Showing posts with label Tinggal di Eropa. Show all posts
Showing posts with label Tinggal di Eropa. Show all posts

Tuesday, July 7, 2020

Tips Pilih Mana: Tinggal di Kota Besar, Pinggir Kota, atau Pedesaan?|Fashion Style

Saat menulis tulisan ini, sebenarnya saya sedang lapar dan ngidam ramen. Sudah lebih dari sebulan ini saya memang absen makan di luar bersama teman geng karena sedang berpuasa. Rindu sudah lama tidak makan di luar, membuat saya mulai bosan isi makanan dalam kulkas. Duh!

Lalu apa hubungannya dengan ramen? Iya, karena restoran ramen cuma adanya di Kopenhagen, akhirnya saya harus manyun makan sereal dulu malam ini. Walaupun bisa delivery, tapi ternyata daerah tempat saya tinggal terlalu jauh dari restoran mereka. Makanan yang bisa diantar rata-rata hanya pizza atau sushi di sekitar sini. Nasib tinggal di pinggiran kota ya beginilah.

Mengurut dari pengalaman tinggal di kota besar, pinggir kota, dan sempat juga tinggal di pedesaan selama 7 bulan di Belgia, membuat saya bisa membuat perbandingan tentang suka duka tinggal di daerah tersebut. Walaupun setiap negara dan kota tidak bisa disamakan, namun secara generalisasi, beginilah plus dan minus yang pernah saya rasakan.

Tinggal di kota besar

Plus:

1. Kemudahan dan kecepatan dalam menerima informasi.

2. Transportasi publik beroperasi lebih lama dan bervariasi; contohnya Metro atau tram yang hanya ada di ibukota ataupun kota besar lainnya.

3. Banyaknya tempat makan dan nongkrong yang hip.

Four. Suasana yang lebih hidup dan berwarna.

5. Banyak competition dan konser yang hanya digelar di kota besar.

Minus:

1. Sibuk and let's name it: macet!

2. Tingkah laku masyarakatnya yang tergolong individualis dan cuek.

3. Di Eropa, sangat sulit menemukan perumahan di kota besar. Kebanyakan orang tinggal di apartemen dengan ruang yang terbatas.

Four. Keamanan di kota besar cenderung rendah.

5. Tingkat stres masyarakat perkotaan yang lebih tinggi.

Tinggal di pinggir kota

Plus:

1. Walaupun Metro tidak beroperasi, namun jadwal bus dan kereta ke kota besar biasanya sangat teratur dan lebih sering.

2. Banyak orang yang memilih memiliki rumah pribadi yang besar dan lengkap dengan taman.

Three. Kehidupan berjalan lebih tenang.

4. Banyaknya taman yang membuat suasana lebih hijau dan menyegarkan.

Five. Meskipun tidak seheboh di kota besar, biasanya akan sering digelar juga acara kultural dan konser lokal.

Minus:

1. Keterbatasan tempat nongkrong dan pilihan tempat makan.

2. Kebanyakan transportasi publik hanya berjalan hingga tengah malam saja.

Three. Ramai di pagi hari, namun makin sepi selepas jam 9 malam.

4. Meskipun terdapat supermarket dan pertokoan, namun jam tutupnya biasanya lebih cepat dari yang ada di ibukota.

Five. Tidak ada yang menarik selain dijadikan tempat tinggal orang-orang yang kebanyakan bekerja di ibukota.

Tinggal di pedesaan

Plus:

1. Pecinta alam, inilah tempat terbaikmu!

2. Jauh dari pusat kota membuat kehidupan di pedesaan berjalan sangat tenang dan santai.

3. Biasanya tetangga kanan kiri saling mengenal satu sama lain.

4. Masyarakat yang tinggal di pedesaan lebih ramah dan hangat.

Five. Keamanan yang lebih tinggi. Sewaktu tinggal di Belgia, rumah keluarga saya yang ada di Laarne sama sekali tidak pernah dikunci selama bertahun-tahun. Tapi mereka tidak pernah melaporkan ada barang yang hilang tuh.

Minus:

1. Karena rata-rata orang yang tinggal di pedesaan punya mobil pribadi, bus dan kereta pun tidak beroperasi secara maksimal, bahkan tidak sampai tengah malam.

2. Tidak banyak yang dapat dilihat kecuali hutan, padang rumput, dan danau.

Three. Sulit sekali mencari tempat nongkrong untuk anak muda. Di Eropa, bar-bar yang ada di pedesaan biasanya hanya berisi orang-orang tua saja.

Four. Suasana malam yang sangat sunyi dan membosankan.

Five. Kurangnya pergelaran festival dan konser, hingga harus datang jauh-jauh dulu ke kota besar terdekat.

Kalau saya sendiri, lebih cenderung memilih kota besar sebagai tempat tinggal. Saya suka nongkrong, saya suka jalan-jalan ke toko buku atau kafe, saya pun sudah cukup terbiasa dengan hiruk-pikuk kota. Kemudahan akses transportasi dan kehidupan yang lebih berwarna sangat cocok bagi para kaum muda seperti saya ini. Kalau kamu?

Wednesday, May 27, 2020

Tips 6 Hal yang Saya Rindukan Sejak Menjadi Au Pair|Fashion Style

Berkesempatan tinggal di luar negeri adalah salah satu pengalaman transformatif dan tak terlupakan seumur hidup. Bisa karena melanjutkan sekolah, mendapatkan pekerjaan di perusahaan asing, ikut suami migrasi, atau pun jadi au pair. Namun apapun alasannya, semua orang mengakui bahwa hijrah ke luar negeri itu tidak mudah . Kamu harus berlatih untuk adaptasi dengan budaya baru, memaksa diri untuk belajar bahasa lokal, berpikiran lebih terbuka dengan perbedaan, sampai memaklumi rasa kesepian.

Saya sendiri merasa beruntung selama hampir 4 tahun ini jadi au pair dan bisa tinggal di 3 negara berbeda di Eropa. Tapi jadi au pair di Eropa tentu saja tidak selamanya bahagia. Di Eropa Utara, kebanyakan orang lokalnya terkenal tertutup dan tidak terlalu membuka kesempatan untuk berteman dengan orang baru. Jadi pelajar atau ikut suami masih lebih baik, meskipun sama-sama homesick, namun setidaknya setiap hari bertemu teman di kelas ataupun ada yang bisa diajak mengobrol di rumah.

Jadi au pair, kamu harus tinggal dan bekerja di rumah saja selama 5-6 hari per minggu. Yang bisa diajak main hanya host kids atau hewan peliharaan. Yang bisa diajak bicara hanya host parents yang belum tentu juga nyaman dijadikan teman. It's so frustrating!

Tahun keempat saya di Norwegia adalah yang terberat. Bayangkan saat kamu harus pindah-pindah negara dalam waktu 4 tahun, bukannya menyenangkan malah melelahkan. Sudah nyaman dengan satu negara dan punya teman dekat, harus pindah lagi ke negara lain. Apalagi kesempatan bertemu orang baru di Oslo tidaklah selebar saat saya di Kopenhagen atau Brussels. Proses pencarian teman harus mulai dari awal lagi dan belum tentu juga langsung cocok.

Saya tak pernah menyesal dengan pengalaman yang pernah saya dapatkan di tiap negara selama menjadi au pair. Namun ada beberapa hal yang merasa hilang dan selalu dirindukan.

1. Berpikir kritis

Saya lulus kuliah S1 tahun 2014, lalu sebulan kemudian langsung berangkat ke Belgia dan jadi au pair untuk pertama kalinya. Saat itu saya betul-betul penat selepas wisuda dan bersumpah untuk tidak akan melanjutkan kuliah master. Hari-hari sebagai au pair saya lalui dengan ringan karena the first world problem hanyalah memikirkan kemana nongkrong weekend ini atau negara mana yang harus saya singgahi saat liburan.

Nyaris empat tahun kemudian, saya jenuh terus-terusan hidup manja dibawah naungan fasilitas mewah dari host family yang seringkali berdampingan juga dengan rasa hampa. Saya rindu teman kuliah yang dulunya obrolan kami tidak terbatas dari hal kecil seperti dosen rese hingga politik luar negeri. Sampai sini, topik terpanas hanyalah seputarhost family, urusan anak, ataupun cowok Tinder.

Terlalu lama jadi au pair juga membuat banyak kosakata bahasa Inggris saya ikut hilang karena setiap hari hanya membahas dapur dan anak. Pernah suatu kali diajak diskusi masalah imigran di Eropa, saya gagu karena bingung melemparkan kata-kata yang pas dalam bahasa Inggris. Setelah masa vakum lebih dari 4 tahun ini, otak saya sepertinya perlu diajak berpikir lebih mendalam agar tetap kritis dan bijak melihat masalah dari banyak sisi.

2. Teman dekat

Lingkup pertemanan au pair itu super sempit. Dari Senin sampai Jumat, bahkan Sabtu, kerjanya hanya di rumah mengurus anak dan rumah orang. Beruntung kalau host parents kita termasuk orang yang asik diajak cerita. Seringkali, host parents tak lebih dari sekedar 'bos' yang membuat kita segan dan menjaga jarak.

Kalau hanya cari teman hangout setiap minggu, mungkin bisa ikut salah satu event di Meetup atau Couchsurfing. Tapi menemukan teman sehati yang bisa diajak cerita dan mengerti dengan kondisi kita, itu yang susah. Apalagi saya sedikit picky memilih teman. Kenal boleh, tapi belum tentu besoknya orang tersebut saya ajak jalan. Saya juga bukan seperti para au pair Filipina yang terlalu nyaman dengan geng Filipinanya saja. Bagi saya, kebanyakan teman Indonesia di luar negeri itu bisa jadi bumerang. Belum lagi kalau cekcok dan kebanyakan drama, duh, no way!

Makanya hidup au pair itu sebetulnya lebih banyak kesepiannya. Datang ke tempat kursus, belum tentu pulang-pulang membawa teman. Pun berniathaving fun dengan orang baru kesana kemari, belum tentu juga meninggalkan kesan setelahnya. Ujung-ujungnya hanya berteman dengan sesama profesi au pair saja. Bahkan cari pacar yang pengertian kadang lebih gampang ketimbang cari teman.

3. Being creative

Saya rindu menggambar, menjahit, atau membuat pernak-pernik lucu sebagai hobi untuk membunuh kejenuhan. Di Belgia dulu masih enak, bahan membuat kerajinan tangan masih mudah didapat dengan harga yang cukup terjangkau. Di Skandinavia, saya kadang takut merogoh kocek lebih dalam hanya untuk segulung benang jahit.

Anyway, sebetulnya jiwa kreatif saya mati bukan juga karena takut membuang uang. Tapi entah kenapa saya merasa kehilangan inspirasi dan motivasi. Terakhir kali merasa menjadi kreatif adalah tahun lalu, saat saya membuat mahkota kertas berbentuk kupu-kupu sebagai pelengkap saat Bachelorette Party seorang teman di Kopenhagen. Lantai kamar jadi berantakan dan penuh dengan guntingan kertas, but at the same time I found my soul.

Four. Privasi

Meskipun au pair katanya dianggap sebagai keluarga, faktanya kita tetaplahthe outsider. Saya pernah mengundang seorang teman ke rumah host family. Kamar saya letaknya di lantai dasar, sementara dapur dan ruang tamu di lantai dua. Karena saat itu sudah lewat jam makan malam, saya berinisiatif ke atas mengambil minum dan masak makanan untuk si teman ini. Tak disangka, ternyata si teman ikut menyusul ke atas karena katanya ingin ikut membantu.

Sadar ekspresi host parents saya tiba-tiba berubah masam saat si teman ada di dapur, saya suruh saja si teman ini turun dan menunggu di bawah. Benar saja, 10 detik kemudian host dad menghampiri saya dan mengatakan kalau hanya saya yang boleh menginjak ruangan inti. Jlebb! Padahal tidak ada aba-aba dari mereka sebelumnya apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama tamu saya datang.

Yang saya lihat, host family ini memang bukan tipe keluarga yang nyaman dengan orang asing. Tamu saya ya tamu saya, bukan tamu mereka. Selagi tamu saya bukan mereka yang mengundang, tamu saya tidak diperkenankan naik ke atas dan melihat-lihat isi rumah. Bahkan saat ituhost mom menyuruh kami makan di kamar saja. Bahh! Padahal siapa juga yang ingin makan di meja makan mereka.

Di satu sisi saya memahami kalau host family ini memang butuh privasi dan tidak ingin ada orang lain berkeliaran di rumah mereka. Tapi di sisi lain, saya rindu kenyamanan dan privasi diri sendiri yang tiada seorang pun berani melarang saya melakukan apapun. Kadang saya berpikir, daripada jadi live-in au pair, lebih baik memilih live-out. Meskipun hanya memiliki kamar sewaan sepetak murah, namun bebas mengundang siapa pun tanpa harus izin dulu. Tapi ya, impossible!

5. Karir

I wonder, what is my professional talent apart from highly skilled in changing the diapers or carrying the toddlers in one hundred and one styles?

What should I installed my CV whereas my previous (and modern) running revel in is just being an au pair?

Tahu kan, au pair itu sebetulnya tidak dianggap sebagai pekerjaan meskipun kita memiliki working permit. Di Skandinavia, meskipun kasusnya au pair dapat tunjangan dan mesti bayar pajak , tapi pekerjaan ini hanya diasumsikan sebagai pertukaran budaya saja. Selain itu, banyak orang tidak tahu au pair itu apa. Makanya menggambarkan au pair sebagai suatu pengalaman kerja profesional sebetulnya belum pantas. Apalagi kalau kita melamar pekerjaan di jabatan yang sama sekali tidak berhubungan dengan childcare.

Saat ini saya hanya menaruh posisi au pair pada "additional experience" di bawah "working experience". Daripada menuliskan detail pekerjaan sebagai tukang masak, jaga anak, dan cleaning lady, sebaiknya tulis di deskripsi kalau kita memiliki pengalaman di dunia internasional dalam menghadapi cross-cultural communication serta memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan atau budaya baru.

Au pair is a superb experience. But I couldn't get a job I need by means of simply picturing myself as a high professional au pair.

6. Rumah

Saya dan adik saya kebetulan memang sedang jauh dari rumah. Saya di Norwegia, sedangkan si adik sedang menyelesaikan studinya di Cina. Meskipun jenuh dan kesal juga dengan kelakuan orang Indonesia zaman sekarang, tapi kami tidak pernah membenci rumah dan selalu menanti pulang ke Indonesia.

No matter what, we call Palembang home . Kami selalu rindu kesederhanaan rumah , rindu makanan Palembang, rindu gerobak model di depan masjid, rindu Go-Jek, rindu menyetir, rindu joke ala wong kito galo, dan rindu juga teman atau keluarga yang rasa sayangnya tidak berubah meskipun ditinggalkan.

Ini fakta, lho! Saya pikir, setelah meninggalkan Indonesia selama 4 tahun, saya akan kehilangan banyak teman. Apalagi banyak sekali teman dekat saya dari SD hingga kuliah sudah menikah dan memiliki anak. Salutnya, meskipun tahu saya tidak akan pernah bisa datang di hari H, mereka tetap mau mengirimkan undangan nikah bahkan mencetak nama saya langsung di undangan tesebut. Terharu!

What might you leave out the most whilst leaving Indonesia?

Tuesday, May 19, 2020

Tips 4 Cara Mengembangkan Diri Sebagai Au Pair|Fashion Style

Tahun ini masuk tahun kelima saya jadi au pair di Eropa. Tidak menyangka akan selama ini. Bagi saya, kali pertama au pair itu merupakan 'pengalaman'. Kali kedua karena 'keasikkan'. Lalu kalau sudah masuk kali ketiga, itu namanya 'kebingungan'! Kebingungan apakah Indonesia betul-betul tanah yang kita harapkan untuk pulang ataukah justru sudah terjebak rasa nyaman yang jauh di tanah yang lain.

Au pair adalah program pertukaran budaya yang menawarkan kesempatan kepada anak-anak muda seperti kita merasakan pengalaman menakjubkan di tanah asing. Bisa dikatakan, program au pair ini sesungguhnya adalah jalan mewujudkan mimpi yang tertunda. Tidak hanya sekali, tapi kita bisa jadi au pair berkali-kali sampai batas usia 30 tahun. Namun terus-terusan memproyeksikan au pair sebagai job replacementakan menimbulkan ketergantungan yang bisa menjadidrawback dalam proses pengembangan diri dan karir di masa depan. This lifestyle is not going to last forever.

"When matters are easy, you forestall developing." - Anonymous

Tidak hanya au pair, setiap orang yang hijrah dari Indonesia ke luar negeri pasti memiliki cerita dan pengalaman yang berbeda meskipun tantangannya terberatnya adalah beradaptasi. Tapi apakah kita hanya melihat au pair sebagai program yang dikemas lewat tugas-tugas rumahan dan travelling saja? Karena pelajar dan ibu-ibu kawin campur di Eropa pun mungkin melakukan aktifitas yang sama. Justru menurut saya, yang berharga itu bukan au pairnya, tapi WHAT have we done/gotten while being an au pair?!

Saya masih terus belajar mengasah dan memaksimalkan potensi diri yang ada agar lebih percaya diri dalam berkarier. Namun beberapa hal di bawah, saya yakini memiliki impact luar biasa dalam proses pengembangan diri saya selama disini.

1. Ikut kegiatan sukarelawan

Untuk menjadi au pair yang luar biasa, kita tidak bisa hanya kerja di rumah sampai menunggu akhir pekan saja. Sebagai au pair yang harus berkomitmen pada 1 keluarga, kita juga tidak bisa menambah skill baru dengan mencoba kerja tambahan di tempat lain. Cara terbaik satu-satunya adalah mencari pengalaman kerja sebagai relawan di waktu senggang. Ada banyak keuntungan yang bisa didapat dengan menjadi relawan di negara kita tinggal, salah satunya untuk mempercantik resume kerja. Kegiatan sukarelawan ini juga bermanfaat untuk mengembangkan rasa empati, kecakapan kerja dalam tim, komunikasi lintas bahasa, serta jiwa kepimpinan ketika  berhasil membantu menyukseskan satu acara.

Sejak tinggal di Denmark, kegiatan akhir pekan saya banyak diisi dengan ikut kegiatan sukarelawan di banyak festival; mulai dari festival musik hingga acara berbau teknologi. Seru, karena bisa masuk festival gratis dan sempat juga dapat goodie bag berisi suvenir lucu! Bayangkan kalau saya tidak pernah ikut kegiatan ini, lalu hanya mengandalkan pengalaman au pair selama 5 tahun?! Is it even "a job" to be proud of??

Jadi daripada menyertakanjob desk au pair yang hanya berkutat di masalahcleaning dan ganti popok bayi, lebih baik fokus pada kegiatanvolunteering yang pernah kita lakukan. Studi yang dilakukan Center for Economic and Policy Research di tahun 2013 mengemukakan bahwa orang-orang yang pernah menjadi sukarelawan selama 20-99 jam per tahun, setidaknya 7% kemungkinan lebih mudah mendapatkan pekerjaan ketimbang yang belum pernah berpartisipasi.

2. Memiliki jaringan pertemanan yang luas

Kebanyakan au pair biasanya memiliki kehidupan sosial yang sangat sempit. Kalau tidak dari sesama au pair, biasanya satu negara. Isn't it boring to hear the same stories again and again? Lagi-lagi soal gosip si ini dan si itu, lagi-lagi soal gebetan bule, atau lagi-lagi masalah keluarga angkat di rumah. Nyaman memang bertemu dengan teman-teman senasib, namun lingkar pertemanan seperti ini justru membuat kita tidak berkembang. Saya sampai pernah menuliskan hal-hal yang harus dihindari antar au pair , kalau memang akhirnya kita harus banyak mengobrol dengan golongan ini saja.

Memang tidak semua orang memiliki jiwa sosial dan kepercayaan diri bertemu dengan orang baru. Namun kalau ingin berkembang, harus memaksa diri bergaul dengan orang-orang yang berbeda latar belakang, umur, profesi, serta sudut pandang. Dimana menemukan mereka? Bisa dengan rajin ikut kegiatan Meetup , volunteering, konferensi, atau seminar. Siapa tahu mereka bisa membawa lapangan pekerjaan, ilmu, bahkan jodoh untuk kita! Di luar ekspektasi itu, yakinlah bahwa orang-orang baru yang kita temui selalu membawa cerita yang berguna untuk membuka wawasan.

Ketika memiliki lingkar pertemanan yang begitu sempit di Belgia, saya berjanji pada diri sendiri untuk keluar dari zona nyaman saat pindah ke Denmark. Banyak sekali orang-orang baru yang akhirnya saya temui lewat acara Meetup ataupun sukarelawan. Sering kali saya datang sendirian malah. Tentu saja saya tidak berharap mereka semua akan menjadi teman — karena mencari teman di Skandinavia itu lebih sulit ketimbang cari pacar , tapi proses membuka diri dengan orang-orang baru ini menumbuhkan rasa percaya diri saya untuk semakin terbuka dan ekspresif dalam mengemukakan pendapat.

3. Serius belajar bahasa lokal

Saya mengerti bahwa tidak semua orang suka belajar bahasa. Kebanyakan au pair juga malas datang ke tempat kursus karena tempat yang jauh atau selalu berpikir, "buat apa repot-repot belajar bahasa lokal, toh tidak berguna ke depannya/banyak juga yang mengerti bahasa Inggris".

Sebagai au pair yang katanya ingin bertukar budaya di Eropa, harusnya kita menggunakan kesempatan belajar bahasa free of charge ini secara maksimal. Keluarga angkat banyak yang mendukung, bersedia membayari kita kursus bahasa, sampai ada yang tidak keberatan membiayai ongkos transportasi dan meminjamkan mobilnya sekalian. Bagi saya, belajar bahasa apapun itu tidak akan pernah sia-sia. Namanya juga proses belajar, tentu saja tidak ada yang mudah.

Kecakapan bahasa Denmark dan Norwegia saya tidak begitu bagus, tapi sudah punya dasarnya. Saya juga cukup nyaman berbicara dalam "level anak-anak" meskipun masih sering tulalit dan tata bahasanya lari-lari. Tapi dengan bangga, saya menyertakan kemampuan bahasa ini di resume kerja karena tidak semua orang Indonesia memiliki kemampuan bahasa Skandinavia. Percayalah, di era digital dan globalisasi ini, kemampuan bahasa Inggris saja tidak akan cukup.

4. Fokus memulai hobi baru

Saya salut dengan para au pair yang datang ke Eropa lalu menemukan aktifitas baru yang bisa dijadikan hobi. Dari yang tadinya tidak suka masak, jadi sering masak. Bukan yang abal-abal, tapi bisa dikomersialkan malah. Ada juga yang jadi suka hiking, dandan, fotografi, menjahit, membaca banyak buku, olahraga, dan ikut kelas dansa. Banyak juga yang jadi vlogger karena ingin sharing tentang pengalaman di luar negeri, lalu membeli kamera bagus dan belajar mengedit video sendiri. Trust me, we could improve ourselves by doing what we enjoy the most! Selain sebagai relaksasi, hobi baru membuat kita belajar banyak hal baru yang membantu perkembangan otak.

Menurut ahli neuropsikologi Belanda, Margriet Sitskoorn, otak kita sebetulnya dinamis karena terus-menerus menciptakan sel-sel baru yang terkoneksi satu sama lain ketika kita belajar hal baru. Korteks serebral prefrontal mengatur emosi, pikiran, dan tindakan, yang tidak hanya bisa diperkuat melalui tidur dan olahraga, tapi bisa juga terjadi ketika mempelajari sesuatu yang baru. Ketika sel tumbuh dan koneksi antar sel membaik, alhasil, kita akan lebih mudah fokus pada sesuatu. Sitskoorn juga menambahkan bahwa sangat penting bagi kita untuk mempelajari sesuatu yang betul-betul baru dan bukan hanya merupakan pengulangan atau variasi yang sering kita lakukan.

Daniel Gilbert, profesor psikologi di Harvard di Amerika Serikat, juga menggarisbawahi pentingnya bersikap terbuka terhadap hal-hal baru. Dalam bukunya Stumbling on Happiness, Gilbert menulis bukan kepastian atau hal-hal yang familiar membuat kita bahagia, melainkan kejutan, pengalaman baru, tantangan, penemuan, dan momen pembelajaran yang tidak terduga. Gilbert juga percaya bahwa rasa ingin tahu itu sangat diperlukan sebagai proses mencapai kebahagiaan hidup. If you are curious, you learn more.

Lalu bagaimana dengan jalan-jalan?

Sure, you would learn about yourself through the differences and fast adaptation on road!Tapi setelah tinggal di Eropa, saya sejujurnya tidak terlalu tertarik dengan kegiatan travelling para teman au pair di luar sana. Travelling di Eropa itu bukan hal yang luar biasa karena sudah mirip piknik antar negara. Untuk lompat-lompat negara pun mudah saja karena bisa dapat tiket promo yang kadang lebih murah dari tiket antarkota di Indonesia. Ya, bisa dibilang ini privilege-nya penghuni Benua Biru.

Sekarang travelling sudah menjadi gaya hidup banyak orang yang tidak hanya sebagai bagian liburan dan rileksasi, namun juga memperkaya konten sosial media.There is nothing wrong about splurging and enjoying yourself in a Eurotrip, tapi gunakan juga kesempatan tinggal di luar negeri sebagai momentum terbaik untuk mengembangkan diri lewat cerita lain. ðŸ˜‰

Referensi lain: Flowmagazine

Monday, May 18, 2020

Tips Skin Care Favorit di Segala Musim|Fashion Style

Tiap kali video call dengan ibu di Indonesia, yang dibahas bukan body shaming, tapi kantung mata saya. "Nak, jangan lupa pakai krim pelembab biar muka tidak kering. Itu kenapa kantung mata besar sekali? Pakai krim mata jangan lupa!" pesan beliau.

Selain baju yang mesti pas, saya setuju bahwa persoalan kulit harus dianggap serius saat tinggal di negara empat musim. Karena cuaca di Eropa lebih kering, menjaga kulit menjadi hal wajib kalau tidak ingin terjadi hal yang serius. Peradangan seperti eksema bisa memicu luka-luka dan pendarahan serta efek gatal-gatal yang bisa disebabkan oleh dehidrasi kulit.

Karena perbedaan temperatur, krim yang dibawa dari Indonesia tidak cocok dengan keadaan iklim di Eropa. Komposisi skin care Indonesia yang kebanyakan mengandung pemutih dan disesuaikan untuk iklim tropis, malah bisa membuat kulit tambah kering dipakai saat cuaca dingin. Makanya saya tidak pernah membawa krim dari Indonesia, karena formulanya hanya cocok digunakan saat cuaca panas dengan tingkat kelembaban yang tinggi.

Kali ini saya ingin sharing produk perawatan apa saja yang rutin saya gunakan selama tinggal di Eropa. To be noted, kalian tidak perlu membeli produk yang sama persis dengan yang saya pakai karena jenis kulit dan usia setiap orang berbeda. Sebagai gambaran, saat ini usia saya late-20s dan memiliki jenis kulit kering/sangat kering. Padahal kalau sudah pulang ke Indonesia, kulit saya kembali jadi berminyak/kombinasi.

Pelembab

Saya tidak setia dengan satu merek tertentu karena menyesuaikan produk dengan musim. Kulit saya jadi kencang dan kering saat musim dingin, makanya perlu produk berbahan dasar air atau bertekstur sedikit creamy. Pilihan jatuh ke Clinique Dramatically Lotion yang memang diperuntukkan untuk kulit kering. Sayangnya pelembab ini tanpa SPF, jadi kalau ingin dipakai siang hari tetap harus pakai sunscreen. Bagi saya, mau panas atau mendung, penggunaan sunscreenadalah wajib!

Clinique Dramatically Different Moiturizing Lotion. ?43 (200 ml)

Origins GinZing SPF forty. ?33

La Roche-Posay Anthelios Ultra SPF 50. ?25

Sun cream favorit saya dari La Roche-Posay yang kandungan SPF-nya cukup tinggi untuk jalan-jalan ke gunung saat winter atau sekedar main air di pantai. Yang saya suka, formulanya sangat ringan dan tidak membuat muka seperti pakai topeng.

Saat musim panas, saya ganti ke Origins GinZing SPF 40 dengan tekstur yang lebih matte. Wangi jeruknya segar dan tidak menyebabkan kulit kinclong karena mengandung tinted foundation. Kadang kala kulit saya juga sedikit berkombinasi saat summer, makanya saya ganti ke pelembab yang lebih solid dan mudah menyerap. Pelembab ini juga cocok bagi yang malas pakai foundation seperti saya, tapi tetap ingin muka terlihat sedikit flawless.

Face Oils

I looooove face oils! Terutama minyak dari tumbuh-tumbuhan alami seperti kacang almond, alpukat, dan jojoba. Tidak hanya untuk kulit wajah, saya juga kadang mengoleskannya ke kulit kaki atau rambut kalau terlampau kering. Minyak alami ini biasanya saya oleskan sebelum menggunakan serum atau sehabis mencuci muka di pagi hari.

The Ordinary one hundred% Plant-Derived Squalane, ?Eight

Urtegaarden Jojoba Oil. ?Thirteen

Kate Blanc Cosmetic Vitamin E Oil. ?13

Favorit saya Vitamin E, alpukat, jojoba, argan, dan almond yang melembutkan kulit. Baru-baru ini lagi mencoba produknya The Ordinary yang katanya their best face oil. Formulanya sangat ringan, cepat menyerap, namun sayangnya kurang pol untuk jenis kulit kering.

Krim Mata

Saya tidak bisa absen menggunakan krim mata. Kalau sedang jalan-jalan tapi ketinggalan krim mata, bete-nya bisa sampai pulang. Eye cream is a must! Kulit di sekitar mata saya biasanya ikut kencang di cuaca yang terlalu buruk, makanya pelembab muka biasa tidak akan cukup.

Kiehl's Creamy Eye Treatment. ?27

REN Active 7 Radiant Eye Maintenance Gel (?30)

Produk favorit untuk cuaca dingin adalah Kiehl's Creamy Eye Treatment with Avocado karena teksturnya yang creamy. Sementara untuk alternatif yang lebih ringan, saya menggunakan REN Active 7 Radiant Eye Gel yang cepat menyerap di kulit.

Lip balm

Satu lagi yang juga tidak boleh absen sehari-harinya; melembabkan kulit bibir. Kulit bibir saya pernah sangat kering saat musim dingin, sampai senyum sedikit saja jadi luka dan berdarah. Tak cukup dengan minum air putih yang banyak, mengoleskan lip balm juga sangat membantu.

Oriflame Tender Care. 50k Rupiah

Carmex Lip Balm. ?3

Saya sudah pernah mencoba banyak produk lip balm, namun yang jadi favorit sampai sekarang adalah Carmex SPF 15. Variannya juga banyak, dari original (tanpa SPF) sampai beraroma ceri. Saat dioleskan ke bibir, sensasinya minty dan formulanya sedikit oily untuk melembabkan bibir kering. Kalau tidak suka pot, Carmex juga dikemas dalam bentuk tube dan stick.

Merek lain yang mirip Carmex adalah legendanya Oriflame dari dulu, Tender Care. Salah satu produk favorit saya juga saat di Indonesia, namun tidak bisa ditemukan dengan mudah di Eropa. Kalau kamu ingin ke Eropa, boleh juga bawa 1-2 pot Tender Care dari Indonesia.

Pelembab badan

Yang satu ini jadi rutinitas sehabis mandi, apalagi kalau mandinya menggunakan air hangat; wajib mengoleskan pelembab badan! Produk yang saya beli juga tidak mahal dan bisa didapatkan dengan mudah di drugstore dengan harga super terjangkau.

Nivea Soft Moisturizing Body Cream. ?5

Dove Silky Nourishment Body Cream. ?5

CeraVe Moisturizing Lotion ?12 (236 ml)

Dove dan Nivea formulanya sangat ringan dan lembut karena cocok digunakan saat musim panas. Sementara CeraVe, saya pilih yang khusus untuk kulit kering/terlalu kering, karena winter di Norwegia memang terlalu harsh. Kalau memang kulit kamu cenderung sensitif dan gatal dengan losyen beraroma, saya rekomendasikan pelembab ini.

Krim tangan dan kaki

I hate dry hands! Saking sebalnya dengan kulit kering ini, saya punya koleksi 3-4 krim tangan. Masing-masing ada di rumah, kantong mantel, tas, dan satu lagi sebagai simpanan. I can't live in Europe without hand creams, really!

Neutrogena Hand Cream. ?3

Life Foot Cream. ?6

The best hand cream favorit saya sampai sekarang hanya Neutrogena. Meskipun katanya 'Norwegian Formula', tapi krim ini berasal dari Amerika. Dipakainya sedikit saja namun efeknya langsung nampak setelah dioles. Teksturnya sangat heavy karena mengandung banyak glycerin yang memang cocok untuk kulit tangan sangat kering dan bersisik. It's super recommended kalau ada yang cari krim tangan terbaik berharga miring!!

Selain kulit tangan yang lebih sering terpapar angin dingin, kulit kaki juga tidak boleh dilupakan hanya karena sering memakai kaos kaki. Saya tidak punya merek favorit untuk krim kaki, namun selalu mencari krim yang mengandung beeswax atau shea butter untuk melembabkan.

Having a looot of skin care products won't make you flawless like Tasya Farasya, tapi melindungi kulit dari efek buruk cuaca Eropa harus tetap jadi rutinitas! Jangan sampai kulit kering bersisik hanya karena malas pakai pelembab. Baca juga postingan saya bagaimana bertahan dari cuaca dingin Eropa !

Thursday, May 7, 2020

Tips 2020: The Newest Year After Five-Year|Fashion Style

Setelah 5 tahun jadi au pair dan selalu merasa hidup dengan banyak batasan, akhirnya di tahun ini saya bebas melakukan apa yang saya mau — meskipun dengan tanggung jawab yang lebih besar pula! Beruntungnya lagi, dari bulan lalu saya masih sempat pulang ke Indonesia demi melepas penat sebelum kembali menyelesaikan studi di Norwegia.

Pulang ke Indonesia selalu menjadi terapi ketika masih punya kesempatan berkumpul bersama keluarga sekalian makan makanan khas yang tak ada kloningannya di Eropa.This is SO good! Bangun tidur dengan santai, tak ada suara teriakan anak, tak ada SMS soal daftar pekerjaan rumah tangga, serta tak ada batas sungkan karena masih tinggal di rumah orang.I am at home, literally my parents' home, Kota Palembang!

What are (gonna be) new matters in 2020 that make me this glad?

1. Tempat Tinggal

Tidak ada yang lebih bahagia dari tinggal di rumah sendiri. Bukan rumah orang tua, tapi betul-betul rumah sendiri. Tempat dimana bisa tidur nyenyak dan bangun jam berapa pun kita mau! Tempat dimana kita bisa undang banyak teman tanpa peduli dengan komentar si tuan rumah. Tempat terbaik juga dimana kita bebas melakukan apapun tanpa tatapan sinis dari si tuan rumah karena kamar berantakan.

Yes, this is a place I have always wanted! Meskipun tempat tersebut hanya berupa kamar berukuran mini dengan fasilitas berbagi, tapi setidaknya inilah tempat ternyaman berbayar yang saya punya hak atasnya! Saya juga tidak sabar memberi tahu kalian, tempat ternyaman seperti apa yang akan saya tinggali di tahun ini setelah melepaskan semua atribut mewah milik host family. (Baca di sini bagi yang ingin tahu dimana saya tinggal sekarang!)

2. Pekerjaan

Say bye to those home cleaning and babysitting jobs! Bukan, bukan saya sombong untuk menghindari pekerjaan tersebut. Tapi kalau sudah jadi au pair 5 tahun lamanya, kalian akan mengerti mengapa pekerjaan serupa tak lagi menarik dan menantang. Saya juga sudah bersumpah untuk menjauh dari tawaran babysitting yang masih berhubungan dengan anak-anak, meskipun dinilai tugasnya mudah; hanya jaga anak-anak main atau makan.

Di tahun yang baru ini, mulai mencari kerja di luar bidang yang sudah saya tekuni adalah langkah awal mengembangkan karir yang lebih profesional. Soal pekerjaan ini juga saya akan bahas selengkapnya di postingan lain, because I can't wait to tell you more what am I gonna do for living!

3. Networking

Sudah tidak lagi jadi au pair, bukan berarti saya memutus tali silaturahim dengan para au pair yang masih aktif di luar sana. Mereka semua adalah anak muda hebat yang selalu punya cerita dan berita soal dunia peraupairan. Sejak mendedikasikan weblog ini untuk menyebarkan informasi seputar au pair, saya juga sudah berkomitmen untuk terus memperbarui semua informasi tentang au pair setiap tahun.

Namun karena sudah punya banyak waktu untuk diri sendiri, diharapkan saya juga bisa memperluas jaringan dari pekerjaan paruh waktu atau magang yang mungkin nanti akan saya jalani. Sejujurnya, saya juga tak sabar keluar dan bertemu orang-orang baru lagi. I can't wait to learn more from them!

4. Resolusi

Jepp! Dari yang harus fokus investasi, cari kerja, sampai lancar bahasa Norwegia level B2 adalah beberapa target saya di awal 2020. Tahun lalu saya masih terlalu boros untuk mengeluarkan uang demi jalan-jalan yangmoderate serta sulitnya menabung demi memuaskan gaya hidup. Beruntung, belum menginjak usia 30 tahun, 30 negara sudah saya singgahi. Tahun ini tak ada lagi target negara tertentu yang harus saya kunjungi demifeed Facebook ataupun kumpulan foto keren di Instagram. Sekarang saatnya berpikir serius demi dana pensiun dan dana cadangan,because I am tired of being broke!

Target lain adalah setidaknya menyelesaikan dan fasih bahasa lokal di level B2. Di Norwegia, level B2 ini sudah dianggap cukup baik untuk melamar kerja atau mendaftar ke sekolah yang syaratnya harus bisa "godt norsk". Lagipula sejujurnya saya mulai muak memakai bahasa Inggris di percakapan sehari-hari meskipun hampir semua penduduk Norwegia mampu berbahasa Inggris dengan lancar.I am quite hard to myselfsoal bahasa Norwegia ini. Bahkan berkali-kali misuh-misuh ke Mumu , kapan kah saya bisa mengerti dan bicara secara fasih?!

Five. Atmosfir

Mungkin lebih tepatnya, the real feeling of freedom like a wild bird! Saya sadar bahwa tahun ini juga bisa lebih berat karena saya harus berdiri di kaki sendiri tanpa fasilitas dan liburan mewah setiap tahun. Tapi karena keterbatasan itulah, saya yakin bahwa hidup layaknya mahasiswa kere di luar negeri akan membawa perubahan besar di hidup saya. Hidup mandiri itu memang berat namun akan mengasah mental sekuat baja, because most of the time, life is unfair.

Meskipun nantinya masih harus mengatur waktu antara membagi jadwal kuliah, kerja paruh waktu, dan berorganisasi, tapi setidaknya saya tidak merasa berhutang budi pada siapapun hanya karena masih menumpang. I am not afraid of being kicked out dan residence permit saya dicabut hanya karena tak cocok dengan employer (layaknya host family sebagai 'bos' kita). Bayangkan kalau masih jadi au pair, mengatur waktu untuk liburan dan ketemu orang baru saja masih dirasa cukup susah. Hmmm... This freedom smells so fresh, sodara-sodara!

Walaupun katanya 2020 itu hanyalah 2019-dengan-resolusi-lawas tapi wajah yang baru, namun bagi saya, this is a new happiest year! Bagaimana dengan kalian sendiri, adakah hal baru yang ditunggu tahun ini?