Showing posts with label pindah keluar negeri. Show all posts
Showing posts with label pindah keluar negeri. Show all posts

Wednesday, June 17, 2020

Tips Hijrah ke Luar Negeri Itu Melelahkan|Fashion Style

Muncul perasaan sedih, haru, namun bercampur bahagia ketika pesawat Thai Airways yang saya tumpangi mendarat di Bandara Oslo-Gardermoen. Bahagia karena akhirnya perjalanan panjang nan melelahkan selesai juga. Haru karena bisa mendapat kesempatan kembali lagi ke Eropa. Tapi juga sedih karena lagi-lagi meninggalkan keluarga dan teman-teman terdekat di Indonesia.

Ini kali ketiganya saya pindah dan tinggal di Eropa. Setelah drama visa Norwegia dan paspor yang cukup menyita waktu, tenaga, dan biaya, akhirnya semua terbayarkan karena bisa mendapatkan izin tinggal selama 2 tahun di negara terbahagia di dunia ini (2017).

Dalam waktu three tahun terakhir, saya bersyukur bisa mendapat kesempatan tinggal di 3 negara Eropa plus jalan-jalan ke banyak tempat. Tapi dalam waktu 3 tahun juga, saya sudah 5 kali mengepak barang untuk pindah dan pulang. Kalau ada yang mengatakan saya beruntung, tentu saya harus lebih banyak bersyukur.

Namun kalau ada yang bertanya lebih jauh tentang perasaan saya, sejujurnya saya depresi. Moving abroad is stressful and tiring! Jangankan pindah negara, bayangkan saja kalian harus pindah sekolah selama 3 kali dalam kurun waktu 3 tahun. It's no fun anymore, isn't it?

Oke, tidak hanya saya au pair yang pindah ke banyak negara dalam waktu beberapa tahun. Banyak juga teman au pair yang selesai di Belanda, lalu pindah ke Belgia, tanpa pulang dulu ke Indonesia. Culture clash pasti ada, meskipun kedua negara tersebut sama-sama di Eropa. Tapi coba saja jika harus bolak-balik pindahan dulu dari Indonesia, the culture never stops shocking me!

Mengapa?

1. Belajar bahasa dan budaya baru lagi

Learning language is tough and needs a strong commitment. Saya tahu bahwa belajar bahasa apapun memang tidak akan pernah sia-sia. Tapi bagaimana kalau pembelajaran yang sedang ditekuni terpaksa terhenti hanya karena harus pulang?

Bisa dikatakan, sampai sekarang level bahasa saya nanggung, alias masih disitu-situ aja. Sempat belajar bahasa Prancis, tapi hanya baby talk atau frase paling dasar saja. Belajar bahasa Belanda, eh tahunya malah sedikit terpakai karena di rumah kebanyakan pakai bahasa Inggris.

Sampai di Denmark, belajar bahasa baru lagi. Saat saya sedang serius menekuni bahasa tersebut, akhirnya saya mesti puas saja stop di Modul 4 karena memang sudah habis kontrak dan harus pulang ke Indonesia.

Pindah lagi ke Norwegia, mesti ulang belajar bahasa baru karena memang perlu.Then, it starts again from the basic!Walaupun bahasa Denmark dan Norwegia sedikit mirip, tapi aksen dan pengucapannya super beda.

Banyak belajar, tapi skill nanggung. That's me.

2. Cari teman baru lagi

Mencari teman di Skandinavia lebih sulit ketimbang mencari teman di Eropa Barat. Contohnya, orang-orang Belgia cenderung lebih suka basa-basi dan terbuka ketimbang para penduduk Skandinavia. Teman asli Belgia saya memang tidak banyak, namun setidaknya mereka lebih mudah diajak ngobrol saat baru pertama kenal.

Tinggal dua tahun di Denmark, saya sudah cukup banyak berkenalan dengan orang baru dan akhirnya bisa dijadikan teman nongkrong saat akhir pekan. Mencari para teman ini pun tidak mudah. Saya harus aktif di banyak acara, volunteering, ikut meet up, ataupun sekedar memenuhi undangan dari kenalan lainnya dulu.

Bertemu dengan orang baru pun tidak secepatnya langsung menjadikan mereka teman. Ada banyak pengalaman yang membuat saya harus datang ke acara, haha hehe dengan orang baru, lalu pulangnya tetap sendiri tanpa menyambung silaturahim dengan mereka. Yah namanya juga cocok-cocokkan.

Lalu setelah mendapat teman yang nyaman di Denmark dan Belgia, saya harus kembali memulai frase mencari teman di Norwegia yang pastinya butuh waktu. Kadang, pindah-pindah tempat tinggal bukannya menambah teman, namun kehilangan yang sudah ada.

3. Keliling dan mengenal daerah baru lagi

Entah kenapa, setibanya di Oslo, akhir pekan saya berjalan sangat datar. Berbeda saat baru tiba di Brussels dan Kopenhagen, keinginan untuk menjelajah tempat baru rasanya begitu membuncah. Sepanjang jalan mengitari kota selalu membawa perasaan bahagia dan penasaran. Ada apa lagi ya di sudut sana? Kafe mana lagi ya yang oke untuk nongkrong? Tempat pemberhentian selanjutnya diman aya? Daftar kunjungan yang wajib saya datangi rasanya sudah panjang.

Akhir pekan lalu, saya hanya jalan-jalan 10 menit di kota lalu pulang. Everything still looks the same as two years back I was here. Nothing new.

Oslo memang tidak terlalu berbeda dengan banyak ibukota di Eropa. Turis, museum, kafe, bar, tempat selfie, dan salju. Oslo juga sebenarnya tidak baru, karena saya pernah important ke kota ini. Lama-lama main di sentral, eh kok, bosan juga ya?

4. Mempelajari sistem kependudukan dan transportasi publik lagi

Tiba di Oslo, tidak membuat saya serta merta langsung menjadi bagian penduduk Norwegia. Ada banyak sekali hal yang harus lakukan agar bisa mendapatkan hak yang sama dengan penduduk lokal.

Sebelum pindah ke tempat baru, biasanya saya lakukan riset mini dulu sebagai bahan perkenalan dengan negara yang akan saya tempati. Dari cara membeli tiket kereta, diskon untuk anak muda, kartu telepon, buka akun bank, hingga pajak, biasanya saya pelajari satu-satu. Hal ini rutin saya lakukan agar tidak kaget dan setidaknya mengerti sedikit tentang sistem di negara yang akan saya tempati.

Menjadi orang baru lagi tidak gampang. Kita harus dituntut untuk lebih banyak tahu dan belajar, bukan hanya having fun.

5. Berkencan dengan cowok baru lagi

Bagi yang masih jomblo, pindah ke negara baru bisa berarti tantangan baru. Cowok Belgia tentu saja berbeda dengan cowok Denmark. Pun begitu dengan cowok Norwegia yang katanya sangat suka alam dan kegiatan luar ruangan.

Tidak hanya cari teman baru yang melelahkan, namun juga berkencan . Saya yang bukan ekspert, tapi mantan serial dater ini, rasanya terlalu malas jika harus berkenalan dan berkencan dengan banyak cowok baru lagi.

Girls, modern dating is so overwhelming. Kamu kenalan lewat online, ketemuan, baper, berharap lebih, eh lalu si bule menghilang. Begitu saja terus sampai lelah atau akhirnya menemukan yang terbaik. Anyway, it always takes time to find the right one. But, I give up already.

Kata orang, sesuatu yang baru itu terlihat lebih menarik dan menyenangkan. Tapi entah mengapa, pindahan kali ini justru membuat saya sedikit menutup diri dan malas-malasan. Saat saya curhat hal ini ke adik, saya dibuat jleb dengan komentar singkat dia, "who've decided?"

Iya. Ini yang sudah saya putuskan. Inilah resiko yang harus saya hadapi ketika mulai nyaman di satu tempat, lalu harus pindah lagi ke tempat baru.

It's just started. It's only the beginning. Daripada saya mengeluh terus, lebih baik tetap berpikiran positif bahwa akan selalu ada kejutan menarik di setiap tempat yang pernah saya tinggali. Oslo might be boring, but my life could not be!

Yes. Welcome to Norway!

Friday, May 15, 2020

Tips Pindah ke Swiss|Fashion Style

"Nin, do you need to transport with us to Switzerland?"

Menurut saya, kekayaan itu adalah salah satu privilege yang bisa mendekatkan kita pada impian. Sama halnya dengan host family saya ini. Awal tahun lalu saya dibuat kaget dengan kabar besar yang mereka sampaikan, "we are going to move to Swizerland!" kata host mom saya sumringah.

Hah???!!! Rencana dari kapan? Kapan pindahnya?

Tiba-tiba. Iya, rencana pindahnya tiba-tiba, tapi impian pindahnya sudah lama. Dari sejak host mom dan host dad saya bertemu, mereka ternyata sama-sama punya impian untuk tinggal di Pegunungan Alpen. Tadinya ingin menunggu anak-anak mereka remaja, tapi setelah berdiskusi panjang lebar, mereka memutuskan untuk pindah akhir tahun ini ke Zermatt, Swiss.

"It's easier for kids when they're young. Jadinya mereka nanti bisa belajar 3 bahasa baru secara cepat; Jerman, Prancis, dan Inggris," tambah host mom.

Zermatt, desa kecil di atas Pegunungan Alpen yang berdekatan dengan Italia, adalah tempat favorit mereka ber-ski saat musim dingin. Katanya dulu mereka hampir mengadakan pesta pernikahan disana, hingga diubah ke Prancis Selatan. Tapi tak heran mengapa yang dipilih Swiss. Selain sama-sama negara mahal, pajak di Swiss malah lebih rendah dari Norwegia meskipun biaya hidupnya tinggi. Tak rugilah jika harus pindah dari negara sekaya Norwegia.

Proses kepindahan ini pun berjalan dengan sangat cepat. Maret lalu, mereka sudah deal membeli rumah di Zermatt yang harganya hampir 8 juta Franc atau lebih dari Rp100 miliar. Mungkin "tak seberapa", mengingat di Indonesia harga rumah seharga itu juga ada. Tapi yang berbeda, rumah di Pegunungan Alpen tentu saja lebih high-end ketimbang yang ada di perkotaan besar di Indonesia.

Awal tahun lalu pun, saya beruntung diajak 'dinas' ke Zermatt. Mendengar namanya saja sudah asing bagitraveler musiman seperti saya ini. Di Swiss saya tahunya hanya Luzern, Zürich, Bern, atau Interlaken. Tapi setelah diajak ke Zermatt, seriously saying, this IS the real Switzerland yang selama ini memang ada di otak saya. Zürich? Jauuuhh! Luzern? Masih kalah! Interlaken? Mainstream!

Bagi yang belum pernah mendengar Zermatt, pasti akan kenal kalau saya menyebut cokelat Toblerone. Gambar yang ada di kemasan cokelat sebetulnya adalah Gunung Matterhoorn di Zermatt, sementara gambar beruang di sampingnya adalah coat of army Bern, kota dimana produk tersebut berasal.

Saya juga mengerti mengapa host family saya memilih tempat ini sebagai rumah baru mereka karena Zermatt is a special place! Desa ini terletak di kaki Gunung Matterhoorn yang memang terkenal di kalangan beberapa turis untuk olahraga ski. Tempatnya suuuper bersih dan hampir tidak ada polusi. Bagaimana tidak, di desa ini penduduknya tidak boleh mempunyai mobil pribadi, kecuali para pemilik toko. Mobil yang ada pun berukuran kecil bermesin elektrik karena semua tempat sebetulnya bisa diakses dengan berjalan kaki ataupun sepeda.

FYI, dari kecil, saya memang fans berat Swiss gara-gara sering nonton iklan Alpenliebe. Jingle iklannya pun sampai sekarang masih terngiang di kepala saya. Bahkan sepenggal kata-katanya, ".... terciptalah.... dari Pegunungan Alpen..." dan gambaran Pegunungan Alpen berumput hijau serta sapi-sapinya yang menge-moo. Padahal permen Alpenliebe sendiri produknya Italia, lho! Mungkin Pegunungan Alpen yang waktu itu ada di iklan memang ada di Italia, ya. Saya memang datang kesini saat musim dingin, tapi gambaran Zermatt di musim semi yang gambarnya ditunjukkan host dad adalah wujud nyata imajinasi saya tentang Swiss selama ini.

Ngomong-ngomong, meskipun datang kesini bukan untuk ber-ski, tapi saya punya kesempatan langka naik cable car tertinggi di Eropa yang mencapai ketinggian 3883 meter di atas permukaan laut. Menariknya lagi, cable car ini berteknologi 3S dengan empat sisi kaca berlapis kristal Swarovski. Saya bisa melihat hamparan salju menyelimuti Pegunungan Alpen sampai 360°!

Anyway, kembali lagi, karena Swiss adalah negara mahal, pindah kesini pasti butuh persiapan finansial ekstra. Selain harus menjual 2 rumah di Norwegia, host family saya juga harus give up dengan semua pekerjaan yang mereka miliki di sini. Yang saya tahu, mereka juga sudah siap membangun bisnis properti baru yang akan dijalani di Zermatt. Again, kalau tidak punya banyak uang, mana mungkin berani berencana secara spontan seperti ini.

Apalagi keluarga angkat saya merasa pindahan kali ini hanya sebagai trial seberapa betah mereka dengan kehidupan baru. Lima tahun adalah waktu yang akan mereka coba. “Ya kalau tidak betah, kami bisa pindah lagi ke Norwegia dan beli rumah baru di Oslo,” kata host mom santai.

Ohh, kalimat pembuka saya di postingan ini sebetulnya sempat ditanyakan host mom secara basa-basi. Untungnya, saat itu mereka tahu kalau saya berencana kuliah lagi di Norwegia . Lagipula Swiss sudah menutup kemungkinan orang Asia bisa jadi au pair disana. Yang paling penting, I am fed up of being au pair!

If you may stay anywhere within the international, where could you stay?