Showing posts with label Swiss. Show all posts
Showing posts with label Swiss. Show all posts

Friday, May 15, 2020

Tips Pindah ke Swiss|Fashion Style

"Nin, do you need to transport with us to Switzerland?"

Menurut saya, kekayaan itu adalah salah satu privilege yang bisa mendekatkan kita pada impian. Sama halnya dengan host family saya ini. Awal tahun lalu saya dibuat kaget dengan kabar besar yang mereka sampaikan, "we are going to move to Swizerland!" kata host mom saya sumringah.

Hah???!!! Rencana dari kapan? Kapan pindahnya?

Tiba-tiba. Iya, rencana pindahnya tiba-tiba, tapi impian pindahnya sudah lama. Dari sejak host mom dan host dad saya bertemu, mereka ternyata sama-sama punya impian untuk tinggal di Pegunungan Alpen. Tadinya ingin menunggu anak-anak mereka remaja, tapi setelah berdiskusi panjang lebar, mereka memutuskan untuk pindah akhir tahun ini ke Zermatt, Swiss.

"It's easier for kids when they're young. Jadinya mereka nanti bisa belajar 3 bahasa baru secara cepat; Jerman, Prancis, dan Inggris," tambah host mom.

Zermatt, desa kecil di atas Pegunungan Alpen yang berdekatan dengan Italia, adalah tempat favorit mereka ber-ski saat musim dingin. Katanya dulu mereka hampir mengadakan pesta pernikahan disana, hingga diubah ke Prancis Selatan. Tapi tak heran mengapa yang dipilih Swiss. Selain sama-sama negara mahal, pajak di Swiss malah lebih rendah dari Norwegia meskipun biaya hidupnya tinggi. Tak rugilah jika harus pindah dari negara sekaya Norwegia.

Proses kepindahan ini pun berjalan dengan sangat cepat. Maret lalu, mereka sudah deal membeli rumah di Zermatt yang harganya hampir 8 juta Franc atau lebih dari Rp100 miliar. Mungkin "tak seberapa", mengingat di Indonesia harga rumah seharga itu juga ada. Tapi yang berbeda, rumah di Pegunungan Alpen tentu saja lebih high-end ketimbang yang ada di perkotaan besar di Indonesia.

Awal tahun lalu pun, saya beruntung diajak 'dinas' ke Zermatt. Mendengar namanya saja sudah asing bagitraveler musiman seperti saya ini. Di Swiss saya tahunya hanya Luzern, Zürich, Bern, atau Interlaken. Tapi setelah diajak ke Zermatt, seriously saying, this IS the real Switzerland yang selama ini memang ada di otak saya. Zürich? Jauuuhh! Luzern? Masih kalah! Interlaken? Mainstream!

Bagi yang belum pernah mendengar Zermatt, pasti akan kenal kalau saya menyebut cokelat Toblerone. Gambar yang ada di kemasan cokelat sebetulnya adalah Gunung Matterhoorn di Zermatt, sementara gambar beruang di sampingnya adalah coat of army Bern, kota dimana produk tersebut berasal.

Saya juga mengerti mengapa host family saya memilih tempat ini sebagai rumah baru mereka karena Zermatt is a special place! Desa ini terletak di kaki Gunung Matterhoorn yang memang terkenal di kalangan beberapa turis untuk olahraga ski. Tempatnya suuuper bersih dan hampir tidak ada polusi. Bagaimana tidak, di desa ini penduduknya tidak boleh mempunyai mobil pribadi, kecuali para pemilik toko. Mobil yang ada pun berukuran kecil bermesin elektrik karena semua tempat sebetulnya bisa diakses dengan berjalan kaki ataupun sepeda.

FYI, dari kecil, saya memang fans berat Swiss gara-gara sering nonton iklan Alpenliebe. Jingle iklannya pun sampai sekarang masih terngiang di kepala saya. Bahkan sepenggal kata-katanya, ".... terciptalah.... dari Pegunungan Alpen..." dan gambaran Pegunungan Alpen berumput hijau serta sapi-sapinya yang menge-moo. Padahal permen Alpenliebe sendiri produknya Italia, lho! Mungkin Pegunungan Alpen yang waktu itu ada di iklan memang ada di Italia, ya. Saya memang datang kesini saat musim dingin, tapi gambaran Zermatt di musim semi yang gambarnya ditunjukkan host dad adalah wujud nyata imajinasi saya tentang Swiss selama ini.

Ngomong-ngomong, meskipun datang kesini bukan untuk ber-ski, tapi saya punya kesempatan langka naik cable car tertinggi di Eropa yang mencapai ketinggian 3883 meter di atas permukaan laut. Menariknya lagi, cable car ini berteknologi 3S dengan empat sisi kaca berlapis kristal Swarovski. Saya bisa melihat hamparan salju menyelimuti Pegunungan Alpen sampai 360°!

Anyway, kembali lagi, karena Swiss adalah negara mahal, pindah kesini pasti butuh persiapan finansial ekstra. Selain harus menjual 2 rumah di Norwegia, host family saya juga harus give up dengan semua pekerjaan yang mereka miliki di sini. Yang saya tahu, mereka juga sudah siap membangun bisnis properti baru yang akan dijalani di Zermatt. Again, kalau tidak punya banyak uang, mana mungkin berani berencana secara spontan seperti ini.

Apalagi keluarga angkat saya merasa pindahan kali ini hanya sebagai trial seberapa betah mereka dengan kehidupan baru. Lima tahun adalah waktu yang akan mereka coba. “Ya kalau tidak betah, kami bisa pindah lagi ke Norwegia dan beli rumah baru di Oslo,” kata host mom santai.

Ohh, kalimat pembuka saya di postingan ini sebetulnya sempat ditanyakan host mom secara basa-basi. Untungnya, saat itu mereka tahu kalau saya berencana kuliah lagi di Norwegia . Lagipula Swiss sudah menutup kemungkinan orang Asia bisa jadi au pair disana. Yang paling penting, I am fed up of being au pair!

If you may stay anywhere within the international, where could you stay?

Saturday, May 9, 2020

Tips This is My Final Au Pair Year!!|Fashion Style

It is soooo near an cease!!!!

Ngomong-ngomong, saat menulis tulisan ini, saya masih ada di Zermatt, Swiss, dalam rangka 'business trip'. Host family saya memutuskan pindah ke tempat impian di Pegunungan Alpen, untuk bermukim dan meneruskan hidup dengan meninggalkan semua kehidupan sosial mereka di Norwegia. Pegunungan Alpen yang membentang di Swiss tentu saja jadi pilihan utama karena Zermatt adalah tempat spesial yang selalu jadi area favorit ber-ski bagi orang-orang berduit. Tak heran juga mengapa Swiss, karena negaranya sama-sama makmur dan semahal Norwegia, namun dengan pajak penghasilan yang lebih rendah.

I am one of the luckiest au pairs yang bisa terbang dengan gratis ke tempat ini tanpa perlu merogoh kocek teramat dalam untuk menemukan the real winter wonderland di Eropa. Zermatt is AWESOME! Kanan kiri membentang pepohonan pinus berselimut salju, perumahan berkayu oak yang hampir semuanya adalah tempat penginapan, serta cuitan burung yang menambah tenangnya desa ini dengan tingkat polusi hampir zero! Zermatt bisa jadi adalah tempat terakhir yang saya singgahi dalam rangka "kunjungan kerja" sebagai au pair .

Kalau bisa menyudahi lebih awal, sebetulnya saya sudah ingin cepat-cepat diwisuda saja sebagai au pair dari beberapa bulan yang lalu. Tapi karena kontrak dan komitmen yang mengikat, saya terus saja bekerja sekalian menafkahi diri sendiri setelah diterima jadi mahasiswa S-2 di Universitas Oslo .

Saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan formal setelah 5 tahun hanya berkutat dengan anak-orang & tugas rumah tangga saja. Kesempatan ini saya gunakan karena banyak kampus di Norwegia masih membebaskan biaya kuliah bagi mahasiswa lokal dan internasional. Meskipun begitu, biaya hidup yang tinggi juga cukup memberatkan apalagi saya kuliah pakai biaya sendiri dan tanpa sponsor.

Mungkin ada yang berasumsi kalau hidup saya setelah selesai au pair ini cukup enak karena sudah ada Mumu . At least, bisa menumpang dan makan gratis di apartemen doi. Well, if that's what you really think, then you are wrong!I have stood on my own feet since day 1!Mumu memang teman terbaik dan partner saya di Norwegia, namun bukan berarti dia ATM berjalan dan pengganti bapak saya di sini. He would help me if needed, tapi bukan berarti juga saya bisa menggantungkan semua harapan ke dia. Meskipun, I feel safe because he is always by my side.

Namun walaupun hepi juga sebentar lagi akan menamatkan kontrak terakhir au pair, ada perasaan gelisah yang terus membuncah di akhir tahun ini. Dulu, meskipun harus kerja rodi jaga anak dan bersih-bersih rumah, namun tinggal tunggu awal bulan, uang saku sudah otomatis masuk ke rekening tabungan. Mulai tahun depan, saya otomatis harus cari penghasilan sendiri untuk menyokong kehidupan sampai tamat kuliah.

FYI, saya memutuskan untuk tidak tinggal dengan Mumu dulu, namun menyewa kamar di student housing. Yang artinya, semua biaya sewa dan makan setiap hari harus saya tanggung sendiri. Ada perasaan takut juga bagaimana kalau saya tidak dapat kerja per awal tahun dan tidak bisa bayar sewa bulanan. Perasaan kalut ini bahkan menyelimuti hampir setiap hari! Maklumlah, uang saku yang saya kumpulkan selama 2 tahun ini tak seberapa, belum lagi masih tertitip di orang lain pula.

But the best thing is, I know myself better every day! Setelah semua pengalaman yang sudah saya lewati ini, saya yakin semuanya akan baik-baik saja. Au pair sudah berakhir, no kehidupan mewah, no kamar luas dan modern, no kulkas penuh makanan mahal, no gaji otomatis tiap awal bulan. A bit terrifying to leave them all, but this is LIFE I have always wanted; free from all the limitations!

Terima kasih yang sudah mampir ke blog ini dan selalu membaca cerita tentang kehidupan saya sebagai seorang au pair - dan sekarang sebagai pelajar. Saya tetap akan menulis lika-liku dunia au pair karena informasi tentang au pair itu selalu up-to-date setiap tahunnya. I am soooo happy sharing my au pair life to you for these 5 years! Semoga kalian selalu kembali mengunjungi Art och Lingua untuk menggali cerita terbaru saya di fase berikutnya.

Untuk yang akan mulai, masih jadi au pair, atau akan lanjut au pair lagi, good luck!! Being an au pair is definitely full of fun, but interdependent and addicted!

Ngomong-ngomong, kalau ada yang tanya, apakah saya sedih meninggalkan host kids saya setelah 2 tahun bersama mereka? I WILL BE!! I 1000% WILL BE! Sekesal-kesalnya saya dengan dua bocah Norwegia itu, tapi sejak usia si adik baru 3 minggu, saya adalah orang tua ketiga yang selalu mengasuh dan mengganti popoknya. Saya juga yang paling tahu perkembangan kecerdasan si kakak yang tadinya belum bisa bicara saat pertama kali saya tiba di Oslo, sampai sekarang, sudah cerewet kalau diajak adu mulut. I am sad, but again, happy not to take care of them anymore!