Showing posts with label mahasiswa. Show all posts
Showing posts with label mahasiswa. Show all posts

Sunday, May 10, 2020

Tips Rasanya Jadi Mahasiswa Lagi|Fashion Style

Tapi, apakah jadi mahasiswa lagi memang seberuntung itu? Makanya kali ini saya akan cerita pengalaman rasanya bisa kuliah lagi di Norwegia setelah 5 tahun jadi au pair. Perlu dicatat juga bahwa pengalaman ini murni personal dan tidak sama bagi setiap orang. Karena sedang kuliah Master program studi Entrepreneurship di Universitas Oslo (UiO), maka isi konten tidak berlaku bagi semua jurusan dan kampus yang ada di Norwegia.

So, bagaimana rasanya jadi mahasiswa lagi?

1. Trust me, it's hard!

Bayangkan, sehabis lulus kuliah S-1 saya langsung hijrah ke Eropa jadi au pair sampai five tahun lamanya. Tak ada pengalaman profesional lainnya, karena kehidupan saya sixty five% hanya jaga anak dan bersih-bersih rumah, lalu sisanya jalan-jalan, belajar bahasa asing, dan buang-buang uang di kafe. Tak pernah menyangka juga akan selama itu karena tadinya hanya berharap maksimal 2-3 tahun saja jadi au pair di Eropa.

Lalu setelah 5 tahun bosan dengan rutinitas kaku seperti ini, saya akhirnya mencoba mendaftarkan diri ke kampus di Norwegia dengan harapan siapa tahu bisa lanjut kuliah . Now I am living my dream! Diterima di Universitas Oslo , lalu meneruskan hidup di Norwegia selama 2 tahun ke depan menjadi mahasiswa S-2. Bahagia memang, namun faktanya, tantangan baru dimulai di hidup saya. Dari yang tadinya banyak waktu luang dan sering leha-leha di kamar, lalu bertransisi jadi mahasiswa yang datang ke kampus setiap hari itu, ternyata bukan perkara yang mudah.

Apalagi program studi yang saya pilih ini , Entrepreneurship, tidak ada hubungannya sama sekali dengan passion dan pengalaman  kerja atau pendidikan saya dulu. Otak saya seperti diajak berpikir dua kali lebih cepat untuk menyerap informasi dari penjelasan profesor di kelas. Lalu di sinilah saya mengerti mengapa sertifikat bahasa Inggris di level minimalupper-intermediate itu sangat diperlukan jika ingin kuliah di luar negeri. Ada yang namanya scanning teks, listening untuk menyerap dan mengerti pesan yang disampaikan, presentasi dan juga paraphrase kalimat yang sering kali dibutuhkan saat ujian tertulis.

Kalau ingin berkaca dari pengalaman kerja dan kuliah terdahulu, saya selalu merasa bahwa tahun pertama itu akan menjadi tahun terberat. Mulai dari adaptasi yang tak mudah, mengenal sistem kampus yang tak sama dengan kampus di Indonesia, hingga kadang ingin menyerah saja karena mungkin salah tujuan. Saran dari saya, kalau memang kamu sudah ada niat dan proyeksi melanjutkan sekolah di luar negeri setelah selesai au pair , jangan ditunda terlalu lama. Setahun dua tahun selesai, lanjut saja jika memang tak ada masalah lagi dari sisi waktu dan finansial.

2. Lebih produktif

Mungkin lebih tepatnya, less bored. Jadwal kuliah saya semester ini sebetulnya lebih mirip datang ke sekolah bahasa karena durasinya tidak lama, tapi nyaris setiap hari! Mulai dari jam 9.15 pagi sampai 12 siang, kecuali satu mata kuliah tambahan selesai sampai jam 4 sore. Sehabis kuliah di kelas, saya kadang harus stay dulu di kampus sekitar 2-3 jaman untuk mengerjakan tugas kelompok yang setiap minggu selalu menunggu deadline. Pulangnya, harus kembali kerja jadi au pair seperti biasa sampai host kids tertidur. Lalu, tetap harus kembali ke laptop demi menyelesaikan tugas kelompok ataupun belajar bahasa Norwegia otodidak lewat internet.

Untuk program studi saya ini, syarat lulus mata kuliah harus memenuhi absensi 80%. Yang artinya, satu mata kuliah hanya bisa bolos 2-3 kali saja. Kalau memang sakit, harus menyertakan surat pengantar dari dokter untuk dilaporkan ke pihak administrasi. Karena mata kuliahnya juga saling berkaitan, bolos satu mata kuliah bisa berakibat pada komitmen group work. Anggota lainnya harus mengerjakan tugas tambahan yang tak dimengerti satu orang yang absen tersebut.Stressed-detected, karena saya pikir kuliah Master itu banyak longgarnya dan sebebasnya datang-absen ke kelas!

Yang pasti, jadi mahasiswa lagi itu penuh tantangan karena tugas dan kewajibannya lebih banyak! Kuliah S-2 saya ini juga tak terlalu banyak teori karena memang kuliahnya sangat hands-on. Tugas per tugas langsung diarahkan untuk menganalisasi pasar bisnis lokal yang sering dilakukan investor atau para konsultan di dunia nyata. Tapi karena kasus bisnisnya lebih berfokus ke pasar Norwegia, mempunyai kemampuan bahasa Norwegia di level dasar akan menjadi poin plus.

Three. Pindah jurusan?

Kelas saya hanya berisi 14 orang yang 70% mahasiswanya berasal dari Asia. Dilihat dari latar belakang mereka, teman-teman sekelas saya ini kebanyakan sudah pernah S-2 sebelumnya di Norwegia, punya pengalaman kerja profesional bertahun-tahun, hingga ada yang sedang menyelesaikan post-doctoral di kampus yang sama. Artinya, mereka adalah orang-orang yang memang highly educated dengan latar belakang ilmu sains.

Belajar dikelilingi oleh orang-orang berpendidikan tinggi dengan setting luar negeri seperti ini, tentu saja menumbuhkan motivasi saya. Apalagi dari mereka juga saya banyak mendapatkan insights bagaimana berkuliah di Norwegia dan memenangkan job market di sini. Tapi lagi-lagi, tahun pertama itu adalah tahun paling berat yang selalu saya alami, baik di pekerjaan atau pendidikan. Saya selalu memikirkan proyeksi karir ke depannya akan seperti apa. Yakinkah akan belajar program studi ini sampai akhir, mengingat di awal-awal semester juga saya banyak lost-nya. Belum lagi job market di Norwegia ini sepertinya lebih terbuka lebar bagi para tech savvy.

Saat tugas kelompok pun, saya lebih tertarik mengerjakan slides untuk presentasi dan membuat prototype Business Model. Mengapa, karena bisa bermain dengan warna, desain, dan bentuk. Teman-teman sekelompok juga mengamini bahwa saya sepertinya salah masuk jurusan, karena lebih punya kemampuan sebagai desainer grafis. Saya memang harusnya lebih banyak belajar soal Finance atau Business Evaluation, tapi karena bidang ini sangat baru, cara saya belajar pun sedikit lambat. Belakangan, sempat juga terpikir untuk mencoba daftar kuliah lagi tahun depan di bidang desain. Tapi entahlah, belajar ilmu baru seperti Entrepreneurship ini juga menarik untuk didalami sebetulnya. Let’s see, because I can’t pressure myself in the future.

Four. Hidup penuh diskon

Inilah the real perk of being a student di Eropa; dapat diskon dimana-mana! Apalagi hidup di Norwegia yang mahal ini, punya student card yang sakti bisa mengurangi ongkos di banyak hal. Contoh yang paling utama tentu saja soal diskon tiket transportasi sampai 40% dan harga makanan di kantin yang lebih murah dari harga restoran di luar. Kantin-kantin kampus ini juga memberikan diskon setengah harga saat pembelian 1 jam sebelum closing, serta gratis sepiring makanan di pembelian ke-10.

Namun meskipun menurut saya cukup murah untuk ukuran pelajar, tapi banyak orang tetap menganggap harga makanan di kantin pelajar mahal. Untuk sekilo porsi menu buffet dipatok NOK 149. Saya biasanya tidak makan sampai 1 kilo, seperempat atau setengahnya saja. Cara lainnya kalau tidak ingin keluar uang demi makan siang, bisa bawa bekal sendiri dari rumah. Tapi karena saya cukup sibuk di pagi hari, beli makanan di kantin tetap jadi opsi paling tidak seminggu sekali.

Diskon lainnya tentu saja adalah tiket masuk festival ataupun museum. Saya sebetulnya sangat suka memasukkan jadwal ke museum sebagai salah satu alternatif mengisi akhir pekan. Namun tinggal di Oslo dua tahun ke belakang membuat saya menahan diri masuk museum karena tiket masuknya mahal. Sekarang, karena punya student card, saya tidak perlu membayar harga penuh. Jadi untuk masalah diskon ini, saya menganggap status pelajar memang lebih beruntung ketimbang au pair. Tapi kadang beberapa event atau sistem transportasi masih menambahkan syarat lain, contohnya 'pelajar dengan usia di bawah 30 tahun'.

Selain diskon makan dan transportasi, mahasiswa di Norwegia juga punya akses kuliah bahasa Norwegia intensif gratis yang diselenggarakan dari kampus. Mahasiswa asing yang terdaftar di universitas Norwegia bisa memasukkan Bahasa Norwegia sebagai mata kuliah tambahan setiap semester. Belajarnya memang bisa menguras waktu, tapi karena free of charge, kesempatan ini harusnya tak boleh disia-siakan. Di luar, kursus bahasa Norwegia intensif harganya sangat mahal, sekitar NOK 12.000.

Selain itu, tiap kampus juga menyediakan program Microsoft Office gratis yang bisa diunduh lewat akun pelajar kita. Jadi kalau baru beli laptop dan belum punya Office, unduh saja gratis lewat akun kampus ketimbang repot-repot membajak. Karena ada juga iuran fotokopi di awal semester, kita bisa mengkopi dan scanning dokumen dari mesin-mesin di tiap departemen secara gratis. Tapi kalo printing lain lagi, tetap berbayar dengan harga 8 øre per lembar.

Satu lagi yang penting, kita bisa membuka akun bank bebas biaya administrasi tahunan! Hampir semua bank di Norwegia ini punya sistem yang sama; prosesnya lama dan berbiaya tahunan sekitar NOK 270-300. Lumayan juga apalagi bagi yang berpenghasilan tak seberapa seperti para pelajar. Tapi bagi yang sedang menempuh pendidikan di sini, kita bisa membuka akun khusus pelajar yang punya keuntungan bebas biaya administrasi.

Oh ya, kalau ada yang penasaran apakah kuliah Master itu perlu punya buku? Tentu saja, PERLU! Tahu sendiri kan harga buku-buku kuliah itu betapa mahalnya?! Sebagai bocoran, satu buku kuliah Finance saya dipatok dengan harga lebih dari 1,8 juta rupiah! Tak hanya bagi mahasiswa asing, bagi mahasiswa lokal pun harganya terbilang sangat mahal. Di awal semester, toko buku kampus saya penuuuh oleh banyaknya mahasiswa baru yang mengantri membeli buku pelajaran baru. Saya melihat dua orang mahasiswa yang borong buku sampai sekeranjang penuh. Tanyalah harganya, meskipun sudah pakai student discount tetap saja bisa lebih dari belasan juta jika dikonversi.

Tapi untungnya, senior kampus saya berbaik hati memberikan soft copy buku dalam bentuk .pdf file. Cara ini sebetulnya termasuk 'ilegal' karena profesor saya di kampus betul-betul memaksa kami membeli buku fisik. Tapi apalah daya kantong kami tak ada yang mampu membeli semua buku yang direkomendasikan. Kalau memang terpaksa membeli buku fisik, saran lainnya bisa coba cari buku bekas di finn.no ataupun meminjam di perpustakaan yang antrian pinjamannya juga panjang.

5. No (hard) party because we are too old

Saya ingin menepis asumsi yang mengatakan bahwa pelajar di luar negeri doyan party dan hura-hura. Rata-rata yang suka party seperti ini adalah para mahasiswa yang baru memulai S-1 mereka dengan usia belasan atau awal 20-an. Untuk yang lanjut S-2, jangan harap semuanya memiliki gaya hidup yang sama. Karena jangankan party, diajak nongkrong saja banyak yang tak berminat.

Contohnya di kelas saya, semuanya sudah di atas 24 tahun, menikah dan punya anak, serta sangat serius belajar. Ketimbang party ala anak muda di diskotek, kami lebih suka datang ke pesta edukasi yang diselenggarakan oleh perusahaan, atau datang ke seminar yang selaras dengan program studi. Jadi asumsi bahwa semua pelajar luar negeri itu suka party, jelas saja salah!

Selain tak suka party, para mahasiswa S-2 ini juga bisa dibilang tak 'seasik' S-1 dulu. Saya ingat zaman kuliah S-1, saat saya betul-betul merasa menjadi bagian keluarga dengan teman sekelas. Bebas berekspresi dan saling terbuka satu sama lain. Di luar negeri, jangan harap bisa seterbuka itu meskipun dengan teman sekelas. Di kelas saya contohnya, orang-orang terlihat serius dan sangat jarang bercerita tentang masalah pribadi mereka. Bahkan untuk pertanyaan, "are you married or single?" pun dinilai terlalu personal. Makanya obrolan juga terkesan kaku dan hanya berkutat di masalah tugas dan ujian. Belum lagi beberapa kelompok orang merasa paling berkompeten dan menjadikan proses pembelajaran sebagai kompetisi mencapai nilai terbaik, bisa membuat suasana di dalam kelas layaknya olimpiade setiap hari.

Jadi kalau merasa kekurangan networking dan teman jalan, teman sekelas tak akan selalu bisa jadi prioritas di dalam daftar. Tak jarang para mahasiswa internasional lebih sering nongkrong dengan teman satu negara, cari networking lewat acara di MeetUp, ataupun sekedar cari teman kencan lewat online apps.

6. Less travelling

Ada untungnya juga jadi mahasiswa selepas kontrak au pair. Jalan-jalan yang dulunya jadi prioritas, sekarang bisa dikurangi untuk lebih fokus ke sekolah dan pekerjaan. Lima tahunan di Eropa, saya beruntung sudah menapakki lebih dari 20 negara (dengan gaji au pair!). Dulu masih enak karena hari libur bisa bernegosiasi dengan host family dan uang saku pun tiap bulan selalu muncul di rekening.

Sekarang, selain mesti berhemat, jadwal kuliah juga sangat tidak fleksibel. Di Norwegia, mahasiswa hanya mendapatkan jatah libur Natal &Tahun Baru serta Paskah, di luar hari libur publik lainnya. Tanggal-tanggal ini juga termasuk peak season yang harga tiketnya lebih mahal dari hari biasa. Satu-satunya kesempatan untuk libur lebih panjang memang harus menunggu summer lebih dahulu, dari pertengahan Juni sampai pertengahan Agustus. Kadang tak banyak juga mahasiswa yang aktif jalan-jalan karena sibuk cari summer job.

But anyway, menjauh sebentar dari kota tempat kita tinggal juga sangat perlu perlu sekurang-kurangnya setahun sekali. Yang namanya jadi pelajar, pasti ada masa pusingnya karena menumpuknya tugas kuliah dan ujian. Tapi saya selalu ingat kata-kata ibu di rumah, "Nak, sudah cukup ya jalan-jalan. Sekarang waktunya menabung dan fokus belajar, jangan keasikan jalan-jalan terus."

Paham, Mak!

Final verdict-nya, jadi mahasiswa lagi itu tidak mudah! Apalagi pengalaman profesional saya tidak banyak karena sudah terlalu lama jadi au pair. Semuanya sangat menantang karena selain program studinya sangat baru, lingkungan kampus dan teman sekelas yang sangat individual jangan sampai jadi keterbatasan dalam bergaul.

Well, that's a wrap and I really hope you enjoy this post!

Saturday, May 9, 2020

Tips Menghitung Uang Saku Pelajar vs Au Pair di Norwegia|Fashion Style

Banyak orang awam yang mengutuki sistem kerja au pair karena dianggap abusive dan tak sesuai dengan ketentuan seharusnya. Dengan gaji NOK 5900 per bulan di Norwegia contohnya, au pair hanya terlihat sebagai praktek perbudakan semata yang berkedok pertukaran budaya. Belum lagi adanya budaya overworking, diperlakukan tak adil dan abusive oleh para host family. Tapi meskipun banyak cerita buruk berkembang di luaran, toh masih banyak saja anak-anak muda Indonesia yang ingin jadi au pair. Karena kebanyakan yang dicari memang bukan uang, tapi kesempatan tinggal, belajar, dan jalan-jalan.

Entah adil atau tidak menurut masyarakat awam, sebetulnya uang saku yang diterima oleh au pair di tiap negara itu sudah diatur sedemikian rupa mencocokkan uang saku pelajar setelah dipangkas kebutuhan primer lainnya. Saya sudah pernah bercerita sedikit soal uang saku au pair di sini . Silakan dipahami terlebih dahulu, lalu pikirkan kembali, apakah menurut kalian adil atau tidak. Semakin tinggi biaya hidup, semakin besar pula uang saku yang au pair tersebut dapatkan.

Sebagai seorang au pair yang juga merangkap mahasiswa S-2 di salah satu perguruan tinggi di Norwegia, kali ini saya ingin sharing lebih banyak soal uang saku yang seringkali jadi perdebatan ini. Saya contohkan saja perbandingannya dengan uang saku para pelajar asing yang bekerja paruh waktu di luar, sedang belajar menggunakan dana beasiswa, atau dapat hibah dan pinjaman pemerintah dari Lånekassen.

1. Jam kerja dan upah

Mari kita mulai dari sini dulu, jam kerja serta upah minimum yang diterima. Di Norwegia, jam kerja au pair normalnya 30 jam per minggu, sementara mahasiswa asing hanya diperbolehkan bekerja 20 jam per minggu di tahun pertama, namun diizinkan bekerja full time saat sedang libur.

Upah minimum untuk pekerjaan paruh waktu juga diatur sesuai dengan usia, jam kerja, serta jenis pekerjaan yang kita lakukan. Sementara au pair tidak punya upah kerja baku karena sudah dijatah NOK 5900 (2019) setiap bulannya. Normalnya, pekerja paruh waktu di Norwegia diupah NOK 140-200 per jam. Usia di atas 27 tahun wajib diupah minimal NOK 180 per jam meskipun jenis pekerjaannya hanya sebagai pelayan restoran. Kerja di atas pukul 9 malam dan akhir pekan/libur, gaji per jamnya naik jadi 160%. Sementara kalau ingin cari kerja serabutan di luar seperti tukang bersih-bersih atau babysitter lepas, upah diatur dengan kesepakatan antara kita dan employer.

Let's say saya bekerja jadi pelayan restoran dengan upah NOK 180 per jam. Dalam seminggu, saya bisa mengantongi sekitar NOK 3600. Dengan 80 jam kerja dalam sebulan, saya bisa mendapat gaji bruto sebesar NOK 14.400.

Gaji bruto;

Au pair: 120 jam kerja per bulan = NOK 5900

Mahasiswa yang bekerja paruh waktu: 80 jam kerja = NOK 14.400

Oke, sampai sini semuanya hanya berupa gaji bruto yang belum dipotong pajak. Di Norwegia semua yang berpenghasilan wajib bayar pajak, meski au pair sekalipun. Untuk pekerja biasa, pajak biasanya dikenakan sekitar 30-35% dari penghasilan. Sementara au pair, pajaknya tak tetap karena bisa berpengaruh pada banyak hal, tapi kita asumsikan saja 15% (meskipun ada juga yang 6 atau 35 persen!)

Setelah pajak;

Uang saku au pair: NOK 5015

Gaji paruh waktu (pajak 30%): NOK 10.080

Anyway, untuk mahasiswa yang dapat beasiswa atau dana hibah, jumlah per bulannya untuk yang masing single sekitar NOK 11.000 tanpa dipotong pajak.

2. Akomodasi

Setelah upah, lanjut lagi ke biaya akomodasi. Sebagai mahasiswa asing, tentunya place to stay and sleep adalah yang paling banyak menyita biaya bulanan. Sama seperti banyak negara lainnya, tentu saja biaya sewa bulanan di ibukota tak akan sama dengan kota kecil.

Di Oslo, biaya sewa kamar sepetak seluas 8 sqm di apartemen berbagi saja dipatok antara NOK 3500-5000 tergantung dari berapa banyak penghuni rumah, berperabot atau kosong, serta kemudahan akses transportasi ke tengah kota. Pilihan lainnya adalah menyewa kamar di student housing yang harganya juga bervariasi tergantung kelengkapan kamar tersebut. Yang pasti kita bisa memilih apakah ingin berbagi fasilitas dengan orang lain atau semuanya ada di satu kamar pribadi. Semakin lengkap kamar, semakin mahal. Katakan saja kamar  bermebel berukuran 11 sqm dengansharing toilet & kitchen di student housing berharga NOK 4200 sebulan.

Biaya sewa kamar;

Au pair: GRATIS! Kamar biasanya cukup luas, berperabotan sendiri, punya kamar mandi pribadi bahkan dapur sendiri! Ilustrasi kamar di atas adalah yang biasanya paling banyak au pair punya.

Mahasiswa asing: NOK 4200 sebesar 11 sqm dengan kamar mandi dan fasilitas dapur yang harus berbagi dengan 6-8 mahasiswa lainnya

3. Makan

Setelah tempat tinggal, biaya primer lain yang harus dipikirkan adalah biaya makan setiap hari. Jadi mahasiswa asing harus pintar-pintar berhemat karena biaya hidup Norwegia  sangat mahal. Masak sendiri adalah cara paling ampuh untuk menghindari pengeluaran membengkak. Rajin mencari informasi barang diskonan di situs toko sayuran juga bisa dicoba jika ingin mendapatkan produk dengan harga miring.

Setiap orang tentunya punya kebutuhan pokok yang tak sama. Tapi kalau ingin dihitung, biaya beli bahan makanan ini bisa kita bulatkan NOK 500 per minggu. Jadi dalam satu bulan, mahasiswa asing setidaknya mengeluarkan sekitar NOK 2000. Biaya ini belum ditambah jika kita ingin jajan di luar atau makan di kantin kampus.

Kebutuhan pangan sebulan;

Au pair: GRATIS! Join makan dengan host family atau kalau pun harus jajan mie atau sayuran sendiri, semaksimalnya NOK 500

Mahasiswa asing: Sekitar NOK 2000-2500

4. Tiket transportasi

Setiap daerah di Norwegia punya sistem transportasi sedikit berbeda, termasuk soal harga. Di beberapa wilayah, ada tiket khusus anak muda sampai usia 29 yang harga perbulannya hampir setengah harga normal. Sementara di Oslo, tak ada yang membedakan anak muda kecuali status full-time student- atau trainee-nya atau usia di bawah 19 tahun.

Ongkos bulanan;

Au pair: Di Oslo, harga tiket perbulan untuk tahun 2019 adalah NOK 746

Mahasiswa asing: Diskon sampai 40% atau NOK 450

KESIMPULAN:

Sehemat-hematnya mahasiswa yang tinggal di Norwegia, uang saku bulannya tetap akan kalah dengan 'penghasilan' au pair. Biaya di atas juga belum termasuk paket telpon dan internet yang kebanyakan au pair dibiayai oleh host family. Tapi mengapa uang saku au pair malah yang paling cepat ludes? Kembali lagi ke gaya hidup "tanpa absen nongkrong dan jalan-jalan". Travelling penting, namun menabung juga penting, but what should you prioritise?

Makanya tak heran seorang teman saya rela jadi serial au pair hanya karena kehidupannya yang nyaman, makan-minum-tidur sudah ditanggung. Buka pintu kamar, langsung kerja tanpa harus berjibaku dengan dinginnya salju di musim dingin. Belum lagi adanya fasilitas mewah lainnya seperti diajak travelling bersama, tiket PP gratis, sampai kamar yang mirip hotel bintang lima. Enak kan (sebetulnya) jadi au pair?

Now, tell me what you think! Menurut kalian, uang saku au pair itu sebetulnya sudah cukup adil belum sih?