Showing posts with label tipe host family. Show all posts
Showing posts with label tipe host family. Show all posts

Friday, June 19, 2020

Tips Keluarga Arab? Pikir Lagi!|Fashion Style

September tahun ini, surat kabar di Inggris memberitakan telah terjadi pembunuhan seorang au pair Prancis oleh host family-nya. Si ibu, seorang sosialita dan artis, bekerja sama dengan suaminya tega membakar tubuh au pair mereka di kebun belakang rumah. Pas saya lihat nama host family tersebut, mereka ternyata keturunan Prancis-Aljazair yang menetap di Inggris.

Beberapa kali saya menerima surel dari pembaca blog yang curhat soal calon host family mereka. Calon keluarganya bukannative, melainkan orang keturunan Arab yang lahir dan besar ataupun sudah lama tinggal di negara tersebut. Tanpa pikir panjang, saya langsung menyuruh mereka skip dan cari keluarga lain.

Katakan saja saya rasis, tapi saya memang sudah mem-black list para calon keluarga angkat keturunan Arab. Keturunan Arab disini maksudnya tidak hanya mereka yang tinggal di Arab Saudi, tapi juga Maroko, Libya, Aljazair, ataupun negara berparas Arab lain.

Tidak hanya sekali dua kali saya mendengar berita buruk au pair dari para keluarga Arab tersebut, namun saya pun pernah mengalaminya.

Pertama kali ke Belgia, keluarga angkat saya dua-duanya keturunan Maroko yang besar dan sudah lama tinggal di Belgia. Meskipun dari gaya dan pola pikir sudah mengikuti orang Belgia, namun kultur dan karakter mereka sejatinya tetaplah orang Maroko.

Setelah 5 bulan tinggal bersama, saya resmi stop kontrak dengan mereka. Si ibu memiliki sifat yang terlalu perfeksionis, emosional, dan sangat menyakitkan kalau bicara. Sementara si bapak, diam-diam menghanyutkan. Betul-betul perpaduan keluarga temperamen yang membuat saya cukup tertekan.

Lain lagi dengan kisah teman saya yang harus tinggal dengan pasangan keluarga Tunisia-Denmark. Berbanding terbalik dengan sifat kalem si bapak yang orang Denmark asli, si ibu bersikap paling bossy dan keras di keluarga. Bahkan sebelum mengakhiri kontrak dengan keluarga tersebut, teman saya sampai dimaki-maki dengan kata-kata kasar terlebih dahulu.

Teman saya ini sampai mengalami kecelakaan fisik di tangannya saat bekerja, namun diacuhkan saja oleh si keluarga. Sialnya, karena ibu Arab yang paling berkuasa di rumah, si bapak juga hanya bisa diam dan tak tahu harus berbuat apa. No wonder, Danish men are the passive ones at home.

Pernah juga seorang teman saya tinggal di keluarga pasangan Arab Saudi yang bapaknya exceptional perhitungan dengan waktu dan uang. Entah kenapa, teman saya ini seperti diadu antara tugas dan uang sakunya. Si bapak malah pernah ingin menarik kembali uang yang diberi hanya karena teman saya berani bicara dan menentang.

Tidak hanya keluarga Arab, saya juga sedikit skeptis dengan pasangan keluarga dari negara Asia Selatan dan Timur yang tinggal di Eropa. Mungkin karena sudah terbiasa memiliki pembantu di negara asal mereka, makanya mereka melihat au pair layaknya pembantu rumah tangga yang super fleksibel, mudah disuruh-suruh, dan money-oriented.

Oh, come on! Meskipun berasal dari negara berkembang, kita tidak datang ke Eropa untuk mencari uang layaknya TKW/TKI yang bekerja di Timur Tengah. Kadang kala kita harus bersikap sedikit cool agar tidak direndahkan oleh keluarga Arab yang sok kaya itu.

Oke, tidak semua keluarga Arab yang tinggal di Eropa memperlakukan au pair dengan buruk. Ada juga keluarga yang bersikap transparan, lemah lembut, dan mematuhi regulasi. Tidak adahost family yang sempurna memang. Bahkan keluarga native pun bisa bertindak kasar dan tidak adil dengan au pair mereka. Seperti kata Brian, host dad saya, "sangat tidak fair bicara masalah latar belakang keturunan, karena bukankah keluarga jahat ada dimana-mana? Tidak harus orang Arab kan?"

Lalu, bagaimana mencegah tindakan buruk calon keluarga angkat sebelum betul-betul setuju jadi au pair mereka?

Banyak-banyaklah diskusi! Mau itu keluarga Arab, keluarga Belanda, ataupun keluarga Spanyol, sulit sekali menerka sifat asli seseorang hanya lewat email ataupun Skype. Namun dengan berdiskusi panjang lebar dan mendalam, setidaknya kita bisa mendapatkan gambaran tentang tugas dan ekspektasi si keluarga.

Ada baiknya lagi minta kontak au pair yang sedang atau pernah tinggal dengan mereka. Dari para au pair itu, kita bisa mendapatkan informasi paling relevan tentang bagaimana mereka diperlakukan oleh si keluarga. Red flag kalau mereka pernah punya au pair dari Filipina!

Girls, au pair Filipina adalah tipikal YES-man yang terlalu penurut, money-oriented, dan biasanya "oke-oke saja" bekerja overtime. Banyak sekali kisah au pair Filipina yang bukannya dianggap keluarga, namun asisten rumah tangga semata. Keluarga yang sudah pernah punya au pair Filipina sebelumnya biasanya akan memperlakukan au pair Asia lainnya sama persis dengan perlakuan mereka ke para gadis Filipina tersebut. Kalau mereka diperlakukan baik, chances are you would be treated the same.

Kalau memang si keluarga tidak pernah punya au pair sebelumnya, sering-seringlah bertanya tentang tugas dan hak kalian sedetail mungkin. Keluarga yang baru pertama kali punya au pair biasanya akan lebih santun dan berhati-hati dengan regulasi. Artinya, mereka akan berusaha membuat si au pair merasa nyaman di rumah mereka. Tapi hal ini juga kadang bisa meleset, karena bisa jadi si keluarga terlalu perfeksionis dan banyak ekspektasi.

Jadi, sebelum benar-benar girang karena sudah dapat offer dari satu keluarga, jangan lupa cross-checked lagi tentang latar belakang, ekspektasi, dan referensi keluarga tersebut!

Tuesday, June 2, 2020

Tips 10 Tipe Host Family yang Mesti Kamu Pertimbangkan Kembali|Fashion Style

Cari host family yang baik dan sesuai harapan itu tidak mudah. Saya mencari hingga 5 bulan baru akhirnya dipertemukan dengan keluarga Belgia keturunan Maroko via agensi. But, bad thing happened. Belum full satu tahun kontrak, saya sudah angkat kaki dari rumah keluarga tersebut.

Saya tahu, tidak ada keluarga yang sempurna memang. Begitu pula dengan kita, belum tentu sesuai dengan ekspektasi si keluarga angkat. Namun, tetaplah waspada dan pintar saat mencari keluarga. Saya paham, kamu juga senaif saya dulu yang ingin sesegera mungkin merasakan udara sejuk Eropa. Ingin secepatnya jalan-jalan ke negara tetangga dan ingin secepatnya juga meninggalkan Indonesia. Karena muak mungkin?

Namun tetaplah realistis dan hati-hati. Meskipun tidak pernah berharap akan terjadi, tapi kadang ada saja yang membuat kita tidak cocok dengan keluarga angkat. Jadi daripada kamu bermasalah di negara orang nantinya, sebaiknya baca tipe-tipe keluarga yang menurut saya red flag dan mesti kamu pertimbangkan dulu sebelum buru-buru terima tawaran mereka.

1. Tidak mau rugi

Host family seperti ini biasanya hanya akan memberikan fasilitas standar seperti kamar dan uang saku minimum. Beberapa keluarga ada yang jujur dari awal agar kamu tidak pakai listrik dengan boros, hemat air, tidak makan apa yang bukan milik kamu, tiket disuruh bayar sendiri, ataupun mereka yang tidak menganjurkan kamu untuk ikut kursus bahasa. Seriously, tanpa pikir panjang, sebaiknya kamu tolak saja offer dari keluarga begini!

Mereka mengundang kamu bukan untuk diperlakukan sebagai keluarga, tapi personal assistant semata. Untuk apa jauh-jauh ke Eropa kalau kerja kita hanya stay di rumah dan jaga anak?! Sudah hampir semuanya kita yang bayar, mereka juga lebih peduli dengan hasil kerja ketimbang kenyamanan kita.

2. Anak banyak

Bagi saya, anak 3 biji itu paling maksimal. Pun begitu, saya berharap tidak disuruh mengasuh dan mengawasi semuanya. Apalagi kalau mereka semua masih kecil-kecil.

Kalau ini pengalaman kamu pertama kali jadi au pair, saya sarankan hanya memilih keluarga yang anaknya paling banyak 2. Jangan percaya dengan iming-iming keluarga yang akan saling menolong mengasuh anak, karena faktanya kamu bisa kena jebakan. Teman saya harus mengasuh 5 orang anak tanpa bantuan sedikit pun dari host family-nya. Sudah mengasuh anak, ditambah kerjaan rumah yang setiap hari tidak pernah beres. Minusnya lagi, ibu angkatnya super pelit soal makanan dan hobi pinjam duit ke au pair!

Sanggup kamu?

Three. Mantan Filipina

Yes, saya memang sangat skeptis dengan populasi au pair Filipina di Eropa. Menurut saya, keluarga angkat yang pernah punya au pair Filipina sebelumnya akan memperlakukan au pair selanjutnya sama.

Au pair Filipina kebanyakan yes-maam saja karena takut berkonfrontasi dan mengeluarkan pendapat. Tidak sedikit keluarga yang bermasalah dengan au pair Filipina karena miskomunikasi. Kalau pun tidak bermasalah, kamu juga mesti sedikit aware karena au pair Filipina kebanyakan pintar cleaning dan penurut. Makanya banyak keluarga Eropa di utara lebih memilih au pair dari Filipina ketimbang negara lain. No wonder, hampir semua au pair Filipina yang ada di Skandinavia adalah mantan pembantu di Singapura atau Hong Kong.

So, kalau eks au pair si keluarga adalah cewek Filipina , bisa dipastikan ekspektasi keluarga tentang cleaning akan sedikit mirip dengan pekerjaan si mantan. Sialnya, kalau si Filipina mau saja disuruh banyak hal, kamu juga mesti melakukan hal yang sama!

Four. Rumahnya di desa

Saya pernah tinggal di desa saat jadi au pair di Belgia. Awalnya memang bahagia karena jauh dari keramaian dan dekat dengan alam. Lama-lama, saya bosan! Beruntung, tempat saya tinggal saat itu hanya sekitar 40 menit naik bus ke Ghent. Masih lumayanlah kalau ingin rehat saat akhir pekan.

Tapi tidak semua desa dekat dengan kota besar. Belum lagi, biasanya transportasi umum di pedesaan horor alias tidak beroperasi sampai tengah malam dan bisa datang dua jam sekali. Saya sering kali jalan kaki tengah malam dari stasiun terdekat hanya karena ketinggalan bus terakhir.

Travelling ke negara tetangga pun jadi mahal kalau memang harus pergi via bandara yang tiket murahnya justru berada di ibukota. Cari teman juga susah karena kebanyakan tetangga adalah pasangan tua ataupun keluarga yang super sibuk. Makanya sebelum memutuskan deal, sebaiknya kamu cek dulu di peta seberapa jauh desa tersebut dari kota besar. Cek juga halte bus dan stasiun kereta terdekat.

Sejujurnya, saya kapok tinggal di desa! Kita masih muda, masih butuh kehidupan sosial,having fun, danexploring.

5. Cari cleaning lady

Pertama kali kenalan dengan keluarga Denmark, Louise, host mom saya sudah menjelaskan dan jujur kalau sebenarnya mereka lebih butuh housekeeper ketimbang babysitter yang hanya fokus ke anak. Lalu yang terjadi memang benar, pekerjaan saya di Denmark super varitif. Mulai dari mengurus bayi, laundry, beres-beres rumah, masak, loading dishwasher, hingga belanja ke supermarket setiap minggu.

FYI, keluarga di Eropa Utara terkenal "memanfaatkan" au pair hanya untuk mencari cleaning lady murah. Banyak sekali cerita buruk au pair di Skandinavia yang harus bekerja overtime. Menyewa tukang bersih-bersih di Skandinavia memang mahal sekali dan hanya keluarga super kaya yang mampu membayar jasa mereka. Makanya au pair adalah opsi termurah dan all-in; jaga anak iya, masak iya, cleaning lady iya, kadang juga mengurus peliharaan pun iya. Hebat kan tugas au pair di Skandinavia?!

Saran saya, kalau profil keluarga tersebut memang sudah menerangkan urusan rumah tangga akan lebih banyak dari urusan anak, sebaiknya tanya dan diajak diskusi kembali. Kadang ada juga keluarga yang malah ingin kamu ikut gardening. Bahh! Lebih susah menolaknya kalau sudah terlanjur tinggal bersama.

6. Keluarga imigran

Saya sudah pernah membahas tentang keluarga imigran di postingan tentang keluarga Arab . Walaupun lahir, tinggal, dan besar di lingkungan Barat, after all they are still immigrants in heart.

Pengalaman buruk saya dengan keluarga Maroko di Belgia mengajarkan untuk tidak akan pernah mau tinggal lagi dengan keluarga pendatang. Tidak hanya saya, hampir semua teman yang keluarganya imigran juga merasa tidak nyaman dengan treatment dari keluarga tersebut. Mulai dari sifat mereka yang tidak mau rugi, kurang komunikasi, susah diajak diskusi, kurang open-minded,hingga harus kerja berlebihan. Skip deh, meskipun embel-embelnya seagama!

7. Anaknya sudah abege

Di Belgia dan Denmark, batas umur anak terkecil untuk punya au pair hanyalah sampai 12 tahun. Herannya, keluarga angkat biasanya masih manja dan tetap ingin punya au pair meskipun anak-anak mereka sudah mandiri.

Seorang kenalan terpaksa harus merapihkan kamar si anak tertua berumur 18 tahun setiap minggu, meskipun tidak ada dalam kontrak. Hal ini terpaksa dia lakukan karena seperti jebakan Batman, terlanjur pasrah tanpa bisa menolak. Si anak terkecil pun sudah berumur 8 tahun yang notabene mampu mengurus perut dan dirinya sendiri.

Kesimpulan saya, tipe keluarga seperti ini hanya mau dimanja dan sudah ketagihan jasa au pair. Kalau pun tidak disuruh jaga anak, ada juga yang tetap butuh au pair menjaga anjing saat si keluarga liburan. Apa peran au pair kalau semua anak sudah mandiri? Baca poin kelima!

8. Bitchy face

Betul, jangan menilai seseorang cuma dari foto saja. You never know until you get to know them better. Betul itu.

Tapi entah mengapa, sudah 3 orang teman saya bermasalah dengan host mom-nya yang super perhitungan dan rude. Anehnya, para ibu angkat mereka memiliki garis muka yang mirip; muka jutek! Mungkin muka-muka jutek host mom ini ikut berpengaruh ke karakternya di rumah. Kalau kamu bingung seperti apa bitchy face itu, lihat contoh ini;

Intinya muka tante-tante yang fake smiling, kebanyakan gaya, muka angkuh, muka sok cantik, dan muka jutek kayak mau ditonjok. Hah! Just trust me!

9. Track record buruk

Tidak semua tipe keluarga yang sudah saya sebutkan di atas semuanya mean dan rude. Sekali lagi, tidak ada yang bisa menilai sifat manusia sebelum kita bertemu dan kenalan langsung. Tapi kalau kamu punya kesempatan mengobrol dengan mantan au pair mereka, take that chance!

Eks au pair keluarga saya yang sekarang sebetulnya orang Filipina. Jujur saja, keluarga ini juga sempat jadi red alert buat saya. Tapi setelah bicara panjang lebar dengan si eks au pair, saya bisa melihat kalau si Filipina bahagia tinggal dengan keluarga ini. Tidak ada yang ditutup-tutupi dan semuanya terkesan apa adanya.

Au pair adalah kunci untuk tahu jelek baiknya host family saat di rumah. Jangan malas untuk mengulik sedikit tentang kebiasaan host family yang belum kamu tahu.

BUT! Please jangan kebanyakan kepo sampai terlalu banyak bertanya masalah hadiah dan fasilitas yang keluarga akan berikan ke au pair pengganti. Kenyataan akan berbeda, pun begitu dengan treatment keluarga antara au pair pertama dan kedua. Jadikan pengalaman si mantan au pair sebagai pelajaran awal kamu mengenal calon keluarga lebih baik.

10. Tinggal di Britania Raya/Spanyol/Italia

Sudah pernah saya bahas juga di postingan Guide Au Pair , kalau pemegang paspor Indonesia tidak bisa mendapatkan izin tinggal di Inggris atau Spanyol pakai visa au pair.

Kalau kamu memang nekad dan sangat tertarik tinggal di negara tersebut, coba gunakan visa pelajar. Tentu saja, persyaratan dokumennya lebih komplet ketimbang visa au pair. Selain bukti finansial, kamu juga harus melampirkan flight booking, dan LoA dari tempat belajar di negara tersebut. Baca postingan saya tentang au pair ke Irlandia, Spanyol, dan Italia kalau kamu tertarik kesana!

Anyway, kenapa harus jadi au pair disana sih? Kenapa tidak coba apply di negara Eropa lain yang lebih possible, lalu travelling saja ke Inggris atau Italia? Psstt.. pocket money di Spanyol juga kecil kok ðŸ˜›

Sekali lagi, tidak ada yang bisa menjamin nasib kita setelah tiba di Eropa. Bad things could happen dan kenyataan akan sungguh berbeda dari apa yang kita harapkan sebelumnya. Tapi siapa juga yang mau punya pengalaman buruk kan? Tentu saja chemistry berpengaruh saat kamu berdiskusi dengan calon host family. Namun jangan juga kena jebakan Batman hanya karena sifat gegabah yang ingin cepat-cepat ke Eropa tapi melupakan red alert dari calon keluarga.

Good success, ladies!

Friday, May 29, 2020

Tips Mengasuh Anak-anak Keluarga Eropa|Fashion Style

If people think, I want to be an au pair (this long) because I love kids, that's totally wrong!

Though, I am so good at faking it.

Lasse, host dad Norwegia, menyapa saya dengan muka lelah di pagi yang cerah. Dia mengadu kalau si kakak tak henti-hentinya bangun dan menangis sejak jam 2 pagi. Tak jelas apa sebabnya, tapi si bapak ini harus bolak-balik menenangkan si anak.

"Too much work to do also. I am so tired," keluhnya sambil tetap tersenyum.

Tidak sekali ini saja si bapak mengeluh tentang gaya hidupnya yang berubah sejak punya anak. Lasse memang jujur dalam banyak hal dan tidak segan menceritakannya ke orang baru, seperti saya. Dari foto lamanya yang saya lihat, si bapak dulunya sangat menjaga bentuk badan dengan cara terus berolahraga.

"Now I even have no time to exercise," keluhnya lagi di waktu yang lain. "I am actually exhausted. I'd rather watch a movie, than run. But it's obligatory! Too much fatty food last weekend and I expect to get my well-shaped body again."

Siap punya anak berarti memang harus siap dengan resiko yang akan diterima. Siap bangun tengah malam, siap tidur kurang, siap punya rumah lebih besar, dan siap-siap juga kehilangan waktu untuk having fun. Makanya untuk mengurangi beban, keluarga di Eropa mau keluar uang tidak sedikit untuk menyewa jasa au pair.

Meskipun gaya parenting dan babysitting orang Eropa lebih 'easy' ketimbang di Indonesia, tapi jadi au pair mereka bisa sama stresnya. Kita dituntut untuk fleksibel dan diberi tanggung jawab sebagai pengganti orang tua saat mereka tidak di rumah. Apalagi saya yang sudah 3,5 tahun jadi au pair dan berpengalaman mengurusi anak dari usia 0-12 tahun, rasa bosan dan stresnya sudah diubun-ubun!

Tiap keluarga angkat punya cerita dan pola asuh yang berbeda-beda. Berikut pengalaman saya menjadi kakak dan babysitter bagi para host kids di Eropa. Tanpa bermaksud menjelek-jelekkan para keluarga, saya hanya memberikan gambaran bagaimana anak-anak Eropa diasuh dengan kultur yang berbeda dengan Indonesia. Trust me, karakter anak memang terbentuk seperti apa mereka dididik dari kecil!

Keluarga Belgia-Maroko

Tiba di Belgia, host mom saya sedang hamil tua dan tinggal menunggu waktu kelahiran anak keduanya. Dari awal sudah dijelaskan kalau saya hanya disuruh fokus menjaga si kakak yang baru berumur 2 tahun. Tugas saya sebetulnya tidak berat dan masih wajar, seperti antar-jemput si kakak, bermain bersama, masak makanan sederhana untuk dibawa ke TK, ataupun hanya hand washing baju anak-anak.

Pertama kali jadi au pair, saya kaget sekali memperhatikan pola asuh keluarga ini yang sangat suka membentak dan berteriak ke anak. Walaupun si kakak baru berumur 2 tahun, tapi seperti sudah diperlakukan layaknya anak umur 5 tahun. Si anak dipaksa untuk dewasa dan mandiri, padahal bicara pun belum lancar. Kalau salah sedikit, ditarik atau dimaki tepat di depan kupingnya. Saya sampai tidak tega hati.

Entah karena memang kebanyakan didikan keluarga Arab sangat keras, akibatnya si kakak jadi sangat keras kepala dan suka berteriak juga. Orang tuanya kadang berusaha untuk tegas dengan melarang ini itu, tapi yang saya lihat, mereka hanya modal memaki. Tujuannya berharap si anak takut, lalu menuruti apa kata orang tuanya. Padahal yang terjadi, si anak sering kali membantah dan merengek.

Saya sering kali dibuat jengkel oleh ulah si kakak yang suka berkata 'tidak' untuk semua hal. Si ibu juga sangat berharap kalau saya bisa jadi teman main si kakak dengan menciptakan banyak ide kreatif seperti melukis atau menggambar. No TV, no gadget. Tapi karena sulit sekali dijadikan teman, saya kewalahan juga mengurus anak ini.

Keluarga Belgia

Merasa tidak berbakat mengasuh anak kecil, saya meminta pihak agensi untuk dicarikan keluarga angkat yang anaknya sudah besar. Mungkin akan lebih mudah, pikir saya saat itu.

Hanya 3 hari berselang, pihak agensi menawarkan saya keluarga di Laarne yang anaknya berumur 7, 11, dan 12 tahun. Semua anak sangat baik, bersahabat, dan fasih berbahasa Inggris. Anak-anak ini sangat suka bercerita dan menganggap saya layaknya seorang kakak. Maklum, saya adalah au pair ke-7 mereka.

Ternyata memang benar, mengurus anak seusia mereka sangat easy. Saya tidak perlu mengganti popok, memandikan, sok-sok cari bahan permainan, ataupun lari-larian kesana kemari. Mereka sudah besar dan tahu apa yang ingin dilakukan. Tugas saya betul-betul seperti kakak tertua yang hanya menuntun ke sekolah naik sepeda, membuat makan malam, dan babysitting semalaman suntuk saat orang tuanya masih sibuk bekerja.

Kalau mau jujur, tugas saya disini betul-betul enak dan santai. Fokus saya hanya ke anak, masak untuk makan malam 4 kali seminggu, dan 2-3 kali sebulan saja vacuuming lantai dasar. Tidak tanggung-tanggung, saya diberikan satu rumah dua lantai sebagai tempat tinggal. FYI, rumah ini dulu memang punya mereka saat rumah utama sedang direnovasi. Karena tidak pernah ditinggali lagi, jadinya dialihkan sebagai akomodasi au pair.

Tidak enaknya mengasuh anak yang sudah besar-besar ini adalah mereka sangat mudah mengatur kita. Aturan orang tua yang tadinya sangat strict, tidak boleh ini, tidak boleh itu, akhirnya dengan mudah dilanggar saat orang tua mereka tidak di rumah. Mereka sangat sering mengajak negosiasi untuk nonton film atau main gadget lebih lama dan tidak jarang ada insiden berkelahi dulu sebelum tidur.

Keluarga Denmark

Saat wawancara pertama saya dengan si ibu, beliau mengatakan kalau sedang menunggu kelahiran dua bayi kembar beberapa bulan lagi. Selain menunggu si kembar, host parents saya juga memiliki anak pertama yang berusia 4 tahun. Tapi karena si bayi nantinya kembar, si ibu meminta saya fokus membantu mengurusi si bayi. Urusan si kakak adalah urusan orang tuanya.

Sampai di Denmark, si bayi sudah berumur 4 bulan and I fell in love in a sudden! Mereka sangat lucu dan mukanya tidak mirip. Yang satu mirip bapak, yang satu mirip ibu. Si kakak belum terlalu dekat dengan saya karena saat itu masih manja-manjanya dengan orang tuanya. Beberapa kali dia berusaha mengajak main, tapi saya sering bingung sendiri karena belum bisa bahasa Denmark .

Enaknya mengurus bayi itu, kita tidak perlu pusing-pusing memikirkan ingin main apa hari ini. Tidak juga capek harus kejar-kejaran hanya karena si anak terlalu aktif. Tapi kesalnya juga banyak! Si bayi tidak bisa ditinggal, harus siap mendengar rengekan, butuh perhatian ekstra, harus disuapi, plus kita mesti menggendong kesana kemari. Belum lagi kalau mereka eek berceceran atau muntahan yang harus segera dibersihkan. Sanggup kamu?

Beruntungnya, host mom saya tipe ibu yang supeeeer sabar dan tidak pernah mengeluh sedikit pun. Saya tahu mukanya lelah mengurus dua newborn babies plus satu anak lagi. Tapi mungkin karena sudah sangat siap punya anak, jadinya kedua orang tua ini lebih bertanggungjawab. Tugas jaga anak dibagi dua. Siang bagian saya dan si ibu, malamnya giliran si bapak yang membuat susu dan bangun kalau si kembar menangis.

Dari segi karakter, host parents saya ini ibarat dua sisi mata koin. Si bapak terlihat lebih arogan, mudah emosi, dan suka berteriak ke anak. Si ibu begitu lembut, jarang marah, dan suka memanjakan anak. Imbasnya, si kakak jadi ikut-ikutan si bapak yang punya temperamen tinggi dan suka berteriak kencang sekali. Sifat manjanya makin menjadi-jadi dengan bersikap bossy, minta perhatian dengan cara kasar, ataupun berteriak agar suaranya didengar.

Si kakak sebetulnya anak yang super manis kalau 'warasnya' keluar. Tapi sifat usil dan keras kepalanya memang bisa membuat semua orang kesal. Meskipun sudah dimarahi habis-habisan, herannya anak ini tidak pernah kapok dan balik memarahi orang tuanya.

Saya tak memungkiri bahwa tahun pertama di Denmark adalah tahun terberat saya dengan tugas yang super variatif. Mulai dari masak makan malam setiap hari, jaga bayi, laundry, lipat pakaian, sampai bersih-bersih rumah pun, saya semua yang mengerjakan.Kerja minimal baru selesai jam 8 malam. Tapi saat si bayi belum setahun, mereka harus ditimang-timang dulu sebelum tidur. Sudah tangan pegal, saya ikut mengantuk, kerja juga sering lembur sampai jam 9.30 malam.

Keluarga Norwegia

Berpengalaman mengasuh newborn babies sepertinya membuat keluarga Norwegia ini sangat tertarik dengan profil saya. Apalagi saat mereka tahu kalau saya sempat ditinggalkan bertiga saja dengan si kembar saat orang tuanya tidak ada di rumah.

"Lalu kalau mereka sama-sama menangis, bagaimana? Kamu gendong sekaligus?" tanya si bapak saat itu.

"Tidak. They have different characters. Yang satu memang sangat rewel, yang satu pendiam. Untungnya, mereka seperti mengerti satu sama lain. Kalau yang satu menangis, yang satunya diam. Malah pernah yang satu menangis sangat kencang, tapi yang satu lagi tidak terbangun dari tidur sama sekali."

Saat saya berkunjung ke Oslo, si ibu sedang mengandung anak kedua selama 4 bulan. Anak mereka yang pertama baru berumur 1 tahun 5 bulan. Menurut cerita dari au pair mereka sebelumnya, keluarga ini super easy dan tipe orang tua yang mau berbagi peran, tanpa sepenuhnya melimpahkan tugas anak ke au pair.

"Really? Kami dulu tidak pernah meninabobokkan si kakak saat masih bayi. Letakkan saja di kasur, lalu si kakak tidur dengan sendirinya," kata si bapak saat mendengar saya harus menimang-nimang si kembar dulu sebelum tidur.

Luar biasa! Kalau si kembar Denmark dulunya kami perlakukan seperti itu, yang ada mereka terus-terusan menangis dan tidak mau tidur.

Si adik yang baru berusia 3 minggu saat saya datang ke Oslo, akan jadi tanggung jawab terbesar saya. Dibandingkan dengan si adik, interaksi saya dengan kakaknya mungkin hanya 10% saja setiap hari. Saya tidak terlalu banyak diberi tugas mengawasi si kakak karena memang anaknya tidak manja dan rewel. Si adik ini sebetulnya yang paling membuat saya jengkel!! Tangisannya sangat nyaring, melengking, dan menusuk telinga. Rasanya ingin saya banting kalau tantrum-nya keluar.

Tapi sebetulnya mengurus si adik ini cukup mudah karena kita sudah tahu apa yang akan dilakukan. Si ibu super strict dalam mendisiplinkan anak-anaknya sejak usia 1 hari. Waktu makan dan tidur diatur sedemikian rupa agar anak-anaknya terbiasa dan mempermudah kita juga merawat mereka. Betul saja, jam 7 malam sudah tidak lagi suara anak kecil di rumah ini karena mereka dengan mudah bisa tidur sendiri dengan hanya dibaringkan di kasur. Tugas saya pun jadi lebih mudah karena jam 6 atau 6.30 malam sudah beres.

Pola asuh keluarga ini memang bisa dijadikan contoh. Meskipun si anak masih kecil, tapi orang tuanya sudah mengajarkan untuk bersikap lemah lembut dan sopan. Si kakak yang sekarang berusia 2,5 tahun adalah anak yang sangat manis, lembut, dan kalem. Si kakak tidak diperbolehkan berteriak kencang di dalam rumah, memukul, dan bermain dengan makanan.To be honest, saya tidak pernah menemukan sisa makanan si kakak yang berhamburan di bawah meja karena cara makannya yang bersih dan tertata.

"Kalau kamu sudah membiasakan sikap tegas dan disiplin ke anak sejak mereka bayi, hal itu akan membuat hidup mu lebih mudah," kata si host mom.

I agree!

Sebetulnya jadi au pair dan mengasuh anak keluarga Eropa itu bisa jadi edukasi dan latihan kalau nanti ingin punya anak. Memang tidak ada pola asuh yang benar-benar tepat, entah itu keluarga Eropa ataupun keluarga Indonesia. Apalagi karakter anak terbentuk dari didikan orang tua terlebih dahulu. Sayangnya, banyak sekali keluarga yang sok-sokan strict dengan anak tapi mereka sendiri yang kadang mengingkari. Ujung-ujungnya au pair atau pengasuh lagi yang disalahkan kalau anak mereka tidak mau menurut.

Saran saya, tetaplah berdiskusi dengan para orang tua kalau kamu mengalami kesulitan mengasuh anak-anak mereka. Coba bicarakan dengan cara santai tanpa terkesan mengeluh dengan kerjaan. Jangan lupa juga belajar bahasa lokal agar host kids lebih paham apa yang kamu katakan.

Satu lagi, kalau kamu belum pernah mengasuh bayi, please don't dare to do so! Mengutip film Dilan, "jangan mengasuh bayi. Ini berat. Kau tak akan kuat. Biar aku saja." ðŸ˜„

Mengasuh anak orang saja sudah melelahkan dan stressful, apalagi anak sendiri. Saya belum sanggup harus kehilangan waktu tidur dan bersenang-senang. Terlalu lama jadi au pair malah membuat saya tidak ingin punya anak (dulu)!

Monday, May 25, 2020

Tips Denmark, Negara Terburuk untuk Au Pair|Fashion Style

Memegang peringkat ke-3 (2018) sebagai negara terbahagia di dunia, tidak membuat Denmark menjadi tempat yang membahagiakan bagi para au pair. Terbukti dengan adanya wacana untuk melarang semua au pair non-Eropa di awal tahun 2018 kemarin, semakin menguatkan fakta bahwa peran au pairtidak lagi sama di negara ini.

Au pair berasal dari bahasa Prancis "at par" atau "equal to", yang mengindikasikan bahwa status au pair mesti disejajarkan, dianggap, dan diperlakukan seperti keluarga, bukan sebagai tukang bersih-bersih. Au pair mulai diperkenalkan di tahun 1840 saat keluarga kelas menengah merasa membutuhkan pengasuh untuk merawat anak-anak mereka di zaman perang. Biaya pengasuh saat itu sangat mahal, sehingga hanya bangsawan elit saja yang bisa membayar upah pekerja. Karena banyaknya permintaan inilah, gadis-gadis muda dari kelas menengah yang ingin mandiri dan menghasilkan uang sendiri bekerja sebagai pengasuh lepas. Agar gadis-gadis ini tidak sama layaknya 'pelayan berseragam', maka lahirlah konsep au pair yang ada hingga sekarang.

Sayangnya, tujuan asli au pair semakin tergerus zaman. Au pair yang harusnya diperlakukan sebagai keluarga, malah dimanfaatkan untuk bekerja lebih namun dibayar dengan upah rendah. Seiring dengan banyaknya kasus abusive yang dilaporkan di tahun 1998, pemerintah Filipina membuat pelarangan bagi semua anak-anak muda di negaranya untuk keluar negeri dan bekerja sebagai au pair. Hingga akhirnya, larangan tersebut dicabut di tahun 2010 untuk Denmark, Norwegia, dan Swiss, diikuti negara lainnya di tahun 2012.

Kasus penganiyaan terhadap au pair di Denmark lagi-lagi mencuat di awal 2018. Beberapa partai yang tergabung di parlemen sampai mengajukan wacana untuk melarang semua au pair non-Eropa untuk datang ke Denmark. Swiss sudah berhasil melakukannya di tahun 2015. Namun keputusan akhir yang dikeluarkan di pertengahan 2018 ternyata belum mengabulkan regulasi baru ini karena masih harus mengevaluasi banyak faktor terlebih dahulu.

Saya tahu keluarga jahat dan tidak adil itu ada dimana-mana, tidak hanya di Denmark. Namun di saat negara lain terlihat sangat tegas melindungi au pair, Denmark malah sebaliknya. Peraturan yang semula menawarkan au pair untuk bekerja membantu mengurus anak dan mengerjakan tugas rumah tangga ringan, digeser menjadi murni tugas bersih-bersih saja. Bahkan pernah ada satu pasangan peternak yang mencari au pair khusus untuk membantu merawat hewan ternak mereka di kampung.

Di Belgia, setiap keluarga yang ingin punya au pair wajib memiliki anak berusia maksimal 13 tahun. Tugas au pair pun kebanyakan mengurus anak karena keluarga di Barat rata-rata sudah punya cleaning lady. Di Denmark dan Norwegia, keluarga tidak harus punya anak untuk mendatangkan au pair. Bahkan Skandinavia masih memperbolehkan keluarga memiliki au pair hingga anak berumur 17 tahun. Asal tujuannya ingin 'pertukaran budaya', satu keluarga sudah bisa mempekerjakan au pair untuk membantu tugas rumah tangga seperticleaning atau memasak. Could you see it? Keluarga Skandinaviajadi sangat manja dan sangat bergantung dengan au pair meski anaknya sudah dewasa.

Saya datang ke Denmark tahun 2015 saat au pair Filipina sudah merajai lebih dari 80% populasi au pair disana. Tidak jarang saya mendengar banyak sekali kasus kerja lembur, tidak dibayar, diperlakukan layaknya cleaning lady, hingga au pair kabur yang menimpa para gadis Filipina tersebut. Mereka memang tidak pantas mendapatkan perlakuan demikian. Namun meskipun masyarakat Filipina dikenal sebagai orang-orang tangguh, pekerja keras, serta pengambil resiko, sayangnya tidak dibarengi dengan sikap berani berkonfrontasi. Kerja apa saja oke asal dapat uang dan hutang terbayar. Hal inilah yang membuat banyak sekali keluarga Skandinavia memanfaatkan au pair karena tahu mereka tidak bisa berkata tidak. Imbasnya, imej jelek au pair pun semakin terpatri di pikiran orang-orang di Denmark.

Belum lagi persyaratan visa au pair ke Skandinavia yang super mudah, memungkinkan banyak anak muda dari Filipina dan Indonesia makin berbondong-bondong ingin kesini. Dari yang tadinya Denmark tidak terkenal, semakin dijadikan negara impian tujuan au pair. Lucunya, tujuannya bukan untuk belajar bahasa atau mengagumi keindahan Denmark sepenuhnya, tapi murni karena uang. Bagus kalau dapat keluarga baik, but unfortunately I never trust Danish families anymore. Keluarga Denmark saya dulu memang tidak perhitungan, sangat menyenangkan, dan super royal. Soal pekerjaan, you won't believe what I have done because it was too much! Tapi karena sifat mereka yang baik dan positif ini jugalah yang membuat saya tidak sempat mengeluh.

Saya tergabung di grup au pair Denmark yang sering kali menerima curhatan tidak menyenangkan. Dari yang mulai keluarganya super perfeksionis, terlalu perhitungan, pelit makanan, hingga egois. Bahkan ada au pair baru di Denmark yang kaget setelah tahu rentetan tugas yang selama ini tidak pernah terbayangkan. No childcare, only cleaning. Period. Eh wait, the standard must be oriented to five-star hotel.

Tapi sebelum menyalahkan si keluarga, saya tetap ingin menggarisbawahi bahwa sebagai au pair Indonesia, kita jangan manja dan penakut. If you are mistreated, then speak up! Tidak berani juga bicara, then leave! Jangan pernah berpikir bahwa si keluarga berubah kalau kita tidak pernah mengutarakan apa yang salah. Jangan pernah juga berpikir malas untuk mengurus semua paper dari awal, jika memang bermasalah dan harus pindah. Beberapa au pair Indonesia yang saya kenal malas ganti keluarga hanya karena tidak ingin ribet urusan kontrak baru dan sudah nyaman dengan tempat tinggalnya. Sampai akhirnya, mereka menahan hati tinggal di lingkungan keluarga yang tidak sehat.

Saya suka Denmark dan tidak punya alasan untuk membenci. Momen terbahagia dalam hidup saya pun sebetulnya saat berada di negara ini. Namun kalau ingin jujur, saya tidak akan merekomendasikan negara ini untuk au pair Indonesia. Keluarga yang benar-benar baik di Denmark mungkin hanya 4:100.Go ahead to the West, girls! Kamu akan lebih dihargai disana dan pelajaran bahasa mu juga akan lebih melekat karena masih banyak yang tidak bisa bahasa Inggris.

Just do not come to Denmark as an au pair!

Tips 5 Hal yang Harus Dihindari Antar Au Pair|Fashion Style

Dunia au pair itu sebetulnya sempit dan sederhana. Kamu tidak akan menemukan masalah terpelik di dalamnya selain problematika keluarga dan anak-anak. Meskipun au pair adalah program pertukaran budaya dipadu dengan part-time job, tapi entah kenapa ada saja yang menjadikan status ini sebagai kompetisi.

Beda keluarga, beda perlakuan. Ibaratnya kamu bekerja di satu perusahaan, lalu teman mu kerja di perusahaan lain, pastinya treatment yang kalian dapatkan tidak akan sama. Mungkin konsepnya sama, sama-sama kerja 5-6 jam per hari. Tapi jadwal libur, tugas, serta fasilitas pastinya berbeda.

Bagi kalian au pair senior atau pun au pair baru, berikut hal yang menurut saya menyebalkan dan harus dihindari:

1. I'm the luckiest!

I don't care if you get an iPhone, invited to a gala dinner, or given ?400 voucher in a five* famous person hotel by using your host circle of relatives! If I do not, so do the opposite au pairs.

Inginnya cerita, tapi lalu membanggakan berbagai fasilitas yang didapatkan ke teman au pair lainnya. Cerita kalau host family kita terlalu baik dan selalu membelikan barang-barang mahal, tapi ada niat pamer di belakangnya.

Menurut saya, fasilitas dan nominal uang saku itu sangat sensitif. Jangan bertanya dan jangan juga cerita sendiri. Mengapa, karena efek yang akan terjadi ada dua; kamu jadi sombong atau kamu malah tidak bersyukur. Sombong karena tahu uang saku mu lebih besar dari teman yang lain. Tidak bersyukur karena ternyata uang saku mu sangat standar dibandingkan yang lain.

Kalau kamar kamu besar seperti hotel, bersyukurlah lalu ingat kembali kalau itu hanya kamar pinjaman. Tidak semua au pair mendapatkan kamar besar beserta fasilitas lengkap seperti tv atau kamar mandi pribadi. Tapi lagi-lagi, apa yang mau dibanggakan dari barang pinjaman? Better to shut your mouth up, because we don't care!

2. Membandingkan

Biasanya bermula dari seorang teman au pair curhat masalahnya tentanghost family dan ingin minta saran, lalu ada tipe-tipe au pair menyebalkan lain ikut berkomentar.

"Oh, host circle of relatives gue gak pernah pernah nge-deal with gue kayak gitu. Mereka mah baik, selalu ngebeliin apa yang gue pengen."

"Wah aku mah kerjanya enak hanya four jam. Dapet kartu transportasi bulanan, tiket nonton tiap bulan, dibeliin kado Natal iPad, kok kamu parah banget?"

"Kemaren hape gue ilang, lalu hf nawarin mau beliin gue iPhone X. Padahal gue gak minta. Baik banget sumpah mereka! Coba deh lo tanya ke hf lo, siapa tau hf lo sebaik hf gue."

"Keluarga aku gak pernah kayak gitu kok. Mereka baik parah!! Blalalalala ~ (lalu ujung-ujungnya malah cerita tentang dia sendiri)"

Woii, teman au pair itu minta pendapat dan saran, bukan minta diceritain ulang apa saja kebaikan keluarga angkat kalian! Daripada membandingkan kondisi mu yang mungkin justru lebih baik dari kondisi si teman, lebih baik berikan support berarti. Kalau tidak bisa, ya sebaiknya diam saja kalau tidak ditanya. Simpan kebaikan si keluarga angkat untuk kamu sendiri, bukan diumbar agar orang lain tambah down dengan kondisinya.

3. Curhat soal cowok

Seperti yang saya bilang di atas, dunia au pair itu mirip dunia anak SMP. Sempit dan sederhana. Kalau bukan masalah keluarga dan anak-anak, ya pasti masalah cowok. Au pair baru itu ibarat anak SMP yang baru kenal pacaran dan masalah cinta-cintaan. Tiap ketemu teman geng, tidak sabar ingin cerita banyak soal cowok dari online dating yang berhasil dia kencani.

I have been here and I was sooo fed up! Boleh, tentu saja boleh cerita tentang cowok-cowok lucu yang berhasil menarik perhatian. Tapi kalau topiknya hanya itu-itu saja, pernah berpikir kah kalau si teman ini pasti bete? Girls, try to read books or news instead to start a smart discussion!

Four. Pamer pacar

Bagi sebagian au pair, punya pacar bule itu adalah sebuah prestasi terbesar dan kebanggaan. Tidak jarang momen bahagia di-share kemana-mana untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain kalau si abang bule ganteng atau tajir. Lucunya lagi, kadang si pacar ikut dijadikan ajang kompetisi. Mulai dari siapa yang paling ganteng, paling punya banyak duit, paling romantis, paling kuat di ranjang, atau paling cepat mengajak nikah. Is your foreign boyfriend a trophy?

5. Masuk zona nyaman

Saya tahu, cari teman di negara baru itu sulit bukan main. Bersosialisasi dengan orang baru tentu saja tidak mudah, apalagi sudah beda kultur dan bahasa. Tapi menurut saya, kebanyakan teman au pair dari Indonesia juga menjadi bumerang. Apalagi kalau social circle hanya sebatas orang Indonesia saja.

Sayang sekali jauh-jauh datang ke luar negeri hanya untuk mendengarkan gosip, cerita soal cowok bule, atau masalah host family terus-terusan. Belum lagi drama dan adanya tendensi kalau kita dibicarakan di belakang. Mainlah 'yang jauh'. Meet other people from different background! Kamu akan mendapatkan banyak cerita dan pengetahuan baru yang tidak akan pernah kamu dapatkan selama berteman dengan orang Indonesia.

Get from your comfort area and be social!

Wednesday, May 6, 2020

Tips 5 Alasan Mengapa Kamu Harus Tinggal dengan Keluarga Native|Fashion Style

Salah satu hal yang membuat kamu sukses mendapatkan pengalaman berharga saat tinggal di luar negeri dan setelah melewati masa au pair, tentunya adalah host family atau keluarga asuh/angkat. Mereka yang bisa menerbangkan mu dari Indonesia menuju host countries dan memberikan kesempatan mengikuti program pertukaran budaya di negara tujuan. Mereka adalah penentu apakah nasib mu di negara tersebut bisa berakhir menggembirakan, atau justru meninggalkan trauma.

Keluarga angkat ini juga ada yang asli lokal, campuran, atau sama sekali bukan asli warga setempat. Saya pernah tinggal bersama keluarga non-native dan lebih banyak tinggal dengan keluarga native. Pandangan saya terhadap kedua tipe keluarga ini, ada yang super baik, ada juga yang super mean tergantung individualnya. Bukan dari mana mereka berasal. Yakin saja, keluarga jahat itu sebetulnya ada dimana-mana.

Hanya saja, karena tujuan utama kita jadi au pair sebetulnya pertukaran budaya, saya sangat menganjurkan pilihlah keluarga native, atau yang salah satu orang tuanya merupakan orang lokal. Mengapa, karena ada banyak hal yang bisa kamu pelajari dari keluarga native ini.

1. Pelajaran bahasa mu akan lebih terasa karena praktik nyata

Saya tahu, di luar sana sebetulnya banyak sekali au pair yang malas belajar bahasa dan merasa cukup menggunakan bahasa Inggris di rumah. Banyak juga yang merasa happy kalau ternyata host kids mereka bisa berbahasa Inggris.

Tapi, bagi kamu yang sangat bermotivasi untuk belajar bahasa asing, tinggal dengan keluarga native bisa membuat kemampuan bahasa mu meningkat drastis. Tak perlu repot-repot cari tandem belajar, host kids di rumah adalah guru sekaligus teman belajar bahasa lokal . Mungkin ada juga yang sedikit terintimidasi dengan host kids yang sudah cukup dewasa dan selalu mengernyitkan dahi memahami apa yang kita ucapkan. Namun yakinlah, hal ini malah bisa jadi semangat untuk bisa memoles bahasa lokal mu lebih baik.

Dari pengalaman saya juga, keluarga native yang punya anak kecil lebih memudahkan kita belajar bahasa karena sama-sama baru belajar mengucapkan kata per kata. Anak kecil ini juga tak mudah menghakimi kemampuan bahasa kita hanya karena salah grammar atau pelafalan.

Sewaktu tinggal di Belgia, keluarga saya juga sebetulnya bukan asli Belgia. Mereka adalah orang Maroko yang lahir dan besar di sana. Namun, karena di rumah percakapan hanya menggunakan bahasa Prancis, hal ini bisa jadi kesempatan saya yang saat itu kebetulan memang ingin belajar bahasa Prancis. Karena anaknya juga masih mini-mini, pelajaran bahasa Prancis saya lebih cepat terasah karena setiap hari terpaksa harus mengobrol dengan bahasa yang dipahami mereka.

2. Makanan yang kamu cicipi tidak selalu nasi

Who does not love rice?! Tenang saja, para bule di Eropa juga sebetulnya suka nasi, kok. Hanya saja memang frekuensi makannya jauh lebih sedikit daripada kita di Indonesia.

Tinggal dengan keluarga native membuat kamu juga bisa mencicipi kuliner lokal yang belum pernah ada resepnya di Indonesia. Dari yang tadinya benci sayuran, kamu akan terpaksa mencicipi salad segar setiap hari. Saya dulu juga awalnya benci terong dan sayuran segar lainnya. Namun karena setiap hari disajikan itu-itu lagi di meja makan, saya punya kecenderungan untuk ikut mencicipi menu yang jauh dari zona nyaman lidah selama ini.

Selain itu, sebetulnya ada banyak sekali jenis makanan yang tak harus selalu disantap dengan nasi, tapi pasta, quinoa, ataupun kentang. Hal paling menantang adalah mencoba untuk meninggalkan rasa pedas yang selalu kita rasakan selama di Indonesia. Apa-apa pakai sambal! Mungkin awalnya akan terasa hambar dan hanya terasa asin saja, namun kalau kita tinggal dengan keluarga native, lidah juga akan berlatih untuk merasakan rasa selain pedas.

Beda halnya kalau kamu tinggal dengan keluarga non-native semisal Maroko, contohnya. Makanan mereka kebanyakan berlemak dan nyaris nihil sayuran. Nasi atau couscous pun selalu memenuhi meja makan hampir setiap hari. Selain rempah masakan mereka yang hampir selaras dengan makanan Asia, saya tak terlalu banyak mencicipi rasa selain fatty dan heavy.

3. Mengenal tradisi dan kebiasaan lokal lebih jauh

Tahu kah kamu kalau di Belgia, keluarga native memulai sarapan mereka dengan yang manis-manis? Tahu kah juga bahwa saat tinggal dengan keluarga native Denmark, kamu akan menyadari bahwa rumah mereka kebanyakan didominasi warna putih dan produk berdesain asli Skandinavia. Kamu juga akan belajar memahami hal-hal yang masyarakat tersebut sering lakukan, namun terlihat aneh bagi kita.You wouldn't know this kalau tak tinggal dengan keluarga asli!

Tinggal dengan keluarga native juga seru, karena bisa sekalian mengamati manner dan kebiasaan mereka sehari-hari. Bagaimana gaya parenting di sana, hingga jenis snack seperti apa yang sangat disukai warga lokal. They will tell you more about their country, for sure! Termasuk stereotipe yang akan kamu sering kamu dengar dari banyak foreigners tentang warga lokal!

4. Merayakan Natal yang bukan lagi jadi perayaan agama

Far from Indonesia and stay with the natives akan membuat cara pandang mu berubah dalam melihat kehidupan. Di Eropa, perayaan Natal bukan hanya milik agama tertentu. Natal menjadi liburan terbesar sepanjang tahun karena saat inilah orang-orang menjauh sebentar dari hiruk pikuk kota dan berkumpul bersama keluarga di rumah.

It is OF COURSE allowed to decorate the Christmas tree regardless your real religion or nationality! Semua orang bersuka cita mendirikan pohon natal plastik atau asli, sekalian mendadani si pohon agar tampak cantik jauh sebelum perayaan Natal tiba. Lampu-lampu kerlap-kerlip dipasang di luar rumah ikut menambah euforia Natal yang syahdu. Lagu-lagu khas Natal juga semakin sering berdendang di radio sampai kamu sendiri mungkin akan hapal dan muak.

Christmas eve is soooo cozy! Beruntung kalau kamu juga bisa merasakan white Christmas.Di malam sebelum Natal (24 Desember), meja terisi penuh makanan enak, ditambah dengan cercahan lilin yang akan membuat suasana semakin nyaman. Semua anggota keluarga berbagi cerita, hingga saatnya tiba saling bertukar hadiah. Kalau yang diundang banyak, acara tukar hadiah ini bisa berlangsung sangat panjang.

Bagi saya yang mantan au pair, perayaan Natal adalah momen yang WAJIB kamu rasakan bersama host family selama masa au pair! It would be full of good food, good mood, and good experience! Satu lagi, kamu wajib tahu bahwa di Eropa, perayaan Natal di tiap negara pun punya kultur yang berbeda, lho!

Five. Beraktifitas seru layaknya masyarakat lokal

Saya merasa sangat beruntung menemukan keluarga native yang semuanya mau berusaha mengenalkan budayanya ke saya. Kapan lagi, bisa merayakan 17 Mei di Norwegia, namun bukan bersama masyarakat lokal di Oslo, namun di pulau pribadi milik host family . Kapan lagi bisa diajak lunch di tengah laut Norwegia Selatan, kalau tak naik kapal pribadi milik mereka!

Kalau kamu mendapatkan host family yang aktif, akan ada banyak kesempatan dimana kamu bisa diajak beraktifitas bersama atau sekadar diajak 'business trip ' sesekali. Saat mereka sekeluarga berski ria, bisa jadi kamu ditawari ikut main ski bersama, sampai dibelikan peralatan lengkapnya! Keluarga kamu suka menikmati makanan high standard, ada kemungkinan juga mereka akan selalu mengajak atau menawarkan voucher makan-makan fancy di luar.

Bahkan kalau pun tak rejeki diajak kemana-mana, kamu tetap bisa belajar bagaimana keluarga lokal ini menikmati waktu senggang mereka. Di Denmark, kehidupan masyarakat lokalnya cenderung membosankan. Tappiiii, ada tren mendatangi health club yang jadi kultur setempat. Seorang teman saya akhirnya ikut termotivasi untuk mendatangi tempat gymnasium setiap minggu karena mencontek aktifitas favorit keluarga angkatnya.

Tak ada salahnya memiliki preferensi ingin mendapatkan host family seperti apa. Boleh yang seiman, senegara, ataupun sebahasa. Bebas! Belum tentu juga keluarga native akan cocok dengan gaya hidup kita, atau bahkan bisa jadi lebih buruk dari keluarga imigran. Namun, kalau disuruh memilih, saya tetap akan memilih keluarga native yang saya yakini, bisa lebih banyak memberikan saya pelajaran dan pengalaman selama di negara tujuan.

Kamu sendiri, apa punya preferensi keluarga seperti apa yang ingin kamu dapatkan sekiranya punya kesempatan jadi au pair? Boleh juga membaca postingan saya tentang 10 hal yang mungkin bisa kamu hindari sebelum memilih keluarga!