Showing posts with label cari kerja. Show all posts
Showing posts with label cari kerja. Show all posts

Saturday, May 30, 2020

Tips Cari Kerja di Eropa |Fashion Style

Sudah 3,5 tahun saya bekerja sebagai au pair dan tinggal di 3 negara berbeda di Eropa. Menyenangkan? Iya. Saya bisa hijrah ke luar negeri, dapat uang saku, jalan-jalan, bertemu teman internasional , dan mempelajari budaya lokal.

Tapi au pair bukanlah pekerjaan menjanjikan. Kontraknya pun hanya berkisar 12-24 bulan saja. Setelahnya, kita harus pulang ke Indonesia atau lanjut ke negara lain jika masih berniat mengasuh anak orang. Selain sifatnya antara paruh pekerja dan paruh pelajar, umur pun jadi kendala. Ya wajar, karena au pair sebetulnya bukan ajang cari uang dan jenjang karir, tapi pengalaman. Batas maksimum umum au pair hanya 30 tahun—di beberapa negara bahkan hanya sampai 26 tahun, karena memang pekerjaan ini diperuntukkan untuk anak muda.

Meskipun setelah selesai kontrak di Norwegia usia saya masih di bawah 30 tahun, namun saya enggan jadi au pair lagi di negara lain.That's enough! Lima tahun sudah,please! Kalau pun masih ingin tinggal di Eropa lebih lama, saya berharap mendapatkan pekerjaan lain dengan tingkatchallenging yang berbeda.

Banyak gadis-gadis au pair dari Filipina yang enggan kembali ke negaranya, rela lompat-lompat negara di Eropa karena melihat au pair sebagai easy market mencari uang. Tentu saja, karena urusan visanya mudah dan biayanya tidak terlalu mahal. Peluang visa dikabulkan pun hampir 100%.

Jauh sebelum kenal au pair, saya memang sudah lama ingin tinggal dan bekerja di luar negeri. Saking niatnya, saya sampai membeli buku panduan tinggal dan bekerja di beberapa negara. Banyak artikel tentang topik serupa sudah saya cari dan baca dengan seksama. Intinya, cari kerja dimana pun tidak mudah. Apalagi di Eropa, saat status kita bukanlah warga Uni Eropa.

Lalu apakah gampang mencari kerja di Eropa selepas masa au pair? Tentu saja tidak! Kalau mudah, semua au pair Filipina pasti sudah punya 10 keturunan di Eropa. Belum lagi saingan kita tidak hanya orang lokal, tapi juga warga pendatang Uni Eropa lain dengan keahlian lebih mumpuni.

Berikut gambaran bagaimana melihat celah kerja di Eropa. Harap diperhatikan ya, saya tidak memberikan info dimana dan bagaimana mendapatkan pekerjaan. Saya hanya menunjukkan peluangnya saja.

1. Be a skilled worker

Sebagai orang Indonesia yang ingin bekerja di Eropa, status kita harus legal dulu di salah satu negaranya. Untuk menjadi legal ini pun tidak mudah karena setidaknya kita sudah mengantongi satu surat sponsor atau kontrak kerja dari perusahaan. Imigrasi di banyak negara Eropa tidak akan memberikan izin tinggal bagi pendatang yang hanya akan bekerja sebagai babysitter atau tukang jaga kios rokok. Kalau itu sih, orang lokal juga bisa.

Syarat pertama untuk mendapatkan working permit, kita harus memiliki kualifikasi dulu sebagai skilled worker yang benar-benar dibutuhkan perusahaan. Entah itu insinyur, jurnalis, teknisi, pekerja di kedutaan, atau koki.

Karakteristik pekerjaan on demand pun tidak serta merta mudah didapat, apalagi kalau kita sebar cv dari Indonesia. Salah satu cara agar keahlian kita diakui oleh perusahaan asing adalah dengan bekerja di perusahaan multinasional di Indonesia. Tapi seorang yang bekerja di perusahaan multinasional juga harus pandai melihat jenjang karir secara global, karena persaingan akan sangat tinggi dan akan ada peluang pekerja dipindahkan ke berbagai negara lainnya.

2. Take a higher education

Cara terbaik bagi anak muda yang tertarik bekerja di Eropa adalah dengan menjadi pelajar di salah satu kampus di benua tersebut dulu. Dengan memahami sistem edukasi di satu negara, lulusannya diharapkan lebih cepat berintegrasi dengan budaya lokal dan working ethic selama masa magang.

Tapi tentu saja tidak semua lulusan luar negeri bisa langsung bekerja di negara dimana dia kuliah. Persaingan yang kompetitif membuat kita harus lebih cekatan dalam melihat peluang. Menurut saya, jurusan terbaik dengan market kerja yang luas sampai 10 tahun ke depan masih ditempati bidang teknik, IT, dan desain digital. Jadi kalau kamu tertarik lanjut kuliah di Eropa dan kebetulan background S1 mendukung, lanjutkan saja sekolah ke jurusan yang ada hubungannya dengan tiga sektor tersebut.

Seorang teman lulusan Literatur Universitas Indonesia, terpaksa harus kuliah S1 lagi dari awal di Belgia dan banting setir ke desain digital. Dia paham, jurusan Literaturnya tidak memiliki level karir mana pun di Belgia. So, she is totally okay to start from the scratch.

Banyak au pair Indonesia yang juga menjadikan pendidikan di Eropa sebagai batu loncatan untuk tinggal lebih lama disini. Dengan belajar langsung di negaranya, ada harapan besar akan mendapatkan karir lebih baik selepas wisuda. Apalagi kalau sudah fasih berbahasa lokal, sayang sekali jika tidak lanjut kuliah di negara setempat.

Negara dengan biaya hidup dan biaya kuliah terjangkau masih ditempati Jerman, Belgia, dan Belanda. Apalagi Jerman yang sangat welcome dengan para pendatang, memberikan banyak kesempatan bagi para lulusan kampus Jerman untuk mencari pekerjaan selesai masa studi.

3. Speak the language

Lagi-lagi, meskipun sudah kuliah di Eropa dan merasa jurusan yang diambil tepat, belum tentu peluang kerja langsung memihak ke kita. Lulusan lokal yang lebih cekatan dan paham budaya kerja, tentu saja lebih diprioritaskan. Lalu bagaimana agar peluang kita dan orang lokal setidaknya sama? Pelajari bahasa mereka!

Sejujurnya pekerjaan di sektor IT tidak mengutamakan orang-orang menguasai bahasa lokal, cukup berbahasa Inggris. Tapi, kalau bisa bahasa lokal plus lulusan dari salah satu kampus di negara tersebut, kesempatan kita lebih besar besar ketimbang dengan lulusan yang hanya bisa berbahasa Inggris. Banyak perusahaan startup menjamur di Eropa dan membutuhkan anak muda kreatif mengisi lowongan. Though, the salary won't be good in the beginning.

4. Be a 'nekad' traveller

Kalau kamu merasa punya banyak uang dan mampu surviving dari kenekadan, silakan membuat visa turis jangka panjang ke Eropa. Sampai sini, kamu bisa cari black job sebagai tukang bersih-bersih tanpa bantuan agensi. Kembali ke poin pertama, kalau kamu yakin mempunyaiskill yang akan dibutuhkan perusahaan di Eropa, jangan takut untuk sebar cv selagi singgah disini. Kedengaran sedikit impossible memang, apalagi kita tidak diperkenankan mencari pekerjaan memakai visa kunjungan wisata.

Seorang kenalan datang ke Denmark memakai visa kunjungan pacar selama 3 bulan. Alih-alih hanya kunjungan, dia mencari peruntungan untuk bekerja sebagai au pair dan langsung dapathost family kurang dari satu bulan saja. Si kenalan ini pun baru mengurus semua aplikasinya sewaktu di Kopenhagen. Dikira permohonan aplikasi akan ditolak, ternyata izin tinggal au pair-nya dikabulkan. Tricky memang!

5. Married or living together

Cara lain yang menurut saya terlalu naif. Saya mengenal beberapa cewek yang super desperate ingin tinggal di Eropa, lalu mencari cowok lokal untuk dijadikan pacar atau suami yang akan memberikan "jaminan" izin tinggal. Tentu saja tidak semua cewek Indonesia memiliki konsep mencari pasangan bule hanya untuk dapat visa dan tinggal di Eropa. Yang ingin saya katakan, dari permit tinggal bersama atau menikah ini, kita bisa sebebasnya melanglang Eropa sekalian cari kerja di negara asal si pasangan.

Pekerjaan seperti pelayan, tukang bersih-bersih, atau babysitter lepas bisa dicoba sebagai awal, kalau belum menguasai bahasa lokal. Tapi jika memang berniat mendapatkan pekerjaan lebih baik, ikuti poin nomor 2 dan 3. Study more, speak the language, and do not be a stupid Asian partner! Kalau kita memiliki keahlian yang oke, tak jarang lho, pacar atau suami bisa menawarkan kita pekerjaan di perusahaan tempat mereka bekerja.

Ada juga cewek Indonesia yang saya kenal, bekerja di butik ternama di Belanda setelah menikah dengan pasangan Belandanya. Tentu saja langkah awalnya bekerja di butik tersebut karena memang sudah legal dan memiliki izin tinggal (karena menikah). Tapi si kenalan ini juga lulusan Lasalle Singapura. So, the luck is hers.

Ngomong-ngomong, luck juga berperan penting saat mencari kerja di Eropa, lho. Teman dekat saya orang Latvia, sudah hampir 9 tahun di Denmark, dan dua gelar sarjananya didapat dari sana. Sangat fasih berbahasa Rusia, Inggris, dan Denmark. Namun apa daya, berkali-kali melamar pekerjaan, tetap saja gagal. Akhirnya teman saya kembali ke negara asalnya dan beruntungnya, mendapatkan pekerjaan di perusahaan Denmark juga.

Lucunya, teman sebangsa dia yang datang ke Denmark, hanya bermodalkan pengalaman kerja di Latvia dan basic Danish, langsung bisa dapat kerja.Well, again, luck speaks. Kadang perusahaan tidak hanya butuh skill, tapi persona. Satu lagi, networking!

Saya tentu saja berharap bisa tinggal lebih lama di Skandinavia.I am tired of being an au pair. Tapi kalau pun harus bekerja menjaga anak lagi, setidaknya dikombinasikan dengan studi lanjutan. Setelah lama tidak berpikir kritis, otak saya jadi kangen buku-buku akademis. Tapi saya juga mesti realistis, kalau memang tidak ada kesempatan, Indonesia always calls me back!

Kalian sendiri bagaimana, ada niat kah cari kerja di Eropa? Jika iya, di negara mana?How about starting from being an au pair, serius belajar bahasa, lalu lanjut sekolah?

Tuesday, May 19, 2020

Tips Kerja Sampingan Au Pair|Fashion Style

Sejak di Belgia, sebetulnya saya sudah mendengar cerita dari seorang teman kalau para au pair Filipina terkenal sangat pintar cari uang di Eropa. Cari uang ini maksudnya adalah cari kerja tambahan di sela-sela waktu au pair dengan menjadi cleaning lady. Pekerjaan ini biasanya didapat lewat mulut ke mulut, situs pencarian kerja, atau turun temurun dari teman.

Di Belgia dulu praktik blackwork seperti ini sangat tidak lazim karena adanya pengawasan yang ketat dari pihak kepolisian Belgia serta minimnya niat au pair lain untuk cari uang tambahan. Namun setelah sampai Denmark, saya baru sadar bahwablackwork di kalangan au pair memang benar adanya. Tidak hanya satu dua orang, tapi banyak!

Tidak ingin munafik, saya dulu juga sempat kerja tambahan dengan bantu bersih-bersih bed & breakfast (B&B) kakaknya host mom di Belgia. Sebetulnya pekerjaan itu bukan saya cari, tapi ditawari. Kebetulan yang sering bantu-bantu disitu saya kenal dan doi langsung menawari kalau saya sedang free. Kerjaannya membersihkan B&B sekitar 4 kamar dan dibayar €10 per jam. Lumayan kan?

Tapi setelah dua kali kerja disana, saya menyerah. Mengapa, karena standar kebersihannya tinggi sekali. Maklum, yang dibersihkan memang B&B berstandar hampir sama dengan hotel berbintang. Tiap sudut harus dibersihkan secara detail dan kinclong. Belum lagi sabun dan lap yang digunakan berbeda-beda untuk setiap perabotan. Makin pusinglah saya sampai harus 3-4 kali bolak-balik membersihkan kaca yang tidak pernah shiny. Di Indonesia biasanya hanya pakai 1 lap dan sabun cair, beres. To be noted, saya bukan cewek manja dan pemalas yang tidak pernah bersih-bersih di rumah.

Meskipun awalnya bangga juga bisa pulang mengantongi €30-50 sekali kerja, namun saya putuskan untuk tidak akan pernah lagi kerja tambahan begini. Saya datang ke Eropa jauh-jauh bukan untuk cari uang sampai harus bersih-bersih selevel ini. Tenaga saya juga sudah digunakan untuk mengurus anak-anak dan rumah 1 keluarga, jadi tidak berminat untuk kerja yang sama di tempat lain lagi. Lagipula kerjaan ini sebetulnya ilegal, karena au pair memang dilarang bekerja tambahan di luar rumah host family.

Jadi apakah cari uang seperti ini salah?

Tidak juga. Sebetulnya ada beberapa teman au pair saya yang cari uang saku tambahan dengan membantu babysitting anak kenalan atau yang memang sengaja sekali minta dicarikan kerjaan sebagai cleaning lady. Tidak main-main, seorang teman ada yang bisa mengumpulkan uang sampai 4000 SEK per bulan hanya dengan jadi cleaning lady. Ada juga cerita lain yang katanya, kakaknya dulu bisa mengumpulkan sampai €500 per bulan di Belanda diluar tambahan uang saku au pairnya. Motifnya pun tidak hanya mencari uang semata, tapi juga karena justru tidak ada kerjaan di rumah.

Seorang teman dari Thailand mengaku hanya bekerja 2 minggu per bulan di keluarganya yang single dad. Wajar jika dia mengisi waktu dengan nyambi sebagai cleaning lady di Denmark lalu uangnya digunakan untuk foya-foya. Disisi lain, ada juga teman saya yang memang niat mencari banyak keluarga yang rumahnya ingin dibersihkan karena tujuannya ingin mengumpulkan uang. Tabungannya bukan digunakan untuk foya-foya tapi ke bayar hutang, tambahan uang kuliah, ataupun hanya tidak puas dengan pocket money yang diberikan host family.

That's their choice and they have accepted their own risks. Tapi menurut saya, harus diingat lagi kemarin jadi au pair untuk apa. Hanya untuk earning money kah di negara orang? Kalau iya, berarti au pair bukan jalan yang tepat karena pocket money memang bukanlah gaji yang harus kita terima. Uang tersebut hanya berupa uang saku yang sudah distandarisasi setiap negara setara dengan uang jajan anak sekolah di negara tersebut. Ingat lagi kalau kita dapat tempat tinggal, akomodasi, uang kursus, serta fasilitas lain yang sebetulnya host family sudah mengeluarkan biaya lebih banyak. Coba baca postingan saya tentang uang saku au pair untuk tahu apakah sesungguhnya uang yang kita terima itu betul-betul sedikit atau justru cukup! Atau jangan-jangan justru kita sendiri yang tidak bisa mengatur keuangan karena gaya hidup yang salah.

Again ya, that's totally "n ot" wrong kalau kalian ingin cari blackwork. Silakan saja, apalagi di Skandinavia yang orang-orangnya kebanyakan malas bersih-bersih. Yang salah menurut saya, kalau kita terlalu bangga dengan cara tersebut hingga terkesan jadi money-oriented. Bear in mind that people would see you differently. Beberapa keluarga angkat berpendapat bahwa au pair Asia yang datang ke negaranya bertujuan hanya untuk cari uang, bukan pengalaman. Jangan sampai karena asik kerja dan dapat uang lebih banyak, kita jadi lupa travelling dan bersenang-senang.

Kalau memang harus cari blackwork, please do it stealthy. Jika diperlukan, silakan juga diskusi dengan keluarga angkat lebih dulu apakah mereka tidak keberatan kalau kita cari paid job di luar. Tidak lucu kalau kita dideportasi hanya karena ketahuan kerja ilegal di luar kontrak au pair dan host family harus didenda karena membiarkan hal tersebut.

Monday, May 18, 2020

Tips 6 Cara Dapat Uang Tambahan Selama Jadi Au Pair|Fashion Style

Meskipun uang saku au pair sudah disesuaikan dengan gaya hidup dan pengeluaran pelajar lokal di negara tersebut, namun tak jarang au pair tetap harus ekstra irit setiap bulannya. Ongkos transportasi, jajan di luar, serta biaya jalan-jalan, seringkali membuat banyak au pair memutar otak bagaimana mengatur keuangan agar tak sampai angka 0 sebelum habis bulan.

Memang, biaya hidup tergantung gaya hidup. Walaupun sudah berusaha super hemat, tak sedikit au pair yang kurang puas dengan uang saku yang diterima lalu mencari kerja sampingan lain. Terlepas dari sifatnya yang ilegal, uang tambahan yang diterima memang cukup lumayan.

Tapi tahu kah kalian kalau sebagai au pair, kita juga bisa cari kerja sampingan lain untuk dapat uang tambahan? Bukan blackwork yang harus cleaning rumah dan osek-osek WC orang dulu. Kerjanya bisa dilakukan di rumah atau bahkan saat 'nongkrong' di toilet! Uang yang dihasilkan memang tidak sebesar dan seinstan kalau mengambilblackwork. Namun kerjanya legal, bisa sambil santai, dan kalau serius, jumlah uang tambahan yang didapat bisa lumayan!

1. Mengumpulkan botol bekas

Untuk mengurangi limbah plastik dan menjaga lingkungan, pemerintah di banyak negara Eropa mengajak warganya untuk tidak membuang botol atau kaleng minuman di tempat sampah, namun menukarkannya dengan uang tunai. Contohnya di Denmark atau Norwegia, satu botol plastik atau kaleng alumunium dihargai 1-3 krona (cek value-nya di label kemasan!). Karena berharga, seringkali kita melihat banyak homeless yang mengaduk-aduk isi tempat sampah hanya untuk menemukan botol plastik bekas, terutama saat ada event besar.

Biasanya keluarga angkat belanja banyak produk minuman yang botolnya sering dibuang begitu saja. Coba mulai sekarang mulai teliti mengecek berapa value botol minuman yang terbuang dan kumpulkan saja untuk ditukarkan di mesin daur ulang. Satu sampai sepuluh botol mungkin belum terlalu berharga, namun kalau kita rajin mengumpulkan botol sampai 1 bulan saja, tak jarang bisa dapat 50-200 krona! Keluarga saya di Denmark rajin sekali minum soda botolan yang dalam satu bulan, bisa saja terkumpul sampai 50-an botol! Lumayan kan, menjaga lingkungan sekalian dapat uang tunai?!

2. Jual barang sekon

Salah satu godaan terbesar au pair adalah belanja baju atau sepatu; baik bekas, diskonan, atau baru. Tanpa disadari biasanya banyak sekali baju atau sepatu menumpuk di kamar, sampai bingung akan dikemanakan kalau harus pulang atau pindah negara lagi. Sebetulnya, selain disumbangkan lewat kontainer baju bekas, kita juga bisa cari uang lewat barang-barang sekon yang kita punya.

Jangan salah, orang-orang Eropa juga suka barang bekasan asal kondisinya masih bagus. Tidak hanya pakaian, tapi juga barang-barang elektronik dan perabot rumah tangga lainnya. Jadi kalau ada pakaian yang kita malas pakai tapi kondisinya masih bagus, jual saja di situs barang bekas lokal! Tidak perlu memasang harga terlalu tinggi mentang-mentang di Eropa, asal barang laku dan keluar lemari, kita bisa stress-free.

3. Mengkomersilkan skill

Jangan remehkan keahlian masak, seni, atau fotografi yang kita punya! Seorang teman au pair di Belgia, bisa mengumpulkan cukup uang hanya dari keahlian masak dan jiwa kreatifnya, lho! Berbekal ilmu dari yang tadinya hanya hobi, teman saya ini akhirnya percaya diri membuka katering sederhana dan mempromosikan banyak jenis masakan Asia ke teman-teman terdekat dan keluarga pacarnya. Satu porsi bisa dihargai €5-20 tergantung jenis masakan.

Tidak hanya sampai disitu, karena juga berbakat melukis, si teman ini membuka pesanan kartu ucapan atau lukisan handmade. Semuanya dilakukan sendiri dan dipromosikan lewat sosial media atau mulut ke mulut saja. Karena promosinya bagus dan orangnya gigih, saya tak pernah melihat si teman ini kosong pesanan. So, tidak perlu malu mengkomersilkan skill yang kita punya di Eropa karena bisa jadi ladang rejeki!

4. Jual jasa online

Kalau bakat kamu bukan di handmade craft dan memasak, ada cara lain menjual jasa lewat internet. Situs seperti Fiverr dan UpWork adalah salah dua situs terbesar yang mewadahi perusahaan/perorangan untuk mencari atau menjual jasa lewat media daring. Ada banyak sekali jasa yang bisa kamu tawarkan, dari membuat situs, menyelesaikan event project, sampai jadi virtual personal assistant. Jenjang karir dan gaji yang ditawarkan perusahaan pun bervariasi dari enty-level sampai profesional.

Di Indonesia sendiri, kita bisa ikut menjual jasa di Projects.co.id sebagai content writer, desainer poster, atau juga penerjemah. Tak jarang perusahaan yang tadinya hanya merekrut kita sebagai pekerja lepas, bisa menawarkan pekerjaan full time sebagai remote worker yang dibayar lebih dari 2000 USD untuk satu kali proyek! Karena kerjanya freelance, kita tetap bisa menyiasati waktu sebagai au pair sekalian mengerjakan proyek sampingan.

Five. Mengisi survei daring

Selama ini mungkin kita berpikir bahwa mengisi survey dari perusahaan hanyalah sukarela untuk membantu perusahaan tersebut memahami produk mereka dari feedback konsumen. Tapi ternyata, ada banyak situs yang mau membayar kita hanya untuk mengisi survey! Beberapa situs survey berbayar yang bisa dicoba adalah Mobrog , PanelPlace , Toluna , YouGov , LifePoints , iSay , Opinion Outpost , dan Hiving .

Karena tinggal di Norwegia, saya mendaftarkan diri ke situs survey berbayar yang juga berfokus di produk-produk lokal. Bahasanya memang jadi bahasa lokal, tapi lumayan sekalian belajar. Untuk satu kali mengisi survey, kita bisa dibayar 3-20 NOK tergantung berapa lama waktu pengisian. Poin atau uang yang terkumpul bisa gunakan untuk membeli giftcard, ditransfer ke PayPal, ataupun ditukar poin dari maskapai penerbangan.

6. Ikut lomba atau kuis

Daripada bosan dengan pekerjaan rumahan dan sepi teman kencan , coba iseng-iseng buka situs pencarian lomba atau kuis, siapa tahu bisa menang hadiah uang tunai atau barang elektronik! Sewaktu di Denmark, saya sempat ikut lomba blog #PejuangIrit yang diselenggarakan oleh Shopee dan menang uang tunai 2,5 juta Rupiah. Padahal itu adalah lomba blog pertama saya dan tak disangka langsung menang. Artikelnya bisa kamu baca disini .

Saya juga pernah ikut lomba menulis "Colourful Europe" yang diadakan Energy Au Pair Norway di musim panas 2 tahun lalu dan ternyata menang juga. Hadiahnya memang bukan uang, tapi paket lengkap yang berisi parfum, speaker, payung, dan masih banyak lainnya. Lumayan sekali untuk koleksi pribadi! Ini tulisan saya saat menang lomba saat itu. Grammar berantakan, tapi masih menang.

Faktanya, cari uang tambahan selama jadi au pair sangat memungkinkan dan tidak hanya lewat babysitting dan cleaning. Ada banyak cara lain yang bisa kita coba untuk mengasah kemampuan, mengembangkan jaringan, serta menambah uang saku selain berkutat di urusan rumah tangga. Tertarik juga untuk mencoba?

Monday, May 11, 2020

Tips Cara Mencantumkan Pengalaman Au Pair di Resume Kerja|Fashion Style

Tahun ini adalah tahun paling produktif untuk saya karena banyaknya langkah dan perubahan yang terjadi sampai penghujung 2019. Saya yang dari dulu sadar bahwa au pair bukanlah kesempatan abadi sebagai pengganti karir, tentu saja selalu mencari peluang baru yang lebih baik. Dari coba-coba ikut tes pramugari Emirates hingga mendaftar kuliah lagi .

I did write and update my CV a looot this year! Tidak hanya untuk mendaftar kerja dan kuliah, tapi resume kerja adalah cermin bagi saya untuk mengukur diri, how far I have stepped by now. Lima tahun jadi au pair bukanlah waktu yang sebentar. Saat teman-teman saya di Indonesia sudah menapaki karir yang stabil, saya di sini masih saja berkutat dengan popok bayi dan vacuum cleaner setiap hari. Di satu sisi, saya bersyukur bisa mendapatkan pengalaman priceless yang belum tentu semua teman saya dapatkan. Tapi di sisi lain, saya bingung, apa hal yang bisa dijual ke employer selama 5 tahun ini?! Dibandingkan dengan rata-rata orang-orang Eropa, I have no enough education and skills!

Setelah 2 tahunan ini mencoba selalu memperbarui CV, saya sadar sebetulnya pengalaman jadi au pair itu cukup menjual, lho! Bagi kalian yang sekarang jadi/akan jadi au pair, jangan malu mencantumkan pengalaman ini di resume kerja. Tapi, jangan juga sampai salah langkah karena bisa jadi poin minus bagi employer!

1. Mention these skills

Saat ikut tes pramugari Emirates beberapa waktu lalu, saya menelusuri kata-kata kunci yang mungkin bisa cocok dengan segala pengalaman saya selama ini. Sebagai pramugari yang selalu berurusan dengan penumpang berbeda background, tentu saja perusahaan penerbanganan internasional membutuhkan seseorang yang service-minded, bisa menguasai bahasa asing, mudah beradaptasi, serta mampu mengendalikan homesickness dan kesendirian.

Dilihat dari pengalaman kita sebagai au pair, ada banyak soft skills yang sebetulnya dicari perusahaan. Contohnya;

  • Kemampuan berkomunikasi; tidak hanya pencapaian kita menguasai bahasa asing, tapi juga kemampuan mendengar, merasakan, mengobservasi, serta mengutarakan pendapat terhadap lingkungan yang sama sekali berbeda dari tempat asal kita.
  • Cultural awareness; membuat kita tidak serta merta menutup diri dari lingkungan baru, tapi juga berusaha menghargai dan menerima perbedaan di luar ranah nyaman selama ini.
  • Adaptability; bukan hanya terhadap makanan, budaya, tradisi, cuaca yang berbeda, namun pengalaman dan tantangan baru di negara asing menjadikan diri kita lebih berkembang, along with resilience.
  • Self-awareness; melatih diri kita untuk melihat dunia dari perspektif yang lebih luas tanpa bias dengan apa yang sudah kita yakini.
  • Self-reliance; karena semuanya tidak akan berjalan dengan rencana, dari host kids yang bandel sampai host parents yang pelit. Namun karena yakin bisa menghadapi semuanya, akhirnya ada rasa kepercayaan diri yang tertanam untuk mendorong diri untuk terus berkembang meskipun sempat melakukan kesalahan.

Sebagai pendahuluan, kita juga bisa menuliskan "A young professional with 3 years experience of being a kindergarten teacher and having international experience of cultural exchange in Finland."

2. Au pair is NOT a job!

Meskipun harus dapat working permit dulu, bayar pajak, serta diperlakukan layaknya pekerja, namun jangan pernah tuliskan pengalaman au pair di bagian "professional working experience". Mengapa, karena sejatinya au pair itu memang bukan pekerjaan, namun hanya program pertukaran budaya.

Awalnya saya sempat menuliskan au pair sebagai pengalaman profesional, namun semakin kesini, saya merasa hal tersebut justru tidak tepat. Host family memanglah employer yang punya kewajiban memberi kita uang saku, namun bukan real employer yang HRD perusahaan ingin tahu.

Dari pembelajaran ini saya akhirnya menaruh posisi au pair di bagian "additional experience" di bawah "pengalaman kerja". Tidak perlu tulis nama host family, cukup jelaskan 1 kalimat saja apa itu au pair, dimana, kapan. Contohnya, "Au pair - a cultural exchange programme in the Netherlands where I lived with a host family to learn their culture and Dutch for a year."

3. Employers don't want to know what you have done

Meneruskan poin ke-2, mengapa saya taruh pengalaman au pair sebagai "additional experience", karena sejatinya part-time domestic job tidak terlalu menjual ke perusahaan. Mereka tidak perlu tahu berapa banyak popok yang kita ganti seharian, berapa sering kita mencuci baju keluarga angkat dalam seminggu, ataupun seberapa pandai kita masak makan malam untuk satu keluarga.

No, they don't want to know those things!

Seorang teman saya sempat mencantumkan au pair ini di bagian "professional experience" saat mencari kerja di Indonesia. Awalnya memang lancar karena si teman sudah sampai tahap interview. Sayangnya, di bagian inilah teman saya ditanya-tanya soal pengalamannya au pair yang sebetulnya tak sampai 1 tahun itu.

"Oh jadi sekolah tinggi-tinggi, lalu selama setahun ke belakang cuma jadi pembantu ya di negara orang?" kata si pewawancara. Tajam.

"Bukan, Bu. Itu sebetulnya juga sekalian pertukaran budaya."

"Ya, tetap saja. Intinya kan tinggal di rumah orang, lalu bantu bersih-bersih."

Make sense! Tapi mungkin wording teman saya di resume kerjanya tidak tepat sehingga menimbulkan pernyataan demikian dari si pewawancara. Tidak semua orang di dunia ini tahu apa itu au pair. Ketimbang menjelaskan rentetan pekerjaan, sebaiknya tuliskan saja pencapaian kita selama jadi au pair. Contoh, "A culture exchanging in Norway where I am learning Norwegian in intermediate level and facing the diversity by living with a native host family."

Kalau kamu berniat jadi guru di TK internasional, bolehlah sekalian mencantumkan sedikit deskripsi seperti; "worked with children from age 0-8 years to assist their daily routines" atau "taught French kids English and Indonesian as an exchange of French culture in daily life".

4. Sell the experience, not the job desc

Saat menulis cover letter untuk syarat mendaftar kuliah S-2 di Universitas Oslo, saya dibuat pusing juga dengan pencapaian saya selama ini. Okelah, cover letter-nya memang berbau akademis yang mana saya juga bisa bercerita tentang pengalaman kerja dan ekstrakurikuler saat kuliah dulu. Tapi bukankah akan jadi tanda tanya juga "mengapa bisa jadi au pair sampai 5 tahun??!!". Tak ada pengalaman profesional setelah itu. Stuck jadi au pair!

Tapi meskipun pusing juga ingin menulis apa, untungnya saya cukup aktif dan oportunis selama tinggal di Eropa ini. Tidak hanya datang ke sekolah bahasa, tapi saya juga coba belajar menggambar dari kelas seni di Ghent, ikut kelas desain di Kopenhagen , sampai tak pernah absen ikut kegiatan volunteering dalam satu tahun. I know being an au pair alone is not getting me to the peak!

Saya sarankan juga bagi kalian untuk tidak hanya jadi "au pair biasa". Terus kembangkan diri , temukan passion dan belajarlah hal baru setiap waktu selama kita masih tinggal di negara orang ini. Datangi konferensi dan seminar, ikutlah volunteering untuk belajar teamwork dan branding management, serta cobalah belajar bahasa dengan serius. Banyak sekali kesempatan yang tak akan saya temui jika tinggal di Palembang, makanya kapan lagi ikut banyak kegiatan dengan world-class setting seperti ini. Hasilnya, sungguh worth-it! Bukan soal au pair yang saya tuliskan di cover letter, tapi pengalaman selama mengikuti kegiatan sukarelawan yang banyak sekali korelasinya dengan dunia kerja.

Kalau kamu ada kesempatan ikut kursus programming atau sempat punya projek kecil-kecilan dengan teman-teman lain, don't hesitate untuk juga mencantumkannya di resume kerja. Cara paling sederhana lainnya menurut saya adalah dengan ikut lomba dan kompetisi yang sesuai dengan bakat. Tahukah kamu kalau banyaknya prestasi yang kita raih juga bisa jadi professional portfolio ke depannya? Suka menulis, ikutlah kompetisi menulis. Suka membuat video, ikutlah kompetisi film pendek! And so on..

Trust me, it is definitely worth-it!

(Coba juga ikutan kompetisi menulis & ilustrasi "My Final Year" 2019 ini, siapa tahu kamu menang paket hadiah dari Skandinavia plus award-nya bisa jadi portfolio kerja!)

5. Tie the competence

Tidak semua mantan au pair bangga dengan titel "au pair" ini. Atau bisa jadi juga, simpelnya karena malu jadi au pair. Tidak semua mantan au pair juga ingin mencantumkan pengalaman au pairnya di resume kerja mengingat mungkin adanya ekspektasi berlebih dariemployer di Indonesia.

Seorang teman saya yang lain menolak untuk menuliskan pengalamannya ini di CV kerja. Alasannya karena takut para HRD perusahaan memandangnya overqualified hanya gara-gara pernah tinggal di luar negeri. Takut juga kalau si teman saya ini ingin minta gaji tinggi hanya karena sudah punya pengalaman internasional.

Well, that's totally up to you! Saya juga merasa bahwa tidak semua pekerjaan punya keterikatan dengan au pair ini. Banyak perusahaan yang tak peduli dengan pengalaman internasional. Banyak juga dari mereka yang lebih mengutamakan pengalaman profesional ketimbang deretan pengalaman lain yang tak ada kualifikasinya sama sekali dengan pekerjaan yang kita tuju.

Saya, karena sudah 5 tahun ini jadi au pair, mau tidak mau harus mencantumkan juga apa yang saya lakukan selepas lulus kuliah. On that's why, saya butuh ilmu dan skill tambahan setelah jadi au pair. Karena pengalaman jadi au pair sendirian bisa useless jika tidak didampingi pengalaman profesional dan kemampuan lainnya.

6. Host family could be our referee

Tahu kah kalian bahwa host family yang juga statusnya sebagai employer, bisa kita mintai surat rekomendasi sekiranya diperlukan dalam penulisan resume? Tak harus saat melamar pekerjaan, di beberapa kesempatan seperti contohnya melamar beasiswa ataupun cari kontrakan, kadang kita juga harus melampirkan surat rekomendasi dari seseorang yang kenal kita dengan cukup baik.

Happy writing and keep updating your CV!

Thursday, May 7, 2020

Tips Berburu 'Student Job' Tanpa Lelah (Bagian 1)|Fashion Style

"It doesn't matter if you flip burgers, bricks or houses. Just don't sit on your ass all day flipping channels. Hustle." - Denzel Washington

Setelah pencarian host families tanpa lelah sejak 5 tahun ke belakang, kegiatan saya berburu pekerjaan baru memang belum terhenti sampai di situ. Ketika mendengar cerita berkuliah saya di Norwegia, salah satu om menyayangkan keputusan saya harus kuliah dengan biaya sendiri. Apalagi setelah tahu saya akan kuliah sekalian bekerja paruh waktu untuk menopang biaya hidup. Ide ini dipandangnya cukup nekad dan gila mengingat beliau dulu bisa kuliah di luar negeri juga karena bantuan beasiswa.

"Kalau ada beasiswa, ya kenapa juga harus repot-repot kerja? Sebaiknya fokus saja ke studi, daripada harus mengorbankan waktu sekalian kerja part-time," ujarnya.

Dari sana, beliau dengan pedenya menyuruh saya mencari tahu informasi beasiswa LPDP yang begitu dia banggakan tersebut — meskipun dulunya dapat beasiswa dari Pemerintah Jerman, DAAD. Katanya tak masalah apply meskipun saya sudah masuk semester dua. Jadi maksudnya on going saja begitu. Well, demi memuaskan keingintahuan beliau, saya cari saja informasi soal beasiswa tesis LPDP yang mungkin memang tersedia tahun ini. Namun untungnya, memang tak ada!

Oke, saya bukan anti beasiswa. Saya malah sebetulnya sangat ingin dapat beasiswa tiap bulan tanpa perlu repot-repot dan capek memikirkan soal biaya hidup. Kuliah dengan biaya sendiri itu super duper berat, Sodara! Tapi apa daya, saya tahu diri. Nilai IPK pas-pasan, malas minta surat rekomendasi (lagi), belum lagi saingannya bejibun. Jadi daripada berekspektasi harus bisa kuliah dengan dana beasiswa, saya tetap akan kuliah meskipun harus menopang biaya hidup dengan kerja sambilan.

Lagipula, kuliah sekalian kerja paruh waktu di luar negeri itu sebetulnya punya banyak manfaat. Selain cari uang, kesempatan lainnya adalah;

1. Memperlancar bahasa lokal

2. Menambah pengalaman dan memperluas networking

3. Mengenal lebih jauh budaya kerja setempat

4. Punya rekan kerja dan tak lagi bicara dengan tembok layaknya kesendirian au pair dulu!

Di Norwegia, pelajar asing yang mendapatkan izin tinggal bisa bekerja paruh waktu sampai 20 jam per minggu. Di sini, kerja paruh waktu disebut deltid atau 50% porsinya, mengingat kerja heltid (100%) itu sama dengan 37,5-40 jam per minggu.

Kalau ada yang tanya ke saya, apakah cari kerja paruh waktu di Norwegia itu mudah, jawabannya adalah mudah! Syaratnya, kamu mesti bisa lancar bahasa Norwegia, dan yang kedua, kamu punya orang dalam alias teman yang bisa jadi referensi utama mu ke bos di tempat kerja tersebut. Mudah kan? ;p

Tapi bagi pelajar asing, cari kerja di Norwegia tanpa kedua syarat tersebut bisa jadi malapetaka karena keterbatasan lowongan kerja. Belum lagi, 70% lowongan kerja yang tersedia di sini sebetulnya tidak diiklankan, melainkan hanya kabar dari mulut ke mulut. Jadi kalau networking kita sempit, jangan harap bisa dapat pekerjaan dengan mudah, bahkan untuk jadi cleaning lady sekali pun!

Pekerjaan yang dikira mudah semisal pelayan McDonalds atau pegawai pom bensin pun tak banyak melirik pelajar asing karena masalah bahasa. Mengapa syarat bahasa Norwegia sangat mutlak di kota-kota besar semisal Oslo atau Bergen, karena tingginya persaingan antara orang asing dan warga lokal. Jadi kalau kamu hanya terpaku di bahasa Inggris, bisa dipastikan lowongan kerja akan sangat sedikit sekali. Makanya banyak pelajar asing lebih realistis dan memilih bekerja sebagai kurir makanan (layaknya GoFood), kurir koran, petugas kebersihan, atau babysitter lepas, yang berkualifikasi tanpa perlu menguasai bahasa lokal.

Kembali ke saya pribadi, karena memang tak punya orang dalam dan networking yang luas, saya masih sedikit beruntung karena bisa bicara dan mengerti bahasa Norwegia (level A2) meskipun memang belum cukup kuat untuk bersaing di luaran. Itulah mengapa ada manfaatnya jadi pelajar setelah menyelesaikan masa au pair, karena level bahasa kita biasanya lebih baik ketimbang para pelajar asing lain yang baru saja datang ke Norwegia. Plusnya lagi, karena memahami isi konten yang ada di internet, kita bisa curi start duluan berburu pekerjaan paruh waktu di banyak situs lowongan kerja seperti Finn, Glassdoor, Nav, Indeed, Karrierestart, dan masih banyak lainnya.

Untuk jenis pekerjaan, saya tak neko-neko.I don't care as long as I could pay my bills dan latihan bicara bahasa lokal. Jadi pilihannya bisa ke pelayan restoran, penjaga toko, atau asisten butik yang setiap hari menggunakan bahasa Norwegia. Selain jenis pekerjaan tersebut, saya juga mencoba melamar ke perusahaan startup di Norwegia pada posisi magang berbayar (paid internship). Saya mesti sombong sedikit untuk hanya memilih posisi magang yang dibayar karena sekarang memang sedang butuh uang.

Getting a process takes time!

Lalu apakah dengan menguasai bahasa Norwegia stage A2 membuat kesempatan saya lebih besar? Sebetulnya tidak juga. Dari banyaknya lowongan pekerjaan paruh waktu tersebut, tak semuanyaa saya berkualifikasi dikarenakan tetap ada persyaratan yang mengharuskan menguasai bahasa Norwegia dengan sangat lancar. Jadi walaupun sudah bisa bahasa lokal sedikit-sedikit, saya juga tak mau bertaruh mengirim lamaran kerja ke beberapa tempat yang memang mewajibkan bahasa Norwegia fasih sebagai syarat mutlak. Lagipula menulis resume dan surat lamaran kerja itu sangat melelahkan, lho! Saya mesti menyesuaikan isi surat lamaran dengan jenis pekerjaan yang saya lamar.

Kembali lagi, karena saya tidak punya orang dalam atau kenalan, serta degree bahasa Norwegia masih stage dasar, cari kerja paruh waktu menjadi tantangan yang sangat berat. Jangan salah, untuk posisi yang kita kira mudah seperti pelayan restoran atau pegawai toko, saingannya bejibun terutama dari kalangan pelajar lokal itu sendiri! Meskipun kita sudah banyak pengalaman lokal dan internasional, tapi kesempatan biasanya tetap diberikan kepada para pelajar lokal yang bahkan belum punya pengalaman sama sekali.

Cari kerja dimana pun juga melelahkan karena memerlukan proses yang panjang, mulai dari kirim lamaran sampai mendapatkan jawaban. Untuk posisi magang di musim panas (summer internship), saya bahkan sudah mengirim berkas lamaran sejak September tahun lalu. Prosesnya begitu lama dan saingannya pun sangat kompetitif, mengingat posisi yang saya lamar ini juga adalah paid internship. Sedangkan untuk kerja paruh waktu, saya memang sudah rutin mengirimkan lamaran sejak akhir November lalu. Dalam satu bulan, saya bisa mengirimkan 10-20 lamaran kerja ke banyak tempat. Ada yang direspon, ada pula yang tak ada kabar sama sekali. Karena sedang sibuk ujian akhir semester dan pindahan, saya juga tak punya waktu untuk follow up semua lamaran yang sudah dikirim.

Target saya, awal tahun 2020 harus sudah dapat pekerjaan baru! Bisa jadi masalah besar kalau sampai akhir Februari saya belum dapat kerja mengingat uang saku hasil au pair kemarin pun makin menipis. Sekarang saja satu minggu belum dapat kerja dan hanya duduk manis di kosan rasanya sangat membosankan. Meskipun bisa saja sesekali kena stress ala pengangguran, tapi untungnya saya tipikal orang yang cukup oportunis dan gigih. Setiap hari saya berusaha mengecek satu per satu lowongan kerja paruh waktu di internet dan mencocokkan dengan kemampuan yang saya miliki. Satu cocok, secepatnya saya mengirimkan resume dan membuat surat lamaran kerja hari itu juga.

Resume dan surat lamaran kerja (cover letter)

Sekarang mari membahas bagaimana caranya saya melamar pekerjaan ke banyak tempat, apakah datang langsung atau mengirim aplikasi via online. Yang pertama, saya ingin membahas dulu soal syarat lamaran kerja di Norwegia. Berbeda dengan Indonesia, kirim lamaran kerja di Norwegia itu anti ribet. Yang dibutuhkan hanya dua, resume/CV dan surat lamaran kerja (cover letter). Kecuali melamar posisi magang di perusahaan besar, syarat transkrip nilai jadi dokumentasi tambahan.

Banyak pekerjaan yang diiklankan di internet bisa langsung kirim aplikasionline tanpa perlu datang mengantarkan berkas ke kantornya. Beberapa perusahaan ada yang dengan baik hati memberifeedback, ada pula yang acuh sama sekali. Jadi kalau kamu lebih rajin dari saya, kamu bisa coba follow up semua surat lamaran kerja yang sudah dikirim tanpa harus menunggu jawaban yang lama terlebih dahulu.

Untuk CV saya buat berbeda-beda berdasarkan jenis pekerjaan dan posisi yang saya lamar. Bahasa yang saya gunakan di CV semuanya menggunakan bahasa Inggris untuk jenis pekerjaan apapun. Saat melamar kerja paruh waktu, saya buat lebih personal dengan menyertakan kemampuan bahasa serta hobi. Sedangkan saat melamar posisi magang, saya lebih menonjolkan pencapaian akademik dan organisasi. Layout-nya pun sangat simpel mengikuti pola Europass, hanya hitam putih. Yang penting isinya jelas ketimbang desainnya yang terlalu menonjol.

Selanjutnya adalah menuliskan surat lamaran kerja. Di komputer, ada banyak sekali file cover letter untuk masing-masing posisi yang sudah pernah saya lamar. Meskipun isinya tak jauh beda satu dan lainnya, namun memang ada yang saya tonjolkan di tiap surat lamaran kerja. Untuk posisi pekerjaan paruh waktu, saya menulis lamaran dengan bahasa Norwegia. Saya tulis kasar terlebih dahulu, lalu Mumu membantu mengedit kembali. Sementara untuk surat lamaran berbahasa Inggris, saya proofread sendiri.

Mengapa saya menuliskan surat lamaran kerja dalam bahasa Norwegia, karena ini membuka sedikit peluang untuk dilirik oleh HRD. Setidaknya akan menimbulkan kesan bahwa meskipun nama saya totok Indonesia, namun ada niat untuk berintegrasi dengan kultur lokal. Ada banyak sekali HRD yang langsung menyingkirkan aplikasi kita sekilas hanya melihat nama yang terlalu asing, meskipun kita bisa lancar bahasa Norwegia.

Sayangnya, dari semua cara di atas, kesempatan saya mendapatkan panggilan kerja pun tak banyak, terutama di jenis pekerjaan paruh waktu berbahasa lokal. Kalau mau dinilai, surat lamaran kerja saya memang terlalu "tipikal"  dan tidak menonjol dari pelamar lainnya. Tak dipungkiri, saya juga banyak melihat contoh di internet yang jenis kontennya memang seragam. Dari sini, saya mengganti taktik untuk menuliskan ulang motivasi dan pengalaman kerja secara lebih clear serta personal dari sebelumnya. Fiiuuhh.. what a process!

Ngomong-ngomong, ini dulu yang bisa saya ceritakan di postingan kali ini. Next, saya ingin cerita soal pengalaman wawancara kerja serta pekerjaan apa yang mungkin akan mendarat ke saya di awal tahun ini!

Kalian sendiri, apakah ada pekerjaan impian yang mungkin sempat terpikir kalau punya kesempatan bisa bekerja paruh waktu di luar negeri?

Tuesday, May 5, 2020

Tips Berburu 'Student Job' Tanpa Lelah (Bagian 2)|Fashion Style

Setelah dua bulan lebih belum dapat kerja juga, saya hampir di ambang batas menyerah. Tapi, harus menyerah karena apa? Hidup akan terus berjalan dan saya masih harus membayar tagihan dan makan bulan depan! I need a new job dan saya harus terus cari kerja sampai dapat! (Cerita saya cari kerja sebelumnya, baca di sini.)

Banyak situs lowongan kerja saya kunjungi dan baca satu per satu setiap hari demi menemukan jenis pekerjaan yang cocok bagi student dan pas dengan kualifikasi saya. Lamaran demi lamaran pun terus saya kirimkan lewat online dan terus-terusan pula mendapatkan banyak penolakan.

Seorang teman menganjurkan untuk mengantarkan CV door-to-door demi membuka kesempatan. Katanya, teman dia ada yang dua hari kemudian dipanggil wawancara karena pakai cara door-to-door.Tapi karena malas cetak CV, buang-buang kertas, lalu keliling, saya belum tertarik menggunakan cara ini. Lagipula ada lebih dari 600 restoran dan kafe, serta ribuan toko di Oslo yang harus saya list lebih dulu sebelum memutuskan ingin kemana. Satu lagi, cara ini diyakini juga bisa menimbulkan rasa awkward. Karena ingin latihan cari kerja lewat cara konvensional, saya masih terus mencari via online. Lagipula tak rugi apa-apa. Gratis juga.

Suatu kali, saya sempat ditawari seorang senior jika berminat jadi research assistant bagi seorang kandidat Ph.D di kampus yang sama. Tak pikir panjang, saya segera hubungi beliau dan meminta untuk bertemu. Sayangnya, karena beliau berasal dari bidang Education, sementara saya dari Entrepreneurship, akan ada ketidaksinambungan sekiranya saya jadi asisten riset beliau.

Beliau juga menyarankan kalau saya tertarik jadi asisten TK, mungkin bisa coba mengirimkan berkas di TK dekat kampus. "But you are actually right! Sudah tahu apa yang dimau; tak berminat kerja dengan anak-anak lagi. I know it's gonna be boring indeed. Justru orang kadang berpikir, kerja apa saja yang penting bisa bayar tagihan. Namun justru menurut saya hal ini salah karena akan membuat kita kerja untuk uang saja, bukan untuk berkembang dan belajar. Just keep searching for what you want to work with!"

Saya juga tahu bahwa kultur cari kerja di Norwegia ini memang masih memegang teguh prinsip word-of-mouth dan relasi. Banyak sekali jenis pekerjaan yang sebetulnya tak diiklankan, melainkan hanya berasal dari referensi si A atau si B. Makanya kalau tak punya relasi, sangat sulit sekali mencari kerja, bahkan untuk jadi cleaning lady sekalipun!

"Tapi, kalau kamu sudah masuk ke dalam sistem, akan sangat mudah sekali masuk ke sistem yang lain. Contohnya, kamu diterima di kantin jadi petugas cuci piring. Lama-lama, kalau mereka lihat kamu anaknya ingin berkembang dan sangat gigih, tak kagetlah jika 8 atau nine bulan kemudian reputation mu bisa naik jadi kepala dapur," kata kandidat Ph.D tersebut lagi. Jadi intinya, jangan takut memulai dari yang terbawah.

Beberapa teman di kelas bahasa saya pun meyakini bahwa cari kerja part-time di Norwegia seharusnya tak jadi masalah untuk saya. "Your Norwegian is even far better than me! You should be in the higher level!" kata seorang teman sekelas asal Korea Selatan kagum. "Jangan frustasi, dong! I am pretty sure you would get one!"

Haha! Bahkan teman saya di kelas pun bisa memahami bahwa beberapa minggu ke belakang mood saya memang aut-autan. Terakhir cari kerja ya memang saat jadi au pair 2 tahun lalu. Tapi kalau ingat cari host family pertama kali dulu, itu juga prosesnya lama. Saya harus menunggu 5 bulan baru betul-betul settle dengan satu keluarga. Cari kerja betul-betul melelahkan memang!

Teman-teman Indonesia lain yang memahami kondisi saya ikut menyemangati dan memberikan informasi seputar pekerjaan part-time yang mereka tahu. Sayangnya, kala itu semangat saya sedang terpendam. Saya sudah cukup lelah. Saatnya berhenti sebentar, menunda mengirim banyak lamaran, dan menunggu kabar beberapa lamaran sebelumnya yang sudah dikirim.

FYI, lowongan kerja yang tersedia paruh waktu di Norwegia ini kebanyakan pekerjaan di restoran, asisten personal, dan toko. Untuk yang tak bisa bahasa Norwegia, pilihannya makin menyempit ke loper koran, cleaning lady, atau babysitter lepas. Ada beberapa pekerjaan hotel dan kantoran lainnya, namun hampir semuanya harus memenuhi kualifikasi bahasa Norwegia fasih. Sampai situ saja saya sudah menyerah duluan. Lalu jangan dikira dapat kerja di toko baju semacam Zara itu mudah! Saingannya bejibun karena ada banyak sekali anak muda yang tertarik bekerja di toko baju. Selain itu, restoran cepat saji semacam McDonald’s atau Burger King juga banyak sekali pelamarnya setiap minggu. Saya sudah dua kali melamar kerja di McD, namun selalu ditolak. So, I had to keep moving!

"Trust me, it would be sooo hard! Saya sampai harus door-to-door mengantarkan banyak CV ke bar, toko Asia, bahkan restoran, hanya untuk dapat satu pekerjaan. Namun karena tak bisa bahasa Norwegia, bahasa Inggris pun pas-pasan, saya selalu ditolak. But, please don't give up! You have to keep sending your CV as much as possible!" seorang teman sekelas saya pun terus-terusan memberikan semangat ketika tahu saya memang sedang struggling cari kerja.

"I'll keep you posted if I hear somebody looks for an employee!" tawar seorang teman satu kosan yang juga selalu memberikan saya semangat positif.

"You know what, I am pretty sure luck is another factor to get a job! Jadi kalau kamu memang belum lucky, jangan salahkan keadaan. Percaya saja, ada saatnya luck kamu datang dan saat itulah kamu akan dapat pekerjaan," seorang teman lagi berusaha memberikan motivasi, yang mana saya juga percaya bahwa luck itu berperan penting.

Satu minggu berlalu, saya menerima email dari salah satu restoran Italia terbesar di Oslo yang tertarik dengan aplikasi saya dan mengundang wawancara langsung di restoran! Wow!! This is going to be my very first live interview in Norway!

"You would get this job, I am pretty sure!" ujar Anand, teman sekelas saya.

Kabar yang saya dengar, kalau kamu sudah diundang interview langsung on spot dan si pewawancara suka, mereka bisa langsung menerima kita saat itu juga. Karena restoran ini juga membutuhkan pegawai yang bisa bahasa Norwegia, maka diyakini bahwa wawancaranya pun akan menggunakan bahasa lokal. Saya sampai berlatih sedikit dengan Mumu tentang apa yang kira-kira harus saya ucapkan.

Saya akan cerita lebih banyak soal wawancara kerja yang sudah pernah saya jalani di Norwegia, tapi long story short, saya akhirnya bertemu dengan Maria, manajer restoran yang sudah 5 tahun bekerja di sana. Wawancaranya pun sangat informal dan lebih terdengar seperti mengobrol biasa. Tiga puluh menit berlalu, saya cukup bangga bahwa kemampuan bahasa saya progress-nya semakin terlihat karena bisa menjawab semua yang ditanyakan dengan sangat lancar, meskipun grammar-nya masih lari-lari.

"Aduh, mau tanya apa lagi ya. Saya bingung, soalnya kamu bisa menjawab semuanya dengan sangat baik," kata Maria dengan senyum ramah. "Rasanya sudah sangat lama saya tak pernah mendapatkan jawaban sebagus kamu. Saya betul-betul kagum!"

Dari banyak komentar positif yang Maria berikan, saya cukup optimis dengan kesimpulan akhir yang mungkin akan berakhir baik. "Oke. Kita mulai dari percobaan (prøvevakt) dulu ya. Hanya satu hari kok. Hanya ingin melihat bagaimana motivasi dan keinginan kamu untuk belajar.” tambah Maria. Sebelum pulang, Maria memberikan daftar menu yang harus saya pelajari dan ingat sebelum mulai 'hari percobaan'. Sounds right?

Di hari H prøvevakt , saya ternyata baru tahu bahwa orang-orang yang diberikan kesempatan percobaan ini belum tentu akan diterima sebagai pegawai tetap. Akan ada evaluasi dari trainer sebagai catatan apakah kita layak uji coba lagi ataukah belum cukup mampu mengimbangi alur kerja di restoran tersebut. Jika kita layak, akan ada prøvevakt lagi 3-4 kali, lalu training mandiri selama 4-6 bulan, sebelum akhirnya mantap menjadi pegawai tetap restoran tersebut.

10 pelajaran dari cerita di atas:

1. LEARN THE LOCAL LANGUAGE from the first day you arrive in Norway!

2. Selagi banyak lowongan pekerjaan yang masih tersedia, boleh saja picky. Lebih baik melamar di 10 tempat yang posisinya betul-betul kita inginkan ketimbang ke banyak tempat yang posisinya hanya ingin kita isi demi dapat gaji.

Three. Jangan menyerah, apalagi sadar kalau kita bukan anak orang kaya!

4. Sebelum mendengar  atau mendapatkan email yang isinya "you're hired!", terus saja kirim aplikasi.

5. It is okay to take a break before you start searching again!

6. Jangan patah semangat ketika menerima penolakan karena bisa jadi kita kurang atau terlalu berkualifikasi, atau juga manajer HR hanya mencari orang-orang yang setipe dengan dia.

7. Tell people that you are looking for a job, karena bisa jadi lowongan kerja malah dapatnya dari networking ini.

8. Percayalah, luck dan good timing itu adalah faktor yang sangat berperan ketika cari kerja.

9. Be realistic! Jangan mengharapkan posisi dan gaji bagus kalau kemampuan kita hanya di bawah rata-rata masyarakat lokal.

10. Cari kerja di Norwegia (meski paruh waktu) itu SUSAH!!

I was so stressed back from the first day I started my 'prøvevakt' at the restaurant. Stress karena belum tentu diterima bekerja di sana, lalu stress karena ternyata bekerja di restoran besar danfancy itu susah! Baiklah, saya harus sedikit bersabar dengan diri sendiri. It was my first day; literally the first and longest day I worked at the restaurant with my Norwegian capability alongside! Karena bahasa Norwegia saya yang masih pas-pasan, ada rasa takut berhadapan dengan pelanggan. Takut salah, takut tak mengerti apa yang pelanggan maksud, takut pula jika tak hapal deretan menu berbahasa Italia yang pelanggan inginkan.

But hey, it was my first day, right? There are looooong days to learn! Namun sekali lagi, apakah saya dipercaya mendapatkan shifts berikutnya untuk uji coba, itu yang saya tak tahu. Until then, I keep looking for a job.

Tips Pengalaman Wawancara Magang dan Kerja Paruh Waktu di Oslo|Fashion Style

Nasib tiap orang memang tak sama, tapi bagi saya, successful rate untuk dapat panggilan wawancara di Norwegia hanya sekitar 18%. Dari 50-an lamaran kerja yang dikirim, 9 aplikasi baru berhasil menyita perhatian rekruiter. Angka ini masih terbilang lumayan, karena cari kerja di Norwegia tanpa networking dan Norwegian fluency bisa jadi mimpi buruk. Untuk student job yang sifatnya part-time di toko atau restoran, kita tak hanya bersaing dengan pelajar lokal tapi juga internasional. Saingan terberatnya tentu saja para imigran dari Swedia yang lebih lucky karena merekaspeak the language.

Dua tahun tinggal di Norwegia, saya baru menguasai norsk secara lisan di level A2. Tak banyak lowongan kerja yang bisa saya lamar, kecuali pekerjaan di toko, kafe atau restoran. Padahal kalau mampu seminimalnya B2, ada banyak sekali pekerjaan paruh waktu di kantoran yang sangatwelcomedengan pelajar. Sebagai tambahan, saya juga sempat melirik peluang paid or unpaid internship yang akan sangat berguna untuk mencari pengalaman in-office.

Tapi dari semua kesempatan ini, saya ingin cerita bagaimana proses wawancara yang pernah saya lalui di Oslo, hingga akhirnya berhasil mendapatkan tawaran kerja. Ada dua segmen cerita, wawancara magang dan kerja paruh waktu.

Internship

Cari kesempatan magang adalah salah satu hal yang saya kejar selama kuliah di sini. Tak hanya soal pengalaman dan pembelajaran, tapi juga bisa menambah networking dan mempercantik CV. Untuk magang di perusahaan dengan modal bahasa Inggris saingannya sangat kompetitif, apalagi yang dibayar. Tiga pengalaman interview magang di Oslo yang pernah saya lalui adalah dengan perusahaan teknologi multinasional di posisi marketing untuksummer internship 2020 (yang lamarannya sudah saya kirim sejak September tahun lalu!), kedua adalah akselerator startup untuk posisi event associate dan voluntary intern, dan yang ketiga adalah organisasi pelajar-slash-startup di posisi event associate juga.

Dua perusahaan pertama wawancara dijalani via online lewat Google Hangout dan Whereby. Masing-masing, saya diwawancarai oleh 2 profesional muda yang memegang peranan penting di posisi yang saya lamar. Pertanyaan yang ditanyakan juga sebetulnya cukup banyak & lebih menggali seputar pengalaman kerja sebelumnya serta motivasi saya melamar di perusahaan mereka. Just be aware, even for an internship position, they still expect you to have some more experience earlier!

Setelah menunggu berbulan-bulan sejak wawancara pertama di perusahaan multinasional, saya tak lanjut ke ronde kedua dikarenakan mereka lebih memilih orang-orang yang punya pengalaman in-office sebelumnya. Meskipun ditolak, tapi saya cukup amazed dengan feedback jujur yang mereka berikan lewat satu email yang panjang. So professional and caring!

Sama halnya dengan posisi operations/event associate di akselerator startup, meskipun sudah lanjut sampai ronde kedua tapi langkah saya mesti terhenti karena mereka butuh orang yang bisa bekerja full-time dan selalu available di kantor. Tapi karena cukup impressed dengan profil saya, mereka menawarkan apakah saya bersedia untuk diperhitungkan di proses rekruitmen posisi voluntary intern. Posisinya memang tak dibayar, tapi karena cukup tertarik dengan perusahaan ini, saya iyakan saja. Toh, tak perlu wawancara lagi dan hanya menunggu keputusan mereka. Hingga lebih dari 1 bulan kemudian, saya menerima email panjang yang super caring dari rekruiter bahwa saya diterima menjadi voluntary intern selama 4 bulan.

Untuk organisasi ketiga, sebetulnya saya lebih banyak mendapatkan informasi lewat senior saya di kampus. Ada trial kerja 6 bulan pertama sebagai voluntary intern, sebelum nantinya bisa berlanjut menjadi permanent worker. Di sini saya juga melamar di posisi event associate karena merasa sangat tertarik di bidang operations, yang tugasnya mengkoordinasi, merencanakan, serta eksekusi. Organisasi ini masih sangat muda dan kantornya juga hanya selemparan batu dari kampus. Wawancara dilakukan oleh 2 board members per sesi dan dilakukan selama 2 kali. Meskipun para board members-nya masih muda-muda, tapi wawancara tetap terasa profesional.

Kurang yakin dengan wawancara kedua, saya diundang kembali wawancara ketiga oleh salah seorang anggota board member yang sebelumnya mewawancarai saya. Meskipun judulnya "wawancara", tapi pertanyaan yang ditanyakan lebih ke menggali kehidupan pribadi; punya pacar kah di sini, suka Norwegia kah, apa planning selepas lulus, dan lainnya, yang hanya berlangsung 30 menitan. Dirasa cocok dengan budaya kerja di tempat tersebut, sorenya saya mendapat email kalau diterima bekerjadi sana!

Kerja paruh waktu

(Baca pengalaman saya cari 'student job' part 1  dan 2  di postingan sebelumnya!)

Dikarenakan hampir semua lowongan kerja paruh waktu di Norwegia diiklankan dalam bahasa Norwegia, wawancara yang saya jalani pun hampir semuanya juga menggunakan bahasa lokal. Semoga kalian masih punya semangat membaca pengalaman saya di 5 tempat selanjutnya!

Toko roti

Entah kenapa, bekerja di toko roti adalah pekerjaan paruh waktu impian saya dari dulu. Mungkin karena waktu kecil terlalu sering membaca komik Jepang, makanya imajinasi soal kerja paruh waktu di tempat ini masih terbayang sampai Norwegia. Wangi harum roti fresh from the oven, alunan suara renyah tuangan kopi dari draft, serta atmosfir nyaman toko roti yang mungil rasanya begitu cozy.

But anyway, dua minggu setelah kirim lamaran ke salah satu toko roti terkenal di Norwegia, saya mendapat email undangan wawancara online. Saat itu wawancaranya hanya satu arah via SparkHire dan saya wajib merekam diri sendiri lewat aplikasi tersebut sebelum akhirnya di-submit ke perusahaan.

Ada 5 pertanyaan yang mesti dijawab dan masing-masing diberi waktu 1 menit. Sebelum recording, saya diperbolehkan memikirkan dulu jawabannya selama mungkin dan diberikan kesempatan 3 kali menjawab. I don't know why I was soooooo nervous!!!! Meskipun total jawabannya hanya 5 menit, tapi saya menghabiskan waktu 2 jam untuk latihan sekalian recording! Semuanya harus dijawab menggunakan bahasa Norwegia, yang mana saya mesti ekstra keras memikirkan jawaban plus tata bahasa yang tepat. Hati saya super dag dig dug, meskipun yang dihadapi adalah diri sendiri.

Dua minggu kemudian, saya dapat email berikutnya untuk lanjut ke wawancara ronde kedua! Wawancara masih dilakukan via online, namun kali ini live dengan salah seorang rekruiter. Herannya, wawancara kali ini malah terkesan biasa saja dan lebih rileks ketimbang saat recording. Pertanyaan yang ditanyakan rekruiter pun sebetulnya sedikit mengulang dari apa yang sudah saya rekam di ronde pertama; mengapa ingin kerja di sini, apa kegiatan favorit saat senggang, seberapa fleksibel, serta pertanyaan lain seputar pengalaman au pair.

Sebetulnya saya merasa tak terlalu maksimal saat itu dikarenakan berulang kali menanyakan apa yang dimaksud oleh rekruiter. Ada beberapa pertanyaan yang karena takut salah paham, saya tanyakan lagi beberapa kali untuk memastikan. Saya bisa melihat bahwa si rekruiter ini kurang sabar dan terlalu sibuk mencatat. Saat saya ingin beliau mengulang lagi pertanyaannya hingga 3 kali, beliau sampai mengentakkan pena ke meja dan mengeraskan suaranya ke arah microphone.  Meskipun awalnya sangat positif, namun the last answer dari mereka setelah menunggu 3 minggu adalahNO.

Restoran Italia

Sebagai orang yang belum pernah bekerja di restoran sebelumnya, saya cukup kaget ketika tahu dapat panggilan wawancara di salah satu cabang restoran terbesar di Norwegia! Apalagi yang saya dengar, ada ratusan aplikasi yang masuk ke setiap lowongannya di restoran ini. Satu minggu setelah memasukkan lamaran ke situs mereka, saya langsung dapat wawancara kerja dua minggu berikutnya.

Kali itu wawancara dilakukan secara live dan saya mesti datang ke restoran langsung. Maria, si manager, mengobrol dengan saya di salah satu pojokan. Wawancara pun terkesan santai dan saya bisa menjawab semua pertanyaannya dengan sangat fasih. Padahal pertanyaan yang ditanyakan lebih sulit dari si toko roti. Contohnya, apa definisi mu tentang a good team, bagaimana cara kamu menghadapi stress, atau apa yang kamu lakukan kalau menghadapi pelanggan yang bawel.

Maria cukup terkesan dengan semua jawaban saya dan memberikan kesempatan untuk ikut uji coba (prøvevakt) selama 8 jam, satu minggu berikutnya. Meskipun belum punya pengalaman sebelumnya, tapi Maria selalu menekankan bahwa pengalaman itu tidak penting. Yang penting itu saya mau belajar & bisa meng-handle stres saat bekerja di tempo yang tinggi. Masalah gaji pun sudah dibahas dan saya sudah diundang kesana kemari untuk sign up di beberapa online course serta social media khusus organisasi tersebut. Well, everything sounds so professional and organized karena restoran ini memang salah satu restaurant chains terbesar di Norwegia yang sudah cukup lama beroperasi.

Long story short, saya pulang uji coba dengan kewalahan. Worked at a very big restaurant with 600 customers every day were daunting for me! Belum lagi trainer saya, seorang gadis muda yang sudah 5 tahun bekerja di restoran, menaruh ekspektasi yang cukup besar agar saya bisa menguasai banyak hal dalam waktu 8 jam saja! I felt so intimated, meskipun banyak feedback positif dari doi tentang saya.

Merasa akan diterima bekerja di sana, 2 hari kemudian saya menerima telepon dari Maria yang hanya akan memberitahu bahwa saya bukan kandidat yang tepat bagi mereka. Lucunya, Maria saat itu mengatakan bahwa saya kurang pengalaman menghadapi hanyak pelanggan dalam satu waktu. “Maybe you should try to work at a smaller restaurant first,” katanya.

My heart fell to the floor in a sudden! Walaupun yang dikatakan Maria memang benar, tapi saya cukup kecewa dengan treatment yang mereka berikan. Pertama, kami sudah membahas panjang lebar soal gaji dan kontrak. Kedua, saya merasa sudah menjadi bagian dari organisasi tersebut karena diundang kesana-kemari via online networking mereka. Ketiga, saya merasa apa yang dikatakan Maria soal "yang penting mau belajar" itu hanyalah omong kosong belaka!

Restoran India

Tak mau down lebih lama, saya teringat seorang teman pernah mengirimkan screenshot lowongan kerja via Facebook di salah satu restoran India di Oslo. Tanpa pikir panjang, jam 9 malam saya langsung menelepon restoran tersebut. Yang saya tahu, restoran India, Pakistan, atau Turki dan sejenisnya, memang tak se-strict atau profesional restoran asli Norwegia atau yang dikelola oleh orang Norwegia. Mereka bahkan menerima walk-in interview dan drop-in CV.

Malamnya saya telepon, besoknya saya langsung disuruh datang untuk wawancara. Dipikir pemiliknya Norwegian born Indian, ternyata sepasang suami istri ini baru tinggal di Norwegia 2-3 tahun dan restoran ini juga ternyata baru buka Agustus tahun lalu.

Wawancara saat itu hanya berlangsung 10 menit tanpa pertanyaan basa-basi, lalu saya langsung disuruh uji coba (prøvevakt) sore itu juga! Oh-ow! Seemed like they didn’t understand if people also had their own schedule. Karena memang sudah punya schedule hari itu, saya minta untuk uji coba esoknya saja, yang mana saya tak sadar adalah hari Minggu!

Di hari pertama prøvevakt, my first impression of this restaurant was messed! I swore to myself that I am not going to work at this restaurant for so long! Tanpa tahu apa-apa, tanpa briefing, saya langsung terjun bebas belajar sendiri apa yang terjadi di sana. Restorannya memang tak sebesar restoran Italia sebelumnya, tapi tetap saja membuat saya kewalahan karena uji coba dilakukan saat akhir pekan, waktu dimana banyak orang memutuskan makan di luar.

Tamu terus berdatangan dan saya bingung harus mulai dari mana. Tak ada briefing, tak ada training, pokoknya learning by doing saja. Karena restoran ini masih sangat baru, saya sebetulnya cukup paham mengapa manajemennya sangat buruk. Si pemilik restoran, bertugas rangkap sebagai kasir, bartender, pelayan pula, kepala dapur, dan pencuci piring. Makanya tak heran mengapa saya yang baru datang ini langsung disuruh multitasking ini itu. To be honest, 8 jam “belajar” dan uji coba di restoran Italia sangat membantu membentuk mental dan sensivitas saya! Yang dulunya terintimidasi dan takut, trial sekali ini hajar dan justplayed it cool.

Yang saya lihat, restoran ini memang betul-betul butuh orang yang tepat untuk bisa meng-handle tamu sebagai food server. Makanya di hari itu juga, saya langsung diterima bekerja dan tanda tangan kontrak esok harinya. No ribet, no kirim CV dan cover letter dulu, yang penting kita suka dan mau kerja di sana, then 100% you’ll get the shifts!

Sushi bar

Masih penasaran cari-cari kerja di tempat lain, saya mengirim lamaran lain di sushi bar di daerah paling touristy di Oslo. Tempatnya sangat kecil dan hanya muat sekitar 10 pelanggan saja. Lebih enak untuk mobilitas sebetulnya.

Wawancara juga hanya satu arah karena kebanyakan si pemilik yang bicara. Mungkin tepatnya, si pemilik yang lebih detail menjelaskan panjang lebar tentang struktur kerja di tempat tersebut serta apa yang mereka harapkan dari pegawai baru. Tak ada rentetan pertanyaan yang ingin menggali lebih jauh tentang diri saya.

Tak anti ribet juga karena pemiliknya terkesan easy dan siapa pun yang diwawancaranya saat itu, pada dasarnya itulah orang terpilih yang akan bekerja di sana. Karena jadwal kerjanya tak cocok, malamnya langsung saya tolak job offer tersebut. Saya juga entah kenapa kurang cocok dengan atmosfir kerja di sana karena pegawainya terkesan sangat dingin dan kurang welcome.

Restoran Korea

Jam 11 pagi, saya masih iseng membuka daftar lowongan kerja di internet dan menemukan lowongan menjadi pelayan di restoran Korea di Oslo. Karena sudah persiapan cover letter serta CV yang dikhususkan untuk posisi pelayan, saya langsung kirim aplikasi saat itu juga. Mungkin karena beruntung, besoknya juga saya mendapat email panggilan wawancara lagi.

Dari sini saya belajar bahwa restoran yang dikelola oleh keluarga (bukan organisasi besar layaknya restoran Italia sebelumnya), pada dasarnya sangat casual dan anti ribet. Wawancara juga lebih ke satu arah dan si pemilik lah yang justru lebih banyak menjelaskan tentang detail pekerjaan.

Yang saya suka dari restoran ini, di awal si pemilik sudah menjelaskan panjang lebar tentang ekspektasinya serta informalitas yang ada di tempat tersebut. Mungkin karena Norwegian born half-Korean, makanya doi tahu betul soal regulasi serta bagaimana menumbuhkan budaya kerja ala orang Norwegia, meskipun restorannya sendiri menyajikan makanan Asia.

Karena saya dan si pemilik restoran sama-sama punya feel positif, lagi-lagi saya diberi kesempatan untuk uji coba (prøvevakt) selama 6 jam. Prosesnya cukup lambat memang, karena sama-sama sibuk,shift untuk uji coba baru diberikan 2 minggu kemudian. Yang pasti, saya merasa restoran ini bisa jadi tempat kerja saya berikutnya karena lebih terorganisir, profesional, dan adil ketimbang restoran India sebelumnya. Saya juga merasa makanan Korea lebih cocok di lidah dibandingkan kare-karean ala India yang lebih heavy.

Hingga akhirnya, tibalah hari uji coba yang membuat pemikiran saya berbalik 180 derajat! Dari yang tadinya sangat positif dengan restoran ini, saya merasa ada big turn off baik dari saya dan si pemilik! Di hari pertama uji coba, saya sudah banyak melakukan kesalahan yang dirasa bos restoran sangat fatal, contohnya, lupa menyalakan lilin yang sebelumnya sudah diperintahkan, memberikan bill ke meja yang salah, tak mengabari dapur kalau main course harusnya sudah tiba, datang terlambat 5 menit (padahal saya sudah mengetuk pintu restoran 10 menit lebih awal, tapi karena tak ada orang di dalam, saya membunuh waktu dengan sengaja datang terlambat), serta perkara lainnya.

Saya juga tak suka dengan budaya makan bagi para pelayan di sini. Makan hanya bisa dilakukan secara berdiri di dekat kasir, lalu harus siap berhenti saat pelanggan datang. Diberi makan jam 7 malam, saya baru menghabiskannya dua jam kemudian! Tak ada jeda meski hanya 10 menit untuk duduk dan makan dengan cara yang lebih wajar. Pemiliknya juga tak santai, perfeksionis, dan penuh ekspektasi. Dalam waktu 6 jam, doi ingin saya bisa melakukan dan mengingat banyak hal, yang mana menurut saya mustahil. Tapi karena cukup pengertian, si pemilik ini masih mau memberikan saya kesempatan kedua di uji coba berikutnya.

Mungkin karena memang sudah tak sreg bekerja di sini dari hari pertama dan belum rejeki juga, hari kedua prøvevakt, saya tak sengaja malah datang terlambat 10 menit karena kelewatan halte. Betul saja, tanpa babibu, saat itu juga saya langsung diusir dari restoran dan ditolak karena bukan orang yang tepat untuk restoran mereka. Yeah, Earth heard me!

Dari cerita di atas, bisa kah kalian menebak ujung-ujungnya saya bekerja di mana sekarang?

So, meskipun awalnya malas dengan sistem manajemen dan makanan di tempat ini, tapi saya memutuskan untuk terus bekerja di restoran India. Setidaknya untuk beberapa waktu karena saya juga sedang malas melamar banyak pekerjaan di tempat lain lagi.

Hal yang saya pelajari juga, bahwa uji coba (prøvevakt) di restoran belum tentu membuka kesempatan mu menjadi karyawan tetap mereka. Uji coba itu diberikan untuk melihat seperti apa kamu saat bekerja di sana. Cocok kah dengan budaya perusahaan, tangguh kamu saat menghadapi pelanggan yang banyak, serta seberapa taktis saat mengantarkan makanan. Bekerja di tempat yang dikelola orang Norwegia asli akan sangat menyulitkan karena mereka menaruh ekspektasi besar di hari pertama uji coba kita di sana. No wonder, karena memang uji coba ini juga sebetulnya dibayar.

Hati-hati juga dengan komentar positif dari restoran yang dikelola orang Norwegia karena bisa jadi itu hanya omong kosong! Because in the end, you are not hired anyway!Berbeda halnya dengan restoran yang dikelola non-Norwegian, sistem rekruitmen biasanya lebih santai. Uji coba tak dibayar, namun yang saya dengar, pemiliknya lebih mudah diajak negosiasi ketimbang orang asli Norwegia. Bad side lainnya, mereka selalu berusaha lari dari regulasi resmi sehingga bisa jadi kamu merasa treatment-nya kurang adil.

Tapi akhirnya saya berpikir, kerja itu tak melulu soal gaji karena atmosfir kerja dan kolega yang baik juga sangat mendukung kinerja. Satu lagi, meskipun kalian kira kerja jadi pelayan itu pekerjaan biasa dan mudah, tapi coba saja kirim lamaran di beberapa tempat. I am pretty sure, you'd not get one spoteven for a trialeasily! Seperti yang saya katakan di kalimat pembuka, selain saingannya banyak, pengalaman juga penting, apalagi di restoran yang sudah lama beroperasi. In the end, luck dan koneksi juga berperan sangat penting di Norwegia.

Tak hanya sampai di sana, karena tujuan saya juga ingin cari koneksi yang luas secara profesional, saya langsung menerima tawaran kerja dari organisasi pelajar-slash-startup di atas. Selain karena tujuan organisasi tersebut cocok dengan program studi yang saya ambil, adanya jenjang karir yang lebih luas serta kantor yang hanya selemparan batu dari kampus, membuat saya tak punya alasan untuk menolak tawaran mereka.

And yepp, perhaps you got it right, saya kuliah plus kerja di dua tempat berbeda sekarang! Bagaimana cara saya mengatur waktunya? Tunggu cerita di postingan selanjutnya!