Showing posts with label keluar negeri. Show all posts
Showing posts with label keluar negeri. Show all posts

Tuesday, July 14, 2020

Tips Tip: Menata Isi Bagasi Ke Luar Negeri|Fashion Style

Entah kenapa suatu kali ingin juga bepergian tanpa membawa tas besar selain tas yang hanya menyangkut di tangan. Saya malas sekali menyortir isi lemari yang harus dibawa ke luar negeri (ataupun luar kota) karena ujung-ujungnya walaupun sudah di-list satu per satu, tetap saja ada yang ketinggalan. But well, it's really true that packing is not for everyone.

Ibu saya sudah menduga kalau koper muatan orang pergi umroh yang sempat saya bawa ke Belgia, tidak akan muat menampung barang-barang yang akan saya bawa ke Denmark. Terlebih lagi beliau sepertinya sudah punya ancang-ancang membelikan saya koper baru yang lebih besar. Benar saja, lima menit sebelum toko ditutup, ibu saya langsung saja menarik salah satu koper, yang memang sudah kami lihat beberapa hari sebelumnya, ke kasir.

Taraaaa.. Akhirnya saya punya koper baru bermuatan 70 liter bermaterial nilon. Saya memang tidak memilih koper bermaterial plastik seperti pilihan orang kebanyakan. Menurut saya, koper bermaterial nilon dengan banyak resleting di luar dan dalamnnya lebih fungsional. Lagipula, koper ini bisa diduduki (baca: dipaksa nutup) kalau memang isinya sudah kepenuhan dan tidak bisa diresleting lagi. ;D

Sewaktu berangkat ke Belgia setahun lalu, saya membayangkan tidak akan membeli banyak barang hingga membawa cukup banyak pakaian ke dalam koper. Nyatanya, banyak juga pakaian yang tidak terpakai dan saya juga harus membuang 60% pakaian saat akan pulang ke Indonesia karena koper tidak muat lagi. Makanya di tahun kedua hijrah ke Eropa kali ini, saya benar-benar sudah menyortir isi lemari yang usable saja. Selain membawa dokumen-dokumen penting, berikut beberapa tip yang semoga bermanfaat saat menata bawaan ke dalam koper.

1. Membawa pakaian yang sering digunakan

Walaupun sudah punya pakaian satu lemari, seorang perempuan biasanya tetap saja merasa tidak punya pakaian. Tapi di antara banyak pakaian itu, pastinya kita punya pakaian andalan yang setiap minggunya selalu dipakai. Nah, bawalah pakaian tersebut dan lupakan membawa pakaian yang di Indonesia saja tidak pernah digunakan.

Agar lebih aman, bawalah pakaian dengan warna dasar seperti hitam, abu-abu, dan putih. Warna-warna pakaian dasar seperti ini selalu cocok di-mix & match dengan warna apapun. Kalau memang kebetulan datang di musim panas, bawa juga beberapa potong pakaian berwarna terang dengan motif seru. Musim semi biasanya identik dengan warna pastel yang lembut, musim gugur lebih sering menggunakan warna earthy seperti cokelat, merah marun, atau krem, sementara musim dingin yang sendu selalu dipenuhi oleh orang yang berpakaian gelap seperti hitam, abu-abu, atau biru tua.

Yakinlah, biasanya kita akan tergoda untuk membeli lagi beberapa pakaian di negara tujuan saat sedang diskon. Membawa pakaian yang sering kita gunakan di Indonesia, setidaknya dapat menghemat isi dompet. Kalaupun memang terpaksa membeli, fokuskan pada pakaian musim dingin yang modelnya lebih classy dan beragam dibandingkan di Indonesia.

Jenis pakaian pun bisa bervariasi dengan memasukkan daftar kaos oblong, tank top, batik atau jenis kain khas Indonesia lainnya, kemeja, blazer, gaun santai, atau rok. Bawa juga beberapa potong kaos kaki, long john (pakaian termal), baju olahraga, stocking hitam, scarf bermotif seru, dan cardigan. Oh ya, bagi yang suka pakai jeans dan kebetulan bertubuh petite khas orang Asia, boleh juga membawa beberapa potong jeans berukuran pas dari lemari. Potongan jeans bule panjang normalnya 29 inchi yang akan membuat ujung jeans menumpuk di mata kaki.

2. Jangan bawa semua sepatu!

Awal-awal kedatangan, saya masih nyaman menggunakan sneakers baseball atau sepatu kanvas yang cocok untuk diajak jalan. Entah kenapa saya merasa banyak sepatu olahraga justru hanya keren dipakai, namun tidak nyaman diajak berjalan jauh. Membawa banyak jenis sepatu pun juga sebenarnya bukannya tidak boleh, tapi sekali lagi, yakinlah kalau kita biasanya juga akan tergoda membeli sepatu lagi sesampainya di negara tujuan.

Namun tidak ada salahnya membawa beberapa jenis sepatu dari Indonesia yang tetap akan terpakai dan membuat kita nyaman berjalan kaki, seperti flat shoes, summer sandals, sneakers baseball, atau sepatu kanvas. Kalau memang ingin tampil kece sesekali, membawa midi heels juga cukup oke untuk jalanan Eropa. Kalaupun tidak sempat membeli boot di Indonesia, tetap bisa membelinya di negara tujuan dengan kisaran harga dan model yang lebih bervariasi.

3. Bawalah makanan atau bumbu-bumbu Indonesia

Makanan Barat kebanyakan hambar atau hanya berasa asin. Membawa sambal sachet bisa membantu menghidupkan rasa saat kita makan di restoran atau kafe. Bawa juga beberapa ruas serai (lemongrass), daun jeruk purut, atau kunyit untuk persiapan masak makanan Indonesia. Atau kalau tidak mau repot, beli saja bahan-bahan tersebut dalam bentuk bubuk. Boleh juga membawa beberapa bungkus mie instan sebagai penghilang rasa kangen di awal-awal. Tapi tidak perlu kebanyakan juga, karena beberapa bahan makanan bisa dengan mudah ditemukan di toko Asia yang ada di negara barat.

4. Gunakan space maker

Space maker sangat berguna untuk menata isi koper kita agar lebih banyak muatan. Belilah space maker dengan ukuran yang bervariasi agar bisa lebih sering digunakan saat bepergian. Gulung dulu pakaian sebelum dimasukan ke dalam space maker, lalu kempiskan dengan bantuan vacuum cleaner agar udara lebih mudah keluar dari kantung.

Tapi jangan salah, walaupun sudah dikempiskan, kita harus cepat menutup isi koper agar space maker tidak kembali mengembung karena kemasukan angin. Baiknya mengempiskan space maker sesaat sebelum kita menutup isi koper agar lebih mudah menata dan menutupnya.

Kebutuhan setiap orang memang tidak sama. Jangan lupa pula masukkan obat-obatan yang biasanya selalu kita gunakan di Indonesia. Seperti saya, yang kalau perut kembung selalu mengoleskan minyak kayu putih, mau tidak mau perlu juga membawa beberapa botol ke Eropa. Yang suka baca buku, tidak perlu juga memenuhi isi koper dengan buku-buku yang cukup memberatkan. E-book yang lebih praktis bisa dengan mudah kita beli dan simpan di ponsel atau laptop. Yang paling penting, perhatikan dulu berapa kilo batas maksimum bagasi maskapai yang akan kita gunakan. Kalau over baggage, siap-siap keluar duit lebih ya. Selamat packing!

Monday, June 22, 2020

Tips Meminta Izin Orang Tua ke Luar Negeri|Fashion Style

Saya banyak menerima curhatan dari para pembaca, tentang sikap orang tua yang menentang habis-habisan keinginan mereka untuk hijrah ke luar negeri dan jadi au pair. Tidak ada yang salah dengan luar negerinya, yang dianggap salah adalah tujuan sebagai au pair.

Tidak dipungkiri, au pair memang belum dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Belum lagi saat tahu kalau au pair tugasnya membersihkan rumah dan mengurus anak. Wah, posisi au pair betul-betul akan disamakan dengan pembantu.

Meskipun sudah dua kali jadi au pair dan tiga tahun tinggal di luar negeri, saya juga tetap menghadapi kendala luar biasa, terutama soal restu orang tua. Karena ayah saya sudah tidak ada, jadi persoalan izin tentunya harus dibicarakan ke ibu. Jujur saja, ibu saya termasuk orang tua yang cukup konservatif dan tidak terlalu berharap saya hijrah ke luar negeri.

Untuk sampai diizinkan ke luar negeri pun, saya sampai harus tangis-tangisan dan kena hinaan dulu. Hehe. Saat mengurus dokumen jadi au pair ke Belgia, ibu saya masih membantu membiayai urusan visa di Jakarta. Tapi saat akan ke Denmark, saya sengaja untuk tidak meminta bantuan sepeser pun karena jelas tahu tidak akan diperbolehkan.

Jeleknya, saya ini anaknya keras kepala dan nekad. Niatnya dulu memang tetap akan pergi, meskipun tidak diizinkan (yang ini jangan ditiru!). Bayangkan saja, tidak hanya ibu, keluarga besar saya dari pihak ibu ikut campurnya juga keterlaluan. Dari nenek, tante, sampai om, semuanya merendahkan keinginan saya ini. Beruntung sekali, masih ada beberapa keluarga dan teman yang tetap mendukung saya hijrah ke luar negeri.

Kembali ke topik! Jadi sebenarnya, saya mengerti betul mengapa para keluarga Indonesia menentang habis-habisan niat kita menjadi au pair keluar negeri. Selain tidak ada statusnya, orang tua kadang mentah-mentah menelan makna au pair sebagai TKW. Padahal pengalaman jadi au pair is far from being a maid dan mereka tidak tahu saja enaknya jadi au pair.

Beruntunglah kalian yang memiliki orang tua free-minded yang membebaskan si anak memilih sendiri jalan hidupnya. Sayangnya, banyak juga impian anak terhempas gara-gara terhadang restu orang tua.

Lalu bagaimana meyakinkan orang tua agar diperbolehkan ke luar negeri barang satu sampai dua tahun?

1. Ganti kata-kata au pair dengan exchange culture

Saya jarang sekali menggunakan kata-kata au pair untuk menjelaskan status saya di Eropa ke orang-orang di Indonesia. Mengapa? Karena dijelaskan sedetail mungkin pun percuma, mereka tidak akan mengerti. Boro-boro mengerti, yang ada malah kita direndahkan.

Jadi, daripada repot-repot menjelaskan pengertian au pair ke orang-orang terdekat, baiknya mengganti kata-kata tersebut dengan ajang pertukaran budaya. Bukankah tujuan utama memang pertukaran budaya dengan keluarga angkat? :)

2. Tekankan kalau au pair ini sifatnya sponsorship

Orang tua pasti akan bertanya-tanya bagaimana keuangan kita selama di luar negeri. Bukan apa, kadang ada juga orang tua yang melarang karena merasa tidak punya uang membiayai si anak.

Jelaskan saja ke orang tua kalau au pair ini sebenarnya berbeda dari jenis pertukaran budaya yang diadakan banyak tempat kursus di Indonesia. Sebenarnya, kitalah yang harus membayar ke keluarga angkat kalau ingin tinggal di rumah mereka. Tapi, au pair sifatnya sponsorship, artinya kita tidak perlu membayar apapun lagi untuk tinggal, kecuali biaya visa dan tiket pesawat (jika ada), karena semua sudah ditanggung.

Lebih bagus lagi kalau dapat keluarga royal yang bersedia membiayai tiket pesawat hingga biaya kursus, artinya kita bisa menjelaskan kalau going overseas is almost free!

3. Au pair juga tujuannya belajar

Satu hal yang kamu mesti tekankan ke orang tua, au pair tujuannya adalah belajar bahasa. Selain bertukar budaya, si au pair juga wajib mengikuti kursus bahasa setempat sebagai bagian dari exchange culture itu sendiri.

Dengan begini, orang tua juga sedikit lega karena mendengar si anak akan menempuh pendidikan meskipun hanya sebatas short course. Jangan lupa sekalian beri tahu kalau kita bisa juga mendapatkan sertifikat selepas lulus ujian bahasa. Jadi status kita di luar negeri hampir bisa disamakan dengan para mahasiswa yang kuliah di sana.

4. Kamu boleh kerja part-time

Jangan duluan menceritakan au pair itu sebenarnya pekerjaan yang mewajibkan kamu menjaga anak dan bersih-bersih rumah host family. That's totally wrong!

Agar orang tua lega kamu bakalan baik-baik saja di negara orang, kita juga mesti menekankan kalau au pair ini sifatnya fleksibel. Jadi selain pertukaran budaya dan belajar bahasa, kita juga boleh mengambil kerja paruh waktu yang gajinya lumayan untuk uang jajan.

Pekerjaan ini bisa dimulai dari merawat bayi, mengasuh anak, jadi guru bahasa, ataupun tukang masak keluarga. Tegaskan ke keluarga kalau pekerjaan ini hanya maksimal five-6 jam, jadi tidak perlu khawatir akan disamakan dengan pembantu.

Five. Jalan-jalan dan bersosialisasi

Selain ke-four penjelasan di atas, kamu juga boleh meyakinkan orang tua kalau au pair bisa jadi kesempatan kamu untuk berkeliling Eropa atau Australia dengan biaya yang first-rate murah. Bayangkan kalau kamu menetap di Indonesia, meskipun harus menabung, entah beberapa tahun kemudian baru bisa kesana. Iya, kalau betul-betul kejadian.

6. Kesempatan melanjutkan pendidikan

Banyak sekali, lho, mantan au pair yang meneruskan pendidikan mereka hingga S2 setelah masa au pair selesai . Cara ini bisa kamu manfaatkan juga untuk meyakinkan orang tua sekiranya mereka belum juga bisa percaya.

Katakan saja kalau kamu memang punya mimpi sekolah keluar negeri sekaligus membanggakan mereka. Cari beasiswa, saingannya banyak. Jadi, siapa tahu selesainya au pair ini, kamu bisa mencari cara masuk ke kampus favorit dengan tabungan hasil au pair.

Kampus di Belgia, Jerman, ataupun Prancis menawarkan uang kuliah yang cukup terjangkau bagi mahasiswa yang sekolah dengan mengambil kelas bahasa setempat. Sementara Norwegia, masih memberlakukan uang kuliah gratis bagi seluruh kewarganegaraan yang berniat sekolah disana.

7. Pengalaman dan motivasi

Yakinlah, faktanya, banyak juga orang tua yang tetap keukeuh dengan jalan pikiran mereka sendiri dan melarang anaknya jadi au pair. Meskipun sudah dijelaskan sampai mulut berbusa sekali pun, banyak orang tua yang berusaha tutup telinga dan bersikeras menyuruh anaknya stay di Indonesia.

Kalau sudah begini, kamu tetap harus berkepala dingin dan santai menghadapi mereka. Jangan saling lempar emosi hingga harus tangis-tangisan seperti saya dulu. Huhu. Walau bagaimana pun, komunikasi yang baik juga perlu.

Orang tua juga bisa diyakinkan kalau au pair bisa dijadikan pengalaman yang HANYA akan didapatkan oleh anak-anak muda seumur kita. Jadi jangan takut kalau kita akan pergi jauh, karena toh hanya satu hingga dua tahun.

Jelaskan juga kalau kita bisa berhemat, uang saku dari kerja paruh waktu sebagai au pair bisa ditabung dan dimanfaatkan untuk berinvestasi di Indonesia. Jumlahnya memang tidak banyak, namun setidaknya pola pikir dan mental kita bisa terbentuk jika tinggal mandiri di negara orang.

Gaes, saya juga percaya restu Tuhan adalah restu orang tua. Tapi yakinlah dan ikuti kata hati, kita juga berhak mengejar mimpi dan cita-cita. Jangan sampai "tameng" restu orang tua menghadang impian kita meraih masa depan. Berdoa saja semoga hati orang tua dilembutkan dan semoga kesempatan jadi au pair adalah hal terbaik bagi kita.

Friday, June 19, 2020

Tips Guide Au Pair: Mulai dari Mana?|Fashion Style

Beberapa kali saya menerima surel dari pembaca yang mengatakan kalau mereka sangat tertarik menjadi au pair namun tidak tahu harus mulai dari mana. Meskipun sudah ada guide au pair yang pernah saya tulis sebelumnya, namun kelihatannya para pemula harus dibekali banyak referensi lain agar lebih jelas.

Cerita sedikit tentang pengalaman newbie dulu. Pertama kali memutuskan au pair, umur saya saat itu 22 tahun dan sedang sibuk mengurus tugas akhir kampus. Keinginan untuk tinggal di luar negeri sudah lama menjadi mimpi dan memang selalu optimis hingga saat itu. Tahu sebentar lagi akan lulus, saya jadi kepikiran ingin lanjut S2 dan cari beasiswa. Tapi karena yakin IPK dan bahasa Inggris masih pas-pasan, terpaksa skip!

Masih tetap dengan mimpi bisa hidup di luar negeri, banyak keyword yang saya masukkan di Google untuk sekedar mencari cara lain. Beberapa cara tersebut bisa dengan bekerja menjadi seorang skilled worker, volunteer, ikut kompetisi seni atau sains, WWOOF, ataupun jalan-jalan.

Ide menjadi seorang skilled worker sepertinya mustahil, apalagi saya masihfresh graduate saat itu. Volunteering, sepertinya juga belum memungkinkan plus butuh biaya lain. Pun begitu dengan travelling, setidaknya saya mesti menabung 2 tahun dulu agar bisa menginjakkan kaki ke Eropa. Meskipun menabung selama 2 tahun diarasa belum mampu juga kesana, tapi impian ke Eropa memang sudah saya tulis lama di buku jurnal. Plus, rincian kapan, musim apa, hingga biaya yang kira-kira mesti ditabung.

Satu hari, saya mampir ke toko buku online untuk mencari buku-buku travelling. Saya dulu memang penggila buku travelling ataupun cerita-cerita yang berbau luar negeri. Bagi saya, buku-buku seperti ini membawa inspirasi dan motivasi untuk bisa juga merasakan apa yang sudah penulis lakukan. Seperti tidak sabar ingin ikut berpetualang.

Karena pilihan buku yang ada di toko luar biasa banyaknya, saya iseng-iseng mengklik bagian "SALE". Dari bagian tersebut, entah kenapa saya iseng-iseng klik lagi genre "ROMANTIS". Kalau mau jujur, saya bukan termasuk penyuka novel bernuansa romansa ataupun percintaan. Tapi ternyata, dari menyusuri kumpulan buku fiksi percintaan ini, jalan saya ke Eropa terasa lebih lebar.

Satu judul buku menarik perhatian saya. Saya lupa judulnya apa, tapi intinya tentang kisah cinta seorang cewek Indonesia yang tinggal di Austria. Meskipun fiksi, tapi beberapa intrik dari kisah ini diambil dari kisah nyata si cewek yang bekerja sebagai au pair di Wina. Eh, saya lalu penasaran "apa itu au pair?". Mengapa si cewek ini bisa dengan "mudahnya" ke Eropa dengan hanya menjadi au pair? Lalu, dari situlah rasa penasaran saya berkembang setiap hari.

Sama seperti para pemula di luar sana, saya pun berusaha mencari tahu tentang seluk-beluk au pair ini sendiri. Apa yang saya lakukan? Mulai dari mana?

1. Pahami dulu apa au pair itu

Sebelum terlalu bahagia bisa ke Eropa dengan menjadi au pair, seorang pemula mesti betul-betul mengerti apa itu au pair. Sorry, au pair bukan pembantu ya! Cari tahu dulu mulai dari tugas, tanggung jawab, jam kerja, ataupun hak yang bisa kita dapatkan. Pelajari sampai ke detail-detailnya tentang peranan au pair di keluarga. Keep browsing kesana kemari sampai betul-betul paham konsep utama jadi au pair.

Semua pencarian saya lakukan secara mandiri via online tanpa tahu harus bertanya ke siapa. Apalagi dulu, banyak cerita di internet hanya terpaku dengan au pair Belanda, Jerman, dan Prancis saja. Sementara saya tidak minat ke tiga negara tersebut.

2. Cek regulasi

Saat tahu tujuan au pair, saya langsung merasa au pair adalah hal yang selama ini saya cari. Nyaris gratis, tanpa embel-embel sertifikat bahasa, lalu bisa hijrah ke Eropa. Praktis, saya sangat antusias membuat profil di Au Pair World dan kebingungan memilih negara mana saja yang menarik.

Tapi tunggu! Sebelum memutuskan pilih negara, ada baiknya kita mesti tahu juga negara mana yang berlaku bagi pemegang paspor Indonesia. Tidak semua negara bisa kita jadikan host country, lho. Contohnya saya, pertama kali cari keluarga di Au Pair World inginnya dari Selandia Baru yang setelah dilihat regulasinya, tidak memungkinkan bagi orang Indonesia.

Postingan saya tentang guide au pair ataupun tips au pair sebelumnya mungkin bisa dijadikan referensi saat memilih negara. Menurut saya, Au Pair World pun bisa digunakan sebagai bahan referensi terbaik untuk mengecek regulasi tiap negara. Tidak hanya itu, Au Pair World juga memuat banyak informasi penting yang berhubungan dengan tugas, hari libur, ataupun hak au pair.

Three. Buat profil

Yakin sudah tahu ingin ke negara mana, selanjutnya adalah membuat profil dan mencari keluarga angkat. Pilihlah setidaknya dua hingga lima negara yang paling membuat kamu termotivasi. Pasang foto-foto terbaik bersama anak-anak dan tulislah esai sejujur mungkin tentang motivasi kamu jadi au pair. Percayalah, saya pun harus update profil hingga 10 kali untuk menuliskan the real me as a person.

Sangat disarankan untuk membuat profil di lebih dari satu situs agar peluang mendapatkan host family lebih besar. Selain itu, coba juga cari situs au pair ataupun agensi gratis agar tidak membebankan kamu soal biaya.

Cek postingan berikut untuk lebih tahu tips memenangkan hati keluarga angkat !

Four. Perbanyak referensi

Jadi au pair tidak hanya kerja dan jalan-jalan, but more than those! Ingat ya, au pair bukan liburan. Ada tanggung jawab yang mesti kamu pegang disitu. Jadi au pair juga tidak selamanya menyenangkan, bahkan bisa jadi sangat menyeramkan. Meskipun, kamu juga tetap harus memikirkan ada banyak enaknya jadi au pair .

Saat saya mencari tahu tentang au pair sekitar 4 tahun lalu, artikel di Google kebanyakan berisi tentang cerita-cerita bahagia au pair Belanda, Jerman, dan Prancis. Tiga negara ini memang sangat populer bagi cewek-cewek Indonesia. Semua cerita yang dibagikan kebanyakan menyenangkan seperti tidak ada cacat.

Wah, kalau kamu sudah mengalaminya, sebenarnya cerita au pair tidak selamanya demikian. Beberapa postingan saya di blog ini juga memuat beberapa cerita menyedihkan saya bersama host family yang berakhir putus kontrak dan perang dingin.

Banyak-banyaklah membaca kisah au pair Indonesia yang baik dan buruk. Memang, tidak semua cerita buruk biasanya diceritakan dan muncul di net. Tapi percayalah, pengalaman buruk tersebut memang benar adanya.

Selain baca blog para au pair Indonesia, boleh juga tonton video para au pair vlogger di Youtube untuk melihat secara lebih dekat keseharian au pair. Saya dulu juga membaca buku Icha Ayu yang berjudul Au Pair - Backpacking Keliling Eropa dengan Menjadi Babysitter sebagai referensi lain mengenal dunia au pair.

Jika memang tidak malas, sila baca juga beberapa curhatan hati para au pair dalam bahasa Inggris yang bisa kamu temukan di net. Kadang, tulisan berbahasa Inggris ini menceritakan poin dan fakta lain yang tak kamu duga-duga ketika memutuskan jadi au pair.

5. Persiapkan intellectual kamu

Selagi memperkaya referensi dan terus mencari keluarga angkat, saya sarankan untuk mulai mempersiapkan intellectual. Mengapa, karena tinggal di luar negeri tidak selamanya menyenangkan. Selain dipaksa untuk mandiri dan bertanggungjawab, kamu harus membentuk sifat berani.

Berani disini maksudnya adalah berani menerima resiko, berani speak up, berani menentang jika ada masalah, berani melawan diktator, berani menghadapi orang-orang baru, dan berani membahagiakan diri sendiri. Banyak sekali saya temukan au pair di Eropa yang terpaksa pulang karena bermasalah dengan host family mereka, ataupun karena baru sadar ternyataau pair isn't for them. So, be ready!

Bagaimana, masih bingungkah memulai langkah menjadi au pair? Kalau ada pertanyaan, feel free untuk bertanya di kolom komentar atau via contact ya. Cheers!

More manual:

Hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair

Guide untuk para calon au pair

Usia yang tepat mulai au pair pertama kali

Pakai agensi atau mandiri?

Wednesday, June 17, 2020

Tips Hijrah ke Luar Negeri Itu Melelahkan|Fashion Style

Muncul perasaan sedih, haru, namun bercampur bahagia ketika pesawat Thai Airways yang saya tumpangi mendarat di Bandara Oslo-Gardermoen. Bahagia karena akhirnya perjalanan panjang nan melelahkan selesai juga. Haru karena bisa mendapat kesempatan kembali lagi ke Eropa. Tapi juga sedih karena lagi-lagi meninggalkan keluarga dan teman-teman terdekat di Indonesia.

Ini kali ketiganya saya pindah dan tinggal di Eropa. Setelah drama visa Norwegia dan paspor yang cukup menyita waktu, tenaga, dan biaya, akhirnya semua terbayarkan karena bisa mendapatkan izin tinggal selama 2 tahun di negara terbahagia di dunia ini (2017).

Dalam waktu three tahun terakhir, saya bersyukur bisa mendapat kesempatan tinggal di 3 negara Eropa plus jalan-jalan ke banyak tempat. Tapi dalam waktu 3 tahun juga, saya sudah 5 kali mengepak barang untuk pindah dan pulang. Kalau ada yang mengatakan saya beruntung, tentu saya harus lebih banyak bersyukur.

Namun kalau ada yang bertanya lebih jauh tentang perasaan saya, sejujurnya saya depresi. Moving abroad is stressful and tiring! Jangankan pindah negara, bayangkan saja kalian harus pindah sekolah selama 3 kali dalam kurun waktu 3 tahun. It's no fun anymore, isn't it?

Oke, tidak hanya saya au pair yang pindah ke banyak negara dalam waktu beberapa tahun. Banyak juga teman au pair yang selesai di Belanda, lalu pindah ke Belgia, tanpa pulang dulu ke Indonesia. Culture clash pasti ada, meskipun kedua negara tersebut sama-sama di Eropa. Tapi coba saja jika harus bolak-balik pindahan dulu dari Indonesia, the culture never stops shocking me!

Mengapa?

1. Belajar bahasa dan budaya baru lagi

Learning language is tough and needs a strong commitment. Saya tahu bahwa belajar bahasa apapun memang tidak akan pernah sia-sia. Tapi bagaimana kalau pembelajaran yang sedang ditekuni terpaksa terhenti hanya karena harus pulang?

Bisa dikatakan, sampai sekarang level bahasa saya nanggung, alias masih disitu-situ aja. Sempat belajar bahasa Prancis, tapi hanya baby talk atau frase paling dasar saja. Belajar bahasa Belanda, eh tahunya malah sedikit terpakai karena di rumah kebanyakan pakai bahasa Inggris.

Sampai di Denmark, belajar bahasa baru lagi. Saat saya sedang serius menekuni bahasa tersebut, akhirnya saya mesti puas saja stop di Modul 4 karena memang sudah habis kontrak dan harus pulang ke Indonesia.

Pindah lagi ke Norwegia, mesti ulang belajar bahasa baru karena memang perlu.Then, it starts again from the basic!Walaupun bahasa Denmark dan Norwegia sedikit mirip, tapi aksen dan pengucapannya super beda.

Banyak belajar, tapi skill nanggung. That's me.

2. Cari teman baru lagi

Mencari teman di Skandinavia lebih sulit ketimbang mencari teman di Eropa Barat. Contohnya, orang-orang Belgia cenderung lebih suka basa-basi dan terbuka ketimbang para penduduk Skandinavia. Teman asli Belgia saya memang tidak banyak, namun setidaknya mereka lebih mudah diajak ngobrol saat baru pertama kenal.

Tinggal dua tahun di Denmark, saya sudah cukup banyak berkenalan dengan orang baru dan akhirnya bisa dijadikan teman nongkrong saat akhir pekan. Mencari para teman ini pun tidak mudah. Saya harus aktif di banyak acara, volunteering, ikut meet up, ataupun sekedar memenuhi undangan dari kenalan lainnya dulu.

Bertemu dengan orang baru pun tidak secepatnya langsung menjadikan mereka teman. Ada banyak pengalaman yang membuat saya harus datang ke acara, haha hehe dengan orang baru, lalu pulangnya tetap sendiri tanpa menyambung silaturahim dengan mereka. Yah namanya juga cocok-cocokkan.

Lalu setelah mendapat teman yang nyaman di Denmark dan Belgia, saya harus kembali memulai frase mencari teman di Norwegia yang pastinya butuh waktu. Kadang, pindah-pindah tempat tinggal bukannya menambah teman, namun kehilangan yang sudah ada.

3. Keliling dan mengenal daerah baru lagi

Entah kenapa, setibanya di Oslo, akhir pekan saya berjalan sangat datar. Berbeda saat baru tiba di Brussels dan Kopenhagen, keinginan untuk menjelajah tempat baru rasanya begitu membuncah. Sepanjang jalan mengitari kota selalu membawa perasaan bahagia dan penasaran. Ada apa lagi ya di sudut sana? Kafe mana lagi ya yang oke untuk nongkrong? Tempat pemberhentian selanjutnya diman aya? Daftar kunjungan yang wajib saya datangi rasanya sudah panjang.

Akhir pekan lalu, saya hanya jalan-jalan 10 menit di kota lalu pulang. Everything still looks the same as two years back I was here. Nothing new.

Oslo memang tidak terlalu berbeda dengan banyak ibukota di Eropa. Turis, museum, kafe, bar, tempat selfie, dan salju. Oslo juga sebenarnya tidak baru, karena saya pernah important ke kota ini. Lama-lama main di sentral, eh kok, bosan juga ya?

4. Mempelajari sistem kependudukan dan transportasi publik lagi

Tiba di Oslo, tidak membuat saya serta merta langsung menjadi bagian penduduk Norwegia. Ada banyak sekali hal yang harus lakukan agar bisa mendapatkan hak yang sama dengan penduduk lokal.

Sebelum pindah ke tempat baru, biasanya saya lakukan riset mini dulu sebagai bahan perkenalan dengan negara yang akan saya tempati. Dari cara membeli tiket kereta, diskon untuk anak muda, kartu telepon, buka akun bank, hingga pajak, biasanya saya pelajari satu-satu. Hal ini rutin saya lakukan agar tidak kaget dan setidaknya mengerti sedikit tentang sistem di negara yang akan saya tempati.

Menjadi orang baru lagi tidak gampang. Kita harus dituntut untuk lebih banyak tahu dan belajar, bukan hanya having fun.

5. Berkencan dengan cowok baru lagi

Bagi yang masih jomblo, pindah ke negara baru bisa berarti tantangan baru. Cowok Belgia tentu saja berbeda dengan cowok Denmark. Pun begitu dengan cowok Norwegia yang katanya sangat suka alam dan kegiatan luar ruangan.

Tidak hanya cari teman baru yang melelahkan, namun juga berkencan . Saya yang bukan ekspert, tapi mantan serial dater ini, rasanya terlalu malas jika harus berkenalan dan berkencan dengan banyak cowok baru lagi.

Girls, modern dating is so overwhelming. Kamu kenalan lewat online, ketemuan, baper, berharap lebih, eh lalu si bule menghilang. Begitu saja terus sampai lelah atau akhirnya menemukan yang terbaik. Anyway, it always takes time to find the right one. But, I give up already.

Kata orang, sesuatu yang baru itu terlihat lebih menarik dan menyenangkan. Tapi entah mengapa, pindahan kali ini justru membuat saya sedikit menutup diri dan malas-malasan. Saat saya curhat hal ini ke adik, saya dibuat jleb dengan komentar singkat dia, "who've decided?"

Iya. Ini yang sudah saya putuskan. Inilah resiko yang harus saya hadapi ketika mulai nyaman di satu tempat, lalu harus pindah lagi ke tempat baru.

It's just started. It's only the beginning. Daripada saya mengeluh terus, lebih baik tetap berpikiran positif bahwa akan selalu ada kejutan menarik di setiap tempat yang pernah saya tinggali. Oslo might be boring, but my life could not be!

Yes. Welcome to Norway!

Wednesday, May 13, 2020

Tips Anak Daerah Mustahil ke Luar Negeri|Fashion Style

Saat liburan ke Finlandia dua tahun lalu, saya bertemu abang-abang dari Jakarta yang sudah 13 tahun tinggal di Helsinki dan punya bisnis disana. Di pertemuan singkat itu juga, saya diajak mampir ke apartemennya sekalian menyapa istri dan si anak. Sebetulnya abang ini baik dan ramah, tapi mungkin pertanyaannya terkesan nosy untuk saya.

Saat tahu saya asli Palembang, si abang ini menanyakan ulang keabsahan tempat asal saya.

?Serius Palembang? Palembang mananya? Palembang kota apa luarnya?? Tanyanya.

“Palembang kota. Di kota banget.

?Ini benaran terbang langsung dari Palembang ke Eropa kemaren??

?Iya, Bang. Memang asli Palembang dan keluarga juga tinggal disana.?

?Bukan kemaren pernah sekolah di Jawa apa Jakarta begitu? Pokoknya asli Palembang?? Pertanyaannya mulai aneh.

?Iya. Saya lulusan Universitas Sriwijaya. Tak pernah tinggal di Pulau Jawa, dan habis lulus langsung berangkat ke Belgia.?

Kenapa? Apa merasa tak percaya jika anak daerah seperti saya juga bisa menjajakan kaki sampai benua Eropa?!!!

Melihat background teman-teman au pair Indonesia yang ada di Eropa, saya lalu sadar bahwa hampir semua dari mereka memang berasal dari Pulau Jawa (terutama Jakarta) atau Provinsi Bali. Saya perhatikan juga, sejarah au pair Indonesia yang bisa sampai Eropa ini memang tak 100% “berasal dari daerah”. Contohnya;

  1. Memang tinggal di sekitaran Jakarta sehingga informasi soal au pair pun lebih mudah didapat.
  2. Meskipun berasal dari luar Jawa, ada kemungkinan au pair ini pernah tinggal atau studi di Pulau Jawa atau Bali yang memang provinsinya lebih internasional.
  3. Si au pair sudah pernah ke Eropa sebelumnya.
  4. Si au pair punya keluarga yang tinggal/pernah tinggal di negara kulit putih, jadinya imajinasi tentang "luar negeri" memang begitu dekat.
  5. Au pair ini punya pacar/sedang dekat dengan cowok Eropa.
  6. Si au pair memang sudah menguasai bahasa asing yang ada di Eropa dan ikut kursus di kota dimana dia tinggal.

Jadi pola yang terlihat seperti bisa ditebak; orang Indonesia yang bisa jadi au pair (atau tinggal di luar negeri) ini hampir semuanya mempunyai benang merah dengan Eropa dan cepat mendapatkan informasidi tempat dia tinggal.

Sementara saya, anak daerah yang sama sekali tak punya benang merah dari kedua ikatan tersebut karena dari lahir sampai lulus kuliah hanya tinggal di Palembang. Tak sempat juga kursus bahasa ini itu selain bahasa Inggris karena keterbatasan biaya dan tak banyak juga tempatnya di Palembang.

Beruntung, saya memang suka riset, baca, dan googling dari dulu. Semua informasi yang saya dapat tentang ‘au pair’ atau ‘tinggal di luar negeri’ ini juga hasil riset dan bacaan mandiri. Nobody ever told me what au pair is! I don’t enjoy watching people talking (on YouTube), makanya artikel-artikel soal pengalaman orang di internet dan buku menjadi bekal pembelajaran. Karena suka juga buku-buku yang ber-setting di luar negeri, dari dulu saya selalu kalap tiap kali melihat buku travelling atau novel bersinopsis menarik yang setting-nya ada di luar Indonesia.

Percayalah, saya awal-awal jadi au pair dulu bingung setengah mati harus mulai dari mana . Tak banyak au pair Indonesia yang jadi au pair ke Belgia. Sudah membaca informasi dari situs imigrasi Belgianya pun jadi tambah bingung karena banyak hyperlink sana sini. Informasi tunggal berbahasa Indonesia yang saya dapat hanyalah dari blog Alfi Yusrina , meskipun ada beberapa cara yang berbeda dikarenakan dia tinggal di ibukota. Karena keterbatasan informasi inilah akhirnya saya konsisten terus menulis blog berisi tata cara pengurusan dokumen dengan sudut pandang anak daerah.

Saya paham mengapa informasi memang lebih cepat menyebar di Pulau Jawa dan Bali, secara pusat pemerintahan, pariwisata, dan bisnis ada di sana. Saya juga tak menyangkal bahwa daerah di luar Pulau Jawa masih dianaktirikan karena pemerintah ingin mewujudkan wajah Indonesia lewat Pulau Jawa.

Taaapiii.. sebagai anak daerah, kita juga jangan manja! Sekarang ini informasi bukan lagi harus diterima lewat radio, koran dan majalah dinding, tapi tumpah ruah di internet. Baca! Baca! Baca! Anak kampung, anak daerah, anak gunung, semuanya punya kesempatan untuk menginjak Eropa. Seperti yang saya katakan di atas, saya banyak tahu tentang proses imigrasi dan regulasi negara juga karena rajin baca dan riset kecil-kecilan. It's not hard to find sebetulnya.

Makanya, stop asking, baca dulu! Kalau hampir mati rasa dan jenuh tak juga menemukan konklusi di pencarian bahasa Indonesia, ganti dengan bahasa Inggris. Tak dapat juga, coba ganti ke bahasa lokal lalu pakai Google Translate sebagai terjemahan. Sampai akhirnya tak juga menemukan hasil, baru contact the authority atau orang yang sudah punya pengalaman sebelumnya!

Yakinlah, semua orang bisa keluar negeri, tak hanya yang tinggal di Pulau Jawa dan Bali saja! I am here because I read. I write because I also read. Jangan malas baca ya! ;)