Showing posts with label bahasa Denmark. Show all posts
Showing posts with label bahasa Denmark. Show all posts

Friday, July 10, 2020

Tips Belajar Bahasa Denmark: Simpel tapi Menantang|Fashion Style

"I hate Danish!"

"When I heard Danes talk their own language, it's like they devour potatoes at the equal time."

"I've been right here for 5 years, however I cannot speak Danish but even though I recognize primarily all of component."

"Meskipun sudah three tahun di Denmark, saya pun masih harus battle sama pronunciation-nya."

Itulah beberapa komentar yang sering saya dengar dari para ekspat tentang bahasa Denmark.Mereka tidak suka dengan bahasa ini, tidak bisa bicara walaupun sudah cukup lama tinggal disini, bahkan malas belajar. Cukup beralasan memang, mengingat Kopenhagen adalah kota internasional dengan penduduk yang kebanyakan warga pendatang dari negara lain. Berbeda dengan ibukota negara lain yang pernah dikunjungi, saya rasanya sedang berada di UK ketika hampir setiap sudut Kopenhagen dipenuhi oleh para pendatang yang berbicara bahasa Inggris.

Orang asli Denmark dari penjuru utara sampai selatan pun sebenarnya sangat fasih bicara bahasa Inggris, kecuali para generasi tua yang tidak terlalu percaya diri dengan kemampuan bahasa mereka. Anak-anak muda dari usia 14 tahun sudah mampu berdialog dengan baik, walaupun kadang mereka masih rendah hati mengakui bahasa Inggris mereka tidak sempurna.

Saat berbelanja atau di kafe, jika pelanggan tidak bisa bicara bahasa Denmark, kasir ataupun pelayan secepatnya langsung berganti ke bahasa Inggris. Di Kopenhagen sendiri pun, kebanyakan orang Denmark akan sangat bangga jika bisa show off tentang Bahasa Inggris mereka ke orang asing. Mereka cenderung lebih nyaman bicara bahasa Inggris ketimbang mendengar orang asing berusaha bicara bahasa mereka dengan pengucapan yang super kacau.

Hampir semua penduduk Denmark bisa bahasa Inggris, lalu kenapa juga mesti belajar bahasa ini? Sayangnya, karena banyak warga pendatang yang memenuhi negara mereka, pemerintah akhirnya "mewajibkan" kursus bahasa Denmark bagi setiap pendatang yang sudah memiliki nomor CPR dengan tujuan pekerjaan ataupun studi. Namun karena biasanya masa studi software Master hanya sekitar 2 tahun, kebanyakan mahasiswa software ini menjadikan kursus bahasa Denmark sebagai opsional.

Di kelas saya, banyak sekali para pencari kerja yang mesti ekstra sabar belajar bahasa ini sampai mereka mampu melamar ke beberapa tempat kerja. Mereka sebenarnya sedikit berjudi dengan keadaan karena ikut suami atau pacar ke Denmark, mengungsi dari daerah perang, ataupun ingin mendapatkan kesempatan hidup yang lebih baik. Walaupun hampir semua orang di Denmark bisa berbahasa Inggris, namun lapangan pekerjaan akan terbuka lebih lebar bagi para pendatang jika mampu berbicara bahasa lokal.

Pelajaran bahasa memang tidak untuk semua orang, terutama mempelajari bahasa baru yang jauh dari bahasa ibu. Selain antusiasme dan motivasi, nilai fungsional sebuah bahasa juga berperan untuk menentukan suka tidaknya kita dengan bahasa tersebut. Bagi pendatang yang bekerja di sektor IT, mungkin saja mereka tidak perlu belajar bahasa Denmark terutama jika lingkungan pekerjaan tersebut lebih mengedepankan bahasa Inggris. Para mahasiswa juga tidak perlu juga repot-repot mengikuti kelas bahasa Denmark di malam hari karena kelas pun kebanyakan internasional dan memakai bahasa Inggris.

Setelah dua bulan mengikuti kelas bahasa di Ballerup, saya cukup mengerti tentang masalah bahasa di Denmark. Selain karena kebanyakan penduduk di Denmark bisa berbahasa Inggris dengan baik, bahasa Denmark sendiri memang terdengar sangat aneh bagi semua orang. Apalagi kelas Modul 1, dimana semua orang baru berkenalan dengan alfabet dan kata-kata baru, pasti menjadikan bahasa ini sebagai ajang lucu-lucuan. Saya pun merasa kalau mereka bicara dengan lidah yang terbelit-belit dulu hingga bisa menjadikan banyak kata menjadi satu kalimat. Intinya, banyak anggapan tentang betapa anehnya bahasa ini makanya banyak yang malas belajar.

Menurut saya, bahasa Denmark memang cukup aneh di awal-awal. Saya sendiri masih cukup sulit berhadapan dengan pelafalan kata-kata yang tidak punya aturan. Bunyi kata-kata itu sendiri bisa berubah sesuai padanan alfabet. Belum lagi saya masih harus belajar ekstra keras untuk membedakan ? Dan e, ? Dan y, atau ? Dan o. Walaupun orang Denmark mengakui pelafalan adalah hal tersulit dari bahasa mereka, namun saya sedikit diuntungkan karena gramatikanya cukup mirip dengan bahasa Belanda. Struktur kalimatnya juga lebih simpel ketimbang bahasa Inggris dan tidak "kesana-kemari" seperti bahasa Belanda.

Kesimpelan bahasa Denmark juga sebenarnya terlihat dari ketiadaan "please", "Madam/Sir", atau "smakkelijk!" yang berarti "selamat menikmati (makanan)!" dalam bahasa Belanda. Karena terlalu kasual, para siswa juga tidak memanggil guru mereka dengan "sopan". Mereka lebih senang jika guru dan siswa seperti teman dengan hanya memanggil nama depan agar terkesan akrab.

Generasi muda Denmark yang juga cuek, tidak peduli apakah harus memanggil "Madam/Sir" saat percakapan formal. Bahkan anak-anak pun bisa memanggil orang tua mereka hanya dengan nama. Dari sini, saya merasa bahwa orang Denmark tidak terlalu suka hal-hal yang bersifat terlalu formal dan serius.

Bagi saya, mempelajari bahasa lokal merupakan proper manner sebagai pendatang. Saya lebih bangga jika mampu berkomunikasi dalam bahasa Denmark dengan pelayan di toko atau kafe meskipun tahu muka saya sangat-sangat Asia. Lagipula sebagai au pair, datang ke sekolah dan bertemu orang-orang baru yang sama struggling-nya belajar bahasa Denmark adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Saya tidak harus selalu berkutat dengan tugas rumah tangga setiap hari sehingga lupa bertemu teman baru. Flot!

Thursday, July 2, 2020

Tips Fakta Tentang Bahasa Denmark|Fashion Style

Wohooo.. Sudah nyaris satu tahun yang lalu saya membuat postingan tentang bahasa Denmark , tahun ini saya sudah masuk Modul 4. Apa yang menarik dari modul ini? Pelajaran tata bahasa makin sulit, tapi saya belum bisa juga bicara dengan baik.

Di kelas saya, mayoritas siswanya memang nyaris 90% bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Daripada capek-capek memikirkan kata per kata dan menyusun hingga jadi kalimat dalam bahasa Denmark, saya dan mereka keseringan berganti ke bahasa Inggris saja. Jadi bisa dibayangkan betapa beratnya perjuangan siswa kelas saya di bagian speaking bahasa Denmark ini.

Teman-teman au pair ataupun non-au pair yang dulu sempat mengambil kelas bahasa Denmark, banyak yang memutuskan menyerah. Begitu pun juga saya. Meskipun sempatupdandown menyusun mood datang ke sekolah, akhirnya saya putuskan untuk kembali datang ke kelas menemui teman-teman seperjuangan. Semakin dipelajari, semakin banyak fakta menarik soal bahasa bangsa Viking ini.

1. Datar dan tanpa irama

Bahasa Denmark diakui sebagai bahasa terjelek di Skandinavia oleh banyak orang. Tidak seperti bahasa Swedia yang lemah gemulai dan bernada, ataupun bahasa Norwegia yang lebih jelas cara bacanya, bahasa Denmark lebih mirip orang lagi kumur-kumur. Tidak hanya fantastic datar, tapi nyaris semua huruf dimakan.

Gara-gara label "terjelek" namun juga tersulit inilah, banyak pendatang memutuskan malas belajar bahasa Denmark. Alasan lainnya, tanpa bahasa Denmark pun, mereka tetap bisa bertahan hidup di kota-kota besar hanya dengan bahasa Inggris.

2. Rigsdansk

Sama seperti negara mana pun, tiap location biasanya memiliki dialek atau aksen di setiap bahasa resmi mereka. Di Denmark, dialek orang Aalborg berbeda dengan orang Ringk?Bing. Pun begitu dengan dua dialek tersebut, sangat berbeda dengan dialek orang-orang yang tinggal di sekitar location Kopenhagen.

Rigsdansk atau rich Danish sebenarnya merupakan tata bahasa resmi yang dipakai di Denmark hingga saat ini. Rigsdansk biasanya diajarkan di sekolah ataupun dipakai saat acara formal.

Lucunya, rigsdansk sering dikaitkan oleh bahasa orang-orang middle class di tahun 1800-an. Di tahun 1970-an, karena pusat pemerintahan ada di Kopenhagen, rigsdansk menjadi tata bahasa resmi sekaligus dialek tetap para Copenhageners ataupun orang-orang yang tinggal di area Sjælland.

Karena perbedaan dialek inilah, orang-orang Sjælland biasanya kesulitan mengerti dialek orang Jutland ataupun Bornholm. Mereka lebih sering disebut bahasa petani ataupun bahasa lower class karena tidak menggunakan standar bahasa Denmark yang dipakai oleh para Copenhageners.

3. Terkesan kasar

Saat belajar bahasa Inggris, kita sudah diajarkan soal pembagian bahasa formal dan non-formal. Untuk memanggil orang yang tak dikenal pun, kita tahu harus memanggil mereka dengan sebutan Sir atau Madam, jika tidak tahu nama belakang orang tersebut. Pun begitu saat saya belajar bahasa Prancis dan Belanda sewaktu di Belgia.

Di Denmark (dan juga bahasa Nordik lainnya), formalitas bukanlah ketetapan dari standarisasi satu bahasa. Selain kata undskyld yang berarti maaf (atau excuse me), saya tidak mengenal kata lemah lembut lainnya.

Atmosfir antara siswa dan guru pun tercipta dengan sangat kasual. Yang tua tidak gila hormat hanya untuk dipanggil Pak, yang muda pun tidak perlu pikir panjang hanya untuk bersikap sopan.

Ketiadaan bahasa formal, logat yang datar dan tanpa berirama, cocok saja jika bahasa ini terdengar cukup kasar di telinga.

Four. Betapa liberalnya bahasa ini

Orang Denmark termasuk yang sangat bebas dalam pemakaian bahasa mereka. Tidak seperti orang-orang di Britania Raya yang sangat sopan dan takut untuk memakai kata-kata kasar, orang Denmark justru sebaliknya.

Kata-kata makian yang bermakna seksual, kasar, dan tidak pantas dianggap biasa saja digunakan dalam percakapan sehari-hari. Karena terpengaruh tontonan Amerika, anak-anak kecil di Denmark sudah sangat akrab dengan F! word. Belum lagi para orang dewasa yang sering lepas kontrol mengucapkan kata serupa.

Di lirik lagu, deadline koran, ataupun majalah, kata-kata pinjaman dari Inggris-Amerika yang bermakna negatif sering dipakai. Karena hal inilah, tidak heran kalau orang Denmark juga dicap sebagai bangsa yang hobicursing.

Host kid saya yang baru berumur 5 tahun, bebas saja mengatai orang tuanya. Saya pernah mendengar gadis kecil ini sampai berteriak-teriak, "Ayah bodoh!" atau "Betapa bodohnya orang tua ku ini!". Seorang teman pernah bercerita, sepupunya yang berusia 13 tahun, bebas saja mengatakan, "Dasar ibu bodoh, such a b**ch!"

Reaksi orang tua mereka? Biasa saja. Malah hanya bertanya dengan lemah lembut, "Kenapa? Kenapa ibu sampai dikatai bodoh?"

Dulu, saat satu kata kasar keluar dari mulut kecil kami, orang tua saya tidak segan-segan mengambil cabe merah atau rawit untuk dimasukkin ke mulut kami. Memang tidak pernah terjadi karena hanya menakut-nakuti. Tapi jelas sekali, kalau no place for bad words at home!