbeda dengan di Indonesia, baik itu di bagian Asia manapun, Amerika, maupun di Eropa. Daripada sibuk memikirkan nasib kejombloan kita, sementara teman-teman di Indonesia sudah mulai bertunangan, menikah, hingga punya anak, kenapa tidak coba berkencan dengan bule-bule lucu?

Tenang saja, berkencan disini sifatnya tidak harus pacaran kok. Minum-minum kopi santai atau nonton film terbaru sambil membahas topik seru biasanya akan membuat kita menilai beberapa karakter kaum adam dan hawa di beberapa negara. Cowok-cowok Asia terkenal lembut, masih penuh rasa gengsi yang tinggi, tapi cukup peduli membayari ini itu. Namun jangan kaget saat berkencan dengan cowok-cowok bule (terutama di bagian utara Eropa) yang tegas, sweet, tapi mendukung feminisme yang kadang membuat kita menilai mereka kurang maskulin.

Walaupun banyak cewek barat yang tidak terlalu menyukai kelembutan cowok Asia, tapi sempat juga beberapa kali saya menemukan pasangan cowok Asia dan cewek barat di Eropa. Bisa jadi kalau karakter si cowok ini sudah kebarat-baratan, ataupun memang si cewek yang suka dengan kelembutan cowok-cowok Asia. Cewek barat memang terkenal mandiri dan tidak terlalu suka dikekang. Tapi tenang saja, mereka juga cewek yang senang kalau dimengerti dan dimanja kok. Hihi..

9. Buatlah dokumentasi dan jurnal

Jangan terlalu kebanyakan motret sana-sini seperti turis. Tapi jangan juga pelit motret gara-gara takut dianggap narsis. Potretlah hal-hal seru untuk dijadikan dokumentasi selama kita di luar negeri. Kita akan sangat menyesal saat tahu belum sempat mengabadikan foto di Kastil Drakula waktu berkunjung ke Romania, atau kelupaan berfoto dengan beberapa teman sekelas saat mengikuti kursus masak di Italia. Momen seru seperti ini tentunya tidak terjadi setiap hari dan memang pantas diabadikan. Hanya saja, tidak perlu semua momen dipotret lalu harus dipamerkan sehalus mungkin di media sosial. Ada kalanya, momen yang ditangkap cukup jadi kenangan pribadi.

Kalau tidak malas, catatlah hal-hal penting yang tidak boleh dilupakan saat di luar negeri. Saya pribadi agak malas menulis seluruh catatan perjalanan ke dalam jurnal. Biasanya saya hanya mencatat ide-ide penting untuk dituliskan lagi di weblog. Selebihnya, foto-foto yang berhasil saya potret biasanya akan menggambarkan seribu kata tentang peristiwa yang terjadi saat itu.

Wednesday, June 17, 2020

Tips Hijrah ke Luar Negeri Itu Melelahkan|Fashion Style

Muncul perasaan sedih, haru, namun bercampur bahagia ketika pesawat Thai Airways yang saya tumpangi mendarat di Bandara Oslo-Gardermoen. Bahagia karena akhirnya perjalanan panjang nan melelahkan selesai juga. Haru karena bisa mendapat kesempatan kembali lagi ke Eropa. Tapi juga sedih karena lagi-lagi meninggalkan keluarga dan teman-teman terdekat di Indonesia.

Ini kali ketiganya saya pindah dan tinggal di Eropa. Setelah drama visa Norwegia dan paspor yang cukup menyita waktu, tenaga, dan biaya, akhirnya semua terbayarkan karena bisa mendapatkan izin tinggal selama 2 tahun di negara terbahagia di dunia ini (2017).

Dalam waktu three tahun terakhir, saya bersyukur bisa mendapat kesempatan tinggal di 3 negara Eropa plus jalan-jalan ke banyak tempat. Tapi dalam waktu 3 tahun juga, saya sudah 5 kali mengepak barang untuk pindah dan pulang. Kalau ada yang mengatakan saya beruntung, tentu saya harus lebih banyak bersyukur.

Namun kalau ada yang bertanya lebih jauh tentang perasaan saya, sejujurnya saya depresi. Moving abroad is stressful and tiring! Jangankan pindah negara, bayangkan saja kalian harus pindah sekolah selama 3 kali dalam kurun waktu 3 tahun. It's no fun anymore, isn't it?

Oke, tidak hanya saya au pair yang pindah ke banyak negara dalam waktu beberapa tahun. Banyak juga teman au pair yang selesai di Belanda, lalu pindah ke Belgia, tanpa pulang dulu ke Indonesia. Culture clash pasti ada, meskipun kedua negara tersebut sama-sama di Eropa. Tapi coba saja jika harus bolak-balik pindahan dulu dari Indonesia, the culture never stops shocking me!

Mengapa?

1. Belajar bahasa dan budaya baru lagi

Learning language is tough and needs a strong commitment. Saya tahu bahwa belajar bahasa apapun memang tidak akan pernah sia-sia. Tapi bagaimana kalau pembelajaran yang sedang ditekuni terpaksa terhenti hanya karena harus pulang?

Bisa dikatakan, sampai sekarang level bahasa saya nanggung, alias masih disitu-situ aja. Sempat belajar bahasa Prancis, tapi hanya baby talk atau frase paling dasar saja. Belajar bahasa Belanda, eh tahunya malah sedikit terpakai karena di rumah kebanyakan pakai bahasa Inggris.

Sampai di Denmark, belajar bahasa baru lagi. Saat saya sedang serius menekuni bahasa tersebut, akhirnya saya mesti puas saja stop di Modul 4 karena memang sudah habis kontrak dan harus pulang ke Indonesia.

Pindah lagi ke Norwegia, mesti ulang belajar bahasa baru karena memang perlu.Then, it starts again from the basic!Walaupun bahasa Denmark dan Norwegia sedikit mirip, tapi aksen dan pengucapannya super beda.

Banyak belajar, tapi skill nanggung. That's me.

2. Cari teman baru lagi

Mencari teman di Skandinavia lebih sulit ketimbang mencari teman di Eropa Barat. Contohnya, orang-orang Belgia cenderung lebih suka basa-basi dan terbuka ketimbang para penduduk Skandinavia. Teman asli Belgia saya memang tidak banyak, namun setidaknya mereka lebih mudah diajak ngobrol saat baru pertama kenal.

Tinggal dua tahun di Denmark, saya sudah cukup banyak berkenalan dengan orang baru dan akhirnya bisa dijadikan teman nongkrong saat akhir pekan. Mencari para teman ini pun tidak mudah. Saya harus aktif di banyak acara, volunteering, ikut meet up, ataupun sekedar memenuhi undangan dari kenalan lainnya dulu.

Bertemu dengan orang baru pun tidak secepatnya langsung menjadikan mereka teman. Ada banyak pengalaman yang membuat saya harus datang ke acara, haha hehe dengan orang baru, lalu pulangnya tetap sendiri tanpa menyambung silaturahim dengan mereka. Yah namanya juga cocok-cocokkan.

Lalu setelah mendapat teman yang nyaman di Denmark dan Belgia, saya harus kembali memulai frase mencari teman di Norwegia yang pastinya butuh waktu. Kadang, pindah-pindah tempat tinggal bukannya menambah teman, namun kehilangan yang sudah ada.

3. Keliling dan mengenal daerah baru lagi

Entah kenapa, setibanya di Oslo, akhir pekan saya berjalan sangat datar. Berbeda saat baru tiba di Brussels dan Kopenhagen, keinginan untuk menjelajah tempat baru rasanya begitu membuncah. Sepanjang jalan mengitari kota selalu membawa perasaan bahagia dan penasaran. Ada apa lagi ya di sudut sana? Kafe mana lagi ya yang oke untuk nongkrong? Tempat pemberhentian selanjutnya diman aya? Daftar kunjungan yang wajib saya datangi rasanya sudah panjang.

Akhir pekan lalu, saya hanya jalan-jalan 10 menit di kota lalu pulang. Everything still looks the same as two years back I was here. Nothing new.

Oslo memang tidak terlalu berbeda dengan banyak ibukota di Eropa. Turis, museum, kafe, bar, tempat selfie, dan salju. Oslo juga sebenarnya tidak baru, karena saya pernah important ke kota ini. Lama-lama main di sentral, eh kok, bosan juga ya?

4. Mempelajari sistem kependudukan dan transportasi publik lagi

Tiba di Oslo, tidak membuat saya serta merta langsung menjadi bagian penduduk Norwegia. Ada banyak sekali hal yang harus lakukan agar bisa mendapatkan hak yang sama dengan penduduk lokal.

Sebelum pindah ke tempat baru, biasanya saya lakukan riset mini dulu sebagai bahan perkenalan dengan negara yang akan saya tempati. Dari cara membeli tiket kereta, diskon untuk anak muda, kartu telepon, buka akun bank, hingga pajak, biasanya saya pelajari satu-satu. Hal ini rutin saya lakukan agar tidak kaget dan setidaknya mengerti sedikit tentang sistem di negara yang akan saya tempati.

Menjadi orang baru lagi tidak gampang. Kita harus dituntut untuk lebih banyak tahu dan belajar, bukan hanya having fun.

5. Berkencan dengan cowok baru lagi

Bagi yang masih jomblo, pindah ke negara baru bisa berarti tantangan baru. Cowok Belgia tentu saja berbeda dengan cowok Denmark. Pun begitu dengan cowok Norwegia yang katanya sangat suka alam dan kegiatan luar ruangan.

Tidak hanya cari teman baru yang melelahkan, namun juga berkencan . Saya yang bukan ekspert, tapi mantan serial dater ini, rasanya terlalu malas jika harus berkenalan dan berkencan dengan banyak cowok baru lagi.

Girls, modern dating is so overwhelming. Kamu kenalan lewat online, ketemuan, baper, berharap lebih, eh lalu si bule menghilang. Begitu saja terus sampai lelah atau akhirnya menemukan yang terbaik. Anyway, it always takes time to find the right one. But, I give up already.

Kata orang, sesuatu yang baru itu terlihat lebih menarik dan menyenangkan. Tapi entah mengapa, pindahan kali ini justru membuat saya sedikit menutup diri dan malas-malasan. Saat saya curhat hal ini ke adik, saya dibuat jleb dengan komentar singkat dia, "who've decided?"

Iya. Ini yang sudah saya putuskan. Inilah resiko yang harus saya hadapi ketika mulai nyaman di satu tempat, lalu harus pindah lagi ke tempat baru.

It's just started. It's only the beginning. Daripada saya mengeluh terus, lebih baik tetap berpikiran positif bahwa akan selalu ada kejutan menarik di setiap tempat yang pernah saya tinggali. Oslo might be boring, but my life could not be!

Yes. Welcome to Norway!

Saturday, May 30, 2020

Tips Belajar Bahasa Asing dengan Anak-anak|Fashion Style

Dari awal sebelum datang ke Belgia, saya memang sudah berasumsi bahwa au pair adalah pertukaran budaya antara kita dan keluarga angkat . Dalam ajang pertukaran budaya ini juga, au pair diberikan kesempatan belajar bahasa lokal untuk memudahkan komunikasi sehari-hari dengan host kids dan lingkungan sekitar. Apalagi di Prancis yang kebanyakan penduduknya tidak bisa bahasa Inggris.

Sadar akan tinggal dengan keluarga multibahasa, saya rela beli buku pelajaran bahasa Belanda dan Prancis dari Kesaint Blanc sebagai modal awal 6 bulan sebelum keberangkatan. Meskipun banyak orang Belgia Utara paham bahasa Inggris, tapi saya tidak ingin terperangkap di zona nyaman hanya karena bisa bahasa tersebut. Kalau bisa, saya ingin meminimalisir penggunaan bahasa Inggris di rumah, terutama dengan anak-anak.

Setiap hari saya pelajari buku-buku tersebut secara otodidak dan memutar CD materinya. Sangat menyenangkan, apalagi sebenarnya saya memang suka belajar bahasa asing . Enam bulan belajar tentu saja tidak membuat seseorang langsung fasih bicara bahasa asing, apalagi saya tidak memiliki teman berlatih.  Namun setidaknya saya sudah mengenal beberapa frase atau kata-kata sederhana yang bisa digunakan saat berbicara dengan host kids.

Keluarga saya yang pertama sehari-hari menggunakan bahasa Prancis, meskipun mereka tinggal di lingkungan yang semua orang menggunakan Flemish (bahasa Belanda versi Belgia). Saat saya datang, anak mereka yang pertama baru berusia 2 tahun dan belum terlalu lancar berbicara. Jadi enaknya, kami bisa sama-sama belajar. Banyak kosa kata baru justru saya dapatkan langsung dari si orang tua.

Beberapa kali seminggu saya tetap ikut kursus bahasa Belanda, walaupun sesampainya di rumah kembali menggunakan bahasa Prancis. Saya tidak pernah sedikit pun menggunakan bahasa Inggris ke anak-anak, kecuali saat bicara ke host parents.

Rayan, anak tiri host mom yang berumur 9 tahun, kadang menginap di rumah dan sering kali mengajak saya mengobrol. Walaupun tahu saya tidak bisa bahasa Prancis, si anak ini tetap saja asik bercerita tanpa harus saya respon. Tapi gara-gara sering mengobrol ini juga, saya lalu jadi tempat curhat Rayan. Kalau tidak paham satu frasa atau kosa kata baru, Rayan tidak segan menjelaskan ke saya kembali memakai bahasa tubuh.

Pelajaran bahasa Prancis saya pun berlanjut dengan cleaning lady keluarga ini, Zeza, yang tidak bisa baca tulis. Zeza kadang jadi partner of crime saya kalau harus making a story dengan si host mom. Maklum, Zeza juga tidak terlalu suka dengan sifat host mom yang terlalu bossy.

Pindah dari keluarga ini, saya tinggal dengan keluarga asli Belgia yang sehari-hari berbicara bahasa Belanda. Sayangnya ketiga anak mereka sudah sangat fasih berbahasa Inggris dan tidak membantu pelajaran bahasa saya sama sekali. Mereka lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris untuk menghindari miskomunikasi. Pelajaran bahasa Belanda yang saya pelajari di sekolah pun seperti tidak membekas karena selama 7 bulan full saya jarang praktik, selain di supermarket atau toko roti.

Datang ke Denmark, saya lagi-lagi paham kalau bahasa yang akan digunakan berbeda. Sama seperti persiapan di tahun pertama, saya tetap berusaha mempelajari sedikit bahasa lokal sebelum datang ke negara aslinya. Karena bahasa Denmark tidak terlalu ngetop di Indonesia, saya hanya mempelajari kosa kata sederhana lewat Duo Lingo. Lumayan sih, setidaknya saya tahu kalau kylling itu artinya ayam.

Dua tahun di Denmark, saya betul-betul absen menggunakan bahasa Inggris di rumah dengan para host kid. Umur si kakak saat itu masih 4 tahun dan dua adik kembarnya baru 4 bulan. Emilia, si kakak, awalnya kesal dan mengalami kesulitan berkomunikasi karena saya seperti bisu tuli. Setahun kemudian, malah saya yang paling sering mengejek-ejek dia dengan bahasa Denmark.

Saya bersyukur karena semua host parents tidak pernah memaksa saya menggunakan bahasa Inggris ke si anak. Host parents juga sangat senang saat tahu saya tertarik mempelajari bahasa lokal. Banyak kata-kata baru saya dapatkan langsung dari mereka, terutama di meja makan atau saat mereka menegur si anak. Kata-kata ini kadang saya gunakan kembali sebagai senjata saat si anak tidak mendengar omongan saya.

Satu hal yang saya suka belajar bahasa asing dengan parahost kid adalah mereka tidak pernah mengecap bahasa asing saya jelek. Mungkin awalnya si anak ini hanya "hah?" dengan raut aneh. Tapi setelahnya, mereka tidak ambil pusing dan kadang dengan baik hati membenari ejaan saya yang salah. Berbeda dengan para orang dewasa yang malas mendengar imigran berbicara salah-salah dan lebih menyarankan diganti ke Inggris saja.

Dari pengalaman ini, saya tahu, kalau kamu ingin dekat seperti teman dengan host kids, maka speak their language—meskipun patah-patah! Jangan paksa host kids untuk memahami apa yang kita inginkan. Jangan juga menyalahkan mereka yang tidak bisa berbahasa Inggris. This is our own responsibility to learn their culture and language. Katanya ingin exchange culture kan? Ya inilah saatnya untuk belajar bahasa baru.

Saya tahu, mungkin kita hanya akan tinggal selama setahun atau dua tahun di negara tersebut. Saya juga paham mungkin banyak au pair yang merasa tidak niat belajar bahasa lokal karena tidak tahu akan digunakan dimana. Tapi menurut saya, tidak ada pembelajaran yang sia-sia.

Saya sempat belajar bahasa Prancis 3 tahun lalu dan tidak tahu kapan akan menggunakannya kembali. Musim panas tahun ini, ternyata saya berkesempatan mengunjungi Prancis lagi bersama keluarga yang sekarang. Meskipun banyak kata-kata yang terlupa, tapi sedikit-sedikit saya masih bisa bertanya harga di pasar, mengeja angka, ataupun mengerti sedikit apa yang orang lokal katakan.

Sama halnya seperti bahasa Denmark yang katanya bahasa terjelek di Eropa. Saya tetap bangga mempelajarinya, meskipun dulu saya juga tidak tahu apa manfaatnya kalau harus pulang ke Indonesia. Ternyata, saya pun kembali ke Norwegia yang bahasanya mirip-mirip Danish. Satu lagi, saya juga merasa bangga bisa mengeja dan tahu sistem angkaDanish yang nobody in the North can understand, but Danes. Bahkan kalau ada kesempatan lagi, rasanya ingin meneruskan pelajaran bahasa Denmark yang terhenti sampai Modul 4 tahun lalu.

Jadi tidak salahnya mengisi waktu luang datang ke tempat kursus dan belajar bahasa baru, apalagi kalau host family bersedia membayari. Just take that chance! Lha, daripada hanya manyun dan bersih-bersih di rumah. Teman berlatih pun sudah ada, para host kid. Karena meskipun sudah belajar di sekolah, tapi saya tetap merasa kalau tutor terbaik saya selama di Eropa adalah host kids itu sendiri.

Percayalah, kamu akan bangga dengan diri mu sendiri kalau bisa menguasai bahasa asing lain selain Inggris. Plus, jadi modal juga mempercantik cv kerja. So, would you like to learn a new language when you are moving abroad?

Saturday, May 23, 2020

Tips Au Pair: Tukang Masak Keluarga|Fashion Style

Banyak teman saya yang sejak hijrah ke Eropa jadi sukahang out di dapur dan pintar memasak. Ada satu teman yang sengaja memajang banyak hasil olahannya dan memamerkan kepandaiannya memasak demi menyenangkan perut si pacar. Karena mungkin sudah banyak mendapatkan respon positif dari keluarga si pacar dan teman terdekatnya, teman saya ini langsung percaya diri membuka katering pribadi yang sudah punya laman khusus di Facebook.

Lini masa Facebook dan Twitter saya pun sering kali dipenuhi postingan teman Asia yang menunjukkan makanan hasil buatannya. Kadang sekalian kumpul-kumpul, ada saja yang dimasak. Lalu jangan lupa, difoto dulu. Saking banyaknya masakan yang sering dibuat, ada album khususnya sendiri!

Hebatnya, teman-teman ini tidak hanya masak makanan khas dari negaranya, tapi juga belajar masakan daerah lain. Dari yang coba-coba membuat pastry Prancis, tapas khas Meksiko, hingga sushi. Foto yang dibagikan pun terlihat menarik karena makanannya kelihatan enak.

Lalu, saya sendiri?

Datang ke Eropa dan selalu kangen masakan Indonesia, tidak serta merta juga membuat saya suka masak. Dari dulu, dibandingkan memasak, saya lebih suka menyulam atau menjahit baju.

Oke, sejujurnya, saya bisa masak. Sejak ayah meninggal dan sang ibu kehilangan nafsu masaknya, saya ini lah yang jadi koki keluarga. Paham masakan yang sering dimakan keluarga itu-itu saja, saya juga terbiasa hanya memasak makanan tersebut. Percuma mencoba ide-ide baru, karena tidak ada yang makan. Keluarga saya memang sedikit picky untuk urusan makanan atau cenderung ambil aman.

Jadi au pair di tahun pertama, saya disuruh masak untuk keluarga Belgia 2-3 kali seminggu. Sama seperti keluarga saya di Indonesia, anak-anak keluarga ini super picky juga soal makanan. Mereka tidak suka sayuran, tapi dipaksa orang tuanya untuk selalu menyiapkan sayuran di sisi piring. Pernah suatu kali, saya mencoba menu masakan baru, yang makan hanya orang tua mereka. Para anak ini malah menghina masakan saya dan ujung-ujungnya makan roti. Padahal menurut si orang tua, menu tersebut luar biasa enaknya.

Malas juga mendengar hinaan dan tahu anak-anak ini terbiasa makan apa yang mereka suka saja, di hari berikutnya saya hanya menghidangkan menu favorit mereka dan wortel sebagai sayuran. Selang-seling saja dari daging olahan goreng, Spaghetti Bolegnaise, lalu daging goreng lagi, Spaghetti Bolegnaise lagi. Begitu saja setiap hari. Keseringan diberi wortel terus-terusan, saya pernah ditegur karena tidak berusaha inovatif.

"Nin, we could be red if you give us carrots every day," kata si Bapak.

Didn't you believe you studied I even have attempted my fine however none of your kids devour my innovation (meals)?!

Lanjut au pair di Denmark, tahun pertama saya super sibuk. Selain mengurus rumah dan bayi, saya harus menyiapkan makan malam untuk seluruh anggota keluarga setiap hari! Saya yang memotong sayuran, saya yang masak, saya yang merapikan meja, saya juga yang membersihkan piring kotor. Lengkap! Keluarga Denmark memang luar biasa!

Di keluarga ini pengalaman masak saya pun tidak berkembang. Sering kali masakan saya (lagi-lagi) dihina duluan sebelum dimakan. Si bapak memang pintar masak dan memiliki standar yang terlalu tinggi terhadap makanan. Yang saya heran, kalau memang si bapak pintar memasak, mengapa harus saya juga yang bertugas menyiapkan makanan?

Pernah saya masak Lasagna, dinilai tidak sempurna karena terlalu kering. Sekali lagi masak mie daging, mereka tidak makan sama sekali karena rasanya aneh dan warnanya tidak menarik. Padahal saya sudah berusaha mencontek semua resep dari internet.

Saya benci sekali urusan memasak! Tugas ini tidak mudah karena saya harus berpikir keras, kira-kira menu apa yang cocok untuk dimakan segala usia. Satu lagi, anak pertama keluarga Denmark ini juga picky bukan main soal makanan. Belum lagi persoalan rasa, apakah cocok dengan lidah mereka atau tidak. Not too spicy, not too strong, not too bland, blablabla..

Sadar sepertinya selalu gagal dan habis ide, si bapak memberikan saya hadiah Natal berupa 2 buku tebal berisi resep masakan Denmark yang ternyata niat utamanya malah menyinggung.

Tapi meskipun suka menyidir, ada satu pelajaran yang saya dapat dari host dad ini, "yang paling utama itu adalah soal penyajian, terutama urusan warna. Usahakan minimal ada 2 warna segar seperti hijau dan kuning atau hijau dan merah sebagai pemikat makanan. Hijau bisa diambil dari salad segar atau brokoli dan merah bisa menggunakan cabai atau paprika."

Noted!

Tinggal dengan keluarga Norwegia  hidup saya lebih santai. Tugas memasak hanya 1-2 kali dalam sebulan. Itu juga sudah diwanti-wanti untuk masak makanan yang super sederhana saja. Host family saya ini tipe orang yang easy dan sadar kalau saya memang bukan koki handal. Masakan saya pun sering dipuji dan habis.

"This is the best chicken we have ever eaten!" kata si Bapak saat mencicipi Ayam Bakar Madu yang saya buat.

Anak mereka yang berumur 2 tahun juga bisa diajak bernegosiasi karena sudah diajari tidak pemilih dengan makanan. Jadi meskipun saya masak makanan berat-berat seperti mie atau ayam, si anak ini tetap disuruh mencicipi dan mau makan. Senangnya!

Pindah ke negara orang memang mengajarkan kemandirian. Ada yang mendadak suka dan tambah pintar memasak, tapi ada juga yang stage masaknya standar saja seperti saya. Mungkin karena sering dihina juga, makanya saya malas masak untuk orang banyak. Bukankah masakan paling enak itu sesungguhnya adalah makanan yang dibuat oleh orang lain?

Friday, May 15, 2020

Tips (Jadinya) Kuliah S-2 di Universitas Oslo|Fashion Style

Kalau mengikuti cerita saya saat mendaftar kuliah di Norwegia sampai pengumuman dari kampus , kalian akan tahu bahwa saya memang berniat kuliah di Oslo. Selain karena masih harus menyelesaikan kontrak au pair yang tinggal beberapa bulan lagi, saya memang lebih nyaman hidup di ibukota dengan segala akses kemudahan informasi dan transportasi.

Pun begitu, selain mendaftar di University of Oslo (UiO), saya juga mencoba memasukkan aplikasi ke Oslo Metropolitan University (OsloMet) dan University of Bergen (UiB). Iseng saja, karena toh pendaftarannya gratis juga.

Bulan Juli adalah bulan yang saya tunggu dari tahun lalu, karena bulan inilah yang akan jadi penentu nasib saya ke depannya. Harus pulang kah setelah 5 tahun au pair di Eropa, masih harus jadi au pair lagi kah (BIG NO!), ataukah ada kesempatan untuk lanjut kuliah S-2 disini? Saya juga sebetulnya sudah menyiapkan banyak rencana jika memang harus pulang. Pulang pun tak masalah karena ide bisnis di otak saya rasanya juga sudah meluap. Apalagi berulang kali saya dan adik ipar membahas soal peluang bisnis yang kemungkinan akan kami jalani kalau saya pulang ke Palembang. Intinya, apapun hasil dari kampus, saya terima.

Pengumuman hasil diumumkan paling lambat tanggal 6 Juli. Untuk UiO, saya mendapatkan email jawaban di tanggal 4 Juli sekitar pukul 5.28 sore. Lagi di Prancis, lagi santai-santai duduk di bawah pohon, tiba-tiba email dari UiO muncul. Saya deg-degan bukan main sampai emailnya tidak ingin saya buka dulu karena masih takut membaca hasilnya. Tanpa babibu, saya langsung menghubungi adik saya di Cina yang ikut nervous dengan isi email tersebut. Meskipun katanya sudah siap dengan apapun isi email tersebut, tapi tetap saja, ujung penantian ini malah membuat saya semakin gugup. Setelah diyakinkan oleh adik, beberapa menit kemudian barulah saya siap.

Baiklah, whatever kan?!

1... 2... Three...

Saya buka email-nya dan membaca cepat untuk mencari kata-kata “unfortunately”, “regret”, “rejected”, yang ternyata tidak ada! Selintas saya hanya menemukan kata “offer” disana! Sekali lagi, isi surat tersebut saya baca secara teliti dari atas.

Whoaaaa!!! Saya diterima jadi mahasiswi Master di UiO untuk program studi yang memang jadi top priority! Senangnya bukan main, tapi nervous-nya juga belum usai. Adik saya yang saya kabari ternyata ikut gemetaran dan masih belum percaya juga dengan hasilnya.

Lebay? Dramatis? Mungkin. It’s not Harvard or Stanford, is it?

Iya, memang bukan! Tapi segala penantian, keputusasaan, serta ketidakpastian dari tahun lalu akhirnya memberikan jawaban manis. FYI, satu malam sebelum pengumuman ini, saya sebetulnya juga bermimpi bahwa nama saya tertulis di program studi Entrepreneurship. Kebetulan? Entahlah, tapi ternyata mimpi saya benar-benar jadi kenyataan.

Walaupun katanya masuk kampus Eropa tidak terlalu susah asal memenuhi syarat, tapi masih ada perasaan pesimis yang selalu menghantui. Apalagi UiO adalah kampus top di Norwegia yang banyak peminatnya. Dari data statistik tahunan yang saya baca disini (bahasa Norwegia),program studi Entrepreneurship ini hampir menerima 700 aplikasi tahun kemarin. Sementara yang berkualifikasi hanya 15% saja dan slot yang tersedia kurang lebih 5% dari total aplikasi setiap tahun. Cukup beralasan kan mengapa saya sangat pesimis tak diterima disini? Lihat saja, buktinya aplikasi saya ditolak di OsloMet dan UiB!

Anyway, time has answered! Akhir tahun ini akan banyak cerita baru yang dimulai di Norwegia sebagai seorang pelajar. Meskipun saya sudah diterima kuliah di UiO, tapi justru tantangan terberat adalah saat menjalani perkuliahan dan bertahan hidup di Oslo selama 2 tahun ke depan. Be with me, because I want to tell you more! ☺️

Thursday, May 14, 2020

Tips Tentang Jurusan Kuliah dan Mengapa|Fashion Style

Selain berstatus sebagai au pair di Norwegia, saya baru saja tercatat sebagai mahasiswi S-2 di Universitas Oslo untuk program studi Entrepreneurship. Bagi yang terpikir dengan program studi ini, pasti mengira saya kuliah bisnis, padahal S-1 saya kemarin dari Fisika.

Di Universitas Oslo, Entrepreneurship justru bukan masuk Departemen Ekonomi dan Bisnis, melainkan Departemen Informatika, di bawah naungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Program studi ini unik karena menjembatani ilmu pengetahuan alam dan bisnis yang diharapkan mahasiswanya bisa berinovasi memulai dan mengembangkanstartup baru yang berhubungan dengan sains dan teknologi. Makanya tak heran kalau saingan masuk program ini cukup banyak karena pendaftar yang diterima mencakup semua lulusan sains, dari ilmu kedokteran sampai ilmu teknik.

Saya beruntung diterima di program studi ini karena memang sangat tertarik dengan kurikulum kuliahnya. Selain teori, mahasiswa juga diwajibkan untuk lebih banyak kerja kelompok sebagai nilai tambah dan mengikuti program magang di tahun kedua. Bagi saya yang suka kerja di dalam tim, berpikir ide baru, tertarik dengan teknologi, serta bosan dengan kuliah yang hanya bersifat teori, program ini seperti wadah yang memang saya cari. Apalagi sebetulnya saya memang sudah terpikir untuk membuka bisnis di Palembang, lama sebelum saya diterima masuk di kampus ini. Hanya saja, saya sadar bahwa bakat marketing saya sangatlah tidak bagus, mirip seperti ibu saya yang maju mundur kalau berdagang.

Melihat latar belakang keluarga saya, sebetulnya kami bukanlah keluarga pebisnis. Dari semua anggota keluarga, hanya saya yang sampai kuliah masuk ke jurusan IPA. Semua saudara saya mengambil jurusan Hukum dengan niat mengikuti jejak mendiang ayah sebagai praktisi hukum. Hingga akhirnya adik saya mendapatkan beasiswa ke Cina dan pindah ke jurusan Hotel Management.

Darah pedagang sebetulnya datang dari keluarga ibu. Sudah lama nenek dan kakek saya berurbanisasi ke Palembang, membeli tanah, membuka lahan untuk ditanami sayuran, lalu hasil panennya dititipkan ke warung-warung kecil. Karena ketertarikan dengan transaksi jual beli inilah, dari umur 11 tahun saya sudah “punya” warung sendiri yang dimodali orang tua. Barang dagangan pun hingga saat itu berubah-ubah dari jualan makanan, hiasan rambut kupu-kupu, stiker, isi kertas binder, kerajin tangan dari kain flanel yang saya buat sendiri, kosmetik, hingga baju bekas. Sayangnya, tak ada yang bertahan lama karena saya tak bisa promosi dan ogah-ogahan.

Kalau mau jujur, sebetulnya sampai sekarang saya masih bermimpi ingin masuk sekolah desain dan jadi desainer. Bakat seni ini lahirnya dari keluarga ayah saya. Sewaktu tinggal di Denmark, saya seperti menemukan tempat sempurna karena berada di surganya para desainer ternama. Tak banyak yang tahu kan kalau Denmark sangat terkenal dengan desain perabotnya yang berkarakteristik, minimalis, dan elegan serta arsitektur bangunannya yang keren? Coba google daftar karya Bjarke Ingels atau Finn Juhl! Dari sini, saya mulai sering datang ke Meetup para desainer, ikut kelas desain , dan terinspirasi belajar desain UX (User Experience) karena pekerjaan jadi desainer UX lagi hot di era digital ini. Banyak pengalaman dan motivasi yang saya dapatkan sampai terpikir untuk belajar UX secara otodidak. Sayangnya, saya bukan tipikal orang yang bisa belajar sendiri tanpa bantuan mentor dan teman sekelas. I'd lose the conservative atmosphere, makanya sampai sekarang belum berani bayar kursus online.

Pindah ke Norwegia, saya sadar betul bahwa tempat ini bukanlah lapak yang bagus bagi para desainer. Napas industri Norwegia masih dikendalikan secara penuh oleh minyak, gas bumi, dan perikanan. Tapi sejak tahun 2015, Norwegia perlahan ingin menumbuhkan citra baru sebagai negara maju yang melek teknologi dan inovasi dalam bisnis. Tak heran mengapa negara ini sangat optimis untuk menjadi pasarfintech terbesar sedunia beberapa tahun ke depan. Meskipun belum banyak perusahaan startup yang menjamur, tapi para investor semakin loyal mengucurkan dana bagi para perusahaan startup ternama untuk mengembangkan bisnisnya. Menariknya lagi, Norwegia juga terus menumbuhkan awareness terhadap kesehatan bumi untuk selalu berinovasi menelurkan produk yang ramah lingkungan.

Dari situlah makanya saya berpikir untuk mengambil program studi yang berkorelasi dengan perkembangan industri di sini. Dulu saya sempat disarankan oleh seorang cewek Moldova untuk jauh-jauh dari program studi ini karena lulusannya sudah membludak. "Too many people took Entrepeneurship program sampai tidak ada lapak pekerjaannya," katanya. I was just like, "seriously?!" Ngomong-ngomong, cewek Moldova ini juga yang dulunya sedikit skeptis dengan peluang saya diterima di kampus Norwegia .

Padahal untuk diterima kuliah Master di program ini pendaftar harus menyertakan CV dan surat motivasi sebagai syarat tambahan. Saya yang 5 tahun absen dari Indonesia dan hanya "bekerja" sebagai au pair di Eropa, dibuat bingung apa yang harus ditulis. What have I done?! Belum lagi surat motivasi ini harus memaparkan prestasi dan pengalaman saya saat bekerja di dalam tim. Komisi penerimaan mahasiswa baru ingin melihat prestasi kita saat harus bekerja dengan banyak orang yang berbeda sudut pandang karena memang nantinya kita lebih banyak kerja kelompok di luar kelas.

Untungnya waktu kuliah saya aktif terlibat organisasi mahasiswa yang dilimpahkan tugas sebagai kepala divisi dan ketua penyelenggara acara. Selain itu, saya juga menjelaskan bahwa program au pair yang sedang saya jalani ini berguna sekali membuka peluang masuk ke dunia internasional—yang mana sangat dibutuhkan dalam industri bisnis. Karena kesempatan ini juga, saya bisa sekalian ikut kegiatan sukarelawan di beragam festival internasional yang diharuskan bekerja dalam tim untuk menyukseskan acara.

Dari segi akademik dan nilai, saya memang mahasiswi pas-pasan karena dulunya merasa salah jurusan. Tapi karena banyaknya kegiatan non-akademik yang saya ikuti, hal ini bisa jadi poin plus yang berguna untuk mendukung isi CV dan surat motivasi. Untuk kalian yang sekarang masih terpaku jadi mahasiswa atau au pair “biasa”, sebaiknya perbanyak pengalaman dan ilmu di luar rutinitas untuk menambah poin pengembangan diri . Karena buktinya, kampus di Eropa pun menyukai pelajar yang well-rounded tak cukup hanya dari nilai akademik.

Wednesday, May 13, 2020

Tips Kuliah Biaya Sendiri: Uang Dari Mana?|Fashion Style

Meskipun niat saya di awal tidak berminat lanjut kuliah lagi, nyatanya saya pun berbelok arah untuk mencoba peruntungan daftar kuliah S-2 di beberapa kampus di Norwegia. Alasan utama saya memilih Norwegia tentu saja karena negara ini masih membebaskan uang kuliah bagi mahasiswa lokal dan internasional. Kesempatan ini tentu saja saya manfaatkan sebelum regulasi tersebut diubah menjadi 'berbayar' seperti halnya Finlandia per Autumn semester 2017 lalu. Tapi meskipun biaya kuliah gratis, mahasiswa tetap harus membayar iuran semester sebesar NOK 680-840 (€68-84).

Luckily, saya diterima di program studi Entrepreneurship di Universitas Oslo semester musim gugur tahun ini. Karena biaya kuliahnya sudah gratis, artinya saya hanya perlu menyiapkan biaya hidup untuk 2 tahun ke depan. Saya tidak pakai beasiswa, tidak minta support dari keluarga, ataupun berhutang ke pemerintah Norwegia. Biaya hidup ini murni saya akan tanggung sendiri.

Saat tahu saya akan kuliah dengan biaya sendiri, tanggapan orang tentunya tak sama. Kalau mungkin saya dapat beasiswa, mungkin mereka akan berpikir bahwa saya murid pandai yang sangat beruntung. Tahu bayar sendiri, tak elak saya dapat rentetan pertanyaan lain. “Lho, memangnya ada uangnya? Ada orang yang bantu? Memangnya tidak mahal kuliah disana? Siapa yang mau menjamin deposito? Bukankah uang segitu (deposito) terlalu besar ya untuk mahasiswa internasional?” Hellllooooo... mentang-mentang saya bukan anak menteri dan jurangan sawit, tidak berarti kuliah ke luar negeri jadi mustahil! Selain uang, ada juga namanya usaha dan mental yang membuat kita bisa bertahan di negeri orang. Lagipula au pair yang langsung bisa kuliah dengan biaya sendiri juga banyak!

FYI,dulu saya pun juga bersumpah untuk tidak akan pernah mau lanjut kuliah kalau masih harus bayar sendiri. Kuliah saja sudah melelahkan, apalagi harus cari uang dulu demi menutupi biaya hidup. Makanya saya berpikir untuk cari beasiswa agar bisa fokus kuliah saja. Nyatanya, saya minder cari dana beasiswa karena sadar IPK pas-pasan dan malas minta surat rekomendasi dari kampus. Sssttt.. saya pernah di-PHP dosen soalnya. Di sisi lain, saya dengar bahwa pengelola dana beasiswa sangat strict dengan penerima hibah untuk harus mempertahankan prestasi akademik dan dilarang bekerja sambilan selagi kuliah. Padahal mood belajar seseorang bisa naik turun dan minta dana beasiswa—apalagi yang berasal dari uang rakyat, pastinya punya tanggung jawab yang besar.

Sementara di Indonesia, saya hanya punya seorang ibu yang finansialnya tidak akan cukup membiayai semua kebutuhan saya selama belajar di luar negeri. Yang ada, saya merasa sangat malu jika harus minta dikirimi uang setiap bulan, mengingat selama jadi au pair 5 tahun ini juga saya tidak pernah minta apapun lagi ke beliau. "Sudah, Ma. Cukuplah sampai S-1 ini. Let me pay the rest!" kata saya saat itu. Saya juga tidak punya satu pun keluarga yang tinggal di Eropa sekiranya kepepet ingin pinjam uang. In the end, saya akhirnya berpikir untuk tidak ingin berhutang budi pada dana beasiswa ataupun duit keluarga yang membuat saya semakin terikat oleh beban moral.

Jadi bagaimana saya menyokong kehidupan disini hingga 2 tahun ke depan?

Rencananya saya akan bekerja sampingan. Selama jadi mahasiswa internasional, kita diperbolehkan bekerja 20 jam per minggu dan full time (37-40 jam) saat hari libur. Untuk semester ini, saya masih bekerja sebagai au pair dan tinggal di rumah host family. Soal makan dan akomodasi sudah ditanggung dan saya juga menerima uang saku sekitar NOK 6000 per bulan. Uang ini tentu saja lebih dari cukup untuk beli perlengkapan kuliah, ongkos transportasi umum, dan secangkir dua cangkir kopi di kafe. Pemerintah Norwegia sebetulnya juga menaksir biaya hidup pelajar di sini setidaknya NOK 11-12.000 per bulan.

Lalu, bagaimana di semester-semester selanjutnya?

Kontrak au pair saya berakhir Desember tahun ini, makanya harus mencari tempat tinggal dan pekerjaan baru secepatnya. To be honest, I can't wait to have my own life! Tidak perlu lagi tinggal di rumah orang dengan segala peraturan kaku, serta bebas mengundang siapa pun teman yang saya mau. Saya juga sangat tertarik bekerja di tempat lain semisal kafe, toko, atau restoran, yang tentu saja terbebas dari tangisan dan popok bayi! Di sisi lain, saya merasa beruntung sudah curi startduluan tinggal di Norwegia dan belajar bahasa, sehingga bicara bahasa lokal lumayan bisa. It's not gonna be easy to find a job with broken Norwegian, but I am pretty sure I'll learn more and more!

Pengalaman soal cari tempat tinggal dan pekerjaan baru ini tentu saja akan saya bahas di postingan lainnya. But, now you know bagaimana saya bisa menyokong kehidupan sendiri tanpa beasiswa dan dana orang tua!

Monday, May 11, 2020

Tips Apply 'Study Permit' Tanpa Uang Jaminan Penuh|Fashion Style

Bagi yang belum tahu, saya sekarang sedang melanjutkan kuliah Master di Norwegia dengan biaya sendiri. Tidak seperti teman-teman pelajar lain yang mungkin baru akan mengajukan visa dan study permit Norwegia dari Indonesia, saya sudah duluan tinggal disini sebagai au pair dan minggu lalu mengajukan aplikasi untuk studi lewat kantor polisi di Oslo.

Tapi meskipun sudah tinggal disini, tapi syarat yang berlaku saat mengajukan study permit sama saja seperti mahasiswa internasional lainnya. Salah satu syarat kelengkapan dokumen yang paling berat bagi saya adalah menyertakan bukti finansial minimal sebesar NOK 121.200 (2019) ke UDI, pihak imigrasi Norwegia. Kalau dikonversi, besarnya sekitar Rp200 juta atau €12.120

Uang tersebut wajib ada di rekening bank Norwegia atas nama sendiri atau mesti didepositkan ke rekening kampus. Bagi yang tanya fungsi uang ini untuk apa, gunanya untuk menutupi biaya hidup kita selama 1 tahun di sini. Meskipun bebas uang kuliah, tapi biaya hidup di Norwegia sangat tinggi untuk ukuran orang Indonesia. Makanya pemerintah Norwegia tidak ingin mahasiswa asing terlunta-lunta di negara mereka hanya karena tidak memiliki cukup uang selama studi di sini. Make sense?

Tapi pihak imigrasi Norwegia memperbolehkan mahasiswa asing tidak harus menunjukkan semua uang tersebut asal;

1. Menjadi penerima dana hibah/beasiswa dari organisasi/pemerintah resmi.

2. Mendapatkan bantuan dana pinjaman dari pemerintah Norwegia (L?Nekassen).

3. Mendapat tawaran kerja dari employer di Norwegia.

Beruntunglah bagi mahasiswa asing yang tidak harus pusing-pusing memikirkan syarat tersebut jika menerima bantuan beasiswa full. Pun juga dengan para mahasiswa asing yang memenuhi syarat menerima Lånekassen dari pemerintah lokal. Bicara sedikit soal Lånekassen, jadi dana ini sebetulnya adalah dana pinjaman dan hibah yang diberikan pemerintah Norwegia kepada pelajar asing dengan syarat-syarat tertentu yang nominalnya tergantung program studi yang diambil. Jumlah dana yang diberikan biasanya sekitar NOK 11.000 per bulan bagi yang tinggal sendiri.

Sebetulnya Lånekassen hanyalah hak bagi pelajar berwarga negara Norwegia saja. Namun ada syarat tertentu yang memungkinkan mahasiswa asing juga berhak atas dana tersebut. Bagi yang menikah dengan Warga Negara Norwegia atau ikut keluarga/suami ke Norwegia, sangat memungkinkan daftar Lånekassen. Syarat lainnya juga berlaku bagi pelajar asing yang pernah sekolah selama 3 tahun di Norwegia atau pernah bekerja selama 24 bulan penuh dan membayar pajak. Keterangan lengkapnya bisa dibaca di sini . Karena sifatnya juga berupa pinjaman, pelajar yang menerima bantuan ini WAJIB mengembalikan dana pinjaman tersebut ketika masa studi mereka berakhir. Kalau semua mata pelajaran/kuliah lulus, pelajar hanya mengembalikan 30% dari total pinjaman yang mereka dapatkan. Namun kalau gagal, mereka harus mengembalikan 100% dana tersebut.

Sayangnya, saya tak memenuhi semua persyaratan. Saya memang sudah tinggal hampir 24 bulan di Norwegia, tapi status saya bukanlah full-time employee tapi au pair. Di Norwegia, meskipun au pair membayar pajak dan dapat uang saku tiap bulan, tapi program ini tetaplah tidak dianggap sebagai pekerjaan penuh waktu.

Karena sudah berniat lanjut S-2 di Norwegia, mau tidak mau saya harus mengumpulkan sendiri uang sebesar NOK 121.200 tersebut. Pertanyaannya, apakah saya punya uang sebesar itu?

Tentu saja, TIDAK! Bahkan dengan jadi au pair 5 tahun di Eropa, mustahil mengumpulkan dana sebesar itu tanpa embel-embel kerja sampingan lainnya . Apalagi rencana saya lanjut kuliah di Norwegia baru terpikir Agustus 2018 lalu. Dalam waktu satu tahun tentunya uang tabungan saya tidak akan beranak sebanyak itu. Apalagi saya juga tak tertarik cari uang tambahan di luar waktu kerja au pair karena terlalu muak bersih-bersih rumah dan jaga anak orang.

APA YANG SAYA LAKUKAN?

1. Menyertakan bank statement buku tabungan

Sejujurnya, dalam waktu 2 tahun jadi au pair di Norwegia, uang yang bisa saya kumpulkan jumlahnya tak sampai NOK 40.000. Untungnya, pihak imigrasi Norwegia tak mempermasalahkan nominal rekening ini asal saya memiliki sumber dana lainnya; contohnya gaji yang akan diberikan employer di Norwegia lewat job offer. Jadi kalau jumlah tabungan saya ditambah gaji dari job offer nominalnya NOK 121.200 per tahun, maka hal ini diperbolehkan. Atau kalau pun total gaji kita selama 1 tahun jumlahnya menutupi semua biaya tersebut, kita malah tidak perlu melampirkan bank statement lagi.

2. Melampirkan surat kontrak kerja au pair

Meskipun pelajar asing bisa bekerja selama 20 jam per minggu, tapi sebelum jadi pelajar, status saya adalah au pair di Norwegia. Saat mengajukan aplikasi study permit ini pun, kontrak saya masih berlaku dengan host family. Karena uang saku au pair ini bisa dijadikan salah satu sumber dana, maka saya lampirkan saja surat keterangan dari host family yang menyatakan sisa masa kontrak kerja serta total pendapatan yang saya miliki sampai kontrak tersebut berakhir. Jumlahnya lumayan, lebih dari NOK 20.000!

3. Mendapatkan job offer

Karena kontrak au pair saya berakhir Desember 2019, sementara harus apply study permit akhir September, saya kesulitan mencari pekerjaan yang baru available Januari 2020. Saya tentu saja tidak bisa cari pekerjaan lain karena au pair ini saja jam kerjanya sudah 20 jam per minggu.

Setelah mengobrol dan tanya ke beberapa orang teman, akhirnya ada bapak seorang teman yang mau mengontrak saya sebagai cleaning lady mingguan per Januari 2020. Dalam satu minggu, saya kerja 4-5 jam dan dibayar 180 kr/jam.

Sebetulnya si bapak ini tidak yakin akan mempekerjakan saya sampai 12 bulan. Tapi karena saya butuh job offer sebagai syarat administrasi, akhirnya si bapak mau membuatkan kontrak kerja sampai 1 tahun. Lumayan, sumber dana yang bisa saya dapat dalam satu tahun lebih dari NOK 30.000.

Ngomong-ngomong, job offer ini sifatnya tidak mengikat. Jadi kalau pun nantinya saya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, tentu saja saya bisa membatalkan pekerjaan yang sudah ditawarkan ini. Cara minta tolong orang menawari pekerjaan ini pun harus hati-hati, karena seorang kenalan Indonesia di Norwegia sempat menuduh saya otak kriminal. Padahal maksud saya ingin ditawari pekerjaan sampingan, tapi orang ini salah paham lalu menyangka saya akan memalsukan dokumen. Katanya suaminya ikut marah besar saat saya menanyakan hal tersebut.

4. Pinjam teman

Dari total 3 sumber dana di atas, saya masih kekurangan biaya sedikit lagi. Banyak yang menyarankan agar saya pinjam ke host family dulu, tapi saya enggan. Pertama, karena mereka akan pindah ke Swiss . Kedua, saya tidak ingin menjelaskan panjang lebar soal masalah finansial ini hingga menimbulkan kesan skeptikal kalau uang mereka harus dikubur dalam rekening saya dalam waktu tertentu.

Satu-satunya cara terakhir adalah pinjam uang dulu ke teman. Tapi karena uang adalah hal sensitif, di-PHP itu sudah biasa dan kita harus lapang dada. Tidak semua teman yang sebenarnya sangat niat membantu punya kondisi finansial yang baik. Kadang dorongan semangat dan doa dari mereka juga sama berharganya untuk menaikkan mood kita yang sedang down.Di sisi lain, tidak semua teman dekat juga mengerti masalah kita dan jangan buang-buang waktu begging sampai merepotkan banyak orang. Buktinya, satu teman saya di Denmark sempat ingin meminta surat keterangan peminjaman bernilai hukum (pakai materai), paspor, serta SIM saya, karena takut uangnya dilarikan ke Indonesia. No words!

Tapi punya banyak teman di saat finansial lagi jeblok seperti ini memang bisa mengubah keadaan. Dari cerita sana-sini, tak hanya bantuan semangat yang saya dapatkan, tapi juga uang!Teman saya di Indonesia dan teman sekelas di kampus sampai berniat meminjamkan uangnya ke saya tanpa perlu penjelasan panjang lebar. Tak hanya mereka, di Norwegia ini juga saya mendapatkan bantuan pundi-pundi dari teman lain yang sangat membantu menggendutkan rekening. Being social is helpful somehow! Jujur saja, uang tabungan yang saya butuhkan juga di-make up paling banyak dari bantuan teman ini. Yang jelas, cara pinjam-meminjam uang teman seperti ini sebetulnya sangat lumrah terjadi di kalangan mahasiswa internasional, kok.

Saran dari saya, kalau memang berniat pinjam uang ke teman, carilah teman yang betul-betul mengerti keadaan kita. Kalau tahu finansialnya juga sedang susah, jangan paksa atau pinjamlah dengan skala kecil saja. Every penny helps! Satu lagi, tak semua yang kita butuhkan itu uang. Bagi saya, dukungan serta doa yang orang lain haturkan juga merupakan rezeki bagi relung hati.

Begitulah cara saya menutupi besarnya bukti finansial yang harus disertakan sebagai kelengkapan dokumen. It's NOT easy to save money , apalagi jumlahnya sebesar itu. Saya tidak tahu apakah cara tersebut membuat pihak imigrasi yakin 100% memberikan saya study permit, karena ini adalah kali pertama saya mengajukan permit tanpa garansi apa-apa dari seseorang. I'll tell you later, for sure!

Monday, May 4, 2020

Tips Membangun Perusahaan Startup di Norwegia|Fashion Style

Setelah sibuk beberapa minggu ke belakang, saya akan membuka postingan pertama di bulan Maret tentang progress perkuliahan semester ini. Kalau ada yang tanya bagaimana kehidupan akademis saya di Universitas Oslo, jawabannya sedang ups and down. Tidak seperti semester lalu yang lebih disibukkan dengan riset dan presentasi, tahun ini pengalamannya lebih hands-on karena kami betul-betul terjun ke lapangan membuat perusahaan startup.

Sebagai salah satu negara terkaya di dunia berdasarkan GDP in line with kapita, Norwegia akan menjadi tempat dimana perusahaan startup baru akan terus bermunculan. Jika kalian tinggal di sini dan punya ide bagus membuat perusahaan teknologi baru bersama tim yang berkompeten di atas rata-rata, kalian setidaknya mampu mengumpulkan 1-2M NOK (~1,five-3T Rupiah) pada fase pertama.

Ada kabar baik juga bagi para pelajar yang tertarik membangun perusahaan startup. Banyak free money berkucuran dari organisasi di Norwegia yang mau menyumbangkan banyak uang untuk mendukung ide kita menjadi real business. Meskipun saya merasa perkembangan industri startup di Norwegia belum se-booming negara tetangganya di Skandinavia, tapi ekosistem di negara ini cukup menjanjikan bagi para entrepreneur muda.

Kembali ke program studi saya, di semester ini kami sekelas yang tinggal berisikan 10 orang dibentuk menjadi 3 tim baru. Tiap tim diwajibkan mempunyai ide bisnis yang bisa diaplikasikan dalam waktu maksimal 4 bulan. Ide ini tak wajib diteruskan menjadi real business, tapi hanya sebagai latihan bagaimana membangun startup di fase awal sebelum launching produk. Meskipun, salah satu tim ada yang sangat berminat meneruskan ide mereka menjadi bisnis nyata di masa depan.

Tidak semua ide bisnis bisa berkualifikasi, lho! Akan ada 2 kali presentasi yang harus dipaparkan sebelum semua tim berkualifikasi bisa meneruskan dan menjalankan ide tersebut. Kadang ada yang harus ganti ide sampai 3 kali, ada juga cerita gagal tak berkualifikasi dari para senior hingga ending-nya magang di salah perusahaan terpilih.

Milestones dari ide bisnis juga bisa bermacam-macam. Karena hanya diberikan waktu 4 bulan atau sampai semester kedua selesai, kami boleh membuat MVP (Minimum Viable Product), fixed business model, atau beta-version product sebagai hasil akhir. Karena akan sulit sekali membuat produk nyata yang produksi dan risetnya bisa memakan waktu lama, semua tim akhirnya sepakat akan membuat produk yang termasuk dalam industri teknologi. Produk digital layaknya sebuah situs atau aplikasi ponsel dirasa lebih realistis dan achievable dalam waktu 4 bulanan.

Saya dan 2 rekan satu tim memutuskan untuk membuat situs dan aplikasi ponsel yang tujuannya memudahkan hidup para foreigners dan anak muda Oslo yang tertarik dengan harga diskonan. Sebagai negara yang harga makanannya sangat mahal, kami on going membuat platform servis yang menawarkan diskonan di beberapa restoran di Oslo bagi yang suka makan-makan tanpa takut kantong bolong.

Agar suasana semakin mirip para entrepreneur yang bekerja di kantor, kampus bekerja sama dengan salah satu ekosistem startup di Oslo Science Park, StartupLab, untuk menunjang workflow kami. Kantornya sangat modern karena bukan lagi macam bilik-bilik tertutup ala kantor model dulu, tapi open space yang memungkinkan tiap entrepreneurs bersosialisasi dengan lebih leluasa. Kami juga dibantu beberapa mentor yang kadang datang memberikan masukan bagaimana mengelola riset pasar dengan lebih baik.

Setelah terjun langsung menjadi co-founder perusahaan startup, saya banyak belajar bahwa membangun perusahaan baru itu tidak mudah dan bukan cuma soal ikut-ikutan tren. Bekerja sama dengan orang yang tak tepat akan mempengaruhi alur kerja, mood, dan perkembangan perusahaan ke depannya. Teman yang baik secara personal, belum tentu akan cocok menjadi rekan kerja yang profesional. Akan ada banyak silent treatment dalam hubungan internal sebuah tim hanya karena kami berusaha menghargai perasaan masing-masing. That's why my academic life this semester has so much ups and downs.

Ide yang baik belum tentu juga akan berkembang menjadi bisnis yang bagus. Jadi kalau kamu sekarang sedang tertarik punya perusahaan sendiri dan merasa punya ide brilian, saran saya, banyak-banyaklah riset tentang pasar yang akan kamu tuju. Banyak-banyaklah bicara dengan calon pelanggan dengan cara wawancara, survei, atau mendengar keluh kesah mereka. Riset menjadi sangat penting karena ide dan bisnis yang bagus, ketika tak ada permintaan besar yang besar, akan menjadi bisnis yang sia-sia.

Akan ada banyak operating cost yang harus kamu pikirkan sekiranya tertarik membuat produk nyata; contohnya tas, baju, atau makanan. Kalau memang sudah punya modal, why not. Tapi kalau merasa ide kita akan berjalan sangat baik di pasar yang kita tuju, sering-sering saja datang ke event startup atau kompetisi ide. Kompetisi ini hadiahnya cukup lumayan dan bisa saja jadi salah satu money resource penunjang ide bisnis kamu. Sementara event startup ini bisa jadi tempat belajar sangat baik bagi yang ingin belajar bagaimana pitching di hadapan investor, ataupun tempat mingling sekedar cari networking.

Satu hal lagi dari profesor saya di kampus, jangan angkuh dan besar kepala! Anak-anak muda yang jualan baju online, belum tentu bisa dianggap seorang wirausahawan. Jadi the true CEO dari sebuah perusahaan itu langkahnya sangat panjang dan mentality juga penentu apakah perusahaan yang kita bangun akan berkembang di masa depan. Until then, I am still learning how to be a good CEO for my next real business!

Sunday, May 3, 2020

Tips Pendidikan di Negara Nordik: Jangan Kuliah Karena Gratis!|Fashion Style

Well, siapa yang tak ingin mendapatkan pendidikan gratis?! Apalagi kalau bisa belajar hingga ke luar negeri, tanpa perlu mengeluarkan kocek berlebih untuk menikmati fasilitas pendidikan kelas dunia. Tapi jangan sampai terlalu jujur kalau niat kamu kuliah hanya karena privilege 'gratisan' dari negara tertentu, setidaknya di Norwegia.

I am gonna tell you the truth; most local students are quite fed up listening to foreign students coming to their country just for free education! Bukan, saya bukan bicara tentang para mahasiswa internasional yang beruntung bisa kuliah di Norwegia karena dana hibah atau beasiswa. Tapi soal betapa jujurnya para mahasiswa asing yang hanya sekolah di Norwegia untuk menikmati fasilitas 'bebas uang kuliah' yang masih diberikan oleh pemerintah setempat.

Di negara Nordik, sampai sekarang hanya Norwegia yang masih membebaskan uang kuliah di kampus negeri bagi mahasiswa lokal dan internasional. Denmark (2006) dan Swedia (2011) sudah menutup peluang free tuition fee bagi mahasiswa internasional, selain warga Uni Eropa. Sementara Finlandia yang dulunya masih royal membebaskan uang kuliah bagi semua mahasiswa di penjuru dunia, di semester musim gugur 2017 ikut menutup kesempatan ini juga bagi semua warga di luar Uni Eropa & Swiss.

Tercatat, setelah hampir semua negara Nordik tak lagi membebaskan uang kuliah bagi mahasiswa di luar Uni Eropa, angka mahasiswa internasional yang datang untuk belajar pun turun secara drastis. Di Swedia, dua tahun setelah pemerintah menetapkan uang kuliah bagi warga non-Uni Eropa, jumlah mahasiswa asing turun sampai 80% ! Tak heran, seorang cowok Islandia yang saya temui di Denmark ironi berpendapat bahwa hanya ada 2 tipe orang Asia yang bisa belajar sampai Eropa Utara; kalau bukan super smart karena dapat beasiswa, pasti karena super rich karena keluarganya mampu menutupi biaya kuliah dan hidup yang mahal di Eropa Utara. What a rude statement, tapi faktanya memang benar! To be frankly honest, saya belum pernah ketemu mantan au pair yang memutuskan langsung kuliah di Denmark dengan biaya sendiri, kecuali didukung 'kantong besar' orang tua.

Kembali ke Norwegia, pemerintah setempat memutuskan untuk tidak ikut dalam penetapan uang kuliah bagi mahasiswa internasional (non-Uni Eropa). Norwegia menganggap bahwa penetapan uang kuliah ini bisa menimbulkan efek domino bagi mahasiswa lokal yang mungkin juga harus membayar uang kuliah ke depannya. Di samping itu, ketakutan akan penurunan angka mahasiswa asing di Norwegia juga menjadi faktor penting mengapa pemerintah setempat masih berusaha royal di bidang pendidikan. Prinsip mereka, memupuk keanekaragaman dan kualitas di tengah populasi mahasiswa asing menjadi hal yang penting di era globalisasi. Terlebih lagi, Norwegia tetap ingin memberikan kesempatan kepada semua warga negara yang ingin mendapatkan fasilitas pendidikan kelas dunia tanpa takut biaya mahal.

Di semua negara Nordik, kesetaraan (equality) merupakan landasan model kesejahteraan dalam hidup. Dalam dunia pendidikan, equality bisa diterjemahkan menjadi sebuah penawaran yang berlaku bagi semua warga negara di dunia. Semua negara Nordik juga memiliki kebijakan untuk mendorong terciptanya kesetaraan jenis kelamin dalam pendidikan serta berupaya mendukung para pelajar yang terlahir dari keluarga kurang mampu agar bisa meneruskan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Untuk level sekolah tinggi/universitas, selain tingkat pendaftaran yang sangat tinggi antara laki-laki dan perempuan, kesenjangan gender sekarang telah berbalik menjadikan perempuan dominan dalam dunia kerja (high-skilled). Di Norwegia, Swedia, dan Islandia , perbandingan perempuan yang mendaftar di universitas kira-kira 1.5:1 dari laki-laki, sementara di Finlandia dan Denmark, perempuan juga menempati posisi dominan pada tingkat universitas.

Melirik jumlah mahasiswa internasional di semester musim semi 2018, tercatat hampir 14 ribu mahasiswa sedang menempuh pendidikan di seluruh penjuru Norwegia. Tiga universitas negeri terfavorit ada di Oslo (University of Oslo), Trondheim/Gjøvik (NTNU), dan Bergen (University of Bergen). Tak ada yang namanya kampus terbaik, karena setiap universitas di Norwegia memiliki kelebihan dan fokus tersendiri di beberapa bidang. Meskipun, saat ini hanya University of Oslo sendiri yang masuk 100 besar kampus terbaik di dunia, dan salah satu alasan yang paling menarik untuk melanjutkan studi di Norwegia bagi mahasiswa internasional tentu saja karena penawaran free education fee.

Lalu kalau memang berusaha mendukung dunia ketiga, lantas mengapa banyak pelajar lokal yang muak mendengar para pelajar asing datang ke Norwegia untuk belajar gratis? Karena dana pendidikan di negara Nordik semuanya dibiayai oleh publik! Menurut data OECD di tahun 2014, dana investasi publik yang diberikan bagi dunia pendidikan di Norwegia besarnya hampir 96%. Selain itu, kehidupan tradisional yang berstandar tinggi di Norwegia juga disokong oleh aliran dana dari minyak bumi di Laut Utara (North Sea). Dengan lebih dari NOK 10 Triliun investasi dari minyak bumi dan USD 450 Triliun aset negara, Norwegia membangun perusahaan minyak negara dan menyalurkan petrodolarnya ke dana pensiun pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Bagi yang belum tahu, sebelum tahun 70-an Norwegia hanyalah negara miskin di antara 2 negara Skandinavia lainnya. Lalu saat mereka menemukan minyak bumi, hasil sumber daya alam inilah yang melumasi seluruh perekonomian di Norwegia hingga membuatnya menjadi salah satu negara paling kaya di dunia dan dijuluki "Arab Saudi dari Utara".

Selain karena kekayaan ini, Norwegia juga menetapkan keseimbangan antara pendapatan dan pajak yang tinggi, lalu dengan tepat menggunakan uang pajak tersebut untuk mendanai beberapa lembaga dan fasilitas bagi rakyatnya. Dana ini meliputi kesejahteraan, tunjangan pengangguran, layanan kesehatan universal, pendidikan gratis, bantuan hukum, serta banyak dana bermanfaat lainnya — yang betul-betul dimanfaatkan dengan sangat tepat di krisis Corona seperti ini. Artinya, pajak warga lokal yang dipotong 30-70% per bulan itu disisihkan salah satunya bagi dunia pendidikan. Tentu saja banyak yang menilai hal ini tak adil, karena orang Norwegia yang bayar pajak, tapi justru banyak mahasiswa asing yang menikmati social benefit tersebut.

Me, I am not going to lie. Alasan utama saya melanjutkan kuliah di Norwegia, selain karena rindu dunia akademik, tentu saja adalah soal biaya kuliah. Di banyak kampus lain di semua negara Nordik, mahasiswa non-Uni Eropa harus merogoh kocek €3000-8.000 per semester hanya untuk biaya kuliah — belum termasuk uang semester dan juga biaya hidup yang tinggi. Di Norwegia, saya hanya membayar NOK 840 (€84) per semester sebagai ganti biaya fotokopi serta angsuran organisasi kampus. Tentu saja kata-kata "kuliah gratis di Norwegia" itu salah, karena yang gratis hanya biaya kuliahnya namun mahasiswa tetap harus beli buku, bayar uang semesteran, dan membiayai hidup yang tak murah. Meskipun, sebetulnya biaya pendidikan di Eropa itu tergolong murah ketimbang Inggris dan Amerika Serikat.

Namun untuk ukuran negara kaya yang sangat royal memberikan pendidikan "cuma-cuma", Norwegia juga cukup adil dalam dunia kerja. Karena negaranya kecil dengan penduduk hanya 5 juta jiwa, job market di Norwegia tergolong tipis. Kecuali kalian menguasai bahasa Norwegia dengan sangat lancar dan mampu berintegrasi dengan budaya kerja di sini, kesempatan untuk mendapatkan high-skilled job di luar industri IT, sangatlah kecil. Bahkan kalau harus memilih acak dari semua warga negara di dunia ini, kebanyakan perusahaan di Norwegia cenderung tertarik merekrut tenaga kerja dari Amerika untuk bidang sains, serta India untuk bidang IT. Jadi ya silakan nikmati fasilitas pendidikan gratisnya, tapi jangan harap bisa bersaing dengan mudah di pencarian kerja — mungkin pikir orang lokal.

Jadi kalau kamu juga tertarik melanjutkan kuliah di sini dengan biaya sendiri, mulailah sugarcoating alasan apa yang sangat menarik dari Norwegia, selain karena bebas uang kuliah. Saya sering dapat pertanyaan seperti ini soalnya, "why did you end up in Norway?". Seperti kebanyakan warga lokal, mungkin kita juga sebal mendengar banyak turis kere datang ke Indonesia hanya karena alasannya "murah meriah". Are we that cheap?