Showing posts with label pertemanan. Show all posts
Showing posts with label pertemanan. Show all posts

Friday, July 10, 2020

Tips Sulitnya Berteman dengan Orang Denmark|Fashion Style

Bulan November tahun lalu, saat saya kembali lagi ke Belgia dan menunggu kereta ke Brussels dari Charleroi, saya duduk di bangku kosong bersebelahan dengan seorang kakek-kakek di lobi. Si kakek lagi bersiap membuka kotak makan siangnya, yang saat dilirik berisi roti dan bacon. Selang sepuluh menit kemudian, si kakek tiba-tiba menyapa saya dengan senyuman ramah, "bonjour, madamoiselle." Saya pun mau tidak mau menyapa balik dengan senyuman kaku. Dari situ, percakapan dengan si kakek dimulai.

Si kakek awalnya bertanya tentang asal-usul saya dalam bahasa Prancis. Tapi karena saya sudah terbata-bata menjawab pertanyaannya, akhirnya si kakek bersedia mengganti dengan bahasa Belanda. Dia tidak berhenti mengoceh sambil mengunyah sampai isi mulutnyamuncrat kemana-mana.  Saya pun cukup kepo bertanya tentang kehidupannya yang ternyata kesepian setelah ditinggal sang istri. Semakin lama, si kakek juga bicara dengan suara yang cukup keras hingga menganggu orang yang duduk di belakang kami. Lucunya, dia hanya tertawa dan tidak peduli.

Saat duduk di kereta menuju Brussels, saya sadar kalau rata-rata masyarakat di Belgia lebih hangat dan bersahabat. Walaupun masyarakat Eropa umumnya tidak suka percakapan basa-basi, namun mereka juga tidak segan menyapa orang asing. Saat bicara dengan orang asing pun, mereka seperti benar-benar niat ingin mengajak ngobrol. Terutama kaum-kaum sendu alias tua yang kebanyakan kesepian.

Hal ini seperti justru yang tidak bisa saya rasakan di Denmark. Orang-orang Denmark terkenal sangat tertutup dan dingin terhadap orang asing. Mereka hanya bicara dengan teman mereka sendiri dan tidak menyukai percakapan basa-basi. Kalau sudah seperti ini, jangan harap bisa jadi teman dekat mereka apalagi sudah tahu akan meninggalkan Denmark dalam waktu dekat.

Bagi orang Denmark, pertemanan tidak bisa dipupuk dalam waktu enam bulan atau dua tahun saja. Rata-rata teman dekat mereka adalah orang-orang yang sudah mereka temui sejak sekolah dasar bahkan sangat kecil. Hal ini tentu saja cukup sulit bagi orang Asia yang terlahir dengan kehangatan dan karakter sosial yang tinggi. Bagi kita, semakin banyak teman, semakin banyak relasi, semakin banyak rejeki. Namun bagi orang Denmark, tidak ada tempat bagi orang-orang baru, kalau mereka saja belum tentu ada waktu untuk menemui teman-teman lama.

Saya pernah mendengar pernyataan ini dari orang Denmark, I still have my old friends and I don't think I really need a new friend. Atau, it's really nice when I'm drunk then I can talk to the strangers. Feels like we're best friend forever. But when I'm sober, I don't really have to call or talk to them anymore. I love that idea!

Ya, pergilah ke klub atau bar saat banyak orang Denmark mabuk. Mereka akan bicara panjang lebar tentang pengalaman dan kehidupan, layaknya sahabat karib. Namun setelahnya, jangan harap mereka akan berlaku sama dalam keadaan sadar. Orang Denmark beranggapan bahwa persahabatan bukan hanya mengobrol sebentar, saling invite Facebook, lalu jadi teman. Persahabatan bagi mereka sangat murni, dipupuk melalui waktu yang lama, hingga saling mengenal satu sama lain.

Hal inilah yang membuat banyak orang asing merasa sangat sulit menjalin pertemanan dengan orang asli Denmark. Selain kendala bahasa, orang Denmark juga merasa tidak ada guna berteman dengan orang asing yang jelas-jelas akan meninggalkan negara mereka. Sangat sulit bagi orang Denmark menghabiskan waktu nongkrong bersama, memiliki kenangan yang indah, lalu nantinya akan bersedih hati karena si asing akan terbang ke negara asalnya.

Tuesday, June 16, 2020

Tips Teman Internasional vs Teman Indonesia|Fashion Style

Hidup di luar negeri untuk sekolah atau bekerja adalah tantangan yang membuat kita harus berpikir realistis. Tidak semua orang lokal di negara tujuan akan bersikap ramah dan bersahabat. Pun begitu di Indonesia, banyak orang yang emosional dan acuh tak acuh. But that's cool too.

Tapi daripada menutup diri, boleh-boleh saja bertemu orang baru sekedar untuk menonton sport event ataupun minum-minum bersama di bar. Tidak semua orang yang kita temui harus dijadikan teman. Saya mengerti betapa sulitnya mencari teman baik di negeri orang. Bukan hanya dengan penduduk lokal, tapi juga orang Indonesia. Yah, namanya juga cocok-cocokkan.

Tiga tahun tinggal di Eropa, saya merasa bangga karena berhasil meninggalkan zona nyaman, memaksa diri keluar dan bergaul dengan orang baru. Saya sadar, saya seorang au pair yang lingkup kerja dan sosialnya sangat terbatas. Tidak mudah datang sendirian ke kafe, bioskop, acara potluck, ataupun restoran, demi interaksi dengan orang lain. Dibutuhkan rasa berani dan percaya diri yang tinggi.But, I did it!

Sering bertemu orang dengan latar belakang yang berbeda, saya bisa sedikit menggambarkan perbedaan karakteristik si teman Indonesia dan teman internasional yang akan kita temui di luar negeri.

Teman Indonesia

PROS.

1. Yang pasti soal komunikasi. Karena satu bahasa, obrolan terasa lebih lugas dan lancar tanpa peduli orang kanan kiri mengerti apa yang sedang kita bicarakan.

2. Feels like home. Mulai dari sering menginap bareng, masak makanan Indonesia, hingga saling lempar joke receh pun membuat kita merasa tidak sendiri di negeri orang.

Three. Satu keluarga. Karena sama-sama anak rantau, biasanya kita lebih menganggap si teman seperti keluarga sendiri. Ya curhat dengan mereka, ya mengadu sakit dengan mereka, ya kadang sampai pinjam duit pun dengan mereka.

4. Lebih humble karena satu nasib. Mereka tidak segan berbagi informasi dan membantu dalam banyak hal.

CONS.

1. Terkurung di zona nyaman karena merasa sudah cukup bersosialisasi dengan geng Indonesia, lalu malas berkenalan dengan orang asing lainnya.

2. Banyak drama. Yes, it is true. Jangan keseringan berkumpul dengan orang Indonesia di luar negeri. Meskipun tidak semua, tapi orang Indonesia di luar negeri tetap masih suka bergosip, iri hati, rebutan cowok, sampai menjatuhkan orang, lho!

3. Level bahasa kita mandet. Kembali ke fakta nomor satu, karena pergaulan hanya sebatas orang Indonesia saja, level bahasa lokal jadi tidak berkembang. Sudah malas bersosialisasi, malas pula belajar bahasa baru.

4. Kebanyakan omongan tentang lelaki. Yes, ini juga salah satu alasan saya kadang malas bergaul dengan cewek Indonesia di Eropa. Mereka kebanyakan curhat soal cowok! Chill, girls! Saya juga suka obrolan tentang cowok, tapi plis, jangan merasa yang paling laku di Eropa. Plus, jangan terlalu terbawa perasaan. After all, European guys ARE just guys! Tidak perlu dipamerkan apalagi sampai merasa yang paling beruntung.

Teman Internasional (Bule)

PROS.

1. Jaringan sosial kita meluas karena biasanya akan berkenalan dengan orang-orang first rate kece yang spesialisasinya berbeda dengan minat kita.

2. Obrolan terkesan lebih serius dengan pembahasan seputar isu worldwide ataupun sains. Orang-orang Barat cenderung lebih suka meneliti sesuatu dan berpikir mendalam tentang suatu masalah.

3. Lebih adventurous. Mulai dari mencoba minuman beralkohol tinggi, berenang di laut lepas saat musim dingin, hingga suka olahraga yang memacu adrenalin, membuat kita akan merasakan pengalaman yang serupa kalau dekat dengan teman seperti ini.

4. Mind their business. Mereka tidak akan tanya bagaimana cara kita beribadah, penghasilan kita berapa, atau kapan nikah.That's totally beyond their line. Tidak ada yang akan kepo dengan urusan pribadi kita.

CONS.

1. Perbedaan humor. Kadang saya tidak paham dengan selera humor para bule yang sedikit vulgar.

2. Pengambilan sudut pandang yang tidak pas dengan norma yang kita anut di Indonesia. Tanpa bermaksud etnosentris, hanya saja bergaul dengan bule yang free minded cenderung membuat beberapa orang Indonesia tidak nyaman. Ide untuk living together masih mengarah ke kepuasan seks semata bagi orang Indonesia, sementara untuk bule, hal tersebut lumrah tanpa harus terikat dengan janji pernikahan.

3. Straight forward. Mereka jujur, apa adanya, malas membual, dan membuat kita merasa mereka terlalu lancang. But, that's how they are. Bukannya tidak memikirkan perasaan kita sebelum bicara, hanya saja, mereka terlatih untuk terus terang tanpa kebanyakan basa-basi. Bagi orang Indonesia yang tidak terbiasa dengan karakter seperti ini, akan sering sakit hati.

4. Snobby! Serius, banyak bule yang otaknya juga sempit dan merasa paling super power!

Teman Internasional (Asia)

PROS.

1. Meskipun punya bahasa yang berbeda, saya merasa kalau selera humor dan pola pikir orang Asia itu hampir mirip. Beberapa hal yang kadang bule pikir itu offensive, justru terlihat lucu oleh orang Asia.

2. Suka mengobrol dan cerita. Teman Asia yang saya temui di Eropa biasanya terbuka dan tidak malu curhat tentang kehidupan pribadi mereka. Meskipun bahasa Inggris teman-teman ini kadang tidak terlalu lancar, tapi mereka berusaha menjelaskan dengan sangat mendetail dan rinci.

3. Rasa empati yang sama. Karena berasal dari tempat yang kulturnya hampir mirip, banyak orang Asia yang saya temui di Eropa lebih hangat dan sering tersenyum ramah. Mereka kadang tidak segan menawarkan bantuan, mengantar saya pulang kursus, hingga mentraktir makan.

4. Makan enak. Saya sering diundang datang ke acara makan-makan teman Filipina, Thailand, ataupun India. Kalau bosan mencicipi makanan khas Eropa, datang ke acara teman-teman ini bisa mengobati rasa rindu kita ke makanan Asia.

CONS.

1. The outsiders. Yes, after all, we are different. Pernah satu kali, saya datang ke farewell party au pair Filipina. Saat itu orang Indonesia yang tersisa tinggal saya saja. Duh, sepanjang acara si geng Filipina ini hanya stick to their own language. It's so depressing!

2. Pasif. Tipikal Asia sekali, kurang bisa berekspresi dan terlalu kalem. They're always behind the scene yang kadang selalu siap di-bully.

3. Susah diajak jalan. Kebanyakan orang Asia yang tinggal di Eropa biasanya pelajar atau sudah berkeluarga. Kedua tipe orang ini sama-sama susah diajak jalan entah karena sibuk kerja, sibuk belajar, atau mengurus anak. Sebenarnya banyak juga pelajar Asia yang suka party dan kerjanya hang out terus. But trust me, kalau lingkup sosial kalian sangat terbatas, kebanyakan orang Asia yang dikenal, kalau tidak au pair, ya teman sekolah yang kebanyakan sudah menikah.

4. Terlalu narsis dan kadang norak. Agree or disagree, level norak orang Asia kalau di Eropa hampir sama! Suka foto-foto, show off salju atau kegiatan lagi travelling, plus berasa jadi Instagram star yang mesti eksis setiap saat.

Sebenarnya, ingin berteman dengan yang satu negara atau beda negara kembali lagi ke kecocokkan masing-masing. Ada beberapa orang Indonesia yang lebih nyaman berteman dengan bukan yang sebangsanya. Ada yang lagi yang kurang bisa bersosialisasi hingga stuck dengan lingkup orang Indonesia saja. Well, preference matters.

Tapi selagi masih muda dan punya kesempatan bertemu dengan banyak orang baru yang umur dan latar belakangnya berbeda, ambil peluang tersebut untuk membangun network. Bertemanlah dengan siapa saja. Tidak dapat teman, ambil saja pengalaman dan ilmu baru yang bisa kita dapatkan dari mereka.

Kalian sendiri bagaimana, kira-kira lebih nyaman berteman dengan orang luar atau Indonesia saja?

Thursday, May 28, 2020

Tips Dari Kencan Jadi Teman|Fashion Style

Kalau kamu berpikir fungsionline dating di Eropa hanya untuk cari pacar , gebetan, atau teman tidur, then think again. Seorang kenalan saya malah mendapatkan pekerjaan dari cowok yang dikenalnya lewat OK Cupid. Saya, ketimbang mencari pacar, malah lebih memanfaatkan online dating sebagai wadah mencari teman jalan.

Dari awal main OK Cupid dan Tinder, saya memang sudah tidak ada niat mencari pasangan. Mengapa, karena pertama kali menggunakan OK Cupid saat itu posisinya saya sedang di Belgia. Beberapa bulan kemudian, saya sadar harus pulang ke Indonesia. Jadi daripada capek-capek memikirkan para si bule Belgia itu dan memutuskan LDR, saya lebih memilih untuk mencari pengalaman jalan saja dengan mereka.

Cari teman via online dating sebetulnya mengkhinati tujuan utama online dating itu sendiri. But, actually it worked!

Adalah Michi (saya memanggilnya), cowok Belgia yang saya temui 4 tahun lalu di Tinder. Michi 100% bukan tipe saya. Tapi karena memang saat itu tidak berniat cari pacar, saya swipe right saja semua profil cowok yang ada 'bio'-nya. No bio? No swipe right! Saya tidak perlu yang ganteng, karena tujuannya memang hanya cari teman mengobrol. Ujungnya, saya juga yang kelelahan membalas pesan yang masuk.

FYI, cowok Belgia lebih gampang diajak cerita dan ketemuan. Mereka juga tipikal cowok easy going yang isi otaknya tidak melulu soal selangkangan. Kalau memang tujuan beberapa cowok hanya mencari teman tidur, biasanya di kencan pertama mereka sudah jujur ke kalian. Sisanya, cowok Belgia adalah tipe pemalu-tapi-pede yang selalu berusaha untuk mengenal mu lebih jauh. Cowok Belgia itu ibarat buah persik yang lunak di luar, keras di dalam. Artinya, mereka sangat mudah membuka diri dan berteman dengan siapa pun, tapi kamu akan sedikit kesulitan untuk memahami isi hati mereka.

Pertemuan pertama saya dan Michi jauh dari kata mainstream. Kami tidak bertemu di kafe, restoran, ataupun taman. Saya juga sedikit canggung menyebut pertemuan pertama ini "dating" karena faktanya, saya mengajak doi road tripping!

Entah kenapa saya percaya saja dengan cowok ini setelah mengobrol nonstop sekitar 4 harian lewat texting. Saya tidak menemukan gelagat Michi yang hanya cari teman tidur. Bahasanya pun sangat sopan dan grammar-nya bagus. Bosan di rumah sendirian dan malas dengan atmosfir Antwerp atau Ghent yang begitu-begitu saja, saya mengajak Michi jalan ke tempat lain yang ternyata diiyakan oleh dia. Saya usul ide road trip, Michi pun tak ragu mengiyakan lagi. Wahh, pas sekali!

Tujuan kami saat itu sebetulnya Belgia Selatan. Tapi setelah memikirkan ongkos bensin dan waktunya, akhirnya kami sepakat menuju Aachen, Jerman. Tak tanggung-tanggung, saya mengajak seorang teman, Alin, agar perjalanan kali ini ongkosnya bisa dibagi. Entahlah apa ini menyebutnya, yang jelas kami seperti butuh tumpangan dan sopir saja. It was definitely not a hitchhike because we paid for it.

Then, there we were! Saya, Michi, dan Alin jalan ke Aachen dan mengobrol santai di mobil. Tidak ada rasa canggung sedikit pun karena saya dan Alin merasa sudah mengenal lama cowok ini. Michi adalah cowok Kristen taat yang setiap minggu rajin datang ke gereja. Seperti para bule taat lainnya, Michi juga menghindari seks sebelum menikah, no hard party, dan sebisa mungkin mengurangi alkohol. Teman saya, Gita, sampai menjuluki Michi "Si Bule Soleh". Mungkin gara-gara hal ini juga, Michi sangat sulit menemukan pasangan di Belgia. Bahkan menurut pengakuannya, hampir 98% cewek yang Matched dengannya di Tinder hanyalah Bot iklan! Poor you, Michi!

Setelah pertemuan pertama kami ke Aachen, saya tetap in contact dengan Michi karena saya tahu, he is a good guy. Saya lupa kemana kami bertemu selanjutnya, tapi di satu pertemuan lain, Michi adalah seorang malaikat penolong.

Suatu hari, saya dan Anggi, teman au pair Indonesia, berniat travelling ke Italia. Penerbangan kami saat itu dari Bandara Charleroi yang letaknya 111 km dari Ghent. Maklum, bandara tempat pesawat murah memang lokasinya jauh di selatan Belgia. Karena pesawat akan berangkat jam 7 pagi, kami harus menumpang bus transfer dari Ghent sekitar jam setengah 4 pagi. Sialnya, saya dan Anggi salah tempat menunggu hingga kami ketinggalan bus!

Kami sebetulnya sangat kecewa. Apalagi saya merasa bersalah karena saya lah yang menuntun Anggi ke tempat menunggu yang salah. Kalau gagal ke bandara, artinya kami harus membatalkan jalan-jalan yang sudah direncanakan sejak lama ini.

Kami sudah bertanya ke pihak taksi Stasiun Ghent berapa tarif menuju Charleroi. Harganya mahal sekali, sekitar €100. Sudah ditawar mati-matian, si sopir bersedia dibayar €80 saja tapi pakai cash. Anggi sebetulnya mau-mau saja, tapi uang tunai yang dia punya tidak cukup.

Tidak kehilangan ide, Anggi berusaha menelpon pacarnya karena siapa tahu si pacar mau repot-repot datang, menjemput ke Ghent, dan mengantar ke Charleroi. Tapi ia batalkan karena ingat si pacar ini barusan mengantarnya ketemu saya dan paginya doi juga harus kerja. Kasihan juga kalau harus disuruh bolak-balik lagi.

"Nin, telpon gebetan kamu!" kata Anggi tiba-tiba.

"What?!"

* Jadi ceritanya, kami pernah ingin menghadiri shalat Idul Fitri bersama di KBRI Brussels. Karena bangun kesiangan, kami dipastikan akan telat datang kalau harus menggunakan bus. Belum lagi Belgia sedang diguyur hujan deras pagi itu. Ujung-ujungnya saya terpaksa menelpon Kenneth, bapak-bapak yang sempat flirting dengan saya di TK si host kid,untuk minta diantar! Dang, I felt like a whore! Saya sebetulnya tahu bapak itu sudah punya pacar dan anak, tapi Anggi tetap memaksa saya menelponnya karena siapa tahu si Kenneth mau. Ternyata betul, Kenneth bersedia mengantar kami pagi itu. Tak tanggung-tanggung, si anak juga dibawa di kursi belakang. *

"Iya, tapi siapa yang mau bangun dan mengangkat telpon jam 4 pagi begini?!" kata saya pesimis.

"Duh, coba saja! Siapa tahu ada yang mau," Anggi tetap optimis, meskipun mukanya juga sudah pasrah.

Oke, saya coba! Percobaan pertama adalah menghubungi Sibren, cowok cute yang saya kencani pertama kali di Belgia. Sebetulnya saya sudah ingin menghindari doi, tapi saat itu lagi urgent. Untungnya Sibren tidak mengangkat.

Selanjutnya adalah Ken, cowok yang pernah memainkan piano untuk saya di Laarne. Tidak aktif!

Steven...

"Duh, tapi si Steven ini yang waktu itu mau main sosor, lalu saya tolak mentah-mentah. Mana mau dia angkat telpon," batin saya saat itu.

Well, the last guy.... Michi!

...

Diangkaaaat!

"Michi!!!!! Finally you pick up my call!" kata saya heboh tanpa memikirkan Michi yang masih setengah sadar di seberang sana.

Saat itu saya dan Anggi bergantian mencoba memberi penjelasan ke Michi tentang kondisi kami. Michi tentu langsung menolak mentah-mentah dan menyuruh kami naik taksi saja ke bandara. Sudah kami jelaskan, mahal.

"Well, Nin, kamu kan tahu saya tinggal dimana. Kalau saya harus menjemput kalian ke Ghent dulu, akan memakan waktu sekitar 1 jam. Lalu dari Ghent ke Charleroi, makan waktu lebih dari 1 jam lagi. Kalau dihitung-hitung, kalian tidak akan sempat juga boarding."

Again, kami tidak berhenti memohon karena dia satu-satunya cowok yang mau mengangkat telpon di pagi buta. Kami tetap merasa kalau nasib travelling kami ada di tangan Michi. Tapi lagi-lagi ditolak! Meskipun kami sudah berusaha mati-matian menawarkan akan bayar ongkos bensin dobel, Michi tetap bergeming.

Kami tahu saat itu kami sangat egois. Membangunkan para gebetan Tinder jam 4 pagi hanya untuk dijemput dan minta antar ke bandara bukanlah ide yang jenius. But well, at least we have tried.

Jam setengah 5 pagi, kami sudah pasrah saja dan mulai membuat rencana baru kalau memang gagal jalan-jalan ke Italia. Lalu, tiba-tiba ponsel saya berdering...

"Nin, if there is nothing you can do, I am available now!"

Michi!! That was HIM!

"I will be ready in 10-15 minutes and pick you up in Ghent. I will try my best to be in Charleroi before 7," katanya lagi.

Michi, you were THE real hero! Michi betul-betul datang menjemput kami ke Ghent dan berlalu dengan mobilnya menuju Charleroi. Meskipun waktu kami sampai di bandara sangat mepet sekali, but we made it!

"Karena saat itu saya sudah wide awake gara-gara kalian menelpon. Mencoba tidur lagi tidak bisa. Jadi ya sudahlah, saya akhirnya berpikir untuk menelpon kamu lagi dan menanyakan keadaan," kata Michi saat ditanya alasannya mengapa ingin datang dan mengantar kami ke bandara.

Entahlah alasannya memang karena berniat baik ingin mengantar kami, atau hanya tergiur dengan uang bensin dobel yang akan diberikan. Tapi kalaupun karena uang, kami sebetulnya hanya membayar Michi €27 saat itu karena doi tidak mau dibayar lebih. Whatever the reason was, kami sangat berhutang budi dengan Michi karena sudah mengantarkan kami sampai Italia. Saya tak pernah tahu cowok mana lagi yang bersedia dibangunkan jam 4 pagi dan disuruh antar jemput kesana kemari. To be noted, Michi ini posisinya saat itu belum jadi teman dan masih gebetan ala-ala.

Sejak pertemuan itu, Michi sering kali saya ajak bertemu dan dikenalkan dengan teman saya lainnya di Belgia. Doi juga secara tak langsung menjadi teman kami semua. Kadang di-bully, kadang juga disayang. Though he is a bit weird, tapi ada banyak hal yang membuat saya tidak bisa melupakan Michi. Selain sudah jadi penolong, tapi doi juga cowok positif yang tidak akan bergosip di belakang mu, cowok genuine, mandiri, dan bisa diandalkan saat kamu butuh bantuan. Tapi, jangan sesekali membahas uang dengan Michi karena doi super perhitungan dan pelitnya bukan main!

We met on Tinder, however we ended up as accurate pals. By now.