Showing posts with label Cerita di Denmark. Show all posts
Showing posts with label Cerita di Denmark. Show all posts

Thursday, July 16, 2020

Tips Kenapa Jadi Au Pair di Denmark?|Fashion Style

Melanjutkan cerita pencarian keluarga angkat di tahun kedua , sehari setelah wawancara dengan Louise, si ibu Denmark, esoknya dia langsung mengirimkan saya jadwal pekerjaan via email. Sejauh yang saya baca, tidak ada pekerjaan yang terlihat terlalu memberatkan. Semuanya terkesan oke-oke saja dan Louise mengatakan akan kembali menghubungi karena dia masih punya jadwal wawancara dengan dua kandidat lainnya.

Dua hari kemudian, sebuah electronic mail dari Energy Au Pair mengatakan kalau keluarga Louise sudah mengkonfirmasi untuk menerima saya sebagai au pair mereka. Padahal saat itu saya masih dan sedang dalam proses diskusi dengan beberapa keluarga lain di Belanda. Walaupun sudah oke dengan jadwal kerja yang ditawarkan Louise, tapi saya tidak tahu kalau dia sudah mengkonfirmasi langsung ke pihak agensi dalam waktu secepat itu.

Jujur saja, saya sebenarnya belum berani mengatakan "siap a hundred% jadi au pair di Denmark" saat membalas email Louise. Beberapa pertanyaan lainnya seputar tugas dan jam kerja tetap saya tanyakan ke Louise demi mengulur waktu. Di saat yang bersamaan, saya juga masih sibuk berbalasan e-mail dengan dua orang keluarga di Belanda yang menurut saya juga oke-oke.

Pertanyaan-pertanyaan yang cukup menegaskan "belum cukup siap ke Denmark" akhirnya membuat Louise bertanya kembali apakah saya benar-benar mau menjadi au pair untuk keluarga mereka. Louise benar-benar menyadari kalau saya sedang dalam keraguan dan sepertinya banyak pertimbangan di otak saya saat itu.

Setelah beberapa hari bimbang tentang keputusan memilih keluarga mana yang oke, akhirnya saya tetap memilih Denmark dibandingkan Belanda. Dua negara ini memang bukan negara tujuan awal saya. Kedua negara ini juga "sudah" memiliki reputasi cukup buruk di mata saya mengenai kekerasan pada au pair. Lalu kenapa tetap ingin ke Denmark DAN jadi au pair lagi?

Saya belum pernah ke Denmark, tapi pernah mampir dan mendengar banyak cerita tentang Belanda dari teman-teman au pair yang sebelumnya pernah kesana. Banyak yang mengatakan, dibandingkan Denmark, kehidupan di Belanda lebih seru dan rame. Warga Belanda yang juga cenderung ramah dan open dengan orang baru membuat negara ini banyak kelebihannya. But well, it's all about my gut!

Saya percaya tiap negara itu punya kelebihannya masing-masing. Dari namanya saja, Denmark memang tidaklah setenar Belanda, Perancis, atau Jerman. Bahkan banyak juga yang tidak tahu letak geografis Denmark itu tepatnya di Eropa bagian mana. Tapi saya memang bukanlah orang yang cukup percaya tentang "kata orang" sebelum saya sendiri melihat dan merasakannya. Lagipula, Belanda sudah terlalu mainstream sebagai tujuan au pair Indonesia.

Sebenarnya saya juga belum kenal negara-negara Skandinavia sebelumnya. Pernah masuk jadi salah satu member MLM kosmetik asal Swedia, membuat saya akhirnya penasaran dengan Stockholm dan kota-kota di negara Skandinavia lainnya. Sebelum jadi au pair di Belgia, seorang teman juga sudah berpesan ke saya untuk sesegera mungkin melihat Aurora Borealis di langit Eropa Utara saat musim dingin. Keinginan ini sebenarnya adalah keinginan pribadinya si dia yang memang belum bisa tercapai. Denmark memang masuk ke bagian Eropa Utara dan sudah cukup dekat ke Norwegia utara yang katanya bisa lebih jelas melihat Aurora Borealis saat musim dingin. Sewaktu di Belgia, keinginan untuk melihat cahaya utara ini memang sudah ada. Namun karena keterbatasan dana dan waktu, akhirnya keinginan ini harus saya tunda dulu. That's the point!

Dibandingkan Amsterdam, Kopenhagen pernah menjadi peringkat pertama kota teraman di dunia. Sementara tahun ini, lagi-lagi Kopenhagen masuk di antara 10 kota yang layak huni di dunia. Walaupun nantinya saya tidak tinggal di ibukota, tapi jarak kota yang akan saya tinggali hanya sekitar 12 km dari Kopenhagen. Lagipula, Denmark memang sudah mendapatkan reputasi baik sebagai negara dengan tingkat kriminalitas yang sangat rendah. Intinya negara ini benar-benar nyaman untuk ditinggali deh!

Denmark terkesan lebih artistik dan cultural menurut saya. Oke, ini sedikit subjektif. Saya juga mungkin tidak sepenuhnya mengeksplor Belanda dengan lebih baik. Tiap tahun Kopenhagen selalu terlibat dalam penyelenggaraan salah satu acara fashion terbesar, Copenhagen Fashion Week, yang menegaskan bahwa warga Kopenhagen memang stylish dan memiliki desainer oke.

Sementara banyak yang mengatakan Belanda memang penuh sejarah, namun anti-style. Saya memang bukan pengikut tren yang hedonis, tapi selain Copenhagen Fashion Week, banyak juga competition kebudayaan dan seni di ibukota sering diselenggarakan dengan akses yang mudah bagi pengunjung.

Dibandingkan Danish dan Dutch, jelas saja saya lebih memilih Dutch. Saya sudah pernah belajar dan menguasai Bahasa Belanda level dasar sebelumnya. Akan lebih baik jika saya memang memilih Belanda sebagai tujuan au pair untuk meneruskan level Bahasa Belanda lebih lanjut. Sementara Bahasa Denmark, tidak terlalu penting untuk dipelajari kan ya? Tapi, eh, tapi, bahasa Denmark mirip-mirip Bahasa Swedia dan Norwegia. Bukankah lucu juga mempelajari Bahasa Denmark yang mungkin nantinya bisa sekalian mengerti sedikit Bahasa Swedia atau Norwegia?

Walaupun saya juga belum tahu apakah nanti Bahasa Denmark akan berguna untuk karir di masa mendatang, tapi bukankah sebagai au pair ini memang kewajiban? Bahasa Inggris saja tidak akan cukup untuk berkomunikasi dengan host kids maupun orang lokal. Meskipun yang saya tahu orang Denmark umumnya bisa berbahasa Inggris dengan baik, namun akan lebih baik mempelajari satu bahasa bukan untuk tujuan tertentu melainkan komunikasi sehari-hari.

Saat berdiskusi dengan Louise dan keluarga Belanda lainnya, yang paling royal memang keluarga dari Denmark. Mereka bersedia menanggung tiket PP, asuransi, biaya administrasi Danish Immigration Service, dan uang saku di Denmark juga lebih tinggi dibandingkan Belanda. Per tanggal 1 Juli 2015, uang saku au pair di Denmark dinaikkan menjadi minimum 4000DKK (sebelum dipotong pajak 8%). Prinsip saya untuk jadi au pair, mengeluarkan biaya seminim mungkin. Setidaknya, biaya yang saya habiskan cukuplah untuk mengurus visa di Jakarta saja.

Oke, biaya hidup di Denmark memang lebih tinggi 20 hingga 30 persen ketimbang Belanda, wajar jika uang sakunya juga tinggi. Seorang teman eks au pair di Belanda juga mengatakan kalau sebenarnya keluarga Belanda banyak juga yang mau menanggung tiket pesawat PP, biaya kursus, dan biaya lainnya, tergantung tawar-menawar. Tapi karena tawaran dan jadwal kerja dari Louise lebih reasonable, akhirnya saya tetap memilih Denmark sebelum berdiskusi lebih jauh dengan keluarga di Belanda.

Diri saya, semoga ini benar-benar keputusan yang terbaik!

Monday, July 13, 2020

Tips Meet the Danish Family|Fashion Style

Rileks. Itulah gambaran pertama yang saya dapatkan dari keluarga baru saya ini. Louise, ibu 3 anak berusia 37 tahun, yang saya lihat di foto sepertinya judes, ternyata aslinya lebih muda dan sweet. Louise benar-benar gambaran wanita Eropa Utara sesungguhnya yang berambut pirang dengan badan (mulai) ramping setelah 3 bulan melahirkan Caesar. Karena kebijakan pemerintah Denmark, Louise mendapatkan jatah cuti melahirkan satu tahun demi mengurus si bayi di rumah.

Berbeda dengan para istri di Eropa yang lebih mendominasi pada umumnya, Louise termasuk istri yang sabar, ikut kata suami, dan lebih pasif. Louise juga sering memanggil suaminya dengan sebutan skat yang artinya sayang (atau dalam bahasa Denmark yang lain, bisa berarti "pajak"). Sementara si suami, Brian, lebih sering memanggil Louise dengan panggilan baby, hunny, atau nama pribadi.

Brian, si bapak yang berusia forty two tahun, memiliki selera humor yang baik, hobi masak, dengan jam kerja yang teratur. Brian yang bekerja sebagai CEO ini, mengepalai perusahaan yang bergerak di bidang alat-alat health. Tidak seperti orang yang terlalu sibuk pada umumnya, Brian sudah berada di rumah sebelum pukul 6, lalu lebih memilih berleha-leha saat akhir pekan.

Anak pertama mereka, Emilia, yang tahun ini berusia 4 tahun sebenarnya sangat lucu dan manis. Tapi kalau mood-nya sedang buruk, wahh, saya bisa diteriak-teriaki hanya karena kesalahan kecil. Gadis kecil ini juga tidak anti dicuil-cuil pipinya ataupun dielus-elus rambutnya. Entah karena gengsi atau kenapa, Emilia tidak pernah memanggil nama saya. Emilia lebih sering memanggil saya dengan sebutan pige (baca: pi)atau artinya gadis muda. Bahkan saat "melaporkan" saya dengan mor (baca: moa) atau far (baca: fa)-nya pun, dia sering sekali mengucapkan "gadis ini atau gadis itu", "selamat malam, gadis!", atau "kasih tahu gadis itu ya...". Padahal pige hanya sebuah panggilan kalau kita memang tidak tahu nama orang tersebut.

Sama seperti anak seusianya, Emilia juga suka sekali diajak bermain. Tapi kalau dia lagi asik main bersama, jangan sampai saya mendadak hilang mood dan menghentikan permainan. Dia akan mengikuti saya ke kamar, naik-naik ke punggung, bahkan sampai menarik-narik baju kalau tidak diperhatikan. Sayangnya, saya hanya bisa bertemu Emilia 3 jam setiap harinya. Selain sekolah, Emilia harus tidur sebelum jam 8 malam. Jadinya saya bisa manyun-manyunan dengan gadis lucu ini saat dia bangun tidur, sarapan, dan makan malam.

Tiga bulan lalu, Louise juga melahirkan anak kembar bernama Nikolaj dan Frederik. Tapi walaupun kembar, mereka berdua benar-benar tidak mirip. Nikolaj yang bermuka bulat dan berat, lebih mirip ke Brian. Sementara Frederik yang lebih mungil dengan hidung lancip, lebih mirip ke Louise.

Sudah dua minggu lebih ini tinggal di rumah mereka, Alhamdulillah, membuat saya terus nyaman. Kesan pertama terhadap keluarga mereka yang hangat dan rileks, membuat saya benar-benar dianggap sebagai keluarga. Walaupun capnya au pair, bantu-bantu bersih rumah, tapi sikap mereka membuat saya benar-benar dihargai. Mereka juga mencetak ulang stiker baru termasuk nama lengkap saya untuk ditempelkan di kotak pos.

Kamar saya ada di basement yang berdekatan dengan toilet dan ruang nonton. Karena mereka memang baru pindah 4 bulan di rumah ini, jadinya kamar saya memang belum fully furnished. Beberapa perabotan yang dibutuhkan akan dibeli bersama untuk mencocokan dengan selera saya. Seminggu kemudian Brian akhirnya mengajak ke IKEA membeli beberapa perabotan seperti meja belajar, karpet, gambar, dan jam dinding dengan nuansa hitam putih yang saya pilih sendiri.

Mereka juga sangat respek dengan apa yang saya makan dan yakini. Karena saya tidak makan daging, mereka juga selalu memastikan salmon atau kod di freezer tersedia. Louise juga sangat menghargai jam-jam ibadah saya yang sebenarnya sangat fleksibel. Untuk urusan kerjaan pun, mereka tipikal keluarga yang tidak cerewet dan sangat santai. Kalau memang bisa dikerjakan sendiri, ya mereka lakukan tanpa harus menyuruh ini itu.

Walaupun berbeda dengan pengalaman au pair saya di Belgia yang lebih seperti guru TK dan kakak tertua, disini saya memang lebih difokuskan mengurus urusan rumah tangga. Untuk urusan Emilia, orang tuanya yang akan mengurus. Belanja bahan makanan pun tidak diberatkan ke saya lagi, hore! Sisanya, saya hanya perlu membantu Louise menenangkan si bayi atau menjaganya saat dia sedang sibuk. Itu juga terkadang ibunya Louise yang akan datang dan mengasuh cucunya. Walaupun kadang sehari saya sering di-list cukup banyak pekerjaan, namun dihari-hari berikutnya saya bisa saja sangat free.

Biasanya juga sebagai orang baru, au pair akan segan atau malas keluar kamar, kalau anggota keluarga ada di rumah. Untuk mengambil makanan di dapur pun kita rasanya enggan dan memilih untuk tahan kelaparan saja di kamar. Tapi karena sikap mereka yang hangat dan netral, saya juga akhirnya tidak segan untuk keluar kamar dan membaur. Saya juga tidak terlalu canggung karena Louise ada di rumah setiap harinya. Louise bukan tipikal ibu-ibu bawel yang selalu ingin tahu apa yang saya kerjakan, makan, dan masak. Setiap berpapasan di rumah pun, dia selalu menebar senyum. What a sweet mom!

Sewaktu di Belgia dulu, entah kenapa saya sedikit malas bergabung makan malam dengan keluarga angkat saya disana. Entah kenapa tidak terlalu banyak yang bisa saya mengerti dari ucapan mereka dan lebih memilih diam. Berbeda dengan disini, saya yang tadinya "dijadwalkan" ikut makan malam semeja sekitar dua kali seminggu, sayanya tidak tahu diri ikut terus dari Senin sampai Jumat. Saya juga tidak canggung lagi karena setiap hari biasanya selalu ada topik yang akan dibahas.

Menurut saya, makan satu meja bisa mengakrabkan semua anggota keluarga. Walaupun di Indonesia saya dan keluarga hanya makan semeja saat bulan Ramadhan, tapi memang momen seperti itulah yang dapat kita manfaatkan berkumpul bersama saat seharian sudah beraktifitas.

Yang saya sebal dari keluarga ini adalah satu, senang sekali buang-buang makanan! Saya ingat betul saat Brian mengambil seikat daun bawang di kulkas, yang jumlahnya mungkin 6 tangkai. Karena yang dibutuhkan hanya 4, sisanya lagi langsung dibuang ke kotak sampah. Oh, damn! Kenapa tidak disimpan di kulkas saja kan ya? Sudah banyak sekali makanan yang terbuang oleh ulah si bapak ini.

Lalu ada juga soal kisah sisa lauk yang biasanya selalu dibuang karena tidak akan mungkin dimakan lagi. Berbeda dengan Indonesia yang biasanya masak sepanci, sisanya masuk kulkas, lalu besoknya dipanaskan lagi. Disini, semua itu tidak berlaku! Tidak habis, ya dibuang. Memang tepat juga sih, mengingat setiap hari menu makanan selalu berubah.  Tapi kan....

"I always try to make or prepare dinner food from clean condiments. That's why I threw away all of the things from few days in the past in fridge. I understand it's wasting cash, but...."

"No problem," kata saya.

"Yes. It is," katanya sambil ketawa.

Horang kayah!

Tips Perayaan Idul Adha di Wisma Duta Denmark|Fashion Style

Ini yang ketiga kalinya saya ketinggalan shalat Ied di tanah rantauan. Tahun lalu, saya dan Anggi, teman au pair asal Bali, harus datang terlambat ke KBRI di Tervuren karena bangun kesiangan. Sementara saat Idul Adha, saya sudah pindah ke Laarne dan cukup jauh menuju KBRI. Tahun ini pun, lagi-lagi saya harus ketinggalan shalat Idul Adha karena salah dapat informasi.

Sehari sebelumnya saya memang sudah menghubungi pihak Kedubes RI di Denmark menanyakan perihal jam shalat. Mungkin karena si bapak yang menerima telepon saya juga lupa, jadinya beliau mengatakan kalau shalat dimulai jam 9 pagi. Beliau juga mengatakan untuk mengecek langsung ke situsnya kedubes karena sudah disebar surat undangan. Saya masuk situs KBRI, mencari-cari undangan yang dimaksud, namun tidak ketemu. Ada juga surat undangan tahun 2013 yang mengatakan shalat dimulai jam 9 pagi. Berbekal informasi yang sudah saya dapat, akhirnya saya sudah mengecek bus yang bisa sampai sebelum jam 9 pagi.

Di Denmark, shalat Ied akan dilaksanakan di Wisma Duta, tempat tinggalnya duta besar RI yang mesti ditempuh selama fifty five menit dari Herlev (baca: Hearlu). Jam setengah 8, saya sudah pamit ke Brian dan Louise demi mengejar bus ke Charlottenlund. Sebenarnya saya juga yakin kalau ada beberapa masjid di daerah yang lebih dekat dari Herlev. Tapi karena saya baru di Denmark, ingin juga langsung berkenalan dengan orang Indonesia yang ada disini. Dibandingkan Belgia, peredaran orang Indonesia di Denmark menurut saya lebih sedikit.

Sempat turun kejauhan gara-gara si sopir malas mengganti pemberitahuan di bus, saya harus turun dan menunggu lagi bus yang menuju arah sebaliknya. Saya juga harus lari-larian kecil mengejar waktu yang sudah nyaris jam 9. Et voila... setelah sampai, seorang bapak yang saya temui sedang memarkir mobilnya di Wisma Duta mengatakan kalau shalat Ied-nya sudah selesai. Tuing!

"Lho, bukannya jam 9 katanya, Pak?"

"Nggak. Diundangannya jam eight, Mbak. Masuk aja tapi, masih ceramah kok di dalam."

Wahh, lagi-lagi saya telat dan melewatkan shalat Idul Adha tahun ini. Jadinya saya ikut duduk saja di shaf paling belakang sambil mendengarkan bagian akhir ceramah. Setelah mengobrol dengan salah satu mbak-mbak di Wisma Duta, saya baru tahu kalau undangan disebar melalui Facebook bukan situs KBRI. Lalu shalat yang harusnya dimulai jam 8 pun baru terlaksana setengah jam kemudian.

Setelah makan gratis, saya juga sempat berkenalan dengan para mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil gelar Master atau Doktor-nya di Denmark. Mungkin karena Idul Adha tahun ini dirayakan pada hari kerja, orang Indonesia yang datang ke Wisma Duta pun tidak terlalu ramai. Selain itu juga, kebanyakan mahasiswa kuliah di Aarhus sehingga untuk datang ke Charlottenlund pun tidak sebentar.  Lain kali mungkin saya shalat dulu saja di masjid atau Islamic Center terdekat dari Herlev, lalu setelahnya baru makan gratis di Wisma Duta. Hah!

Sunday, July 12, 2020

Tips Minggu-minggu Awal di Denmark|Fashion Style

Sama seperti para asing yang baru tiba di Denmark dan berencana tinggal lebih dari three bulan, saya pun juga diwajibkan mengurus surat izin tinggal agar dianggap sah oleh pemerintahan Denmark. Karena Louise memang sedang berada di rumah, dia pun tidak segan membantu saya mengurus banyak hal hingga selesai, walaupun kadang harus membopong keranjang bayi kemana-mana. Lalu apa saja yang harus dilakukan saat awal-awal tiba di Denmark?

1. Mendapatkan CPR Number

Sama seperti nomor induk kependudukan, nomor CPR inilah yang harus saya dapatkan terlebih dahulu sesampainya di Denmark. Nomor ini menjadi begitu penting, karena semua sistem di Denmark akan merekam information diri kita sehingga saat dibutuhkan, hanya tinggal menyebutkan nomor CPR, selesai!

Saya memiliki waktu five hari setelah kedatangan untuk mendaftarkan diri ke balai kota terdekat. Karena saya tiba di Denmark hari Senin, besoknya Louise langsung mengajak ke balai kota Herlev (baca: Hearlu).

Banyak para warga negara asing baik yang berstatus pelajar ataupun ekspatriat mendaftarkan diri mereka di International House Copenhagen. Karena banyaknya aplikasi yang masuk, biasanya sering terjadi penundaan sehingga proses mendapatkan CPR jadi lebih lama. Jadi lebih baik mendaftarkan diri di balai kota yang akan kita tempati langsung.

Proses mengurus CPR pun sangat singkat. Setelah antri menunggu panggilan, saya dan Louise hanya perlu mengisi formulir yang diserahkan oleh petugas. Surat keterangan dari kedutaan serta paspor juga akan difotokopi langsung oleh petugas di tempat.

Biasanya kita bisa langsung mendapatkan nomor CPR hari itu juga. Saya mendapatkan informasi ini dari seorang teman au pair Indonesia yang lebih dulu sampai di Denmark. Tapi karena saya baru tahu beberapa hari setelahnya, dua hari kemudian Louise baru menelepon pihak balai kota. Petugas menyuruh kembali ke kantor balai kota besoknya, lalu menuliskan nomor CPR saya yang sudah bisa digunakan di selembar kertas berstempel.

Tidak sampai 2 minggu kemudian, kartu asuransi berwarna putih-kuning bertuliskan nomor CPR serta kartu izin tinggal diantarkan ke rumah. Kartu berwarna putih-kuning ini adalah kartu kesehatan dan sosial yang dapat digunakan di semua rumah sakit di Denmark. Sementara kartu izin tinggal dengan brand hologram didapatkan dari kantor imigrasi. Saat ingin bepergian ke luar negeri thru bandara, tunjukkanlah kartu izin tinggal ini ke pihak imigrasi, bukan kartu kesehatan berwarna putih-kuning.

Sialnya ada kesalahan nama tengah saya yang ditulis oleh pihak balai kota, sehingga saya harus kembali lagi memperbaikinya. Prosesnya juga sangat singkat. Saya hanya perlu membawa kartu putih-kuning serta paspor untuk ditunjukkan kepada mereka. Setelah mereka mengganti nama saya, tidak sampai 2 minggu kemudian katanya kartu baru akan datang. Sebelum kartu baru datang, saya masih dapat menggunakan kartu lama.

2. Membuka rekening financial institution

Setelah tahu nomor CPR saya, Louise langsung menghubungi financial institution Nykredit. Pihak bank mengatakan saya tidak perlu datang langsung ke bank, karena berkas-berkas bisa dikirim ke rumah. Kurang dari sepuluh hari kemudian, berkas-berkas dari bank sudah datang dan menandai halaman-halaman yang harus saya tanda tangani. Setelahnya, berkas tersebut harus dikirim balik ke pihak bank agar pembuatan kartu ATM dapat langsung diproses.

3. Mendaftar kursus Bahasa Denmark

Selain membuka rekening financial institution, Louise juga segera menghubungi sekolah bahasa yang ada di Ballerup. Cek juga di balai kota yang akan ditinggali apakah terdapat sekolah bahasa Denmark. Beberapa daerah kadang tidak mengadakan kursus bahasa Denmark stage dasar sehingga kita harus mencari sekolah bahasa di kota terdekat lainnya.

Sebelum mulai belajar, biasanya calon siswa harus membuat janji wawancara terlebih dahulu dengan pihak sekolah bahasa. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana stage pendidikan calon siswa serta bahasa kedua yang mereka gunakan.

Setelah proses wawancara yang hanya memakan waktu sekitar 20 menit, staf sekolah mengatakan saya baru bisa mendaftar kalau surat pengantar dari mereka telah diantarkan ke rumah. Surat ini akan memuat degree bahasa saya, waktu belajar, serta informasi lain yang berkaitan dengan sekolah bahasa tersebut.

4. Mengambil NemID

Setelah mendapatkan nomor CPR dan kartu putih-kuning, biasanya akan ada surat pengantar dari balai kota yang mengatakan kita harus datang lagi mengambil NemID. NemID ini berisi urutan angka-angka yang digunakan untuk masuk ke akun financial institution online atau sebagai keamanan sistem digital di net.

Karena saya au pair, maka ada verifikasi data dari pihak balai kota yang mewajibkan Louise harus ikut datang mengambil NemID. Ada hal-hal yang harus mereka tahu dari pihak penanggung tentang keberadaan saya disini.

Begitulah tahapan-tahapan yang harus saya lakukan diawal-awal kedatangan ke Denmark. Alhamdulillah Louise sangat membantu dalam segala hal termasuk menjelaskan ini itu. Setelah semuanya selesai, selamat datang jadi salah satu penduduk sementara negara mahal ini!

Tips Uang Saku di Denmark Naik, Pajak Menunggu!|Fashion Style

Hari ini saya gajian. Tapi langsung sakit hati setelah sadar uang saya harus dipotong nyaris 32% untuk bayar pajak. Hiks!

Saya mengerti kenapa orang Denmark disebut-sebut sebagai orang paling bahagia di dunia. Setelah harus "sakit" dipotong gajinya untuk membayar pajak tiap bulan, nyatanya memang warganya mendapatkan banyak fasilitas dari pemerintah. Selain mendapatkan fasilitas rumah sakit gratis, mereka juga dapat menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi tanpa dipungut biaya apapun. Lucunya, bukannya harus membayar uang kuliah, para pelajar justru mendapatkan tunjangan pendidikan yang besarnya 4000-5000kr perbulan.

Pemotongan pajak penghasilan ini pun dihitung persenannya berdasarkan jumlah gaji yang kita terima setiap tahun. Seseorang wajib kena pajak jika penghasilannya lebih dari forty two.900kr. Semakin besar penghasilan yang diterima setiap tahunnya, semakin besar pajak yang harus dibayar. Seperti Louise yang gajinya harus dipotong 37% untuk membayar pajak tiap bulan, lalu Brian yang mesti kena pajak penghasilan sampai 60%.

Lalu kenapa au pair juga harus membayar pajak, padahal katanya au pair bukanlah dianggap sebuah pekerjaan?

Per tanggal 1 Juli 2015, diberlakukan peraturan baru soal status au pair. Salah satunya, au pair boleh mengikuti kegiatan sukarela tanpa dibayar lalu tentang kenaikan gaji yang sebelumnya 3500kr menjadi 4000kr. Senang? Tentu saja! Tapi hanya ketika saya berada di Indonesia. Setelahnya disini, saya harus dibuat pusing oleh beberapa penjabaran pajak yang intinya harus saya bayar sebelum tanggal 20 setiap bulannya.

Kalau dihitung, jumlah uang saku saya 48000kr pertahun dibandingkan au pair lama yang hanya 42000kr. Artinya, saya memang sudah wajib dikenai pajak di Denmark. Sialnya, dibandingkan au pair lama yang bisa mendapatkan uang saku 3250kr hingga 3500kr perbulan, saya hanya mendapatkan tidak sampai 3000kr setiap bulan! Aaarrgghh..

Sebenarnya saya memang sudah diberitahu Louise soal uang pajak ini sebelum saya terbang ke Denmark. Namun Louise juga tidak tahu kalau pajak yang harus dibayarkan lebih dari apa yang dia tahu. Ikhlas tidak ikhlas, ya nyatanya pajak tetaplah harus dibayarkan.

Karena fame kependudukan saya sudah nyaris disamakan dengan warga Denmark, maka saya harus membayar pajak eight% untuk fasilitas kesehatan, 23.7% untuk pajak balai kota, lalu tidak sampai 1% sisanya untuk membayar pajak gereja. Tapi karena saya bukan pengikut gereja, jadinya pajak ini bisa dihapuskan dari kewajiban saya. Untuk pajak balai kota sendiri, tergantung dimana domisili au pair tersebut. Tiap balai kota menerapkan pajak yang berbeda-beda untuk setiap penduduknya.

Meski au pair bukanlah dianggap sebuah pekerjaan, namun ternyata kami juga harus membayar pajak atas fasilitas tempat tinggal dan makan gratis. Walaupun semua makanan saya di rumah dibeli oleh keluarga asuh, namun ternyata hitungan kasarnya saya "membayar" sekitar 768kr perbulan untuk makanan tersebut.

Seseorang yang bekerja untuk usahanya sendiri, masuk ke pajak tipe B, yang artinya akan ada pembebasan pajak 2 bulan dalam satu tahun yaitu bulan Februari dan Desember. Untuk kedua bulan tersebut saya akan mendapatkan gaji penuh tanpa dipotong pajak.

Walaupun mendapatkan fasilitas rumah sakit gratis, nyatanya au pair bukanlah penduduk permanen kota Denmark. Siapa sih au pair yang ingin sakit di masa-masa kontraknya? Saya juga berharap tidak ingin sakit parah lalu "bahagia" bisa berobat free of charge di rumah sakit. Meski ada juga pemeriksaan kanker rahim dan payudara yang sebenarnya beruntung juga bisa free of charge disini. Sayangnya untuk dokter gigi tidak digratiskan karena klinik dokter gigi tersebut berjalan sendiri tanpa dibantu pemerintah.

Kalau dibandingkan dengan Indonesia, jangankan memutar uang pajak untuk kepentingan masyarakat umum, yang ada pajak dikorupsi. Belum lagi adanya perbedaan fasilitas yang didapat untuk orang miskin dan kaya di rumah sakit. Berbeda di Denmark, orang termiskin dan terkaya sekalipun tetap akan mendapatkan pelayanan rumah sakit yang sama. Ya sudahlah, selamat datang di salah satu negara termahal dunia dimana nyaris semua hal diberlakukan pajak yang tinggi!

**per tanggal 1 Januari 2016 uang saku au pair di Denmark menjadi 4050kr/bulan

Tips Mengenal Sistem Transportasi Umum yang Mahal di Denmark|Fashion Style

Setelah uang saku harus dipotong pajak , saya pun juga harus jadi financial manager untuk diri sendiri. Selain membagi pos-pos uang untuk belanja, jalan-jalan, dan tabungan, saya juga harus menyisihkan 25% dari uang saku untuk pos transportasi setiap bulannya.

Karena sudah jadi penduduk sementara Denmark, saya harus memikirkan betapa mahalnya uang yang harus dikeluarkan demi naik kendaraan umum disini. Sewaktu di Belgia, saya hanya perlu membeli tiket ?23.60 in keeping with bulan naik bus tanpa batas ke semua daerah Flemish. Sementara disini, harus menyisihkan 655kr atau sekitar ?88 consistent with bulan untuk naik kendaraan umum (kereta, bus, dan metro) tanpa batas hanya di beberapa penjuru Denmark.

Denmark memang kota mahal. Bahkan orang Denmark sendiri mengakui kalau biaya transportasi umum di negara mereka memanglah mahal. Untuk punya mobil pribadi pun, mereka harus membayar pajak yang tinggi. Belum lagi urusan bensin dan biaya perawatannya. Transportasi umum di Denmark sendiri sebenarnya sangat nyaman dan bagus ketimbang Belgia. Terutama untuk kereta antarkota yang lebih mirip kereta antarnegara, atau betapa mudah dan cepatnya akses dari Kopenhagen ke bagian selatan Swedia, Malmö.

Sebelum berangkat ke negara tujuan, saya memang rajin mempelajari dulu tentang sistem transportasi umum dan pembelian tiket di negara tersebut. Menurut saya transportasi menjadi hal terpenting karena nyaris setiap hari saya harus berangkat ke sekolah bahasa, belum lagi hang out setiap minggunya.

Berbeda dengan Belgia yang lebih simpel, mempelajari sistem transportasi umum di Denmark cukup membuat saya pusing. Denmark memberlakukan sistem zona yang dibagi menjadi ninety nine bagian. Belum lagi banyak sekali pilihan tiket yang bisa dipilih berdasarkan reputation, umur, dan intensitas ke tempat tujuan. Sebagai au pair, berikut saya berikan gambaran tentang sistem transportasi yang ada di Denmark!

1. Pahami dulu zona transportasi umum di Denmark

Memahami pembagian zona yang ada di Denmark membuat kita terhindar dari overpaying ke tempat tujuan. Saya juga awalnya sering sekali "ketipu" hingga akhirnya harus mengeluarkan uang lebih demi sebuah single ticket. Sebelum memulai, silakan ketahui dahulu zona tempat tinggal kita lalu cek website Movia untuk menggunakan dan mengecek kalkutor zona yang ada di Denmark.

2. Rencanakan rute dan hitunglah zona yang akan dilewati

Karena saya tinggal di Herlev (baca: Hearlu), maka sesuai peta zona di bawah ini Herlev berada pada zona 31 (warna merah).

Sekolah bahasa yang akan saya datangi nyaris setiap hari berada di Ballerup, masuk ke Zona forty two (warna biru muda). Sesuai dengan peta zona, maka saya akan melintasi 2 zona jika ingin ke Ballerup. Lain halnya jika saya ingin ke Roskilde yang ada di zona eight (warna oranye), maka harus melintasi 6 zona. Silakan lihat bagian peta di kanan bawah, tabel menerangkan tentang pembagian beberapa zona yang akan dilewati berdasarkan warna.

3. Pembelian tiket everyday untuk semua moda transportasi

Di Denmark, satu tiket yang dibeli berlaku untuk semua moda transportasi seperti bus, kereta, dan metro. Waktu berlaku tiket pun berdasarkan dengan jumlah zona yang ditempuh. Tiket yang berada pada satu zona berlaku sampai 60 menit, 2 zona berlaku 75 menit, 3 zona berlaku 90 menit, dan seterusnya ditambah 15 menit.

Jika perjalanan pertama menggunakan bus, maka tiket bisa langsung dibeli di supir saat akan naik dengan uang tunai. Sementara jika perjalanan pertama dilakukan dengan kereta dan metro, tiket bisa langsung dibeli melalui mesin ataupun 7-Eleven. Pembelian tiket inipun dihitung berdasarkan zona yang akan dilewati.

Untuk pembelian tiket regular dengan uang tunai, dikenakan tarif 12kr in line with zona. Sementara pembelian tiket melalui SMS akan dikenakan diskon khusus. Contohnya untuk tiket ke 2 zona seharga 24kr, bisa dibeli dengan harga 15kr saja melalui SMS.

Menurut saya, membeli tiket bus langsung dengan si sopir bisa menghindarkan kita dari overpaying asalkan tahu kemana rute yang akan kita ambil dan tahu total zonanya. Contohnya saya berada di Herlev (warna merah-lihat peta) ingin ke Kopenhagen (warna kuning) yang masuk ke Zona 1, artinya saya hanya akan melintasi 3 zona. Namun karena saat itu si sopir juga tidak tahu berapa zona yang akan dilewati jadinya dia sembarang hitung hingga 4 zona. Saya pun "terdoktrin" untuk selalu membayar 96kr PP dari Herlev-Kopenhagen, padahal bisa berhemat 24kr seandainya lebih paham sejak awal.

Sopir bus biasanya lebih acuh dan hanya menuruti pembelian tiket sesuai jumlah zona yang penumpang katakan. Jadi daripada mengatakan "ke Kopenhagen", sebut saja "three zona". Berbeda halnya jika kita membeli tiket metro atau kereta melalui mesin atau 7-Eleven, mereka biasanya akan menghitung jumlah zona berdasarkan rute kereta yang akan kita lewati. Dari Herlev menuju Hellerup yang sebenarnya hanya 2 zona, bisa menjadi 3 zona karena si kereta melintasi zona lain sebelum tiba di Hellerup.

Untuk lebih jelasnya soal jadwal kereta, jumlah zona, serta harga tiket yang harus dibayarkan silakan buka website ini .

Four. Membeli tiket bulanan untuk intensitas tanpa batas

Tiket bulanan atau Periodekort ini saya pilih karena setelah dihitung-hitung, jatuhnya lebih murah ketimbang harus membeli tiket normal setiap waktu. Tiket ini juga cocok bagi au pair yang sering pulang pergi tempat kursus nyaris setiap hari menggunakan transportasi umum. Belum lagi acara nongkrong di kota besar setiap akhir pekan.

Karena kota besar yang selalu saya datangi adalah Kopenhagen, sementara saya harus ikut sekolah bahasa di Ballerup, maka saya harus membeli tiket bulanan four zona. Keempat zona ini pun bukan sembarangan zona yang berada di sekitar Herlev, tapi dihitung berdasarkan rute menuju Kopenhagen atau Ballerup saja. Untuk ke Kopenhagen dari Herlev, saya harus melewati Zona 31, 2, 1, sementara Ballerup sendiri berada di Zona 42 (warna biru muda-lihat peta).

Lalu bagaimana jika saya ingin ke Lyngby (warna biru muda) yang ada di Zona 41? Tiket bulanan ini tidak berlaku karena zona yang tercatat hanya Zona 31, 2, 1, 42 saja. Untuk ke zona lainnya saya tetap harus membayar tiket lagi. Untuk harga tiket bulanan di tahun 2015 ini sendiri, bisa cek disini .

Sebenarnya membeli tiket bulanan ini memanglah sangat mahal di awal. Namun cukup affordable apabila rute yang dilewati setiap minggu hanya itu-itu saja. Lagipula selama 30 hari kita dapat mengakses semua moda transportasi yang ada tanpa batas waktu, kecuali untuk night bus yang akan dikenakan harga 2 kali lipat dari harga normal.

Selain bisa dibeli melalui aplikasi DSB, tiket ini juga dapat dibeli melalui kantor DSB yang ada di stasiun kereta kota-kota besar seperti Kopenhagen, Aarhus, Odense. Bagi yang baru pertama kali membeli, harus menyertakan pas foto diri berukuran 3x4 sebagai identitas. Setelahnya, tiket ini dapat diperpanjang langsung dengan membeli Periodekort di mesin.

5. Membeli Wildcard bagi yang berusia di bawah 26 tahun

Menggunakan Wildcard akan sangat menghemat biaya jika ingin bepergian ke daerah yang lebih jauh menggunakan kereta. Wildcard sendiri dapat dibeli melalui aplikasi DSB yang dapat diunduh di Google Play atau App Store seharga 125kr atau di 7-Eleven tertentu dengan harga 150kr yang masa keanggotaannya berlaku selama satu tahun.

Memiliki kartu ini memungkinkan para muda-mudi mendapatkan diskon kereta hingga 50% di hari Sabtu, atau 20% untuk tiket menuju Malm?, serta diskon produk lainnya di 7-Eleven. Wildcard bisa sangat menguntungkan jika memang ingin mengunjungi daerah-daerah di Denmark yang cukup jauh dari tempat tinggal.

6. Berlangganan Rejsekort

Rejsekort adalah kartu transportasi isi ulang yang juga dapat digunakan pada semua moda transportasi di Denmark. Bagi yang sudah memiliki Wildcard, bisa mendaftar langsung untuk mendapatkan Rejsekort for Young Person di kantor DSB. Dengan kartu ini, para muda-mudi bisa mendapatkan diskon transportasi umum yang sama seperti membeli tiket lewat SMS.

Kartu fisik Rejsekort didapat setelah mengisi formulir dan menyerahkan uang 50kr untuk membeli kartu di loket DSB. Jangan lupa juga untuk melakukan check in saat akan menaiki transportasi umum, lalu check out saat sampai tempat tujuan. Jangan check out setiap kali turun dari transportasi umum, namun check out hanya saat sudah benar-benar sampai di tempat yang kita tuju.

Banyak yang mengatakan Rejsekort bisa sangat hemat dibandingkan membeli tiket bulanan. Namun saat saya hitung sendiri, langganan Rejsekort juga tidak sehemat yang semua orang kira. Memang kita mendapatkan diskon harga di waktu-waktu tertentu, namun bisa juga sangat boros mengingat kita harus sering-sering juga isi ulang.

7. Naik sepeda sekalian cuci mata

Selain Amsterdam, Kopenhagen juga penuh oleh pengendara sepeda. Dibandingkan naik transportasi umum yang mahal, orang-orang yang masih tinggal di dalam location besar Kopenhagen lebih memilih sepeda sebagai transportasi mereka.Berbeda dengan Herlev yang jalanannya kebanyakan tanjakan, jalanan di kota besar seperti Kopenhagen kebanyakan datar sehingga lebih nyaman untuk bersepeda.

Bukan hanya hemat dan sehat, bersepeda juga memungkinkan kita cuci mata. Di Kopenhagen, saya sering menemui banyak cowok-cowok keren yang bersepeda sekalian konvoian bersama teman. Jadi tidak perlu takut mati gaya saat bersepeda, karena nyatanya pengendara sepeda juga banyak yang oke-oke.

Tapi yakinlah, saat cuaca buruk sepeda bukanlah transportasi yang nyaman digunakan. Saya sendiri sudah kapok bersepeda saat musim dingin, ketika wajah lebih sering kena angin hingga sepeda mudah goyah dan harus digayuh lebih kuat. Pengalaman saya berbelanja saat musim dingin di Belgia pun akhirnya benar-benar membuat saya menyerah sering-sering menggunakan sepeda di Denmark.

Namun sebenarnya, bersepeda cukup mengasyikkan juga apalagi saat cuaca sedang sempurna. Selain itu, kita juga tidak terpaku jadwal bus dan takut ketinggalan kereta terakhir karena fleksibilitas pengendara sepeda. Mungkin saat memasuki musim semi yang cukup hangat, saya akan bersepeda kembali.

Memahami sistem transportasi umum di Denmark memang cukup membingungkan di awal-awal, belum lagi soal pembagian zona yang banyak orang juga tidak mengerti. Namun ilmu matematika kita harus benar-benar diasah disini kalau tidak ingin membayar lebih.

Untuk info selengkapnya mengenai transportasi umum di Denmark serta info lain tentang Denmark, silakan cek di website ini .

Saturday, July 11, 2020

Tips Kota yang Sepi, Negara yang Sepi|Fashion Style

Kalau ingin menilai diri sendiri, saya termasuk orang yang introvert secara publik, namun tidak secara personal. Saya memang lebih suka tempat-tempat yang tenang demi hanya membaca buku atau berjalan menikmati alam. Tapi sesuka-sukanya saya dengan ketenangan, Denmark menurut saya terlalu kaku!

Karena tinggal hanya 11 km dari Kopenhagen, tentunya waktu luang saya sering dihabiskan di kota ini. Sama seperti Amsterdam, warga Kopenhagen juga lebih suka mengendarai sepeda ke tempat-tempat yang masih menjadi The Great Copenhagen Area. Selain harga tiket transportasi umum yang mahal, Kopenhagen hanyalah kota kecil yang jalanannya kebanyakan flat sehingga sangat nyaman bersepeda serta tidak terlalu lama menjangkau ke banyak tempat. Jalanan untuk sepeda pun dibuat serapih mungkin agar hak pengendara sepeda terjamin.

Saya memang belum pernah ke kota-kota besar lain seperti Århus atau Odense, tapi melihat Kopenhagen, cukup memberikan gambaran bagaimana suasana kota-kota lainnya. Walaupun Kopenhagen adalah kota terbesar sekaligus ibukota Denmark, tapi kota ini sungguh sepi. Jika ingin melihat banyak orang berlalu lalang, silakan saja mendatangi tempat-tempat yang sering didatangi turis di sekitar area stasiun utama Kopenhagen, Nørreport, hingga Østerport.

Daerah itu pun menjadi ramai karena memang pusat-pusat tempat wisata berada disana. Selain itu, ada juga jalan terkenal bernama Strøget (baca: Stro' el) yang kanan-kirinya kebanyakan toko-toko fashion yang nantinya jalan ini berujung di salah satu mall dan Nyhavn (baca: Nuha 'n).

Salah satu sudut keramaian di sentral Kopenhagen

Daerah pejalan kaki yang kanan kirinya pertokoan memang tidak pernah sepi

Saat naik bus dari Herlev (baca: Hearlu), suasana terasa begitu lenggang walaupun saya sudah masuk bagian utara wilayah Kopenhagen. Namun suasana berubah ramai saat bus berhenti di stasiun Nørreport. Pernah juga saya berhenti di bagian lain Denmark, Bagsværd, yang tidak jauh dari Herlev. Ketika ingin ganti bus menuju Herlev, stasiun terasa begitu sepi dan hening. Padahal hari itu Sabtu dan waktu belum menunjukkan pukul 9 malam. Saya membayangkan masih begitu hidupnya suasana di kota kecil Belgia di waktu yang sama.

Don't worry, she'll be fine in lonesome.
Salah satu sudut permukiman mahal di Hellerup

Suasana hening pun juga terasa saat naik kendaraan umum di Denmark. Di bus, metro, ataupun kereta, orang-orang sepertinya tutup mulut lalu hanya memandangi ponsel atau luar jendela. Di kereta sendiri, ada satu koridor yang khusus ditujukan untuk orang-orang anti bising. Bahkan pernah ada kejadian teman saya yang sedang main ponsel dengan earphonedan jelas-jelas tanpa suara pun, ditegur oleh nenek-nenek. "Kamu tahu tidak kalau ini ruangan anti bising?", katanya dalam bahasa Denmark.

Tapi dibalik sepi dan heningnya negara ini, sebenarnya rasa tenteram dan aman selalu dapat saya rasakan. Suatu malam, saat baru satu minggu di Denmark, saya sempat tersasar hingga dua jam. Selain ponsel mati, saya juga sulit sekali menemui orang yang sekedar lewat di jalanan demi menanyakan arah. Beruntung saya berhasil bertemu dengan dua orang pesepeda, lalu satu orang wanita yang sedang mengajak jalan anjingnya di tengah malam. Alhamdulillah dari wanita itulah saya akhirnya bisa menemukan jalan pulang ke rumah dengan aman. Sialnya, jalan yang harusnya bisa ditempuh 8 menit saja menembus hutan, terpaksa menjadi 55 menit karena saya harus berputar melewati jalanan aspal.

Jalanan sekitar stasiun utama Kopenhagen dan Tivoli di Sabtu malam

Saya jadi mengerti mengapa Denmark dijuluki sebagai salah satu kota teraman di dunia selain Selandia Baru. Jumlah populasi yang sedikit membuat tingkat kriminalitas di negara ini sangat rendah. Tidak akan ada yang merampok, membegal, ataupun menculik sekiranya kita ingin jalan kaki sendirian di tengah malam sekali pun. Saya juga pernah mendengar pengakuan seorang ekspatriat dari Amerika yang sudah tinggal lama di Kopenhagen mengatakan bahwa hanya di Denmark dia berani berjalan kaki membawa anjingnya saat jam 2 pagi. Di Washington DC, tempat dia tinggal, ada beberapa wilayah yang saat siang hari pun dia tidak berani lewati.

Selain jumlah populasinya yang sedikit, Brian, host dad saya, juga mengatakan kalau sebenarnya tidak ada yang berbahaya di Denmark. Mereka tidak punya singa, hewan berbisa, atau sesuatu yang mematikan seperti di Indonesia. Bahkan kalau bertemu laba-laba pun, tidak perlu juga dibunuh karena biasanya mereka hanya menumpang lewat. Fiuuhh..

Tips Masyarakat Kopenhagen dan Stereotipe Orang Denmark|Fashion Style

Lahir dan besar di Palembang membuat saya menjadi orang yang lebih menyukai suasana medium city ketimbang hiruk-pikuk di Jakarta. Menurut saya orang-orang di kota terbesar secara alami mempunyai pola hidup yang tidak rileks, cenderung kaku, dan individualis. Wajar memang, mengingat pusat negara dan kesibukan ada disana, sehingga karakter orang-orang yang bermukim pun cenderung berwarna-warni.

Sewaktu di Belgia, saya memang merasakan perbedaan besar ketika tinggal di dekat Brussels dan Ghent. Orang-orang yang ada di Brussels sangat bervariasi, tidak santai, dan sedikit emosional, terutama para imigran. Berbeda ketika berada di Ghent, saya kebanyakan bertemu dengan orang asli Belgia, sehingga atmosfer pun terasa lebih hangat dan bersahabat.

Sejujurnya saya bukannya kontra dengan para imigran, karena sebenarnya saya juga pendatang. Namun tinggal di Ghent membuat saya merasakan Belgia sebenarnya karena sering bertemu orang asli negara tersebut. *Saat menulis tulisan ini pun saya merindukan suasana Ghent lagi!*

Begitu pun dengan Indonesia, orang-orang yang ada di Jakarta tentunya sudah kebanyakan pendatang dari kota lain. Menemukan orang asli Betawinya sendiri tidak gampang. Namun cobalah ke kota besar lain seperti Medan, Yogyakarta, atau Surabaya, suasana asli yang hangat dan akrab akan lebih terasa.

Kembali ke Kopenhagen, ibukota Denmark. Kota ramah pengendara sepeda ini sama saja dengan ibukota negara lain, ramai oleh pendatang dan sibuk. Banyak juga orang Denmark asli yang bermukim di Kopenhagen, namun mereka lebih memilih tempat-tempat yang sedikit ujung wilayah Kopenhagen.

Sejauh ini, saya merasa nyaris 70% orang-orang yang ada di Kopenhagen adalah pendatang. Rata-rata mereka datang dari negara-negara Eropa Timur seperti Hungaria, Polandia, atau Turki. Sementara dari Asia sendiri, saya lebih sering bertemu dengan orang China, Filipina, dan Thailand. Banyak juga yang berasal dari Jerman atau Swedia datang ke Kopenhagen untuk sekolah gratis di CBS (Copenhagen Business School), DTU (Technical University of Denmark), atau KU (Københavns Universitet). Kabarnya sekolah bisnis di Kopenhagen adalah salah satu terbaik di Eropa.

Walaupun banyak kampus oke di Kopenhagen, kota pelajar sebenarnya adalah Aarhus. Sama seperti di Belgia, kebanyakan pelajar dari kota-kota lain akan bermuara di Ghent. Makanya kota ini pun terkesan lebih youthful dan bersahabat. Satu lagi, kota pelajar ini juga biasanya akan sedikit sepi di hari Sabtu karena kebanyakan pelajar akan pulang ke rumah orang tuanya dan kembali di Minggu sore.

Sebenarnya tinggal di ibukota negara seperti Kopenhagen tidak merugikan juga. Selain saya bisa bertemu dengan banyak teman internasional, banyak juga acara-acara seru yang diadakan di kota ini. Sayangnya menurut saya, sekali lagi, masyarakat Kopenhagen hampir sama dengan tipe-tipe orang di ibukota negara lainnya. Terlalu sering bolak-balik Kopenhagen sebenarnya cukup bosan juga. Apalagi pada dasarnya Kopenhagen lebih terkenal sebagai tempat membuang duit saat nongkrong (baca: pesta dan mabuk) di akhir pekan.

Oh ya, bukan di Kopenhagen saja, mungkin saya harus bicara tentang masyarakat Denmark keseluruhan. Ada stereotipe yang mengatakan bahwa orang Denmark itu pada dasarnya memang sangat tertutup, sering terprovokasi media, dan berpola pikir sempit. Hal ini memang sepertinya benar karena pada kenyataannya orang Denmark yang saya tanya pun mengakui hal tersebut.

Sangat sulit masuk ke lingkungan pertemanan orang asli Denmark kalau kita tidak bicara bahasa mereka. Namun jika kita sudah sangat dekat dengan mereka, "they will stick with you forever," aku salah satu orang Denmark.

Walaupun orang-orang Barat memang tidak terlatih untuk bertutur sapa dan mengenal tetangga sekitar mereka tinggal, namun ada juga yang ramah. Di Denmark sendiri, ada juga beberapa orang yang tidak segan menyunggingkan senyuman atau sekedar say hi saat berpapasan. Namun orang yang saya temui itu tentu saja bukanlah di Kopenhagen, namun lebih di daerah pinggir kota atau pedesaan yang lebih sepi.

Yang saya tahu, orang Barat memang tidak mengenal istilah SKSD seperti kita di Asia. Orang Asia memang terkesan lebih terbuka dan ramah walaupun baru detik itu bertemu. Kita bisa saja bicara soal masalah berita hingga keluarga ke orang yang tidak sengaja menegur di dalam bus.

Namun bagi orang sini, random conversation seperti itu tidaklah penting dan mereka hanya menilai kita sama sekali tidak peduli. Oke, satu hal yang saya tangkap, bagi kita random conversation bisa berupa awal dari bersikap ramah. Tapi bagi mereka, justru deep conversation yang carefree lebih berharga dan intim.

Friday, July 10, 2020

Tips Belajar Bahasa Denmark: Simpel tapi Menantang|Fashion Style

"I hate Danish!"

"When I heard Danes talk their own language, it's like they devour potatoes at the equal time."

"I've been right here for 5 years, however I cannot speak Danish but even though I recognize primarily all of component."

"Meskipun sudah three tahun di Denmark, saya pun masih harus battle sama pronunciation-nya."

Itulah beberapa komentar yang sering saya dengar dari para ekspat tentang bahasa Denmark.Mereka tidak suka dengan bahasa ini, tidak bisa bicara walaupun sudah cukup lama tinggal disini, bahkan malas belajar. Cukup beralasan memang, mengingat Kopenhagen adalah kota internasional dengan penduduk yang kebanyakan warga pendatang dari negara lain. Berbeda dengan ibukota negara lain yang pernah dikunjungi, saya rasanya sedang berada di UK ketika hampir setiap sudut Kopenhagen dipenuhi oleh para pendatang yang berbicara bahasa Inggris.

Orang asli Denmark dari penjuru utara sampai selatan pun sebenarnya sangat fasih bicara bahasa Inggris, kecuali para generasi tua yang tidak terlalu percaya diri dengan kemampuan bahasa mereka. Anak-anak muda dari usia 14 tahun sudah mampu berdialog dengan baik, walaupun kadang mereka masih rendah hati mengakui bahasa Inggris mereka tidak sempurna.

Saat berbelanja atau di kafe, jika pelanggan tidak bisa bicara bahasa Denmark, kasir ataupun pelayan secepatnya langsung berganti ke bahasa Inggris. Di Kopenhagen sendiri pun, kebanyakan orang Denmark akan sangat bangga jika bisa show off tentang Bahasa Inggris mereka ke orang asing. Mereka cenderung lebih nyaman bicara bahasa Inggris ketimbang mendengar orang asing berusaha bicara bahasa mereka dengan pengucapan yang super kacau.

Hampir semua penduduk Denmark bisa bahasa Inggris, lalu kenapa juga mesti belajar bahasa ini? Sayangnya, karena banyak warga pendatang yang memenuhi negara mereka, pemerintah akhirnya "mewajibkan" kursus bahasa Denmark bagi setiap pendatang yang sudah memiliki nomor CPR dengan tujuan pekerjaan ataupun studi. Namun karena biasanya masa studi software Master hanya sekitar 2 tahun, kebanyakan mahasiswa software ini menjadikan kursus bahasa Denmark sebagai opsional.

Di kelas saya, banyak sekali para pencari kerja yang mesti ekstra sabar belajar bahasa ini sampai mereka mampu melamar ke beberapa tempat kerja. Mereka sebenarnya sedikit berjudi dengan keadaan karena ikut suami atau pacar ke Denmark, mengungsi dari daerah perang, ataupun ingin mendapatkan kesempatan hidup yang lebih baik. Walaupun hampir semua orang di Denmark bisa berbahasa Inggris, namun lapangan pekerjaan akan terbuka lebih lebar bagi para pendatang jika mampu berbicara bahasa lokal.

Pelajaran bahasa memang tidak untuk semua orang, terutama mempelajari bahasa baru yang jauh dari bahasa ibu. Selain antusiasme dan motivasi, nilai fungsional sebuah bahasa juga berperan untuk menentukan suka tidaknya kita dengan bahasa tersebut. Bagi pendatang yang bekerja di sektor IT, mungkin saja mereka tidak perlu belajar bahasa Denmark terutama jika lingkungan pekerjaan tersebut lebih mengedepankan bahasa Inggris. Para mahasiswa juga tidak perlu juga repot-repot mengikuti kelas bahasa Denmark di malam hari karena kelas pun kebanyakan internasional dan memakai bahasa Inggris.

Setelah dua bulan mengikuti kelas bahasa di Ballerup, saya cukup mengerti tentang masalah bahasa di Denmark. Selain karena kebanyakan penduduk di Denmark bisa berbahasa Inggris dengan baik, bahasa Denmark sendiri memang terdengar sangat aneh bagi semua orang. Apalagi kelas Modul 1, dimana semua orang baru berkenalan dengan alfabet dan kata-kata baru, pasti menjadikan bahasa ini sebagai ajang lucu-lucuan. Saya pun merasa kalau mereka bicara dengan lidah yang terbelit-belit dulu hingga bisa menjadikan banyak kata menjadi satu kalimat. Intinya, banyak anggapan tentang betapa anehnya bahasa ini makanya banyak yang malas belajar.

Menurut saya, bahasa Denmark memang cukup aneh di awal-awal. Saya sendiri masih cukup sulit berhadapan dengan pelafalan kata-kata yang tidak punya aturan. Bunyi kata-kata itu sendiri bisa berubah sesuai padanan alfabet. Belum lagi saya masih harus belajar ekstra keras untuk membedakan ? Dan e, ? Dan y, atau ? Dan o. Walaupun orang Denmark mengakui pelafalan adalah hal tersulit dari bahasa mereka, namun saya sedikit diuntungkan karena gramatikanya cukup mirip dengan bahasa Belanda. Struktur kalimatnya juga lebih simpel ketimbang bahasa Inggris dan tidak "kesana-kemari" seperti bahasa Belanda.

Kesimpelan bahasa Denmark juga sebenarnya terlihat dari ketiadaan "please", "Madam/Sir", atau "smakkelijk!" yang berarti "selamat menikmati (makanan)!" dalam bahasa Belanda. Karena terlalu kasual, para siswa juga tidak memanggil guru mereka dengan "sopan". Mereka lebih senang jika guru dan siswa seperti teman dengan hanya memanggil nama depan agar terkesan akrab.

Generasi muda Denmark yang juga cuek, tidak peduli apakah harus memanggil "Madam/Sir" saat percakapan formal. Bahkan anak-anak pun bisa memanggil orang tua mereka hanya dengan nama. Dari sini, saya merasa bahwa orang Denmark tidak terlalu suka hal-hal yang bersifat terlalu formal dan serius.

Bagi saya, mempelajari bahasa lokal merupakan proper manner sebagai pendatang. Saya lebih bangga jika mampu berkomunikasi dalam bahasa Denmark dengan pelayan di toko atau kafe meskipun tahu muka saya sangat-sangat Asia. Lagipula sebagai au pair, datang ke sekolah dan bertemu orang-orang baru yang sama struggling-nya belajar bahasa Denmark adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Saya tidak harus selalu berkutat dengan tugas rumah tangga setiap hari sehingga lupa bertemu teman baru. Flot!

Tips Sulitnya Berteman dengan Orang Denmark|Fashion Style

Bulan November tahun lalu, saat saya kembali lagi ke Belgia dan menunggu kereta ke Brussels dari Charleroi, saya duduk di bangku kosong bersebelahan dengan seorang kakek-kakek di lobi. Si kakek lagi bersiap membuka kotak makan siangnya, yang saat dilirik berisi roti dan bacon. Selang sepuluh menit kemudian, si kakek tiba-tiba menyapa saya dengan senyuman ramah, "bonjour, madamoiselle." Saya pun mau tidak mau menyapa balik dengan senyuman kaku. Dari situ, percakapan dengan si kakek dimulai.

Si kakek awalnya bertanya tentang asal-usul saya dalam bahasa Prancis. Tapi karena saya sudah terbata-bata menjawab pertanyaannya, akhirnya si kakek bersedia mengganti dengan bahasa Belanda. Dia tidak berhenti mengoceh sambil mengunyah sampai isi mulutnyamuncrat kemana-mana.  Saya pun cukup kepo bertanya tentang kehidupannya yang ternyata kesepian setelah ditinggal sang istri. Semakin lama, si kakek juga bicara dengan suara yang cukup keras hingga menganggu orang yang duduk di belakang kami. Lucunya, dia hanya tertawa dan tidak peduli.

Saat duduk di kereta menuju Brussels, saya sadar kalau rata-rata masyarakat di Belgia lebih hangat dan bersahabat. Walaupun masyarakat Eropa umumnya tidak suka percakapan basa-basi, namun mereka juga tidak segan menyapa orang asing. Saat bicara dengan orang asing pun, mereka seperti benar-benar niat ingin mengajak ngobrol. Terutama kaum-kaum sendu alias tua yang kebanyakan kesepian.

Hal ini seperti justru yang tidak bisa saya rasakan di Denmark. Orang-orang Denmark terkenal sangat tertutup dan dingin terhadap orang asing. Mereka hanya bicara dengan teman mereka sendiri dan tidak menyukai percakapan basa-basi. Kalau sudah seperti ini, jangan harap bisa jadi teman dekat mereka apalagi sudah tahu akan meninggalkan Denmark dalam waktu dekat.

Bagi orang Denmark, pertemanan tidak bisa dipupuk dalam waktu enam bulan atau dua tahun saja. Rata-rata teman dekat mereka adalah orang-orang yang sudah mereka temui sejak sekolah dasar bahkan sangat kecil. Hal ini tentu saja cukup sulit bagi orang Asia yang terlahir dengan kehangatan dan karakter sosial yang tinggi. Bagi kita, semakin banyak teman, semakin banyak relasi, semakin banyak rejeki. Namun bagi orang Denmark, tidak ada tempat bagi orang-orang baru, kalau mereka saja belum tentu ada waktu untuk menemui teman-teman lama.

Saya pernah mendengar pernyataan ini dari orang Denmark, I still have my old friends and I don't think I really need a new friend. Atau, it's really nice when I'm drunk then I can talk to the strangers. Feels like we're best friend forever. But when I'm sober, I don't really have to call or talk to them anymore. I love that idea!

Ya, pergilah ke klub atau bar saat banyak orang Denmark mabuk. Mereka akan bicara panjang lebar tentang pengalaman dan kehidupan, layaknya sahabat karib. Namun setelahnya, jangan harap mereka akan berlaku sama dalam keadaan sadar. Orang Denmark beranggapan bahwa persahabatan bukan hanya mengobrol sebentar, saling invite Facebook, lalu jadi teman. Persahabatan bagi mereka sangat murni, dipupuk melalui waktu yang lama, hingga saling mengenal satu sama lain.

Hal inilah yang membuat banyak orang asing merasa sangat sulit menjalin pertemanan dengan orang asli Denmark. Selain kendala bahasa, orang Denmark juga merasa tidak ada guna berteman dengan orang asing yang jelas-jelas akan meninggalkan negara mereka. Sangat sulit bagi orang Denmark menghabiskan waktu nongkrong bersama, memiliki kenangan yang indah, lalu nantinya akan bersedih hati karena si asing akan terbang ke negara asalnya.

Thursday, July 9, 2020

Tips My First Ballet and If It's Also Yours|Fashion Style

Watching ballet in my home u . S . A . Is portraying excessive-class degrees, wealthy humans, luxuriousness, and elegancy. I've by no means been to any ballet overall performance in Indonesia, however in no way wanted to accomplish that because even I've never tried to check, I'm pretty sure the ticket have to be so expensive. This occasion is so uncommon and not normal Asian element. Young people decide on to observe huge or neighborhood tune as a substitute.

Moving to Europe makes me need to feel a brand new revel in, embracing the cultures increasingly more. Here, the price tag rate is "not" so high priced, specifically in case you're a scholar. For my first ballet, I've got bargain for 40% simply due to the fact I'm beneath 24. But of path, in some places, they have bargain as much as 50% for students.

I absolutely remembered my first ballet in Europe, even as I become so harassed what ought to I put on and wherein ought to I take a seat. Before my first price ticket, I've tried to look for a few facts concerning the pleasant seat-yet-reasonably-priced or right attire to move. So, if this is your first time and experiencing perplexity like me, this is what passed off to me as a newbie devotee of ballet.

What to look at

Actually, it is not that so vital because in any case, you'll see an entire scene of dancing and still might be drowned by enchantment. Of path it is also vital to know what are the stories approximately to make certain we understand how is that going. Reading the synopsis earlier than the overall performance is the excellent idea. Sometimes, the Opera House also has an creation forty five minutes before performance for the those who in no way heard about the tale before.

But watching ballet with the stories we've known is the perfect idea. We already know the ending, but how they end the story with dances is what we want more! As a first timer, some friends said, I could see Nutcracker, Romeo & Juliet, Black Swan, Don Q, or Swan Lake. But if there's none of them on the dates you like, just choose anything fancy for yourself and be ready reading the synopsis before.

Where to seat

Before you come and see the performance, you have to choose where to seat. Some people said, the most expensive tickets are not always the best. If you want to experience the view of the dancers and also the orchestra, sit in the parquet is probably the best area. Or at least one floor above the parquet.

For the first time,  I watched with a friend from Latvia who is quite experienced of watching ballet. We ended up sitting in the last two highest floors. I chose the last row but a bit left from the middle. It was not so bad since we still can see the movement of the dancers very clearly. At least, our viewpoint is not blocked by the poles.

As a first timer, normally we would like to choose a best seat in a very low price. It's so tricky, because we don't want our sight is blocked by people's head also. I've no experience of many Opera Houses, but normally sitting in a middle will give you the best views overall. Just choose middle ranges, either very front or very back row. Middle in the middle row is sometimes not a good option also. People tend to stand their back and set their heads to look a bit further down to the scene. I despised this because their heads draped my view! Aarrgghh..

If you are quite thrifty, I think sitting in the middle and front row of the gallery is not so bad. This place is also popular for students and we could still see the performance clearly from the very front row. I saw people even brought their small binoculars for seeing dancers' faces.

So, in my experience, just choose "middle range". A bit right or left from the middle is also good, but make sure there's no pole blocking your view. When I bought my first ticket in the internet, they told me if those seats are having limited view because of the poles or people's head.

What to wear

As I thought before, ballet is denoted by an elegancy and luxuriousness. It is different from watching Hollywood movies in the cinema. So, I was a bit preparing myself for this show. I want to be good but not that super formal like I want to attend a gala. My friend from Latvia said, people from Eastern Europe especially Russia, tend to take this event very seriously. They will dress up very well and even wear a long evening dress just for seeing ballet. They really wear somewhat black tie dresses.

For matinee event, you could wear something casual like black jeans or silky blouse. Do not forget of some touches of cute jewelries make your looks more sophisticated. Wearing trousers with crisp shirts is also good for men. For evening event, I prefer to wear clean dress or skirt for formality. I cannot forget my medium heels to fit in also. For men, even you do not intend to wear black tie dresses, but keep it formal. I noticed some guys looked very neat and formal wrapped by their shirt and tuxedo or blazer. Two guys I've seen, who spoke Russian, took their looks formally indeed.

But, don't be surprised if you can see some people are also very careless about what they wear. I mean, really careless. They can wear shorts and flowy t-shirt with tennis shoes in evening show! Well, it's true that it also depends on where you seat. Some people in parquet or a bit close to the scene tend to dress well; heels and tuxedo, I mean, but who buy the cheaper ticket sometimes don't really care.

Sometimes you do not know, but actually people will also notice a glance what you wear. You are going to an Opera House with a very artistic and cultural interior, so you place yourself as a special guest. Dressing up and honoring the performance won't get you hurt though. If heels might hurt you, choose flat shoes and walk better.

Wednesday, July 8, 2020

Tips KOPENHAGEN: Kota Pecinta Desain dan Rileksnya Nongkrong|Fashion Style

Pertama kali datang ke Kopenhagen , saya sedikit skeptis dengan kota mini ini. Apa yang Kopenhagen miliki selain pelabuhan dengan bangunan warna-warninya? Sempat bertanya dengan cowok lokal di Tinder, saya malah dijawab tegas, "apa yang kamu mau? Banyak bar tuh!" Oke.

Sama seperti ibukota lain di Eropa, Kopenhagen juga memiliki museum dan segala bentuk tempat tamasya lainnya. Saya sebenarnya kurang begitu menyukai museum ataupun bangunan-bangunan kuno semacam kastil ataupun gereja tua. Gaya jalan saya sebenarnya lebih senang mengunjungi tempat-tempat yang banyak orang lokalnya, rileks, dan tidak selalu harus menconteng daftar must visit.

Nyaris setahun tinggal di Denmark dan lebih sering bolak-balik Kopenhagen, saya menyadari kalau Kopenhagen memang cukup membosankan. Apalagi kalau hanya bolak-balik stasiun N?Rreport atau Str?Get menuju Kongens Nytorv lalu berlabuh di Nyhavn, yang selalu ramai oleh turis. Wah, benar dah, bosan!

Kembali ke jawaban si cowok Tinder, sebenarnya Kopenhagen memang cukup menyediakan hiburan yang kita inginkan. Hanya saja, hiburan tersebut kadang tetap saja membosankan kalau dilakukan terus menerus. Ingin belanja, shopping center mereka tersebar dimana-mana. Nonton film box office ataupun indie, banyak bioskop tersebar seantero kota. Tertarik mencoba bar crawl dan craft beer, ya memang tempatnya disini.

Lalu apalagi yang bisa dinikmati di Kopenhagen selain hiburan ala hedonis layaknya manusia kota di atas? Menurut saya, desain dan tempat nongkrongnya! Saya memang pecinta desain dan arsitektur modern, namun tidak terlalu suka membuang uang demi nongkrong berjam-jam agar dianggap gaul. Tapi itu duluuuu.. Dulu, saat saya menganggap nongkrong hanyalah gaya hidup hedonis demi mengisi postingan Facebook dan Instagram. Semenjak disini, nongkrong seperti jadi gaya hidup saya dan teman setiap akhir pekan. Bukan demi memenuhi postingan, tapi hanya ingin menikmati atmosfir akhir pekan di kota yang sebenarnya sangat rileks dan menghibur.

Desain Skandinavia di Denmark

Kopenhagen memang salah satu pusat desain di Skandinavia. Ciri khas desain Denmark yang simpel, elegan, dan berkarakteristik sebenarnya bisa dinikmati di beberapa sudut Kopenhagen. Salah satu tempat terbaik menikmati desain Denmark adalah Design Museum Denmark , sekitar 3 km dari pusat kota. Walaupun museum, namun hasil desain yang dipamerkan jauh dari kata membosankan. Berbagai furnitur khas desain Denmark lebih berwarna-warni serta menyegarkan mata. Seorang teman yang tidak mengerti desain pun, jadi ikut menikmati segala objek yang ada di museum ini.

Tempat lainnya untuk menikmati desain Denmark adalah mengunjungi toko desain yang ada di Kopenhagen. Kalau memang hanya ingin lihat-lihat, saya biasanya datang ke toko perabotan interior khas Denmark seperti Normann Copenhagen , Illums Bolighus , atau lantai 4 Magasin . Salah satu toko perabotan khas Denmark favorit saya adalah Søstrene Grene  yang tokonya menyebar seantero Denmark. Di Kopenhagen sendiri, ada empat toko, salah satunya di kawasan Strøget. Selain murah, barang-barang yang dijual pun memang didesain di Denmark dan sangat berkarakter.

Skip museum kuno

Selain terkenal karena desainnya, Kopenhagen juga memiliki banyak tempat dan bangunan dengan arsitektur yang sangat kreatif. Bagi yang tidak terlalu suka melihat-lihat museum, saya lebih cenderung merekomendasikan The Black Diamond, perpustakaan keren di sisi perairan Kopenhagen. Selain menyimpan banyak buku, The Black Diamond juga memiliki jadwal pameran seni serta kafe santai dengan pemandangan perairan dan Cirkelbroen (jembatan bulat).

Tempat lainnya adalah 8TALLET , sebuah apartemen berarsitektur unik dan modern yang terletak di Ørestad, tak jauh dari bandara Kopenhagen. Karena memang berupa hunian, tempat ini pun memiliki jam-jam tertentu bagi pengunjung yang ingin melihat-lihat ataupun makan di kafenya. Daerah Ørestad sampai Bella Center sendiri merupakan daerah hunian yang memang banyak memiliki bangunan bergaya arsitektur modern, unik, dan berwarna-warni seperti Asrama Tietgen, VM Houses, VM Mountain, ataupun Bella Sky Bar & Restaurant yang lebih hip dan mewah.

Kembali lebih dekat ke pusat kota, Superkilen Parkdi daerah Nørrebroadalah salah satu tempat wajib kunjung di Kopenhagen.Berbeda dengan taman lain yang lebih teduh dan hijau, Superkilen menyajikan tempat publik yang super seru dan berwarna. Dari lantai bergelombang hitam putih, hingga lantai kotak merah merona di bagian yang lebih dekat dengan jalan rayanya. Trust me, your Instagram photos will far from mainstream museum!

Jauhi tempat nongkrong yang sangat turistik

Bicara soal nongkrong dan menghabiskan waktu bersama, orang Denmark memang sangat menyukai konsep hyggelig, yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris secara langsung. Namun hygge bisa dikaitkan dengan membawa perasaan bahagia, nyaman, serta intim bersama kerabat dan keluarga, biasanya saat cuaca dingin dan buruk.

Di Kopenhagen, tempat-tempat nongkrong yang super hyggelig juga tersebar dimana-mana. Dari yang hip bagi para orang lokal, hingga terkenal juga bagi pelancong. Saya pribadi lebih menyukai tempat nongkrong yang lebih banyak orang lokalnya ketimbang sangat turistik. Walaupun masih di pusat kota, ada beberapa tempat tertentu yang jauh dari jangkauan turis. Kebanyakan pengunjung lebih sering bicara bahasa Denmark, meskipun para pelayan dan kasirnya sangat fasih berbahasa Inggris.

Daripada menyusuri daerah pejalan kaki yang lurus di Strøget, banyak juga kafe-kafe tersembunyi di lorong-lorong sekitar daerah penuh turis ini. Daerah lainnya yang banyak tempat makan dan terkenal sebagai tempat nongkrong adalah distrik Vesterbro, tak jauh dari stasiun utama Kopenhagen. Sebuah area hipster bernama Kødbyen atau Meatpacking district juga terkenal bagi para lokal menikmati makanan simpel khas Denmark ataupun minum-minum bersama teman di akhir pekan.

Distrik terkenal lainnya adalah Nørrebro, Østerbro, dan Frederiksberg. Saya pribadi lebih mengenal daerah Vesterbro, Nørrebro, dan beberapa bagian di sekitar stasiun Nørreport. Tempat makan dan nongkrong yang banyak anak mudanya memang lebih banyak ditemui di distrik tersebut. Sementara Frederiksberg sendiri, merupakan daerah upper class dengan pilihan tempat makan yang lebih elegan dan berkelas.

Salah satu tempat makan lain yang terkenal bagi orang lokal dan turis adalah Papirøen atau Pulau Kertas di daerah pelabuhan Kopenhagen. Pulau ini sendiri sebenarnya lebih dikenal karena tempat jajan street food-nya yang sangat ramai saat musim panas. Bahkan di musim dingin pun, banyak orang yang harus antri menunggu bangku kosong di dalam ruangan. Bila bingung memilih tempat makan di seputar Kopenhagen, datang ke tempat ini, lalu berkelilinglah melihat para stan yang menjual banyak pilihan makanan, dari vegan hingga dessert khas Italia. Tapi kadang, saya sama bingungnya harus makan apa kalau sudah banyak pilihan begitu.

Selain tempat makan, banyak juga para Copenhageners yang piknik di taman, sisi pelabuhan, atau pantai saat matahari sedang terik-teriknya. Beberapa tempat yang biasanya ramai didatangi lokal adalah Amager Strandpark, Ofelia Plads, Operaen, Arsenaløen, atauIslands Brygge. Kebanyakan dari mereka biasanya hanya berjemur diri di bawah terik matahari, atau sekalian minum bir yang dibeli dari supermarket terdekat.

Tips 9 Alasan Positif Mengapa Harus Ikut Kegiatan Sukarelawan|Fashion Style

Baru-baru ini, akhir pekan saya harus tergadaikan karena diisi dengan acara ataupun competition yang ada di Kopenhagen dan place sekitarnya. Bukan dengan sengaja datang sebagai peserta atau penonton, tapi bekerja sebagai sukarelawan di acara tersebut. Iya, bahkan akhir pekan pun saya memutuskan untuk tetap bekerja.

Saya memang sudah tahu kegiatan sukarelawan sejak dulu. Tapi jujur saja, baru sekarang bisa benar-benar mengikuti dan terlibat langsung di dalamnya. Saya ingat betul, saat mendaftar ke salah satu program beasiswa pemuda ke Jerman, mereka sempat menanyakan tentang kegiatan sukarelawan yang pernah diikuti saat pengisian formulir. Saya bingung, tidak ada kegiatan sukarelawan yang pernah saya ikuti selama ini. Malu, merasa ada kesempatan yang hilang, hingga minder bercampur menjadi satu. Padahal, pengalaman mengikuti kegiatan sukarelawan adalah salah satu poin penting yang akan dinilai oleh juri.

Di kota kelahiran saya, Palembang, kegiatan sukarelawan memang nihil. Ada, sukarelawan saat demo, yang dibayar hanya dengan nasi bungkus dan sama sekali memalukan dicantumkan di dalam CV. Di beberapa kota besar di Indonesia sebenarnya kegiatan sukarelawan ini sudah cukup terjamah. Niat sudah ada, tapi cukup memberatkan bagi saya harus pulang pergi naik pesawat bekerja sebagai sukarelawan kala itu.

Bermula dari salah satu topik di buku bahasa Denmark tentang sukarelawan, akhirnya saya penasaran lalu menelusuri tentang kegiatan tersebut di Denmark. Semakin ditelusuri, semakin membuka pikiran saya tentang kegiatan ini. Dulunya, saya sempat minder karena tidak memiliki skill sama sekali di banyak bidang sosial. Yang saya tahu, kegiatan sukarelawan lebih banyak dan terbatas membantu orang-orang soal masalah kesehatan, edukasi, hingga perang. Ternyata, kegiatan sosial maknanya lebih luas dan siapapun bisa membantu di banyak bidang.

Beberapa manfaat positif pun bisa didapatkan melalui kegiatan ini. Walaupun saya baru mendapatkan kesempatan menjadi sukarelawan saat tinggal di Denmark, tapi kegiatan semacam ini memang harus dicoba oleh anak muda dimana pun berada, setidaknya sekali seumur hidup. Mengapa?

1. Mencoba melirik hal baru yang tidak ditemui setiap hari

Walaupun Kopenhagen memang tempatnya anak nongkrong, tapi kalau setiap akhir pekan harus dipenuhi dengan jadwal hedonisasi, saya juga bosan. Selain itu, hidup juga makin konsumtif dan terlalu datar. Mengisi sesuatu yang baru, dapat menciptakan variasi dan warna di akhir pekan agar tidak selalu melirik tempat belanja, tv, ataupun cuma stuck di layar ponsel mengintipi timeline. Sesungguhnya kehidupan yang baik itu tidak hanya seimbang, namun juga bervariasi.

2. Belajar hal lain yang bukan bidangnya

Selain berkesempatan menemukan variasi di masa muda, kegiatan sukarelawan juga membuat kita belajar banyak hal. Seperti yang saya jelaskan di atas, dulu saya sempat berpikir kalau kegiatan ini hanya terbatas di hal-hal tertentu saja. Ternyata, kegiatan sosial dalam membantu seseorang maknanya lebih luas.

Tidak harus menjadi sukarelawan di bidang yang kita tekuni ataupun sukai. Contohnya mencoba bekerja di teater atau museum, walaupun tidak mengerti sama sekali, membuat kita menemukan dunia lain yang jauh dari kapasitas selama ini.

Banyak acara dan competition musik, olahraga, seni, ataupun kafe non-profit yang juga membutuhkan bantuan sukarelawan. Walaupun ada beberapa pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus, namun banyak sekali bidang yang nyatanya tidak membutuhkan keahlian apapun. Yang terpenting, bawalah semangat positif, pikiran terbuka, serta keinginan yang kuat untuk membantu proyek yang akan diikuti.

Three. Berlatih bahasa asing langsung tanpa papan tulis

Menjadi sukarelawan tentunya juga akan sangat menguntungkan bagi orang-orang yang sedang tinggal di luar negeri. Bertemu langsung dengan orang lokal, memaksakan lidah untuk bicara bahasa mereka. Walaupun belum sempurna, namun setidaknya sudah berusaha mencoba melatih kuping dan telinga agar lebih terbiasa.

Kesempatan seperti ini tentunya tidak bisa saya dapatkan jika hanya nongkrong di kafe atau belajar di kelas. Meskipun banyak juga kegiatan yang tidak mengharuskan sukarelawan bisa bahasa lokal, namun meminimalisir bahasa Inggris tentu tidak ada salahnya juga.

Four. Belajar bersosialisasi

Tinggal di negara asing memang sangat tidak menyenangkan bagi banyak orang. Terutama bagi para pelajar, au pair, pekerja, ataupun istri yang ikut suaminya tinggal di luar negeri. Rasa kesepian dan kesendirian yang sering menyerang, biasanya menimbulkan rasa ingin menutup diri dari lingkungan luar, hingga hanya ingin menemukan teman yang satu bangsa satu bahasa saja.

Mengikuti kegiatan sukarelawan di negara asing adalah salah satu cara melawan rasa kesepian dan nyaman yang selama ini ditakuti. Tidak hanya di luar negeri, banyak juga yang tinggal di Indonesia, masih kurang mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan sosial. Bergaul bersama orang-orang dengan banyak perbedaan; bahasa, umur, agama, suku bangsa, dan latar belakang sosial, membuat kita lebih kaya pengalaman. Menutup diri dan hanya mengikuti perasaan nyaman, sama sekali tidak membuat berkembang.

Five. Lebih percaya diri

Bekerja bersama tim yang sama sekali belum dikenal sebelumnya, tentunya juga bisa meningkatkan rasa kepercayaan diri. Kita yang tadinya pemalu, biasanya akan dipaksa untuk membuka mulut dan lebih cepat beradaptasi. Perasaan yang tadinya minder, akan terenyahkan ketika sadar bahwa teman satu tim pun ternyata menjadi sukarelawan untuk mendapatkan manfaat positif serupa. Mereka yang memiliki usia dan latar belakang berbeda, tidak lantas menjadi senior atau sok tahu. Intinya, kita dan mereka sama-sama ingin membantu menyukseskan satu misi sekalian menciptakannetworking yang lebih luas.

6. Mengenal lebih dekat lingkungan sekitar

Aktif di kegiatan sosial tentu saja menjadikan seseorang lebih peka dengan lingkungan sekitar. Tidak hanya meningkatkan rasa kepedulian, tapi juga sadar bahwa ada banyak hal yang menarik dan patut dijadikan perhatian di sekitar kehidupan kita.

Saya yang tadinya tidak pernah ke satu daerah di Kopenhagen, akhirnya datang ke tempat tersebut karena jadi sukarelawan. Sangat menarik, karena sebenarnya daerah yang saya datangi memang lepas dari jamahan dan sangat lokal. Selain tempat-tempat baru, rasa empati pun biasanya akan muncul menyadari bahwa ternyata banyak orang yang memang jauh dari hidup nyaman dan perhatian. That's why we're here for caring.

7. Pengalaman yang tak ternilai

Mengajar anak-anak di pedalaman Kalimantan, ikut membantu korban bencana alam, masuk keluar gratis di festival keren, ataupun ikut terlibat mengkampanyekan pelarangan perburuan hiu, merupakan banyak pengalaman seru yang akan tersimpan secara memorable. Dari banyaknya pengalaman ini, tentunya akan mengubah cara pandang kita untuk berpikiran lebih positif, membuka cakrawala tentang banyak pengetahuan, hingga meningkatkan semangat juang yang tinggi.

Eight. Mempercantik Curriculum Vitae

Banyak para pencari kerja yang sudah nyaman dengan gelar wisuda, pengalaman kerja, ataupun kemampuan akademis yang dimiliki. Hanya beberapa orang dari mereka yang menyisipkan pengalaman di kegiatan sosial, seperti menjadi sukarelawan. Padahal, banyak perusahaan yang tidak hanya mencari karyawan berdasarkan apa yang ada di deskripsi pekerjaan. Namun juga mereka mencari orang-orang dengan kemampuan kepimpinan yang baik, memiliki perasaan empati, serta mampu bekerja di dalam tim. Tidak hanya dengan aktif berorganisasi di kampus, kita juga bisa memperolehnya dengan menjadi sukarelawan.

Selain mencari kerja, pengalaman sebagai sukarelawan pun sangat berharga di mata para pemberi beasiswa. Orang-orang yang pernah menjadi sukarelawan diyakini memiliki kemampuan menyelesaikan masalah, berorganisasi, dan jiwa kepimpinan yang baik. Percayalah, menjadi sukarelawan akan membawa manfaat yang sangat positif bagi karir di masa mendatang.

9. Bersenang-senang

Bekerja tidak hanya soal uang ataupun jabatan. Bersenang-senang pun tidak hanya sekedar membuang uang di kafe ataupun bioskop. Membantu orang di kegiatan sosial merupakan salah satu bentuk kebahagiaan yang bisa dirasakan. Bertemu teman baru, mendapatkan pengalaman seru, terlibat dalam kesuksesan acara, ataupun membantu banyak orang untuk menjadi lebih bahagia, tentunya salah bentuk kesenangan batin lainnya. Satu hal lagi, dengan jadi sukarelawan di banyak event, kita bisa keluar masuk ke acara gratis! Having fun to the fullest yooo!

Di Denmark sendiri, beberapa acara dan festival biasanya menyiapkan pesta setelah semua acara selesai. Tidak jarang, mereka mengundang para sukarelawan untuk bergabung menikmati musik, minuman, dan makanan yang lebih wah ketimbang sandwich isi tuna. So, bersenang-senang tidak hanya di diskotek dan menghamburkan uang kan? Bukankah hidup yang baik itu adalah hidup yang banyak memberi arti?

Tips Mewahnya Penerbangan Internasional Kelas Bisnis Singapore Airlines Rute Kopenhagen - Singapura - Jakarta|Fashion Style

Bermula dari niat yang belum ingin pulang kampung ke Indonesia, tiba-tiba saya dikagetkan dengan kiriman tiket pesawat dari kakak yang ada di Palembang. Sebelumnya memang beliau sudah tahu kalau saya masih beralasan tidak punya uang untuk pulang. Namun karena rasa sayangnya (uhukk), sebulan sebelum keberangkatan saya sudah dikirimi tiket pesawat yang tidak tanggung-tanggung, kelas bisnis!

Maskapai yang dipilihnya pun bukan maskapai sembarangan, Singapore Airlines. Saya yang kere ini, harus kaget ketika tahu berapa harga tiket pergi yang harus beliau bayar melalui tagihan kartu kreditnya. Perbedaannya bisa sampai four kali lipat dari tiket kelas ekonomi.

Jangan Lupa Verifikasi!

Penerbangan extremely panjang kali ini akan dimulai dari Kopenhagen ke Singapura selama 12 jam, baru lanjut ke Jakarta sekitar 1 jam forty five menit. Sayangnya, ada peringatan dari Singapore Airlines yang menyatakan saya harus memverifikasi dulu kartu kredit yang digunakan saat membayar di kantor SIA terdekat.

Sebenarnya verifikasi kartu kredit tidak berlaku apabila pemesanan dilakukan di website travel agent seperti Nusatrip atau Traveloka. Namun beberapa maskapai penerbangan besar memang menerapkan verifikasi kartu kredit terlebih dahulu, jika pemesanan dilakukan lewat website resmi mereka. Verifikasi ini bertujuan untuk menghalangi penipuan data kartu kredit. Gagal menunjukkan kartu kredit saat check-in atau belum menyelesaikan proses verifikasi, seseorang bisa gagal diterbangkan atau harus membeli tiket baru.

Di Palembang tidak ada kantor Singapore Airlines sehingga kakak saya tidak bisa melakukan proses verifikasi. Akhirnya saya mencoba menghubungi pihak SIA yang ada di Kopenhagen via e-mail untuk menerangkan masalah ini. Setelah beberapa kali bertukaran electronic mail, saya akhirnya menyerah dan mengatakan ke kakak untuk membelikan tiket baru di kelas ekonomi saja karena proses verifikasi memang wajib dilakukan.

Lucunya, tiga hari sebelum keberangkatan, pihak SIA mengirimkan e mail lagi ke saya dan mengingatkan untuk (lagi-lagi) jangan lupa verifikasi kartu kredit sebelum take a look at-in. Setelah proses berkirim email yang cukup panjang, akhirnya ada solusi untuk masalah saya ini. Pihak SIA mengatakan, saya tetap bisa menggunakan tiket kelas bisnis asalkan menerangkan ke pihak konter check-in untuk mengisi formulir surat kuasa dan menyertakan information kartu kredit atau kartu debit saya sebagai jaminan.

Rejeki di Kelas Bisnis

Karena tidak ingin mendapatkan masalah soal kartu kredit di konter check-in, kakak saya lebih menganjurkan untuk menggunakan tiket ekonomi saja. Sebenarnya saya juga tidak terlalu berharap lagi naik penerbangan kelas bisnis, tapi iseng-iseng double check-in di kelas bisnis dan ekonomi via online.

Tiba di konter check-in, ternyata ada masalah karena saya ketahuan check-in dua kali. Karena saat itu pihak representatif Singapore Airlines sedang melayani tiga penumpang lain yang juga ada masalah di kelas bisnis, akhirnya saya dibuatkan boarding pass di kelas ekonomi oleh petugas konter check-in. Namun karena pihak konter juga menyayangkan tiket bisnis saya, akhirnya saya disuruh menunggu pihak representatif selesai menangani penumpang lain, lalu melihat apakah tiket saya bisa di-upgrade.

Saya juga sebenarnya sudah benar-benar menyerah di kelas ekonomi. Terlebih lagi sudah tahu kalau Singapore Airlines adalah salah satu maskapai yang sangat strict dan jarang bisa meng-upgrade penumpang tanpa ada alasan tertentu. Tapi tetap saja, karena penasaran dan ingin tahu kelanjutan tiket kelas bisnis yang sudah dipesan, saya sabar menunggu.

Satu jam kemudian, di last minute penutupan konter check-in, akhirnya saya berhasil bicara dengan pihak representatif SIA dan menerangkan soal kartu kredit ini. Di menit-menit terakhir pun, mereka sigap membantu saya mengisi formulir surat kuasa dan tetap mengusahakan saya duduk di bangku kelas bisnis. Boarding pass yang semula kelas ekonomi, berganti menjadi boarding pass berlabel biru milik penumpang kelas bisnis. Benar-benar pengalaman seumur hidup.

"Thank to your brother from me," kata pihak representatif SIA konter gate ramah.

Saat ingin masuk pesawat dan menunjukkan boarding pass berlabel biru, lagi-lagi saya pun disambut ramah oleh petugas konter check-in yang tadinya ikut melayani saya, "oh, so you have changed your mind? I hope you have a good flight."

Catatan:

Verifikasi kartu kredit sebenarnya tidak berlaku di semua maskapai dan semua kelas penerbangan. Kakak saya membelikan tiket kelas ekonomi melalui website Singapore Airlines langsung, namun tidak ada masalah di konter check-in. Verifikasi kartu kredit hanya berlaku (maskapai manapun) apabila ada peringatan di e-tiket yang menyatakan penumpang harus menunjukkan atau memverifikasi kartu kredit yang dipakai saat memesan tiket. Kalau memang diwajibkan, proses verifikasi juga tidak harus datang langsung ke kantor maskapai seperti SIA, tapi bisa melalui websitenya langsung (Qatar Airways), atau mengirimkan information diri, surat kuasa, dan experiment kartu fisik pemilik kartu kredit. Info selengkapnya bisa ditanyakan terlebih dahulu ke maskapai penerbangan atau memperhatikan syarat di internet site resmi mereka.

Privasi dan Kursi yang Nyaman

Masuk ke kabin kelas bisnis, saya disambut ramah oleh pramugara dan pramugari yang semuanya berparas Asia. Mereka tidak berhenti tersenyum sambil menawarkan minuman selagi menunggu pesawat berangkat. Saya pun ditanya ingin minum apa setelah pesawat lepas landas. Karena baru pertama kali naik penerbangan internasional kelas bisnis, saya juga bingung ingin minum apa.

"Nothing special," kata saya. Melihat wajah saya yang kebingungan, pramugaranya seperti kurang puas mendengar jawaban saya. Ia pun menawarkan cocktail, mocktail, atau minuman alhokol lainnya. "Aha! Cocktail!" jawab saya yang diikuti senyuman puas si pramugara.

Sebelum pesawat lepas landas, saya juga sempat berkiriman foto dengan si kakak dan mengucapkan ribuan terima kasih. Beliau juga menghubungi saya dan terus-terusan menanyakan apakah pesawatnya sudah terbang atau belum untuk mengecek keberadaan Wi-Fi on Board yang sayangnya tidak ada. Sepertinya beliau juga ikut bahagia karena saya akhirnya bisa menggunakan tiket yang dia kirimkan.

Kursi di penerbangan kelas bisnis Singapore Airlines benar-benar besaaaar dan nyaman. Kursi yang berbalutkan kulit top class yang empuk ini, bisa disulap jadi kasur untuk tidur. Selimut yang diberikan pun lebih besar dan hangat. Segala kenyamanan seperti ini memang pas dipadukan dengan penerbangan yang extremely lama dari Kopenhagen ke Singapura yang memakan waktu 12 jam.

Sialnya, saya tidak bisa tidur karena jam tubuh lebih mengikuti waktu Kopenhagen. Jadinya saya hanya bisa membalikkan badan kesana kemari saja di atas pesawat. Belum lagi hiburan KrisWorld yang outstanding membosankan dibandingkan banyaknya pilihan movie dan lagu di pesawat Timur Tengah semisal Emirates atau Qatar Airways.

Berbeda dengan penerbangan pendek dari Singapura menuju Jakarta, pesawat yang digunakan agak kecil. Walaupun sama-sama nyaman dan mendapatkan pelayanan spesial, biasanya penumpang juga bisa memilih makanan tertentu sesuai food regimen. Senyum manis ramah pun berkali-kali dihadiahi pramugara atau pramugari yang datang ke kursi kita. Sungguh berbeda dengan pramugara atau pramugari yang melayani kelas ekonomi. Biasanya senyum mereka sedikit pudar dikarenakan kelelahan melayani banyaknya penumpang.

Makan lagi, lagi, dan lagi

Di penerbangan panjang internasional kelas bisnis, biasanya makanan akan ditawarkan secara eksklusif pula. Melihat rentetan menu Singapore Airlines, makanan yang ditawarkan bisa empat hingga lima sajian, apalagi penerbangan tersebut melewati waktu makan malam. Sayangnya, saya tidak mengambil foto makanan satu pun di atas pesawat.

Bedanya dengan penerbangan kelas ekonomi yang memakai peralatan plastik, meja di kelas bisnis akan ditutupi taplak putih terlebih dahulu sebelum diisi oleh piring-piring porselen yang anggun. Beruntungnya saya bisa mencicipi Foie Gras atau hati angsa yang mahal itu. Tapi sayangnya perut sudah kekenyangan di bagian pencuci mulut hingga harus menolak cheese cake danchoco cake, hingga memilih buah-buahan saja.

Walaupun makanan utama sudah lewat, tapi Singapore Airlines juga menyediakan snack ringan seperti biskuit hingga snack berat seperti mie. Melihat penumpang yang masih sadar di jam-jam tidur, biasanya pramugara atau pramugari yang lewat pun tidak berhenti bertanya apakah ada minuman atau makanan yang ingin dipesan. Kalau sudah kekenyangan dan tidak ingin diganggu, aktifkan saja tombol "Do Not Disturb".

Lounge Silver Kris di Changi Airport

Tidak bisa menikmati SAS Lounge di Kopenhagen, saya akhirnya hanya menghabiskan waktu di front room Changi Airport. Transit saya di Singapura kali ini 6 jam sebelum terbang lagi ke Jakarta. Niat awal yang inginnya jalan-jalan dulu di Singapura, harus terhenti ketika tubuh mulai kelelahan dengan penerbangan panjang tanpa tidur. Saya pun tidak sempat foto-foto dan menyempatkan diri tidur sejenak di sofa-couch empuk yang ada di lounge.

Melihat makanan gratis di front room yang semuanya menu-menu Asia, saya belum juga ingin makan apa-apa selain mengambil air mineral. Rasa mengantuk sepertinya lebih besar dari rasa kelaparan. Hingga three jam sebelum keberangkatan dan tetap saja tidak bisa tidur, akhirnya saya niatkan untuk mengambil beberapa makanan mumpung living room lagi sepi.

Lounge Silver Kris sendiri sedikit temaram dengan couch-sofa empuk yang memenuhi isi ruangan. Colokan listrik biasanya berada di bagian dekat dengan dinding. Toiletnya notable bersih dan besar. Karena biasa dijadikan tempat transit, tersedia pula kamar mandi lengkap dengan segala peralatan mandi dan handuk.

Special observe to my brother:

Septian, bunch of thanks! Akhirnya adik mu berhasil mencoret satu lagi daftarTo-do-list-before-dying: naik penerbangan internasional kelas bisnis--gratis!

Tuesday, July 7, 2020

Tips Pilih Mana: Tinggal di Kota Besar, Pinggir Kota, atau Pedesaan?|Fashion Style

Saat menulis tulisan ini, sebenarnya saya sedang lapar dan ngidam ramen. Sudah lebih dari sebulan ini saya memang absen makan di luar bersama teman geng karena sedang berpuasa. Rindu sudah lama tidak makan di luar, membuat saya mulai bosan isi makanan dalam kulkas. Duh!

Lalu apa hubungannya dengan ramen? Iya, karena restoran ramen cuma adanya di Kopenhagen, akhirnya saya harus manyun makan sereal dulu malam ini. Walaupun bisa delivery, tapi ternyata daerah tempat saya tinggal terlalu jauh dari restoran mereka. Makanan yang bisa diantar rata-rata hanya pizza atau sushi di sekitar sini. Nasib tinggal di pinggiran kota ya beginilah.

Mengurut dari pengalaman tinggal di kota besar, pinggir kota, dan sempat juga tinggal di pedesaan selama 7 bulan di Belgia, membuat saya bisa membuat perbandingan tentang suka duka tinggal di daerah tersebut. Walaupun setiap negara dan kota tidak bisa disamakan, namun secara generalisasi, beginilah plus dan minus yang pernah saya rasakan.

Tinggal di kota besar

Plus:

1. Kemudahan dan kecepatan dalam menerima informasi.

2. Transportasi publik beroperasi lebih lama dan bervariasi; contohnya Metro atau tram yang hanya ada di ibukota ataupun kota besar lainnya.

3. Banyaknya tempat makan dan nongkrong yang hip.

Four. Suasana yang lebih hidup dan berwarna.

5. Banyak competition dan konser yang hanya digelar di kota besar.

Minus:

1. Sibuk and let's name it: macet!

2. Tingkah laku masyarakatnya yang tergolong individualis dan cuek.

3. Di Eropa, sangat sulit menemukan perumahan di kota besar. Kebanyakan orang tinggal di apartemen dengan ruang yang terbatas.

Four. Keamanan di kota besar cenderung rendah.

5. Tingkat stres masyarakat perkotaan yang lebih tinggi.

Tinggal di pinggir kota

Plus:

1. Walaupun Metro tidak beroperasi, namun jadwal bus dan kereta ke kota besar biasanya sangat teratur dan lebih sering.

2. Banyak orang yang memilih memiliki rumah pribadi yang besar dan lengkap dengan taman.

Three. Kehidupan berjalan lebih tenang.

4. Banyaknya taman yang membuat suasana lebih hijau dan menyegarkan.

Five. Meskipun tidak seheboh di kota besar, biasanya akan sering digelar juga acara kultural dan konser lokal.

Minus:

1. Keterbatasan tempat nongkrong dan pilihan tempat makan.

2. Kebanyakan transportasi publik hanya berjalan hingga tengah malam saja.

Three. Ramai di pagi hari, namun makin sepi selepas jam 9 malam.

4. Meskipun terdapat supermarket dan pertokoan, namun jam tutupnya biasanya lebih cepat dari yang ada di ibukota.

Five. Tidak ada yang menarik selain dijadikan tempat tinggal orang-orang yang kebanyakan bekerja di ibukota.

Tinggal di pedesaan

Plus:

1. Pecinta alam, inilah tempat terbaikmu!

2. Jauh dari pusat kota membuat kehidupan di pedesaan berjalan sangat tenang dan santai.

3. Biasanya tetangga kanan kiri saling mengenal satu sama lain.

4. Masyarakat yang tinggal di pedesaan lebih ramah dan hangat.

Five. Keamanan yang lebih tinggi. Sewaktu tinggal di Belgia, rumah keluarga saya yang ada di Laarne sama sekali tidak pernah dikunci selama bertahun-tahun. Tapi mereka tidak pernah melaporkan ada barang yang hilang tuh.

Minus:

1. Karena rata-rata orang yang tinggal di pedesaan punya mobil pribadi, bus dan kereta pun tidak beroperasi secara maksimal, bahkan tidak sampai tengah malam.

2. Tidak banyak yang dapat dilihat kecuali hutan, padang rumput, dan danau.

Three. Sulit sekali mencari tempat nongkrong untuk anak muda. Di Eropa, bar-bar yang ada di pedesaan biasanya hanya berisi orang-orang tua saja.

Four. Suasana malam yang sangat sunyi dan membosankan.

Five. Kurangnya pergelaran festival dan konser, hingga harus datang jauh-jauh dulu ke kota besar terdekat.

Kalau saya sendiri, lebih cenderung memilih kota besar sebagai tempat tinggal. Saya suka nongkrong, saya suka jalan-jalan ke toko buku atau kafe, saya pun sudah cukup terbiasa dengan hiruk-pikuk kota. Kemudahan akses transportasi dan kehidupan yang lebih berwarna sangat cocok bagi para kaum muda seperti saya ini. Kalau kamu?