Showing posts with label tinggal di luar negeri. Show all posts
Showing posts with label tinggal di luar negeri. Show all posts

Thursday, July 9, 2020

Tips 9 Hal yang Harus Dilakukan Saat Tinggal di Luar Negeri Agar Lebih Bermakna|Fashion Style

Berkesempatan tinggal di luar negeri memang bukanlah untuk semua orang. Baik itu untuk keperluan studi, pertukaran budaya, au pair, ataupun ikut keluarga. Orientasi selama hidup di luar negeri tentunya tidak hanya sebatas foto-foto lalu dipamerkan secara halus di media sosial. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan agar sekembalinya ke Indonesia, kita tidak merasa kehilangan momen penting selama hidup di negara orang.

1. Make friends and stay connected

Berteman dengan orang asing di negara asing memang tidaklah mudah, terlebih lagi kalau kita termasuk orang yang pemalu. Di Denmark sendiri, banyak para imigran dari negara tetangga yang juga merasa kesulitan berteman dengan orang lokal . Orang-orang dari Eropa Utara memang cenderung tidak terlalu terbuka dengan orang asing, terutama yang tidak bisa bahasa mereka. Tapi daripada mati kesepian, cobalah untuk tetap berteman dengan orang-orang yang bukan sebangsa kita. Orang-orang dari Asia, Eropa Timur, ataupun Amerika cukup sociable untuk didekati dan diajak bicara.

Cobalah untuk bergabung di akun Meetup yang akan menghubungkan kita dengan banyak orang di negara yang sedang kita tinggali. Kita juga bisa datang ke acara-acara seru yang cocok dengan minat. Dari acara ini, biasanya kita akan bertemu banyak orang dari negara-negara lain dengan minat yang sama. Saya juga mendapatkan beberapa teman baru (yang sekarang jadi teman dekat) karena sering datang ke beberapa acara yang ada di Meetup.

Memang tidak semua orang yang kita temui akan menjadi teman, tapi setidaknya kita sudah mencoba untuk bersosialisasi. Kalau memang bertemu dengan orang yang pas, jangan lupa untuk selalu stay connected karena siapa tahu kalian bisa jalan atau nongkrong lagi setelahnya. Sebisa mungkin batasi untuk selalu dan hanya ingin berteman dengan teman sebangsa. Selain kesannya menutup diri dari adaptasi di negara orang, kita juga akan kehilangan momen berharga untuk membentuk jaringan dengan teman internasional.

2. Eat like locals

Soal makanan, lidah saya juga termasuk yang sangat Indonesia sekali. Saya tidak bisa hidup tanpa makanan pedas dan segala bentuk rempah-rempahan. Jujur saja, saya pernah menangis karena benar-benar rindu makanan khas Palembang. Mau masak sendiri, malasnya tidak bisa ditawar. Sebalnya lagi, beberapa teman malah sering sekali mengirimkan foto-foto makanan Indonesia yang membuat saya ingin menampar muka mereka dengan kentang rebus. Hiks!

Awalnya saya juga sangat kesulitan menerima makanan yang hanya berasa lada hitam dan garam. Tapi lama-kelamaan, karena terlalu sering dicekoki, akhirnya sampai detik ini nyaman-nyaman saja. Mungkin karena saya tinggal dengan orang lokal, makanya selera makan saya pun terpaksa harus ikut berubah. Yang tadinya harus makan nasi tiga kali sehari, sekarang hanya dibatasi sehari sekali. Itupun bukan nasi, tapi bisa jadi mie, kentang, atau roti.

Walaupun sangat rindu makanan Indonesia, tapi saya tidak selalu menolak makanan lokal yang patut dicoba. Kapan lagi bisa mencicipi Smørrebrød favoritnya orang Denmark atau makan balletjes dan mashed potatoes khas orang Belgia sepuasnya dengan rasa yang otentik kalau bukan di negaranya langsung.

3. Pelajari bahasa dan budaya mereka

Mempelajari bahasa asing memang tidak mudah. Terlebih lagi kalau bahasa tersebut kurang menarik dan hanya sedikit orang yang menggunakannya di dunia ini. Untuk menguasai bahasa asing pun, beberapa orang membutuhkan waktu yang lama. Banyak yang mengatakan, tidak perlu belajar bahasa daerah setempat kalau hanya tinggal setahun dua tahun. Eiittss... Jangan berpikiran begitu dulu! Tidak ada yang sia-sia untuk urusan belajar. Lagipula, saya merasa orang-orang yang hanya berpikiran untuk selalu menggunakan bahasa Inggris adalah tipe-tipe pemalas dan arogan.

Bagi saya, mempelajari bahasa setempat merupakan proper manner kita sebagai pendatang. Tidak harus bisa cas cis cus, cukup dengan mempelajari bahasa dan fase dasar, membuat kita semakin menyatu dengan orang lokal. Berlatih untuk tidak menggunakan bahasa Inggris saat di kafe atau supermarket merupakan upaya awal. Yakinlah, orang lokal akan merasa sangat dihargai kalau orang asing mau belajar bahasa mereka.

Untuk urusan budaya pun, tetaplah bersikap open minded. Di negara-negara barat, pesta biasanya akan selalu dibarengi dengan alkohol. Kalau suatu kali ada teman yang mengundang datang dan nongkrong, jangan juga selalu ditolak. Tetap terima undangan mereka dan jujurlah kalau kita memang tidak minum alkohol. Sejujurnya, mereka sangat menghargai kejujuran kita dan sebisa mungkin menyuguhi minuman non-alkohol.

Saat tinggal di negara orang pun, biasanya kita akan menemui beberapa budaya yang menurut kita aneh, namun tidak untuk mereka. Daripada bersikap terlalu apatis dan seperti menjaga jarak, yakinkan diri untuk selalu menghargai budaya orang. Bagaimana perasaan kita kalau ada orang asing di Indonesia yang sama sekali cuek dengan budaya kita? Bukankah kita juga sebal dengan sikap mereka yang arogan? So, treat people like we want to be treated.

Four. Kenali negara tempat kamu tinggal

Sejujurnya, saya menyesal saat tidak mengenal Belgia dengan baik sewaktu tinggal disana. Saya hanya terpaku dengan Ghent dan Brussels saja, namun tidak ada kesempatan lebih untuk berkunjung ke daerah Selatan. Padahal daerah-daerah di Belgia Selatan kerennya bukan main.

Daripada sibuk memikirkan ingin ke negara ini, ke negara itu, keliling sana, keliling sini, masukan juga beberapa tempat oke di negara yang sedang kita tinggali. Saya yakin, kita pasti akan menemukan beberapa tempat eksotis yang jauh dari keriuhan turis. Kalau cuaca sedang bagus, jalan santai ataupun bersepeda ke sekitar daerah yang kita tempati demi menemukan spot-spot cantik tidak ada salahnya juga. Walaupun kata orang Denmark adalah negara membosankan dengan keterbatasan pemandangan alam, tapi saya tetap bertekad untuk mengunjungi beberapa tempat di utara kok.

5. Jangan kebanyakan atau terlalu pelit jalan-jalan

Saya yakin, saat di Indonesia, kita sudah mempunyai daftar tempat-tempat yang akan dikunjungi sebelum datang dan tinggal di negara orang. Apalagi benua Eropa, yang negara-negaranya berdekatan dan tidak butuh lama untuk lompat dari Swiss ke Kroasia. Tapi janganlah terlalu sibuk mencoret-coret daftar hanya gara-gara pasang target. Menurut saya, jalan-jalan memiliki esensinya masing-masing. Keseringan jalan-jalan tentunya membutuhkan banyak uang dan waktu.

Terlalu sedikit jalan-jalan karena sibuk menabung juga sebenarnya tidak baik. Ayolah, kapan lagi bisa ke Eropa dan melihat Berlin, Oslo, Talinn, lebih dekat? Eropa, dilihat dari peta pun, memiliki celah yang sangat jauh dari Indonesia. Tidak perlu mendatangi setiap negara walaupun kata orang must visit.

Kalau memang sedikit membatasi budget untuk jalan-jalan, coba datangi negara-negara "murah" yang memang must visit before you die ataupun cocok dengan sesuatu yang sedang kita minati. Contohnya, kalau memang suka pantai, negara-negara hangat seperti Yunani atau Spanyol super tepat untuk liburan berikutnya. Bagi penggila arsitektur, menabunglah demi ke Maroko atau Britania Raya untuk mengagumi keindahan interior dan bangunan di negara ini.

6. Lakukan kegiatan yang tidak bisa dilakukan di Indonesia

Mencoba hal-hal baru selama tinggal di luar negeri, tentunya bisa menambah pengalaman kita saat di negara orang. Kalau awalnya tidak sempat kepikiran untuk menonton ballet dan opera saat di Indonesia, cobalah untuk memesan tiket pentas saat berkunjung ke Vienna atau Budapest. Yang tadinya kita sangat sulit menggerakkan badan dan tidak suka menari, bergabung dengan klub salsa yang jauh dari minat, membuat kita merasakan hal seru saat berhasil menggoyangkan tubuh yang kaku.

Bagi yang suka kegiatan seni, membantu orang, dan ingin bergabung dengan beberapa acara seru, cobalah untuk berpartisipasi menjadi sukarelawan. Pekerjaan seperti sukarelawan ini memang terkenal di kalangan pelajar yang ada di negara barat. Jika punya kesempatan untuk kerja part time, kenapa tidak dicoba? Beberapa teman saya bercerita kalau mereka pernah menjadi bartender dan cleaner untuk beberapa waktu.

Kamu tipe anak muda pemalu yang tidak pernah keluar lewat dari jam 9 malam saat di Indonesia? Hentikan kebiasaan itu dan pergilah ke kota lepas jam 10 malam di hari Jumat. Rasakan atmosfir anak-anak muda yang akan menyambut akhir pekan mereka bersama teman di Jumat malam. Tidak mood ikut berpesta dan meneguk minuman keras? Di beberapa kota di luar negeri, masih banyak café bar yang buka hingga larut malam sambil menyuguhkan musik-musik live sebagai teman minum kopi.

7. Belajar dengan serius

Seriusan, belajarlah seserius orang-orang Eropa! Mereka benar-benar bisa membagi waktu antarahaving fun dan tetap belajar di akhir pekan sekali pun. Jangan karena sibuk travelling secara mudah kesana kemari, kita jadi lupa tujuan awal datang dan tinggal di negara orang. Bukan hanya belajar di kampus yang harus serius, tapi setiap hal baru yang sedang dipelajari memang harus dijadikan keseriusan. Apalagi untuk para penerima beasiswa yang usahanya sangat sulit untuk memenangkan hati para pemberi bantuan dana.

8. Berkencan (bagi yang jomblo)

Budaya berkencan di luar negeri memang berbeda dengan di Indonesia, baik itu di bagian Asia manapun, Amerika, maupun di Eropa. Daripada sibuk memikirkan nasib kejombloan kita, sementara teman-teman di Indonesia sudah mulai bertunangan, menikah, hingga punya anak, kenapa tidak coba berkencan dengan bule-bule lucu?

Tenang saja, berkencan disini sifatnya tidak harus pacaran kok. Minum-minum kopi santai atau nonton film terbaru sambil membahas topik seru biasanya akan membuat kita menilai beberapa karakter kaum adam dan hawa di beberapa negara. Cowok-cowok Asia terkenal lembut, masih penuh rasa gengsi yang tinggi, tapi cukup peduli membayari ini itu. Namun jangan kaget saat berkencan dengan cowok-cowok bule (terutama di bagian utara Eropa) yang tegas, sweet, tapi mendukung feminisme yang kadang membuat kita menilai mereka kurang maskulin.

Walaupun banyak cewek barat yang tidak terlalu menyukai kelembutan cowok Asia, tapi sempat juga beberapa kali saya menemukan pasangan cowok Asia dan cewek barat di Eropa. Bisa jadi kalau karakter si cowok ini sudah kebarat-baratan, ataupun memang si cewek yang suka dengan kelembutan cowok-cowok Asia. Cewek barat memang terkenal mandiri dan tidak terlalu suka dikekang. Tapi tenang saja, mereka juga cewek yang senang kalau dimengerti dan dimanja kok. Hihi..

9. Buatlah dokumentasi dan jurnal

Jangan terlalu kebanyakan motret sana-sini seperti turis. Tapi jangan juga pelit motret gara-gara takut dianggap narsis. Potretlah hal-hal seru untuk dijadikan dokumentasi selama kita di luar negeri. Kita akan sangat menyesal saat tahu belum sempat mengabadikan foto di Kastil Drakula waktu berkunjung ke Romania, atau kelupaan berfoto dengan beberapa teman sekelas saat mengikuti kursus masak di Italia. Momen seru seperti ini tentunya tidak terjadi setiap hari dan memang pantas diabadikan. Hanya saja, tidak perlu semua momen dipotret lalu harus dipamerkan sehalus mungkin di media sosial. Ada kalanya, momen yang ditangkap cukup jadi kenangan pribadi.

Kalau tidak malas, catatlah hal-hal penting yang tidak boleh dilupakan saat di luar negeri. Saya pribadi agak malas menulis seluruh catatan perjalanan ke dalam jurnal. Biasanya saya hanya mencatat ide-ide penting untuk dituliskan lagi di weblog. Selebihnya, foto-foto yang berhasil saya potret biasanya akan menggambarkan seribu kata tentang peristiwa yang terjadi saat itu.

Sunday, July 5, 2020

Tips 7 Pelajaran Fashion dari Gadis-gadis Eropa|Fashion Style

Dari sejak saya masuk SMP, ibu saya sudah mulai mengenalkan ke banyak majalah remaja seperti Gadis atau Kawanku yang isinya sebagian membahas tren fashion. Sungguh menyenangkan melihat gaya-gaya para model majalah yang menggunakan pakaian remaja khas tren anak muda zaman dulu, karena super inspiratif dan membuat saya belajar menemukan gaya saya sendiri. Dulu saya suka sekali memakai pakaianvintage atau model asimetris yang terkesan unik dan beda.

Setelah 10 tahun membaca majalah remaja Indonesia, saya sadar ternyata gaya-gaya yang ada di majalah kita lebih banyak dipengaruhi fashion Amerika. Dari yang tabrak motif sana sini, berani pakai warna terang, hingga make up bold. Belum lagi saat K-Pop mulai booming di Indonesia, banyak remaja ikut-ikutan fashion Korea yang lebih cute dan manis.

Hijrah ke Eropa dua tahun lalu, saya mulai meninggalkan kebiasaan membaca majalah fashion Amerika dan berhenti memperhatikan K-Pop. Saya begitu kagum ketika tahu orang-orang Eropa memiliki selera fashion yang berbeda dengan orang Amerika dan Asia. Bepergian ke banyak negara di Eropa juga membuka mata saya untuk melihat dan membandingkan gaya berpakaian gadis-gadis di Eropa Barat, Utara, Selatan, dan Timur. Bagi saya, gaya orang Eropa itu, simple yet elegant. Kalau pun ada yang nyeleneh, tetap terkesan edgy tanpa terlihat berlebihan.

Secara umum, orang-orang Eropa memiliki gaya fashion yang lebih elegan dan berkelas ketimbang Amerika. Saya sendiri lebih suka gaya orang Prancis dan Swedia dalam berpakaian karena mereka sukauniform dressing dan tetap bisa terlihat santai. Berikut pelajaran berbusana dari orang-orang Eropa yang membuat mereka menjadi bangsa paling well-dressed sedunia.

1. Cutting yang simpel dan pas

Untuk menampilkan kesan feminin, orang Eropa lebih suka memakai pakaian yang potongannya pas dengan tubuh. Tidak terlalu ketat hingga terkesan cheap, tapi tidak juga terlalu besar hingga membuat badan tenggelam. Kalau sedang jalan-jalan ke benua biru ini, coba saja masuk ke banyak toko baju yang memang berlabel asli Eropa. Baju-baju yang dijual terkesan simpel, namun tetap terlihat mahal dan elegan.

Tidak seperti gaya fashion Amerika yang cenderung ketat dan terlalu memamerkan keseksian tubuh, gadis-gadis Eropa justru sedikit konservatif soal pakaian. Bahkan saat musim panas pun, ketimbang memakai pakaian yang terlalu mini dan ketat, mereka memilih summer dress atau setelan dengan bahan yang nyaman. Saat musim dingin, tidak seperti kebanyakan orang Amerika yang terobsesi dengan oversized-thing, orang Eropa justru memilih sweater atau coat yang potongannya sesuai dengan ukuran tubuh mereka.

Sewaktu di Indonesia, saya tidak terlalu suka memakai pakaian terlalu simpel karena terkesan super sederhana dan biasa saja. Makanya kebanyakan pakaian saya dulu sedikit unik dengan potongan asimetris atau rumbai-rumbai. Padahal, di Eropa justru semakin simpel potongan pakaian, harganya juga semakin mahal. Quality matters.

2. Jika ragu, selalu pilih warna-warna herbal

Soal pemilihan warna, orang Eropa termasuk yang cukup membosankan hingga terlihat ambil aman. Berbeda dengan gaya-gaya orang Asia yang lebih menyukai warna terang dan pastel, orang Eropa sedikit berhati-hati terhadap warna pakaian mereka.

Orang-orang utara Eropa terkenal menyukai warna netral semisal hitam, putih,navy, atau beige. Di Italia atau Yunani, gadis-gadisnya cenderung lebih berani dengan pemilihan warna merah atau kuning. Sementara Republik Ceko atau Hungaria, terlihat lebih kasual yang tidak terlalu suka warna-warna terlalu terang.

Pemilihan warna sendiri sebenarnya juga tergantung dengan tempat dan musim. Di Indonesia, warna-warna gelap disimbolkan sebagai rasa duka. Sementara di Asia Timur, justru warna putih yang digunakan saat prosesi kematian. Warna-warna gelap juga tidak pas digunakan di negara tropis karena menyerap panas. Namun kebalikannya di utara Eropa, warna hitam adalah warna favorit hampir semua orang saat musim dingin.

Kalau suatu hari berkesempatan liburan atau tinggal di Eropa, bawalah pakaian atau aksesoris dari Indonesia dengan warna-warna netral. Orang Eropa suka motif, tapi itu pun mesti bernuansa monokrom dan tidak terlalu bold. Mereka tidak suka memakai pakaian yang tabrak warna atau motif dari atas sampai bawah karena terlalu menarik perhatian.

3. Skinny jeans is a must!

Meskipun tren celana harem sempat booming di Indonesia dan Amerika, tapi tidak di Eropa. Saya tidak pernah melihat gadis-gadis Eropa berjalan-jalan memakai celana ala Aladin. Ketimbang memakai mom jeans atau jogger, orang Eropa lebih nyaman menunjukkan kaki langsing dan jenjang mereka dengan skinny jeans.

Saat bosan memakai jeans, biasanya para gadis-gadis ini lebih memilih rok ataupun memakai stocking di musim dingin. Beberapa orang yang bosan memakai skinny jeans biasanya memilih celana panjang katun yang sedikit formal dengan potongan slim atau kulot di atas pergelangan kaki. Menurut pengakuan seorang kenalan, di Amerika boro-boro memakai skinny jeans setiap waktu, orang-orang sana malah tidak segan memakai piyama ataupun celana olahraga saat keluar rumah.

Four. Tetap modis di rumah

Berkesempatan tinggal dengan keluarga Eropa, membuat saya terkagum-kagum dengan gaya pakaian mereka di rumah. Saat akhir pekan dan tidak ada kegiatan apapun, keluarga asuh saya di Belgia tetap terlihat modis. Nele, host mom saya, selalu memakai jeans potongan cut bray lengkap dengan sepatu boot-nya di rumah. Sementara host dad saya, Koenrad, terlihat edgy dengan jeans marun atau hijaunya.

Di Denmark, saya tidak pernah melihat Louise memakai kaos walaupun di rumah. Louise selalu memakai blus feminin meskipun sedang mengasuh si kembar. Walaupun tidak berencana pergi kemanapun, Louise selalu mendandani anak-anaknya dengan pakaian kasual seperti jeans ataupun summer dress. Mereka tidak pernah berkeliaran rumah hanya dengan piyama ataupun daster ala kadarnya. Mereka selalu terlihat fresh, trendi, dan seperti siap pergi kemana pun tanpa harus mengganti baju.

Di Indonesia, saya bisa saja tidak mandi seharian sambil tetap memakai piyama. Tapi sejak tinggal di Eropa, meskipun hanya di rumah, saya jadi terbiasa memakai denims, blus, dan ballerina, lengkap dengan make up tipis dan parfum. Padahal di Indonesia, kalau saya berdandan seperti itu pasti akan ditanya ingin pergi kemana.

Five. Selalu pakai yang terbaik

Pernahkah kalian membeli pakaian, disimpan di lemari, lalu berharap pakaian tersebut bisa digunakan saat acara tertentu? Sampai acara tersebut tiba, pakaian baru biasanya hanya disimpan lalu kadang lupa digunakan.

Orang-orang Eropa selalu membeli pakaian yang cocok untuk acara apapun. Saya selalu memperhatikan Louise tampil modis ke kantor dari hanya memakai blus dan jeans, hingga elegan dengan dress hitamnya. Suatu kali, pernah juga saya berkunjung ke rumah seorang teman yang memang seorang Parisian dan tetap terlihat modis saat menyambut kami. Dia membalut t-shirt putihnya dengan kimono bermotif lucu ataupun tetap oke dengan setelan kemeja jeans dan rok mininya. Teman saya yang lain, Ieva, tidak hanya memakai dress mini saat pergi ke bar ataupun klub malam, tapi juga saat café date.

Orang-orang Eropa tidak pernah menyimpan pakaian terbaiknya hanya karena merasa belum pas digunakan di satu acara. Ketimbang menyimpan pakaian dan harus menunggu acara tertentu, mereka selalu mencari momen lain agar pakaian tersebut bisa dipakai. Mereka tidak ragu menggunakan dress berpotongan mini di siang hari, lalu dipadukan dengan cardigan dan stocking agar terlihat lebih "manis" dan kalem.

Saya yang tadinya hanya membeli dress karena ingin dipakai saat pesta saja, sekarang tidak terlalu peduli lagi soal kapan pesta tersebut tiba. Saya tetap memakai si dress meskipun hanya nongkrong di kafe. Saya juga tidak harus memakai kebaya saat kondangan, tapi tetap bisa modis memakainya sebagai pengganti cardigan.

6. Kualitas vs kuantitas

Saya kagum dengan ukuran lemari orang-orang Eropa yang tidak terlihat berlebihan. Berbeda dengan orang Amerika yang harus menyimpan sepatu mereka hingga three lemari, jumlah sepatu orang-orang Eropa bisa dihitung jumlahnya dan muat hanya dalam satu lemari.

Saya jadi ingat isi pakaian ibu saya di rumah yang disimpan hingga five lemari! Belum lagi lemari tas dan sepatunya yang sukses memenuhi kamar dan ruangan setrika. Awalnya saya tidak begitu peduli soal jumlah lemari dan koleksinya. Namun setelah tinggal di Eropa dan kembali ke Indonesia, saya sadar kalau kebiasaan menyimpan pakaian seperti ini sama saja buang-buang waktu dan uang. Belum lagi soal banyaknya barang yang harus dibenahi hingga membuat rumah sesak.

Bayangkan berapa lama waktu yang kita butuhkan tiap pagi hanya karena sibuk memilih-milih pakaian dan pernak-perniknya. Belum lagi saat kondangan, bongkar koleksi tas dan sepatu hanya untuk dipadu-padankan. Kalau sudah kebingungan begini, ujung-ujungnya tetap pakaian yang itu-itu saja yang digunakan.

Brian, host dad saya di Denmark, hanya membeli pakaian dengan kualitas terbaik dari merk ternama. Brian tidak pernah membeli dan menumpuk banyak pakaian hanya karena sedang diskon. Kalau kemejanya sudah kebanyakan, sebelum membeli yang baru, Brian selalu menyumbangkan pakaiannya terlebih dahulu.

Sama seperti istrinya, saya tidak mendapati Louise membeli banyak sepatu hanya sebagai koleksi. Jumlah sepatu Louise di lemari pun bisa dihitung dengan jari. Bukan karena tidak punya uang membeli banyak barang, justru sepatu-sepatu mereka dibeli dengan harga yang mahal demi mendapatkan kualitas terbaik.

Soal pakaian pun, Louise sama seperti suaminya. Sebelum membeli pakaian baru, Louise selalu membenahi isi lemarinya terlebih dahulu. Pakaian yang sudah tidak muat, sedikit longgar, ataupun tidak disukainya lagi, biasanya akan diberikan ke orang terdekat ataupun disumbangkan ke Red Cross.

Louise juga bukan tipe ibu-ibu rempong yang suka kredit tas kesana kemari dengan beragam warna. Daripada membeli banyak tas untuk dipadukan dengan banyak pakaian, Louise lebih suka menggunakanclutchmini berwarna hitam untuk acara kasual. Sementara saat kerja, dia membawa tas berukuran lebih besar berbahan kulit.

Bagi orang Asia dan Amerika, memakai pakaian yang sama terus-menerus bisa dianggap tidak modis, kurang pakaian, hingga seperti tidak punya uang membeli yang baru. Padahal bagi orang Eropa, tidak masalah memakai pakaian, tas, ataupun sepatu yang sama terus-menerus asalkan barang tersebut dibeli dengan kualitas terbaik (baca: no KW-KWan).

Cobalah tonton film-film Eropa asal Prancis seperti Amélie atau Call Me by Your Name yang mengambil setting-nya di Italia. Pakaian dan gaya yang digunakan pemerannya itu-itu saja setiap scene. Tidak seperti orang Amerika yang terkenal konsumtif dan membeli pakaian sesuai tren. Tonton saja kebanyakan film Hollywood yang para pemainnya selalu berganti gaya setiap adegan. Kesimpulannya, orang Eropa memiliki pakaian sedikit namun berkualitas tinggi, sementara orang Amerika kebalikannya.

7. Minim namun elegan

Saya tidak pernah bosan mengatakan kalau selera orang Eropa dalam berpakaian memang cenderung simpel dan elegan. Saat memilih pakaian yang mini, gadis-gadis Eropa tidak pernah memakai pakaian ketat dan seksi di jalan hanya untuk mendapatkan perhatian lawan jenis. Gaun-gaun mini berpotongan seksi biasanya hanya digunakan di klub malam dengan penerangan yang temaram dan membuat mereka lebih percaya diri.

Mereka juga tidak ingin dicap murahan hanya karena buka-bukaan dari atas sampai bawah. Kalaupun ingin menampilkan kesan seksi, mereka hanya menampilkannya di satu sisi. Kalau bagian atas sudah terlalu terbuka, mereka tetap terlihat seksi tanpa harus memamerkan kaki yang jenjang. Begitupun sebaliknya, saat ingin memamerkan kaki yang jenjang dan seksi, mereka lebih memilih atasan tertutup. Contohnya di klub malam, saya sering melihat gadis-gadis yang memilih pakaian dengan potongan dada rendah, namun membalut kaki mereka dengan stocking ataupun celana panjang.

Wednesday, June 24, 2020

Tips 5 Alasan Semua Orang Menanti Musim Panas|Fashion Style

Memasuki bulan Agustus, suhu musim panas di Eropa mulai sedikit bergeser menjadi hangat-hangat sejuk. Liburan ke Wina bulan lalu, saya mesti mengumpat dalam hati karena panasnya bisa sampai 34 derajat! Jujur, saya bukan penyuka musim panas meskipun sudah 20 tahun lebih tinggal di Indonesia.

Walaupun musim panas identik dengan rasa bahagia dan suka cita, tapi saya juga benci hal-hal klasik seperti keringat, para serangga yang mulai girang beterbangan, ataupun kulit yang mulai gosong. Tapi sejujurnya, musim panas juga membawa warna tersendiri dalam satu tahun. Inilah alasan mengapa warga empat musim tetap mencintai dan selalu menanti musim panas!

1. 2. 3. Matahari

Yesh! Alasannya adalah karena sinar matahari yang membawa rasa hangat dan siang hari yang panjang. Dalam satu tahun, warga empat musim harus menggerutu karena lebih dari 8 bulan mereka harus menutup diri dari jaket, mantel, dan segala pernak-perniknya yang sungguh ribet. Saat musim panas datang, inilah waktunya bersuka cita memamerkan bentuk tubuh, menggosongkan kulit, ataupun memakai baju neon yang hanya pas dengan spektrum matahari.

Karena siang hari yang lebih panjang, aktifitas warga empat musim pun menjadi aktif karena ditemani sang surya hingga tengah malam. Saat berkunjung ke Reykjav?Ok di musim panas, baru sekalinya itu saya menyaksikan matahari yang hanya menggantung di langit tanpa sepenuhnya terbenam. Matahari hanya membenamkan setengah diri jam 12 malam, lalu bersinar apik kembali jam 3 pagi.

Sayangnya, musim panas tahun ini di Eropa Utara sedikit mengecewakan karena terus-terusan diguyur hujan dan temperatur yang terbilang masih dingin. Suhu rata-rata siang hari 17-20 derajat, lalu turun drastis menjadi thirteen derajat di malam hari. Di Reykjav?Okay, suhu di tengah hari bolong bisa hanya 11 derajat, yang memaksa orang harus tetap memakai jaket tebal.

4. Libur panjang

Hari terbahagia para anak sekolah dan orang tua adalah saat musim panas. Libur sekolah biasanya dimulai dari akhir Juni hingga awal Agustus atau awal September. Kapan lagi bisa menikmati sinar matahari lebih lama, kalau bukan di musim ini. Makanya banyak juga perusahaan dan kantor yang sedikit "memaksa" karyawan mereka untuk mengambil cuti.

Sebalnya, karena bertepatan dengan libur panjang, banyak pantai dan tempat liburan jadi penuh sesak oleh turis. Sisi positifnya, banyak tempat-tempat seru seperti amusement park ataupun museum yang memang hanya dibuka saat suhu mulai bersahabat dengan kulit.

Five. Festival seru

Hari yang lebih panjang dan cuaca yang lebih hangat hanya bisa berarti satu hal: musim festival. Dibandingkan dengan ketiga musim lainnya, festival terseru dan terbanyak memang digelar saat musim panas. Dari open air cinema, konser musik, ataupun lomba olahraga yang bertemakan outdoor, hanya akan ditemui di bulan Juni hingga Agustus.

Tidak perlu juga merasa miserable dan gundah gulana karena tidak bisa liburan ke pantai, karena warga empat musim tahu kemana harus berlabuh saat akhir pekan datang; pergi ke salah satu festival musik seru bersama teman ataupun pacar, lalu meneguk bir dingin saat matahari terbenam.

BONUS!! It is a berry sweet season!

Stroberi, rasberi, bluberi, ceri, sampai huckleberry, they bring a load of happiness and colours in the summer!

Saturday, June 20, 2020

Tips 7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa|Fashion Style

Selain table manner, orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan.

Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola makan yang seimbang.

1. Mulailah dengan yang manis

Jangan bayangkan bubur ayam, nasi goreng, nasi uduk plus oseng tempe, ataupun mie kuah, ada di meja makan orang Eropa saat sarapan. Karena nyatanya, mereka tidak ada waktu membuat semua makanan itu di pagi hari.

Sarapan di Eropa termasuk mudah dan paling lama hanya 15 menit. Selain roti, sereal, ataupun yoghurt, banyak juga keluarga angkat saya yang menambahkan telur, sosis, atau salami di menu sarapan mereka. Di negara Nordik, para anak dan orang dewasa juga suka sekali menyantap oatmeal (atau mereka menyebutnya bubur) saat sarapan. Lucunya, sarapan di Eropa selalu dimulai dengan sesuatu yang manis-manis, seperti susu, kopi, teh, jus, cokelat, buah-buahan segar, ataupun selai buah.

Sewaktu jalan-jalan ke Italia, saya dan seorang teman mampir ke kedai kopi yang sudah buka jam 6 pagi. Betul saja, dibandingkan menemukan sandwich yang mengenyangkan, kami hanya melihat orang kanan kiri menyantap brioche atau roti manis ditemani secangkir espresso.

2. You can only be king once

Ada sebuah pepatah diet mengatakan, "breakfast like a king, lunch like a prince, and dine like a pauper." Di Eropa, prinsip ini justru malah kebalikannya. Orang Eropa cenderung makan sangat sedikit di pagi hari dan menyantap makanan berat saat malam.

Tidak seperti di Indonesia yang selalu menyajikan nasi panas dari pagi ke malam hari plus lauk berminyak nan mengenyangkan, orang Eropa 'hanya boleh' menyantap masakan hangat sekali dalam sehari. Bisa saat makan siang ataupun makan malam.

Kalau sarapan selalu dimulai dengan yang manis, siang hari menu diganti dengan makanan yang asin seperti sandwich ataupun salad. Malam hari, salah satu anggota keluarga biasanya masak dan menyiapkan sesuatu yang lebih berat seperti steak, nasi, pasta, burger, ataupun pizza.

Bagi orang Eropa, dinner menjadi sangat penting bagi tubuh mereka setelah lelah beraktifitas di luar. Makanya demi memanjakan si tubuh, makan malam biasanya dibuat lebih komplit dan berat ketimbang dua waktu lainnya. Hebatnya lagi, orang Eropa sudah terbiasa menyantap makanan fresh from the oven setiap hari meskipun harus repot memasak dulu. Ide tentang menyimpan makanan lalu besoknya dimakan kembali biasanya hanya bertahan selama satu hari, lalu sisanya dibuang.

3. Snacking is not so chic

Sejujurnya, saya jarang sekali menemukan orang yang suka ngemil di Eropa. Apalagi ngemil kue-kue manis ataupun chiki sambil nonton tv. But, of course, they do eat chips! Konsep ngemil ini pun biasanya hanya dijadikan disiplin saat hari kerja. Di akhir pekan, orang Eropa biasanya lebih relaxed memanjakan lidah dengan sesuatu yang manis seperti cokelat ataupun permen.

Ngemil pun sebenarnya dipandang tidak elegan oleh orang Prancis. Selain mengandung lemak dan kolesterol tinggi, tentu saja mereka sangat membatasi asupan snack yang dimakan untuk menjaga tubuh agar selalu tetap ramping dan sehat.

Orang tua Eropa juga sangat membatasi anaknya untuk tidak sembarangan makan snack di luar jam makan besar. Kuantitas ngemil harus dihitung agar anak tidak ketagihan. Kebiasaan mendisiplinkan anak seperti ini awalnya saya rasa terlalu "jahat" sampai harus membatasi apa yang anak ingin makan. Tapi lama-kelamaan, saya mengerti, kalau anak terus-terusan diberi makanan manis tanpa dikontrol, mereka akan sangat mudah obesitas dan manja ingin minta lagi dan lagi.

Dibandingkan ngemil keripik kentang, orang Eropa lebih suka mengunyah biskuit buah-buahan, muesli bar,ataupun kue beras. Kalau pun belum kenyang, mereka juga biasanya menyajikan dessert yang wajib ada setelah makan malam. Jenis dessert pun kebanyakan sehat, seperti yoghurt plus berries, sepotong kecil fruit cake, atau berbagai jenis keju berkualitas tinggi.

Lalu bayangkan di Indonesia, betapa gurih dan nikmatnya ngemil bakso saat hujan, pempek dengan cuko pedas-pedas, ataupun martabak manis penggugah selera. Uuups, belum kenyang, lanjut Nasi Padang!

4. Makanlah pada tempatnya

Saya akui, kedisplinan orang Eropa di meja makan harus diacungi jempol. Lapar tidak lapar, kalau waktunya memang sedang makan bersama, semua anggota keluarga wajib berkumpul di meja. Tradisi seperti ini hebatnya bisa saya rasakan setiap hari sewaktu tinggal di Belgia.

Di Indonesia, momen makan bersama keluarga sangat sulit saya dapatkan kecuali di bulan Ramadhan. Saat buka puasa pun, kadang beberapa anggota keluarga ada yang sengaja memisahkan diri agar bisa nonton television. Padahal makan bersama seperti ini adalah waktu yang paling tepat bertukar cerita dengan anggota keluarga hingga menguatkan rasa kebersamaan.

Satu lagi yang menarik soal betapa hebatnya fungsi meja makan. Para anak-anak balita di Eropa dibiasakan sudah mandiri di meja makan mereka sendiri tanpa harus dipangku orang tua. Saat usia mulai satu bulan, parahost kids saya sudah 'ikut makan' bersama keluarga di meja. Menginjak satu tahun, kursi khusus pun dipersiapkan di samping kursi orang tuanya. Lalu di usia 2 tahun, saya sudah bebas tugas membantu menyuapi anak-anak ini, karena nyatanya mereka sudah bisa makan sendiri.

5. No phone allowed

Jujur saja, saya sangat benci melihat ada ponsel di meja makan. Meskipun sedang makan sendiri di restoran , saya berusaha terlihat acuh dengan keberadaan ponsel tanpa takut mati gaya.

Orang Eropa sangat menikmati waktu kebersamaan di meja makan hingga bisa saja mengobrol begitu lamanya. Keberadaan ponsel memang tidak jauh dari mereka tapi selalu absen saat makan malam. Sangat tidak sopan sibuk dengan ponsel masing-masing ketika semua anggota keluarga sedang menyantap hidangan.

Kembali ke Indonesia, entah kenapa, saya selalu melihat meja makan orang di restoran dipenuhi dengan ponsel. Belum lagi ide mencuri WiFi gratisan yang alih-alihnya dipakai untuk upload foto sebelum atau setelah makan. Puncak asiknya adalah saat selesai makan, lalu semua orang seperti terburu-buru mengeluarkan ponsel dan sibuk melihat apa yang terjadi di sosial media.

Satu kali, host mom saya di Denmark, pernah mengangkat telpon dari seseorang di jam makan malam. Mungkin karena keasikkan, si ibu sampai tidak terlalu memperhatikan anak kembarnya yang memang sedang sakit lalu muntah-muntah. Bukannya langsung sigap dengan si kembar, si ibu masih asik saja mengobrol dengan orang di seberang telpon.

Host dad saya akhirnya langsung sigap mengangkat si kembar dari kursi dan marah-marah ke si istri karena bisa-bisanya masih sibuk dengan hal lain. Sehabis dari kejadian itu, saya tidak pernah lagi melihat si ibu memegang ponsel ketika jam makan malam.

6. Rumput tetangga memang lebih hijau

Pertama kali ke Denmark dan ikut masak dengan host dad, saya sebenarnya heran sekaligus bosan selalu kebagian tugas memotong sayuran segar untuk dibuat salad. Tidak hanya sekali dua kali, tapi setiap hari! Sampai-sampai saya pernah menyindir mereka, "you always eat salad."

Si bapak yang memang lebih cerewet, bertanya kepada saya jenis sayuran apa saja yang biasa orang makan di Indonesia. "We never eat raw veggies, only the overcooked ones," kata saya.

Semakin lama tinggal dengan mereka dan ikut komunitas vegan, akhirnya saya paham bahwa orang Eropa memang tidak pernah lepas dari sayuran segar sebagai pelengkap makan. Dibandingkan dengan sayuran layu yang ada pada menu makanan orang Indonesia, orang Eropa lebih banyak mendapatkan vitamin dari sayuran mentah sebagai salad. Ibarat sambal bagi orang Indonesia, kehadiran sayuran di tiap menu makanan menjadi hal wajib bagi orang Eropa.

Di Belgia, host kids saya termasuk yang sangat pilih-pilih makanan dan sayuran. Jenis sayuran pun hanya terbatas ke kembang kol, wortel, ataupun brokoli yang di-steam. Sementara di Denmark, host mom saya sudah membiasakan anak-anaknya diberi wortel, kacang polong rebus, ataupun jagung sejak usia 2 tahun. Meskipun tak semua anak mau makan sayuran, tapi semua orang tua mereka percaya bahwa menghadirkan sayuran di piring sejak dini bisa perlahan menumbuhkan awareness mereka saat beranjak besar.

7. Always obey the rules!

Selain kebiasaan makan di atas, saya juga sangat menyukai pelajaran table manner sederhana yang saya lihat dari keluarga Eropa. Contohnya dengan mengajarkan anak memegang pisau di sebelah kiri dan garpu di sebelah kanan. Saya kesulitan makan dengan tangan kiri, akhirnya jadi terbiasa memegang garpu di sebelah kanan.

Para anggota keluarga pun dilarang meninggalkan meja makan duluan jika anggota keluarga lainnya masih ada yang makan, kecuali sedang ada hal penting yang harus segera dilakukan. Anak-anak yang rewel dan tidak ingin makan di meja, selalu didisiplinkan terlebih dahulu untuk bersikap well-mannered di meja makan.

Saat ada pesta besar pun, makanan yang sudah disajikan di atas meja sepatutnya dihabiskan agar tidak mubazir. Jadi bagi yang masih lapar, sungguh dipersilakan kembali mengisi piring mereka dengan makanan yang masih ada. Tenang saja, tidak akan ada yang menyindir berapa kalori yang sudah dimakan. Jadi, tidak perlu malu jika ingin menambah.

Karena begitu tegasnya pelajaran tentang kedisplinan dan kebersamaan ini lah, makanya kebiasaan makan ini tetap kuat di segala generasi. Seorang teman saya, Michi , wajib sekali makan tiga kali—tapi tidak lebih—sehari karena memang seperti itulah normalnya bagi dia. Bunny , cowok Denmark yang saya kenal, meskipun bangun tidur jam 5 sore, dia tetap memulai hari dengan makanoatmeal layaknya di pagi hari.

Jadi, kalau kita mengatakan bahwa orang Eropa cenderung individualis dan tidak terlalu family minded, sebenarnya salah juga. Orang Eropa justru sangat relaxedhingga betah berlama-lama mengobrol sekalian menikmati momen kebersamaan. Tidak hanya diajarkan untuk menikmati makanan, ada juga ungkapan-ungkapan dalam bahasa lain, contohnya Denmark, seperti "Tak for mad (terima kasih atas makanan yang sudah dibuat)" yang diucapkan setelah makan untuk menghargai jasa si pembuat makanan.

Wednesday, June 17, 2020

Tips Hijrah ke Luar Negeri Itu Melelahkan|Fashion Style

Muncul perasaan sedih, haru, namun bercampur bahagia ketika pesawat Thai Airways yang saya tumpangi mendarat di Bandara Oslo-Gardermoen. Bahagia karena akhirnya perjalanan panjang nan melelahkan selesai juga. Haru karena bisa mendapat kesempatan kembali lagi ke Eropa. Tapi juga sedih karena lagi-lagi meninggalkan keluarga dan teman-teman terdekat di Indonesia.

Ini kali ketiganya saya pindah dan tinggal di Eropa. Setelah drama visa Norwegia dan paspor yang cukup menyita waktu, tenaga, dan biaya, akhirnya semua terbayarkan karena bisa mendapatkan izin tinggal selama 2 tahun di negara terbahagia di dunia ini (2017).

Dalam waktu three tahun terakhir, saya bersyukur bisa mendapat kesempatan tinggal di 3 negara Eropa plus jalan-jalan ke banyak tempat. Tapi dalam waktu 3 tahun juga, saya sudah 5 kali mengepak barang untuk pindah dan pulang. Kalau ada yang mengatakan saya beruntung, tentu saya harus lebih banyak bersyukur.

Namun kalau ada yang bertanya lebih jauh tentang perasaan saya, sejujurnya saya depresi. Moving abroad is stressful and tiring! Jangankan pindah negara, bayangkan saja kalian harus pindah sekolah selama 3 kali dalam kurun waktu 3 tahun. It's no fun anymore, isn't it?

Oke, tidak hanya saya au pair yang pindah ke banyak negara dalam waktu beberapa tahun. Banyak juga teman au pair yang selesai di Belanda, lalu pindah ke Belgia, tanpa pulang dulu ke Indonesia. Culture clash pasti ada, meskipun kedua negara tersebut sama-sama di Eropa. Tapi coba saja jika harus bolak-balik pindahan dulu dari Indonesia, the culture never stops shocking me!

Mengapa?

1. Belajar bahasa dan budaya baru lagi

Learning language is tough and needs a strong commitment. Saya tahu bahwa belajar bahasa apapun memang tidak akan pernah sia-sia. Tapi bagaimana kalau pembelajaran yang sedang ditekuni terpaksa terhenti hanya karena harus pulang?

Bisa dikatakan, sampai sekarang level bahasa saya nanggung, alias masih disitu-situ aja. Sempat belajar bahasa Prancis, tapi hanya baby talk atau frase paling dasar saja. Belajar bahasa Belanda, eh tahunya malah sedikit terpakai karena di rumah kebanyakan pakai bahasa Inggris.

Sampai di Denmark, belajar bahasa baru lagi. Saat saya sedang serius menekuni bahasa tersebut, akhirnya saya mesti puas saja stop di Modul 4 karena memang sudah habis kontrak dan harus pulang ke Indonesia.

Pindah lagi ke Norwegia, mesti ulang belajar bahasa baru karena memang perlu.Then, it starts again from the basic!Walaupun bahasa Denmark dan Norwegia sedikit mirip, tapi aksen dan pengucapannya super beda.

Banyak belajar, tapi skill nanggung. That's me.

2. Cari teman baru lagi

Mencari teman di Skandinavia lebih sulit ketimbang mencari teman di Eropa Barat. Contohnya, orang-orang Belgia cenderung lebih suka basa-basi dan terbuka ketimbang para penduduk Skandinavia. Teman asli Belgia saya memang tidak banyak, namun setidaknya mereka lebih mudah diajak ngobrol saat baru pertama kenal.

Tinggal dua tahun di Denmark, saya sudah cukup banyak berkenalan dengan orang baru dan akhirnya bisa dijadikan teman nongkrong saat akhir pekan. Mencari para teman ini pun tidak mudah. Saya harus aktif di banyak acara, volunteering, ikut meet up, ataupun sekedar memenuhi undangan dari kenalan lainnya dulu.

Bertemu dengan orang baru pun tidak secepatnya langsung menjadikan mereka teman. Ada banyak pengalaman yang membuat saya harus datang ke acara, haha hehe dengan orang baru, lalu pulangnya tetap sendiri tanpa menyambung silaturahim dengan mereka. Yah namanya juga cocok-cocokkan.

Lalu setelah mendapat teman yang nyaman di Denmark dan Belgia, saya harus kembali memulai frase mencari teman di Norwegia yang pastinya butuh waktu. Kadang, pindah-pindah tempat tinggal bukannya menambah teman, namun kehilangan yang sudah ada.

3. Keliling dan mengenal daerah baru lagi

Entah kenapa, setibanya di Oslo, akhir pekan saya berjalan sangat datar. Berbeda saat baru tiba di Brussels dan Kopenhagen, keinginan untuk menjelajah tempat baru rasanya begitu membuncah. Sepanjang jalan mengitari kota selalu membawa perasaan bahagia dan penasaran. Ada apa lagi ya di sudut sana? Kafe mana lagi ya yang oke untuk nongkrong? Tempat pemberhentian selanjutnya diman aya? Daftar kunjungan yang wajib saya datangi rasanya sudah panjang.

Akhir pekan lalu, saya hanya jalan-jalan 10 menit di kota lalu pulang. Everything still looks the same as two years back I was here. Nothing new.

Oslo memang tidak terlalu berbeda dengan banyak ibukota di Eropa. Turis, museum, kafe, bar, tempat selfie, dan salju. Oslo juga sebenarnya tidak baru, karena saya pernah important ke kota ini. Lama-lama main di sentral, eh kok, bosan juga ya?

4. Mempelajari sistem kependudukan dan transportasi publik lagi

Tiba di Oslo, tidak membuat saya serta merta langsung menjadi bagian penduduk Norwegia. Ada banyak sekali hal yang harus lakukan agar bisa mendapatkan hak yang sama dengan penduduk lokal.

Sebelum pindah ke tempat baru, biasanya saya lakukan riset mini dulu sebagai bahan perkenalan dengan negara yang akan saya tempati. Dari cara membeli tiket kereta, diskon untuk anak muda, kartu telepon, buka akun bank, hingga pajak, biasanya saya pelajari satu-satu. Hal ini rutin saya lakukan agar tidak kaget dan setidaknya mengerti sedikit tentang sistem di negara yang akan saya tempati.

Menjadi orang baru lagi tidak gampang. Kita harus dituntut untuk lebih banyak tahu dan belajar, bukan hanya having fun.

5. Berkencan dengan cowok baru lagi

Bagi yang masih jomblo, pindah ke negara baru bisa berarti tantangan baru. Cowok Belgia tentu saja berbeda dengan cowok Denmark. Pun begitu dengan cowok Norwegia yang katanya sangat suka alam dan kegiatan luar ruangan.

Tidak hanya cari teman baru yang melelahkan, namun juga berkencan . Saya yang bukan ekspert, tapi mantan serial dater ini, rasanya terlalu malas jika harus berkenalan dan berkencan dengan banyak cowok baru lagi.

Girls, modern dating is so overwhelming. Kamu kenalan lewat online, ketemuan, baper, berharap lebih, eh lalu si bule menghilang. Begitu saja terus sampai lelah atau akhirnya menemukan yang terbaik. Anyway, it always takes time to find the right one. But, I give up already.

Kata orang, sesuatu yang baru itu terlihat lebih menarik dan menyenangkan. Tapi entah mengapa, pindahan kali ini justru membuat saya sedikit menutup diri dan malas-malasan. Saat saya curhat hal ini ke adik, saya dibuat jleb dengan komentar singkat dia, "who've decided?"

Iya. Ini yang sudah saya putuskan. Inilah resiko yang harus saya hadapi ketika mulai nyaman di satu tempat, lalu harus pindah lagi ke tempat baru.

It's just started. It's only the beginning. Daripada saya mengeluh terus, lebih baik tetap berpikiran positif bahwa akan selalu ada kejutan menarik di setiap tempat yang pernah saya tinggali. Oslo might be boring, but my life could not be!

Yes. Welcome to Norway!

Tuesday, June 16, 2020

Tips Teman Internasional vs Teman Indonesia|Fashion Style

Hidup di luar negeri untuk sekolah atau bekerja adalah tantangan yang membuat kita harus berpikir realistis. Tidak semua orang lokal di negara tujuan akan bersikap ramah dan bersahabat. Pun begitu di Indonesia, banyak orang yang emosional dan acuh tak acuh. But that's cool too.

Tapi daripada menutup diri, boleh-boleh saja bertemu orang baru sekedar untuk menonton sport event ataupun minum-minum bersama di bar. Tidak semua orang yang kita temui harus dijadikan teman. Saya mengerti betapa sulitnya mencari teman baik di negeri orang. Bukan hanya dengan penduduk lokal, tapi juga orang Indonesia. Yah, namanya juga cocok-cocokkan.

Tiga tahun tinggal di Eropa, saya merasa bangga karena berhasil meninggalkan zona nyaman, memaksa diri keluar dan bergaul dengan orang baru. Saya sadar, saya seorang au pair yang lingkup kerja dan sosialnya sangat terbatas. Tidak mudah datang sendirian ke kafe, bioskop, acara potluck, ataupun restoran, demi interaksi dengan orang lain. Dibutuhkan rasa berani dan percaya diri yang tinggi.But, I did it!

Sering bertemu orang dengan latar belakang yang berbeda, saya bisa sedikit menggambarkan perbedaan karakteristik si teman Indonesia dan teman internasional yang akan kita temui di luar negeri.

Teman Indonesia

PROS.

1. Yang pasti soal komunikasi. Karena satu bahasa, obrolan terasa lebih lugas dan lancar tanpa peduli orang kanan kiri mengerti apa yang sedang kita bicarakan.

2. Feels like home. Mulai dari sering menginap bareng, masak makanan Indonesia, hingga saling lempar joke receh pun membuat kita merasa tidak sendiri di negeri orang.

Three. Satu keluarga. Karena sama-sama anak rantau, biasanya kita lebih menganggap si teman seperti keluarga sendiri. Ya curhat dengan mereka, ya mengadu sakit dengan mereka, ya kadang sampai pinjam duit pun dengan mereka.

4. Lebih humble karena satu nasib. Mereka tidak segan berbagi informasi dan membantu dalam banyak hal.

CONS.

1. Terkurung di zona nyaman karena merasa sudah cukup bersosialisasi dengan geng Indonesia, lalu malas berkenalan dengan orang asing lainnya.

2. Banyak drama. Yes, it is true. Jangan keseringan berkumpul dengan orang Indonesia di luar negeri. Meskipun tidak semua, tapi orang Indonesia di luar negeri tetap masih suka bergosip, iri hati, rebutan cowok, sampai menjatuhkan orang, lho!

3. Level bahasa kita mandet. Kembali ke fakta nomor satu, karena pergaulan hanya sebatas orang Indonesia saja, level bahasa lokal jadi tidak berkembang. Sudah malas bersosialisasi, malas pula belajar bahasa baru.

4. Kebanyakan omongan tentang lelaki. Yes, ini juga salah satu alasan saya kadang malas bergaul dengan cewek Indonesia di Eropa. Mereka kebanyakan curhat soal cowok! Chill, girls! Saya juga suka obrolan tentang cowok, tapi plis, jangan merasa yang paling laku di Eropa. Plus, jangan terlalu terbawa perasaan. After all, European guys ARE just guys! Tidak perlu dipamerkan apalagi sampai merasa yang paling beruntung.

Teman Internasional (Bule)

PROS.

1. Jaringan sosial kita meluas karena biasanya akan berkenalan dengan orang-orang first rate kece yang spesialisasinya berbeda dengan minat kita.

2. Obrolan terkesan lebih serius dengan pembahasan seputar isu worldwide ataupun sains. Orang-orang Barat cenderung lebih suka meneliti sesuatu dan berpikir mendalam tentang suatu masalah.

3. Lebih adventurous. Mulai dari mencoba minuman beralkohol tinggi, berenang di laut lepas saat musim dingin, hingga suka olahraga yang memacu adrenalin, membuat kita akan merasakan pengalaman yang serupa kalau dekat dengan teman seperti ini.

4. Mind their business. Mereka tidak akan tanya bagaimana cara kita beribadah, penghasilan kita berapa, atau kapan nikah.That's totally beyond their line. Tidak ada yang akan kepo dengan urusan pribadi kita.

CONS.

1. Perbedaan humor. Kadang saya tidak paham dengan selera humor para bule yang sedikit vulgar.

2. Pengambilan sudut pandang yang tidak pas dengan norma yang kita anut di Indonesia. Tanpa bermaksud etnosentris, hanya saja bergaul dengan bule yang free minded cenderung membuat beberapa orang Indonesia tidak nyaman. Ide untuk living together masih mengarah ke kepuasan seks semata bagi orang Indonesia, sementara untuk bule, hal tersebut lumrah tanpa harus terikat dengan janji pernikahan.

3. Straight forward. Mereka jujur, apa adanya, malas membual, dan membuat kita merasa mereka terlalu lancang. But, that's how they are. Bukannya tidak memikirkan perasaan kita sebelum bicara, hanya saja, mereka terlatih untuk terus terang tanpa kebanyakan basa-basi. Bagi orang Indonesia yang tidak terbiasa dengan karakter seperti ini, akan sering sakit hati.

4. Snobby! Serius, banyak bule yang otaknya juga sempit dan merasa paling super power!

Teman Internasional (Asia)

PROS.

1. Meskipun punya bahasa yang berbeda, saya merasa kalau selera humor dan pola pikir orang Asia itu hampir mirip. Beberapa hal yang kadang bule pikir itu offensive, justru terlihat lucu oleh orang Asia.

2. Suka mengobrol dan cerita. Teman Asia yang saya temui di Eropa biasanya terbuka dan tidak malu curhat tentang kehidupan pribadi mereka. Meskipun bahasa Inggris teman-teman ini kadang tidak terlalu lancar, tapi mereka berusaha menjelaskan dengan sangat mendetail dan rinci.

3. Rasa empati yang sama. Karena berasal dari tempat yang kulturnya hampir mirip, banyak orang Asia yang saya temui di Eropa lebih hangat dan sering tersenyum ramah. Mereka kadang tidak segan menawarkan bantuan, mengantar saya pulang kursus, hingga mentraktir makan.

4. Makan enak. Saya sering diundang datang ke acara makan-makan teman Filipina, Thailand, ataupun India. Kalau bosan mencicipi makanan khas Eropa, datang ke acara teman-teman ini bisa mengobati rasa rindu kita ke makanan Asia.

CONS.

1. The outsiders. Yes, after all, we are different. Pernah satu kali, saya datang ke farewell party au pair Filipina. Saat itu orang Indonesia yang tersisa tinggal saya saja. Duh, sepanjang acara si geng Filipina ini hanya stick to their own language. It's so depressing!

2. Pasif. Tipikal Asia sekali, kurang bisa berekspresi dan terlalu kalem. They're always behind the scene yang kadang selalu siap di-bully.

3. Susah diajak jalan. Kebanyakan orang Asia yang tinggal di Eropa biasanya pelajar atau sudah berkeluarga. Kedua tipe orang ini sama-sama susah diajak jalan entah karena sibuk kerja, sibuk belajar, atau mengurus anak. Sebenarnya banyak juga pelajar Asia yang suka party dan kerjanya hang out terus. But trust me, kalau lingkup sosial kalian sangat terbatas, kebanyakan orang Asia yang dikenal, kalau tidak au pair, ya teman sekolah yang kebanyakan sudah menikah.

4. Terlalu narsis dan kadang norak. Agree or disagree, level norak orang Asia kalau di Eropa hampir sama! Suka foto-foto, show off salju atau kegiatan lagi travelling, plus berasa jadi Instagram star yang mesti eksis setiap saat.

Sebenarnya, ingin berteman dengan yang satu negara atau beda negara kembali lagi ke kecocokkan masing-masing. Ada beberapa orang Indonesia yang lebih nyaman berteman dengan bukan yang sebangsanya. Ada yang lagi yang kurang bisa bersosialisasi hingga stuck dengan lingkup orang Indonesia saja. Well, preference matters.

Tapi selagi masih muda dan punya kesempatan bertemu dengan banyak orang baru yang umur dan latar belakangnya berbeda, ambil peluang tersebut untuk membangun network. Bertemanlah dengan siapa saja. Tidak dapat teman, ambil saja pengalaman dan ilmu baru yang bisa kita dapatkan dari mereka.

Kalian sendiri bagaimana, kira-kira lebih nyaman berteman dengan orang luar atau Indonesia saja?

Monday, June 15, 2020

Tips Minggu-minggu Awal Tinggal di Norwegia|Fashion Style

Akhir musim dingin menyambut saya saat baru tiba di Oslo. Lagi-lagi, saya harus menjadi penduduk sementara di Norwegia selama dua tahun ke depan. Sama halnya seperti minggu-minggu awal di Denmark dan Belgia , kali ini saya pun harus bolak-balik banyak tempat hanya untuk membuat status kependudukan saya diakui oleh negara.

Kalau sudah diakui, saya pun otomatis akan mendapatkan hak yang sama dengan penduduk asli, contohnya perawatan gratis dari rumah sakit. Tapi sebelum mendapatkan banyak kemudahan dan keuntungan dari Norwegia, the first few weeks would be so tiring and long!

1. Pengambilan facts biometrik di kantor polisi

Sesampainya di Norwegia, dalam 7 hari ke depan kita diwajibkan datang ke kantor polisi terdekat. Hal ini bertujuan untuk pengambilan data biometrik seperti sidik jari, tanda tangan, dan foto diri, yang akan digunakan pada residence permit atau kartu identitas.

Perlu dicatat bahwa sebelum datang ke kantor polisi, wajib buat janji temu dulu! Masuk ke portal UDI, sign in dengan username dan kata sandi yang kita pakai saat submit aplikasi visa. Lalu klik menu 'Booking Appointment'.

Kantor polisi biasanya sangat sibuk dan kadang fully booked hingga kita harus menunggu lama. Saran saya, saat visa sudah granted dan tahu kapan akan tiba di Norwegia, sesegera mungkin buat janji temu lewat UDI. Lebih cepat lebih baik karena tanpa kartu identitas ini, memulai proses selanjutnya akan lebih lama.

Datanglah ke kantor polisi tepat waktu. Pengambilan biometrik sendiri sebenarnya hanya sekitar 5-10 menit saja. Kalau semua oke, residence permit atau ID card akan dikirimkan ke alamat rumah setelah10 hari kerja.

PENTING!!!!

Sebelum si kartu dikirimkan ke rumah, ada baiknya minta host family menempelkan nama kita di kotak pos. Tukang pos di Norwegia tidak akan menaruh surat yang tidak tertera nama kita di kotak pos orang lain.

Kasus saya, si kartu benar-benar tidak sampai ke rumah malah dikembalikan lagi kantor polisi. Saya sudah menunggu selama three minggu hingga akhirnya menghubungi pihak UDI. Kata mereka, saya harus menghubungi kantor polisi di tempat saya mengambil statistics biometrik.

Betul saja, kartu saya ternyata dikembalikan lagi ke kantor polisi tersebut dan saya harus datang mengambil kartunya sendiri. Di Oslo, loket pengambilan kartu dibuka hanya Selasa jam 1-2 siang dan Kamis jam 10-eleven pagi.

2. Tes TBC

Karena Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat kerentanan TBC sangat tinggi, semua penduduk yang datang langsung dari Indonesia wajib tes TBC terlebih dahulu. Tenang saja, tes ini hanya formalitas yang diwajibkan oleh pemerintah Norwegia untuk melindungi warga negaranya dari virus TBC bawaan pendatang.

Setelah pengambilan facts biometrik di kantor polisi, kita akan diberikan kertas yang melampirkan daftar klinik terdekat dari tempat tinggal. Beberapa klinik mewajibkan membuat janji temu terlebih dahulu, tapi banyak juga yang boleh langsung datang di jam-jam tertentu. Jangan lupa bawa paspor sebagai identitas diri!

Saya waktu itu ke klinik di Frogner yang ternyata datang untuk mengambil surat rujukan saja. Surat rujukan dan paspor harus dibawa kembali ke Ullevaal University Hospital di Oslo untuk mendapatkan tes. Sebelum ke rumah sakit, saya hubungi pihak RS dan bikin janji temu lagi.

Tes TBC ini gratis dan hanya memerlukan waktu 30 menit untuk pengambilan darah dan rontgen. Hasil tes baru bisa diketahuisekitar satu minggu kemudian. Hasil tes katanya tidak akan dikirimkan ke rumah, tapi bisa diketahui via telepon dengan pihak rumah sakit. Meskipun katanya tidak akan dikirim, tapi sekitar 4 minggu kemudian, saya tetap menerima surat dari rumah sakit tentang hasil tes saya yang semuanya normal.

Ngomong-ngomong, seperti yang saya katakan di atas, tes ini hanya formalitas saja. Hasil tes tidak akan mempengaruhi keputusan UDI dan polisi untuk mengeluarkan izin tinggal kita. Plus, kita juga tidak perlu melaporkan kembali ke UDI tentang hasil tes ini. Kalaupun hasil tes positif dan kita dinyatakan mengidap TBC, pihak rumah sakit akan memberikan perawatan lebih lanjut setiap satu  atau enam bulan sekali.

3. Lapor diri ke kantor pajak

Kalau kartu identitas warna pink sudah di tangan, secepat mungkin langsung datang ke Skattetaten (The Norwegian Tax Administration) untuk mendapatkan personal number atau Norwegian National Registry number yang berguna untuk membuka akun bank. Kita bisa datang langsung ke Skattetaten dan mengisi formulir 'Pindah ke Oslo'  yang sudah disediakan di tempat, atau bisa juga mem buat janji temuterlebih dahulu dan membawa formulir yang sudah dicetak dan diisi dari rumah.

Sila ambil nomor antrian dan tunggu sampai nomor kita dipanggil di loket. Bagi yang sudah membuat janji temu, nomor antrian kita akan dipanggil lebih cepat sesuai pilihan waktu yang kita sepakati. Dokumen yang dibawa ke loket hanya paspor, kartu identitas warna pink, dan formulir notifikasi 'Pindah ke Oslo'.

Normalnya, surat yang berisi personal number akan dikirimkan ke rumah 4-6 minggu kemudian. Fødselsnummer atau personal number yang tertera di surat notifikasi kita gunakan saat mendaftarkan diri kembali ke Skattetaten untuk mendapatkan rincian 'kartu pajak' yang harus dibayar setiap bulannya.

If you get onto this step, you are almost done. Setidaknya, berbahagialah!

4. Buka akun bank

Di Norwegia, uang tunai sangatlah langka, sensitif, dan sedikit sekali orang yang menggunakannya untuk pembayaran. Hampir semua toko dan alat pembayaran menggunakan kartu debit atau kartu kredit. Membeli tiket transportasi pun lebih mudah jika kita memiliki akun bank dan langsung bayar thru online.

Bad side-nya, sebagai au pair baru yang belum memiliki akun bank, mau tidak mau uang bulanan kita akan diberi berbentuk cashwhich is so annoying of handling the change. Makanya setelah mendapatkan personal number atau fødselsnummer, segera buka akun bank karena faktanya, proses di bank juga termasuk super lama. Apalagi kabarnya pihak bank Norwegia sering memperlambat proses buka akun bagi pendatang internasional.

Ada dua pilihan untuk membuka akun financial institution di Norwegia; daftar on-line through BankID atau datang langsung ke salah satu cabang bank yang kita pilih.

BankID adalah token yang bisa digunakan untuk membuka akun bank mana saja di Norwegia. Untuk mendapatkan BankID ini, kita harus masuk ke portal salah satu bank dan request BankID yang akan dikirimkan ke kantor pos terdekat. Untuk mengambil BankID di kantor pos, kita juga harus membawa paspor sebagai data diri.

Beberapa bank ada yang memperbolehkan kita datang langsung ke kantor mereka sekalian memproses BankID ini, sementara ada juga yang bisa dengan mudah kita lakukan secara online. Pendaftaran via online ini diproses dengan mengirimkan dokumen via email, kita cetak, tanda tangani, scanned, lalu kirim kembali ke mereka.

Saya sempat melakukan riset untuk memilih bank Norwegia yang menawarkan kartu debit atau kartu kredit tanpa biaya tahunan. Beberapa nama besar seperti Nordea, DNB, atau Skandia memiliki banyak cabang di Norwegia tapi sayangnya menetapkan biaya tahunan sebesar 250-three hundred NOK. Plus, beberapa financial institution besar juga menetapkan biaya tarik tunai di dalam dan luar negeri sebesar 10-40 NOK. Lumayan sekali kan?

Pilihan financial institution di bawah ini menurut saya paling pas untuk au pair atau anak muda yang risih kalau uang sakunya pun harus terpotong setiap tahunnya.

1. Danske Bank 'UNG Konto'

Cocok untuk anak muda berusia 18-27 tahun yang tertarik memiliki kartu debit atau kredit plus asuransi perjalanan. Gratis biaya tahunan, gratis tarik tunai, dan gratis biaya transaksi menggunakan SEPA di Eropa. Kita juga bisa menambahkan foto di kartu, free of charge.

2. OBOS Banken 'Ung Medlem'

Gratis biaya tahunan, tarik tunai, dan menawarkan biaya potongan keseluruhan yang paling kecil. Non-client dikenai biayakartu 250 NOK in step with tahun.

3. KLP Banken 'Medlem i KLP'

Seluruh customer KLP yang membuka akun bank tidak akan dikenai biaya tahunan kartu debit atau kredit. Tanpa harus mendatangi cabang mereka, KLP memberikan kemudahan apply via online saja dan kartu akan dikirimkan 7 hari setelah aplikasi kita disetujui.

4. Grong Sparebank 'Ung Voksen'

Bagi anak muda berusia di bawah 33 tahun, financial institution ini juga menawarkan free of charge biaya tahunan. Yang ingin mendesain sendiri foto diri di kartu, sangat memungkinkan dengan biaya tambahan one hundred NOK.

Sebenarnya, beberapa bank besar seperti DNB juga menawarkan gratis biaya administrasi tahunan bagi anak muda di bawah 33 tahun yang berstatus pelajar. Kalau kamu statusnya pelajar, just be happy karena akan dapat banyak potongan.

Bagi yang suka travelling dan sering menggunakan pesawat Norwegian, boleh coba buka kartu kredit (gratis biaya tahunan) di Bank Norwegian yang akan berbuah cash points setiap kali belanja.

Tuesday, June 2, 2020

Tips Repotnya Buka Akun Bank di Norwegia|Fashion Style

Akhirnya saya sampai juga disini! Setelah drama akun financial institution berakhir, saya bisa bernapas ordinary layaknya imigran yang sudah lama tinggal di Norwegia.

Baru sekali ini saya mengalami kendala punya akun bank di Eropa. Di Belgia, saya hanya perlu datang ke bank dua kali lalu seminggu kemudian langsung dapat kartu ATM. Begitu pula saat di Denmark, Louise hanya menelpon pihak Bank Nykredit, lalu saya dikirimkan berkas-berkas yang perlu ditandatangani dan dikirim ulang. Et voila.. sekitar 3 minggu kemudian, saya sudah punya kartu debit plus NemID.

Di Norwegia, jangan harap mendapatkan kemudahan sebagai pendatang. Norwegia memang sangat ketat mengawasi aliran dana penduduk aslinya, apalagi imigran. Sebagai pendatang yang ingin memiliki akun bank, pemerintah sedikit mempersulit dengan cara meminta banyak dokumen sebelum dianalisa keabsahannya. Dua bulan lalu, dua orang ekspatriat yang tinggal di Norwegia bahkan membuat riset sederhana di Facebook tentang sulitnya membuka akun financial institution disini.

Episode datang ke financial institution

Berawal dari postingan sebelumnya tentang Minggu-minggu Awal di Norwegia , saya tertarik membuka akun bank di Danske dan KLP karena dua bank ini gratis biaya administrasi tahunan. Iseng-iseng daftar di situs mereka, sekitar beberapa hari kemudian dua SMS masuk mengatakan kalau saya harus mengambil surat notifikasi dari Danske dan KLP di kantor pos.

Tidak tahu isi suratnya apa, tapi penerima wajib datang ke kantor pos membawa paspor. Iya, paspor. Bahkan sampai harus membawa paspor untuk menerima surat dari financial institution. Fungsinya sebagai identitas imigran, katanya.

Sepuluh kaliscanning, petugas kantor pos tampaknya kelelahan karena paspor saya ternyata tidak bisa dibaca. Sayangnya mereka tidak bisa memberikan saya surat tersebut tanpa scanned paspor di sistem, meskipun saya sudah punya residence permit. Dang! Saya akhirnya disuruh datang sendiri ke Danske Bank untuk pengecekan data.

Kantor Danske Bank di Oslo ada dua, satu di Majorstuen dan satu lagi di Aker Brygge.  Karena kantor cabang di Majorstuen lebih dekat dengan rumah, saya memilih kesini. Saat datang, saya disambut jutek oleh petugasnya. Tidak seperti di Indonesia yang ada mbak-mbak cantik rapih di meja customer service, disini saya hanya dilayani oleh mas-mas berwajah asimetris di meja resepsionis. Sialnya lagi, karena lupa membawa satu dokumen penting, saya terpaksa pulang.

Malas dengan muka jutek si mas-mas tadi, di hari yang sama saya mengambil dokumen dan memilih menuju kantor pusat di Aker Brygge. Untungnya saat datang, kantor lagi sepi. Saya langsung ditangani oleh customer service yang tua dan ternyata tidak ramah juga.

Sama halnya dengan petugas kantor pos, si ibu customer service berusaha scanning paspor saya berulang kali di mesin, tapi nihil. Beliau berkali-kali mengelap dan memperbaiki sisi depan halaman identitas paspor, namun tetap saja error.

"Maybe it is too glossy," katanya.

Duhh, Bu, lipgloss kali ahh glossy.

Si ibu akhirnya menyerah juga dan menyalahkan paspor saya. Katanya, karena paspor saya bukan e-paspor makanya mesin mereka tidak bisa membaca. Lha?!

"You know what, jalan satu-satunya adalah kamu ganti ke e-paspor. Semuanya akan mudah kalau kamu sudah ganti," tambah si ibu lagi.

Iya, mudah, kalau saya tinggal di samping kantor imigrasi yang menerbitkan e-paspor. Masalahnya, e-paspor baru diterbitkan di Jakarta saja. Ya masa, Bu, saya harus mahal-mahal kembali ke Indonesia demi e-paspor 600 ribu rupiah?

"I cannot. E-paspor itu versi baru, Bu. Bahkan KBRI sini pun masih mengeluarkan paspor biasa. So, what else you can do?"

Karena saya tidak bisa mengubah keadaan, si ibu akhirnya sepakat menerima aplikasi permohonan, lalu saya disuruh menunggu hingga aplikasi disetujui. Kabarnya, kartu debit akan dikirimkan sekitar 1 minggu kemudian, namun kenyataannya sampai sekarang saya belum juga menerima.

Ngomong-ngomong, karena bukan e-paspor, si ibu juga mengatakan kalau saya tidak bisa mengakses online banking. Untuk mengakses Nettbank, diperlukan BankID atau token atau kode yang memperbolehkan user masuk ke akun bank. Tanpa online banking, artinya saya tidak bisa mengecek saldo, riwayat transaksi, atau kirim uang. Rese kan?!

Saat di Danske Bank, saya juga sebenarnya bersebelahan dengan satu customer dari Pakistan. Sama seperti saya, si ibu customer service satu lagi juga menjelaskan ke doi kalau dia tidak bisa mengakses online banking karena paspornya tidak ada chip (e-paspor).

Oke, saya tinggalkan dulu kisah si Danske yang menyebalkan. Saran saya, jangan buka akun di Danske! Jangan!

Episode e-paspor

Karena penasaran dengan "e-paspor dan BankID" ini, saya hubungi pihak KLP Bank untuk mendapatkan konfirmasi. Mungkin saja gagal di Danske, tapi berhasil di KLP. Saya bicara via telepon dengan customer service-nya yang ternyata lebih ramah dan mau membantu.

"Oh no, that is actually true. Kamu harus punya e-paspor baru bisa dapat BankID."

"Lho, peraturan sejak kapan itu? Kenapa orang-orang sebelum saya bisa dapat BankID?"

"Iya, ini BankID-nya sendiri yang bekerja sama dengan beberapa financial institution untuk membuat regulasi baru seperti ini. Saya rasa peraturan ini pun masih sangat baru, sekitar 2 bulan lalu kalo tidak salah. Maaf ya, kami hanya financial institution berbasis on line, jadi kamu memang harus punya BankID untuk membuka akun di tempat kami."

"What do you think about other banks? Apa semua bank tidak bisa menerima paspor biasa? Apa mereka tidak bisa scanning semua paspor tanpa chip?"

"Saya juga kurang tahu, tapi coba kamu hubungi bank-bank besar yang customers-nya kebanyakan imigran seperti DNB. Situs mereka pun pakai bahasa Inggris, jadi mungkin mereka bisa memproses BankID kalau kamu buka akun disana."

Oke, terima kasih.Done, Norway!

Di rumah, saya jelaskan ke Ida tentang pengalaman hari itu. Ida hanya geleng-geleng kepala dengan kelakuan petugas Danske Bank yang menurut dia kurang profesional dan tidak ramah. Tahu saya kesulitan dengan sistem perbankan di Norwegia, Ida langsung menghubungi pihak Danske Bank dan meminta konfirmasi tentang kasus saya.

"They cannot say to you like that!" kata Ida geram, saat saya katakan kalau si ibu di Danske tidak bisa memberikan BankID hanya karena saya tidak punya e-paspor.

Setelah menghubungi pihak Danske Bank dan kecewa dengan jawaban petugasnya, Ida langsung menawarkan opsi jika saya mau buka akun di Nordea. Duh, Nordea paling mahal biaya tahunannya! Tapi karena keluarga ini memang semuanya pakai Nordea, saya akhirnya menyerah dengan Nordea dan berharap mereka bisa menawarkan solusi.

Asal kalian tahu, bank di Norwegia berbeda dengan bank di Indonesia yang kebanyakan hanya cari customer. Di Norwegia, buka akun bank bagi pendatang tidak gampang dan bahkan harus mengantri. Jadi aplikasi kita masuk, lalu harus mengantri lagi untuk disetujui. Waktu mengantri ini tentunya tergantung berapa banyak pemohon yang sudah mendahului kita. Normalnya bisa sampai 2 hingga 4 bulanan. Crazy, huh?!

Saya akui, Ida benar-benar tipe host mom yang sangat cekatan dan betul-betul ingin menolong. Karena termasuk elite customer di Nordea, Ida sampai memiliki konsultan keuangan pribadi di bank ini. Penasaran apakah kasus saya bisa ditangani, Ida langsung menelpon konsultan pribadinya dan meminta mereka memberikan solusi.

"They will help you, Nin. It is NOT necessary to have a chip in a passport just to get the BankID! Kamu daftar saja di Nordea. Nanti konsultan saya akan berusaha menaikkan aplikasi kamu ke paling atas agar kamu cepat bisa dapat kartu bank," kata Ida mantap.

Betul saja, karena jasa dan status sebagai "elite customer" Ida, saya langsung mendapatkan konfirmasi dari Nordea satu hari setelah mendaftar. Saya hanya perlu datang ke kantor pusat dan membawa dokumen seperti paspor, residence permit, surat konfirmasi personal number dari UDI, serta kontrak au pair.

Info lagi, buka akun bank di Nordea juga tidak gampang dan lama. Sebelum konfirmasi dari pihak bank, pemohon harus membuat janji temu dulu dengan bank consultant. Setelah membuat janji temu, pemohon juga harus sabar menunggu hingga aplikasi mereka disetujui. Saya, satu minggu setelah mendaftar langsung dapat kartu debit! Sekali lagi, atas jasa nama besar dan status Ida di Nordea memang.

Episode BankID

Tapi jangan salah, drama baru juga berlanjut. Setelah menyerahkan semua dokumen penting ke kantor Nordea, saya diminta datang kembali karena ada masalah pada scanned paspor. Duh!

Betul, paspor saya lagi-lagi tidak bisa di-scan oleh staf Nordea yang muda dan cantik jelita itu. Anyway, para staf wanita di Nordea kantor pusat sungguh berbeda dengan di Danske. Di Nordea, beberapa mbak-mbaknya masih muda, aktif, cantik, plus ramah-ramah.

Karena bingung juga kenapa paspor saya susah dibaca, si mbak ini sampai meminta KTP Indonesia saya untuk di-scan. Padahal si mbak tau KTP saya masih edisi lama.

Lalu.... Lagi-lagi gagal!

Sama halnya dengan Danske, mbak Nordea ini juga menyarankan saya untuk ganti e-paspor agar mempermudah proses mendapatkan BankID. Tapi tentu saja, dengan nada yang lebih ramah.

Kembali ke rumah, saya mengadu lagi ke Ida. Sumpah, saya bukannya manja. Tapi saya sudah sangat kesal dengan sistem perbankan di Norwegia yang mengharuskan saya mondar-mandir tanpa kejelasan. Sama seperti saya, Ida yang juga memantau case ini dibuat super geram. Beliau lagi-lagi menghubungi konsultan pribadinya dan sedikit mengadu.

Beberapa hari kemudian, saya menerima email dari mbak Nordea yang mengatakan kalau mereka bisa membuatkan BankID. Nah!! Syaratnya, saya harus melampirkan surat keterangan dari Kedutaan Besar Indonesia di Norwegia tentang error production dan legalized copy paspor saya.

Ya sudah, saya turuti. Sekalian foremost ke kedubes dan lapor diri, saya minta surat keterangan tersebut dengan petugas KBRI Oslo. Enaknya, KBRI Oslo hanya 13 menit jalan kaki dari rumah. Jadi setelah surat selesai, saya bisa langsung datang kembali ke Nordea dan menyerahkan dokumen tersebut.

Empat hari kemudian, mbak Nordea yang dari awal melayani pembuatan akun saya mengirimkan electronic mail lain berisi notifikasi yang mengatakan kalau akhirnya BankID saya sudah aktif. Hoooore!!!

Intinya BankID menjadi hal yang superb penting karena sifatnya sangat private dan rahasia. Tahu token bank yang seperti kalkulator? Iya, token bank pin rahasia kita = BankID.

Cara mengakses online banking di Norwegia pun sedikit ribet. Di  Indonesia, Belgia, atau Denmark, saya hanya perlu username dan password saja. Di Norwegia, saya butuh personal ID, kode dari token (pincode untuk token), serta password pribadi Nettbank. Pfft!

Saya paham mengapa BankID fungsinya sangat penting di Norwegia. Ibarat tanda tangan, BankID adalah digital signature yang digunakan untuk mengakses jenis transaksi apapun berhubungan dengan keuangan kita di bank.

Yang saya tahu, pemohon tanpa e-paspor tahun-tahun sebelumnya tidak pernah punya masalah seperti ini. Mereka dengan sukses mendapatkan kartu debit dan BankID meskipun harus menunggu lama. Tapi tentu saja saya mendengar cerita buruk lain dari para imigran yang juga merasa dipersulit untuk mendapatkan BankID ini.

This is Norway 2018. Welcome!

Wednesday, May 27, 2020

Tips 6 Hal yang Saya Rindukan Sejak Menjadi Au Pair|Fashion Style

Berkesempatan tinggal di luar negeri adalah salah satu pengalaman transformatif dan tak terlupakan seumur hidup. Bisa karena melanjutkan sekolah, mendapatkan pekerjaan di perusahaan asing, ikut suami migrasi, atau pun jadi au pair. Namun apapun alasannya, semua orang mengakui bahwa hijrah ke luar negeri itu tidak mudah . Kamu harus berlatih untuk adaptasi dengan budaya baru, memaksa diri untuk belajar bahasa lokal, berpikiran lebih terbuka dengan perbedaan, sampai memaklumi rasa kesepian.

Saya sendiri merasa beruntung selama hampir 4 tahun ini jadi au pair dan bisa tinggal di 3 negara berbeda di Eropa. Tapi jadi au pair di Eropa tentu saja tidak selamanya bahagia. Di Eropa Utara, kebanyakan orang lokalnya terkenal tertutup dan tidak terlalu membuka kesempatan untuk berteman dengan orang baru. Jadi pelajar atau ikut suami masih lebih baik, meskipun sama-sama homesick, namun setidaknya setiap hari bertemu teman di kelas ataupun ada yang bisa diajak mengobrol di rumah.

Jadi au pair, kamu harus tinggal dan bekerja di rumah saja selama 5-6 hari per minggu. Yang bisa diajak main hanya host kids atau hewan peliharaan. Yang bisa diajak bicara hanya host parents yang belum tentu juga nyaman dijadikan teman. It's so frustrating!

Tahun keempat saya di Norwegia adalah yang terberat. Bayangkan saat kamu harus pindah-pindah negara dalam waktu 4 tahun, bukannya menyenangkan malah melelahkan. Sudah nyaman dengan satu negara dan punya teman dekat, harus pindah lagi ke negara lain. Apalagi kesempatan bertemu orang baru di Oslo tidaklah selebar saat saya di Kopenhagen atau Brussels. Proses pencarian teman harus mulai dari awal lagi dan belum tentu juga langsung cocok.

Saya tak pernah menyesal dengan pengalaman yang pernah saya dapatkan di tiap negara selama menjadi au pair. Namun ada beberapa hal yang merasa hilang dan selalu dirindukan.

1. Berpikir kritis

Saya lulus kuliah S1 tahun 2014, lalu sebulan kemudian langsung berangkat ke Belgia dan jadi au pair untuk pertama kalinya. Saat itu saya betul-betul penat selepas wisuda dan bersumpah untuk tidak akan melanjutkan kuliah master. Hari-hari sebagai au pair saya lalui dengan ringan karena the first world problem hanyalah memikirkan kemana nongkrong weekend ini atau negara mana yang harus saya singgahi saat liburan.

Nyaris empat tahun kemudian, saya jenuh terus-terusan hidup manja dibawah naungan fasilitas mewah dari host family yang seringkali berdampingan juga dengan rasa hampa. Saya rindu teman kuliah yang dulunya obrolan kami tidak terbatas dari hal kecil seperti dosen rese hingga politik luar negeri. Sampai sini, topik terpanas hanyalah seputarhost family, urusan anak, ataupun cowok Tinder.

Terlalu lama jadi au pair juga membuat banyak kosakata bahasa Inggris saya ikut hilang karena setiap hari hanya membahas dapur dan anak. Pernah suatu kali diajak diskusi masalah imigran di Eropa, saya gagu karena bingung melemparkan kata-kata yang pas dalam bahasa Inggris. Setelah masa vakum lebih dari 4 tahun ini, otak saya sepertinya perlu diajak berpikir lebih mendalam agar tetap kritis dan bijak melihat masalah dari banyak sisi.

2. Teman dekat

Lingkup pertemanan au pair itu super sempit. Dari Senin sampai Jumat, bahkan Sabtu, kerjanya hanya di rumah mengurus anak dan rumah orang. Beruntung kalau host parents kita termasuk orang yang asik diajak cerita. Seringkali, host parents tak lebih dari sekedar 'bos' yang membuat kita segan dan menjaga jarak.

Kalau hanya cari teman hangout setiap minggu, mungkin bisa ikut salah satu event di Meetup atau Couchsurfing. Tapi menemukan teman sehati yang bisa diajak cerita dan mengerti dengan kondisi kita, itu yang susah. Apalagi saya sedikit picky memilih teman. Kenal boleh, tapi belum tentu besoknya orang tersebut saya ajak jalan. Saya juga bukan seperti para au pair Filipina yang terlalu nyaman dengan geng Filipinanya saja. Bagi saya, kebanyakan teman Indonesia di luar negeri itu bisa jadi bumerang. Belum lagi kalau cekcok dan kebanyakan drama, duh, no way!

Makanya hidup au pair itu sebetulnya lebih banyak kesepiannya. Datang ke tempat kursus, belum tentu pulang-pulang membawa teman. Pun berniathaving fun dengan orang baru kesana kemari, belum tentu juga meninggalkan kesan setelahnya. Ujung-ujungnya hanya berteman dengan sesama profesi au pair saja. Bahkan cari pacar yang pengertian kadang lebih gampang ketimbang cari teman.

3. Being creative

Saya rindu menggambar, menjahit, atau membuat pernak-pernik lucu sebagai hobi untuk membunuh kejenuhan. Di Belgia dulu masih enak, bahan membuat kerajinan tangan masih mudah didapat dengan harga yang cukup terjangkau. Di Skandinavia, saya kadang takut merogoh kocek lebih dalam hanya untuk segulung benang jahit.

Anyway, sebetulnya jiwa kreatif saya mati bukan juga karena takut membuang uang. Tapi entah kenapa saya merasa kehilangan inspirasi dan motivasi. Terakhir kali merasa menjadi kreatif adalah tahun lalu, saat saya membuat mahkota kertas berbentuk kupu-kupu sebagai pelengkap saat Bachelorette Party seorang teman di Kopenhagen. Lantai kamar jadi berantakan dan penuh dengan guntingan kertas, but at the same time I found my soul.

Four. Privasi

Meskipun au pair katanya dianggap sebagai keluarga, faktanya kita tetaplahthe outsider. Saya pernah mengundang seorang teman ke rumah host family. Kamar saya letaknya di lantai dasar, sementara dapur dan ruang tamu di lantai dua. Karena saat itu sudah lewat jam makan malam, saya berinisiatif ke atas mengambil minum dan masak makanan untuk si teman ini. Tak disangka, ternyata si teman ikut menyusul ke atas karena katanya ingin ikut membantu.

Sadar ekspresi host parents saya tiba-tiba berubah masam saat si teman ada di dapur, saya suruh saja si teman ini turun dan menunggu di bawah. Benar saja, 10 detik kemudian host dad menghampiri saya dan mengatakan kalau hanya saya yang boleh menginjak ruangan inti. Jlebb! Padahal tidak ada aba-aba dari mereka sebelumnya apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama tamu saya datang.

Yang saya lihat, host family ini memang bukan tipe keluarga yang nyaman dengan orang asing. Tamu saya ya tamu saya, bukan tamu mereka. Selagi tamu saya bukan mereka yang mengundang, tamu saya tidak diperkenankan naik ke atas dan melihat-lihat isi rumah. Bahkan saat ituhost mom menyuruh kami makan di kamar saja. Bahh! Padahal siapa juga yang ingin makan di meja makan mereka.

Di satu sisi saya memahami kalau host family ini memang butuh privasi dan tidak ingin ada orang lain berkeliaran di rumah mereka. Tapi di sisi lain, saya rindu kenyamanan dan privasi diri sendiri yang tiada seorang pun berani melarang saya melakukan apapun. Kadang saya berpikir, daripada jadi live-in au pair, lebih baik memilih live-out. Meskipun hanya memiliki kamar sewaan sepetak murah, namun bebas mengundang siapa pun tanpa harus izin dulu. Tapi ya, impossible!

5. Karir

I wonder, what is my professional talent apart from highly skilled in changing the diapers or carrying the toddlers in one hundred and one styles?

What should I installed my CV whereas my previous (and modern) running revel in is just being an au pair?

Tahu kan, au pair itu sebetulnya tidak dianggap sebagai pekerjaan meskipun kita memiliki working permit. Di Skandinavia, meskipun kasusnya au pair dapat tunjangan dan mesti bayar pajak , tapi pekerjaan ini hanya diasumsikan sebagai pertukaran budaya saja. Selain itu, banyak orang tidak tahu au pair itu apa. Makanya menggambarkan au pair sebagai suatu pengalaman kerja profesional sebetulnya belum pantas. Apalagi kalau kita melamar pekerjaan di jabatan yang sama sekali tidak berhubungan dengan childcare.

Saat ini saya hanya menaruh posisi au pair pada "additional experience" di bawah "working experience". Daripada menuliskan detail pekerjaan sebagai tukang masak, jaga anak, dan cleaning lady, sebaiknya tulis di deskripsi kalau kita memiliki pengalaman di dunia internasional dalam menghadapi cross-cultural communication serta memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan atau budaya baru.

Au pair is a superb experience. But I couldn't get a job I need by means of simply picturing myself as a high professional au pair.

6. Rumah

Saya dan adik saya kebetulan memang sedang jauh dari rumah. Saya di Norwegia, sedangkan si adik sedang menyelesaikan studinya di Cina. Meskipun jenuh dan kesal juga dengan kelakuan orang Indonesia zaman sekarang, tapi kami tidak pernah membenci rumah dan selalu menanti pulang ke Indonesia.

No matter what, we call Palembang home . Kami selalu rindu kesederhanaan rumah , rindu makanan Palembang, rindu gerobak model di depan masjid, rindu Go-Jek, rindu menyetir, rindu joke ala wong kito galo, dan rindu juga teman atau keluarga yang rasa sayangnya tidak berubah meskipun ditinggalkan.

Ini fakta, lho! Saya pikir, setelah meninggalkan Indonesia selama 4 tahun, saya akan kehilangan banyak teman. Apalagi banyak sekali teman dekat saya dari SD hingga kuliah sudah menikah dan memiliki anak. Salutnya, meskipun tahu saya tidak akan pernah bisa datang di hari H, mereka tetap mau mengirimkan undangan nikah bahkan mencetak nama saya langsung di undangan tesebut. Terharu!

What might you leave out the most whilst leaving Indonesia?

Saturday, May 23, 2020

Tips Au Pair: Tukang Masak Keluarga|Fashion Style

Banyak teman saya yang sejak hijrah ke Eropa jadi sukahang out di dapur dan pintar memasak. Ada satu teman yang sengaja memajang banyak hasil olahannya dan memamerkan kepandaiannya memasak demi menyenangkan perut si pacar. Karena mungkin sudah banyak mendapatkan respon positif dari keluarga si pacar dan teman terdekatnya, teman saya ini langsung percaya diri membuka katering pribadi yang sudah punya laman khusus di Facebook.

Lini masa Facebook dan Twitter saya pun sering kali dipenuhi postingan teman Asia yang menunjukkan makanan hasil buatannya. Kadang sekalian kumpul-kumpul, ada saja yang dimasak. Lalu jangan lupa, difoto dulu. Saking banyaknya masakan yang sering dibuat, ada album khususnya sendiri!

Hebatnya, teman-teman ini tidak hanya masak makanan khas dari negaranya, tapi juga belajar masakan daerah lain. Dari yang coba-coba membuat pastry Prancis, tapas khas Meksiko, hingga sushi. Foto yang dibagikan pun terlihat menarik karena makanannya kelihatan enak.

Lalu, saya sendiri?

Datang ke Eropa dan selalu kangen masakan Indonesia, tidak serta merta juga membuat saya suka masak. Dari dulu, dibandingkan memasak, saya lebih suka menyulam atau menjahit baju.

Oke, sejujurnya, saya bisa masak. Sejak ayah meninggal dan sang ibu kehilangan nafsu masaknya, saya ini lah yang jadi koki keluarga. Paham masakan yang sering dimakan keluarga itu-itu saja, saya juga terbiasa hanya memasak makanan tersebut. Percuma mencoba ide-ide baru, karena tidak ada yang makan. Keluarga saya memang sedikit picky untuk urusan makanan atau cenderung ambil aman.

Jadi au pair di tahun pertama, saya disuruh masak untuk keluarga Belgia 2-3 kali seminggu. Sama seperti keluarga saya di Indonesia, anak-anak keluarga ini super picky juga soal makanan. Mereka tidak suka sayuran, tapi dipaksa orang tuanya untuk selalu menyiapkan sayuran di sisi piring. Pernah suatu kali, saya mencoba menu masakan baru, yang makan hanya orang tua mereka. Para anak ini malah menghina masakan saya dan ujung-ujungnya makan roti. Padahal menurut si orang tua, menu tersebut luar biasa enaknya.

Malas juga mendengar hinaan dan tahu anak-anak ini terbiasa makan apa yang mereka suka saja, di hari berikutnya saya hanya menghidangkan menu favorit mereka dan wortel sebagai sayuran. Selang-seling saja dari daging olahan goreng, Spaghetti Bolegnaise, lalu daging goreng lagi, Spaghetti Bolegnaise lagi. Begitu saja setiap hari. Keseringan diberi wortel terus-terusan, saya pernah ditegur karena tidak berusaha inovatif.

"Nin, we could be red if you give us carrots every day," kata si Bapak.

Didn't you believe you studied I even have attempted my fine however none of your kids devour my innovation (meals)?!

Lanjut au pair di Denmark, tahun pertama saya super sibuk. Selain mengurus rumah dan bayi, saya harus menyiapkan makan malam untuk seluruh anggota keluarga setiap hari! Saya yang memotong sayuran, saya yang masak, saya yang merapikan meja, saya juga yang membersihkan piring kotor. Lengkap! Keluarga Denmark memang luar biasa!

Di keluarga ini pengalaman masak saya pun tidak berkembang. Sering kali masakan saya (lagi-lagi) dihina duluan sebelum dimakan. Si bapak memang pintar masak dan memiliki standar yang terlalu tinggi terhadap makanan. Yang saya heran, kalau memang si bapak pintar memasak, mengapa harus saya juga yang bertugas menyiapkan makanan?

Pernah saya masak Lasagna, dinilai tidak sempurna karena terlalu kering. Sekali lagi masak mie daging, mereka tidak makan sama sekali karena rasanya aneh dan warnanya tidak menarik. Padahal saya sudah berusaha mencontek semua resep dari internet.

Saya benci sekali urusan memasak! Tugas ini tidak mudah karena saya harus berpikir keras, kira-kira menu apa yang cocok untuk dimakan segala usia. Satu lagi, anak pertama keluarga Denmark ini juga picky bukan main soal makanan. Belum lagi persoalan rasa, apakah cocok dengan lidah mereka atau tidak. Not too spicy, not too strong, not too bland, blablabla..

Sadar sepertinya selalu gagal dan habis ide, si bapak memberikan saya hadiah Natal berupa 2 buku tebal berisi resep masakan Denmark yang ternyata niat utamanya malah menyinggung.

Tapi meskipun suka menyidir, ada satu pelajaran yang saya dapat dari host dad ini, "yang paling utama itu adalah soal penyajian, terutama urusan warna. Usahakan minimal ada 2 warna segar seperti hijau dan kuning atau hijau dan merah sebagai pemikat makanan. Hijau bisa diambil dari salad segar atau brokoli dan merah bisa menggunakan cabai atau paprika."

Noted!

Tinggal dengan keluarga Norwegia  hidup saya lebih santai. Tugas memasak hanya 1-2 kali dalam sebulan. Itu juga sudah diwanti-wanti untuk masak makanan yang super sederhana saja. Host family saya ini tipe orang yang easy dan sadar kalau saya memang bukan koki handal. Masakan saya pun sering dipuji dan habis.

"This is the best chicken we have ever eaten!" kata si Bapak saat mencicipi Ayam Bakar Madu yang saya buat.

Anak mereka yang berumur 2 tahun juga bisa diajak bernegosiasi karena sudah diajari tidak pemilih dengan makanan. Jadi meskipun saya masak makanan berat-berat seperti mie atau ayam, si anak ini tetap disuruh mencicipi dan mau makan. Senangnya!

Pindah ke negara orang memang mengajarkan kemandirian. Ada yang mendadak suka dan tambah pintar memasak, tapi ada juga yang stage masaknya standar saja seperti saya. Mungkin karena sering dihina juga, makanya saya malas masak untuk orang banyak. Bukankah masakan paling enak itu sesungguhnya adalah makanan yang dibuat oleh orang lain?

Tuesday, May 19, 2020

Tips 4 Cara Mengembangkan Diri Sebagai Au Pair|Fashion Style

Tahun ini masuk tahun kelima saya jadi au pair di Eropa. Tidak menyangka akan selama ini. Bagi saya, kali pertama au pair itu merupakan 'pengalaman'. Kali kedua karena 'keasikkan'. Lalu kalau sudah masuk kali ketiga, itu namanya 'kebingungan'! Kebingungan apakah Indonesia betul-betul tanah yang kita harapkan untuk pulang ataukah justru sudah terjebak rasa nyaman yang jauh di tanah yang lain.

Au pair adalah program pertukaran budaya yang menawarkan kesempatan kepada anak-anak muda seperti kita merasakan pengalaman menakjubkan di tanah asing. Bisa dikatakan, program au pair ini sesungguhnya adalah jalan mewujudkan mimpi yang tertunda. Tidak hanya sekali, tapi kita bisa jadi au pair berkali-kali sampai batas usia 30 tahun. Namun terus-terusan memproyeksikan au pair sebagai job replacementakan menimbulkan ketergantungan yang bisa menjadidrawback dalam proses pengembangan diri dan karir di masa depan. This lifestyle is not going to last forever.

"When matters are easy, you forestall developing." - Anonymous

Tidak hanya au pair, setiap orang yang hijrah dari Indonesia ke luar negeri pasti memiliki cerita dan pengalaman yang berbeda meskipun tantangannya terberatnya adalah beradaptasi. Tapi apakah kita hanya melihat au pair sebagai program yang dikemas lewat tugas-tugas rumahan dan travelling saja? Karena pelajar dan ibu-ibu kawin campur di Eropa pun mungkin melakukan aktifitas yang sama. Justru menurut saya, yang berharga itu bukan au pairnya, tapi WHAT have we done/gotten while being an au pair?!

Saya masih terus belajar mengasah dan memaksimalkan potensi diri yang ada agar lebih percaya diri dalam berkarier. Namun beberapa hal di bawah, saya yakini memiliki impact luar biasa dalam proses pengembangan diri saya selama disini.

1. Ikut kegiatan sukarelawan

Untuk menjadi au pair yang luar biasa, kita tidak bisa hanya kerja di rumah sampai menunggu akhir pekan saja. Sebagai au pair yang harus berkomitmen pada 1 keluarga, kita juga tidak bisa menambah skill baru dengan mencoba kerja tambahan di tempat lain. Cara terbaik satu-satunya adalah mencari pengalaman kerja sebagai relawan di waktu senggang. Ada banyak keuntungan yang bisa didapat dengan menjadi relawan di negara kita tinggal, salah satunya untuk mempercantik resume kerja. Kegiatan sukarelawan ini juga bermanfaat untuk mengembangkan rasa empati, kecakapan kerja dalam tim, komunikasi lintas bahasa, serta jiwa kepimpinan ketika  berhasil membantu menyukseskan satu acara.

Sejak tinggal di Denmark, kegiatan akhir pekan saya banyak diisi dengan ikut kegiatan sukarelawan di banyak festival; mulai dari festival musik hingga acara berbau teknologi. Seru, karena bisa masuk festival gratis dan sempat juga dapat goodie bag berisi suvenir lucu! Bayangkan kalau saya tidak pernah ikut kegiatan ini, lalu hanya mengandalkan pengalaman au pair selama 5 tahun?! Is it even "a job" to be proud of??

Jadi daripada menyertakanjob desk au pair yang hanya berkutat di masalahcleaning dan ganti popok bayi, lebih baik fokus pada kegiatanvolunteering yang pernah kita lakukan. Studi yang dilakukan Center for Economic and Policy Research di tahun 2013 mengemukakan bahwa orang-orang yang pernah menjadi sukarelawan selama 20-99 jam per tahun, setidaknya 7% kemungkinan lebih mudah mendapatkan pekerjaan ketimbang yang belum pernah berpartisipasi.

2. Memiliki jaringan pertemanan yang luas

Kebanyakan au pair biasanya memiliki kehidupan sosial yang sangat sempit. Kalau tidak dari sesama au pair, biasanya satu negara. Isn't it boring to hear the same stories again and again? Lagi-lagi soal gosip si ini dan si itu, lagi-lagi soal gebetan bule, atau lagi-lagi masalah keluarga angkat di rumah. Nyaman memang bertemu dengan teman-teman senasib, namun lingkar pertemanan seperti ini justru membuat kita tidak berkembang. Saya sampai pernah menuliskan hal-hal yang harus dihindari antar au pair , kalau memang akhirnya kita harus banyak mengobrol dengan golongan ini saja.

Memang tidak semua orang memiliki jiwa sosial dan kepercayaan diri bertemu dengan orang baru. Namun kalau ingin berkembang, harus memaksa diri bergaul dengan orang-orang yang berbeda latar belakang, umur, profesi, serta sudut pandang. Dimana menemukan mereka? Bisa dengan rajin ikut kegiatan Meetup , volunteering, konferensi, atau seminar. Siapa tahu mereka bisa membawa lapangan pekerjaan, ilmu, bahkan jodoh untuk kita! Di luar ekspektasi itu, yakinlah bahwa orang-orang baru yang kita temui selalu membawa cerita yang berguna untuk membuka wawasan.

Ketika memiliki lingkar pertemanan yang begitu sempit di Belgia, saya berjanji pada diri sendiri untuk keluar dari zona nyaman saat pindah ke Denmark. Banyak sekali orang-orang baru yang akhirnya saya temui lewat acara Meetup ataupun sukarelawan. Sering kali saya datang sendirian malah. Tentu saja saya tidak berharap mereka semua akan menjadi teman — karena mencari teman di Skandinavia itu lebih sulit ketimbang cari pacar , tapi proses membuka diri dengan orang-orang baru ini menumbuhkan rasa percaya diri saya untuk semakin terbuka dan ekspresif dalam mengemukakan pendapat.

3. Serius belajar bahasa lokal

Saya mengerti bahwa tidak semua orang suka belajar bahasa. Kebanyakan au pair juga malas datang ke tempat kursus karena tempat yang jauh atau selalu berpikir, "buat apa repot-repot belajar bahasa lokal, toh tidak berguna ke depannya/banyak juga yang mengerti bahasa Inggris".

Sebagai au pair yang katanya ingin bertukar budaya di Eropa, harusnya kita menggunakan kesempatan belajar bahasa free of charge ini secara maksimal. Keluarga angkat banyak yang mendukung, bersedia membayari kita kursus bahasa, sampai ada yang tidak keberatan membiayai ongkos transportasi dan meminjamkan mobilnya sekalian. Bagi saya, belajar bahasa apapun itu tidak akan pernah sia-sia. Namanya juga proses belajar, tentu saja tidak ada yang mudah.

Kecakapan bahasa Denmark dan Norwegia saya tidak begitu bagus, tapi sudah punya dasarnya. Saya juga cukup nyaman berbicara dalam "level anak-anak" meskipun masih sering tulalit dan tata bahasanya lari-lari. Tapi dengan bangga, saya menyertakan kemampuan bahasa ini di resume kerja karena tidak semua orang Indonesia memiliki kemampuan bahasa Skandinavia. Percayalah, di era digital dan globalisasi ini, kemampuan bahasa Inggris saja tidak akan cukup.

4. Fokus memulai hobi baru

Saya salut dengan para au pair yang datang ke Eropa lalu menemukan aktifitas baru yang bisa dijadikan hobi. Dari yang tadinya tidak suka masak, jadi sering masak. Bukan yang abal-abal, tapi bisa dikomersialkan malah. Ada juga yang jadi suka hiking, dandan, fotografi, menjahit, membaca banyak buku, olahraga, dan ikut kelas dansa. Banyak juga yang jadi vlogger karena ingin sharing tentang pengalaman di luar negeri, lalu membeli kamera bagus dan belajar mengedit video sendiri. Trust me, we could improve ourselves by doing what we enjoy the most! Selain sebagai relaksasi, hobi baru membuat kita belajar banyak hal baru yang membantu perkembangan otak.

Menurut ahli neuropsikologi Belanda, Margriet Sitskoorn, otak kita sebetulnya dinamis karena terus-menerus menciptakan sel-sel baru yang terkoneksi satu sama lain ketika kita belajar hal baru. Korteks serebral prefrontal mengatur emosi, pikiran, dan tindakan, yang tidak hanya bisa diperkuat melalui tidur dan olahraga, tapi bisa juga terjadi ketika mempelajari sesuatu yang baru. Ketika sel tumbuh dan koneksi antar sel membaik, alhasil, kita akan lebih mudah fokus pada sesuatu. Sitskoorn juga menambahkan bahwa sangat penting bagi kita untuk mempelajari sesuatu yang betul-betul baru dan bukan hanya merupakan pengulangan atau variasi yang sering kita lakukan.

Daniel Gilbert, profesor psikologi di Harvard di Amerika Serikat, juga menggarisbawahi pentingnya bersikap terbuka terhadap hal-hal baru. Dalam bukunya Stumbling on Happiness, Gilbert menulis bukan kepastian atau hal-hal yang familiar membuat kita bahagia, melainkan kejutan, pengalaman baru, tantangan, penemuan, dan momen pembelajaran yang tidak terduga. Gilbert juga percaya bahwa rasa ingin tahu itu sangat diperlukan sebagai proses mencapai kebahagiaan hidup. If you are curious, you learn more.

Lalu bagaimana dengan jalan-jalan?

Sure, you would learn about yourself through the differences and fast adaptation on road!Tapi setelah tinggal di Eropa, saya sejujurnya tidak terlalu tertarik dengan kegiatan travelling para teman au pair di luar sana. Travelling di Eropa itu bukan hal yang luar biasa karena sudah mirip piknik antar negara. Untuk lompat-lompat negara pun mudah saja karena bisa dapat tiket promo yang kadang lebih murah dari tiket antarkota di Indonesia. Ya, bisa dibilang ini privilege-nya penghuni Benua Biru.

Sekarang travelling sudah menjadi gaya hidup banyak orang yang tidak hanya sebagai bagian liburan dan rileksasi, namun juga memperkaya konten sosial media.There is nothing wrong about splurging and enjoying yourself in a Eurotrip, tapi gunakan juga kesempatan tinggal di luar negeri sebagai momentum terbaik untuk mengembangkan diri lewat cerita lain. 😉

Referensi lain: Flowmagazine