Showing posts with label kuliah di Norway. Show all posts
Showing posts with label kuliah di Norway. Show all posts

Wednesday, May 20, 2020

Tips Daftar Kuliah di Kampus Oslo|Fashion Style

Setelah akhirnya mantap memiliki beberapa alasan untuk lanjut kuliah di Norwegia , saya mulai mengajukan aplikasi untuk mendaftar ke kampus disini. Karena berencana menghabiskan kontrak au pair sekalian kuliah, saya hanya bisa mendaftar ke kampus yang ada di Oslo saja. Tapi karena jadwal deadline-nya masih panjang, saya juga iseng-iseng mendaftar ke University of Bergen (UiB) di Bergen.

Di Oslo sebetulnya tidak banyak tempat yang bisa dipilih mengacu ke pendidikan terakhir saya di Indonesia. Saya kemarin mengambil software studi fisika di bawah naungan Fakultas Pendidikan. Cukup bingung juga, karena application saya ini di tengah-tengah ilmu sosial dan ilmu eksak. Di Norwegia, fakultas pendidikan masuk ke ilmu sosial. Sementara di program studi saya kemarin, lebih dari 50 persen silabusnya belajar tentang fisika murni seperti Fisika Kuantum, Kalkulus, Optik, dan lainnya.

Sejujurnya, saya sudah tidak berminat mengambil kuliah yang fokus ke fisika murni. Kalau pun mesti belajar ilmu baru, saya malah ingin sekali mengambil jurusan desain. Sayangnya, pendidikan Strata 1 saya sangat jauh dari ilmu desain dan saya tidak memiliki portofolio ataupun pengalaman bekerja di bidang ini. Ingin masuk jurusan teknik pun ilmu fisika saya dinilai belum mampu memenuhi kualifikasi karena banyak materi perkuliahan teknik yang tidak saya pelajari saat kuliah kemarin.

Tapi daripada pusing-pusing tidak jadi daftar kuliah, akhirnya saya menyerah saja dengan opsi yang ada. Lagipula daftar kuliah di Norwegia itu sangat mudah dan gratis, berbeda halnya dengan kampus-kampus di negara lain yang harus membayar 75-100 Euro per aplikasi. Jadi coba saja mendaftar karenawon't hurt you anything.

1. Pilih tempat

Kalau ditanya kampus mana yang terbaik di Norwegia, jawabannya tidak ada. Kembali ke kita ingin kuliah jurusan apa dan fokusnya kemana. Contohnya Norwegian University of Science and Technology (NTNU) di Trodheim yang diperuntukkan bagi mahasiswa yang ingin mendalami ilmu teknik secara praktek, University of Svalbard (UNIS) di utara Norwegia bagi yang tertarik belajar atau mengadakan riset tentang Kutub Utara, atau ada juga S?Mi University of Applied Science (UArctic) di Kautokeino kalau kamu ingin belajar tentang budaya dan bahasa S?Mi. Jadi sebetulnya kampus-kampus di Norwegia ini dibuat memang berdasarkan spesialisasi berdasarkan minat dan bakat.

Di Oslo sendiri ada universitas terbesar dan tertua di Norwegia, University of Oslo, yang lebih mengacu ke ilmu sosial dan humaniora. Ada juga BI Norwegian Business School untuk ilmu Ekonomi, Norwegian School of Veterinary Science yang berminat jadi dokter hewan, Norwegian Academy of Music, Oslo Metropolitan University, Norwegian School of Theology, Religion, and Society (MF), dan masih banyak yang lainnya.

Berkaca dari pendidikan terakhir, hanya ada dua tempat di Oslo yang memungkinkan bagi saya, yaitu University of Oslo (UiO) dan Oslo Metropolitan University (OsloMet).

2. Perhatikan tenggat waktu

Kampus di Norwegia memiliki deadline aplikasi yang tidak sama setiap tempatnya. Setelah memilih kampus mana yang dituju, ada baiknya langsung mengecek batas akhir pendaftaran bagi mahasiswa internasional. Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa asing yang diterima untuk mengajukan visa dan student housing sebelum datang ke Norwegia.

Di beberapa kampus lain, contohnya UiO atau UiB, membagi pendaftar menjadi 3 kategori yang masing-masing berbeda batas waktu pendaftarannya. Untuk mahasiswa internasional deadline-nya di bulan Desember atau Januari, mahasiswa EU dan Swiss awal Maret, dan mahasiswa Nordik atau penduduk Norwegia di pertengahan April. Karena saya tinggal di Norwegia dan memegang residence permit yang berlaku, maka saya masuk ke grup ketiga bersama warga negara Nordik lainnya. Pendaftaran dibuka awal Februari dan ditutup pertengahan April. Kesempatan ini tentu saja saya manfaatkan untuk tes IELTS dulu sekalian memperbaiki nilai.

Sementara di OsloMet, pendaftar asing baik yang tinggal di/ataupun luar Norwegia memiliki waktu pembukaan dan penutupan pendaftaran yang sama, yaitu Desember.

3. Cek kemampuan bahasa

Kebanyakan kampus biasanya menargetkan skor total minimum 6.5 untuk IELTS, 90 untuk TOEFL iBT, dan sixty two untuk PTE Academic. Namun application studi tertentu memerlukan skor lebih tinggi sebagai syarat administrasi, seperti Literatur Inggris atau Media dan Komunikasi. University of Bergen menetapkan overall skor IELTS minimal 6.5 namun tidak kurang dari 6.0 di setiap bagiannya. Jadi sebelum yakin mendaftar, harap perhatikan juga minimal skor seperti apa yang kampus tersebut minta.

Di UiO, skor general minimal untuk IELTS adalah 6.Five. Sementara di OsloMet skor total minimumnya 6.0. Karena masih punya sertifikat IELTS dari dua tahun lalu yang memang nilainya hanya 6.Zero, saya gunakan untuk mendaftar kesana.

Four. Pilih jurusan

Karena pilihan kampusnya hanya dua, saya pun berusaha mencocokkan saja software studi mana yang ingin diambil dan cocok dengan minat serta bakat. Pilihan program studi Master di OsloMet sedikit sekali dan yang paling relevan adalah bidang Education Development-nya. Sayangnya, software ini lebih menitikberatkan kepada pendidikan di negara berkembang di Eropa Selatan. Agak jomplang memang karena programnya lebih ke ilmu sosial, hubungan internasional, dan humaniora.

Saya juga sempat menanyakan ke bagian administrasi kampus apakah program studi saya yang kemarin cocok dengan Education Development ini. Seperti yang saya bilang di awal, karena S1 saya berada di tengah-tengah ilmu sosial dan eksak, maka si admin kampus menegaskan kalau jurusan saya tidak relevan karena fisika lebih condong ke ilmu eksak.

Tertarik juga dengan Teknik Arsitektur-nya, saya iseng-iseng lagi bertanya apakah ilmu fisika saya memenuhi kualifikasi di program ini. Lalu tentu saja ditolak kembali. Alasannya karena ilmu fisika saya bukan ilmu Fisika Teknik. Blah!

Tapi daripada tidak mendaftar sama sekali, saya masukkan saja aplikasi ke dua spesialisasi di bidang Education Development karena application studi inilah yang paling mendekati.

Untungnya pilihan software studi di UiO lebih banyak dan bervariasi, serta cocok dengan minat. Saya baca dengan sangat teliti hampir semua persyaratan administrasi di banyak program studi, lalu akhirnya mantap dengan 1 pilihan di bidang Entrepreneurship dan 2 pilihan di Ilmu Pendidikan.

Di Norwegia juga tidak semua application studi diperuntukkan bagi mahasiswa asing. Beberapa jurusan perminyakan dan teknologi hanya dikhususkan bagi mahasiswa Nordik atau Eropa yang menguasai bahasa Norwegia saja.

Five. Persiapan dokumen

Daftar kuliah di Norwegia itu mudah sekali karena prosesnya hanya masuk ke portal universitas dan melengkapi persyaratan dokumen. Dokumen yang perlu dipersiapkan juga sangat standar misalnya scanned copy paspor, ijazah dan traskrip asli beserta terjemahannya, serta sertifikat bahasa Inggris. Yang membuat saya bersyukur lagi, hampir semua kampus di Norwegia tidak memerlukan surat rekomendasi dari atasan dan dosen, karena saya sempat di-PHP dosen pembimbing saat dimintai surat ini.

Meskipun syarat dokumennya sangat standar, namun ada beberapa tambahan dokumen yang harus diperhatikan seperti:

1. Bukti finansial

2. CV

3. Motivation letter

4. Course description

5. Portofolio

Untuk dua kampus yang saya tuju untungnya tidak ada persyaratan melampirkan bukti finansial saat pendaftaran. OsloMet baru mewajibkan mahasiswa asing untuk menyerahkan bukti finansial saat sudah diterima dan sedang proses mengajukan visa. Sementara UiO dan UiB tidak mewajibkan pendaftar asing yang tinggal di Norwegia melengkapi lampiran tersebut sebagai syarat pendaftaran. Baguslah, karena sejujurnya tabungan saya belum cukup memenuhi 116.369 NOK yang diwajibkan untuk mendapatkan study permit.

Lalu untuk kelengkapan CV dan motivation letter hanya diwajibkan di beberapa program saja, terutama di program studi yang ingin saya ambil. Karena penerimaan mahasiswa menggunakan sistem ranking, penilaian terhadap motivation letter bisa dijadikan nilai tambah jika jumlah pendaftar melebihi kuota.

Untuk tambahan dokumen poin ke-four inilah yang membuat saya cukup kewalahan. Saya tadinya ingin coba-coba mengambil application Materials Science di UiO yang salah satu syaratnya adalah menyertakan silabus pembelajaran fisika saat S1. Tim komite penerimaan mahasiswa tidak bisa menilai sistem kredit dan perkuliahan mahasiswa asing hanya dengan melihat transkrip saja. Makanya silabus pembelajaran dari kuliah terdahulu harus disertakan untuk melihat apakah mata kuliah yang sudah saya ambil berkualifikasi.

Saya mencari silabus khusus Fisika di kampus saya kemarin dan yang tersedia tentu saja hanya bahasa Indonesia. Satu mata kuliah bisa sampai 4 lembar penjabaran silabusnya. Sementara mata kuliah fisika sendiri lebih dari 20 macam. Artinya mau tidak mau saya harus menerjemahkan semua isi materi tersebut ke dalam bahasa Inggris yang jumlahnya bisa lebih dari 80 lembar! Aduh, skip!

Selesai! Pengumuman diterima atau tidaknya harus menunggu sampai awal Juli, sementara kuliah akan dimulai di akhir liburan musim panas. I just hope for the best!

Friday, May 15, 2020

Tips (Jadinya) Kuliah S-2 di Universitas Oslo|Fashion Style

Kalau mengikuti cerita saya saat mendaftar kuliah di Norwegia sampai pengumuman dari kampus , kalian akan tahu bahwa saya memang berniat kuliah di Oslo. Selain karena masih harus menyelesaikan kontrak au pair yang tinggal beberapa bulan lagi, saya memang lebih nyaman hidup di ibukota dengan segala akses kemudahan informasi dan transportasi.

Pun begitu, selain mendaftar di University of Oslo (UiO), saya juga mencoba memasukkan aplikasi ke Oslo Metropolitan University (OsloMet) dan University of Bergen (UiB). Iseng saja, karena toh pendaftarannya gratis juga.

Bulan Juli adalah bulan yang saya tunggu dari tahun lalu, karena bulan inilah yang akan jadi penentu nasib saya ke depannya. Harus pulang kah setelah 5 tahun au pair di Eropa, masih harus jadi au pair lagi kah (BIG NO!), ataukah ada kesempatan untuk lanjut kuliah S-2 disini? Saya juga sebetulnya sudah menyiapkan banyak rencana jika memang harus pulang. Pulang pun tak masalah karena ide bisnis di otak saya rasanya juga sudah meluap. Apalagi berulang kali saya dan adik ipar membahas soal peluang bisnis yang kemungkinan akan kami jalani kalau saya pulang ke Palembang. Intinya, apapun hasil dari kampus, saya terima.

Pengumuman hasil diumumkan paling lambat tanggal 6 Juli. Untuk UiO, saya mendapatkan email jawaban di tanggal 4 Juli sekitar pukul 5.28 sore. Lagi di Prancis, lagi santai-santai duduk di bawah pohon, tiba-tiba email dari UiO muncul. Saya deg-degan bukan main sampai emailnya tidak ingin saya buka dulu karena masih takut membaca hasilnya. Tanpa babibu, saya langsung menghubungi adik saya di Cina yang ikut nervous dengan isi email tersebut. Meskipun katanya sudah siap dengan apapun isi email tersebut, tapi tetap saja, ujung penantian ini malah membuat saya semakin gugup. Setelah diyakinkan oleh adik, beberapa menit kemudian barulah saya siap.

Baiklah, whatever kan?!

1... 2... Three...

Saya buka email-nya dan membaca cepat untuk mencari kata-kata “unfortunately”, “regret”, “rejected”, yang ternyata tidak ada! Selintas saya hanya menemukan kata “offer” disana! Sekali lagi, isi surat tersebut saya baca secara teliti dari atas.

Whoaaaa!!! Saya diterima jadi mahasiswi Master di UiO untuk program studi yang memang jadi top priority! Senangnya bukan main, tapi nervous-nya juga belum usai. Adik saya yang saya kabari ternyata ikut gemetaran dan masih belum percaya juga dengan hasilnya.

Lebay? Dramatis? Mungkin. It’s not Harvard or Stanford, is it?

Iya, memang bukan! Tapi segala penantian, keputusasaan, serta ketidakpastian dari tahun lalu akhirnya memberikan jawaban manis. FYI, satu malam sebelum pengumuman ini, saya sebetulnya juga bermimpi bahwa nama saya tertulis di program studi Entrepreneurship. Kebetulan? Entahlah, tapi ternyata mimpi saya benar-benar jadi kenyataan.

Walaupun katanya masuk kampus Eropa tidak terlalu susah asal memenuhi syarat, tapi masih ada perasaan pesimis yang selalu menghantui. Apalagi UiO adalah kampus top di Norwegia yang banyak peminatnya. Dari data statistik tahunan yang saya baca disini (bahasa Norwegia),program studi Entrepreneurship ini hampir menerima 700 aplikasi tahun kemarin. Sementara yang berkualifikasi hanya 15% saja dan slot yang tersedia kurang lebih 5% dari total aplikasi setiap tahun. Cukup beralasan kan mengapa saya sangat pesimis tak diterima disini? Lihat saja, buktinya aplikasi saya ditolak di OsloMet dan UiB!

Anyway, time has answered! Akhir tahun ini akan banyak cerita baru yang dimulai di Norwegia sebagai seorang pelajar. Meskipun saya sudah diterima kuliah di UiO, tapi justru tantangan terberat adalah saat menjalani perkuliahan dan bertahan hidup di Oslo selama 2 tahun ke depan. Be with me, because I want to tell you more! ☺️

Thursday, May 14, 2020

Tips Tentang Jurusan Kuliah dan Mengapa|Fashion Style

Selain berstatus sebagai au pair di Norwegia, saya baru saja tercatat sebagai mahasiswi S-2 di Universitas Oslo untuk program studi Entrepreneurship. Bagi yang terpikir dengan program studi ini, pasti mengira saya kuliah bisnis, padahal S-1 saya kemarin dari Fisika.

Di Universitas Oslo, Entrepreneurship justru bukan masuk Departemen Ekonomi dan Bisnis, melainkan Departemen Informatika, di bawah naungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Program studi ini unik karena menjembatani ilmu pengetahuan alam dan bisnis yang diharapkan mahasiswanya bisa berinovasi memulai dan mengembangkanstartup baru yang berhubungan dengan sains dan teknologi. Makanya tak heran kalau saingan masuk program ini cukup banyak karena pendaftar yang diterima mencakup semua lulusan sains, dari ilmu kedokteran sampai ilmu teknik.

Saya beruntung diterima di program studi ini karena memang sangat tertarik dengan kurikulum kuliahnya. Selain teori, mahasiswa juga diwajibkan untuk lebih banyak kerja kelompok sebagai nilai tambah dan mengikuti program magang di tahun kedua. Bagi saya yang suka kerja di dalam tim, berpikir ide baru, tertarik dengan teknologi, serta bosan dengan kuliah yang hanya bersifat teori, program ini seperti wadah yang memang saya cari. Apalagi sebetulnya saya memang sudah terpikir untuk membuka bisnis di Palembang, lama sebelum saya diterima masuk di kampus ini. Hanya saja, saya sadar bahwa bakat marketing saya sangatlah tidak bagus, mirip seperti ibu saya yang maju mundur kalau berdagang.

Melihat latar belakang keluarga saya, sebetulnya kami bukanlah keluarga pebisnis. Dari semua anggota keluarga, hanya saya yang sampai kuliah masuk ke jurusan IPA. Semua saudara saya mengambil jurusan Hukum dengan niat mengikuti jejak mendiang ayah sebagai praktisi hukum. Hingga akhirnya adik saya mendapatkan beasiswa ke Cina dan pindah ke jurusan Hotel Management.

Darah pedagang sebetulnya datang dari keluarga ibu. Sudah lama nenek dan kakek saya berurbanisasi ke Palembang, membeli tanah, membuka lahan untuk ditanami sayuran, lalu hasil panennya dititipkan ke warung-warung kecil. Karena ketertarikan dengan transaksi jual beli inilah, dari umur 11 tahun saya sudah “punya” warung sendiri yang dimodali orang tua. Barang dagangan pun hingga saat itu berubah-ubah dari jualan makanan, hiasan rambut kupu-kupu, stiker, isi kertas binder, kerajin tangan dari kain flanel yang saya buat sendiri, kosmetik, hingga baju bekas. Sayangnya, tak ada yang bertahan lama karena saya tak bisa promosi dan ogah-ogahan.

Kalau mau jujur, sebetulnya sampai sekarang saya masih bermimpi ingin masuk sekolah desain dan jadi desainer. Bakat seni ini lahirnya dari keluarga ayah saya. Sewaktu tinggal di Denmark, saya seperti menemukan tempat sempurna karena berada di surganya para desainer ternama. Tak banyak yang tahu kan kalau Denmark sangat terkenal dengan desain perabotnya yang berkarakteristik, minimalis, dan elegan serta arsitektur bangunannya yang keren? Coba google daftar karya Bjarke Ingels atau Finn Juhl! Dari sini, saya mulai sering datang ke Meetup para desainer, ikut kelas desain , dan terinspirasi belajar desain UX (User Experience) karena pekerjaan jadi desainer UX lagi hot di era digital ini. Banyak pengalaman dan motivasi yang saya dapatkan sampai terpikir untuk belajar UX secara otodidak. Sayangnya, saya bukan tipikal orang yang bisa belajar sendiri tanpa bantuan mentor dan teman sekelas. I'd lose the conservative atmosphere, makanya sampai sekarang belum berani bayar kursus online.

Pindah ke Norwegia, saya sadar betul bahwa tempat ini bukanlah lapak yang bagus bagi para desainer. Napas industri Norwegia masih dikendalikan secara penuh oleh minyak, gas bumi, dan perikanan. Tapi sejak tahun 2015, Norwegia perlahan ingin menumbuhkan citra baru sebagai negara maju yang melek teknologi dan inovasi dalam bisnis. Tak heran mengapa negara ini sangat optimis untuk menjadi pasarfintech terbesar sedunia beberapa tahun ke depan. Meskipun belum banyak perusahaan startup yang menjamur, tapi para investor semakin loyal mengucurkan dana bagi para perusahaan startup ternama untuk mengembangkan bisnisnya. Menariknya lagi, Norwegia juga terus menumbuhkan awareness terhadap kesehatan bumi untuk selalu berinovasi menelurkan produk yang ramah lingkungan.

Dari situlah makanya saya berpikir untuk mengambil program studi yang berkorelasi dengan perkembangan industri di sini. Dulu saya sempat disarankan oleh seorang cewek Moldova untuk jauh-jauh dari program studi ini karena lulusannya sudah membludak. "Too many people took Entrepeneurship program sampai tidak ada lapak pekerjaannya," katanya. I was just like, "seriously?!" Ngomong-ngomong, cewek Moldova ini juga yang dulunya sedikit skeptis dengan peluang saya diterima di kampus Norwegia .

Padahal untuk diterima kuliah Master di program ini pendaftar harus menyertakan CV dan surat motivasi sebagai syarat tambahan. Saya yang 5 tahun absen dari Indonesia dan hanya "bekerja" sebagai au pair di Eropa, dibuat bingung apa yang harus ditulis. What have I done?! Belum lagi surat motivasi ini harus memaparkan prestasi dan pengalaman saya saat bekerja di dalam tim. Komisi penerimaan mahasiswa baru ingin melihat prestasi kita saat harus bekerja dengan banyak orang yang berbeda sudut pandang karena memang nantinya kita lebih banyak kerja kelompok di luar kelas.

Untungnya waktu kuliah saya aktif terlibat organisasi mahasiswa yang dilimpahkan tugas sebagai kepala divisi dan ketua penyelenggara acara. Selain itu, saya juga menjelaskan bahwa program au pair yang sedang saya jalani ini berguna sekali membuka peluang masuk ke dunia internasional—yang mana sangat dibutuhkan dalam industri bisnis. Karena kesempatan ini juga, saya bisa sekalian ikut kegiatan sukarelawan di beragam festival internasional yang diharuskan bekerja dalam tim untuk menyukseskan acara.

Dari segi akademik dan nilai, saya memang mahasiswi pas-pasan karena dulunya merasa salah jurusan. Tapi karena banyaknya kegiatan non-akademik yang saya ikuti, hal ini bisa jadi poin plus yang berguna untuk mendukung isi CV dan surat motivasi. Untuk kalian yang sekarang masih terpaku jadi mahasiswa atau au pair “biasa”, sebaiknya perbanyak pengalaman dan ilmu di luar rutinitas untuk menambah poin pengembangan diri . Karena buktinya, kampus di Eropa pun menyukai pelajar yang well-rounded tak cukup hanya dari nilai akademik.

Wednesday, May 13, 2020

Tips Minggu-minggu Awal Kuliah di Universitas Oslo|Fashion Style

Setelah membayar uang semester dan registrasi ulang lewat Studentweb, saya 100% resmi menjadi mahasiswi S-2 di Universitas Oslo .Untuk kalian yang belum tahu, tidak ada biaya kuliah yang dibebankan bagi mahasiswa lokal dan internasional di Norwegia, kecuali kampus swasta. Mahasiswa hanya diwajibkan membayar uang semesteran yang besarannya tergantung kampus masing-masing.

Untuk Universitas Oslo (UiO), biaya yang saya bayar tiap semester sebesar NOK six hundred plus uang fotokopi application studi NOK 2 hundred. Ada juga biaya organisasi sebesar NOK 40 yang tidak diwajibkan. Kalau mau dikonversi, total persemester yang saya bayar hanya sekitar Rp1,3 juta atau ?84. Jumlah ini tentu saja berbeda tiap kampusnya, bahkan ada yang lebih murah.

Untuk musim gugur 2019, semester dimulai di minggu ketiga bulan Agustus dengan menghadiri Welcome Ceremony di pelataran universitas di Karl Johans gate. Perayaan tradisional ini sudah dimulai sejak tahun 1929 untuk menandai dimulainya semester baru. Acaranya juga tidak lama karena prosesi intinya hanya berupa pidato dari petinggi kampus untuk menyambut mahasiswa baru diselingi dengan nyanyian tradisional oleh grup paduan suara kampus.

Cerita sedikit soal Universitas Oslo, kampus ini adalah kampus tertua di Norwegia yang dibangun tahun 1811 dengan nama Royal Frederick University. Kalau kaliangooglingUniversitas Oslo, gambar yang muncul pasti pelataran universitas dengan 3 Domus. Sebetulnya itu adalah bangunan Fakultas Hukum UiO karena bangunan intinya berada di Blindern, sekitar 4 km dari letak pelataran tersebut berada. Pelataran universitas atau Universitetsplassen yang kita lihat di internet dibangun tahun 1911 dan dulunya memuat semua fakultas yang ada di universitas tersebut. Hingga akhirnya di tahun 1936 universitas ini diubah namanya menjadi University of Oslo dan semua bagian Universitetsplassen dialihkan menjadi lokasi Fakultas Hukum sepenuhnya.

Introduction Week

Sebagai proses pengenalan di awal, di Universitas Oslo tak ada acara ospek sebagai kamuflase sistem perpeloncoan senior ke junior. Sebelum mulai perkuliahan, tiap departemen dan application studi menyelenggarakan ?Introduction Weeks? Yang wajib dihadiri mahasiswa baru. Minggu perkenalan ini banyak memberikan kita informasi tentang kampus, perpustakaan, kesempatan magang dan bekerja, judul tesis, serta kuliah umum.

Minggu pengenalan berjalan selama 2 minggu yang mana minggu pertama diselenggarakan oleh Departemen Informatika, lalu minggu selanjutnya oleh Program Studi Entrepreneurship. Sebetulnya bagi mahasiswa internasional yang baru saja tiba di Oslo, panitia mengadakan welcome party yang cukup seru untuk dihadiri sekalian mengobrol dengan mahasiswa baru lainnya. Tapi karena bukan orang baru di Oslo, saya skip.

Untuk Introduction Week dari pihak departemen, semua mahasiswa baru hanya dikumpulkan di aula untuk mendengarkan paparan informasi serta kuliah umum. Ada juga student party di akhir acara bertujuan mencari networking dan berkenalan dengan orang baru di kampus. Introduction Week dari pihak departemen ini berlangsung selama 3 hari yang mana menurut saya sedikit bertele-tele, karena bisa saja selesai dalam waktu satu hari.

Kick-off Week

Sebagai langkah awal mengenal teman satu kelas, minggu ini menjadi amat penting karena kami diberikan kesempatan satu hari penuh untuk mengobrol mengenai latar belakang pendidikan dan pekerjaan seebelumnya. Dari 38 mahasiswa yang diterima di program studi Entrepreneurship, yang showed up hanya 17 orang. Uniknya, 70 persennya adalah orang Asia, terutama didominasi dari Asia Barat, dan hanya 1 orang saja yang asli Norwegia.

Latar belakang teman sekelas saya juga tak sama. Ada yang sudah pernah bekerja secara profesional, banyak juga yang sudah pernah mengambil Master (bahkan ada yang sedang Post-Doctoral!) di Norwegia,  atau pun seperti saya ini, mencari ilmu baru lewat Master pertama kami.

Karena memang program studi ini sifatnya hands-on, dihari kedua kami sudah dibentuk ke dalam beberapa tim dan diberikan fun exercise mencari ide bisnis start-up yang tertarik kami kembangkan dalam waktu 3 hari saja. Bayangkan, baru masuk langsung diberikan tugas kelompok yang harus juga dipresentasikan diakhir Kick-off Week!

Singkat cerita, saya sekelompok dengan 3 cowok yang punya latar belakang dari Teknologi Makanan, Teknik Medis, dan Teknik Komputer. Diskusi menjadi sangat panjang karena kami ingin membangun start-up baru yang belum ada pendirinya. Karena sudah lama juga tak punya pengalaman profesional, saya sedikit minder juga sekelompok dengan cowok-cowok hebat ini. In the end, tim kami menang "Best Start-up Idea" karena ide membuat platform yang mempertemukan perusahaan makanan dan food tester.

Lectures

Setelah melewati proses registrasi, administrasi, dan minggu pengenalan, perkuliahan dimulai di minggu akhir Agustus. Untuk semester ini, jadwal saya cukup padat karena harus datang sebelum pukul 9.15 pagi selama 4 kali seminggu. Kelas sebetulnya tak lama, hanya sampai pukul 12 saja. Tapi tak bisa titip absen karena persyaratan minimumnya harus 80% hadir. Program studi ini sangat hands-on, tugas kelompok selalu diberikan setiap minggu yang jika satu orang saja tidak hadir, akan mempengaruhi kerja tim tersebut.

Di sisi lain, wajib juga ambil kelas tambahan yang ada hubungannya dengan Ilmu Sains dan saya mengambil kelas Renewable Energy di kampus Kjeller. Kjeller ini kota kecil yang berada sekitar 24 km dari Oslo. Untuk menuju kesana, pihak kampus memberikan layanan free shuttle bus dua kali perhari. Jadi selain Fakultas Hukum yang tak berada di kampus utama, Departemen Sistem Teknologi juga letaknya memisah dari Oslo. Asiknya, kampus Kjeller ini adalah satu-satunya kampus di Universitas Oslo yang menyediakan dapur, kopi dan teh gratis!

Untuk para pengajar, tak ada sisi sangar atau sungkan sama sekali karena suasana terasa lebih rileks dan kasual. Pengajarnya justru sangat aktif memberikan materi perkuliahan, bahkan lebih vokal ketimbang mahasiswanya sendiri. Yang saya suka, kelas saya ini ada break-nya 10-15 menit dan kalau memang slide sudah habis, kelas selesai. Berbeda waktu kuliah S-1 dulu yang harus lelah menguap mendengarkan dosen menerangkan slide sampai 3 jam nonstop!

Begitulah pengalaman saya satu bulan jadi mahasiswa lagi di Universitas Oslo. Senang, karena kembali aktif belajar dan berpikir kritis. Asik, karena jadi pelajar yang punya banyak diskonan. Tapi awalnya minder juga karena sudah 5 tahun lulus S-1, pengalaman "profesional" hanya jadi au pair saja. Untuk kalian yang sekarang jadi au pair dan punya niat kuliah lagi, don't take it longer! Jangan jadi au pair terlalu lama seperti saya. Hah!

Tips Kuliah Biaya Sendiri: Uang Dari Mana?|Fashion Style

Meskipun niat saya di awal tidak berminat lanjut kuliah lagi, nyatanya saya pun berbelok arah untuk mencoba peruntungan daftar kuliah S-2 di beberapa kampus di Norwegia. Alasan utama saya memilih Norwegia tentu saja karena negara ini masih membebaskan uang kuliah bagi mahasiswa lokal dan internasional. Kesempatan ini tentu saja saya manfaatkan sebelum regulasi tersebut diubah menjadi 'berbayar' seperti halnya Finlandia per Autumn semester 2017 lalu. Tapi meskipun biaya kuliah gratis, mahasiswa tetap harus membayar iuran semester sebesar NOK 680-840 (€68-84).

Luckily, saya diterima di program studi Entrepreneurship di Universitas Oslo semester musim gugur tahun ini. Karena biaya kuliahnya sudah gratis, artinya saya hanya perlu menyiapkan biaya hidup untuk 2 tahun ke depan. Saya tidak pakai beasiswa, tidak minta support dari keluarga, ataupun berhutang ke pemerintah Norwegia. Biaya hidup ini murni saya akan tanggung sendiri.

Saat tahu saya akan kuliah dengan biaya sendiri, tanggapan orang tentunya tak sama. Kalau mungkin saya dapat beasiswa, mungkin mereka akan berpikir bahwa saya murid pandai yang sangat beruntung. Tahu bayar sendiri, tak elak saya dapat rentetan pertanyaan lain. “Lho, memangnya ada uangnya? Ada orang yang bantu? Memangnya tidak mahal kuliah disana? Siapa yang mau menjamin deposito? Bukankah uang segitu (deposito) terlalu besar ya untuk mahasiswa internasional?” Hellllooooo... mentang-mentang saya bukan anak menteri dan jurangan sawit, tidak berarti kuliah ke luar negeri jadi mustahil! Selain uang, ada juga namanya usaha dan mental yang membuat kita bisa bertahan di negeri orang. Lagipula au pair yang langsung bisa kuliah dengan biaya sendiri juga banyak!

FYI,dulu saya pun juga bersumpah untuk tidak akan pernah mau lanjut kuliah kalau masih harus bayar sendiri. Kuliah saja sudah melelahkan, apalagi harus cari uang dulu demi menutupi biaya hidup. Makanya saya berpikir untuk cari beasiswa agar bisa fokus kuliah saja. Nyatanya, saya minder cari dana beasiswa karena sadar IPK pas-pasan dan malas minta surat rekomendasi dari kampus. Sssttt.. saya pernah di-PHP dosen soalnya. Di sisi lain, saya dengar bahwa pengelola dana beasiswa sangat strict dengan penerima hibah untuk harus mempertahankan prestasi akademik dan dilarang bekerja sambilan selagi kuliah. Padahal mood belajar seseorang bisa naik turun dan minta dana beasiswa—apalagi yang berasal dari uang rakyat, pastinya punya tanggung jawab yang besar.

Sementara di Indonesia, saya hanya punya seorang ibu yang finansialnya tidak akan cukup membiayai semua kebutuhan saya selama belajar di luar negeri. Yang ada, saya merasa sangat malu jika harus minta dikirimi uang setiap bulan, mengingat selama jadi au pair 5 tahun ini juga saya tidak pernah minta apapun lagi ke beliau. "Sudah, Ma. Cukuplah sampai S-1 ini. Let me pay the rest!" kata saya saat itu. Saya juga tidak punya satu pun keluarga yang tinggal di Eropa sekiranya kepepet ingin pinjam uang. In the end, saya akhirnya berpikir untuk tidak ingin berhutang budi pada dana beasiswa ataupun duit keluarga yang membuat saya semakin terikat oleh beban moral.

Jadi bagaimana saya menyokong kehidupan disini hingga 2 tahun ke depan?

Rencananya saya akan bekerja sampingan. Selama jadi mahasiswa internasional, kita diperbolehkan bekerja 20 jam per minggu dan full time (37-40 jam) saat hari libur. Untuk semester ini, saya masih bekerja sebagai au pair dan tinggal di rumah host family. Soal makan dan akomodasi sudah ditanggung dan saya juga menerima uang saku sekitar NOK 6000 per bulan. Uang ini tentu saja lebih dari cukup untuk beli perlengkapan kuliah, ongkos transportasi umum, dan secangkir dua cangkir kopi di kafe. Pemerintah Norwegia sebetulnya juga menaksir biaya hidup pelajar di sini setidaknya NOK 11-12.000 per bulan.

Lalu, bagaimana di semester-semester selanjutnya?

Kontrak au pair saya berakhir Desember tahun ini, makanya harus mencari tempat tinggal dan pekerjaan baru secepatnya. To be honest, I can't wait to have my own life! Tidak perlu lagi tinggal di rumah orang dengan segala peraturan kaku, serta bebas mengundang siapa pun teman yang saya mau. Saya juga sangat tertarik bekerja di tempat lain semisal kafe, toko, atau restoran, yang tentu saja terbebas dari tangisan dan popok bayi! Di sisi lain, saya merasa beruntung sudah curi startduluan tinggal di Norwegia dan belajar bahasa, sehingga bicara bahasa lokal lumayan bisa. It's not gonna be easy to find a job with broken Norwegian, but I am pretty sure I'll learn more and more!

Pengalaman soal cari tempat tinggal dan pekerjaan baru ini tentu saja akan saya bahas di postingan lainnya. But, now you know bagaimana saya bisa menyokong kehidupan sendiri tanpa beasiswa dan dana orang tua!

Tuesday, May 12, 2020

Tips Mengurus 'Study Permit' untuk Kuliah di Norwegia|Fashion Style

Sebagai informasi pendahuluan, saat ini saya sudah tinggal di Norwegia dan harus mengganti au pair permit yang hampir habis ke study permit. Karena sudah berada di wilayah Schengen, saya tidak perlu lagi visa seperti halnya teman-teman yang masih berada di Indonesia. Bagi yang bingung apa beda residence permit dan visa, bisa dibaca dulu di sini . Walaupun begitu, persyaratan yang diberlakukan sama saja dengan mahasiswa non-EU lain pada umumnya.

Bagi yang tinggal di Indonesia, permohonan aplikasi study permit dan visa Norwegia bisa diantarkan langsung ke VFS Jakarta. Yang tinggal di Norwegia, aplikasi diantarkan ke kantor polisi terdekat di kotamadya dimana kita tinggal.  Pemohon dapat menyerahkan aplikasinya langsung di Norwegia apabila memiliki residence permit sebagai high skilled workers atau pernah tinggal di sini selama 9 bulan terakhir. Sementara bagi yang tinggal di luar Indonesia dan Norwegia bisa menghubungi kedutaan besar Norwegia setempat.

FYI, study permit yang akan saya ajukan disini adalah permit untuk belajar di perguruan tinggi semisal universitas atau university college ya, bukan bible school atau high school. Sebelum mempersiapkan semua dokumen, berikut syarat utama untuk mengajukan study permit:

1. Membayar biaya aplikasi sebesar NOK 5300 (2019)*.

2. Sudah diterima sebagai mahasiswa full-time di institusi perguruan tinggi di Norwegia.

3. Memiliki bukti finansial sebesar NOK 121.200 (2019) yang bisa berupa dana beasiswa, pinjaman dari pemerintah Norwegia (LÃ¥nekassen), uang tabungan atas nama pribadi yang tersimpan di rekening bank Norwegia atau deposit di perguruan tinggi, atau bisa juga gabungan dari semua sumber dana yang telah disebutkan. Kalau pemohon sudah dapat job offer dari employer di Norwegia, jumlah gaji yang akan diberikan boleh ikut disertakan sebagai bukti sumber dana.

Four. Kalau harus membayar uang kuliah, kita juga diwajibkan memiliki dana tersebut di luar jumlah minimal finansial di atas.

Five. Wajib memiliki tempat tinggal di Norwegia.

6. Keadaan negara asal memungkinkan kita kembali setelah masa studi usai.

Setelah yakin bisa memenuhi semua persyaratan di atas, hal yang kita harus lakukan pertama kali adalah mengisi formulir dan membayar biaya aplikasi lewat Application portal . Mengapa harus isi dan bayar dulu, karena kita membutuhkan bukti nota pembayaran dan cover letter sebagai syarat kelengkapan dokumen.

Persyaratan kelengkapan dokumen saat mengajukan first time application:

1. Paspor dan fotokopi semua isi halaman yang berisi records diri dan stempel.

Karena tinggal di Norwegia, saya hanya perlu menunjukkan paspor ke petugas di kantor polisi dan menyerahkan fotokopiannya saja. Sementara bagi yang tinggal di luar Norwegia, harus menyerahkan dua dokumen di atas.

2. Cover letter dari Application portal yang sudah ditandatangani.

Setelah mendaftarkan diri dan membayar biaya aplikasi di Application portal, kita akan menerima 2attachments dokumen berupa nota pembayaran dan cover letter lewat email. Cover letter ini harus dicetak dan ditandatangani.

Three. Dua lembar foto terbaru ukuran paspor dengan latar belakang putih.

4. Surat pernyataan diterima (LoA) kuliah full-timedari institusi perguruan tinggi di Norwegia yang berisi nama, program studi, strata yang diambil, dan berapa lama masa belajar.

Untuk surat ini, saya harus minta salinan lagi ke bagian administrasi kampus karena LoA yang saya terima kemarin hanya berisi nama dan application studi. Mungkin karena tinggal di Norwegia, maka LoA yang dikirimkan hanya berisi notifikasi yang tidak dijelaskan secara rinci.

5. Dokumentasi keuangan bahwa kita memiliki dana sebesar NOK 121.200 atas nama pribadi.

Kita bisa melampirkan salah satu atau lebih sumber dana ini sebagai kombinasi:

- Dokumentasi bahwa kita mendapatkan beasiswa, hibah, atau pinjaman dari pemerintah Norwegia (L?Nekassen).

- Kontrak kerja paruh waktu dari employer di Norwegia yang menyatakan lama kontrak, waktu kerja per minggu/bulan, serta gaji yang akan didapat.

- Bank statement dari akun bank di Norwegia atau surat pernyataan terkait deposito yang kita serahkan ke pihak kampus. Untuk deposito ini, kita bisa pinjam dulu dari keluarga atau teman, lalu uangnya disetorkan ke rekening kampus sebagai syarat administrasi mendapatkan visa.

Baca di sini untuk tahu bagaimana saya memenuhi persyaratan ini tanpa beasiswa atau dana orang tua!

6. Dokumentasi bahwa kita sudah (terjamin) memiliki tempat tinggal di Norwegia.

Ini penting sekali karena cari tempat tinggal yang affordablebagi pelajar internasional di Norwegia itu susah! Daripada sesampainya di Norwegia bingung ingin tinggal dimana, sebaiknya persiapkan mendaftar akomodasi yang cocok dengan kantong dan preferensi. Sebagai mahasiswa internasional, kita bisa daftar dulu sebagai waiting lists di SiO (untuk Oslo dan Akerhus) atau organisasi student housing dari kampus lainnya, jauh sebelum kita diterima di kampus yang dituju. Hal ini untuk menghindari panjangnya antrian mahasiswa lain yang berminat menyewa kamar di student housing.

Kalau tidak tertarik tinggal di student housing, kita juga bisa menyertakan surat sewa-menyewa yang sudah ditanda tangani si tuan yang punya kamar, apartemen, ataupun rumah yang akan kita tinggali.

7. Dokumentasi bahwa kita bisa membayar biaya kuliah (jika diperlukan).

Meskipun kebanyakan universitas di Norwegia itu bebas uang kuliah, tapi ada beberapa kampus swasta masih membebankan uang kuliah bagi mahasiswanya. Jika diperlukan, kita tetap harus menyertakan dokumentasi bahwa kita mampu membayar uang kuliah tersebut di atas jumlah minimum tabungan yang diwajibkan.

8. Dokumentasi tambahan bagi yang menyerahkan aplikasi di luar negara asal pemohon (jika diperlukan).

Untuk kasus ini, saya harus menyerahkan bukti bahwa saya memang tinggal di Norwegia secara legal selama 9 bulan ke belakang. Dokumentasi bisa menggunakan kartu residence permit yang masih berlaku. Pun begitu bagi pemohon yang tidak tinggal di Indonesia.

Nine. Form tick list yang dicetak dan ditandatangani.

Itulah persyaratan umum bagi pemohon yang berusia di atas 18 tahun yang berniat studi di jenjang universitas. Untuk detailnya, silakan dibaca di situs UDI .

Setelah semua dokumen lengkap, selanjutnya kita langsung bisa membuat janji temu ke VFS di Jakarta atau kantor polisi di Norwegia (bagi yang berdomisili di sini).  Untuk janji temu bisa dibuat di Application Portal . Bagi yang belum pernah membuat visa atau residence permit ke Norwegia sebelumnya, harus registrasi terlebih dahulu.

Bagi yang tinggal di Indonesia, janji temu menyerahkan aplikasi ke VFS langsung dibuat lewat situs VFS. Untuk mahasiswa internasional, biasanya akan ada "Police Day" saat awal-awal masuk kuliah untuk mengurus residence permit setibanya di Norwegia. Cara ini lebih mudah ketimbang harus booking slot sendiri di kantor polisi lewat Application Portal.

Waktu tunggu keputusan dari UDI bervariasi tergantung case to case. Silakan lihat di sini untuk tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan menunggu keputusan dari imigrasi Norwegia. Meskipun perkuliahan sudah dimulai pertengahan Agustus dan kebanyakan mahasiswa asing memasukkan aplikasi saat libur musim panas, pihak UDI tetap berusaha memberikan keputusan sebelum studi dimulai. Normalnya, waktu tunggu untuk study permit sekitar 8 mingguan.

Anyway, bagi yang sedang bersiap-siap studi atau pindah ke Norwegia, jangan lupa baca postingan saya tentang biaya hidup di negara mahal ini agar mempersiapkan semuanya semaksimal mungkin  dan tidak sering syok! Lykke til!

*per 1 Januari 2020, biaya aplikasi untuk pengajuan study permit berubah menjadi NOK 4900

Monday, May 11, 2020

Tips Apply 'Study Permit' Tanpa Uang Jaminan Penuh|Fashion Style

Bagi yang belum tahu, saya sekarang sedang melanjutkan kuliah Master di Norwegia dengan biaya sendiri. Tidak seperti teman-teman pelajar lain yang mungkin baru akan mengajukan visa dan study permit Norwegia dari Indonesia, saya sudah duluan tinggal disini sebagai au pair dan minggu lalu mengajukan aplikasi untuk studi lewat kantor polisi di Oslo.

Tapi meskipun sudah tinggal disini, tapi syarat yang berlaku saat mengajukan study permit sama saja seperti mahasiswa internasional lainnya. Salah satu syarat kelengkapan dokumen yang paling berat bagi saya adalah menyertakan bukti finansial minimal sebesar NOK 121.200 (2019) ke UDI, pihak imigrasi Norwegia. Kalau dikonversi, besarnya sekitar Rp200 juta atau €12.120

Uang tersebut wajib ada di rekening bank Norwegia atas nama sendiri atau mesti didepositkan ke rekening kampus. Bagi yang tanya fungsi uang ini untuk apa, gunanya untuk menutupi biaya hidup kita selama 1 tahun di sini. Meskipun bebas uang kuliah, tapi biaya hidup di Norwegia sangat tinggi untuk ukuran orang Indonesia. Makanya pemerintah Norwegia tidak ingin mahasiswa asing terlunta-lunta di negara mereka hanya karena tidak memiliki cukup uang selama studi di sini. Make sense?

Tapi pihak imigrasi Norwegia memperbolehkan mahasiswa asing tidak harus menunjukkan semua uang tersebut asal;

1. Menjadi penerima dana hibah/beasiswa dari organisasi/pemerintah resmi.

2. Mendapatkan bantuan dana pinjaman dari pemerintah Norwegia (L?Nekassen).

3. Mendapat tawaran kerja dari employer di Norwegia.

Beruntunglah bagi mahasiswa asing yang tidak harus pusing-pusing memikirkan syarat tersebut jika menerima bantuan beasiswa full. Pun juga dengan para mahasiswa asing yang memenuhi syarat menerima LÃ¥nekassen dari pemerintah lokal. Bicara sedikit soal LÃ¥nekassen, jadi dana ini sebetulnya adalah dana pinjaman dan hibah yang diberikan pemerintah Norwegia kepada pelajar asing dengan syarat-syarat tertentu yang nominalnya tergantung program studi yang diambil. Jumlah dana yang diberikan biasanya sekitar NOK 11.000 per bulan bagi yang tinggal sendiri.

Sebetulnya LÃ¥nekassen hanyalah hak bagi pelajar berwarga negara Norwegia saja. Namun ada syarat tertentu yang memungkinkan mahasiswa asing juga berhak atas dana tersebut. Bagi yang menikah dengan Warga Negara Norwegia atau ikut keluarga/suami ke Norwegia, sangat memungkinkan daftar LÃ¥nekassen. Syarat lainnya juga berlaku bagi pelajar asing yang pernah sekolah selama 3 tahun di Norwegia atau pernah bekerja selama 24 bulan penuh dan membayar pajak. Keterangan lengkapnya bisa dibaca di sini . Karena sifatnya juga berupa pinjaman, pelajar yang menerima bantuan ini WAJIB mengembalikan dana pinjaman tersebut ketika masa studi mereka berakhir. Kalau semua mata pelajaran/kuliah lulus, pelajar hanya mengembalikan 30% dari total pinjaman yang mereka dapatkan. Namun kalau gagal, mereka harus mengembalikan 100% dana tersebut.

Sayangnya, saya tak memenuhi semua persyaratan. Saya memang sudah tinggal hampir 24 bulan di Norwegia, tapi status saya bukanlah full-time employee tapi au pair. Di Norwegia, meskipun au pair membayar pajak dan dapat uang saku tiap bulan, tapi program ini tetaplah tidak dianggap sebagai pekerjaan penuh waktu.

Karena sudah berniat lanjut S-2 di Norwegia, mau tidak mau saya harus mengumpulkan sendiri uang sebesar NOK 121.200 tersebut. Pertanyaannya, apakah saya punya uang sebesar itu?

Tentu saja, TIDAK! Bahkan dengan jadi au pair 5 tahun di Eropa, mustahil mengumpulkan dana sebesar itu tanpa embel-embel kerja sampingan lainnya . Apalagi rencana saya lanjut kuliah di Norwegia baru terpikir Agustus 2018 lalu. Dalam waktu satu tahun tentunya uang tabungan saya tidak akan beranak sebanyak itu. Apalagi saya juga tak tertarik cari uang tambahan di luar waktu kerja au pair karena terlalu muak bersih-bersih rumah dan jaga anak orang.

APA YANG SAYA LAKUKAN?

1. Menyertakan bank statement buku tabungan

Sejujurnya, dalam waktu 2 tahun jadi au pair di Norwegia, uang yang bisa saya kumpulkan jumlahnya tak sampai NOK 40.000. Untungnya, pihak imigrasi Norwegia tak mempermasalahkan nominal rekening ini asal saya memiliki sumber dana lainnya; contohnya gaji yang akan diberikan employer di Norwegia lewat job offer. Jadi kalau jumlah tabungan saya ditambah gaji dari job offer nominalnya NOK 121.200 per tahun, maka hal ini diperbolehkan. Atau kalau pun total gaji kita selama 1 tahun jumlahnya menutupi semua biaya tersebut, kita malah tidak perlu melampirkan bank statement lagi.

2. Melampirkan surat kontrak kerja au pair

Meskipun pelajar asing bisa bekerja selama 20 jam per minggu, tapi sebelum jadi pelajar, status saya adalah au pair di Norwegia. Saat mengajukan aplikasi study permit ini pun, kontrak saya masih berlaku dengan host family. Karena uang saku au pair ini bisa dijadikan salah satu sumber dana, maka saya lampirkan saja surat keterangan dari host family yang menyatakan sisa masa kontrak kerja serta total pendapatan yang saya miliki sampai kontrak tersebut berakhir. Jumlahnya lumayan, lebih dari NOK 20.000!

3. Mendapatkan job offer

Karena kontrak au pair saya berakhir Desember 2019, sementara harus apply study permit akhir September, saya kesulitan mencari pekerjaan yang baru available Januari 2020. Saya tentu saja tidak bisa cari pekerjaan lain karena au pair ini saja jam kerjanya sudah 20 jam per minggu.

Setelah mengobrol dan tanya ke beberapa orang teman, akhirnya ada bapak seorang teman yang mau mengontrak saya sebagai cleaning lady mingguan per Januari 2020. Dalam satu minggu, saya kerja 4-5 jam dan dibayar 180 kr/jam.

Sebetulnya si bapak ini tidak yakin akan mempekerjakan saya sampai 12 bulan. Tapi karena saya butuh job offer sebagai syarat administrasi, akhirnya si bapak mau membuatkan kontrak kerja sampai 1 tahun. Lumayan, sumber dana yang bisa saya dapat dalam satu tahun lebih dari NOK 30.000.

Ngomong-ngomong, job offer ini sifatnya tidak mengikat. Jadi kalau pun nantinya saya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, tentu saja saya bisa membatalkan pekerjaan yang sudah ditawarkan ini. Cara minta tolong orang menawari pekerjaan ini pun harus hati-hati, karena seorang kenalan Indonesia di Norwegia sempat menuduh saya otak kriminal. Padahal maksud saya ingin ditawari pekerjaan sampingan, tapi orang ini salah paham lalu menyangka saya akan memalsukan dokumen. Katanya suaminya ikut marah besar saat saya menanyakan hal tersebut.

4. Pinjam teman

Dari total 3 sumber dana di atas, saya masih kekurangan biaya sedikit lagi. Banyak yang menyarankan agar saya pinjam ke host family dulu, tapi saya enggan. Pertama, karena mereka akan pindah ke Swiss . Kedua, saya tidak ingin menjelaskan panjang lebar soal masalah finansial ini hingga menimbulkan kesan skeptikal kalau uang mereka harus dikubur dalam rekening saya dalam waktu tertentu.

Satu-satunya cara terakhir adalah pinjam uang dulu ke teman. Tapi karena uang adalah hal sensitif, di-PHP itu sudah biasa dan kita harus lapang dada. Tidak semua teman yang sebenarnya sangat niat membantu punya kondisi finansial yang baik. Kadang dorongan semangat dan doa dari mereka juga sama berharganya untuk menaikkan mood kita yang sedang down.Di sisi lain, tidak semua teman dekat juga mengerti masalah kita dan jangan buang-buang waktu begging sampai merepotkan banyak orang. Buktinya, satu teman saya di Denmark sempat ingin meminta surat keterangan peminjaman bernilai hukum (pakai materai), paspor, serta SIM saya, karena takut uangnya dilarikan ke Indonesia. No words!

Tapi punya banyak teman di saat finansial lagi jeblok seperti ini memang bisa mengubah keadaan. Dari cerita sana-sini, tak hanya bantuan semangat yang saya dapatkan, tapi juga uang!Teman saya di Indonesia dan teman sekelas di kampus sampai berniat meminjamkan uangnya ke saya tanpa perlu penjelasan panjang lebar. Tak hanya mereka, di Norwegia ini juga saya mendapatkan bantuan pundi-pundi dari teman lain yang sangat membantu menggendutkan rekening. Being social is helpful somehow! Jujur saja, uang tabungan yang saya butuhkan juga di-make up paling banyak dari bantuan teman ini. Yang jelas, cara pinjam-meminjam uang teman seperti ini sebetulnya sangat lumrah terjadi di kalangan mahasiswa internasional, kok.

Saran dari saya, kalau memang berniat pinjam uang ke teman, carilah teman yang betul-betul mengerti keadaan kita. Kalau tahu finansialnya juga sedang susah, jangan paksa atau pinjamlah dengan skala kecil saja. Every penny helps! Satu lagi, tak semua yang kita butuhkan itu uang. Bagi saya, dukungan serta doa yang orang lain haturkan juga merupakan rezeki bagi relung hati.

Begitulah cara saya menutupi besarnya bukti finansial yang harus disertakan sebagai kelengkapan dokumen. It's NOT easy to save money , apalagi jumlahnya sebesar itu. Saya tidak tahu apakah cara tersebut membuat pihak imigrasi yakin 100% memberikan saya study permit, karena ini adalah kali pertama saya mengajukan permit tanpa garansi apa-apa dari seseorang. I'll tell you later, for sure!

Sunday, May 10, 2020

Tips Rasanya Jadi Mahasiswa Lagi|Fashion Style

Tapi, apakah jadi mahasiswa lagi memang seberuntung itu? Makanya kali ini saya akan cerita pengalaman rasanya bisa kuliah lagi di Norwegia setelah 5 tahun jadi au pair. Perlu dicatat juga bahwa pengalaman ini murni personal dan tidak sama bagi setiap orang. Karena sedang kuliah Master program studi Entrepreneurship di Universitas Oslo (UiO), maka isi konten tidak berlaku bagi semua jurusan dan kampus yang ada di Norwegia.

So, bagaimana rasanya jadi mahasiswa lagi?

1. Trust me, it's hard!

Bayangkan, sehabis lulus kuliah S-1 saya langsung hijrah ke Eropa jadi au pair sampai five tahun lamanya. Tak ada pengalaman profesional lainnya, karena kehidupan saya sixty five% hanya jaga anak dan bersih-bersih rumah, lalu sisanya jalan-jalan, belajar bahasa asing, dan buang-buang uang di kafe. Tak pernah menyangka juga akan selama itu karena tadinya hanya berharap maksimal 2-3 tahun saja jadi au pair di Eropa.

Lalu setelah 5 tahun bosan dengan rutinitas kaku seperti ini, saya akhirnya mencoba mendaftarkan diri ke kampus di Norwegia dengan harapan siapa tahu bisa lanjut kuliah . Now I am living my dream! Diterima di Universitas Oslo , lalu meneruskan hidup di Norwegia selama 2 tahun ke depan menjadi mahasiswa S-2. Bahagia memang, namun faktanya, tantangan baru dimulai di hidup saya. Dari yang tadinya banyak waktu luang dan sering leha-leha di kamar, lalu bertransisi jadi mahasiswa yang datang ke kampus setiap hari itu, ternyata bukan perkara yang mudah.

Apalagi program studi yang saya pilih ini , Entrepreneurship, tidak ada hubungannya sama sekali dengan passion dan pengalaman  kerja atau pendidikan saya dulu. Otak saya seperti diajak berpikir dua kali lebih cepat untuk menyerap informasi dari penjelasan profesor di kelas. Lalu di sinilah saya mengerti mengapa sertifikat bahasa Inggris di level minimalupper-intermediate itu sangat diperlukan jika ingin kuliah di luar negeri. Ada yang namanya scanning teks, listening untuk menyerap dan mengerti pesan yang disampaikan, presentasi dan juga paraphrase kalimat yang sering kali dibutuhkan saat ujian tertulis.

Kalau ingin berkaca dari pengalaman kerja dan kuliah terdahulu, saya selalu merasa bahwa tahun pertama itu akan menjadi tahun terberat. Mulai dari adaptasi yang tak mudah, mengenal sistem kampus yang tak sama dengan kampus di Indonesia, hingga kadang ingin menyerah saja karena mungkin salah tujuan. Saran dari saya, kalau memang kamu sudah ada niat dan proyeksi melanjutkan sekolah di luar negeri setelah selesai au pair , jangan ditunda terlalu lama. Setahun dua tahun selesai, lanjut saja jika memang tak ada masalah lagi dari sisi waktu dan finansial.

2. Lebih produktif

Mungkin lebih tepatnya, less bored. Jadwal kuliah saya semester ini sebetulnya lebih mirip datang ke sekolah bahasa karena durasinya tidak lama, tapi nyaris setiap hari! Mulai dari jam 9.15 pagi sampai 12 siang, kecuali satu mata kuliah tambahan selesai sampai jam 4 sore. Sehabis kuliah di kelas, saya kadang harus stay dulu di kampus sekitar 2-3 jaman untuk mengerjakan tugas kelompok yang setiap minggu selalu menunggu deadline. Pulangnya, harus kembali kerja jadi au pair seperti biasa sampai host kids tertidur. Lalu, tetap harus kembali ke laptop demi menyelesaikan tugas kelompok ataupun belajar bahasa Norwegia otodidak lewat internet.

Untuk program studi saya ini, syarat lulus mata kuliah harus memenuhi absensi 80%. Yang artinya, satu mata kuliah hanya bisa bolos 2-3 kali saja. Kalau memang sakit, harus menyertakan surat pengantar dari dokter untuk dilaporkan ke pihak administrasi. Karena mata kuliahnya juga saling berkaitan, bolos satu mata kuliah bisa berakibat pada komitmen group work. Anggota lainnya harus mengerjakan tugas tambahan yang tak dimengerti satu orang yang absen tersebut.Stressed-detected, karena saya pikir kuliah Master itu banyak longgarnya dan sebebasnya datang-absen ke kelas!

Yang pasti, jadi mahasiswa lagi itu penuh tantangan karena tugas dan kewajibannya lebih banyak! Kuliah S-2 saya ini juga tak terlalu banyak teori karena memang kuliahnya sangat hands-on. Tugas per tugas langsung diarahkan untuk menganalisasi pasar bisnis lokal yang sering dilakukan investor atau para konsultan di dunia nyata. Tapi karena kasus bisnisnya lebih berfokus ke pasar Norwegia, mempunyai kemampuan bahasa Norwegia di level dasar akan menjadi poin plus.

Three. Pindah jurusan?

Kelas saya hanya berisi 14 orang yang 70% mahasiswanya berasal dari Asia. Dilihat dari latar belakang mereka, teman-teman sekelas saya ini kebanyakan sudah pernah S-2 sebelumnya di Norwegia, punya pengalaman kerja profesional bertahun-tahun, hingga ada yang sedang menyelesaikan post-doctoral di kampus yang sama. Artinya, mereka adalah orang-orang yang memang highly educated dengan latar belakang ilmu sains.

Belajar dikelilingi oleh orang-orang berpendidikan tinggi dengan setting luar negeri seperti ini, tentu saja menumbuhkan motivasi saya. Apalagi dari mereka juga saya banyak mendapatkan insights bagaimana berkuliah di Norwegia dan memenangkan job market di sini. Tapi lagi-lagi, tahun pertama itu adalah tahun paling berat yang selalu saya alami, baik di pekerjaan atau pendidikan. Saya selalu memikirkan proyeksi karir ke depannya akan seperti apa. Yakinkah akan belajar program studi ini sampai akhir, mengingat di awal-awal semester juga saya banyak lost-nya. Belum lagi job market di Norwegia ini sepertinya lebih terbuka lebar bagi para tech savvy.

Saat tugas kelompok pun, saya lebih tertarik mengerjakan slides untuk presentasi dan membuat prototype Business Model. Mengapa, karena bisa bermain dengan warna, desain, dan bentuk. Teman-teman sekelompok juga mengamini bahwa saya sepertinya salah masuk jurusan, karena lebih punya kemampuan sebagai desainer grafis. Saya memang harusnya lebih banyak belajar soal Finance atau Business Evaluation, tapi karena bidang ini sangat baru, cara saya belajar pun sedikit lambat. Belakangan, sempat juga terpikir untuk mencoba daftar kuliah lagi tahun depan di bidang desain. Tapi entahlah, belajar ilmu baru seperti Entrepreneurship ini juga menarik untuk didalami sebetulnya. Let’s see, because I can’t pressure myself in the future.

Four. Hidup penuh diskon

Inilah the real perk of being a student di Eropa; dapat diskon dimana-mana! Apalagi hidup di Norwegia yang mahal ini, punya student card yang sakti bisa mengurangi ongkos di banyak hal. Contoh yang paling utama tentu saja soal diskon tiket transportasi sampai 40% dan harga makanan di kantin yang lebih murah dari harga restoran di luar. Kantin-kantin kampus ini juga memberikan diskon setengah harga saat pembelian 1 jam sebelum closing, serta gratis sepiring makanan di pembelian ke-10.

Namun meskipun menurut saya cukup murah untuk ukuran pelajar, tapi banyak orang tetap menganggap harga makanan di kantin pelajar mahal. Untuk sekilo porsi menu buffet dipatok NOK 149. Saya biasanya tidak makan sampai 1 kilo, seperempat atau setengahnya saja. Cara lainnya kalau tidak ingin keluar uang demi makan siang, bisa bawa bekal sendiri dari rumah. Tapi karena saya cukup sibuk di pagi hari, beli makanan di kantin tetap jadi opsi paling tidak seminggu sekali.

Diskon lainnya tentu saja adalah tiket masuk festival ataupun museum. Saya sebetulnya sangat suka memasukkan jadwal ke museum sebagai salah satu alternatif mengisi akhir pekan. Namun tinggal di Oslo dua tahun ke belakang membuat saya menahan diri masuk museum karena tiket masuknya mahal. Sekarang, karena punya student card, saya tidak perlu membayar harga penuh. Jadi untuk masalah diskon ini, saya menganggap status pelajar memang lebih beruntung ketimbang au pair. Tapi kadang beberapa event atau sistem transportasi masih menambahkan syarat lain, contohnya 'pelajar dengan usia di bawah 30 tahun'.

Selain diskon makan dan transportasi, mahasiswa di Norwegia juga punya akses kuliah bahasa Norwegia intensif gratis yang diselenggarakan dari kampus. Mahasiswa asing yang terdaftar di universitas Norwegia bisa memasukkan Bahasa Norwegia sebagai mata kuliah tambahan setiap semester. Belajarnya memang bisa menguras waktu, tapi karena free of charge, kesempatan ini harusnya tak boleh disia-siakan. Di luar, kursus bahasa Norwegia intensif harganya sangat mahal, sekitar NOK 12.000.

Selain itu, tiap kampus juga menyediakan program Microsoft Office gratis yang bisa diunduh lewat akun pelajar kita. Jadi kalau baru beli laptop dan belum punya Office, unduh saja gratis lewat akun kampus ketimbang repot-repot membajak. Karena ada juga iuran fotokopi di awal semester, kita bisa mengkopi dan scanning dokumen dari mesin-mesin di tiap departemen secara gratis. Tapi kalo printing lain lagi, tetap berbayar dengan harga 8 øre per lembar.

Satu lagi yang penting, kita bisa membuka akun bank bebas biaya administrasi tahunan! Hampir semua bank di Norwegia ini punya sistem yang sama; prosesnya lama dan berbiaya tahunan sekitar NOK 270-300. Lumayan juga apalagi bagi yang berpenghasilan tak seberapa seperti para pelajar. Tapi bagi yang sedang menempuh pendidikan di sini, kita bisa membuka akun khusus pelajar yang punya keuntungan bebas biaya administrasi.

Oh ya, kalau ada yang penasaran apakah kuliah Master itu perlu punya buku? Tentu saja, PERLU! Tahu sendiri kan harga buku-buku kuliah itu betapa mahalnya?! Sebagai bocoran, satu buku kuliah Finance saya dipatok dengan harga lebih dari 1,8 juta rupiah! Tak hanya bagi mahasiswa asing, bagi mahasiswa lokal pun harganya terbilang sangat mahal. Di awal semester, toko buku kampus saya penuuuh oleh banyaknya mahasiswa baru yang mengantri membeli buku pelajaran baru. Saya melihat dua orang mahasiswa yang borong buku sampai sekeranjang penuh. Tanyalah harganya, meskipun sudah pakai student discount tetap saja bisa lebih dari belasan juta jika dikonversi.

Tapi untungnya, senior kampus saya berbaik hati memberikan soft copy buku dalam bentuk .pdf file. Cara ini sebetulnya termasuk 'ilegal' karena profesor saya di kampus betul-betul memaksa kami membeli buku fisik. Tapi apalah daya kantong kami tak ada yang mampu membeli semua buku yang direkomendasikan. Kalau memang terpaksa membeli buku fisik, saran lainnya bisa coba cari buku bekas di finn.no ataupun meminjam di perpustakaan yang antrian pinjamannya juga panjang.

5. No (hard) party because we are too old

Saya ingin menepis asumsi yang mengatakan bahwa pelajar di luar negeri doyan party dan hura-hura. Rata-rata yang suka party seperti ini adalah para mahasiswa yang baru memulai S-1 mereka dengan usia belasan atau awal 20-an. Untuk yang lanjut S-2, jangan harap semuanya memiliki gaya hidup yang sama. Karena jangankan party, diajak nongkrong saja banyak yang tak berminat.

Contohnya di kelas saya, semuanya sudah di atas 24 tahun, menikah dan punya anak, serta sangat serius belajar. Ketimbang party ala anak muda di diskotek, kami lebih suka datang ke pesta edukasi yang diselenggarakan oleh perusahaan, atau datang ke seminar yang selaras dengan program studi. Jadi asumsi bahwa semua pelajar luar negeri itu suka party, jelas saja salah!

Selain tak suka party, para mahasiswa S-2 ini juga bisa dibilang tak 'seasik' S-1 dulu. Saya ingat zaman kuliah S-1, saat saya betul-betul merasa menjadi bagian keluarga dengan teman sekelas. Bebas berekspresi dan saling terbuka satu sama lain. Di luar negeri, jangan harap bisa seterbuka itu meskipun dengan teman sekelas. Di kelas saya contohnya, orang-orang terlihat serius dan sangat jarang bercerita tentang masalah pribadi mereka. Bahkan untuk pertanyaan, "are you married or single?" pun dinilai terlalu personal. Makanya obrolan juga terkesan kaku dan hanya berkutat di masalah tugas dan ujian. Belum lagi beberapa kelompok orang merasa paling berkompeten dan menjadikan proses pembelajaran sebagai kompetisi mencapai nilai terbaik, bisa membuat suasana di dalam kelas layaknya olimpiade setiap hari.

Jadi kalau merasa kekurangan networking dan teman jalan, teman sekelas tak akan selalu bisa jadi prioritas di dalam daftar. Tak jarang para mahasiswa internasional lebih sering nongkrong dengan teman satu negara, cari networking lewat acara di MeetUp, ataupun sekedar cari teman kencan lewat online apps.

6. Less travelling

Ada untungnya juga jadi mahasiswa selepas kontrak au pair. Jalan-jalan yang dulunya jadi prioritas, sekarang bisa dikurangi untuk lebih fokus ke sekolah dan pekerjaan. Lima tahunan di Eropa, saya beruntung sudah menapakki lebih dari 20 negara (dengan gaji au pair!). Dulu masih enak karena hari libur bisa bernegosiasi dengan host family dan uang saku pun tiap bulan selalu muncul di rekening.

Sekarang, selain mesti berhemat, jadwal kuliah juga sangat tidak fleksibel. Di Norwegia, mahasiswa hanya mendapatkan jatah libur Natal &Tahun Baru serta Paskah, di luar hari libur publik lainnya. Tanggal-tanggal ini juga termasuk peak season yang harga tiketnya lebih mahal dari hari biasa. Satu-satunya kesempatan untuk libur lebih panjang memang harus menunggu summer lebih dahulu, dari pertengahan Juni sampai pertengahan Agustus. Kadang tak banyak juga mahasiswa yang aktif jalan-jalan karena sibuk cari summer job.

But anyway, menjauh sebentar dari kota tempat kita tinggal juga sangat perlu perlu sekurang-kurangnya setahun sekali. Yang namanya jadi pelajar, pasti ada masa pusingnya karena menumpuknya tugas kuliah dan ujian. Tapi saya selalu ingat kata-kata ibu di rumah, "Nak, sudah cukup ya jalan-jalan. Sekarang waktunya menabung dan fokus belajar, jangan keasikan jalan-jalan terus."

Paham, Mak!

Final verdict-nya, jadi mahasiswa lagi itu tidak mudah! Apalagi pengalaman profesional saya tidak banyak karena sudah terlalu lama jadi au pair. Semuanya sangat menantang karena selain program studinya sangat baru, lingkungan kampus dan teman sekelas yang sangat individual jangan sampai jadi keterbatasan dalam bergaul.

Well, that's a wrap and I really hope you enjoy this post!

Tips Au Pair di Norwegia Sekalian Kuliah S-2|Fashion Style

Di postingan sebelumnya , saya cerita bagaimana rasanya jadi mahasiswa lagi dan kuliah S-2 di kampus negeri di Norwegia. Faktanya, kuliah Master itu tidaklah sesantai yang para senior katakan! Kali ini, saya ingin menyambung cerita, bagaimana rasanya jadi au pair plus lanjut kuliah pula.

Dari banyaknya au pair yang saya kenal, saya belum pernah mendengar cerita au pair Indonesia di Eropa yang sekalian lanjut kuliah S-2. Yang lanjut kuliah setelah masa au pairnya selesai memang banyak. Bahkan karena sudah nyaman dengan keluarga tersebut, tak jarang mantan au pair ini masih tinggal dan bekerja di rumah host family. Jadi prioritasnya adalah kuliah, sekalian cari uang tambahan dari student job yang maksimalnya 15-20 jam per minggu.

Bedanya, status saya sekarang adalah au pair yang masih terikat kontrak penuh, tapi di sisa akhir kontrak memutuskan untuk lanjut kuliah di Norwegia. Prioritas saya disini tentu saja tidak hanya sekolah, tapi juga bekerja. Karena tidak ada kenalan au pair yang sekalian kuliah ini, saya tidak punya referensi soal pengalaman au pair plus kuliah full time di Eropa.

The worst component

Kalau ada yang tanya, susahkah membagi waktu antara au pair dan kuliah, sebetulnya kembali lagi ke host family masing-masing. Untuk kasus saya yang sudah 3 bulanan kuliah ini, ternyata menjalani keduanya sangat berat! Mengapa, karena ekspektasi host family saya yang masih menginginkan saya bekerja full time selama 30 jam per minggu - meskipun student job di Norwegia hanya diperbolehkan bekerja maksimal 20 jam per minggu.

Saya dan keluarga Norwegia ini tentu saja sudah duduk satu meja dan membahas masalah ini jauh sebelum saya diterima kuliah. Intinya saat itu, host family akan berusaha fleksibel dengan jadwal kuliah saya, tapi di sisi lain, saya juga tetap harus bisa sefleksibel dulu - saat belum kuliah. You have to know what is 'flexible' means in au pair term! Kata lainnya, harus siap bekerja 24/7 meskipun di suasana darurat. Poin minusnya lagi, sejak Oktober lalu, host dad saya sudah pindah duluan ke Swiss untuk merenovasi rumah baru. Working with a single mother has a big plus and minus, for sure!

Again, saya masih terikat kontrak penuh, makanya sepintar mungkin mesti mampu mengatur waktu agar semuanya bisa berjalan tanpa mengorbankan salah satunya. Pagi harus bangun dan menyiapkan sarapan sekeluarga, lalu siap-siap berangkat kuliah. Siangnya tanpa bisa nongkrong lebih lama di kampus, saya harus segera pulang dan menyelesaikan sisa tugas au pair. Imbasnya, saya sering kali kehilangan waktu bersosial dan selalu absen datang ke event seru karena waktunya overlapping dengan jadwal kerja.

Di sisi lain, saya juga harus siap-siap absen kuliah kalau ternyata salah satu anak tiba-tiba sakit atau host mom harus meeting dari pagi sampai sore. Host family saya juga sudah mewanti-wanti dari awal agar saya ikhlas absen kuliah karena saat ini memang tidak ada keluarga satu pun dari pihak ayah atau ibu yang bisa diminta tolong untuk menjaga anak di rumah.

Meskipun sadar di kontrak kerja sudah sepakat tugas saya setiap hari itu apa, tapi tetap saja ada momen yang membuat saya kesal dan lelah. Pagi-pagi, tanpa bisa leha-leha dulu di kasur dan sarapan dengan santai, saya mesti menyiapkan sarapan dan beres-beres rumah orang terlebih dahulu. Kadang kalau orang tuanya tak di rumah dan saya ditinggal sendiri dengan dua bocah, saya juga mesti bertugas layaknya orang tua mereka. Pagi-pagi selain menyiapkan sarapan, saya juga harus mengganti baju, dan mengantar mereka ke sekolah.

Bekerja dengan anak-anak tentu saja tidak mudah! Emosi dan energi saya terkuras luar biasanya, apalagi kalau anak-anak ini sulit sekali diajak kerja sama di pagi hari. Pernah suatu kali si adik popoknya mesti diganti karena poop, lalu gantian kakaknya yang ingin ditemani ke toilet untuk poop. Baru saja siap dan ingin keluar rumah, si adik poop lagi dan saya mau tidak mau harus kembali ke atas mengganti popoknya. Saat mengantar mereka ke TK, saya mengantur napas perlahan untuk menghilangkan rasa stres dan beban negatif ini. Rasanya ingin quit saat itu juga dan ganti pekerjaan lain yang tak harus dilakukan di pagi hari sebelum jadwal kuliah.

Oh well, saya juga tahu ada banyak pelajar asing yang rela bangun jam 3 fajar hanya untuk mengantarkan koran keliling rumah dengan kereta dorong. Tapi bekerja dengan benda mati tentu saja berbeda dengan bekerja dengan manusia. Working with kids has no negotiations! Mereka sakit, you have to leave an absence. They are slow, then you need to force them to move faster - yang mana buang-buang energi lebih banyak. God, I just want it to be over soon!

The high-quality element

Meskipun dirasa sangat sulit jadi au pair plus kuliah full time, tapi saya juga bersyukur sudah sampai di titik ini. Mengapa, karena jadi au pair duluan sebelum mulai kuliah di negara yang sama itu banyak juga hal positifnya.

Yang pertama, tentu saja karena kita sudah familiar dengan sistem. Lini masa Facebook saya di salah satu grup mahasiswa internasional selalu memuat status soal kebingungan mahasiswa asing yang baru saja tiba di Norwegia. Bingung soal mengurus residence permit , bingung bagaimana cara buka akun bank , bingung caranya beli tiket transportasi umum, bingung juga mengurus pajak, bahkan ada yang masih bingung menyalakan penghangat ruangan atau kompor listrik!

Sementara kita yang sudah duluan sampai ini, semua kebingungan tersebut sudah teratasi sejak awal. Ingin belanja, tinggal tap karena sudah punya kartu ATM. Ingin naik bus, tinggal pesan lewat aplikasi ponsel. Soal kompor listrik, I think all au pairs know it.

Yang kedua, tentu saja saya sudah familiar dengan kultur masyarakat setempat. Tak perlu lagi menyesuaikan diri dengan dinginnya musim dingin di Eropa Utara ataupun kaget dengan alam Norwegia yang tak ada jelek-jeleknya. Being an au pair lets us to be in the ecosystem immediately. Adaptasi jadi lebih mudah karena yang perlu saya pikirkan bukan lagi winter boots atau tempat beli sayuran murah, tapi jadwal kumpul tugas kuliah.

Yang ketiga, tentu saja soal bahasa. Bagi kalian au pair yang punya rencana lanjut kuliah di negara yang sama, saya sarankan belajar bahasa lokal semaksimal mungkin dari hari pertama kalian tiba di negara tersebut. Pick up some words and keep practicing! Hal ini tentu saja jadi nilai tambah di kehidupan sosial dan membuka lebih banyak kesempatan mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Karena menurut saya, belajar bahasa ini bisa jadi competitive advantage kita ketimbang pelajar asing lain yang baru tiba di Norwegia hanya untuk lanjut kuliah. Sebagai au pair yang diberikan kesempatan kursus bahasa - bahkan banyak yang dibayari host family, jangan sampai malas-malasan hanya karena excuse 'bahasa Inggris saja sudah cukup'.

In the end, saya sebetulnya tetap merasa bersyukur karena au pair ini bisa jadi penopang hidup saya di masa awal-awal kuliah. Saya tidak perlu lagi repot ingin tinggal dimana atau makan apa, karena sudah disediakan kamar dan makanan gratis di rumah host family. Selain itu, dari kerja jaga anak dan ini, saya juga mendapat uang saku sekitar NOK 6000 per bulan untuk membayar uang semester dan membeli tiket transportasi bulanan. Perjuangannya begitu terasa karena harus kerja demi mencukupi kehidupan hidup saat kuliah di negara orang!

Tapi sebetulnya, jadi au pair sekalian kuliah itu menyenangkan dan bisa membunuh waktu juga. Waktu saya terasa lebih cepat berlalu karena setiap hari tidak hanya memikirkan pekerjaan, tapi juga tugas kuliah yang tak ada habisnya. Waktu terasa semakin cepat berlalu, apalagi kalau sudah masuk hari Rabu. It's weekend soon, meskipun buntutnya masih ada tugas yang mesti dikumpul Seninnya.

Sekali lagi, cerita saya mungkin tak sama untuk setiap orang. Host family serta jam kerja saya juga pastinya tak berlaku bagi au pair yang lain. Yang pasti, jadi au pair plus lanjut kuliah di sisa akhir kontrak sangat doable, hanya saja mungkin lebih berat kalau kebetulan dapat host family yang tak mau rugi! Kuncinya adalah selalu komunikasi dengan host family tentang jadwal kuliah serta pandai mengatur waktu agar sebisa mungkin imbang keduanya.

Friday, May 8, 2020

Tips Exam!!|Fashion Style

Karena dari dulu saya sangat tertarik lanjut kuliah di luar negeri, rasanya begitu terinspirasi dan terhibur tiap kali membaca atau mendengar cerita orang Indonesia yang bisa lanjut kuliah di Eropa. Kali ini gantian, saya yang ingin cerita bagaimana sistem ujian di kampus saya di Universitas Oslo, setelah kemarin-kemarin lebih banyak cerita soal sistem kuliah di kelas .

Yang pasti setiap program studi dan kampus di Norwegia punya sistem yang beda-beda. Akhir tahun jadi masa paling sibuk bagi para mahasiswa karena semester musim gugur akan segera berakhir yang artinya, ujian sudah di depan mata! Perpustakaan biasanya jadi tempat nongkrong paling sering dikunjungi di kampus dan selalu penuh. Jam operasional akan ditambah menjadi setiap hari dan beberapa kantin kampus ikut buka lebih lama demi menemani masa-masa ujian para mahasiswa. Hampir semua kantin kampus juga memberikan diskon sampai 50% di minggu-minggu ujian untuk jenis makanan buffet.

Kembali ke program studi saya di Entrepreneurship & Innovation Management, dari awal semester sebetulnya saya sudah sangat disibukkan dengan banyaknya tugas kelompok.Literally, BANYAK! Di 3 mata kuliah semester ini, profesor saya sudah mulai mengadakan ujian individual bahkan dari satu bulan pertama kami belajar. Satu mata kuliah ada 3 ujian individu, ditambah tugas dan ujian kelompok. Belum lagi kami masih ada 2 mata kuliah lainnya yang sama-sama punya tugas dan ujian sendiri. Saya tak mengerti bagaimana para elit program studi ini mengatur jadwal sedemikian rupa sampai seintensif ini. Ternyata kuliah S-2 begini amat yakk!

Di sisi lain, ada mata kuliah tambahan (elective course)sebesar 10 ECTS yang menurut saya, sama sekali tak berguna. Salahnya mungkin juga ada pada saya yang salah mengambil mata kuliah. Ujiannya lisan dan bidang studinya juga sebetulnya tak terlalu saya minati, meskipun lumayan menarik; Renewable Energy & Technology System. Padahal ternyata ada beberapa mata kuliah general lain yang ujiannya dikerjakan di rumah alias home exam!

Untuk sistem nilai, di sini pakai huruf A-F atau pass/fail grading. F dinyatakan gagal dan nilai terendah untuk lulus adalah E. Pengajar di kampus ada yang memberikan nilai A, A/B, B, B/C, C, C/D, D, D/E, dan E dibandingkan berbentuk angka, meskipun hasil akhirnya hanya A-E saja. Jangan khawatir juga dapat C, karena di sini C diartikan "Good" atau sama seperti "B-" di Indonesia. Untuk dapat nilai A juga sebetulnya tak terlalu sulit asal tugas yang kita kerjakan sesempurna maunya pengajar dan ujian kompetensinya bisa dijawab dengan cukup baik. FYI, kalau memang ada niat lanjut S-3 atau sampai Ph.D, nilai jadi sangat penting.

Saya sebetulnya sudah cukup lelah dengan banyaknya tugas dan ujian yang harus dikerjakan semester ini. Dari 4 bulanan kuliah, rasanya hanya 2-3 minggu free tanpa tugas dan ujian. Namun ada baiknya, program studi ini lebih banyak menekankanhands-on experience ketimbang hanya mendengarkan teori dari dosen di kelas. Kalau memang tak terlalu baik di ujian individu, nilai kita bisa tertolong dengan nilai tugas dan ujian kelompok yang porsinya bisa sampai 60% dari total keseluruhan. Karena isi ujiannya juga tak ada di buku, kami sekelas juga tak perlu repot-repot nongkrong di perpustakaan saat masa ujian. Profesor saya cukup adil dan hanya mengambil soal-soal dari apa yang sudah diajarkan, meskipun ujiannya lebih mirip ujian anak SD yang 100% hapalan!

(Anyway, kampus di sini sangat terbuka menerima kritikan dan masukan dari para mahasiswa setelah semester berakhir untuk meningkatkan mutu program studi. Jadinya kalau memang dirasa banyak sistem yang kurang berhasil dan tak memuaskan, well, you are so welcome to file the feedback. Yes, I am ready!)

Oke, saya lelah, namun bukan berarti juga menyerah. I just wanted to brag since December is going to be the busiest month ever! Karena selain ujian dan tugas yang never ending, saya juga mesti siap-siap pindahan ke Swiss dan segera mengakhiri masa au pair ini! Tired, happy, but also a little bit of scared of what might happen next year.

Thursday, May 7, 2020

Tips Berburu 'Student Job' Tanpa Lelah (Bagian 1)|Fashion Style

"It doesn't matter if you flip burgers, bricks or houses. Just don't sit on your ass all day flipping channels. Hustle." - Denzel Washington

Setelah pencarian host families tanpa lelah sejak 5 tahun ke belakang, kegiatan saya berburu pekerjaan baru memang belum terhenti sampai di situ. Ketika mendengar cerita berkuliah saya di Norwegia, salah satu om menyayangkan keputusan saya harus kuliah dengan biaya sendiri. Apalagi setelah tahu saya akan kuliah sekalian bekerja paruh waktu untuk menopang biaya hidup. Ide ini dipandangnya cukup nekad dan gila mengingat beliau dulu bisa kuliah di luar negeri juga karena bantuan beasiswa.

"Kalau ada beasiswa, ya kenapa juga harus repot-repot kerja? Sebaiknya fokus saja ke studi, daripada harus mengorbankan waktu sekalian kerja part-time," ujarnya.

Dari sana, beliau dengan pedenya menyuruh saya mencari tahu informasi beasiswa LPDP yang begitu dia banggakan tersebut — meskipun dulunya dapat beasiswa dari Pemerintah Jerman, DAAD. Katanya tak masalah apply meskipun saya sudah masuk semester dua. Jadi maksudnya on going saja begitu. Well, demi memuaskan keingintahuan beliau, saya cari saja informasi soal beasiswa tesis LPDP yang mungkin memang tersedia tahun ini. Namun untungnya, memang tak ada!

Oke, saya bukan anti beasiswa. Saya malah sebetulnya sangat ingin dapat beasiswa tiap bulan tanpa perlu repot-repot dan capek memikirkan soal biaya hidup. Kuliah dengan biaya sendiri itu super duper berat, Sodara! Tapi apa daya, saya tahu diri. Nilai IPK pas-pasan, malas minta surat rekomendasi (lagi), belum lagi saingannya bejibun. Jadi daripada berekspektasi harus bisa kuliah dengan dana beasiswa, saya tetap akan kuliah meskipun harus menopang biaya hidup dengan kerja sambilan.

Lagipula, kuliah sekalian kerja paruh waktu di luar negeri itu sebetulnya punya banyak manfaat. Selain cari uang, kesempatan lainnya adalah;

1. Memperlancar bahasa lokal

2. Menambah pengalaman dan memperluas networking

3. Mengenal lebih jauh budaya kerja setempat

4. Punya rekan kerja dan tak lagi bicara dengan tembok layaknya kesendirian au pair dulu!

Di Norwegia, pelajar asing yang mendapatkan izin tinggal bisa bekerja paruh waktu sampai 20 jam per minggu. Di sini, kerja paruh waktu disebut deltid atau 50% porsinya, mengingat kerja heltid (100%) itu sama dengan 37,5-40 jam per minggu.

Kalau ada yang tanya ke saya, apakah cari kerja paruh waktu di Norwegia itu mudah, jawabannya adalah mudah! Syaratnya, kamu mesti bisa lancar bahasa Norwegia, dan yang kedua, kamu punya orang dalam alias teman yang bisa jadi referensi utama mu ke bos di tempat kerja tersebut. Mudah kan? ;p

Tapi bagi pelajar asing, cari kerja di Norwegia tanpa kedua syarat tersebut bisa jadi malapetaka karena keterbatasan lowongan kerja. Belum lagi, 70% lowongan kerja yang tersedia di sini sebetulnya tidak diiklankan, melainkan hanya kabar dari mulut ke mulut. Jadi kalau networking kita sempit, jangan harap bisa dapat pekerjaan dengan mudah, bahkan untuk jadi cleaning lady sekali pun!

Pekerjaan yang dikira mudah semisal pelayan McDonalds atau pegawai pom bensin pun tak banyak melirik pelajar asing karena masalah bahasa. Mengapa syarat bahasa Norwegia sangat mutlak di kota-kota besar semisal Oslo atau Bergen, karena tingginya persaingan antara orang asing dan warga lokal. Jadi kalau kamu hanya terpaku di bahasa Inggris, bisa dipastikan lowongan kerja akan sangat sedikit sekali. Makanya banyak pelajar asing lebih realistis dan memilih bekerja sebagai kurir makanan (layaknya GoFood), kurir koran, petugas kebersihan, atau babysitter lepas, yang berkualifikasi tanpa perlu menguasai bahasa lokal.

Kembali ke saya pribadi, karena memang tak punya orang dalam dan networking yang luas, saya masih sedikit beruntung karena bisa bicara dan mengerti bahasa Norwegia (level A2) meskipun memang belum cukup kuat untuk bersaing di luaran. Itulah mengapa ada manfaatnya jadi pelajar setelah menyelesaikan masa au pair, karena level bahasa kita biasanya lebih baik ketimbang para pelajar asing lain yang baru saja datang ke Norwegia. Plusnya lagi, karena memahami isi konten yang ada di internet, kita bisa curi start duluan berburu pekerjaan paruh waktu di banyak situs lowongan kerja seperti Finn, Glassdoor, Nav, Indeed, Karrierestart, dan masih banyak lainnya.

Untuk jenis pekerjaan, saya tak neko-neko.I don't care as long as I could pay my bills dan latihan bicara bahasa lokal. Jadi pilihannya bisa ke pelayan restoran, penjaga toko, atau asisten butik yang setiap hari menggunakan bahasa Norwegia. Selain jenis pekerjaan tersebut, saya juga mencoba melamar ke perusahaan startup di Norwegia pada posisi magang berbayar (paid internship). Saya mesti sombong sedikit untuk hanya memilih posisi magang yang dibayar karena sekarang memang sedang butuh uang.

Getting a process takes time!

Lalu apakah dengan menguasai bahasa Norwegia stage A2 membuat kesempatan saya lebih besar? Sebetulnya tidak juga. Dari banyaknya lowongan pekerjaan paruh waktu tersebut, tak semuanyaa saya berkualifikasi dikarenakan tetap ada persyaratan yang mengharuskan menguasai bahasa Norwegia dengan sangat lancar. Jadi walaupun sudah bisa bahasa lokal sedikit-sedikit, saya juga tak mau bertaruh mengirim lamaran kerja ke beberapa tempat yang memang mewajibkan bahasa Norwegia fasih sebagai syarat mutlak. Lagipula menulis resume dan surat lamaran kerja itu sangat melelahkan, lho! Saya mesti menyesuaikan isi surat lamaran dengan jenis pekerjaan yang saya lamar.

Kembali lagi, karena saya tidak punya orang dalam atau kenalan, serta degree bahasa Norwegia masih stage dasar, cari kerja paruh waktu menjadi tantangan yang sangat berat. Jangan salah, untuk posisi yang kita kira mudah seperti pelayan restoran atau pegawai toko, saingannya bejibun terutama dari kalangan pelajar lokal itu sendiri! Meskipun kita sudah banyak pengalaman lokal dan internasional, tapi kesempatan biasanya tetap diberikan kepada para pelajar lokal yang bahkan belum punya pengalaman sama sekali.

Cari kerja dimana pun juga melelahkan karena memerlukan proses yang panjang, mulai dari kirim lamaran sampai mendapatkan jawaban. Untuk posisi magang di musim panas (summer internship), saya bahkan sudah mengirim berkas lamaran sejak September tahun lalu. Prosesnya begitu lama dan saingannya pun sangat kompetitif, mengingat posisi yang saya lamar ini juga adalah paid internship. Sedangkan untuk kerja paruh waktu, saya memang sudah rutin mengirimkan lamaran sejak akhir November lalu. Dalam satu bulan, saya bisa mengirimkan 10-20 lamaran kerja ke banyak tempat. Ada yang direspon, ada pula yang tak ada kabar sama sekali. Karena sedang sibuk ujian akhir semester dan pindahan, saya juga tak punya waktu untuk follow up semua lamaran yang sudah dikirim.

Target saya, awal tahun 2020 harus sudah dapat pekerjaan baru! Bisa jadi masalah besar kalau sampai akhir Februari saya belum dapat kerja mengingat uang saku hasil au pair kemarin pun makin menipis. Sekarang saja satu minggu belum dapat kerja dan hanya duduk manis di kosan rasanya sangat membosankan. Meskipun bisa saja sesekali kena stress ala pengangguran, tapi untungnya saya tipikal orang yang cukup oportunis dan gigih. Setiap hari saya berusaha mengecek satu per satu lowongan kerja paruh waktu di internet dan mencocokkan dengan kemampuan yang saya miliki. Satu cocok, secepatnya saya mengirimkan resume dan membuat surat lamaran kerja hari itu juga.

Resume dan surat lamaran kerja (cover letter)

Sekarang mari membahas bagaimana caranya saya melamar pekerjaan ke banyak tempat, apakah datang langsung atau mengirim aplikasi via online. Yang pertama, saya ingin membahas dulu soal syarat lamaran kerja di Norwegia. Berbeda dengan Indonesia, kirim lamaran kerja di Norwegia itu anti ribet. Yang dibutuhkan hanya dua, resume/CV dan surat lamaran kerja (cover letter). Kecuali melamar posisi magang di perusahaan besar, syarat transkrip nilai jadi dokumentasi tambahan.

Banyak pekerjaan yang diiklankan di internet bisa langsung kirim aplikasionline tanpa perlu datang mengantarkan berkas ke kantornya. Beberapa perusahaan ada yang dengan baik hati memberifeedback, ada pula yang acuh sama sekali. Jadi kalau kamu lebih rajin dari saya, kamu bisa coba follow up semua surat lamaran kerja yang sudah dikirim tanpa harus menunggu jawaban yang lama terlebih dahulu.

Untuk CV saya buat berbeda-beda berdasarkan jenis pekerjaan dan posisi yang saya lamar. Bahasa yang saya gunakan di CV semuanya menggunakan bahasa Inggris untuk jenis pekerjaan apapun. Saat melamar kerja paruh waktu, saya buat lebih personal dengan menyertakan kemampuan bahasa serta hobi. Sedangkan saat melamar posisi magang, saya lebih menonjolkan pencapaian akademik dan organisasi. Layout-nya pun sangat simpel mengikuti pola Europass, hanya hitam putih. Yang penting isinya jelas ketimbang desainnya yang terlalu menonjol.

Selanjutnya adalah menuliskan surat lamaran kerja. Di komputer, ada banyak sekali file cover letter untuk masing-masing posisi yang sudah pernah saya lamar. Meskipun isinya tak jauh beda satu dan lainnya, namun memang ada yang saya tonjolkan di tiap surat lamaran kerja. Untuk posisi pekerjaan paruh waktu, saya menulis lamaran dengan bahasa Norwegia. Saya tulis kasar terlebih dahulu, lalu Mumu membantu mengedit kembali. Sementara untuk surat lamaran berbahasa Inggris, saya proofread sendiri.

Mengapa saya menuliskan surat lamaran kerja dalam bahasa Norwegia, karena ini membuka sedikit peluang untuk dilirik oleh HRD. Setidaknya akan menimbulkan kesan bahwa meskipun nama saya totok Indonesia, namun ada niat untuk berintegrasi dengan kultur lokal. Ada banyak sekali HRD yang langsung menyingkirkan aplikasi kita sekilas hanya melihat nama yang terlalu asing, meskipun kita bisa lancar bahasa Norwegia.

Sayangnya, dari semua cara di atas, kesempatan saya mendapatkan panggilan kerja pun tak banyak, terutama di jenis pekerjaan paruh waktu berbahasa lokal. Kalau mau dinilai, surat lamaran kerja saya memang terlalu "tipikal"  dan tidak menonjol dari pelamar lainnya. Tak dipungkiri, saya juga banyak melihat contoh di internet yang jenis kontennya memang seragam. Dari sini, saya mengganti taktik untuk menuliskan ulang motivasi dan pengalaman kerja secara lebih clear serta personal dari sebelumnya. Fiiuuhh.. what a process!

Ngomong-ngomong, ini dulu yang bisa saya ceritakan di postingan kali ini. Next, saya ingin cerita soal pengalaman wawancara kerja serta pekerjaan apa yang mungkin akan mendarat ke saya di awal tahun ini!

Kalian sendiri, apakah ada pekerjaan impian yang mungkin sempat terpikir kalau punya kesempatan bisa bekerja paruh waktu di luar negeri?

Monday, May 4, 2020

Tips Membangun Perusahaan Startup di Norwegia|Fashion Style

Setelah sibuk beberapa minggu ke belakang, saya akan membuka postingan pertama di bulan Maret tentang progress perkuliahan semester ini. Kalau ada yang tanya bagaimana kehidupan akademis saya di Universitas Oslo, jawabannya sedang ups and down. Tidak seperti semester lalu yang lebih disibukkan dengan riset dan presentasi, tahun ini pengalamannya lebih hands-on karena kami betul-betul terjun ke lapangan membuat perusahaan startup.

Sebagai salah satu negara terkaya di dunia berdasarkan GDP in line with kapita, Norwegia akan menjadi tempat dimana perusahaan startup baru akan terus bermunculan. Jika kalian tinggal di sini dan punya ide bagus membuat perusahaan teknologi baru bersama tim yang berkompeten di atas rata-rata, kalian setidaknya mampu mengumpulkan 1-2M NOK (~1,five-3T Rupiah) pada fase pertama.

Ada kabar baik juga bagi para pelajar yang tertarik membangun perusahaan startup. Banyak free money berkucuran dari organisasi di Norwegia yang mau menyumbangkan banyak uang untuk mendukung ide kita menjadi real business. Meskipun saya merasa perkembangan industri startup di Norwegia belum se-booming negara tetangganya di Skandinavia, tapi ekosistem di negara ini cukup menjanjikan bagi para entrepreneur muda.

Kembali ke program studi saya, di semester ini kami sekelas yang tinggal berisikan 10 orang dibentuk menjadi 3 tim baru. Tiap tim diwajibkan mempunyai ide bisnis yang bisa diaplikasikan dalam waktu maksimal 4 bulan. Ide ini tak wajib diteruskan menjadi real business, tapi hanya sebagai latihan bagaimana membangun startup di fase awal sebelum launching produk. Meskipun, salah satu tim ada yang sangat berminat meneruskan ide mereka menjadi bisnis nyata di masa depan.

Tidak semua ide bisnis bisa berkualifikasi, lho! Akan ada 2 kali presentasi yang harus dipaparkan sebelum semua tim berkualifikasi bisa meneruskan dan menjalankan ide tersebut. Kadang ada yang harus ganti ide sampai 3 kali, ada juga cerita gagal tak berkualifikasi dari para senior hingga ending-nya magang di salah perusahaan terpilih.

Milestones dari ide bisnis juga bisa bermacam-macam. Karena hanya diberikan waktu 4 bulan atau sampai semester kedua selesai, kami boleh membuat MVP (Minimum Viable Product), fixed business model, atau beta-version product sebagai hasil akhir. Karena akan sulit sekali membuat produk nyata yang produksi dan risetnya bisa memakan waktu lama, semua tim akhirnya sepakat akan membuat produk yang termasuk dalam industri teknologi. Produk digital layaknya sebuah situs atau aplikasi ponsel dirasa lebih realistis dan achievable dalam waktu 4 bulanan.

Saya dan 2 rekan satu tim memutuskan untuk membuat situs dan aplikasi ponsel yang tujuannya memudahkan hidup para foreigners dan anak muda Oslo yang tertarik dengan harga diskonan. Sebagai negara yang harga makanannya sangat mahal, kami on going membuat platform servis yang menawarkan diskonan di beberapa restoran di Oslo bagi yang suka makan-makan tanpa takut kantong bolong.

Agar suasana semakin mirip para entrepreneur yang bekerja di kantor, kampus bekerja sama dengan salah satu ekosistem startup di Oslo Science Park, StartupLab, untuk menunjang workflow kami. Kantornya sangat modern karena bukan lagi macam bilik-bilik tertutup ala kantor model dulu, tapi open space yang memungkinkan tiap entrepreneurs bersosialisasi dengan lebih leluasa. Kami juga dibantu beberapa mentor yang kadang datang memberikan masukan bagaimana mengelola riset pasar dengan lebih baik.

Setelah terjun langsung menjadi co-founder perusahaan startup, saya banyak belajar bahwa membangun perusahaan baru itu tidak mudah dan bukan cuma soal ikut-ikutan tren. Bekerja sama dengan orang yang tak tepat akan mempengaruhi alur kerja, mood, dan perkembangan perusahaan ke depannya. Teman yang baik secara personal, belum tentu akan cocok menjadi rekan kerja yang profesional. Akan ada banyak silent treatment dalam hubungan internal sebuah tim hanya karena kami berusaha menghargai perasaan masing-masing. That's why my academic life this semester has so much ups and downs.

Ide yang baik belum tentu juga akan berkembang menjadi bisnis yang bagus. Jadi kalau kamu sekarang sedang tertarik punya perusahaan sendiri dan merasa punya ide brilian, saran saya, banyak-banyaklah riset tentang pasar yang akan kamu tuju. Banyak-banyaklah bicara dengan calon pelanggan dengan cara wawancara, survei, atau mendengar keluh kesah mereka. Riset menjadi sangat penting karena ide dan bisnis yang bagus, ketika tak ada permintaan besar yang besar, akan menjadi bisnis yang sia-sia.

Akan ada banyak operating cost yang harus kamu pikirkan sekiranya tertarik membuat produk nyata; contohnya tas, baju, atau makanan. Kalau memang sudah punya modal, why not. Tapi kalau merasa ide kita akan berjalan sangat baik di pasar yang kita tuju, sering-sering saja datang ke event startup atau kompetisi ide. Kompetisi ini hadiahnya cukup lumayan dan bisa saja jadi salah satu money resource penunjang ide bisnis kamu. Sementara event startup ini bisa jadi tempat belajar sangat baik bagi yang ingin belajar bagaimana pitching di hadapan investor, ataupun tempat mingling sekedar cari networking.

Satu hal lagi dari profesor saya di kampus, jangan angkuh dan besar kepala! Anak-anak muda yang jualan baju online, belum tentu bisa dianggap seorang wirausahawan. Jadi the true CEO dari sebuah perusahaan itu langkahnya sangat panjang dan mentality juga penentu apakah perusahaan yang kita bangun akan berkembang di masa depan. Until then, I am still learning how to be a good CEO for my next real business!

Tips I Don't Need Friends, But Money! (COVID-19 Status)|Fashion Style

I left my blog previous for extra than 2 weeks!

Sebetulnya saya kurang berminat membahas status Corona di Norwegia karena berita soal pandemik ini sudah tersiar dimana-mana. Tapi karena memang belakangan ini sedang gelisah, mungkin tak salah menulis apa yang saya alami di sini lewat cerita lebih panjang. Beberapa kali saya berusaha bercerita via Instagram Story hanya demi menyalurkan kegelisahan dan berharap ada yang mengerti. Tapi dari sana saya sadar, bahwa yang paling banyak memberi support bukanlah teman-teman terdekat (yang sempat membaca Story tersebut), melainkan para blog readers yang saya tak kenal!

Hiks, terima kasih untuk kalian semua yang bersedia membaca cerita kegalauan saya hidup di Norwegia di tengah wabah Corona ini! Saya tahu ini memang bukan hanya masalah Norwegia, tapi seluruh dunia. Tapi karena ada beberapa orang yang merasa saya hanya pamer cerita sedih di Instagram, saya terusik untuk menguraikan mengapa kegalauan ini sampai terjadi!

Bagi yang sering baca blog ini, pasti setidaknya kalian tahu bahwa Desember 2019 adalah bulan terakhir saya menjadi au pair di Norwegia . Tidak pulang ke Indonesia, tapi saya meneruskan hidup di negara dingin ini dengan berganti status menjadi pelajar . Jadi pelajar di luar negeri dengan dana pribadi tentu bukanlah perkara mudah! Saya tidak hidup dengan dana orang tua, saya juga tidak pandai menabung dan hanya menyisakan beberapa persen dari semua total gaji au pair. Mulai tahun ini , saya harus berdiri di kaki sendiri dan harus mencari pekerjaan baru yang sifatnya paruh waktu.

Cari kerja paruh waktu di Oslo itu bukan main sulitnya! Jangan kira bekerja sebagai pelayan restoran, asisten toko, atau barista itu peluangnya mudah. Ada banyak sekali pelajar lokal dan asing di Oslo yang berminat mencari uang dari student job yang tentu saja semakin menambah persaingan. No wonder, job market di Norwegia itu sangat kecil dan banyak perusahaan setempat tentu lebih tertarik mempekerjakan orang-orang yang bisa lancar berkomunikasi bahasa lokal.

Hampir 2 bulan saya struggling cari kerja , 50 lamaran dikirimkan, penuh penolakan, hingga akhirnya dapat kerja di dua tempat berbeda; restoran India dan intern di perusahaan startup. I was on cloud nine! Finally bisa meneruskan hidup kembali di Norwegia dengan bekerja dan menunggu gaji setiap bulan. Saya bahkan sudah bertekad untuk membantu membiayai adik saya kuliah karena doi sudah bebas beasiswa di tahun terakhirnya di Cina.

...and then, this hard time hit the world!

Saya yang baru kerja 1 bulan 10 hari, terpaksa harus diistirahatkan sementara oleh pemilik restoran karena memang pemerintah setempat menghimbau hampir semua restoran tutup. Restoran tempat saya bekerja ini sendiri tidak tutup, karena masih beroperasi melayani makanan pesan-antar. Tapi bagi saya sebagai pelayan, kasus Corona ini harus menumbuhkan lagi krisis finansial yang entah berakhir kapan. Hal paling menyebalkan selanjutnya, pemilik restoran baru membayar gaji saya setengahnya dikarenakan masalah teknis dari akuntan mereka. Aaargh!

Pertengahan Maret, pemerintah Norwegia menggelontorkan dana miliaran rupiah (dagpenger) untuk membantu para pekerja yang terpaksa harus diistirahatkan sementara waktu. Sampai detik ini, ada sekitar 160.000 pegawai yang sudah mendaftar ke NAV (bagian ketenagakerjaan) untuk mendapatkan hak dagpenger. Namun cerita mirisnya, dana ini tidak berlaku bagi para pelajar, lokal maupun asing, yang harus laid-off. Alasannya hanya karena status kami sebagai pelajar! Lucunya lagi, seseorang di bagian pemerintahan merasa para pelajar adalah kaum yang paling boros dan tidak termasuk dari hak pekerja yang mendapatkan dagpenger.

Kasus ini semakin naik setiap hari karena banyak pelajar lokal dan internasional yang merasa kebijakan pemerintah setempat tak adil. Sebagai pekerja paruh waktu, kami juga berkontribusi ke negara dengan membayar pajak. Lalu mengapa nasib kami malah tak sama dengan para pegawai lain yang statusnya bukan pelajar?

Bagi pelajar lokal, kebijakan yang terus dibuat pemerintah dari waktu ke waktu juga semakin tak menguntungkan. Ketimbang memberikan bantuan finansial, pelajar lokal diberikan 'kesempatan' berhutang ke negara sebanyak sixty five% yang sisanya 35% bisa dikonversi ke hibah lewat L?Nekassen. Jadi bukannya dibantu, tapi mereka terus ditumpuk hutang hanya demi menutupi biaya bulanan. Banyak dari pelajar lokal ini harus meninggalkan kosan mereka, lalu pulang ke rumah orang tua karena tak kuat lagi membayar biaya akomodasi bulanan.

Senasib, pelajar internasional juga harus menjerit dan memutar otak bagaimana harus membayar kosan dan mencukupi hidup hingga setidaknya 2 bulan ke depan. Setiap hari kami berdiskusi via Facebook Group bagaimana caranya agar suara kami didengar. Selama ini pemerintah hanya berdalih bahwa pelajar asing bukanlah tanggung jawab mereka, karena pada dasarnya kami di sini harus bisa menanggung biaya pribadi dari jaminan NOK 122.000 yang sudah ditunjukkan ke imigrasi saat apply student permit . Yang mereka lupa, uang jaminan ini tidak harus ditunjukkan dengan tabungan bulat di bank, tapi bisa dari dana hibah, beasiswa, dan juga kontrak kerja paruh waktu! Saya pakai cara terakhir saat apply student permit di sini.

Sudah hilang pekerjaan, bantuan tak dapat, tetap harus membayar kosan, tagihan telpon, dan beli makanan pula. Belum lagi kalau odol atau pelembab badan habis, bisa jadi pikiran lain! Ibu saya yang tahu kondisi ini, berulang kali menyuruh saya pulang karena apa gunanya juga kuliah di negara orang tapi keuangan sedang terpuruk. Toh kuliahnya juga online dan tak perlu datang ke tempat kerja.

At the same time, saya sering menerima keluh kesah para au pair yang harus kerja dobel ketika host family ada di rumah. Hey kalian! Di saat seperti ini yang paling tepat hanyalah WFH alias kerja di rumah tapi gaji tetap ditransfer setiap bulan. Tugas memang tak jelas dan anak-anak mungkin bisa membuat mood lebih kacau, tapi setidaknya kalian tak perlu memikirkan bagaimana membayar tagihan kosan bulan depan, serta apa yang akan dimakan besok. This is the perk of being an au pair! In this crisis, it is better trying to do something and get paid. Ketimbang tetap sekolah, mengerjakan tugas, dan bekerja di rumah, tapi get nothing - seperti saya sekarang.

Ada yang tanya, apa saya masih punya tabungan dari gaji au pair dulu. Sejujurnya, tidak ada lagi. Percaya atau tidak, di akhir tahun lalu saya memberikan semua tabungan demi melunasi hutang kerabat terdekat. Dijanjikan akan dibayar Januari kemarin, tapi (tipikal) janji tersebut hanyalah omong kosong. Yeah, I know I was so stupid! Perasaan saya pedih dan sakit sekali tersadar semua uang jerih payah selama ini hilang bagai debu demi melunasi hutang orang. Lalu saya belajar, bahwa you don't have to be good to all people, but yourself first!

Lalu ada yang menyarankan untuk minta bantuan ke keluarga saya di Palembang, yang mana sama saja akan menyiksa mereka jika harus kirim uang jutaan rupiah di krisis seperti ini. Kuliah di Norwegia adalah pilihan pribadi dan sayalah yang harus bertanggungjawab terhadap diri sendiri, meskipun jalannya tertatih-tatih. Sudah jauh dari keluarga, jauh dari teman pula karena tak banyak yang tahu cerita saya di sini. But in the end, I am still happy because I can still talk to them digitally, yet the real thing I need now is money.

Last confession, bagaimana saya bisa bertahan hingga saat ini? Memanfaatkan sisa tabungan dari gaji bulan lalu, mengorek receh lewat mengisi survey berbayar di internet, serta menunggu pengembalian pajak di bulan Mei! Semoga ada berita baik dari pemerintah setempat ke depannya bagi mahasiswa internasional yang akan menghabiskan masa kuliah semester ini di rumah.

Stay healthy and live domestic, all of us!