Showing posts with label kerja sampingan. Show all posts
Showing posts with label kerja sampingan. Show all posts

Monday, May 18, 2020

Tips 6 Cara Dapat Uang Tambahan Selama Jadi Au Pair|Fashion Style

Meskipun uang saku au pair sudah disesuaikan dengan gaya hidup dan pengeluaran pelajar lokal di negara tersebut, namun tak jarang au pair tetap harus ekstra irit setiap bulannya. Ongkos transportasi, jajan di luar, serta biaya jalan-jalan, seringkali membuat banyak au pair memutar otak bagaimana mengatur keuangan agar tak sampai angka 0 sebelum habis bulan.

Memang, biaya hidup tergantung gaya hidup. Walaupun sudah berusaha super hemat, tak sedikit au pair yang kurang puas dengan uang saku yang diterima lalu mencari kerja sampingan lain. Terlepas dari sifatnya yang ilegal, uang tambahan yang diterima memang cukup lumayan.

Tapi tahu kah kalian kalau sebagai au pair, kita juga bisa cari kerja sampingan lain untuk dapat uang tambahan? Bukan blackwork yang harus cleaning rumah dan osek-osek WC orang dulu. Kerjanya bisa dilakukan di rumah atau bahkan saat 'nongkrong' di toilet! Uang yang dihasilkan memang tidak sebesar dan seinstan kalau mengambilblackwork. Namun kerjanya legal, bisa sambil santai, dan kalau serius, jumlah uang tambahan yang didapat bisa lumayan!

1. Mengumpulkan botol bekas

Untuk mengurangi limbah plastik dan menjaga lingkungan, pemerintah di banyak negara Eropa mengajak warganya untuk tidak membuang botol atau kaleng minuman di tempat sampah, namun menukarkannya dengan uang tunai. Contohnya di Denmark atau Norwegia, satu botol plastik atau kaleng alumunium dihargai 1-3 krona (cek value-nya di label kemasan!). Karena berharga, seringkali kita melihat banyak homeless yang mengaduk-aduk isi tempat sampah hanya untuk menemukan botol plastik bekas, terutama saat ada event besar.

Biasanya keluarga angkat belanja banyak produk minuman yang botolnya sering dibuang begitu saja. Coba mulai sekarang mulai teliti mengecek berapa value botol minuman yang terbuang dan kumpulkan saja untuk ditukarkan di mesin daur ulang. Satu sampai sepuluh botol mungkin belum terlalu berharga, namun kalau kita rajin mengumpulkan botol sampai 1 bulan saja, tak jarang bisa dapat 50-200 krona! Keluarga saya di Denmark rajin sekali minum soda botolan yang dalam satu bulan, bisa saja terkumpul sampai 50-an botol! Lumayan kan, menjaga lingkungan sekalian dapat uang tunai?!

2. Jual barang sekon

Salah satu godaan terbesar au pair adalah belanja baju atau sepatu; baik bekas, diskonan, atau baru. Tanpa disadari biasanya banyak sekali baju atau sepatu menumpuk di kamar, sampai bingung akan dikemanakan kalau harus pulang atau pindah negara lagi. Sebetulnya, selain disumbangkan lewat kontainer baju bekas, kita juga bisa cari uang lewat barang-barang sekon yang kita punya.

Jangan salah, orang-orang Eropa juga suka barang bekasan asal kondisinya masih bagus. Tidak hanya pakaian, tapi juga barang-barang elektronik dan perabot rumah tangga lainnya. Jadi kalau ada pakaian yang kita malas pakai tapi kondisinya masih bagus, jual saja di situs barang bekas lokal! Tidak perlu memasang harga terlalu tinggi mentang-mentang di Eropa, asal barang laku dan keluar lemari, kita bisa stress-free.

3. Mengkomersilkan skill

Jangan remehkan keahlian masak, seni, atau fotografi yang kita punya! Seorang teman au pair di Belgia, bisa mengumpulkan cukup uang hanya dari keahlian masak dan jiwa kreatifnya, lho! Berbekal ilmu dari yang tadinya hanya hobi, teman saya ini akhirnya percaya diri membuka katering sederhana dan mempromosikan banyak jenis masakan Asia ke teman-teman terdekat dan keluarga pacarnya. Satu porsi bisa dihargai €5-20 tergantung jenis masakan.

Tidak hanya sampai disitu, karena juga berbakat melukis, si teman ini membuka pesanan kartu ucapan atau lukisan handmade. Semuanya dilakukan sendiri dan dipromosikan lewat sosial media atau mulut ke mulut saja. Karena promosinya bagus dan orangnya gigih, saya tak pernah melihat si teman ini kosong pesanan. So, tidak perlu malu mengkomersilkan skill yang kita punya di Eropa karena bisa jadi ladang rejeki!

4. Jual jasa online

Kalau bakat kamu bukan di handmade craft dan memasak, ada cara lain menjual jasa lewat internet. Situs seperti Fiverr dan UpWork adalah salah dua situs terbesar yang mewadahi perusahaan/perorangan untuk mencari atau menjual jasa lewat media daring. Ada banyak sekali jasa yang bisa kamu tawarkan, dari membuat situs, menyelesaikan event project, sampai jadi virtual personal assistant. Jenjang karir dan gaji yang ditawarkan perusahaan pun bervariasi dari enty-level sampai profesional.

Di Indonesia sendiri, kita bisa ikut menjual jasa di Projects.co.id sebagai content writer, desainer poster, atau juga penerjemah. Tak jarang perusahaan yang tadinya hanya merekrut kita sebagai pekerja lepas, bisa menawarkan pekerjaan full time sebagai remote worker yang dibayar lebih dari 2000 USD untuk satu kali proyek! Karena kerjanya freelance, kita tetap bisa menyiasati waktu sebagai au pair sekalian mengerjakan proyek sampingan.

Five. Mengisi survei daring

Selama ini mungkin kita berpikir bahwa mengisi survey dari perusahaan hanyalah sukarela untuk membantu perusahaan tersebut memahami produk mereka dari feedback konsumen. Tapi ternyata, ada banyak situs yang mau membayar kita hanya untuk mengisi survey! Beberapa situs survey berbayar yang bisa dicoba adalah Mobrog , PanelPlace , Toluna , YouGov , LifePoints , iSay , Opinion Outpost , dan Hiving .

Karena tinggal di Norwegia, saya mendaftarkan diri ke situs survey berbayar yang juga berfokus di produk-produk lokal. Bahasanya memang jadi bahasa lokal, tapi lumayan sekalian belajar. Untuk satu kali mengisi survey, kita bisa dibayar 3-20 NOK tergantung berapa lama waktu pengisian. Poin atau uang yang terkumpul bisa gunakan untuk membeli giftcard, ditransfer ke PayPal, ataupun ditukar poin dari maskapai penerbangan.

6. Ikut lomba atau kuis

Daripada bosan dengan pekerjaan rumahan dan sepi teman kencan , coba iseng-iseng buka situs pencarian lomba atau kuis, siapa tahu bisa menang hadiah uang tunai atau barang elektronik! Sewaktu di Denmark, saya sempat ikut lomba blog #PejuangIrit yang diselenggarakan oleh Shopee dan menang uang tunai 2,5 juta Rupiah. Padahal itu adalah lomba blog pertama saya dan tak disangka langsung menang. Artikelnya bisa kamu baca disini .

Saya juga pernah ikut lomba menulis "Colourful Europe" yang diadakan Energy Au Pair Norway di musim panas 2 tahun lalu dan ternyata menang juga. Hadiahnya memang bukan uang, tapi paket lengkap yang berisi parfum, speaker, payung, dan masih banyak lainnya. Lumayan sekali untuk koleksi pribadi! Ini tulisan saya saat menang lomba saat itu. Grammar berantakan, tapi masih menang.

Faktanya, cari uang tambahan selama jadi au pair sangat memungkinkan dan tidak hanya lewat babysitting dan cleaning. Ada banyak cara lain yang bisa kita coba untuk mengasah kemampuan, mengembangkan jaringan, serta menambah uang saku selain berkutat di urusan rumah tangga. Tertarik juga untuk mencoba?

Tuesday, May 5, 2020

Tips Berburu 'Student Job' Tanpa Lelah (Bagian 2)|Fashion Style

Setelah dua bulan lebih belum dapat kerja juga, saya hampir di ambang batas menyerah. Tapi, harus menyerah karena apa? Hidup akan terus berjalan dan saya masih harus membayar tagihan dan makan bulan depan! I need a new job dan saya harus terus cari kerja sampai dapat! (Cerita saya cari kerja sebelumnya, baca di sini.)

Banyak situs lowongan kerja saya kunjungi dan baca satu per satu setiap hari demi menemukan jenis pekerjaan yang cocok bagi student dan pas dengan kualifikasi saya. Lamaran demi lamaran pun terus saya kirimkan lewat online dan terus-terusan pula mendapatkan banyak penolakan.

Seorang teman menganjurkan untuk mengantarkan CV door-to-door demi membuka kesempatan. Katanya, teman dia ada yang dua hari kemudian dipanggil wawancara karena pakai cara door-to-door.Tapi karena malas cetak CV, buang-buang kertas, lalu keliling, saya belum tertarik menggunakan cara ini. Lagipula ada lebih dari 600 restoran dan kafe, serta ribuan toko di Oslo yang harus saya list lebih dulu sebelum memutuskan ingin kemana. Satu lagi, cara ini diyakini juga bisa menimbulkan rasa awkward. Karena ingin latihan cari kerja lewat cara konvensional, saya masih terus mencari via online. Lagipula tak rugi apa-apa. Gratis juga.

Suatu kali, saya sempat ditawari seorang senior jika berminat jadi research assistant bagi seorang kandidat Ph.D di kampus yang sama. Tak pikir panjang, saya segera hubungi beliau dan meminta untuk bertemu. Sayangnya, karena beliau berasal dari bidang Education, sementara saya dari Entrepreneurship, akan ada ketidaksinambungan sekiranya saya jadi asisten riset beliau.

Beliau juga menyarankan kalau saya tertarik jadi asisten TK, mungkin bisa coba mengirimkan berkas di TK dekat kampus. "But you are actually right! Sudah tahu apa yang dimau; tak berminat kerja dengan anak-anak lagi. I know it's gonna be boring indeed. Justru orang kadang berpikir, kerja apa saja yang penting bisa bayar tagihan. Namun justru menurut saya hal ini salah karena akan membuat kita kerja untuk uang saja, bukan untuk berkembang dan belajar. Just keep searching for what you want to work with!"

Saya juga tahu bahwa kultur cari kerja di Norwegia ini memang masih memegang teguh prinsip word-of-mouth dan relasi. Banyak sekali jenis pekerjaan yang sebetulnya tak diiklankan, melainkan hanya berasal dari referensi si A atau si B. Makanya kalau tak punya relasi, sangat sulit sekali mencari kerja, bahkan untuk jadi cleaning lady sekalipun!

"Tapi, kalau kamu sudah masuk ke dalam sistem, akan sangat mudah sekali masuk ke sistem yang lain. Contohnya, kamu diterima di kantin jadi petugas cuci piring. Lama-lama, kalau mereka lihat kamu anaknya ingin berkembang dan sangat gigih, tak kagetlah jika 8 atau nine bulan kemudian reputation mu bisa naik jadi kepala dapur," kata kandidat Ph.D tersebut lagi. Jadi intinya, jangan takut memulai dari yang terbawah.

Beberapa teman di kelas bahasa saya pun meyakini bahwa cari kerja part-time di Norwegia seharusnya tak jadi masalah untuk saya. "Your Norwegian is even far better than me! You should be in the higher level!" kata seorang teman sekelas asal Korea Selatan kagum. "Jangan frustasi, dong! I am pretty sure you would get one!"

Haha! Bahkan teman saya di kelas pun bisa memahami bahwa beberapa minggu ke belakang mood saya memang aut-autan. Terakhir cari kerja ya memang saat jadi au pair 2 tahun lalu. Tapi kalau ingat cari host family pertama kali dulu, itu juga prosesnya lama. Saya harus menunggu 5 bulan baru betul-betul settle dengan satu keluarga. Cari kerja betul-betul melelahkan memang!

Teman-teman Indonesia lain yang memahami kondisi saya ikut menyemangati dan memberikan informasi seputar pekerjaan part-time yang mereka tahu. Sayangnya, kala itu semangat saya sedang terpendam. Saya sudah cukup lelah. Saatnya berhenti sebentar, menunda mengirim banyak lamaran, dan menunggu kabar beberapa lamaran sebelumnya yang sudah dikirim.

FYI, lowongan kerja yang tersedia paruh waktu di Norwegia ini kebanyakan pekerjaan di restoran, asisten personal, dan toko. Untuk yang tak bisa bahasa Norwegia, pilihannya makin menyempit ke loper koran, cleaning lady, atau babysitter lepas. Ada beberapa pekerjaan hotel dan kantoran lainnya, namun hampir semuanya harus memenuhi kualifikasi bahasa Norwegia fasih. Sampai situ saja saya sudah menyerah duluan. Lalu jangan dikira dapat kerja di toko baju semacam Zara itu mudah! Saingannya bejibun karena ada banyak sekali anak muda yang tertarik bekerja di toko baju. Selain itu, restoran cepat saji semacam McDonald’s atau Burger King juga banyak sekali pelamarnya setiap minggu. Saya sudah dua kali melamar kerja di McD, namun selalu ditolak. So, I had to keep moving!

"Trust me, it would be sooo hard! Saya sampai harus door-to-door mengantarkan banyak CV ke bar, toko Asia, bahkan restoran, hanya untuk dapat satu pekerjaan. Namun karena tak bisa bahasa Norwegia, bahasa Inggris pun pas-pasan, saya selalu ditolak. But, please don't give up! You have to keep sending your CV as much as possible!" seorang teman sekelas saya pun terus-terusan memberikan semangat ketika tahu saya memang sedang struggling cari kerja.

"I'll keep you posted if I hear somebody looks for an employee!" tawar seorang teman satu kosan yang juga selalu memberikan saya semangat positif.

"You know what, I am pretty sure luck is another factor to get a job! Jadi kalau kamu memang belum lucky, jangan salahkan keadaan. Percaya saja, ada saatnya luck kamu datang dan saat itulah kamu akan dapat pekerjaan," seorang teman lagi berusaha memberikan motivasi, yang mana saya juga percaya bahwa luck itu berperan penting.

Satu minggu berlalu, saya menerima email dari salah satu restoran Italia terbesar di Oslo yang tertarik dengan aplikasi saya dan mengundang wawancara langsung di restoran! Wow!! This is going to be my very first live interview in Norway!

"You would get this job, I am pretty sure!" ujar Anand, teman sekelas saya.

Kabar yang saya dengar, kalau kamu sudah diundang interview langsung on spot dan si pewawancara suka, mereka bisa langsung menerima kita saat itu juga. Karena restoran ini juga membutuhkan pegawai yang bisa bahasa Norwegia, maka diyakini bahwa wawancaranya pun akan menggunakan bahasa lokal. Saya sampai berlatih sedikit dengan Mumu tentang apa yang kira-kira harus saya ucapkan.

Saya akan cerita lebih banyak soal wawancara kerja yang sudah pernah saya jalani di Norwegia, tapi long story short, saya akhirnya bertemu dengan Maria, manajer restoran yang sudah 5 tahun bekerja di sana. Wawancaranya pun sangat informal dan lebih terdengar seperti mengobrol biasa. Tiga puluh menit berlalu, saya cukup bangga bahwa kemampuan bahasa saya progress-nya semakin terlihat karena bisa menjawab semua yang ditanyakan dengan sangat lancar, meskipun grammar-nya masih lari-lari.

"Aduh, mau tanya apa lagi ya. Saya bingung, soalnya kamu bisa menjawab semuanya dengan sangat baik," kata Maria dengan senyum ramah. "Rasanya sudah sangat lama saya tak pernah mendapatkan jawaban sebagus kamu. Saya betul-betul kagum!"

Dari banyak komentar positif yang Maria berikan, saya cukup optimis dengan kesimpulan akhir yang mungkin akan berakhir baik. "Oke. Kita mulai dari percobaan (prøvevakt) dulu ya. Hanya satu hari kok. Hanya ingin melihat bagaimana motivasi dan keinginan kamu untuk belajar.” tambah Maria. Sebelum pulang, Maria memberikan daftar menu yang harus saya pelajari dan ingat sebelum mulai 'hari percobaan'. Sounds right?

Di hari H prøvevakt , saya ternyata baru tahu bahwa orang-orang yang diberikan kesempatan percobaan ini belum tentu akan diterima sebagai pegawai tetap. Akan ada evaluasi dari trainer sebagai catatan apakah kita layak uji coba lagi ataukah belum cukup mampu mengimbangi alur kerja di restoran tersebut. Jika kita layak, akan ada prøvevakt lagi 3-4 kali, lalu training mandiri selama 4-6 bulan, sebelum akhirnya mantap menjadi pegawai tetap restoran tersebut.

10 pelajaran dari cerita di atas:

1. LEARN THE LOCAL LANGUAGE from the first day you arrive in Norway!

2. Selagi banyak lowongan pekerjaan yang masih tersedia, boleh saja picky. Lebih baik melamar di 10 tempat yang posisinya betul-betul kita inginkan ketimbang ke banyak tempat yang posisinya hanya ingin kita isi demi dapat gaji.

Three. Jangan menyerah, apalagi sadar kalau kita bukan anak orang kaya!

4. Sebelum mendengar  atau mendapatkan email yang isinya "you're hired!", terus saja kirim aplikasi.

5. It is okay to take a break before you start searching again!

6. Jangan patah semangat ketika menerima penolakan karena bisa jadi kita kurang atau terlalu berkualifikasi, atau juga manajer HR hanya mencari orang-orang yang setipe dengan dia.

7. Tell people that you are looking for a job, karena bisa jadi lowongan kerja malah dapatnya dari networking ini.

8. Percayalah, luck dan good timing itu adalah faktor yang sangat berperan ketika cari kerja.

9. Be realistic! Jangan mengharapkan posisi dan gaji bagus kalau kemampuan kita hanya di bawah rata-rata masyarakat lokal.

10. Cari kerja di Norwegia (meski paruh waktu) itu SUSAH!!

I was so stressed back from the first day I started my 'prøvevakt' at the restaurant. Stress karena belum tentu diterima bekerja di sana, lalu stress karena ternyata bekerja di restoran besar danfancy itu susah! Baiklah, saya harus sedikit bersabar dengan diri sendiri. It was my first day; literally the first and longest day I worked at the restaurant with my Norwegian capability alongside! Karena bahasa Norwegia saya yang masih pas-pasan, ada rasa takut berhadapan dengan pelanggan. Takut salah, takut tak mengerti apa yang pelanggan maksud, takut pula jika tak hapal deretan menu berbahasa Italia yang pelanggan inginkan.

But hey, it was my first day, right? There are looooong days to learn! Namun sekali lagi, apakah saya dipercaya mendapatkan shifts berikutnya untuk uji coba, itu yang saya tak tahu. Until then, I keep looking for a job.

Tips Pengalaman Wawancara Magang dan Kerja Paruh Waktu di Oslo|Fashion Style

Nasib tiap orang memang tak sama, tapi bagi saya, successful rate untuk dapat panggilan wawancara di Norwegia hanya sekitar 18%. Dari 50-an lamaran kerja yang dikirim, 9 aplikasi baru berhasil menyita perhatian rekruiter. Angka ini masih terbilang lumayan, karena cari kerja di Norwegia tanpa networking dan Norwegian fluency bisa jadi mimpi buruk. Untuk student job yang sifatnya part-time di toko atau restoran, kita tak hanya bersaing dengan pelajar lokal tapi juga internasional. Saingan terberatnya tentu saja para imigran dari Swedia yang lebih lucky karena merekaspeak the language.

Dua tahun tinggal di Norwegia, saya baru menguasai norsk secara lisan di level A2. Tak banyak lowongan kerja yang bisa saya lamar, kecuali pekerjaan di toko, kafe atau restoran. Padahal kalau mampu seminimalnya B2, ada banyak sekali pekerjaan paruh waktu di kantoran yang sangatwelcomedengan pelajar. Sebagai tambahan, saya juga sempat melirik peluang paid or unpaid internship yang akan sangat berguna untuk mencari pengalaman in-office.

Tapi dari semua kesempatan ini, saya ingin cerita bagaimana proses wawancara yang pernah saya lalui di Oslo, hingga akhirnya berhasil mendapatkan tawaran kerja. Ada dua segmen cerita, wawancara magang dan kerja paruh waktu.

Internship

Cari kesempatan magang adalah salah satu hal yang saya kejar selama kuliah di sini. Tak hanya soal pengalaman dan pembelajaran, tapi juga bisa menambah networking dan mempercantik CV. Untuk magang di perusahaan dengan modal bahasa Inggris saingannya sangat kompetitif, apalagi yang dibayar. Tiga pengalaman interview magang di Oslo yang pernah saya lalui adalah dengan perusahaan teknologi multinasional di posisi marketing untuksummer internship 2020 (yang lamarannya sudah saya kirim sejak September tahun lalu!), kedua adalah akselerator startup untuk posisi event associate dan voluntary intern, dan yang ketiga adalah organisasi pelajar-slash-startup di posisi event associate juga.

Dua perusahaan pertama wawancara dijalani via online lewat Google Hangout dan Whereby. Masing-masing, saya diwawancarai oleh 2 profesional muda yang memegang peranan penting di posisi yang saya lamar. Pertanyaan yang ditanyakan juga sebetulnya cukup banyak & lebih menggali seputar pengalaman kerja sebelumnya serta motivasi saya melamar di perusahaan mereka. Just be aware, even for an internship position, they still expect you to have some more experience earlier!

Setelah menunggu berbulan-bulan sejak wawancara pertama di perusahaan multinasional, saya tak lanjut ke ronde kedua dikarenakan mereka lebih memilih orang-orang yang punya pengalaman in-office sebelumnya. Meskipun ditolak, tapi saya cukup amazed dengan feedback jujur yang mereka berikan lewat satu email yang panjang. So professional and caring!

Sama halnya dengan posisi operations/event associate di akselerator startup, meskipun sudah lanjut sampai ronde kedua tapi langkah saya mesti terhenti karena mereka butuh orang yang bisa bekerja full-time dan selalu available di kantor. Tapi karena cukup impressed dengan profil saya, mereka menawarkan apakah saya bersedia untuk diperhitungkan di proses rekruitmen posisi voluntary intern. Posisinya memang tak dibayar, tapi karena cukup tertarik dengan perusahaan ini, saya iyakan saja. Toh, tak perlu wawancara lagi dan hanya menunggu keputusan mereka. Hingga lebih dari 1 bulan kemudian, saya menerima email panjang yang super caring dari rekruiter bahwa saya diterima menjadi voluntary intern selama 4 bulan.

Untuk organisasi ketiga, sebetulnya saya lebih banyak mendapatkan informasi lewat senior saya di kampus. Ada trial kerja 6 bulan pertama sebagai voluntary intern, sebelum nantinya bisa berlanjut menjadi permanent worker. Di sini saya juga melamar di posisi event associate karena merasa sangat tertarik di bidang operations, yang tugasnya mengkoordinasi, merencanakan, serta eksekusi. Organisasi ini masih sangat muda dan kantornya juga hanya selemparan batu dari kampus. Wawancara dilakukan oleh 2 board members per sesi dan dilakukan selama 2 kali. Meskipun para board members-nya masih muda-muda, tapi wawancara tetap terasa profesional.

Kurang yakin dengan wawancara kedua, saya diundang kembali wawancara ketiga oleh salah seorang anggota board member yang sebelumnya mewawancarai saya. Meskipun judulnya "wawancara", tapi pertanyaan yang ditanyakan lebih ke menggali kehidupan pribadi; punya pacar kah di sini, suka Norwegia kah, apa planning selepas lulus, dan lainnya, yang hanya berlangsung 30 menitan. Dirasa cocok dengan budaya kerja di tempat tersebut, sorenya saya mendapat email kalau diterima bekerjadi sana!

Kerja paruh waktu

(Baca pengalaman saya cari 'student job' part 1  dan 2  di postingan sebelumnya!)

Dikarenakan hampir semua lowongan kerja paruh waktu di Norwegia diiklankan dalam bahasa Norwegia, wawancara yang saya jalani pun hampir semuanya juga menggunakan bahasa lokal. Semoga kalian masih punya semangat membaca pengalaman saya di 5 tempat selanjutnya!

Toko roti

Entah kenapa, bekerja di toko roti adalah pekerjaan paruh waktu impian saya dari dulu. Mungkin karena waktu kecil terlalu sering membaca komik Jepang, makanya imajinasi soal kerja paruh waktu di tempat ini masih terbayang sampai Norwegia. Wangi harum roti fresh from the oven, alunan suara renyah tuangan kopi dari draft, serta atmosfir nyaman toko roti yang mungil rasanya begitu cozy.

But anyway, dua minggu setelah kirim lamaran ke salah satu toko roti terkenal di Norwegia, saya mendapat email undangan wawancara online. Saat itu wawancaranya hanya satu arah via SparkHire dan saya wajib merekam diri sendiri lewat aplikasi tersebut sebelum akhirnya di-submit ke perusahaan.

Ada 5 pertanyaan yang mesti dijawab dan masing-masing diberi waktu 1 menit. Sebelum recording, saya diperbolehkan memikirkan dulu jawabannya selama mungkin dan diberikan kesempatan 3 kali menjawab. I don't know why I was soooooo nervous!!!! Meskipun total jawabannya hanya 5 menit, tapi saya menghabiskan waktu 2 jam untuk latihan sekalian recording! Semuanya harus dijawab menggunakan bahasa Norwegia, yang mana saya mesti ekstra keras memikirkan jawaban plus tata bahasa yang tepat. Hati saya super dag dig dug, meskipun yang dihadapi adalah diri sendiri.

Dua minggu kemudian, saya dapat email berikutnya untuk lanjut ke wawancara ronde kedua! Wawancara masih dilakukan via online, namun kali ini live dengan salah seorang rekruiter. Herannya, wawancara kali ini malah terkesan biasa saja dan lebih rileks ketimbang saat recording. Pertanyaan yang ditanyakan rekruiter pun sebetulnya sedikit mengulang dari apa yang sudah saya rekam di ronde pertama; mengapa ingin kerja di sini, apa kegiatan favorit saat senggang, seberapa fleksibel, serta pertanyaan lain seputar pengalaman au pair.

Sebetulnya saya merasa tak terlalu maksimal saat itu dikarenakan berulang kali menanyakan apa yang dimaksud oleh rekruiter. Ada beberapa pertanyaan yang karena takut salah paham, saya tanyakan lagi beberapa kali untuk memastikan. Saya bisa melihat bahwa si rekruiter ini kurang sabar dan terlalu sibuk mencatat. Saat saya ingin beliau mengulang lagi pertanyaannya hingga 3 kali, beliau sampai mengentakkan pena ke meja dan mengeraskan suaranya ke arah microphone.  Meskipun awalnya sangat positif, namun the last answer dari mereka setelah menunggu 3 minggu adalahNO.

Restoran Italia

Sebagai orang yang belum pernah bekerja di restoran sebelumnya, saya cukup kaget ketika tahu dapat panggilan wawancara di salah satu cabang restoran terbesar di Norwegia! Apalagi yang saya dengar, ada ratusan aplikasi yang masuk ke setiap lowongannya di restoran ini. Satu minggu setelah memasukkan lamaran ke situs mereka, saya langsung dapat wawancara kerja dua minggu berikutnya.

Kali itu wawancara dilakukan secara live dan saya mesti datang ke restoran langsung. Maria, si manager, mengobrol dengan saya di salah satu pojokan. Wawancara pun terkesan santai dan saya bisa menjawab semua pertanyaannya dengan sangat fasih. Padahal pertanyaan yang ditanyakan lebih sulit dari si toko roti. Contohnya, apa definisi mu tentang a good team, bagaimana cara kamu menghadapi stress, atau apa yang kamu lakukan kalau menghadapi pelanggan yang bawel.

Maria cukup terkesan dengan semua jawaban saya dan memberikan kesempatan untuk ikut uji coba (prøvevakt) selama 8 jam, satu minggu berikutnya. Meskipun belum punya pengalaman sebelumnya, tapi Maria selalu menekankan bahwa pengalaman itu tidak penting. Yang penting itu saya mau belajar & bisa meng-handle stres saat bekerja di tempo yang tinggi. Masalah gaji pun sudah dibahas dan saya sudah diundang kesana kemari untuk sign up di beberapa online course serta social media khusus organisasi tersebut. Well, everything sounds so professional and organized karena restoran ini memang salah satu restaurant chains terbesar di Norwegia yang sudah cukup lama beroperasi.

Long story short, saya pulang uji coba dengan kewalahan. Worked at a very big restaurant with 600 customers every day were daunting for me! Belum lagi trainer saya, seorang gadis muda yang sudah 5 tahun bekerja di restoran, menaruh ekspektasi yang cukup besar agar saya bisa menguasai banyak hal dalam waktu 8 jam saja! I felt so intimated, meskipun banyak feedback positif dari doi tentang saya.

Merasa akan diterima bekerja di sana, 2 hari kemudian saya menerima telepon dari Maria yang hanya akan memberitahu bahwa saya bukan kandidat yang tepat bagi mereka. Lucunya, Maria saat itu mengatakan bahwa saya kurang pengalaman menghadapi hanyak pelanggan dalam satu waktu. “Maybe you should try to work at a smaller restaurant first,” katanya.

My heart fell to the floor in a sudden! Walaupun yang dikatakan Maria memang benar, tapi saya cukup kecewa dengan treatment yang mereka berikan. Pertama, kami sudah membahas panjang lebar soal gaji dan kontrak. Kedua, saya merasa sudah menjadi bagian dari organisasi tersebut karena diundang kesana-kemari via online networking mereka. Ketiga, saya merasa apa yang dikatakan Maria soal "yang penting mau belajar" itu hanyalah omong kosong belaka!

Restoran India

Tak mau down lebih lama, saya teringat seorang teman pernah mengirimkan screenshot lowongan kerja via Facebook di salah satu restoran India di Oslo. Tanpa pikir panjang, jam 9 malam saya langsung menelepon restoran tersebut. Yang saya tahu, restoran India, Pakistan, atau Turki dan sejenisnya, memang tak se-strict atau profesional restoran asli Norwegia atau yang dikelola oleh orang Norwegia. Mereka bahkan menerima walk-in interview dan drop-in CV.

Malamnya saya telepon, besoknya saya langsung disuruh datang untuk wawancara. Dipikir pemiliknya Norwegian born Indian, ternyata sepasang suami istri ini baru tinggal di Norwegia 2-3 tahun dan restoran ini juga ternyata baru buka Agustus tahun lalu.

Wawancara saat itu hanya berlangsung 10 menit tanpa pertanyaan basa-basi, lalu saya langsung disuruh uji coba (prøvevakt) sore itu juga! Oh-ow! Seemed like they didn’t understand if people also had their own schedule. Karena memang sudah punya schedule hari itu, saya minta untuk uji coba esoknya saja, yang mana saya tak sadar adalah hari Minggu!

Di hari pertama prøvevakt, my first impression of this restaurant was messed! I swore to myself that I am not going to work at this restaurant for so long! Tanpa tahu apa-apa, tanpa briefing, saya langsung terjun bebas belajar sendiri apa yang terjadi di sana. Restorannya memang tak sebesar restoran Italia sebelumnya, tapi tetap saja membuat saya kewalahan karena uji coba dilakukan saat akhir pekan, waktu dimana banyak orang memutuskan makan di luar.

Tamu terus berdatangan dan saya bingung harus mulai dari mana. Tak ada briefing, tak ada training, pokoknya learning by doing saja. Karena restoran ini masih sangat baru, saya sebetulnya cukup paham mengapa manajemennya sangat buruk. Si pemilik restoran, bertugas rangkap sebagai kasir, bartender, pelayan pula, kepala dapur, dan pencuci piring. Makanya tak heran mengapa saya yang baru datang ini langsung disuruh multitasking ini itu. To be honest, 8 jam “belajar” dan uji coba di restoran Italia sangat membantu membentuk mental dan sensivitas saya! Yang dulunya terintimidasi dan takut, trial sekali ini hajar dan justplayed it cool.

Yang saya lihat, restoran ini memang betul-betul butuh orang yang tepat untuk bisa meng-handle tamu sebagai food server. Makanya di hari itu juga, saya langsung diterima bekerja dan tanda tangan kontrak esok harinya. No ribet, no kirim CV dan cover letter dulu, yang penting kita suka dan mau kerja di sana, then 100% you’ll get the shifts!

Sushi bar

Masih penasaran cari-cari kerja di tempat lain, saya mengirim lamaran lain di sushi bar di daerah paling touristy di Oslo. Tempatnya sangat kecil dan hanya muat sekitar 10 pelanggan saja. Lebih enak untuk mobilitas sebetulnya.

Wawancara juga hanya satu arah karena kebanyakan si pemilik yang bicara. Mungkin tepatnya, si pemilik yang lebih detail menjelaskan panjang lebar tentang struktur kerja di tempat tersebut serta apa yang mereka harapkan dari pegawai baru. Tak ada rentetan pertanyaan yang ingin menggali lebih jauh tentang diri saya.

Tak anti ribet juga karena pemiliknya terkesan easy dan siapa pun yang diwawancaranya saat itu, pada dasarnya itulah orang terpilih yang akan bekerja di sana. Karena jadwal kerjanya tak cocok, malamnya langsung saya tolak job offer tersebut. Saya juga entah kenapa kurang cocok dengan atmosfir kerja di sana karena pegawainya terkesan sangat dingin dan kurang welcome.

Restoran Korea

Jam 11 pagi, saya masih iseng membuka daftar lowongan kerja di internet dan menemukan lowongan menjadi pelayan di restoran Korea di Oslo. Karena sudah persiapan cover letter serta CV yang dikhususkan untuk posisi pelayan, saya langsung kirim aplikasi saat itu juga. Mungkin karena beruntung, besoknya juga saya mendapat email panggilan wawancara lagi.

Dari sini saya belajar bahwa restoran yang dikelola oleh keluarga (bukan organisasi besar layaknya restoran Italia sebelumnya), pada dasarnya sangat casual dan anti ribet. Wawancara juga lebih ke satu arah dan si pemilik lah yang justru lebih banyak menjelaskan tentang detail pekerjaan.

Yang saya suka dari restoran ini, di awal si pemilik sudah menjelaskan panjang lebar tentang ekspektasinya serta informalitas yang ada di tempat tersebut. Mungkin karena Norwegian born half-Korean, makanya doi tahu betul soal regulasi serta bagaimana menumbuhkan budaya kerja ala orang Norwegia, meskipun restorannya sendiri menyajikan makanan Asia.

Karena saya dan si pemilik restoran sama-sama punya feel positif, lagi-lagi saya diberi kesempatan untuk uji coba (prøvevakt) selama 6 jam. Prosesnya cukup lambat memang, karena sama-sama sibuk,shift untuk uji coba baru diberikan 2 minggu kemudian. Yang pasti, saya merasa restoran ini bisa jadi tempat kerja saya berikutnya karena lebih terorganisir, profesional, dan adil ketimbang restoran India sebelumnya. Saya juga merasa makanan Korea lebih cocok di lidah dibandingkan kare-karean ala India yang lebih heavy.

Hingga akhirnya, tibalah hari uji coba yang membuat pemikiran saya berbalik 180 derajat! Dari yang tadinya sangat positif dengan restoran ini, saya merasa ada big turn off baik dari saya dan si pemilik! Di hari pertama uji coba, saya sudah banyak melakukan kesalahan yang dirasa bos restoran sangat fatal, contohnya, lupa menyalakan lilin yang sebelumnya sudah diperintahkan, memberikan bill ke meja yang salah, tak mengabari dapur kalau main course harusnya sudah tiba, datang terlambat 5 menit (padahal saya sudah mengetuk pintu restoran 10 menit lebih awal, tapi karena tak ada orang di dalam, saya membunuh waktu dengan sengaja datang terlambat), serta perkara lainnya.

Saya juga tak suka dengan budaya makan bagi para pelayan di sini. Makan hanya bisa dilakukan secara berdiri di dekat kasir, lalu harus siap berhenti saat pelanggan datang. Diberi makan jam 7 malam, saya baru menghabiskannya dua jam kemudian! Tak ada jeda meski hanya 10 menit untuk duduk dan makan dengan cara yang lebih wajar. Pemiliknya juga tak santai, perfeksionis, dan penuh ekspektasi. Dalam waktu 6 jam, doi ingin saya bisa melakukan dan mengingat banyak hal, yang mana menurut saya mustahil. Tapi karena cukup pengertian, si pemilik ini masih mau memberikan saya kesempatan kedua di uji coba berikutnya.

Mungkin karena memang sudah tak sreg bekerja di sini dari hari pertama dan belum rejeki juga, hari kedua prøvevakt, saya tak sengaja malah datang terlambat 10 menit karena kelewatan halte. Betul saja, tanpa babibu, saat itu juga saya langsung diusir dari restoran dan ditolak karena bukan orang yang tepat untuk restoran mereka. Yeah, Earth heard me!

Dari cerita di atas, bisa kah kalian menebak ujung-ujungnya saya bekerja di mana sekarang?

So, meskipun awalnya malas dengan sistem manajemen dan makanan di tempat ini, tapi saya memutuskan untuk terus bekerja di restoran India. Setidaknya untuk beberapa waktu karena saya juga sedang malas melamar banyak pekerjaan di tempat lain lagi.

Hal yang saya pelajari juga, bahwa uji coba (prøvevakt) di restoran belum tentu membuka kesempatan mu menjadi karyawan tetap mereka. Uji coba itu diberikan untuk melihat seperti apa kamu saat bekerja di sana. Cocok kah dengan budaya perusahaan, tangguh kamu saat menghadapi pelanggan yang banyak, serta seberapa taktis saat mengantarkan makanan. Bekerja di tempat yang dikelola orang Norwegia asli akan sangat menyulitkan karena mereka menaruh ekspektasi besar di hari pertama uji coba kita di sana. No wonder, karena memang uji coba ini juga sebetulnya dibayar.

Hati-hati juga dengan komentar positif dari restoran yang dikelola orang Norwegia karena bisa jadi itu hanya omong kosong! Because in the end, you are not hired anyway!Berbeda halnya dengan restoran yang dikelola non-Norwegian, sistem rekruitmen biasanya lebih santai. Uji coba tak dibayar, namun yang saya dengar, pemiliknya lebih mudah diajak negosiasi ketimbang orang asli Norwegia. Bad side lainnya, mereka selalu berusaha lari dari regulasi resmi sehingga bisa jadi kamu merasa treatment-nya kurang adil.

Tapi akhirnya saya berpikir, kerja itu tak melulu soal gaji karena atmosfir kerja dan kolega yang baik juga sangat mendukung kinerja. Satu lagi, meskipun kalian kira kerja jadi pelayan itu pekerjaan biasa dan mudah, tapi coba saja kirim lamaran di beberapa tempat. I am pretty sure, you'd not get one spoteven for a trialeasily! Seperti yang saya katakan di kalimat pembuka, selain saingannya banyak, pengalaman juga penting, apalagi di restoran yang sudah lama beroperasi. In the end, luck dan koneksi juga berperan sangat penting di Norwegia.

Tak hanya sampai di sana, karena tujuan saya juga ingin cari koneksi yang luas secara profesional, saya langsung menerima tawaran kerja dari organisasi pelajar-slash-startup di atas. Selain karena tujuan organisasi tersebut cocok dengan program studi yang saya ambil, adanya jenjang karir yang lebih luas serta kantor yang hanya selemparan batu dari kampus, membuat saya tak punya alasan untuk menolak tawaran mereka.

And yepp, perhaps you got it right, saya kuliah plus kerja di dua tempat berbeda sekarang! Bagaimana cara saya mengatur waktunya? Tunggu cerita di postingan selanjutnya!