Showing posts with label pengalaman hidup di luar negeri. Show all posts
Showing posts with label pengalaman hidup di luar negeri. Show all posts

Thursday, July 9, 2020

Tips 9 Hal yang Harus Dilakukan Saat Tinggal di Luar Negeri Agar Lebih Bermakna|Fashion Style

Berkesempatan tinggal di luar negeri memang bukanlah untuk semua orang. Baik itu untuk keperluan studi, pertukaran budaya, au pair, ataupun ikut keluarga. Orientasi selama hidup di luar negeri tentunya tidak hanya sebatas foto-foto lalu dipamerkan secara halus di media sosial. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan agar sekembalinya ke Indonesia, kita tidak merasa kehilangan momen penting selama hidup di negara orang.

1. Make friends and stay connected

Berteman dengan orang asing di negara asing memang tidaklah mudah, terlebih lagi kalau kita termasuk orang yang pemalu. Di Denmark sendiri, banyak para imigran dari negara tetangga yang juga merasa kesulitan berteman dengan orang lokal . Orang-orang dari Eropa Utara memang cenderung tidak terlalu terbuka dengan orang asing, terutama yang tidak bisa bahasa mereka. Tapi daripada mati kesepian, cobalah untuk tetap berteman dengan orang-orang yang bukan sebangsa kita. Orang-orang dari Asia, Eropa Timur, ataupun Amerika cukup sociable untuk didekati dan diajak bicara.

Cobalah untuk bergabung di akun Meetup yang akan menghubungkan kita dengan banyak orang di negara yang sedang kita tinggali. Kita juga bisa datang ke acara-acara seru yang cocok dengan minat. Dari acara ini, biasanya kita akan bertemu banyak orang dari negara-negara lain dengan minat yang sama. Saya juga mendapatkan beberapa teman baru (yang sekarang jadi teman dekat) karena sering datang ke beberapa acara yang ada di Meetup.

Memang tidak semua orang yang kita temui akan menjadi teman, tapi setidaknya kita sudah mencoba untuk bersosialisasi. Kalau memang bertemu dengan orang yang pas, jangan lupa untuk selalu stay connected karena siapa tahu kalian bisa jalan atau nongkrong lagi setelahnya. Sebisa mungkin batasi untuk selalu dan hanya ingin berteman dengan teman sebangsa. Selain kesannya menutup diri dari adaptasi di negara orang, kita juga akan kehilangan momen berharga untuk membentuk jaringan dengan teman internasional.

2. Eat like locals

Soal makanan, lidah saya juga termasuk yang sangat Indonesia sekali. Saya tidak bisa hidup tanpa makanan pedas dan segala bentuk rempah-rempahan. Jujur saja, saya pernah menangis karena benar-benar rindu makanan khas Palembang. Mau masak sendiri, malasnya tidak bisa ditawar. Sebalnya lagi, beberapa teman malah sering sekali mengirimkan foto-foto makanan Indonesia yang membuat saya ingin menampar muka mereka dengan kentang rebus. Hiks!

Awalnya saya juga sangat kesulitan menerima makanan yang hanya berasa lada hitam dan garam. Tapi lama-kelamaan, karena terlalu sering dicekoki, akhirnya sampai detik ini nyaman-nyaman saja. Mungkin karena saya tinggal dengan orang lokal, makanya selera makan saya pun terpaksa harus ikut berubah. Yang tadinya harus makan nasi tiga kali sehari, sekarang hanya dibatasi sehari sekali. Itupun bukan nasi, tapi bisa jadi mie, kentang, atau roti.

Walaupun sangat rindu makanan Indonesia, tapi saya tidak selalu menolak makanan lokal yang patut dicoba. Kapan lagi bisa mencicipi Smørrebrød favoritnya orang Denmark atau makan balletjes dan mashed potatoes khas orang Belgia sepuasnya dengan rasa yang otentik kalau bukan di negaranya langsung.

3. Pelajari bahasa dan budaya mereka

Mempelajari bahasa asing memang tidak mudah. Terlebih lagi kalau bahasa tersebut kurang menarik dan hanya sedikit orang yang menggunakannya di dunia ini. Untuk menguasai bahasa asing pun, beberapa orang membutuhkan waktu yang lama. Banyak yang mengatakan, tidak perlu belajar bahasa daerah setempat kalau hanya tinggal setahun dua tahun. Eiittss... Jangan berpikiran begitu dulu! Tidak ada yang sia-sia untuk urusan belajar. Lagipula, saya merasa orang-orang yang hanya berpikiran untuk selalu menggunakan bahasa Inggris adalah tipe-tipe pemalas dan arogan.

Bagi saya, mempelajari bahasa setempat merupakan proper manner kita sebagai pendatang. Tidak harus bisa cas cis cus, cukup dengan mempelajari bahasa dan fase dasar, membuat kita semakin menyatu dengan orang lokal. Berlatih untuk tidak menggunakan bahasa Inggris saat di kafe atau supermarket merupakan upaya awal. Yakinlah, orang lokal akan merasa sangat dihargai kalau orang asing mau belajar bahasa mereka.

Untuk urusan budaya pun, tetaplah bersikap open minded. Di negara-negara barat, pesta biasanya akan selalu dibarengi dengan alkohol. Kalau suatu kali ada teman yang mengundang datang dan nongkrong, jangan juga selalu ditolak. Tetap terima undangan mereka dan jujurlah kalau kita memang tidak minum alkohol. Sejujurnya, mereka sangat menghargai kejujuran kita dan sebisa mungkin menyuguhi minuman non-alkohol.

Saat tinggal di negara orang pun, biasanya kita akan menemui beberapa budaya yang menurut kita aneh, namun tidak untuk mereka. Daripada bersikap terlalu apatis dan seperti menjaga jarak, yakinkan diri untuk selalu menghargai budaya orang. Bagaimana perasaan kita kalau ada orang asing di Indonesia yang sama sekali cuek dengan budaya kita? Bukankah kita juga sebal dengan sikap mereka yang arogan? So, treat people like we want to be treated.

Four. Kenali negara tempat kamu tinggal

Sejujurnya, saya menyesal saat tidak mengenal Belgia dengan baik sewaktu tinggal disana. Saya hanya terpaku dengan Ghent dan Brussels saja, namun tidak ada kesempatan lebih untuk berkunjung ke daerah Selatan. Padahal daerah-daerah di Belgia Selatan kerennya bukan main.

Daripada sibuk memikirkan ingin ke negara ini, ke negara itu, keliling sana, keliling sini, masukan juga beberapa tempat oke di negara yang sedang kita tinggali. Saya yakin, kita pasti akan menemukan beberapa tempat eksotis yang jauh dari keriuhan turis. Kalau cuaca sedang bagus, jalan santai ataupun bersepeda ke sekitar daerah yang kita tempati demi menemukan spot-spot cantik tidak ada salahnya juga. Walaupun kata orang Denmark adalah negara membosankan dengan keterbatasan pemandangan alam, tapi saya tetap bertekad untuk mengunjungi beberapa tempat di utara kok.

5. Jangan kebanyakan atau terlalu pelit jalan-jalan

Saya yakin, saat di Indonesia, kita sudah mempunyai daftar tempat-tempat yang akan dikunjungi sebelum datang dan tinggal di negara orang. Apalagi benua Eropa, yang negara-negaranya berdekatan dan tidak butuh lama untuk lompat dari Swiss ke Kroasia. Tapi janganlah terlalu sibuk mencoret-coret daftar hanya gara-gara pasang target. Menurut saya, jalan-jalan memiliki esensinya masing-masing. Keseringan jalan-jalan tentunya membutuhkan banyak uang dan waktu.

Terlalu sedikit jalan-jalan karena sibuk menabung juga sebenarnya tidak baik. Ayolah, kapan lagi bisa ke Eropa dan melihat Berlin, Oslo, Talinn, lebih dekat? Eropa, dilihat dari peta pun, memiliki celah yang sangat jauh dari Indonesia. Tidak perlu mendatangi setiap negara walaupun kata orang must visit.

Kalau memang sedikit membatasi budget untuk jalan-jalan, coba datangi negara-negara "murah" yang memang must visit before you die ataupun cocok dengan sesuatu yang sedang kita minati. Contohnya, kalau memang suka pantai, negara-negara hangat seperti Yunani atau Spanyol super tepat untuk liburan berikutnya. Bagi penggila arsitektur, menabunglah demi ke Maroko atau Britania Raya untuk mengagumi keindahan interior dan bangunan di negara ini.

6. Lakukan kegiatan yang tidak bisa dilakukan di Indonesia

Mencoba hal-hal baru selama tinggal di luar negeri, tentunya bisa menambah pengalaman kita saat di negara orang. Kalau awalnya tidak sempat kepikiran untuk menonton ballet dan opera saat di Indonesia, cobalah untuk memesan tiket pentas saat berkunjung ke Vienna atau Budapest. Yang tadinya kita sangat sulit menggerakkan badan dan tidak suka menari, bergabung dengan klub salsa yang jauh dari minat, membuat kita merasakan hal seru saat berhasil menggoyangkan tubuh yang kaku.

Bagi yang suka kegiatan seni, membantu orang, dan ingin bergabung dengan beberapa acara seru, cobalah untuk berpartisipasi menjadi sukarelawan. Pekerjaan seperti sukarelawan ini memang terkenal di kalangan pelajar yang ada di negara barat. Jika punya kesempatan untuk kerja part time, kenapa tidak dicoba? Beberapa teman saya bercerita kalau mereka pernah menjadi bartender dan cleaner untuk beberapa waktu.

Kamu tipe anak muda pemalu yang tidak pernah keluar lewat dari jam 9 malam saat di Indonesia? Hentikan kebiasaan itu dan pergilah ke kota lepas jam 10 malam di hari Jumat. Rasakan atmosfir anak-anak muda yang akan menyambut akhir pekan mereka bersama teman di Jumat malam. Tidak mood ikut berpesta dan meneguk minuman keras? Di beberapa kota di luar negeri, masih banyak café bar yang buka hingga larut malam sambil menyuguhkan musik-musik live sebagai teman minum kopi.

7. Belajar dengan serius

Seriusan, belajarlah seserius orang-orang Eropa! Mereka benar-benar bisa membagi waktu antarahaving fun dan tetap belajar di akhir pekan sekali pun. Jangan karena sibuk travelling secara mudah kesana kemari, kita jadi lupa tujuan awal datang dan tinggal di negara orang. Bukan hanya belajar di kampus yang harus serius, tapi setiap hal baru yang sedang dipelajari memang harus dijadikan keseriusan. Apalagi untuk para penerima beasiswa yang usahanya sangat sulit untuk memenangkan hati para pemberi bantuan dana.

8. Berkencan (bagi yang jomblo)

Budaya berkencan di luar negeri memang berbeda dengan di Indonesia, baik itu di bagian Asia manapun, Amerika, maupun di Eropa. Daripada sibuk memikirkan nasib kejombloan kita, sementara teman-teman di Indonesia sudah mulai bertunangan, menikah, hingga punya anak, kenapa tidak coba berkencan dengan bule-bule lucu?

Tenang saja, berkencan disini sifatnya tidak harus pacaran kok. Minum-minum kopi santai atau nonton film terbaru sambil membahas topik seru biasanya akan membuat kita menilai beberapa karakter kaum adam dan hawa di beberapa negara. Cowok-cowok Asia terkenal lembut, masih penuh rasa gengsi yang tinggi, tapi cukup peduli membayari ini itu. Namun jangan kaget saat berkencan dengan cowok-cowok bule (terutama di bagian utara Eropa) yang tegas, sweet, tapi mendukung feminisme yang kadang membuat kita menilai mereka kurang maskulin.

Walaupun banyak cewek barat yang tidak terlalu menyukai kelembutan cowok Asia, tapi sempat juga beberapa kali saya menemukan pasangan cowok Asia dan cewek barat di Eropa. Bisa jadi kalau karakter si cowok ini sudah kebarat-baratan, ataupun memang si cewek yang suka dengan kelembutan cowok-cowok Asia. Cewek barat memang terkenal mandiri dan tidak terlalu suka dikekang. Tapi tenang saja, mereka juga cewek yang senang kalau dimengerti dan dimanja kok. Hihi..

9. Buatlah dokumentasi dan jurnal

Jangan terlalu kebanyakan motret sana-sini seperti turis. Tapi jangan juga pelit motret gara-gara takut dianggap narsis. Potretlah hal-hal seru untuk dijadikan dokumentasi selama kita di luar negeri. Kita akan sangat menyesal saat tahu belum sempat mengabadikan foto di Kastil Drakula waktu berkunjung ke Romania, atau kelupaan berfoto dengan beberapa teman sekelas saat mengikuti kursus masak di Italia. Momen seru seperti ini tentunya tidak terjadi setiap hari dan memang pantas diabadikan. Hanya saja, tidak perlu semua momen dipotret lalu harus dipamerkan sehalus mungkin di media sosial. Ada kalanya, momen yang ditangkap cukup jadi kenangan pribadi.

Kalau tidak malas, catatlah hal-hal penting yang tidak boleh dilupakan saat di luar negeri. Saya pribadi agak malas menulis seluruh catatan perjalanan ke dalam jurnal. Biasanya saya hanya mencatat ide-ide penting untuk dituliskan lagi di weblog. Selebihnya, foto-foto yang berhasil saya potret biasanya akan menggambarkan seribu kata tentang peristiwa yang terjadi saat itu.

Wednesday, July 8, 2020

Tips 9 Alasan Positif Mengapa Harus Ikut Kegiatan Sukarelawan|Fashion Style

Baru-baru ini, akhir pekan saya harus tergadaikan karena diisi dengan acara ataupun competition yang ada di Kopenhagen dan place sekitarnya. Bukan dengan sengaja datang sebagai peserta atau penonton, tapi bekerja sebagai sukarelawan di acara tersebut. Iya, bahkan akhir pekan pun saya memutuskan untuk tetap bekerja.

Saya memang sudah tahu kegiatan sukarelawan sejak dulu. Tapi jujur saja, baru sekarang bisa benar-benar mengikuti dan terlibat langsung di dalamnya. Saya ingat betul, saat mendaftar ke salah satu program beasiswa pemuda ke Jerman, mereka sempat menanyakan tentang kegiatan sukarelawan yang pernah diikuti saat pengisian formulir. Saya bingung, tidak ada kegiatan sukarelawan yang pernah saya ikuti selama ini. Malu, merasa ada kesempatan yang hilang, hingga minder bercampur menjadi satu. Padahal, pengalaman mengikuti kegiatan sukarelawan adalah salah satu poin penting yang akan dinilai oleh juri.

Di kota kelahiran saya, Palembang, kegiatan sukarelawan memang nihil. Ada, sukarelawan saat demo, yang dibayar hanya dengan nasi bungkus dan sama sekali memalukan dicantumkan di dalam CV. Di beberapa kota besar di Indonesia sebenarnya kegiatan sukarelawan ini sudah cukup terjamah. Niat sudah ada, tapi cukup memberatkan bagi saya harus pulang pergi naik pesawat bekerja sebagai sukarelawan kala itu.

Bermula dari salah satu topik di buku bahasa Denmark tentang sukarelawan, akhirnya saya penasaran lalu menelusuri tentang kegiatan tersebut di Denmark. Semakin ditelusuri, semakin membuka pikiran saya tentang kegiatan ini. Dulunya, saya sempat minder karena tidak memiliki skill sama sekali di banyak bidang sosial. Yang saya tahu, kegiatan sukarelawan lebih banyak dan terbatas membantu orang-orang soal masalah kesehatan, edukasi, hingga perang. Ternyata, kegiatan sosial maknanya lebih luas dan siapapun bisa membantu di banyak bidang.

Beberapa manfaat positif pun bisa didapatkan melalui kegiatan ini. Walaupun saya baru mendapatkan kesempatan menjadi sukarelawan saat tinggal di Denmark, tapi kegiatan semacam ini memang harus dicoba oleh anak muda dimana pun berada, setidaknya sekali seumur hidup. Mengapa?

1. Mencoba melirik hal baru yang tidak ditemui setiap hari

Walaupun Kopenhagen memang tempatnya anak nongkrong, tapi kalau setiap akhir pekan harus dipenuhi dengan jadwal hedonisasi, saya juga bosan. Selain itu, hidup juga makin konsumtif dan terlalu datar. Mengisi sesuatu yang baru, dapat menciptakan variasi dan warna di akhir pekan agar tidak selalu melirik tempat belanja, tv, ataupun cuma stuck di layar ponsel mengintipi timeline. Sesungguhnya kehidupan yang baik itu tidak hanya seimbang, namun juga bervariasi.

2. Belajar hal lain yang bukan bidangnya

Selain berkesempatan menemukan variasi di masa muda, kegiatan sukarelawan juga membuat kita belajar banyak hal. Seperti yang saya jelaskan di atas, dulu saya sempat berpikir kalau kegiatan ini hanya terbatas di hal-hal tertentu saja. Ternyata, kegiatan sosial dalam membantu seseorang maknanya lebih luas.

Tidak harus menjadi sukarelawan di bidang yang kita tekuni ataupun sukai. Contohnya mencoba bekerja di teater atau museum, walaupun tidak mengerti sama sekali, membuat kita menemukan dunia lain yang jauh dari kapasitas selama ini.

Banyak acara dan competition musik, olahraga, seni, ataupun kafe non-profit yang juga membutuhkan bantuan sukarelawan. Walaupun ada beberapa pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus, namun banyak sekali bidang yang nyatanya tidak membutuhkan keahlian apapun. Yang terpenting, bawalah semangat positif, pikiran terbuka, serta keinginan yang kuat untuk membantu proyek yang akan diikuti.

Three. Berlatih bahasa asing langsung tanpa papan tulis

Menjadi sukarelawan tentunya juga akan sangat menguntungkan bagi orang-orang yang sedang tinggal di luar negeri. Bertemu langsung dengan orang lokal, memaksakan lidah untuk bicara bahasa mereka. Walaupun belum sempurna, namun setidaknya sudah berusaha mencoba melatih kuping dan telinga agar lebih terbiasa.

Kesempatan seperti ini tentunya tidak bisa saya dapatkan jika hanya nongkrong di kafe atau belajar di kelas. Meskipun banyak juga kegiatan yang tidak mengharuskan sukarelawan bisa bahasa lokal, namun meminimalisir bahasa Inggris tentu tidak ada salahnya juga.

Four. Belajar bersosialisasi

Tinggal di negara asing memang sangat tidak menyenangkan bagi banyak orang. Terutama bagi para pelajar, au pair, pekerja, ataupun istri yang ikut suaminya tinggal di luar negeri. Rasa kesepian dan kesendirian yang sering menyerang, biasanya menimbulkan rasa ingin menutup diri dari lingkungan luar, hingga hanya ingin menemukan teman yang satu bangsa satu bahasa saja.

Mengikuti kegiatan sukarelawan di negara asing adalah salah satu cara melawan rasa kesepian dan nyaman yang selama ini ditakuti. Tidak hanya di luar negeri, banyak juga yang tinggal di Indonesia, masih kurang mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan sosial. Bergaul bersama orang-orang dengan banyak perbedaan; bahasa, umur, agama, suku bangsa, dan latar belakang sosial, membuat kita lebih kaya pengalaman. Menutup diri dan hanya mengikuti perasaan nyaman, sama sekali tidak membuat berkembang.

Five. Lebih percaya diri

Bekerja bersama tim yang sama sekali belum dikenal sebelumnya, tentunya juga bisa meningkatkan rasa kepercayaan diri. Kita yang tadinya pemalu, biasanya akan dipaksa untuk membuka mulut dan lebih cepat beradaptasi. Perasaan yang tadinya minder, akan terenyahkan ketika sadar bahwa teman satu tim pun ternyata menjadi sukarelawan untuk mendapatkan manfaat positif serupa. Mereka yang memiliki usia dan latar belakang berbeda, tidak lantas menjadi senior atau sok tahu. Intinya, kita dan mereka sama-sama ingin membantu menyukseskan satu misi sekalian menciptakannetworking yang lebih luas.

6. Mengenal lebih dekat lingkungan sekitar

Aktif di kegiatan sosial tentu saja menjadikan seseorang lebih peka dengan lingkungan sekitar. Tidak hanya meningkatkan rasa kepedulian, tapi juga sadar bahwa ada banyak hal yang menarik dan patut dijadikan perhatian di sekitar kehidupan kita.

Saya yang tadinya tidak pernah ke satu daerah di Kopenhagen, akhirnya datang ke tempat tersebut karena jadi sukarelawan. Sangat menarik, karena sebenarnya daerah yang saya datangi memang lepas dari jamahan dan sangat lokal. Selain tempat-tempat baru, rasa empati pun biasanya akan muncul menyadari bahwa ternyata banyak orang yang memang jauh dari hidup nyaman dan perhatian. That's why we're here for caring.

7. Pengalaman yang tak ternilai

Mengajar anak-anak di pedalaman Kalimantan, ikut membantu korban bencana alam, masuk keluar gratis di festival keren, ataupun ikut terlibat mengkampanyekan pelarangan perburuan hiu, merupakan banyak pengalaman seru yang akan tersimpan secara memorable. Dari banyaknya pengalaman ini, tentunya akan mengubah cara pandang kita untuk berpikiran lebih positif, membuka cakrawala tentang banyak pengetahuan, hingga meningkatkan semangat juang yang tinggi.

Eight. Mempercantik Curriculum Vitae

Banyak para pencari kerja yang sudah nyaman dengan gelar wisuda, pengalaman kerja, ataupun kemampuan akademis yang dimiliki. Hanya beberapa orang dari mereka yang menyisipkan pengalaman di kegiatan sosial, seperti menjadi sukarelawan. Padahal, banyak perusahaan yang tidak hanya mencari karyawan berdasarkan apa yang ada di deskripsi pekerjaan. Namun juga mereka mencari orang-orang dengan kemampuan kepimpinan yang baik, memiliki perasaan empati, serta mampu bekerja di dalam tim. Tidak hanya dengan aktif berorganisasi di kampus, kita juga bisa memperolehnya dengan menjadi sukarelawan.

Selain mencari kerja, pengalaman sebagai sukarelawan pun sangat berharga di mata para pemberi beasiswa. Orang-orang yang pernah menjadi sukarelawan diyakini memiliki kemampuan menyelesaikan masalah, berorganisasi, dan jiwa kepimpinan yang baik. Percayalah, menjadi sukarelawan akan membawa manfaat yang sangat positif bagi karir di masa mendatang.

9. Bersenang-senang

Bekerja tidak hanya soal uang ataupun jabatan. Bersenang-senang pun tidak hanya sekedar membuang uang di kafe ataupun bioskop. Membantu orang di kegiatan sosial merupakan salah satu bentuk kebahagiaan yang bisa dirasakan. Bertemu teman baru, mendapatkan pengalaman seru, terlibat dalam kesuksesan acara, ataupun membantu banyak orang untuk menjadi lebih bahagia, tentunya salah bentuk kesenangan batin lainnya. Satu hal lagi, dengan jadi sukarelawan di banyak event, kita bisa keluar masuk ke acara gratis! Having fun to the fullest yooo!

Di Denmark sendiri, beberapa acara dan festival biasanya menyiapkan pesta setelah semua acara selesai. Tidak jarang, mereka mengundang para sukarelawan untuk bergabung menikmati musik, minuman, dan makanan yang lebih wah ketimbang sandwich isi tuna. So, bersenang-senang tidak hanya di diskotek dan menghamburkan uang kan? Bukankah hidup yang baik itu adalah hidup yang banyak memberi arti?

Tuesday, July 7, 2020

Tips Pilih Mana: Tinggal di Kota Besar, Pinggir Kota, atau Pedesaan?|Fashion Style

Saat menulis tulisan ini, sebenarnya saya sedang lapar dan ngidam ramen. Sudah lebih dari sebulan ini saya memang absen makan di luar bersama teman geng karena sedang berpuasa. Rindu sudah lama tidak makan di luar, membuat saya mulai bosan isi makanan dalam kulkas. Duh!

Lalu apa hubungannya dengan ramen? Iya, karena restoran ramen cuma adanya di Kopenhagen, akhirnya saya harus manyun makan sereal dulu malam ini. Walaupun bisa delivery, tapi ternyata daerah tempat saya tinggal terlalu jauh dari restoran mereka. Makanan yang bisa diantar rata-rata hanya pizza atau sushi di sekitar sini. Nasib tinggal di pinggiran kota ya beginilah.

Mengurut dari pengalaman tinggal di kota besar, pinggir kota, dan sempat juga tinggal di pedesaan selama 7 bulan di Belgia, membuat saya bisa membuat perbandingan tentang suka duka tinggal di daerah tersebut. Walaupun setiap negara dan kota tidak bisa disamakan, namun secara generalisasi, beginilah plus dan minus yang pernah saya rasakan.

Tinggal di kota besar

Plus:

1. Kemudahan dan kecepatan dalam menerima informasi.

2. Transportasi publik beroperasi lebih lama dan bervariasi; contohnya Metro atau tram yang hanya ada di ibukota ataupun kota besar lainnya.

3. Banyaknya tempat makan dan nongkrong yang hip.

Four. Suasana yang lebih hidup dan berwarna.

5. Banyak competition dan konser yang hanya digelar di kota besar.

Minus:

1. Sibuk and let's name it: macet!

2. Tingkah laku masyarakatnya yang tergolong individualis dan cuek.

3. Di Eropa, sangat sulit menemukan perumahan di kota besar. Kebanyakan orang tinggal di apartemen dengan ruang yang terbatas.

Four. Keamanan di kota besar cenderung rendah.

5. Tingkat stres masyarakat perkotaan yang lebih tinggi.

Tinggal di pinggir kota

Plus:

1. Walaupun Metro tidak beroperasi, namun jadwal bus dan kereta ke kota besar biasanya sangat teratur dan lebih sering.

2. Banyak orang yang memilih memiliki rumah pribadi yang besar dan lengkap dengan taman.

Three. Kehidupan berjalan lebih tenang.

4. Banyaknya taman yang membuat suasana lebih hijau dan menyegarkan.

Five. Meskipun tidak seheboh di kota besar, biasanya akan sering digelar juga acara kultural dan konser lokal.

Minus:

1. Keterbatasan tempat nongkrong dan pilihan tempat makan.

2. Kebanyakan transportasi publik hanya berjalan hingga tengah malam saja.

Three. Ramai di pagi hari, namun makin sepi selepas jam 9 malam.

4. Meskipun terdapat supermarket dan pertokoan, namun jam tutupnya biasanya lebih cepat dari yang ada di ibukota.

Five. Tidak ada yang menarik selain dijadikan tempat tinggal orang-orang yang kebanyakan bekerja di ibukota.

Tinggal di pedesaan

Plus:

1. Pecinta alam, inilah tempat terbaikmu!

2. Jauh dari pusat kota membuat kehidupan di pedesaan berjalan sangat tenang dan santai.

3. Biasanya tetangga kanan kiri saling mengenal satu sama lain.

4. Masyarakat yang tinggal di pedesaan lebih ramah dan hangat.

Five. Keamanan yang lebih tinggi. Sewaktu tinggal di Belgia, rumah keluarga saya yang ada di Laarne sama sekali tidak pernah dikunci selama bertahun-tahun. Tapi mereka tidak pernah melaporkan ada barang yang hilang tuh.

Minus:

1. Karena rata-rata orang yang tinggal di pedesaan punya mobil pribadi, bus dan kereta pun tidak beroperasi secara maksimal, bahkan tidak sampai tengah malam.

2. Tidak banyak yang dapat dilihat kecuali hutan, padang rumput, dan danau.

Three. Sulit sekali mencari tempat nongkrong untuk anak muda. Di Eropa, bar-bar yang ada di pedesaan biasanya hanya berisi orang-orang tua saja.

Four. Suasana malam yang sangat sunyi dan membosankan.

Five. Kurangnya pergelaran festival dan konser, hingga harus datang jauh-jauh dulu ke kota besar terdekat.

Kalau saya sendiri, lebih cenderung memilih kota besar sebagai tempat tinggal. Saya suka nongkrong, saya suka jalan-jalan ke toko buku atau kafe, saya pun sudah cukup terbiasa dengan hiruk-pikuk kota. Kemudahan akses transportasi dan kehidupan yang lebih berwarna sangat cocok bagi para kaum muda seperti saya ini. Kalau kamu?

Sunday, July 5, 2020

Tips 7 Pelajaran Fashion dari Gadis-gadis Eropa|Fashion Style

Dari sejak saya masuk SMP, ibu saya sudah mulai mengenalkan ke banyak majalah remaja seperti Gadis atau Kawanku yang isinya sebagian membahas tren fashion. Sungguh menyenangkan melihat gaya-gaya para model majalah yang menggunakan pakaian remaja khas tren anak muda zaman dulu, karena super inspiratif dan membuat saya belajar menemukan gaya saya sendiri. Dulu saya suka sekali memakai pakaianvintage atau model asimetris yang terkesan unik dan beda.

Setelah 10 tahun membaca majalah remaja Indonesia, saya sadar ternyata gaya-gaya yang ada di majalah kita lebih banyak dipengaruhi fashion Amerika. Dari yang tabrak motif sana sini, berani pakai warna terang, hingga make up bold. Belum lagi saat K-Pop mulai booming di Indonesia, banyak remaja ikut-ikutan fashion Korea yang lebih cute dan manis.

Hijrah ke Eropa dua tahun lalu, saya mulai meninggalkan kebiasaan membaca majalah fashion Amerika dan berhenti memperhatikan K-Pop. Saya begitu kagum ketika tahu orang-orang Eropa memiliki selera fashion yang berbeda dengan orang Amerika dan Asia. Bepergian ke banyak negara di Eropa juga membuka mata saya untuk melihat dan membandingkan gaya berpakaian gadis-gadis di Eropa Barat, Utara, Selatan, dan Timur. Bagi saya, gaya orang Eropa itu, simple yet elegant. Kalau pun ada yang nyeleneh, tetap terkesan edgy tanpa terlihat berlebihan.

Secara umum, orang-orang Eropa memiliki gaya fashion yang lebih elegan dan berkelas ketimbang Amerika. Saya sendiri lebih suka gaya orang Prancis dan Swedia dalam berpakaian karena mereka sukauniform dressing dan tetap bisa terlihat santai. Berikut pelajaran berbusana dari orang-orang Eropa yang membuat mereka menjadi bangsa paling well-dressed sedunia.

1. Cutting yang simpel dan pas

Untuk menampilkan kesan feminin, orang Eropa lebih suka memakai pakaian yang potongannya pas dengan tubuh. Tidak terlalu ketat hingga terkesan cheap, tapi tidak juga terlalu besar hingga membuat badan tenggelam. Kalau sedang jalan-jalan ke benua biru ini, coba saja masuk ke banyak toko baju yang memang berlabel asli Eropa. Baju-baju yang dijual terkesan simpel, namun tetap terlihat mahal dan elegan.

Tidak seperti gaya fashion Amerika yang cenderung ketat dan terlalu memamerkan keseksian tubuh, gadis-gadis Eropa justru sedikit konservatif soal pakaian. Bahkan saat musim panas pun, ketimbang memakai pakaian yang terlalu mini dan ketat, mereka memilih summer dress atau setelan dengan bahan yang nyaman. Saat musim dingin, tidak seperti kebanyakan orang Amerika yang terobsesi dengan oversized-thing, orang Eropa justru memilih sweater atau coat yang potongannya sesuai dengan ukuran tubuh mereka.

Sewaktu di Indonesia, saya tidak terlalu suka memakai pakaian terlalu simpel karena terkesan super sederhana dan biasa saja. Makanya kebanyakan pakaian saya dulu sedikit unik dengan potongan asimetris atau rumbai-rumbai. Padahal, di Eropa justru semakin simpel potongan pakaian, harganya juga semakin mahal. Quality matters.

2. Jika ragu, selalu pilih warna-warna herbal

Soal pemilihan warna, orang Eropa termasuk yang cukup membosankan hingga terlihat ambil aman. Berbeda dengan gaya-gaya orang Asia yang lebih menyukai warna terang dan pastel, orang Eropa sedikit berhati-hati terhadap warna pakaian mereka.

Orang-orang utara Eropa terkenal menyukai warna netral semisal hitam, putih,navy, atau beige. Di Italia atau Yunani, gadis-gadisnya cenderung lebih berani dengan pemilihan warna merah atau kuning. Sementara Republik Ceko atau Hungaria, terlihat lebih kasual yang tidak terlalu suka warna-warna terlalu terang.

Pemilihan warna sendiri sebenarnya juga tergantung dengan tempat dan musim. Di Indonesia, warna-warna gelap disimbolkan sebagai rasa duka. Sementara di Asia Timur, justru warna putih yang digunakan saat prosesi kematian. Warna-warna gelap juga tidak pas digunakan di negara tropis karena menyerap panas. Namun kebalikannya di utara Eropa, warna hitam adalah warna favorit hampir semua orang saat musim dingin.

Kalau suatu hari berkesempatan liburan atau tinggal di Eropa, bawalah pakaian atau aksesoris dari Indonesia dengan warna-warna netral. Orang Eropa suka motif, tapi itu pun mesti bernuansa monokrom dan tidak terlalu bold. Mereka tidak suka memakai pakaian yang tabrak warna atau motif dari atas sampai bawah karena terlalu menarik perhatian.

3. Skinny jeans is a must!

Meskipun tren celana harem sempat booming di Indonesia dan Amerika, tapi tidak di Eropa. Saya tidak pernah melihat gadis-gadis Eropa berjalan-jalan memakai celana ala Aladin. Ketimbang memakai mom jeans atau jogger, orang Eropa lebih nyaman menunjukkan kaki langsing dan jenjang mereka dengan skinny jeans.

Saat bosan memakai jeans, biasanya para gadis-gadis ini lebih memilih rok ataupun memakai stocking di musim dingin. Beberapa orang yang bosan memakai skinny jeans biasanya memilih celana panjang katun yang sedikit formal dengan potongan slim atau kulot di atas pergelangan kaki. Menurut pengakuan seorang kenalan, di Amerika boro-boro memakai skinny jeans setiap waktu, orang-orang sana malah tidak segan memakai piyama ataupun celana olahraga saat keluar rumah.

Four. Tetap modis di rumah

Berkesempatan tinggal dengan keluarga Eropa, membuat saya terkagum-kagum dengan gaya pakaian mereka di rumah. Saat akhir pekan dan tidak ada kegiatan apapun, keluarga asuh saya di Belgia tetap terlihat modis. Nele, host mom saya, selalu memakai jeans potongan cut bray lengkap dengan sepatu boot-nya di rumah. Sementara host dad saya, Koenrad, terlihat edgy dengan jeans marun atau hijaunya.

Di Denmark, saya tidak pernah melihat Louise memakai kaos walaupun di rumah. Louise selalu memakai blus feminin meskipun sedang mengasuh si kembar. Walaupun tidak berencana pergi kemanapun, Louise selalu mendandani anak-anaknya dengan pakaian kasual seperti jeans ataupun summer dress. Mereka tidak pernah berkeliaran rumah hanya dengan piyama ataupun daster ala kadarnya. Mereka selalu terlihat fresh, trendi, dan seperti siap pergi kemana pun tanpa harus mengganti baju.

Di Indonesia, saya bisa saja tidak mandi seharian sambil tetap memakai piyama. Tapi sejak tinggal di Eropa, meskipun hanya di rumah, saya jadi terbiasa memakai denims, blus, dan ballerina, lengkap dengan make up tipis dan parfum. Padahal di Indonesia, kalau saya berdandan seperti itu pasti akan ditanya ingin pergi kemana.

Five. Selalu pakai yang terbaik

Pernahkah kalian membeli pakaian, disimpan di lemari, lalu berharap pakaian tersebut bisa digunakan saat acara tertentu? Sampai acara tersebut tiba, pakaian baru biasanya hanya disimpan lalu kadang lupa digunakan.

Orang-orang Eropa selalu membeli pakaian yang cocok untuk acara apapun. Saya selalu memperhatikan Louise tampil modis ke kantor dari hanya memakai blus dan jeans, hingga elegan dengan dress hitamnya. Suatu kali, pernah juga saya berkunjung ke rumah seorang teman yang memang seorang Parisian dan tetap terlihat modis saat menyambut kami. Dia membalut t-shirt putihnya dengan kimono bermotif lucu ataupun tetap oke dengan setelan kemeja jeans dan rok mininya. Teman saya yang lain, Ieva, tidak hanya memakai dress mini saat pergi ke bar ataupun klub malam, tapi juga saat café date.

Orang-orang Eropa tidak pernah menyimpan pakaian terbaiknya hanya karena merasa belum pas digunakan di satu acara. Ketimbang menyimpan pakaian dan harus menunggu acara tertentu, mereka selalu mencari momen lain agar pakaian tersebut bisa dipakai. Mereka tidak ragu menggunakan dress berpotongan mini di siang hari, lalu dipadukan dengan cardigan dan stocking agar terlihat lebih "manis" dan kalem.

Saya yang tadinya hanya membeli dress karena ingin dipakai saat pesta saja, sekarang tidak terlalu peduli lagi soal kapan pesta tersebut tiba. Saya tetap memakai si dress meskipun hanya nongkrong di kafe. Saya juga tidak harus memakai kebaya saat kondangan, tapi tetap bisa modis memakainya sebagai pengganti cardigan.

6. Kualitas vs kuantitas

Saya kagum dengan ukuran lemari orang-orang Eropa yang tidak terlihat berlebihan. Berbeda dengan orang Amerika yang harus menyimpan sepatu mereka hingga three lemari, jumlah sepatu orang-orang Eropa bisa dihitung jumlahnya dan muat hanya dalam satu lemari.

Saya jadi ingat isi pakaian ibu saya di rumah yang disimpan hingga five lemari! Belum lagi lemari tas dan sepatunya yang sukses memenuhi kamar dan ruangan setrika. Awalnya saya tidak begitu peduli soal jumlah lemari dan koleksinya. Namun setelah tinggal di Eropa dan kembali ke Indonesia, saya sadar kalau kebiasaan menyimpan pakaian seperti ini sama saja buang-buang waktu dan uang. Belum lagi soal banyaknya barang yang harus dibenahi hingga membuat rumah sesak.

Bayangkan berapa lama waktu yang kita butuhkan tiap pagi hanya karena sibuk memilih-milih pakaian dan pernak-perniknya. Belum lagi saat kondangan, bongkar koleksi tas dan sepatu hanya untuk dipadu-padankan. Kalau sudah kebingungan begini, ujung-ujungnya tetap pakaian yang itu-itu saja yang digunakan.

Brian, host dad saya di Denmark, hanya membeli pakaian dengan kualitas terbaik dari merk ternama. Brian tidak pernah membeli dan menumpuk banyak pakaian hanya karena sedang diskon. Kalau kemejanya sudah kebanyakan, sebelum membeli yang baru, Brian selalu menyumbangkan pakaiannya terlebih dahulu.

Sama seperti istrinya, saya tidak mendapati Louise membeli banyak sepatu hanya sebagai koleksi. Jumlah sepatu Louise di lemari pun bisa dihitung dengan jari. Bukan karena tidak punya uang membeli banyak barang, justru sepatu-sepatu mereka dibeli dengan harga yang mahal demi mendapatkan kualitas terbaik.

Soal pakaian pun, Louise sama seperti suaminya. Sebelum membeli pakaian baru, Louise selalu membenahi isi lemarinya terlebih dahulu. Pakaian yang sudah tidak muat, sedikit longgar, ataupun tidak disukainya lagi, biasanya akan diberikan ke orang terdekat ataupun disumbangkan ke Red Cross.

Louise juga bukan tipe ibu-ibu rempong yang suka kredit tas kesana kemari dengan beragam warna. Daripada membeli banyak tas untuk dipadukan dengan banyak pakaian, Louise lebih suka menggunakanclutchmini berwarna hitam untuk acara kasual. Sementara saat kerja, dia membawa tas berukuran lebih besar berbahan kulit.

Bagi orang Asia dan Amerika, memakai pakaian yang sama terus-menerus bisa dianggap tidak modis, kurang pakaian, hingga seperti tidak punya uang membeli yang baru. Padahal bagi orang Eropa, tidak masalah memakai pakaian, tas, ataupun sepatu yang sama terus-menerus asalkan barang tersebut dibeli dengan kualitas terbaik (baca: no KW-KWan).

Cobalah tonton film-film Eropa asal Prancis seperti Amélie atau Call Me by Your Name yang mengambil setting-nya di Italia. Pakaian dan gaya yang digunakan pemerannya itu-itu saja setiap scene. Tidak seperti orang Amerika yang terkenal konsumtif dan membeli pakaian sesuai tren. Tonton saja kebanyakan film Hollywood yang para pemainnya selalu berganti gaya setiap adegan. Kesimpulannya, orang Eropa memiliki pakaian sedikit namun berkualitas tinggi, sementara orang Amerika kebalikannya.

7. Minim namun elegan

Saya tidak pernah bosan mengatakan kalau selera orang Eropa dalam berpakaian memang cenderung simpel dan elegan. Saat memilih pakaian yang mini, gadis-gadis Eropa tidak pernah memakai pakaian ketat dan seksi di jalan hanya untuk mendapatkan perhatian lawan jenis. Gaun-gaun mini berpotongan seksi biasanya hanya digunakan di klub malam dengan penerangan yang temaram dan membuat mereka lebih percaya diri.

Mereka juga tidak ingin dicap murahan hanya karena buka-bukaan dari atas sampai bawah. Kalaupun ingin menampilkan kesan seksi, mereka hanya menampilkannya di satu sisi. Kalau bagian atas sudah terlalu terbuka, mereka tetap terlihat seksi tanpa harus memamerkan kaki yang jenjang. Begitupun sebaliknya, saat ingin memamerkan kaki yang jenjang dan seksi, mereka lebih memilih atasan tertutup. Contohnya di klub malam, saya sering melihat gadis-gadis yang memilih pakaian dengan potongan dada rendah, namun membalut kaki mereka dengan stocking ataupun celana panjang.

Monday, June 29, 2020

Tips Kelakuan Copenhageners, Helsinkians, dan Brusselèèrs di Kendaraan Umum|Fashion Style

Naik kendaraan umum di Eropa memang seru. Selain bisa berkeliling ke daerah baru, saya juga sekalian mempelajari pola orang-orang yang setiap hari naik kendaraan umum.

Denmark dan Belgia adalah dua negara terlama yang pernah saya tinggali. Meskipun sempat jalan-jalan juga di sekitar Eropa, namun Helsinki adalah satu-satunya ibukota yang transportasi umumnya sudah pernah saya coba semua; baik itu kereta regional, bus, tram, dan metro.

Iseng-iseng tidak ada kerjaan di tengah malam, lucu juga kalau saya membandingkan kelakuan para penduduk ibukota ini saat naik kendaraan umum, ke sebuah tulisan.

Copenhageners

Sebenarnya penduduk Kopenhagen lebih sering naik sepeda kemana-mana ketimbang kendaraan umum. Tapi ada satu hal menarik yang bisa diperhatikan dari pengendara sepeda dan pengguna kendaraan umum lainnya; yaitu sama-sama sibuk dengan ponsel pribadi!

Di kereta, bus, ataupun metro, orang-orang hanya sibuk memperhatikan apa yang ada di ponsel mereka. Orang-orang Kopenhagen ataupun Denmark, berasa mati gaya kalau di tangan mereka tidak ada ponsel. Ponsel orang-orang ini pun kebanyakan mahal-mahal; sebut saja si Apel atau deretan paling baru si Sungsang. Tapi kebanyakan memang si Apel sih (:

Kalau sedang tidak memperhatikan ponsel, coba lihat telinga mereka. Biasanya akan teruntai kabel panjang berwarna putih atau hitam yang siap menemani keautisan sementara di dalam kendaraan umum ataupun jalanan ibukota. Sometimes, it's just too quiet, only them and phones!

Tapi karena penduduk Kopenhagen dan sekitarnya memang kebanyakan mengandalkan sepeda ataupun kendaraan umum, tidak heran kalau penggunanya bisa dari segala usia. Psssttt... coba saja sering-sering naik metro atau sepeda di Kopenhagen, pasti akan menemukan banyak manusia oke dan lucu yang super stylish!

Helsinkians

Meskipun Helsinki adalah ibukota yang ukurannya kecil, namun moda transportasi di tempat ini super lengkap. Sebenarnya saya hanya berkesempatan keliling Helsinki beberapa hari saja. Namun untungnya penjelajahan tidak hanya sebatas downtown, tapi juga ke daerah lain di ujung ibukota.

Berbeda dengan Kopenhagen yang pengguna transportasi umumnya bisa dari segala rentang usia, di Helsinki justru saya banyak bertemu dengan orang tua. Anak-anak muda Helsinki memang lebih sering naik metro ketimbang bus, lebih sering jalan kaki ketimbang naik sepeda, atau lebih banyak juga yang memilih memiliki mobil pribadi ketimbang harus antri menunggu tram.

Tidak seperti orang-orang Kopenhagen yang lebih sibuk dengan ponsel mereka, penduduk Helsinki justru lebih sering diam dan menatap kosong jendela. Saya jarang sekali menemukan pengguna kendaraan umum yang sibuk mendengarkan musik di telinga mereka. Jika pun pergi dengan teman atau keluarga, biasanya mereka hanya mengobrol dengan suara yang tidak terlalu keras.

Brusselèèrs

Di dalam bahasa Inggris, tidak ada panggilan khusus yang ditujukan untuk orang-orang yang tinggal di ibukota Belgia. Karena penduduk yang tinggal di Brussels juga campuran dari banyak wilayah, mereka cukup senang hanya dipanggil Belgians.

Sebut saja saya rasis, tapi pengguna kendaraan umum di Brussels memang paling seru, aneh, dan menyebalkan! Fokus saya biasanya tertuju oleh orang-orang kulit hitam yang memenuhi ibukota.

Coba saja naik kereta melalui tiga stasiun utama Brussels, biasanya saya akan takjub dengan tingkah orang kulit hitam ini. Tidak ada yang salah memang. Tapi kadang mereka bisa sangat pede berdandanan bin ajaib dengan pakaian yang tabrak warna dan motif kesana kemari.

Satu lagi yang paling menyebalkan, orang-orang ini kebiasaan menelpon di kendaraan umum dengan suara yang super duper nyaring! Serasa kereta segerbong-gerbong milik nenek mereka kali ya?!

Kesalnya lagi, kadang mereka sengaja menyetelloudspeaker telepon sekalian bicara super keras. What's the point?! Sampai pernah suatu kali, seorang supir bus mesti menegor wanita paruh baya yang bicara super kencang saat menerima panggilan.

But, TRUST ME!!, kejadian ini malah sangat jarang terjadi ketika saya tinggal di Ghent. Pengguna kendaraan umum biasanya orang-orang Belgia asli yang super kalem dan taat. Saya rasis? Iya.

Tips Bantal|Fashion Style

Saat saya sedang asik menceritakan sesuatu, Tom, seorang kenalan dari Australia, terpaksa harus menginterupsi obrolan ketika kami melintasi toko kamar tidur di Frederiksberg. Bukannya fokus dengan cerita saya, Tom malah menanyakan pertanyaan lain, "are pillows in Indonesia rectangular?"

"Hah? Kenapa?"

"Saya aneh dengan bentuk bantal di Eropa. Kenapa disini semua bantal tidur bentuknya persegi ya? Lihat tuh!" kata Tom sambil menunjuk bantal yang terpajang di depan toko.

"Kenapa? Bagus kan?"

"Aneh, tahu?! Di Australia bentuk bantalnya persegi panjang. Bukannya sama seperti di Indonesia ya?"

"Ah, masa? Di Indonesia bantalnya juga persegi."

"Aneh!" katanya lagi sambil berlalu meninggalkan toko.

Ketika masuk kamar tidur Tom dan menumpang merebahkan badan di atas tempat tidurnya, saya memperhatikan bentuk bantal Tom yang berbentuk persegi. Tiba-tiba saya jadi teringat sesuatu!

"Oh iya iya, Tom!! Di Indonesia bantalnya juga persegi panjang!"

"Nah kan! That's why I said so. I knew it when I was in Bali.Rectangular ones are the best ones."

"Ah yeah, you're right! How can I forget such a thing?!"

"Eropa aneh memang. Bantal-bantal kita isinya juga bulu angsa kan? Do you think it is the best one?"

Saya mengiyakan perkataan Tom lagi sekalian mengingat pengalaman pertama kali tinggal di Eropa. Sewaktu tiba di Belgia, saya memang sempat memperhatikan bantal kamar pertama saya yang juga persegi. Di IKEA pun, rata-rata bentuk bantal tidur yang dijual memang hanya persegi. Ada yang persegi panjang, tapi bentuknya lebih kecil dari yang ada di Indonesia.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan bentuk-bentuk bantal yang ada di Eropa. Bantal berisi kapas sintetis dan fiber biasanya diberi label harga dari yang termahal hingga termurah berdasarkan dengan kualitas serat. Lucunya, semakin empuk bantal justru harganya makin murah.

Dari obrolan singkat dengan Tom, entah kenapa saya tiba-tiba kangen bantal dan kasur-kasur Indonesia yang biasanya berisi kapuk alami ataupun bulu angsa. Semakin padat si kapuk, makin keras juga si kasur. Saya juga jadi ingat dengan bantal kesayangan kakak saya yang harus dibuang gara-gara sudah tidak berbentuk dan si bulu-bulu angsa mulai keluar menusuk kain bantal.

Satu lagi yang membuat saya risih saat tiba di Eropa, yaitu ketidakhadiran guling di atas kasur. Orang Eropa memang hanya terbiasa tidur dengan satu ataupun dua bantal saja. Kadang saya tidak mengerti. Padahal mereka harus tahu betapa nyaman dan lelapnya tidur sekalian memeluk erat si guling.

Goodnight, everybody!

Tips 5 Alasan Musim Semi Terlalu Keren dan Romantis|Fashion Style

Bulan April sudah hampir selesai, tapi para penghuni bagian utara Eropa masih menggerutu betapa dinginnya musim semi tahun ini. Beberapa kali salju masih sering turun membawa harapan summer akan tiba segera hilang. Saat orang-orang di bagian selatan Eropa sudah merasakan hangatnya mentari dan jutaan bunga yang mulai bermekaran, kami yang tinggal di utara mesti harus bersabar menunggu Mei membawa kejutan baru.

Meskipun musim semi tahun ini masih jauh dari ekspektasi, tapi ada beberapa alasan mengapa spring adalah musim paling romantis sepanjang tahun. Selain itu, musim semi juga membawa rasa kegembiraan tersendiri bagi para orang-orang yang rindu hangatnya sinar matahari dan bikini. Hihi.

1. Colors are returned

Sejujurnya, saat saya menulis tulisan ini, banyak pepohonan di hutan masih tampak gersang dan bunga-bunga di taman depan masih menguncup. It's not the time. Not yet.

Walaupun beberapa jenis bunga masih menunggu cuaca benar-benar hangat dulu untuk bermekaran, namun banyak juga bunga-bunga kecil yang sudah mulai cantik berkembang. Perasaan suka cita biasanya muncul bersamaan dengan deretan pepohonan yang menghijau hingga mata kembali fresh melihat warna-warni bunga di taman. Lucunya, bunga-bunga ini memang hanya akan tumbuh di musim semi, lalu kembali layu saat musim panas tiba.

2. Aroma sakura

Di Denmark, banyak pepohonan sakura yang ada di kuburan mulai dipenuhi oleh gradasi pink di sepanjang bulan April. Meskipun judulnya kuburan, tapi taman pemakaman disini tidak ada aura mistis sama sekali seperti yang ada di Indonesia. Bukannya mengerikan, kuburan justru dijadikan tempat rekreasi ataupun jalan-jalan santai.

Saat cuaca mulai sedikit bersahabat, banyak orang yang datang ke taman sakura hanya untuk foto-foto ataupun piknik menggelar tikar. Saya sendiri sudah hapal betul dengan ke-mainstream-an seperti ini di Denmark. Lihat saja saat pertengahan bulan April, news feed Facebook saya pasti dipenuhi postingan seragam teman-teman yang datang dan berfoto ria di Bispebjerg Kirkegaard dan Langeline Park.

Three. Nyamannya berjalan kaki

Meskipun musim semi bisa sedikit basah, berangin, dan dingin, tapi ada beberapa kesempatan terbaik saat cuaca sedang bagus-bagusnya. Ketika matahari sedang bersinar terang hingga membawa suhu hangat di siang hari, saat-saat seperti inilah biasanya dimanfaatkan seseorang untuk mengitari taman ataupun berjalan-jalan santai di luar.

Di bagian utara Eropa, suhu terbaik musim semi di siang hari adalah 14-18 derajat Celcius. Jika suhu bersahabat, taman dan jalanan biasanya akan dipenuhi oleh banyak orang saat akhir pekan. Don't stay inside! Put the glasses on and go grab your Vitamin D!

Four. Musim festival

Karena cuaca sudah mulai bersahabat dengan kulit, banyak festival seru pun sudah banyak digelar di luar ruangan. Selain Festival Sakura, banyak juga festival musik dan olahraga yang memang menunggu musim semi untuk menebar keseruan. Time to check them out and have fun!

Five. Time to be out of doors longer

Sangat kontras dengan musim dingin yang gelap dan suram, musim semi membawa warna baru di siang hari. Hari terasa lebih panjang karena jam 6 pagi sudah mulai terang dan matahari baru mulai terbenam jam setengah 9 malam. Artinya, energi positif dan rasa bahagia bisa membuncah sepanjang hari karena bisa kelayapan lebih lama 😊

Sunday, June 28, 2020

Tips Pengalaman Tes IELTS Pertama di Eropa|Fashion Style

Akhirnya, saya berhasil menaklukkan salah satu ketakutan terbesar dalam hidup: tes IELTS!

Iya, entah kenapa tes Bahasa Inggris yang satu ini selalu jadi momok seram. Meskipun saya sudah belajar bahasa Inggris sedari umur 9 tahun, tapi tetap saja tidak ada keberanian untuk mengikuti uji kefasihan. Selain harganya mahal, kalau ternyata tidak mencapai goal, melayang saja kan uang yang sudah terbayar.

Setelah hampir eight tahun menunda untuk mengikuti IELTS/TOEFL, ujung-ujungnya saya korbankan juga 1875 DKK atau sekitar 3,five juta demi menguji kemampuan bahasa Inggris. Sebenarnya niat tes IELTS memang hanya didasari untuk mendaftar ke salah satu perguruan tinggi, yang sudah diniatkan sejak saya tamat SMA hingga tamat kuliah. Mengingat kontrak au pair di Denmark juga akan habis, saya iseng-iseng saja ingin mendaftar ke salah satu kampus di negara lain.

Ingin mengikuti tes pun sebenarnya maju mundur karena saya sudah malas belajar. Baik itu belajar sebelum mengikuti tes, maupun belajar di bangku kuliah. Tapi setelah pertimbangan matang, dua bulan sebelum tes, saya mendaftar juga.

Di Eropa Utara, harga tesnya lebih mahal dari negara-negara lain. Di Denmark saja, tes IELTS dihargai 1875 DKK (Kopenhagen) hingga lebih dari 2000 DKK (Faroe Island). Sementara di Finlandia, tes IELTS harganya ?250, lebih mahal ?40 dari Belgia ataupun Jerman.

Karena di Kopenhagen cepat sekali penuh, pendaftaran pun harus dilakukan sesegera mungkin. Ada dua opsi untuk bagian tes Speaking, bisa lain hari ataupun di hari yang sama dengan tiga tes lainnya. Merujuk ke pengalaman tes module Bahasa Denmark , saya memilih tes Speaking di hari lain saja.

Speaking Test

Satu minggu sebelum tes dimulai, pihak EDU sudah mengirimkan email konfirmasi soal jadwal dan tempat tes Speaking. Karena memilih beda hari, tes Speaking saya diadakan satu hari sebelum tiga tes lainnya.

Jam 2.45 sore, saya sudah datang ke tempat ujian untuk mendaftarkan diri dan difoto. Sesuai dengan jadwal tes, jam 3 teng, seorang bapak penguji asli Inggris sudah menyambut saya ramah di depan sebuah ruangan.

Si bapak yang bernama Mark ini sebenarnya sama sekali tidak menakutkan. Ekspresinya memang datar, tapi terkesan hangat dan ramah. Saya juga jadinya tidak terlalu deg-degan dan menjawab sesantai mungkin.

Tes Speaking bagian pertama sangat gampang. Topiknya hanya sebatas sekolah, cokelat, dan buku. Semuanya bisa saya jawab dengan lugas karena memang hal semacam ini sudah menjadi pembicaraan sehari-hari.

Bagian kedua, saya mulai kehabisan kata-kata. Topiknya sangat jelek, menurut saya, soal kesibukan. Meskipun sudah mencoba menuliskan poin-poin yang akan diucapkan, saya merasa ada dua poin yang kelupaan.

Bagian ketiga, beberapa pertanyaan lanjutan ditanyakan oleh Mark, yaitu tentang tekanan saat sekolah dan hidup di masa mendatang. Saya sempat berpikir sekitar 2-3 detik sebelum menjawab pertanyaan, karena sedikit bingung menyambung dari opini sebelumnya.

Kuncinya: bicara lugas dan lancar tanpa terlalu pusing memikirkan opini. Isi opini boleh mengarang, yang penting tata bahasa, perkaya kata-kata baru, dan anggap saja si penguji adalah teman kita.

Listening Test

Kalau sudah terbiasa mendengar podcast, lagu berbahasa Inggris, radio, ataupun menonton BBC, sebenarnya tidak ada masalah. Meskipun aksen yang dipakai adalah British-Inggris, tapi kata-kata yang digunakan sebenarnya hampir semuanya sama saja dengan Inggris-Amerika. Justru saya merasa, rekaman orang di IELTS lebih jelas ketimbang mendengarkan teman-teman asal UK mengobrol.

Di bagian awal, percakapan masih mudah karena biasanya hanya menyangkut nama, nomor, umur, ataupun kata-kata dasar yang hanya diperbolehkan ditulis dengan satu kata saja di lembar jawaban.

Masuk ke bagian pertengahan dan akhir, percakapan lebih berat menyangkut soal teknologi, sains, ekonomi, seni, ataupun pendidikan. Sedikit mengecoh, karena selain mendengar, kita juga harus membaca dan berpikir kira-kira jawaban mana yang tepat. Saya sempat sedikit blank di bagian ini hingga harus menjawab asal.

Reading Test

Tes bagian ini menurut saya adalah bagian paling membosankan. Jujur saja, saya sama sekali tidak ada persiapan dan banyak latihan. Tes Reading bahasa Inggris dimana-mana sama saja, ya tidak IELTS, tidak UAN, tidak UAS, ataupun ujian semesteran. Intinya, ada teks yang panjang (sekali), lalu harus menjawab True-False, memilih opsi, ataupun mengisi isian dari A-Z.

Lupakan soal paham atau tidaknya kita dengan seluruh isi teks, karena nyatanya, tugas kita bukan disuruh menerjemahkan. Untuk Academic Test, biasanya peserta tes diharapkan untuk sepenuhnya menganalisa pertanyaan sekalian mencocokan dengan isi teks.

Sekali lagi, bagian paling membosankan dan menyita waktu, karena terlalu tricky. Di sepuluh jawaban terakhir, lagi-lagi saya mulai blank hingga akhirnya asal tembak saja. Sudah dianalisa, dibaca berulang-ulang, dilihat-lihat lagi, tetap saja tidak menemukan jawaban. Oke, goodbye! A! B! C!

Writing Test

Mendengar komentar dari teman-teman yang sudah pernah mengikuti tes IELTS (hingga berkali-kali), saya sepakat kalau tes Writing adalah tes yang HARUS penuh persiapan. Berbeda dengan General Training, peserta tes Academic diharapkan mampu menuangkan opini, ide, serta kemampuan analisa ke dalam tulisan yang bahasanya lebih formal dan tertata.

Meskipun sudah disediakan waktu 70 hari persiapan, saya hanya menggunakan kurang dari five hari untuk latihan menulis. Padahal saya paham sekali dengan kekurangan terbesar saya saat menulis artikel dalam bahasa Inggris.

Sehari sebelum tes pun, saya hanya membuka beberapa artikel internet, lalu mempelajari beberapa pola yang diharapkan oleh IELTS. Mempelajari pola jawaban menjadi sangat penting agar kita tahu struktur bahasa ataupun paragraf seperti apa yang mereka nilai.

Kalau ingin mendapat nilai tinggi di bagian ini, jangan lupa sering-sering membaca berita terbaru berbahasa Inggris. Selain mendapatkan kosa kata non-mainstream, kita juga terbiasa dengan isu terhangat semisal ekonomi, pendidikan, budaya, ataupun masalah dunia lainnya. Struktur tata bahasa menjadi poin penting lainnya agar tulisan kita menjadi tepat sasaran sesuai penggunaan waktu dan kaedah yang berlaku.

Pengalaman saya di bulan April, tes Writing di bagian pertama sebenarnya tidak terlalu banyak analisa karena diagram batang yang digunakan mudah diteliti. Topiknya pun tentang perbandingan jumlah siswa yang belajar di tiap subjek pelajaran.

Sementara bagian kedua, tangan saya hampir patah menulis?Padahal sebenarnya juga tidak ada yang ditulis, tentang topik yang lagi-lagi?Menurut saya?Jelek. Yaitu tentang isu pembangunan di sektor ekonomi yang berdampak dengan kemunduran norma sosial. Apaaaa coba?!

RESULT!!

Kalau ingin jujur, mengingat ini adalah tes pertama, saya sebenarnya tidak menaruh harapan yang terlalu besar soal skor. Iya memang, saya menetapkan skor 7.0 karena memang si kampus yang saya incar menarafkan skor segitu. Tapi sekali lagi, I am happy because it's over.

Tiga belas hari setelah tes selesai, saya sudah bisa mengakses hasilnya di internet. Eng... Ing... Eng....

Skor IELTS saya hanya 6.Zero!

Benar saja, nilai di bagian Writing dan Reading paling anjlok, hanya 5.5. Karena sebelumnya memang sudah tidak ada persiapan matang dan ekspektasi tinggi, saya pun mengakui kemampuan saya di tahun ini berada di taraf itu. I have tried my best yooo! (;

Tapi setelah semuanya berakhir, entah kenapa lagi-lagi saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan mengulang tes selama beberapa tahun ke depan. Seriusan, tes IELTS layaknya ujian mana pun yang stres dan menakutkan. Satu lagi, mahal!

Tips Kembali Kreatif di Kelas Desain|Fashion Style

Minggu ini adalah minggu terakhir kelas desain saya di Designskolen - Designmuseum Danmark. Sedih, tapi juga bahagia karena akhirnya bisa melihat hasil kerja semua siswa dari awal masuk hingga akhir musim.

Masuk sekolah desain memang impian saya dari tamat SMP. Yang dulu saya tahu, desain hanyalah seputar fashion dan mode. Tapi ternyata, sekolah desain lebih luas mencakup grafis, produk, tekstil, hingga perabotan.

Beberapa bulan sebelum kedatangan di Denmark, sebenarnya saya sudah mencari-cari kelas desain yang bisa saya ikuti di Kopenhagen. Sama seperti di Belgia dulu, saya juga ingin tetap kreatif meskipun sedang berada di negara orang. FYI, saya sempat mengikuti kelas menggambar akhir pekan sewaktu di Ghent.

Awalnya, saya ingin mendaftar ke sekolah fashion milik seorang fashion designer terkenal, Margrethe-Skolen/Scandinavian Academy of Fashion Design. Sebelum ke Denmark pun, saya sudah bertanya dengan Louise, host mom saya, tentang keinginan yang ingin bolos seminggu sekali demi mengikuti kelas ini. Alhamdulillah, Louise setuju-setuju saja.

Sesampainya di Denmark, saya urungkan niat ke Margrethe-Skolen karena ternyata setelah dipikir-pikir biayanya cukup mahal. Sekolah fashion design yang cukup menarik lainnya adalah Fashion Design Akademiet. Tapi karena kelas menjahit lebih mahal, saya berniat mengambil kelas Fashion Illustration saja. Masih sekalian menimbang dan mencari, akhirnya ketertarikan saya lebih besar ke proyek-proyek kerja yang diadakan oleh Designskolen - Designmuseum Danmark.

Sebenarnya ada beberapa sekolah desain lain yang juga sama menariknya. Tapi sayangnya, biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit. Jujur saja, niat untuk masuk ke Designskolen pun mesti saya tahan satu tahun karena saya terlalu boros dan selalu kehabisan uang :p

Finally, di kelas musim semi 2017 saya benar-benar bisa mendaftar dan mengikuti kelas hingga akhir. To be honest, I am on a nine cloud! This is what I always dream of: learning design, not only theory but practical. I always miss doing something with my hands.

Sekolah desain ini sendiri adalah kelas yang diadakan oleh Designmuseum Danmark di Kopenhagen. Museum ini lebih fokus ke desain yang pamerannya selalu unik dan mengagumkan, dari mulai fashion hingga kursi-kursi kelas dunia yang didesain Finn Juhl, Arne Jacobsen, dan desainer kursi Denmark terkenal lainnya. Makanya kelas desain saya kali ini sangat beragam dan tidak hanya belajar soal fashion, tapi juga cara mendesain kursi hingga membuat pola di kain.

This class is totally super fun! Kelasnya terbagi dari tiga angkatan; anak-anak, remaja, dan dewasa. Untuk kelas dewasa, diadakan setiap Rabu jam 18.30. Setiap musim hanya menerima maksimum 12-15 orang dan saya adalah satu-satunya orang berbahasa Inggris di musim ini. Bahasa pengantar selalu menggunakan bahasa Denmark, tapi Anders, pengajar kami, tidak sungkan untuk menjelaskan garis besarnya ke saya dalam bahasa Inggris. Untunglah saya sudah belajar bahasa Denmark selama satu tahun lebih, jadi masih ada beberapa frase dasar yang saya bisa ikuti.

Karena kelas desain sudah berakhir, berikut saya tampilkan foto-foto hasil proyek siswa di kelas saya yang sempat dijadikan pameran di sekolah. Enjoy!

Oh ya, ada satu lagi hal menarik dari sekolah desain ini, mereka selalu mengundang desainer ataupun arsitek di setiap subjek. Pernah suatu kali, dua orang arsitek terkenal Denmark, Charlotte Carstensen dan Julie Dufour, datang untuk memberikan proyek chair exhibition design. Dalam 3 pertemuan, semua siswa diberikan peran sebagai desainer dan diberi kesempatan untuk mendesain sendiri sebuah ruangan pameran kursi.

Setelah proyek usai, Charlotte baru memberi tahu kalau ternyata semua hasil proyek siswa akan dipamerkan di Designmuseum Danmark. Oh my G! Tidak semua hasil seni dan desain seseorang bisa dipamerkan di museum seterkenal ini. Seperti kata seorang teman sekelas saya, "kapan lagi hasil karya kita bisa masuk pameran? It's only once in a lifetime!"

Setelah kelas desain ini berakhir, Anders, pengajar kami berharap kalau semua siswa tetap menjadi kreatif dan selalu terhubung dengan ide-ide segar. Walau bagaimana pun setiap sudut Kopenhagen bisa jadi sumber inspirasi dan kelas, tidak hanya di ruang workshop. I agree!

Bagi kalian yang juga ingin belajar ilmu baru selagi di negara orang, just go for it! Kapan lagi belajar langsung dari ahlinya? It's time to learn dan discover something new. It might be a bit pricey, but trust me, it's going to be worth it!

Saturday, June 27, 2020

Tips Party-nya Anak Muda Eropa|Fashion Style

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Saya lupa kalau hari itu Jumat, tepat di pertengahan Januari dengan suhu musim dingin yang sungguh menusuk. Kereta saya menuju Kopenhagen mulai penuh oleh para anak muda yang sudah bersiap menikmati Jumat malam di ibukota.

Para cowok sudah rapih dengan kemeja dan kadang ada tambahan dasi kupu-kupu, lalu gadis-gadis tampak anggun berbalut gaun mini. Anak-anak muda ini sungguh elegan dan modis meskipun mantel musim dingin yang dipakai cukup konservatif. Kaki-kaki jenjang gadis Denmark tersebut juga hanya berbalutkan stocking tipis yang sebenarnya, saya tahu, menyiksa mereka di tengah gempuran angin dingin.

Saya dan dua orang teman berniat menuju salah satu karaoke bar terkenal (karena cuma satu-satunya) di Kopenhagen. Kami berjalan menyusuri daerah Str?Get di kawasan N?Rreport yang memang ramai saat Jumat dan Sabtu malam. Banyaknya tempat makan, bar, hingga klub malam, menjadikan kawasan pejalan kaki ini penuh oleh anak-anak muda yang ingin rileks sejenak dari penatnya bangku sekolah dan tesis.

Bicara soal pesta para ekstrovert, tentunya berhubungan dengan hura-hura. Apalagi kalau bukan menikmati dentuman musik di klub malam, berdandan seksi, meneguk minuman warna-warni beralkohol, hingga mencari pasangan di lantai dansa.

Tipe pesta seperti ini biasanya dilakukan oleh anak-anak abege tua yang baru boleh minum alkohol dan bermabuk-mabuk ria. Para mahasiswa yang baru masuk kampus biasanya juga selalu menyempatkan agenda berpesta di klub malam sebagai ajang menikmati hidup. They said, party hard like a student!

Tidak hanya para abege tua, para dewasa yang penat dengan essai dan pekerjaan, biasanya juga datang demi sekedar berjoget sekalian flirting kanan kiri. Beberapa dari mereka juga terkadang lebih kalem saat di klub malam karena hanya datang untuk menikmati musik lalu minum-minum bersama teman.

Lalu bagaimana dengan para introvert yang juga mulai muak dengan tugas kampus dan kantor? Walaupun anti dengan kata party, sebenarnya mereka juga tertarik dengan pesta yang sifatnya lebih tertutup dan tidak terlalu banyak orang. Datang ke apartemen teman tanpa berdandan seru, nonton film rame-rame, sambil meneguk beberapa kaleng bir, lebih terasa berharga ketimbang buang-buang energi di klub malam.

Saya pernah juga diundang seorang teman ke acara pesta privat di rumahnya. Para undangan pun sebenarnya hanya terbatas ke para koleganya saja. Walaupun sifatnya privat, namun doi tetap niat menyewa lampu blink-blink dan sound system demi memeriahkan suasana. Makanan pun tidak kalah heboh, 13 courses yang semuanya tentu saja gratis! (Yaiyalah, yang punya acara memang chef di restoran terkenal)

Meskipun anak-anak muda Eropa banyak juga yang hobi mabuk-mabukan, tapi tidak semuanya suka klub malam, lho. Partysering bermakna konotatif yang membuat imej siparty boys/girlsterkesan terlalu liar, kekanakkan, hobi joget-joget di dance floor with strangers, dan cenderung naughty. Padahal ada juga pesta yang sifatnya musiman alias diadakan karena ada event tertentu.

Tapi apakah semua yang masuk klub malam adalah tipikal orang-orang liar? NO! Kadang ada yang datang bersama teman tanpa joget-joget sedikit pun, memesan bir, lalu hanya duduk di sofa tanpa bicara sepatah kata pun. Grup semacam ini biasanya hanya ingin cari suasana sambil memerhatikan orang-orang yang lagi joget. Ada juga yang datang hanya untuk murni joget-joget tanpa tujuan mabuk dan flirting sedikit pun.

Sama halnya seperti di Indonesia yang dandan habis-habisan saat kondangan, anak-anak muda Eropa biasanya memanfaatkan momen party untuk berdandan to the next level. Baju-baju mini dipakai untuk menarik lawan jenis ataupun menyesuaikan keadaan klub malam yang biasanya semakin malam, semakin panas dan sesak.

Saya sendiri sebenarnya bukan penikmat lantai dansa dan klub malam, kecuali datang bersama teman-teman terdekat. Lewat dari jam 1 pun, saya biasanya sudah mulai gelisah ingin segera keluar karena suasana yang makin ramai dan tidak kondusif. Sebalnya lagi, kita mesti rela sikut-sikutan, dorong-dorongan, bahkan injak-injakan kaki dengan para pejoget lainnya.

Intinya, hati-hati bicara kata party dengan orang-orang Eropa yang baru kita kenal. Sekali lagi, meskipun party bermakna konotatif, tapi orang-orang yang masih menjadikan party sebagai hobi bisa dipandang rendah. Makanya, banyak anak muda yang memasuki usia 27 tahun sudah mulai mengurangi frekuensi ke klub malam karena merasa terlalu tua party hard like a student.

Wednesday, June 24, 2020

Tips 5 Alasan Semua Orang Menanti Musim Panas|Fashion Style

Memasuki bulan Agustus, suhu musim panas di Eropa mulai sedikit bergeser menjadi hangat-hangat sejuk. Liburan ke Wina bulan lalu, saya mesti mengumpat dalam hati karena panasnya bisa sampai 34 derajat! Jujur, saya bukan penyuka musim panas meskipun sudah 20 tahun lebih tinggal di Indonesia.

Walaupun musim panas identik dengan rasa bahagia dan suka cita, tapi saya juga benci hal-hal klasik seperti keringat, para serangga yang mulai girang beterbangan, ataupun kulit yang mulai gosong. Tapi sejujurnya, musim panas juga membawa warna tersendiri dalam satu tahun. Inilah alasan mengapa warga empat musim tetap mencintai dan selalu menanti musim panas!

1. 2. 3. Matahari

Yesh! Alasannya adalah karena sinar matahari yang membawa rasa hangat dan siang hari yang panjang. Dalam satu tahun, warga empat musim harus menggerutu karena lebih dari 8 bulan mereka harus menutup diri dari jaket, mantel, dan segala pernak-perniknya yang sungguh ribet. Saat musim panas datang, inilah waktunya bersuka cita memamerkan bentuk tubuh, menggosongkan kulit, ataupun memakai baju neon yang hanya pas dengan spektrum matahari.

Karena siang hari yang lebih panjang, aktifitas warga empat musim pun menjadi aktif karena ditemani sang surya hingga tengah malam. Saat berkunjung ke Reykjav?Ok di musim panas, baru sekalinya itu saya menyaksikan matahari yang hanya menggantung di langit tanpa sepenuhnya terbenam. Matahari hanya membenamkan setengah diri jam 12 malam, lalu bersinar apik kembali jam 3 pagi.

Sayangnya, musim panas tahun ini di Eropa Utara sedikit mengecewakan karena terus-terusan diguyur hujan dan temperatur yang terbilang masih dingin. Suhu rata-rata siang hari 17-20 derajat, lalu turun drastis menjadi thirteen derajat di malam hari. Di Reykjav?Okay, suhu di tengah hari bolong bisa hanya 11 derajat, yang memaksa orang harus tetap memakai jaket tebal.

4. Libur panjang

Hari terbahagia para anak sekolah dan orang tua adalah saat musim panas. Libur sekolah biasanya dimulai dari akhir Juni hingga awal Agustus atau awal September. Kapan lagi bisa menikmati sinar matahari lebih lama, kalau bukan di musim ini. Makanya banyak juga perusahaan dan kantor yang sedikit "memaksa" karyawan mereka untuk mengambil cuti.

Sebalnya, karena bertepatan dengan libur panjang, banyak pantai dan tempat liburan jadi penuh sesak oleh turis. Sisi positifnya, banyak tempat-tempat seru seperti amusement park ataupun museum yang memang hanya dibuka saat suhu mulai bersahabat dengan kulit.

Five. Festival seru

Hari yang lebih panjang dan cuaca yang lebih hangat hanya bisa berarti satu hal: musim festival. Dibandingkan dengan ketiga musim lainnya, festival terseru dan terbanyak memang digelar saat musim panas. Dari open air cinema, konser musik, ataupun lomba olahraga yang bertemakan outdoor, hanya akan ditemui di bulan Juni hingga Agustus.

Tidak perlu juga merasa miserable dan gundah gulana karena tidak bisa liburan ke pantai, karena warga empat musim tahu kemana harus berlabuh saat akhir pekan datang; pergi ke salah satu festival musik seru bersama teman ataupun pacar, lalu meneguk bir dingin saat matahari terbenam.

BONUS!! It is a berry sweet season!

Stroberi, rasberi, bluberi, ceri, sampai huckleberry, they bring a load of happiness and colours in the summer!

Sunday, June 21, 2020

Tips Kuliah S2? Nanti Dulu!|Fashion Style

Saya sebenarnya salut dengan para mantan au pair Indonesia yang meneruskan kuliah di Eropa selepas masa au pair mereka berakhir. Fakta memang, bahwa au pair bisa dijadikan batu loncatan untuk tinggal di Eropa lebih lama. Antusiasme teman-teman au pair itu pun sebenarnya layak diacungi jempol karena kebanyakan dari mereka kuliah dengan uang pribadi.

Meskipun embel-embelnya kuliah di luar negeri dan memakai uang sendiri, namun jangan salah, banyak juga dari mereka yang bukanlah dari keluarga golongan kaya. Kemauan mereka yang gigih serta tekad yang kuat untuk tetap tinggal di Eropa, membuat mereka rela sekolah sekalian kerja banting tulang mencukupi kehidupan sehari-hari. Berat memang. Namun banyak juga yang beruntung mendapatkan dukungan ethical dan finansial luar biasa dari keluarga di Indonesia.

Lalu saya sendiri, apa tidak niat meneruskan kuliah Master di Eropa?

Sejujurnya, sangat niat. Dulu, sebelum kenal au pair, tinggal dan menempuh pendidikan di luar negeri adalah impian saya sejak lama. Saat masih berumur eleven tahun, saya bahkan sudah bermimpi untuk SMA ataupun kuliah di Jepang.

Setelah lulus dari Universitas Sriwijaya, saya pun kembali mencari cara bagaimana bisa keluar negeri sekalian studi. Tapi karena IPK pas-pasan dan bahasa Inggris masih berantakan, akhirnya saya batalkan rencana tersebut. Niatnya saat itu memang mencari beasiswa. Tapi sudahlah, saya tahu diri karena saingannya lebih hebat-hebat.

Pindah ke Eropa dan tinggal selama beberapa tahun, membuat saya tahu bahwa kuliah di luar negeri sangat possible meskipun IPK dan bahasa Inggris pas-pasan. Banyak kampus di Eropa yang menawarkan uang kuliah yang murah hingga gratis. Syaratnya, kita mesti ikut kelas berbahasa lokal seperti yang ada di Belgia, Belanda, Prancis, Jerman, ataupun Finlandia.

Banyak teman-teman au pair yang malas pulang ke Indonesia, akhirnya lanjut kuliah di Eropa karena memang kesempatannya sangat terbuka dan ada. Lalu, apakah saya tidak tergiur untuk kuliah juga dan stay di Eropa lebih lama?

Sayangnya, tidak. Ada beberapa alasan yang akhirnya membuat saya mengurungkan dulu niat melanjutkan Master meskipun kesempatannya terlihat ada.

1. Kuliah itu melelahkan

Saya tidak pernah bosan belajar, bahkan selalu terbuka dengan ilmu-ilmu baru. Tapi saya sempat mengalami naik turun saat S1 dulu karena salah jurusan. Kuliah itu full teori. Belum lagi S2, semakin mendalami teori. Kalau harus melanjutkan kuliah hanya karena ingin tinggal di Eropa lebih lama, saya rasa akan buang-buang waktu saja. Kecuali saya kuliah untuk mendalami bidang tertentu yang berhubungan dengan profesi, why not?

Lagipula, bukankah tujuan akhir dari kuliah itu juga ujung-ujungnya mencari pekerjaan? Enak, kalau dia kuliah memang ingin mendalami bidang tertentu yang menunjang profesi yang sudah dimiliki atau akan dimilikinya. Just go for it!Lha, kalau masih meraba-raba seperti saya?

Saat berkencan dengan Bunny , seorang cowok Denmark, saya ada di posisi ketika dia sedang sibuk mengerjakan tesis. Selesai tesis, doi pun harus berada lagi di masa-masa mencari pekerjaan, membuat cv dan cover letter yang berbeda, mencari lowongan, lalu mengirimkan surat lamaran. "That's the most boring process!" katanya.

Belum lagi persiapan wawancara, ditolak sana-sini, hingga akhirnya tetap terus berusaha mencari. Doi sudah dapat pekerjaan sekarang, meskipun bukan pekerjaan yang sesungguhnya dia harapkan.

Jadi intinya, kuliah itu capek. Belum lagi lulusnya, masih stres harus cepat dapat pekerjaan.

2. Saya sudah berniat independen

Ibu saya sebenarnya sudah berniat menyekolahkan saya lagi sampai S2 di Indonesia. Namun saya katakan tidak. Bagi saya, kewajiban beliau menyekolahkan cukuplah hanya sampai S1 saja. Terima kasih banyak. Terlalu banyak beban yang beliau sudah tanggung di rumah. Saya ini belum bisa menghasilkan apa-apa, masa iya ingin minta duit disekolahkan lagi.

Makanya saat wisuda S1, saya katakan ke ibu, kalaupun harus lanjut S2 lagi, saya tidak ingin pakai uang sendiri atau merepotkan orang lain. Setidaknya harus beasiswa, agar saya bisa fokus belajar tanpa stres mencari uang kesana kemari. Sudah tidak fokus, kecapekan, yang ada belajar tidak maksimal. Belajar itu tidak mudah dan fokusnya bukan foremost, lho.

Three. Tujuan S2 itu untuk apa?

Jujur, kalau saya S2 hanya untuk menambahkan gelar atau takut pengangguran, saya tidak usah capek-capek mengejar gelar tersebut. Bagi saya, kuliah S2 akan dirasa penting jika memang profesi impian membutuhkan ilmu yang tinggi, contohnya menjadi dosen ataupun hakim. Lagipula, kebanyakan tempat kerja sebenarnya lebih mempedulikan pengalaman kerja ketimbang titel yang sudah disahkan di selembar kertas.

Banyak juga teman-teman saya yang dapat posisi bagus di Google, Momondo, ataupun Bjarke Ingels Group (BIG) karena pengalaman kerja mereka yang oke. Kebanyakan dari mereka juga hanya sekolah hingga S1 saja.

Di Eropa, banyak juga lapangan pekerjaan yang mencari orang-orang dengan skill dan pengalaman kerja tinggi tanpa harus memenuhi kualifikasi Master dulu. Anak-anak muda di Denmark pun baru mulai kuliah S1 saat mereka berumur 25 atau 27 tahun, tapi hebatnya sudah pernah magang dan kerja dimana-mana selepas SMA.

Lagi-lagi, saya belum melihat apa guna tujuan melanjutkan S2 untuk saya ke depannya.

Four. Pendidikan yang tinggi akan membuka banyak kesempatan pekerjaan

Tentu saja! Tapi tunggu dulu, di Indonesia itu ada banyak sekali lulusan S2, apalagi di luar negeri. Teman saya, Ieva, sudah hampir 9 tahun tinggal di Denmark lalu menyelesaikan kuliahnya hingga S2. Karena jurusannya terlalu mainstream, Internasional Business, jadi doski pun mesti saingan dengan para orang lokal ataupun orang asing pencari kerja lainnya. Padahal doski lancar bicara 3 bahasa asing, lho. Sempat stres tidak kunjung dapat pekerjaan yang oke, akhirnya Ieva memilih pulang ke negara asalnya di Latvia.

Semakin tinggi gelar, biasanya akan tinggi juga ekspektasi terhadap posisi dan gaji. Boleh memang. Tapi kalau cuma lulus saja sih gampang. Yang sulit itu, bagaimana menjadi lulusan S2 yang berkompeten, pandai dan cerdik menghadapi pasar, lalu bisa menyumbangkan ide dan kontribusinya ke tempat kerja.

5. Mending jadi pelajar ketimbang au pair

Oke, jadi pelajar di Eropa statusnya jelas, "pelajar". Bisa dapat diskon pelajar kemana-mana. Kalau ditanya sedang apa di Eropa, jawabnya enak dan dipandang keren, "sedang studi". Ruang lingkup pertemanan pun luas dan intelektual. Meskipun harus dikejar deadline tugas dan ujian, namun student life sebenarnya sangat "aman" dan seru. Menjadi pelajar di Eropa juga membuka kemungkinan jika setelahnya lulus, bisa bekerja disana atau negara maju lainnya. Meskipun sih, peluang ini juga tidak besar.

Tapi bagi saya, tidak ada yang salah juga dengan rencana orang untuk memutuskan jadi au pair. Au pair itu santai. Makan dan tempat tinggal gratis. Hari libur dan waktu senggang banyak. Dikejar deadline? No. Uang saku, tiap bulan dikasih. Sekolah, tetap. Au pair juga punya ujian, tugas, dan ruang lingkup pertemanan di sekolah dan komunitas—bagi yang berjiwa sosial. Au pair pun memiliki kesempatan saat free time untuk travelling, bersosial, ataupun sekedar leye-leye sehabis mengurus rumah. Tetap seru juga kan?

Saya sebenarnya sudah pernah mencoba mengirimkan berkas beasiswa ke salah satu kampus di Cina jurusan Media & Komunikasi—bukan Eropa malah. Kuliahnya hanya satu tahun, berbahasa Inggris, kampus internasional, dan lokasinya di Suzhou. Saya diterima bersyarat, karena nilai IELTS saya belum memenuhi kualifikasi jurusan. Mereka memberikan batas waktu apakah saya ingin tes IELTS lagi atau ikut kursus intensif disana.

Semakin dipikir, dipikir, dipikir lagi, ternyata saya menemukan jawaban bahwa tujuan saya selanjutnya bukan untuk studi. Ketimbang menghabiskan waktu di bangku kuliah, saya lebih prefer mencari lapangan pekerjaan atau dream job yang sesuai passion. Saya juga percaya diri kalau sebenarnya saya mampu menemukan pekerjaan di Indonesia tanpa memiliki gelar pendidikan yang selevel S2.

Impian saya pun tidak neko-neko lagi. Tuhan sudah mengabulkan mimpi saya untuk tinggal dan belajar di luar negeri. Jadi, kalau memang tidak ada kesempatan tinggal lebih lama, saya tidak takut untuk pulang ke Indonesia.

Kalaupun ingin stay di Eropa lebih lama, saya tidak ingin kuliah tapi bekerja. Kalaupun harus kuliah lagi, saya sudah berniat untuk mengambil fakultas desain hanya untuk menambah ilmu saja. Eh tapi, ilmu desain juga tidak harus dipelajari lewat bangku formal. Banyak sekali desainer yang belajar otodidak lewat komputer mereka. So, memang tidak ada alasan kuat kan mengapa saya harus lanjut S2? (;

Wednesday, June 17, 2020

Tips Hijrah ke Luar Negeri Itu Melelahkan|Fashion Style

Muncul perasaan sedih, haru, namun bercampur bahagia ketika pesawat Thai Airways yang saya tumpangi mendarat di Bandara Oslo-Gardermoen. Bahagia karena akhirnya perjalanan panjang nan melelahkan selesai juga. Haru karena bisa mendapat kesempatan kembali lagi ke Eropa. Tapi juga sedih karena lagi-lagi meninggalkan keluarga dan teman-teman terdekat di Indonesia.

Ini kali ketiganya saya pindah dan tinggal di Eropa. Setelah drama visa Norwegia dan paspor yang cukup menyita waktu, tenaga, dan biaya, akhirnya semua terbayarkan karena bisa mendapatkan izin tinggal selama 2 tahun di negara terbahagia di dunia ini (2017).

Dalam waktu three tahun terakhir, saya bersyukur bisa mendapat kesempatan tinggal di 3 negara Eropa plus jalan-jalan ke banyak tempat. Tapi dalam waktu 3 tahun juga, saya sudah 5 kali mengepak barang untuk pindah dan pulang. Kalau ada yang mengatakan saya beruntung, tentu saya harus lebih banyak bersyukur.

Namun kalau ada yang bertanya lebih jauh tentang perasaan saya, sejujurnya saya depresi. Moving abroad is stressful and tiring! Jangankan pindah negara, bayangkan saja kalian harus pindah sekolah selama 3 kali dalam kurun waktu 3 tahun. It's no fun anymore, isn't it?

Oke, tidak hanya saya au pair yang pindah ke banyak negara dalam waktu beberapa tahun. Banyak juga teman au pair yang selesai di Belanda, lalu pindah ke Belgia, tanpa pulang dulu ke Indonesia. Culture clash pasti ada, meskipun kedua negara tersebut sama-sama di Eropa. Tapi coba saja jika harus bolak-balik pindahan dulu dari Indonesia, the culture never stops shocking me!

Mengapa?

1. Belajar bahasa dan budaya baru lagi

Learning language is tough and needs a strong commitment. Saya tahu bahwa belajar bahasa apapun memang tidak akan pernah sia-sia. Tapi bagaimana kalau pembelajaran yang sedang ditekuni terpaksa terhenti hanya karena harus pulang?

Bisa dikatakan, sampai sekarang level bahasa saya nanggung, alias masih disitu-situ aja. Sempat belajar bahasa Prancis, tapi hanya baby talk atau frase paling dasar saja. Belajar bahasa Belanda, eh tahunya malah sedikit terpakai karena di rumah kebanyakan pakai bahasa Inggris.

Sampai di Denmark, belajar bahasa baru lagi. Saat saya sedang serius menekuni bahasa tersebut, akhirnya saya mesti puas saja stop di Modul 4 karena memang sudah habis kontrak dan harus pulang ke Indonesia.

Pindah lagi ke Norwegia, mesti ulang belajar bahasa baru karena memang perlu.Then, it starts again from the basic!Walaupun bahasa Denmark dan Norwegia sedikit mirip, tapi aksen dan pengucapannya super beda.

Banyak belajar, tapi skill nanggung. That's me.

2. Cari teman baru lagi

Mencari teman di Skandinavia lebih sulit ketimbang mencari teman di Eropa Barat. Contohnya, orang-orang Belgia cenderung lebih suka basa-basi dan terbuka ketimbang para penduduk Skandinavia. Teman asli Belgia saya memang tidak banyak, namun setidaknya mereka lebih mudah diajak ngobrol saat baru pertama kenal.

Tinggal dua tahun di Denmark, saya sudah cukup banyak berkenalan dengan orang baru dan akhirnya bisa dijadikan teman nongkrong saat akhir pekan. Mencari para teman ini pun tidak mudah. Saya harus aktif di banyak acara, volunteering, ikut meet up, ataupun sekedar memenuhi undangan dari kenalan lainnya dulu.

Bertemu dengan orang baru pun tidak secepatnya langsung menjadikan mereka teman. Ada banyak pengalaman yang membuat saya harus datang ke acara, haha hehe dengan orang baru, lalu pulangnya tetap sendiri tanpa menyambung silaturahim dengan mereka. Yah namanya juga cocok-cocokkan.

Lalu setelah mendapat teman yang nyaman di Denmark dan Belgia, saya harus kembali memulai frase mencari teman di Norwegia yang pastinya butuh waktu. Kadang, pindah-pindah tempat tinggal bukannya menambah teman, namun kehilangan yang sudah ada.

3. Keliling dan mengenal daerah baru lagi

Entah kenapa, setibanya di Oslo, akhir pekan saya berjalan sangat datar. Berbeda saat baru tiba di Brussels dan Kopenhagen, keinginan untuk menjelajah tempat baru rasanya begitu membuncah. Sepanjang jalan mengitari kota selalu membawa perasaan bahagia dan penasaran. Ada apa lagi ya di sudut sana? Kafe mana lagi ya yang oke untuk nongkrong? Tempat pemberhentian selanjutnya diman aya? Daftar kunjungan yang wajib saya datangi rasanya sudah panjang.

Akhir pekan lalu, saya hanya jalan-jalan 10 menit di kota lalu pulang. Everything still looks the same as two years back I was here. Nothing new.

Oslo memang tidak terlalu berbeda dengan banyak ibukota di Eropa. Turis, museum, kafe, bar, tempat selfie, dan salju. Oslo juga sebenarnya tidak baru, karena saya pernah important ke kota ini. Lama-lama main di sentral, eh kok, bosan juga ya?

4. Mempelajari sistem kependudukan dan transportasi publik lagi

Tiba di Oslo, tidak membuat saya serta merta langsung menjadi bagian penduduk Norwegia. Ada banyak sekali hal yang harus lakukan agar bisa mendapatkan hak yang sama dengan penduduk lokal.

Sebelum pindah ke tempat baru, biasanya saya lakukan riset mini dulu sebagai bahan perkenalan dengan negara yang akan saya tempati. Dari cara membeli tiket kereta, diskon untuk anak muda, kartu telepon, buka akun bank, hingga pajak, biasanya saya pelajari satu-satu. Hal ini rutin saya lakukan agar tidak kaget dan setidaknya mengerti sedikit tentang sistem di negara yang akan saya tempati.

Menjadi orang baru lagi tidak gampang. Kita harus dituntut untuk lebih banyak tahu dan belajar, bukan hanya having fun.

5. Berkencan dengan cowok baru lagi

Bagi yang masih jomblo, pindah ke negara baru bisa berarti tantangan baru. Cowok Belgia tentu saja berbeda dengan cowok Denmark. Pun begitu dengan cowok Norwegia yang katanya sangat suka alam dan kegiatan luar ruangan.

Tidak hanya cari teman baru yang melelahkan, namun juga berkencan . Saya yang bukan ekspert, tapi mantan serial dater ini, rasanya terlalu malas jika harus berkenalan dan berkencan dengan banyak cowok baru lagi.

Girls, modern dating is so overwhelming. Kamu kenalan lewat online, ketemuan, baper, berharap lebih, eh lalu si bule menghilang. Begitu saja terus sampai lelah atau akhirnya menemukan yang terbaik. Anyway, it always takes time to find the right one. But, I give up already.

Kata orang, sesuatu yang baru itu terlihat lebih menarik dan menyenangkan. Tapi entah mengapa, pindahan kali ini justru membuat saya sedikit menutup diri dan malas-malasan. Saat saya curhat hal ini ke adik, saya dibuat jleb dengan komentar singkat dia, "who've decided?"

Iya. Ini yang sudah saya putuskan. Inilah resiko yang harus saya hadapi ketika mulai nyaman di satu tempat, lalu harus pindah lagi ke tempat baru.

It's just started. It's only the beginning. Daripada saya mengeluh terus, lebih baik tetap berpikiran positif bahwa akan selalu ada kejutan menarik di setiap tempat yang pernah saya tinggali. Oslo might be boring, but my life could not be!

Yes. Welcome to Norway!

Tuesday, June 16, 2020

Tips Teman Internasional vs Teman Indonesia|Fashion Style

Hidup di luar negeri untuk sekolah atau bekerja adalah tantangan yang membuat kita harus berpikir realistis. Tidak semua orang lokal di negara tujuan akan bersikap ramah dan bersahabat. Pun begitu di Indonesia, banyak orang yang emosional dan acuh tak acuh. But that's cool too.

Tapi daripada menutup diri, boleh-boleh saja bertemu orang baru sekedar untuk menonton sport event ataupun minum-minum bersama di bar. Tidak semua orang yang kita temui harus dijadikan teman. Saya mengerti betapa sulitnya mencari teman baik di negeri orang. Bukan hanya dengan penduduk lokal, tapi juga orang Indonesia. Yah, namanya juga cocok-cocokkan.

Tiga tahun tinggal di Eropa, saya merasa bangga karena berhasil meninggalkan zona nyaman, memaksa diri keluar dan bergaul dengan orang baru. Saya sadar, saya seorang au pair yang lingkup kerja dan sosialnya sangat terbatas. Tidak mudah datang sendirian ke kafe, bioskop, acara potluck, ataupun restoran, demi interaksi dengan orang lain. Dibutuhkan rasa berani dan percaya diri yang tinggi.But, I did it!

Sering bertemu orang dengan latar belakang yang berbeda, saya bisa sedikit menggambarkan perbedaan karakteristik si teman Indonesia dan teman internasional yang akan kita temui di luar negeri.

Teman Indonesia

PROS.

1. Yang pasti soal komunikasi. Karena satu bahasa, obrolan terasa lebih lugas dan lancar tanpa peduli orang kanan kiri mengerti apa yang sedang kita bicarakan.

2. Feels like home. Mulai dari sering menginap bareng, masak makanan Indonesia, hingga saling lempar joke receh pun membuat kita merasa tidak sendiri di negeri orang.

Three. Satu keluarga. Karena sama-sama anak rantau, biasanya kita lebih menganggap si teman seperti keluarga sendiri. Ya curhat dengan mereka, ya mengadu sakit dengan mereka, ya kadang sampai pinjam duit pun dengan mereka.

4. Lebih humble karena satu nasib. Mereka tidak segan berbagi informasi dan membantu dalam banyak hal.

CONS.

1. Terkurung di zona nyaman karena merasa sudah cukup bersosialisasi dengan geng Indonesia, lalu malas berkenalan dengan orang asing lainnya.

2. Banyak drama. Yes, it is true. Jangan keseringan berkumpul dengan orang Indonesia di luar negeri. Meskipun tidak semua, tapi orang Indonesia di luar negeri tetap masih suka bergosip, iri hati, rebutan cowok, sampai menjatuhkan orang, lho!

3. Level bahasa kita mandet. Kembali ke fakta nomor satu, karena pergaulan hanya sebatas orang Indonesia saja, level bahasa lokal jadi tidak berkembang. Sudah malas bersosialisasi, malas pula belajar bahasa baru.

4. Kebanyakan omongan tentang lelaki. Yes, ini juga salah satu alasan saya kadang malas bergaul dengan cewek Indonesia di Eropa. Mereka kebanyakan curhat soal cowok! Chill, girls! Saya juga suka obrolan tentang cowok, tapi plis, jangan merasa yang paling laku di Eropa. Plus, jangan terlalu terbawa perasaan. After all, European guys ARE just guys! Tidak perlu dipamerkan apalagi sampai merasa yang paling beruntung.

Teman Internasional (Bule)

PROS.

1. Jaringan sosial kita meluas karena biasanya akan berkenalan dengan orang-orang first rate kece yang spesialisasinya berbeda dengan minat kita.

2. Obrolan terkesan lebih serius dengan pembahasan seputar isu worldwide ataupun sains. Orang-orang Barat cenderung lebih suka meneliti sesuatu dan berpikir mendalam tentang suatu masalah.

3. Lebih adventurous. Mulai dari mencoba minuman beralkohol tinggi, berenang di laut lepas saat musim dingin, hingga suka olahraga yang memacu adrenalin, membuat kita akan merasakan pengalaman yang serupa kalau dekat dengan teman seperti ini.

4. Mind their business. Mereka tidak akan tanya bagaimana cara kita beribadah, penghasilan kita berapa, atau kapan nikah.That's totally beyond their line. Tidak ada yang akan kepo dengan urusan pribadi kita.

CONS.

1. Perbedaan humor. Kadang saya tidak paham dengan selera humor para bule yang sedikit vulgar.

2. Pengambilan sudut pandang yang tidak pas dengan norma yang kita anut di Indonesia. Tanpa bermaksud etnosentris, hanya saja bergaul dengan bule yang free minded cenderung membuat beberapa orang Indonesia tidak nyaman. Ide untuk living together masih mengarah ke kepuasan seks semata bagi orang Indonesia, sementara untuk bule, hal tersebut lumrah tanpa harus terikat dengan janji pernikahan.

3. Straight forward. Mereka jujur, apa adanya, malas membual, dan membuat kita merasa mereka terlalu lancang. But, that's how they are. Bukannya tidak memikirkan perasaan kita sebelum bicara, hanya saja, mereka terlatih untuk terus terang tanpa kebanyakan basa-basi. Bagi orang Indonesia yang tidak terbiasa dengan karakter seperti ini, akan sering sakit hati.

4. Snobby! Serius, banyak bule yang otaknya juga sempit dan merasa paling super power!

Teman Internasional (Asia)

PROS.

1. Meskipun punya bahasa yang berbeda, saya merasa kalau selera humor dan pola pikir orang Asia itu hampir mirip. Beberapa hal yang kadang bule pikir itu offensive, justru terlihat lucu oleh orang Asia.

2. Suka mengobrol dan cerita. Teman Asia yang saya temui di Eropa biasanya terbuka dan tidak malu curhat tentang kehidupan pribadi mereka. Meskipun bahasa Inggris teman-teman ini kadang tidak terlalu lancar, tapi mereka berusaha menjelaskan dengan sangat mendetail dan rinci.

3. Rasa empati yang sama. Karena berasal dari tempat yang kulturnya hampir mirip, banyak orang Asia yang saya temui di Eropa lebih hangat dan sering tersenyum ramah. Mereka kadang tidak segan menawarkan bantuan, mengantar saya pulang kursus, hingga mentraktir makan.

4. Makan enak. Saya sering diundang datang ke acara makan-makan teman Filipina, Thailand, ataupun India. Kalau bosan mencicipi makanan khas Eropa, datang ke acara teman-teman ini bisa mengobati rasa rindu kita ke makanan Asia.

CONS.

1. The outsiders. Yes, after all, we are different. Pernah satu kali, saya datang ke farewell party au pair Filipina. Saat itu orang Indonesia yang tersisa tinggal saya saja. Duh, sepanjang acara si geng Filipina ini hanya stick to their own language. It's so depressing!

2. Pasif. Tipikal Asia sekali, kurang bisa berekspresi dan terlalu kalem. They're always behind the scene yang kadang selalu siap di-bully.

3. Susah diajak jalan. Kebanyakan orang Asia yang tinggal di Eropa biasanya pelajar atau sudah berkeluarga. Kedua tipe orang ini sama-sama susah diajak jalan entah karena sibuk kerja, sibuk belajar, atau mengurus anak. Sebenarnya banyak juga pelajar Asia yang suka party dan kerjanya hang out terus. But trust me, kalau lingkup sosial kalian sangat terbatas, kebanyakan orang Asia yang dikenal, kalau tidak au pair, ya teman sekolah yang kebanyakan sudah menikah.

4. Terlalu narsis dan kadang norak. Agree or disagree, level norak orang Asia kalau di Eropa hampir sama! Suka foto-foto, show off salju atau kegiatan lagi travelling, plus berasa jadi Instagram star yang mesti eksis setiap saat.

Sebenarnya, ingin berteman dengan yang satu negara atau beda negara kembali lagi ke kecocokkan masing-masing. Ada beberapa orang Indonesia yang lebih nyaman berteman dengan bukan yang sebangsanya. Ada yang lagi yang kurang bisa bersosialisasi hingga stuck dengan lingkup orang Indonesia saja. Well, preference matters.

Tapi selagi masih muda dan punya kesempatan bertemu dengan banyak orang baru yang umur dan latar belakangnya berbeda, ambil peluang tersebut untuk membangun network. Bertemanlah dengan siapa saja. Tidak dapat teman, ambil saja pengalaman dan ilmu baru yang bisa kita dapatkan dari mereka.

Kalian sendiri bagaimana, kira-kira lebih nyaman berteman dengan orang luar atau Indonesia saja?