Showing posts with label anak bule. Show all posts
Showing posts with label anak bule. Show all posts

Friday, May 29, 2020

Tips Mengasuh Anak-anak Keluarga Eropa|Fashion Style

If people think, I want to be an au pair (this long) because I love kids, that's totally wrong!

Though, I am so good at faking it.

Lasse, host dad Norwegia, menyapa saya dengan muka lelah di pagi yang cerah. Dia mengadu kalau si kakak tak henti-hentinya bangun dan menangis sejak jam 2 pagi. Tak jelas apa sebabnya, tapi si bapak ini harus bolak-balik menenangkan si anak.

"Too much work to do also. I am so tired," keluhnya sambil tetap tersenyum.

Tidak sekali ini saja si bapak mengeluh tentang gaya hidupnya yang berubah sejak punya anak. Lasse memang jujur dalam banyak hal dan tidak segan menceritakannya ke orang baru, seperti saya. Dari foto lamanya yang saya lihat, si bapak dulunya sangat menjaga bentuk badan dengan cara terus berolahraga.

"Now I even have no time to exercise," keluhnya lagi di waktu yang lain. "I am actually exhausted. I'd rather watch a movie, than run. But it's obligatory! Too much fatty food last weekend and I expect to get my well-shaped body again."

Siap punya anak berarti memang harus siap dengan resiko yang akan diterima. Siap bangun tengah malam, siap tidur kurang, siap punya rumah lebih besar, dan siap-siap juga kehilangan waktu untuk having fun. Makanya untuk mengurangi beban, keluarga di Eropa mau keluar uang tidak sedikit untuk menyewa jasa au pair.

Meskipun gaya parenting dan babysitting orang Eropa lebih 'easy' ketimbang di Indonesia, tapi jadi au pair mereka bisa sama stresnya. Kita dituntut untuk fleksibel dan diberi tanggung jawab sebagai pengganti orang tua saat mereka tidak di rumah. Apalagi saya yang sudah 3,5 tahun jadi au pair dan berpengalaman mengurusi anak dari usia 0-12 tahun, rasa bosan dan stresnya sudah diubun-ubun!

Tiap keluarga angkat punya cerita dan pola asuh yang berbeda-beda. Berikut pengalaman saya menjadi kakak dan babysitter bagi para host kids di Eropa. Tanpa bermaksud menjelek-jelekkan para keluarga, saya hanya memberikan gambaran bagaimana anak-anak Eropa diasuh dengan kultur yang berbeda dengan Indonesia. Trust me, karakter anak memang terbentuk seperti apa mereka dididik dari kecil!

Keluarga Belgia-Maroko

Tiba di Belgia, host mom saya sedang hamil tua dan tinggal menunggu waktu kelahiran anak keduanya. Dari awal sudah dijelaskan kalau saya hanya disuruh fokus menjaga si kakak yang baru berumur 2 tahun. Tugas saya sebetulnya tidak berat dan masih wajar, seperti antar-jemput si kakak, bermain bersama, masak makanan sederhana untuk dibawa ke TK, ataupun hanya hand washing baju anak-anak.

Pertama kali jadi au pair, saya kaget sekali memperhatikan pola asuh keluarga ini yang sangat suka membentak dan berteriak ke anak. Walaupun si kakak baru berumur 2 tahun, tapi seperti sudah diperlakukan layaknya anak umur 5 tahun. Si anak dipaksa untuk dewasa dan mandiri, padahal bicara pun belum lancar. Kalau salah sedikit, ditarik atau dimaki tepat di depan kupingnya. Saya sampai tidak tega hati.

Entah karena memang kebanyakan didikan keluarga Arab sangat keras, akibatnya si kakak jadi sangat keras kepala dan suka berteriak juga. Orang tuanya kadang berusaha untuk tegas dengan melarang ini itu, tapi yang saya lihat, mereka hanya modal memaki. Tujuannya berharap si anak takut, lalu menuruti apa kata orang tuanya. Padahal yang terjadi, si anak sering kali membantah dan merengek.

Saya sering kali dibuat jengkel oleh ulah si kakak yang suka berkata 'tidak' untuk semua hal. Si ibu juga sangat berharap kalau saya bisa jadi teman main si kakak dengan menciptakan banyak ide kreatif seperti melukis atau menggambar. No TV, no gadget. Tapi karena sulit sekali dijadikan teman, saya kewalahan juga mengurus anak ini.

Keluarga Belgia

Merasa tidak berbakat mengasuh anak kecil, saya meminta pihak agensi untuk dicarikan keluarga angkat yang anaknya sudah besar. Mungkin akan lebih mudah, pikir saya saat itu.

Hanya 3 hari berselang, pihak agensi menawarkan saya keluarga di Laarne yang anaknya berumur 7, 11, dan 12 tahun. Semua anak sangat baik, bersahabat, dan fasih berbahasa Inggris. Anak-anak ini sangat suka bercerita dan menganggap saya layaknya seorang kakak. Maklum, saya adalah au pair ke-7 mereka.

Ternyata memang benar, mengurus anak seusia mereka sangat easy. Saya tidak perlu mengganti popok, memandikan, sok-sok cari bahan permainan, ataupun lari-larian kesana kemari. Mereka sudah besar dan tahu apa yang ingin dilakukan. Tugas saya betul-betul seperti kakak tertua yang hanya menuntun ke sekolah naik sepeda, membuat makan malam, dan babysitting semalaman suntuk saat orang tuanya masih sibuk bekerja.

Kalau mau jujur, tugas saya disini betul-betul enak dan santai. Fokus saya hanya ke anak, masak untuk makan malam 4 kali seminggu, dan 2-3 kali sebulan saja vacuuming lantai dasar. Tidak tanggung-tanggung, saya diberikan satu rumah dua lantai sebagai tempat tinggal. FYI, rumah ini dulu memang punya mereka saat rumah utama sedang direnovasi. Karena tidak pernah ditinggali lagi, jadinya dialihkan sebagai akomodasi au pair.

Tidak enaknya mengasuh anak yang sudah besar-besar ini adalah mereka sangat mudah mengatur kita. Aturan orang tua yang tadinya sangat strict, tidak boleh ini, tidak boleh itu, akhirnya dengan mudah dilanggar saat orang tua mereka tidak di rumah. Mereka sangat sering mengajak negosiasi untuk nonton film atau main gadget lebih lama dan tidak jarang ada insiden berkelahi dulu sebelum tidur.

Keluarga Denmark

Saat wawancara pertama saya dengan si ibu, beliau mengatakan kalau sedang menunggu kelahiran dua bayi kembar beberapa bulan lagi. Selain menunggu si kembar, host parents saya juga memiliki anak pertama yang berusia 4 tahun. Tapi karena si bayi nantinya kembar, si ibu meminta saya fokus membantu mengurusi si bayi. Urusan si kakak adalah urusan orang tuanya.

Sampai di Denmark, si bayi sudah berumur 4 bulan and I fell in love in a sudden! Mereka sangat lucu dan mukanya tidak mirip. Yang satu mirip bapak, yang satu mirip ibu. Si kakak belum terlalu dekat dengan saya karena saat itu masih manja-manjanya dengan orang tuanya. Beberapa kali dia berusaha mengajak main, tapi saya sering bingung sendiri karena belum bisa bahasa Denmark .

Enaknya mengurus bayi itu, kita tidak perlu pusing-pusing memikirkan ingin main apa hari ini. Tidak juga capek harus kejar-kejaran hanya karena si anak terlalu aktif. Tapi kesalnya juga banyak! Si bayi tidak bisa ditinggal, harus siap mendengar rengekan, butuh perhatian ekstra, harus disuapi, plus kita mesti menggendong kesana kemari. Belum lagi kalau mereka eek berceceran atau muntahan yang harus segera dibersihkan. Sanggup kamu?

Beruntungnya, host mom saya tipe ibu yang supeeeer sabar dan tidak pernah mengeluh sedikit pun. Saya tahu mukanya lelah mengurus dua newborn babies plus satu anak lagi. Tapi mungkin karena sudah sangat siap punya anak, jadinya kedua orang tua ini lebih bertanggungjawab. Tugas jaga anak dibagi dua. Siang bagian saya dan si ibu, malamnya giliran si bapak yang membuat susu dan bangun kalau si kembar menangis.

Dari segi karakter, host parents saya ini ibarat dua sisi mata koin. Si bapak terlihat lebih arogan, mudah emosi, dan suka berteriak ke anak. Si ibu begitu lembut, jarang marah, dan suka memanjakan anak. Imbasnya, si kakak jadi ikut-ikutan si bapak yang punya temperamen tinggi dan suka berteriak kencang sekali. Sifat manjanya makin menjadi-jadi dengan bersikap bossy, minta perhatian dengan cara kasar, ataupun berteriak agar suaranya didengar.

Si kakak sebetulnya anak yang super manis kalau 'warasnya' keluar. Tapi sifat usil dan keras kepalanya memang bisa membuat semua orang kesal. Meskipun sudah dimarahi habis-habisan, herannya anak ini tidak pernah kapok dan balik memarahi orang tuanya.

Saya tak memungkiri bahwa tahun pertama di Denmark adalah tahun terberat saya dengan tugas yang super variatif. Mulai dari masak makan malam setiap hari, jaga bayi, laundry, lipat pakaian, sampai bersih-bersih rumah pun, saya semua yang mengerjakan.Kerja minimal baru selesai jam 8 malam. Tapi saat si bayi belum setahun, mereka harus ditimang-timang dulu sebelum tidur. Sudah tangan pegal, saya ikut mengantuk, kerja juga sering lembur sampai jam 9.30 malam.

Keluarga Norwegia

Berpengalaman mengasuh newborn babies sepertinya membuat keluarga Norwegia ini sangat tertarik dengan profil saya. Apalagi saat mereka tahu kalau saya sempat ditinggalkan bertiga saja dengan si kembar saat orang tuanya tidak ada di rumah.

"Lalu kalau mereka sama-sama menangis, bagaimana? Kamu gendong sekaligus?" tanya si bapak saat itu.

"Tidak. They have different characters. Yang satu memang sangat rewel, yang satu pendiam. Untungnya, mereka seperti mengerti satu sama lain. Kalau yang satu menangis, yang satunya diam. Malah pernah yang satu menangis sangat kencang, tapi yang satu lagi tidak terbangun dari tidur sama sekali."

Saat saya berkunjung ke Oslo, si ibu sedang mengandung anak kedua selama 4 bulan. Anak mereka yang pertama baru berumur 1 tahun 5 bulan. Menurut cerita dari au pair mereka sebelumnya, keluarga ini super easy dan tipe orang tua yang mau berbagi peran, tanpa sepenuhnya melimpahkan tugas anak ke au pair.

"Really? Kami dulu tidak pernah meninabobokkan si kakak saat masih bayi. Letakkan saja di kasur, lalu si kakak tidur dengan sendirinya," kata si bapak saat mendengar saya harus menimang-nimang si kembar dulu sebelum tidur.

Luar biasa! Kalau si kembar Denmark dulunya kami perlakukan seperti itu, yang ada mereka terus-terusan menangis dan tidak mau tidur.

Si adik yang baru berusia 3 minggu saat saya datang ke Oslo, akan jadi tanggung jawab terbesar saya. Dibandingkan dengan si adik, interaksi saya dengan kakaknya mungkin hanya 10% saja setiap hari. Saya tidak terlalu banyak diberi tugas mengawasi si kakak karena memang anaknya tidak manja dan rewel. Si adik ini sebetulnya yang paling membuat saya jengkel!! Tangisannya sangat nyaring, melengking, dan menusuk telinga. Rasanya ingin saya banting kalau tantrum-nya keluar.

Tapi sebetulnya mengurus si adik ini cukup mudah karena kita sudah tahu apa yang akan dilakukan. Si ibu super strict dalam mendisiplinkan anak-anaknya sejak usia 1 hari. Waktu makan dan tidur diatur sedemikian rupa agar anak-anaknya terbiasa dan mempermudah kita juga merawat mereka. Betul saja, jam 7 malam sudah tidak lagi suara anak kecil di rumah ini karena mereka dengan mudah bisa tidur sendiri dengan hanya dibaringkan di kasur. Tugas saya pun jadi lebih mudah karena jam 6 atau 6.30 malam sudah beres.

Pola asuh keluarga ini memang bisa dijadikan contoh. Meskipun si anak masih kecil, tapi orang tuanya sudah mengajarkan untuk bersikap lemah lembut dan sopan. Si kakak yang sekarang berusia 2,5 tahun adalah anak yang sangat manis, lembut, dan kalem. Si kakak tidak diperbolehkan berteriak kencang di dalam rumah, memukul, dan bermain dengan makanan.To be honest, saya tidak pernah menemukan sisa makanan si kakak yang berhamburan di bawah meja karena cara makannya yang bersih dan tertata.

"Kalau kamu sudah membiasakan sikap tegas dan disiplin ke anak sejak mereka bayi, hal itu akan membuat hidup mu lebih mudah," kata si host mom.

I agree!

Sebetulnya jadi au pair dan mengasuh anak keluarga Eropa itu bisa jadi edukasi dan latihan kalau nanti ingin punya anak. Memang tidak ada pola asuh yang benar-benar tepat, entah itu keluarga Eropa ataupun keluarga Indonesia. Apalagi karakter anak terbentuk dari didikan orang tua terlebih dahulu. Sayangnya, banyak sekali keluarga yang sok-sokan strict dengan anak tapi mereka sendiri yang kadang mengingkari. Ujung-ujungnya au pair atau pengasuh lagi yang disalahkan kalau anak mereka tidak mau menurut.

Saran saya, tetaplah berdiskusi dengan para orang tua kalau kamu mengalami kesulitan mengasuh anak-anak mereka. Coba bicarakan dengan cara santai tanpa terkesan mengeluh dengan kerjaan. Jangan lupa juga belajar bahasa lokal agar host kids lebih paham apa yang kamu katakan.

Satu lagi, kalau kamu belum pernah mengasuh bayi, please don't dare to do so! Mengutip film Dilan, "jangan mengasuh bayi. Ini berat. Kau tak akan kuat. Biar aku saja." ðŸ˜„

Mengasuh anak orang saja sudah melelahkan dan stressful, apalagi anak sendiri. Saya belum sanggup harus kehilangan waktu tidur dan bersenang-senang. Terlalu lama jadi au pair malah membuat saya tidak ingin punya anak (dulu)!

Sunday, May 24, 2020

Tips Mengurus Anak Lebih Mudah Ketimbang Mengurus Tanaman|Fashion Style

Beberapa waktu yang lalu saya melihat Instagram Story seorang teman berkata bodoh, ?Kelihatannya lebih mudah mengurus tanaman ya daripada mengurus anak?. Saya menahan napas sejenak. Lalu rasanya ingin saya kuncit mulut doi dan jambak rambutnya.

Segitunya saya, karena si teman ini guru TK dan mantan au pair juga. Yang saya tahu, anak-anak yang pernah diurusnya berusia 4-6 tahunan. Mungkin karena host kids-nya sudah cukup mandiri, makanya doi anteng saja mengajak main, mendadani, atau memberi makan. Beres.

Saya sudah tiga kali jadi au pair dan anak-anak yang saya urus usianya beragam, mulai dari three minggu sampai 12 tahun. Jam terbang saya tentu saja lebih tinggi karena pengalaman mengasuh anak lebih banyak, terutama bayi. Sebagai informasi juga, saya pernah jadi guru TK selama lebih dari setahun setengah. Kalau disuruh memilih antara mengurus tanaman atau anak, tentu saja saya ingin menjerit lebih baik mengurus tanaman. Si tanaman tidak perlu kalian gendong, suapi, mandikan, ataupun ajak bermain. Si tanaman juga tidak akan menangis di tengah malam ataupun berisik minta dibelikan jajanan saat di jalan.

Saya tidak perlu punya keturunan lebih dahulu untuk tahu betapa lelah dan stressnya mengasuh anak. Mungkin akan ada yang berkomentar, “mengasuh anak sendiri berbeda dengan mengasuh anak orang”. No, peeps. It’s totally the same!Jangan mentang-mentang para host kids tidak lahir dari rahim saya, lalu bisa diperlakukan ala kadarnya. Tentu saja tidak. Saya tetap berperan layaknya orang tua ketiga yang ikut mengasuh dan menyayangi mereka. Pola asuh yang sering orang tuanya terapkan pun selalu saya aplikasikan juga ke anak-anaknya. Apalagi selain dibayar, saya mendapat kepercayaan penuh dari si orang tua langsung.

Sama seperti halnya hewan peliharaan yang masuk menjadi bagian anggota keluarga. Meskipun hewan tersebut bukan dari kandungan kita, mustahil kita bisa memperlakukan mereka seenaknya. Ada rasa tanggung jawab, kasih sayang, dan peduli yang kita curahkan. Dipeluk, diberi kandang yang layak dan makanan yang sehat, serta dibawa ke dokter kalau sakit. Bedanya, hewan peliharaan tidak akan seberisik anak-anak. Hewan peliharaan juga tidak perlu ditimang ataupun diganti popoknya setiap waktu.

Lalu mungkin ada lagi yang berkomentar, “alah.. situ kan cuma babysitter yang jaga bayi sebentar-sebentar, tidak 24 jam. Mana tahu seninya mengurus anak.” Kalau masalah pengalaman, jam terbang saya lagi-lagi lebih lama dari para ibu muda yang ada di luar sana. Saya pernah 'dikarunia' tugas mengasuh dua anak berusia di bawah 3 tahun plus satu anjing selama 4 hari 3 malam saat orang tua mereka liburan ke Inggris. Ini yang babysitting-nya non stop 4 hari. Belum lagi babysitting lain yang harus juga saya tangani. Saking fokusnya dan harus membagi atensi ke semua anak, saya sampai tidak punya waktu untuk mandi dan mengurus laundry. Lelah sekali. Saat mengajak anjing jalan pun, dua anak lainnya mesti diajak. Ya jadilah stroller penuh membawa para asuhan. Belum kali kalau si bayi teriak lapar, si kakak minta tambahkan susu, sementara perut saya pun sudah merongrong minta makan. Aaaargghh!

Si teman saya tadi mungkin belum pernah berurusan dengan popok kotoran, jeritan bayi di pagi hari, intervensi saat tidur, ataupun lelahnya raga saat harus mengurus para anak ketika tantrum menyerang. Di pikirannya mungkin punya anak itu selalu menyenangkan ataupun menggemaskan. There.. there.. the truth is far from that! Main dulu yang jauh, bertemanlah dengan para ibu muda yang sering juga mengeluh saat mengurus anak. Kalau perlu, latihan dulu mengasuh anak orang di bawah usia 5 tahun selama satu minggu penuh agar tahu mana tanaman, mana anak-anak.

Children are nightmares and uneasy creatures. Jangan pernah samakan mereka dengan tanaman. Ada pikiran, tenaga, waktu, dan materi yang dikorbankan untuk mereka. Bahkan ada yang mengatakan, mengurus dan mendidik anak perempuan lebih sulit ketimbang mengurus 10 ekor kerbau. Jadi kalau disuruh pilih mengurus anak, hewan peliharaan, atau tanaman, saya mencoret opsi pertama ☺