Showing posts with label Cerita di Swedia. Show all posts
Showing posts with label Cerita di Swedia. Show all posts

Friday, July 10, 2020

Tips Hangatnya Malmø dan Cowok Swedia|Fashion Style

Saya memang tidak banyak cerita soal kencan-kencan singkat saya di Eropa . Tapi entah kenapa proses ketemuan sekali ini sedikit lucu, malu (walaupun saya cukup tidak tahu malu), dan berbeda dari kencan sebelum-sebelumnya.

Martin adalah cowok Swedia pertama yang saya temui baru-baru ini. Karena sudah kenal sejak 4 bulan yang lalu dan hanya bicara lewat WhatsApp, saya paksa saja dia ketemuan karena sudah capek mesti berkomunikasi via teks terus-terusan. Kami berkenalan dari salah satu online dating yang lagi dan masih hip di Eropa——you know it, Tinder! Tapi karena sudah mengobrol terlalu lama dan panjang, jadinya kita lebih mirip seperti teman baru. Meski titelnya tetap "kencan pertama", tapi saya katakan ke Martin kalau anggap saja ketemuan kali ini lebih seperti reunian. Walaupun sedikit aneh reunian dengan orang yang belum pernah ketemu sebelumnya, akhirnya Martin setuju-setuju saja.

Setelah mengatur waktu ketemuan yang cukup sulit, kita akhirnya sepakat ketemuan di Malmø. Sebenarnya Martin tinggal di Helsingborg dan saya sendiri lebih dekat ke Kopenhagen. Tapi agar sama-sama adil, kami mencari alternatif kota lain di luar Helsingborg maupun Kopenhagen.

Karena sudah sering berkiriman foto dan suara, bayangan wajah Martin rasanya begitu hapal di ingatan saya. Muka dan gaya cueknya mirip Kristoff yang ada di film Frozen. Saya juga sebenarnya tipe manusia visual yang cepat sekali mengenali seseorang dengan hanya melihat fotonya beberapa kali. Soal mirip atau tidaknya dengan foto, tetap saja visualisasi saya selalu tepat.

Hari itu adalah kunjungan pertama saya ke Malmø. Kereta saya tiba lebih cepat dari keretanya Martin. Berbeda dengan kencan sebelumnya, kali ini justru saya yang datang lebih cepat, padahal biasanya selalu datang telat.

Cuaca sangat bagus di Malmø. Matahari bersinar terik walaupun angin masih cukup dingin berhembus. Saya duduk di taman menunggu Martin datang. Hanya ada satu bangku panjang kosong di taman saat itu. Walaupun belum libur, tapi karena saat itu sudah Jumat sore, sepertinya memang banyak orang yang ingin menikmati hangatnya cuaca di luar. Sambil menunggu, saya hanya melihat sekeliling sekalian sesekali melirik ponsel.

"Dua puluh menit lagi," kata Martin di WhatsApp terakhir kali.

Lima menit berselang, saya melihat seorang cowok keren dan ganteng dari sisi kanan berjalan ke arah saya membawa bunga. Mukanya memang kurang jelas karena dihiasi kacamata hitam, tapi aura kemisteriusan dan hangat cukup tertangkap lewat senyum kecilnya. Sedikit aneh memang karena harusnya Martin datang dari stasiun yang ada di sisi depan saya.

"Woooooow," kata saya saat itu dengan pedenya.

Apa itu bener Martin? Kenapa dia bawa bunga segala? Gila, ini pertama kalinya seorang cowok membawa bunga di kencan pertama! Tapi tunggu, kenapa gayanya keren sekali?

"Why are you coming from there?", tanya saya cuek dan penasaran ketika cowok itu mulai mendekat ke bangku.

Si cowok keren ini melepaskan earphone, "hah? sorry?"

Entah kenapa perasaan saya sedikit bingung saat itu. "No. No. Sorry," kata saya masih cengengesan.

"Ah, no. It's okay," katanya sambil meletakkan bunga dan duduk di samping saya.

Oh well, ini bukan bahan candaan. Kenapa juga Martin pura-pura tidak kenal? Apa ini bagian dari taktik dia? Iya, si Martin kan memang lucu dan suka bercanda di WhatsApp. Tapi...

Saya melirik cowok keren ini dan memperhatikan gayanya. Sadar kalau sedang diperhatikan, dia ikut melirik saya, "sorry?"

"No. Sorry," kata saya sambil menggeleng dan tetap nyengir kuda.

Pikiran saya jadi campur aduk. Sekali lagi saya perhatikan gaya cowok yang duduk di samping ini. Gayanya memang sungguh keren dan bukan Martin sekali! Oke, saya memang belum pernah ketemu Martin. Tapi iya, terakhir kali saat membahas soal gaya cowok-cowok Swedia yang modis, Martin sedikit tidak setuju dengan pernyataan saya. Menurutnya, cowok-cowok Swedia tidak semuanya keren. Untuk dia sendiri, setelan macam jeans dan hoodie adalah favoritnya.

Sekali lagi saya perhatikan si cowok. Karena rambutnya tertutup topi, saya tidak bisa tahu apa dia benar pakai poni seperti yang ada di foto. Cowok ini rambutnya sedikit pendek, tapi bisa jadi Martin potong rambut dulu kan sebelum ketemu saya? Cowok ini juga sedikit berjenggot tipis dan lebih maskulin, si Martin kan lebih ke muka abege.

Saya berhenti melirik dan pura-pura memandang sekeliling taman. Entah kenapa saya masih berharap kalau cowok ini Martin. Tapi kalaupun memang dia, saya juga kesal dengan sikapnya yang masa bodoh. Kami hanya berdiam diri duduk di taman hingga lima menit kemudian saya mengecek pesan baru dari.....MARTIN SEBENARNYA! O-ooww!

"Where are you now? Are you going to the North or South? I'm out to the South now," kata Martin di WhatsApp.

Karena tidak tahu malu dan demi memecahkan keheningan, akhirnya saya menegur cowok keren yang masih autis dengan musiknya ini.

"Excuse me," kata saya.

Si cowok melepaskan earphone-nya."

"...do you know whether this place is South or North of the station?"

"To be honest, I'm not living in Malmö. I'm living in Stockholm, but I think this is the North," katanya dengan selipan aksen Swedia yang lembut.

"Ah, okay. Thank you," kata saya dengan muka kaku.

"I'm pretty sure it is," tambahnya lagi.

"Anyway, I'm so sorry, you're really really really like my friend. That's why I'm a bit confused why did you come from that side. You supposed to come from that station."

"Oh, it's totally fine. It could be happen sometimes. I'm (insert: namanya) anyway," katanya sambil mengulurkan tangan.

Saya menjabat tangan si cowok keren ini, "Nin."

Sejujurnya saya tidak terlalu mendengar namanya karena terlalu dibawa perasaan terpesona. Lebay memang! Tapi serius, ini pertama kalinya cowok Skandinavia yang terkenal super dingin menyapa dan berkenalan duluan dengan stranger. Di Denmark sendiri, orang-orang hanya sibuk menatap ponsel mereka dan terlalu tenggelam dalam keheningan. Saya kira percakapan akan berakhir ketika saya berterimakasih, namun ternyata cowok ini sangat bersahabat dan hangat ingin melajutkan obrolan. Persis dengan suasana Malmø hari itu.

"So, you're living in Stockholm?" tanya saya setelah dia menanyakan tujuan saya datang ke Malmø.

"No. Actually, I'm living a bit north of Stockholm. But I'm studying in Stockholm now."

"Oh, what are you studying then?"

Akhirnya kami sedikit bercerita tentang kuliah dan pekerjaan. Cowok umur 27 tahun ini baru mulai mengambil kuliah S1-nya di jurusan Teknik Komputer karena terlalu asik bekerja dan mengumpulkan uang. Dia juga sempat cerita soal temannya yang terpaksa jadi dokter gara-gara salah jurusan seperti saya. Sepuluh menit yang cukup seru memang, hingga dia harus mengangkat telepon dari seseorang.

Setelah menutup telepon, si cowok beranjak dan mengambil bouquet bunganya. "Well, it's really nice having a talk with you. I hope you find your friend soon. Have a nice day. Bye bye."

"Thank you. You too. Hej hej!"

Saya memerhatikan cowok ini sekali lagi dari belakang. Dia membopong tas besar yang sepertinya baru habis berolahraga. Lucu memang ketika menganggap dia Martin. Mana mungkin Martin membawa tas besar saat kencan—ya, reunian. Sempat terbesit di benak untuk apa dia menunggu di taman, hingga akhirnya saya tahu, dia datang menemui pacarnya. Mereka bertemu tepat di tengah taman dan berciuman. Ahh!

Setelah harus dibuat berputar dari bagian selatan stasiun ke bagian utara, tempat saya berada, akhirnya saya bertemu juga dengan Martin. Tebakan kali ini memang tepat! Seorang cowok jangkung, memakai hoodie, dengan muka dan gaya seperti Kristoff, yang dari kejauhan memanglah Martin. Well, sebenarnya beruntung juga si cowok keren tadi pergi duluan. Saya mungkin akan sedikit bodoh kalau saja mereka benar bertemu karena sebenarnya muka Martin dan cowok itu benar-benar tidak mirip!

"If you know Swedes typically, we're actually careless and cold as other Scandinavian peeps. When we talk to our friends, we're handling our phones together. You could see in queue or in the supermarket where people really don't care about what happens around them. Obviously I can see they have their own paths and it's like "this is my own world",jawab Martin ketika saya tanya bagaimana kehidupan sosial di negaranya.

"Tapi kenapa cowok tadi dan kamu berbeda?"

"Karena mungkin kami tidak termasuk tipikal orang Swedia. Oh, mungkin bisa saja karena kami lebih senang bicara dengan orang-orang internasional. After all, we are Swedes though."

Tentang Martin:

Persis dengan cowok keren yang saya temui sebelumnya, walaupun tidak sekeren dia, tapi Martin sama hangat dan humble-nya. I think I'm falling for Swedes admittedly!

Thursday, July 9, 2020

Tips STOCKHOLM: Kota Trendi, Gudangnya Cowok Cewek nan Modis|Fashion Style

Saya memang sudah jatuh cinta dengan Stockholm sejak tinggal di Indonesia. Salah satu MLM kosmetik, si O, yang memang asalnya dari Swedia sering sekali membuat para anggota MLM bergiat-giat ria menuntaskan isi tabungan agar dapat poin. Kumpulan poin dan jaringan anggota pun diyakini memang bisa membawa beberapa orang berkunjung ke Stockholm. Saya? Hah, hanya anak muda pemakai kosmetik yang jauh dari kata sukses di MLM. Stockholm rasanya begitu jauh dari Indonesia. Tapi entah kenapa walaupun jauh, saya yakin saja suatu kali bisa kesini. Benar saja,finally here I am now, in Stockholm, tanpa embel-embel MLM.

Kunjungan pertama saya ke Stockholm kali ini sebenarnya bukan dalam rangka sengaja jalan-jalan atau weekend getaway. Yang pertama, saya hanya ingin kesini demi menuntaskan rasa penasaran. Yang kedua, karena seorang teman memang tinggal di Swedia, kebetulan pula hari ulang tahun saya saat weekend, jadinya saya datang hanya ingin merayakan ulang tahun bersama dia. Sayangnya, si teman ini malah harus bekerja tepat di hari itu. Duh!

Sebelum ke Stockholm, beberapa orang teman di Denmark mengatakan kalau sebenarnya Kopenhagen dan Stockholm sama saja. Sama-sama ibukota, sama-sama di Skandinavia, sama-sama dingin, sama-sama banyak bule rambut pirangnya, dan berbagai "sama-sama" lainnya. Mereka sendiri lebih menyukai Kopenhagen ketimbang Stockholm. Kecuali satu orang teman asal Rusia, Albina, yang memang sempat tinggal dan bersekolah di Swedia. Dibandingkan Kopenhagen, Albina merasa Stockholm jauh lebih hidup dan berwarna. Dari Albina inilah, saya dikenalkan ke Lidiya, salah seorang teman sekolahnya dulu yang sekarang tinggal di Stockholm. Lidiya juga yang akhirnya jadi pemandu wisata dan teman jalan di hari ulang tahun saya.

Sebagai seorang teman baru, Lidiya termasuk yang super sabar dan sangat niat menemani jalan-jalan. Walaupun beberapa kali sering terlihat sibuk dengan ponselnya, ternyata Lidiya sedang mengecek beberapa tempat-tempat seru yang sekiranya bisa didatangi. Sebelum kedatangan saya pun, tanpa diminta, dia sudah memesan tempat makan malam di tiga restoran berbeda yang ada di Stockholm. Speechless!

Karena niatnya hanya birthday getaway, saya memang minta ke Lidiya untuk diantarkan ke tempat-tempat utama yang banyak orang lokalnya saja. Coret dulu daftar ke museum dan hingar-bingar turis. Selain ingin menikmati hari ulang tahun sehari penuh, saya juga sengaja live the moment alias tidak pegang ponsel sama sekali. Tapi karena ingin cerita ini dipublikasi ke blog, akhirnya harus juga memotret pemandangan sekali dua kali.

Beginilah agenda random saya dan Lidiya di Stockholm dalam rangka birthday getaway yang jauh dari kata kue dan lilin:

Jalan kaki dari Vasastan sampai S?Dermalm

Karena hapal jalan dan memang suka jogging, saya dibawa Lidiya mengitari distrik Vasastan, Gamla Stan, hingga Södermalm yang terkenal sebagai area hipster di Stockholm. Jalanan di Stockholm memang benar-benar berbeda dengan yang ada di Kopenhagen. Di Stockholm, selain tidak terlalu bicycle friendly,kebanyakan jalanan tidak datar alias sering naik turun tebing. Hal ini tentu saja cukup menyulitkan bagi saya karena harus menyesuaikan ritme jalan kaki Lidiya yang cepat.

Dari Södermalm, Lidiya mengantarkan saya menaiki sebuah bukit agar dapat menikmati pemandangan Stockholm dari ketinggian. Saya bingung kenapa teman-teman di Denmark mengatakan Kopenhagen dan Stockholm sama saja. They're totally different! Stockholm memang benar-benar keren dan berbeda dari sisi geografisnya. Pemandangan segar dengan pulau-pulau yang dipisahkan oleh air, tentu saja tidak akan pernah saya temui di kota mini seperti Kopenhagen.

Naik kapal bus dan bersepeda di Djurg?Rden

Seriusan, saya benar-benar jatuh cinta dengan Djurg?Rden setibanya kami disini. Lidiya juga menawarkan untuk mengelilingi sekitar pulau dengan sepeda sekalian menuju kafe favoritnya untuk makan siang. Djurg?Rden memang sangat berbeda dengan distrik lain yang sudah saya kunjungi. Pulau ini memang benar-benar teduh, hijau, dan jauh dari turis. Acara bersepeda pun lebih santai karena sepanjang jalan melihat pepohonan hijau dan trem tua yang lewat pun jadi penghias lengkap pulau ini.

Tempat makan siang yang dipilih Lidiya juga sungguh keren dan hanya didatangi oleh orang-orang lokal. Nama kafenya Café Ektorpet, yang letaknya dekat dengan pelabuhan dan dikelilingi pepohonan hijau. Duduk di luar sambil menikmati open sandwich dan kannelbulle-nya Swedia, ditambah lagi dikelilingi pemandangan yang pas, I just don't know what to say. Superb!

Skip Skansen, saatnya memacu adrenalin di Tivoli Grona Lund

Dari kapal bus menuju Djurg?Rden pun, sebenarnya para penumpang kapal sudah mendengar teriakan-teriakan histeris dari taman bermain Tivoli Grand Lund. Meskipun di Kopenhagen juga ada Tivoli yang sama-sama memiliki wahana permainan pemacu adrenalin, tapi pemandangan vicinity sekitar Grona Lund di Stockholm ini berbeda. Tivoli Grona Lund juga letaknya masih di Djurg?Rden, bersamaan dengan museum ABBA dan Skansen. Karena sudah melihat sisi lain viking zaman dulu di Denmark, saya putuskan untuk melewatkan Skansen.

Selesai makan siang, saya akhirnya diyakinkan Lidiya untuk masuk dan mencoba wahana permainan gila yang ada di Grona Lund. Naik wahana-wahana ini memang antara keren dan gila! Keren karena saya bisa melihat daerah perairan Stockholm dan pulau-pulaunya dari ketinggian, gila karena belum sempat menikmati pemandangan tersebut, badan saya sudah dilempar dan diayunkan kesana-kemari.

Makan malam dan fancy bars

Setelah kelelahan jalan kaki, saya berisitirahat sebentar di apartemennya Lidiya dan pacarnya, Mattias, yang saat saya temui baru selesai jogging. Apartemen Lidiya dan Mattias memang cukup homey dan sangat musikal. Mattias ternyata memang berbakat memainkan banyak alat musik petik, salah satu yang menyita perhatian saya adalah double bass yang berdiri kokoh di sudut ruangan.

Setelah pasangan ini selesai dress up, kami menuju restoran Lobster and Burger tak jauh dari apartemen mereka. Nyatanya, saat itu kami makan malam bukan di tempat yang sudah Lidiya pesan. Lobster and Burger memang tidak murah, pilihan makanannya pun hanya burger atau lobster. Tapi karena saya memang penyuka seafood dan rindu makan lobster, akhirnya saya sendiri yang memilih tempat ini ketika melewati apartemen mereka. Lidiya dan Mattias sendiri oke-oke saja dengan dua pilihan makanan itu.

Selanjutnya adalah merayakan satu jam terakhir hari ulang tahun saya. Karena tempat live music dan banyak kafe sudah tutup, akhirnya saya diajak menuju dua bar cocktail favorit Lidiya yang masih berada di area centrum Stockholm. Walaupun malam itu cukup dingin, tapi suasana ready to party para Stockholmer begitu terasa. Saya sendiri beruntung diajak pasangan ini ke tempat favorit mereka. Tempatnya terkesan mewah dan cukup formal. Saya hampir saja salah kostum tanpa blazer hitam yang digunakan malam itu.

I might not say Paris, but Stockholm

Satu hal yang paling menarik perhatian saya tentang Stockholm adalah gaya berpakaian para Stockholmer yang nyaris seragam tapi sungguh stylish. Tidak dipungkiri, menurut banyak artikel yang pernah saya baca, Swedia menempati posisi pertama di Eropa sebagai negara dengan penduduk terganteng dan tercantik. Bahkan sempat ada pertanyaan, why Swedes are so good looking? Iya, saya juga bertanya-tanya kenapa. Karena tinggi yang semampai, rambut pirang, mata biru, dan sambutan mereka yang hangatkah?

Dibandingkan Paris yang memang kota mode dunia, saya merasa jalanan di Stockholm lebih mirip panggung runaway di kehidupan nyata. Mobil-mobil mewah dengan gas kencangnya, trench coat, everything black, crisp shirt, khakis, rambut yang disisir rapih, dan sepatu pantofel.

Saya memang bukan penggila fesyen dan tren, namun memerhatikan gaya para kaum adam saat itu, membuat saya mengerti mengapa banyak yang mengatakan Swedia itu seperti pusatnya kaum homosexual dan cowok-cowok metroseksual. Cowok-cowok di Stockholm gayanya memang sama, tapi sungguh modis luar biasa. Gaya yang saya lihat sungguh Eropa sekali dengan tingkat formalitas di atas rata-rata. Rambut mereka selalu terlihat rapih dengan sepatu pantofel cokelat yang dipadankan dengan jenis gaya apapun. Sewaktu mampir ke apartemen Lidiya, saya jadi ikut melihat koleksi sepatu-sepatu Mattias yang ternyata nyaris 80 persennya model pantofel.

Di Kopenhagen, saya baru melihat dandanan cowok semacam itu kalau mereka sengaja ingin berpesta di akhir pekan. Di Stockholm, saya sering melihat seorang bapak muda mendorong troli anaknya di jalanan dengan gaya yang seperti ingin berangkat kerja. Istrinya? Duh, sama-sama modisnya. Walaupun masuk sebagai kota mode di dunia, tapi saya merasa gaya para Stockholmer seperti tidak dipaksakan. Mereka seperti memang sudah diajarkan untuk tampil rapih dan keren dari lahir. Salut!