Minggu lalu seorang teman au pair cerita ke saya tentang teman-teman Indonesianya yang super nosy. Intinya mereka iri karena si teman saya ini punya pacar bule, bisa ke Eropa karena program au pair, dan Instagramnya dipenuhi foto-foto keren di banyak negara. Pokoknya tipe-tipe sohib bermuka dua yang iri saat temannya sukses lebih dulu.
Kalau ingat cerita si teman au pair ini, saya jadi bersyukur karena teman-teman saya di Palembang tidak ada satu pun yang nosy begitu. Mereka rata-rata sudah menikah tak lama dari lulus kuliah dan fokus dengan kehidupan sendiri-sendiri. Pun yang belum menikah, kebanyakan sudah punya pacar. Apa yang mesti dicemburui dari saya yang bisa berkencan dengan cowok bule , misalnya?
Ngomong-ngomong soal bule, saya sama sekali tidak pernah merasa lucky juga bisa berkencan dengan para cowok kulit putih ini. I have no option, but I have a chance. That's all!
Kalau mau bicara tipe—tsaahh—saya sebetulnya masih suka dengan cowok bermuka oriental. Saya lahir di tahun 90-an saat era Jimmy Lin, Aaron Kwok, atau Andy Lau lagi hits. Ya ala-ala cowok berambut halus berbelah tengah dan bermuka kyut yang selalu menghiasi layar kaca dari siang sampai malam.
Karena juga tinggal di kawasan pecinan, saya merasa selalu diikuti bayang-bayang para artis tersebut. Ke tukang salon, ada poster Jimmy Lin. Ke pasar, di dindingnya ada gambar Andy Lau. Lewat depan rumah Om Apeng, lagunya siapa entahlah berbahasa Mandarin selalu dipasang.
Masuk tahun 2000-an, Meteor Garden tiba-tibabooming dan semua cewek sepertinya mengidolakan F4. Tak terkecuali saya dan teman-teman SD yang mulai genit. Idola saya saat itu si Koko Hua Zhe Lei yang pendiam dan misterius. Muka-muka F4 pun ada dimana-mana saking terkenalnya. Ke rumah sepupu, poster Jerry Yan sebesar pintu kamar terpajang. Ke sekolah, tukang jualan belakang SD semarak berjualan pernak-pernik F4. Ke toko, lagu-lagu Meteor Garden dan F4 berulang kali diputar. Duh!
Saat SMP, technology-generation manga dan dorama Jepang mulai mengimbangi drama Taiwan. Saya pun ikut membayangkan cowok-cowok ganteng di dalam komik yang mukanya hanya hitam putih. Tak lama kemudian, muncul juga Takashi Kashiwabara dan Hideaki Takizawa yang memberikan ide betapa kyutnya para cowok Jepang di dunia nyata.
Tahun 2005, teman-teman SMA saya mulai seru membahas drama Korea dengan aktor-aktor bermata sipit berwujud pangeran. Sebut saja Rain, Jae Hee, Ju Ji-hoon atau yang terakhir kali Super Junior. Setelah masuk kuliah, saya mulai meninggalkan para pangeran karena demam Korea mewabah dan sudah terlalu mainstream. Saya sampai bosan sendiri mendengar K-Pop dimana-mana. Plus, selera cewek-cewek Indonesia mulai tidak realistis berkiblat ke para cowok kaya, romantis, dan nan tampan yang ada di drama Korea.
Tidak ada nama Westlife, Zac Efron, Justin Timberlake, apalagi Justin Bieber yang pernah saya kagumi. Nope. No white guys. Bahkan saat zamannya telenovela Amigos x siempre (2000), saya absen mengidolakan si Pedro a.k.a Martin Ricca yang sering jadi imajinasi teman-teman sebaya saya.
Jujur saja, tipe cowok saya dulu memang mengikuti tren para aktor Asia yang saling berganti masa menghiasi tv. Kalau mau dirunut pun, gebetan dan mantan pacar saya juga mukanya rata-rata oriental dengan karakter misterius.
Lalu kenapa sekarang gebetannya bule semua?
Lha, karena saya tinggal di Eropa! Kanan kiri warnanya putih, bermata biru, berambut kuning. Ingin cari yang mukanya oriental, di Skandinavia ini kok susah ya? Apalagi yang mukanya totok Indonesia. Sekalinya ada, kalau bukan bapak orang, ya suami orang. Kalaupun ada yang sepantaran, sudah punya pacar atau tidak cocok saja.
Jadi kalau kamu tanya kenapa rata-rata au pair Indonesia di Eropa bisa punya pacar bule , sebetulnya hanya karena mereka punya kesempatan bertemu. Bisa tahu juga mana yang benaran tampan dan mana yang biasa saja. Tak seperti di Indonesia yang semua bule dipukul rata ganteng semua. Si bule itu pun harusnya lucky bisa mendapatkan cewek Indonesia yang pinter masak, independent, jenaka, dan soft-spoken!
Saya tidak punya pilihan kalau mau bicara tipe. Meskipun, kadang rindu juga cowok-cowok Asia yangmanner-nya masih sama dengan Indonesia. Kencan terbaik saya di Eropa pun sebetulnya bersama cowok Korea-Amerika yang saat itu sedangbusiness trip di Kopenhagen. Dari humor sampai basa-basi super nyambung.
Ya kembali lagi, terserah kamu inginnya punya pacar asli Indonesia, Korea, Uzbekistan, Swedia, atau Kanada. Hanya saja, don't worship white guys that much! They're not exclusive at all. Mereka juga banyak yang miskin, kampungan, bodoh, bau badan, dan sombong. Tinggalkan juga kesan negatif kalau yang pacaran dengan bule hanya melihat visa dan harta. Some do. But most of them are just falling in love!