Showing posts with label alasan jadi au pair. Show all posts
Showing posts with label alasan jadi au pair. Show all posts

Thursday, May 14, 2020

Tips Berapa Usia yang Tepat Mulai Au Pair?|Fashion Style

Lima tahun lalu, saya memulai petualangan pertama di Eropa dengan menjadi au pair di Belgia . Dulu masih banyak yang belum tahu program pertukaran budaya ini. Kalau pun tahu, biasanya informasi lebih cepat menyebar di kota-kota besar di Indonesia. Sementara saya, anak daerah, tidak pernah tahu apa itu au pair sebelum menemukan situs Au Pair World tanpa sengaja.

Saat itu usia saya 22 tahun dan masih berstatus mahasiswi semester akhir di Universitas Sriwijaya. Bisa dikatakan, karena au pair ini juga saya makin semangat mengerjakan skripsi dan ingin segera wisuda. Kontrak au pair pertama saya dimulai Maret 2014 dan saya mengejar wisuda di bulan Januari di tahun yang sama. Terima kasih teman-teman almamater atas dukungannya!

I was so lucky knowing au pair program in a perfect time! Saat itu saya memang belum ingin cari kerja dan muak dengan bangku kuliah. Makanya program ini seperti membuka lembaran dan tantangan baru dalam hidup saya dalam mengisi gap year setelah lulus. Sekarang, setelah 5 tahun tinggal di Eropa dan statusnya masih jadi au pair, saya tidak pernah menyesal pernah memulainya di usia yang tepat.

Menurut pendapat saya, jenjang usia yang paling tepat jadi au pair pertama kali adalah 20-24 tahun. Meskipun syarat umur au pair antara 18-30 tahun (tergantung negara masing-masing), namun memulai au pair di usia late 20s juga cukup riskan. Mengapa, karena kalau kita ada masalah dengan host family dan harus ganti keluarga saat sudah overaged, aplikasi kita akan ditolak dan mau tidak harus segera angkat kaki dari negara tersebut.

Alasan saya yang lain, di usia 20-24 tahun ini kebanyakan dari kita sudah lulus kuliah atau SMA dan memiliki pengalaman kerja. Yang saya tahu, banyak keluarga Eropa lebih mempertimbangkan au pairearly to mid 20s dibandingkan anak-anak baru lulus SMA. Selain tidak ada pengalaman yang signifikan, abege tua biasanya dianggap lebih emosian dan labil.

Sementara bagi host family yang punya anak bayi, kebanyakan mencari calon au pair >24 tahun yang dianggap cukup dewasa jadi orang tua ketiga dan mampu menghadapi ketidakstabilan emosi anak kecil. Saya merasa, di jenjang usia 20-24 tahun ini juga, kita bisa lebih matang memikirkan strategi ke depannya seperti apa. Ingin lanjut au pair beberapa kali lagi kah, ingin lanjut kuliah, atau ingin pulang ke Indonesia untuk cari kerja.

Beberapa teman saya yang baru mulai jadi au pair di usia late 20s kebanyakan merasa menyesal mengapa baru tahu au pair di usia segitu. Selain kesempatan jadi au pair di banyak negara semakin kecil, planning yang direncanakan setelahnya pun kurang matang. Mengapa, karena kebanyakan au pair tidak hanya cukup setahun tinggal di Eropa. Ada perasaan "ketagihan" ingin coba jadi au pair lagi di negara lain.

Tapi, tidak ada kata terlambat. Apalagi informasi umum tentang au pair ini memang tidak mudah didapat kecuali kalian digging sendiri. Belum lagi alasan terbesar lain adalah terhambatnya izin orang tua . Kalau baru tahu au pair saat usia 28 dan kebetulan memang ada host family yang tertarik, just go for it!You ARE still young anyway! Baca juga postingan saya ini mengapa kamu harus coba jadi au pair di usia 20-an!

Saran saya, bagi yang tertarik jadi au pair setelah lulus SMA, coba tahan dulu untuk cari kerja selama 2-3 tahun di Indonesia. Lumayan, pengalaman ini bisa memperbagus CV dan membuktikan ke calon host family bahwa kamu adalah orang yang independen dan bertanggungjawab. Kalau belum dapat pekerjaan, coba juga sekalian kursus bahasa baru yang negaranya ingin kamu kunjungi. Siapa tahu, selepas au pair kamu bisa cari kerja atau lanjut kuliah S1 di Eropa.

Yang sudah punya karir bagus di Indonesia, jangan juga sampai salah langkah. Foto-foto traveling keren ala au pair yang kalian lihat di media sosial itu hanyalah kamuflase belaka. Kenyataannya, au pair itu harus bisa jadi cewek serba bisa dan fleksibel mulai dari jemput anak sampai ngosek WC yang tidak mungkin ditampilkan di media sosial. Yakinlah, au pair is not a fairytale. Cerita buruk di dalamnya juga banyak, apalagi kalau sial dapat keluarga angkat yang jahat. Kalau penasaran ingin tinggal di luar negeri, mungkin bisa pilih homestay ketimbang jadi au pair. Takutnya, sudah melepaskan karir yang bagus tapi baru merasa kalau au pair bukanlah hal yang kamu cari. Please do A LOT of research before starting!

Bagi yang baru tahu au pair belakangan ini dan hampir mendekati usia 30 tahun, that's totally okay to start looking for your potential host families! Ada banyak negara yang masih membuka kesempatan au pair sampai usia 30 tahun, yang penting belum menikah dan punya anak. Bingung ingin kemana? Coba baca referensi saya disini ! Baca juga 7 tips ini agar profil kamu dilirik calon keluarga!

Being an au pair is (definitely) the easiest way to fly you to Europe, yet the hardest way to figure out what to do next !

Saturday, May 9, 2020

Tips The Story of 'Malu Jadi Au Pair' |Fashion Style

Bulan lalu Twitter Indonesia dihebohkan dengan isu seorang cewek belia yang mengaku kuliah di Jerman, tapi sebetulnya au pair. Dari kebohongan ini, si cewek banyak dihujat oleh netizen sampai dilontari kalimat, "halah, jadi pembantu aja sok-sokan ngaku kuliah di Jerman!". Meskipun katanya sudah banyak bukti-bukti menunjukkan bahwa si cewek ini memang au pair, namun dari pihak si ceweknya sendiri tetap kukuh kalau status dia di Jerman sekarang adalah pelajar.

Saya sebetulnya tidak akan membahas terlalu jauh isu yang mulai dilupakan tersebut. Saya juga tidak tahu apakah isu tersebut fakta atau hanyalah gosip belaka. Namun kalau memang fakta, saya hanya perlu menggarisbawahi bahwa si cewek ini bukanlah satu-satunya au pair yang mengaburkan statusnya di Eropa! Au pair yang mengaku ke orang lain kalau dirinya sedang bersekolah di Eropa itu sesungguhnya...BANYAK!

No judge! Saya paham mengapa banyak au pair yang tidak ingin jujur soal apa yang mereka lakukan di sini. Kalau mereka jujur ke semua orang, apakah orang-orang ini akan mengerti dan berpikiran terbuka? Kalau semua orang tahu, yakin si au pair ini tidak akan dihujat dan disamakan dengan TKW yang keluar negeri jadi pembantu? Lalu kalau si au pair betul-betul ingin jujur ke keluarga, yakin akan langsung diberi restu saat itu juga untuk menapakki Eropa? Nope!

I have been there! Dari awal ingin jadi au pair, saya tahu minta izin ke orang tua dan menjelaskan ke orang-orang terdekat adalah tantangan paling berat. Tapi daripada bohong, saya tetap utarakan niat dengan jujur. Dari sana, saya upayakan untuk menjelaskan ke mereka dengan cara lain; saya cari semua makna positif au pair di internet, dicetak beberapa rangkap, lalu saya sebarkan ke keluarga dan beberapa teman terdekat agar mereka paham au pair itu apa. Lalu, apakah saat itu juga mereka paham dan mengizinkan saya ke luar negeri? Tentu saja, TIDAK!

Status saya masih saja disamakan dengan pembantu, TKW, babysitter, atau entah segala macamnya yang dinilai sama sekali tidak worth-it dan membanggakan. Satu hal, orang Indonesia masih melihat bahwa anak-anak muda yang tinggal di Eropa itu hampir semua tujuannya adalah belajar. Pulang-pulang setidaknya membanggakan karena bawa gelar internasional yang bisa meningkatkan kualitas dan rasa kepercayaan diri di lingkungan sosial.

Tapi mengapa saya tetap jujur meskipun tahu akan mendapatkan respon negatif? Karena saya ingin langkah ke Eropa tetap direstui meskipun berat. Saya juga ingin membuktikan bahwa saya bisa bertanggungjawab terhadap diri sendiri tanpa harus minta uang jajan lagi! Hanya saja, kejujuran ini hanya saya utarakan ke keluarga dan satu dua teman yang betul-betul mendukung 100 persen. Sisanya, daripada capek-capek menjelaskan lagi tapi mereka sama sekali tak mengerti, saya katakan saja bahwa saya sedang mengikuti program pertukaran budaya dan bahasa. Sampai sini, aman!

Di Belgia, karena lingkup sosial saya au pair dan teman sekolah bahasa saja, maka tak ada alasan untuk mengaku-ngaku sebagai mahasiswa. Cowok-cowok Belgia yang saya kencani pun tak banyak komentar, karena kebanyakan dari mereka juga masih awam tentang au pair. Lagipula menurut pendapat saya, orang Belgia cenderung santai dan sangat terbuka. Jadi mengaku sebagai cleaning lady pun, mereka tak akan menganggap kita buruk.

Nørrebro, Kopenhagen, Denmark

Namun, my life turned to be a lie sejak tinggal di Denmark! Kalian harus tahu bahwa imej au pair di Denmark itu sangatlah buruk. I mean, really really bad! Menurut cerita yang berkembang, imej buruk ini terbentuk lantaran banyaknya au pair Asia (terutama Filipina) yang mengingkari kontrak au pair sebelum selesai. Berkencan dengan cowok lokal, lalu tiba-tiba hamil. Selesai au pair, tak mau ingin pulang ke negara asal, bisa saja menikah sembarangan dengan lelaki tua sekali pun. Belum lagi banyaknya kasus au pair yang di-abusehost family sampai kabur dan hanya meninggalkan surat di kotak pos keesokkan harinya. Denmark is totally the worst country to be an au pair! Dari host family -nya yang kebanyakan tak mau rugi, sampai perspektif orang lokalnya yang menilai au pair itu pekerjaan rendahan.

I am not lying! Beberapa cowok Tinder yang saya kenal bisa tiba-tiba langsung mengakhiri chat kami kalau saya mengaku au pair di depan. Kalaupun harus ketemu dan berkencan dengan mereka sekali dua kali, saya katakan saja sedang menempuh studi di Denmark. Tak hanya sampai di situ. Suatu kali saya dan beberapa orang teman baru ketemu untuk nongkrong di kota. Baru terlibat beberapa menit diskusi, saya merasa mereka semua out of my league karena yang dibahas adalah soal kuliah dan isu-isu yang tak saya mengerti. Mengajak saya mengobrol? Mungkin hanya 5 persennya saja! Yang ditanyakan ke saya juga soal asumsi murahannya yang cuma mendengar Indonesia dari berita sampah, "I heard women in Indonesia are seen like meat. Jadi kalau si laki-laki ini melihat cewek, seperti mangsa begitu."  Maksud ente??!!!

Denmark, what's wrong with people in your country?!

Oh wait, cerita buruk saya sebetulnya masih banyak. Tapi sesungguhnya cerita buruk ini tak hanya saya yang mengalami. Teman saya pun sering cerita kalau banyak orang di Denmark yang tanpa bertanya lagi, bisa saja menebak bahwa si teman ini asalnya dari Filipina dan bekerja sebagai au pair. Satu hal yang membuat teman saya ini cukup kecewa, seorang cowok yang dia kenal di Tinder pun seringkali menanyakan keseriusan teman saya ini ke depannya, "are you sure you date me because you really like me? Bukan karena kamu hanya ingin punya visa lanjutan sampai hamil kan? Yang aku temui faktanya begitu dari para au pair Filipina."

Jangan pernah salahkan saya punya pandangan negatif dengan para au pair Filipina yang tinggal di Eropa ! Tidak semua dari mereka punya niat aneh-aneh memang, namun hanya segelintir oknum. Masih terikat kontrak kerja, tapi tiba-tiba hamil dan tak diakui oleh si pacar bulenya. Atau juga yang terlalu naif dan penurut, sampai tak sadar sedang diperbudak oleh si host family.

Karena tak ingin disamakan dengan para au pair Filipina, akhirnya saya niatkan saja dari awal sampai akhir untuk tak pernah mengaku sebagai au pair. Orang-orang Indonesia yang tak saya kenal dan ditemui sekali dua kali, malah lebih banyak menebak saya sedang berkuliah di Denmark. Saya iyakan saja dan diamini dalam hati. Saat ditanya kuliah dimana, saya jawab di KADK atau sekolah desain dan arsitekturnya Denmark. Jurusan apa, saya jawab Spatial Design. Aman!

Dari dulu saya memang sudah sangat tertarik masuk kuliah desain, makanya sudah lama mengintip  kurikulum kuliah desain di KADK (The Royal Danish Academy of Fine Arts, School of Architecture, Design and Conservation). Makanya saat ditanya lebih detail tentang program studinya pun, saya bisa dengan lancar menjawab layaknya memang sedang kuliah di sana.

Don't blame me! Saya malas menghadapi pertanyaan dan juga ekspresi orang-orang kolot yang masih merasa au pair itu pekerjaan rendahan, sampai menganggap kami ini babu atau lebih buruknya,bule hunter yang hanya ingin green card saja!

Mosjøen, Norwegia

Pindah ke Norwegia, saya lepaskan semua atribut palsu itu. Capek rasanya berbohong sebagai mahasiswa demi meningkatkan kepercayaan diri agar tak merasa malu. Populasi au pair Filipina di Norwegia juga sebetulnya sebanyak di Denmark dan kebanyakan orang-orang lokal juga tahu au pair itu apa. Tapi ternyata, imej pendatang dari Eropa Timur lebih jelek dari au pair Asia! Au pair di Norwegia dianggap bersifat politik yang masih ada hubungannya dengan kepentingan orang banyak; alias membantu keluarga kaya raya yang butuh pengasuh anak di rumah. Sementara para pendatang Eropa Timur, seringkali maling, kerja ilegal, datang ke Norwegia hanya cari uang, lalu tak pernah serius belajar bahasa lokal.

Jadi, bagi kalian para au pair yang masih mengaku sebagai pelajar di Eropa, I won't judge. Semoga saja status pelajar tersebut memang betul-betul akan diraih selepas au pair ini! Yang dari awal jujur ke keluarga dan kerabat kalau akan jadi au pair di Eropa, saya salut! Saya tahu perjuangan untuk menjelaskan ke orang Indonesia itu begitu sulit. Apalagi dalam bahasa Inggris, au pair langsung diterjemahkan dengan mentah sebagai 'pembantu'.

Lalu bagi kalian, para orang Indonesia yang mungkin bertanya, "kenapa sih jadi au pair saja malu? Kenapa tidak jujur saja?". Kalian harus tahu bagaimana rasanya terhalang restu orang tua hanya karena dianggap sebagai TKW di Eropa. Kalian juga harus mengerti susahnya menjelaskan program au pair ini ke banyak orang Indonesia tanpa dihujat. Yang terakhir, kalian juga harus tahu bagaimana kami para au pair ini seringkali dibandingkan dengan para mahasiswa Indonesia yang betul-betul belajar dengan gelar di Eropa. Mereka, muda dan berprestasi. Kami, muda dan nekad!

But, anyway... I am (seriously) proud to be an au pair. Meskipun hidup pindah-pindah negara dengan status au pair dulu selama 5 tahun ke belakang ini, finally I made my dream came true; lanjut kuliah di Eropa ! Meski tak sekolah desain, tapi setidaknya diterima di salah satu kampus terbaik di Norwegia. See, saya buktikan kan kebohongan tersebut menjadi kenyataan?! ;)

Wednesday, May 6, 2020

Tips 5 Alasan Mengapa Kamu Harus Tinggal dengan Keluarga Native|Fashion Style

Salah satu hal yang membuat kamu sukses mendapatkan pengalaman berharga saat tinggal di luar negeri dan setelah melewati masa au pair, tentunya adalah host family atau keluarga asuh/angkat. Mereka yang bisa menerbangkan mu dari Indonesia menuju host countries dan memberikan kesempatan mengikuti program pertukaran budaya di negara tujuan. Mereka adalah penentu apakah nasib mu di negara tersebut bisa berakhir menggembirakan, atau justru meninggalkan trauma.

Keluarga angkat ini juga ada yang asli lokal, campuran, atau sama sekali bukan asli warga setempat. Saya pernah tinggal bersama keluarga non-native dan lebih banyak tinggal dengan keluarga native. Pandangan saya terhadap kedua tipe keluarga ini, ada yang super baik, ada juga yang super mean tergantung individualnya. Bukan dari mana mereka berasal. Yakin saja, keluarga jahat itu sebetulnya ada dimana-mana.

Hanya saja, karena tujuan utama kita jadi au pair sebetulnya pertukaran budaya, saya sangat menganjurkan pilihlah keluarga native, atau yang salah satu orang tuanya merupakan orang lokal. Mengapa, karena ada banyak hal yang bisa kamu pelajari dari keluarga native ini.

1. Pelajaran bahasa mu akan lebih terasa karena praktik nyata

Saya tahu, di luar sana sebetulnya banyak sekali au pair yang malas belajar bahasa dan merasa cukup menggunakan bahasa Inggris di rumah. Banyak juga yang merasa happy kalau ternyata host kids mereka bisa berbahasa Inggris.

Tapi, bagi kamu yang sangat bermotivasi untuk belajar bahasa asing, tinggal dengan keluarga native bisa membuat kemampuan bahasa mu meningkat drastis. Tak perlu repot-repot cari tandem belajar, host kids di rumah adalah guru sekaligus teman belajar bahasa lokal . Mungkin ada juga yang sedikit terintimidasi dengan host kids yang sudah cukup dewasa dan selalu mengernyitkan dahi memahami apa yang kita ucapkan. Namun yakinlah, hal ini malah bisa jadi semangat untuk bisa memoles bahasa lokal mu lebih baik.

Dari pengalaman saya juga, keluarga native yang punya anak kecil lebih memudahkan kita belajar bahasa karena sama-sama baru belajar mengucapkan kata per kata. Anak kecil ini juga tak mudah menghakimi kemampuan bahasa kita hanya karena salah grammar atau pelafalan.

Sewaktu tinggal di Belgia, keluarga saya juga sebetulnya bukan asli Belgia. Mereka adalah orang Maroko yang lahir dan besar di sana. Namun, karena di rumah percakapan hanya menggunakan bahasa Prancis, hal ini bisa jadi kesempatan saya yang saat itu kebetulan memang ingin belajar bahasa Prancis. Karena anaknya juga masih mini-mini, pelajaran bahasa Prancis saya lebih cepat terasah karena setiap hari terpaksa harus mengobrol dengan bahasa yang dipahami mereka.

2. Makanan yang kamu cicipi tidak selalu nasi

Who does not love rice?! Tenang saja, para bule di Eropa juga sebetulnya suka nasi, kok. Hanya saja memang frekuensi makannya jauh lebih sedikit daripada kita di Indonesia.

Tinggal dengan keluarga native membuat kamu juga bisa mencicipi kuliner lokal yang belum pernah ada resepnya di Indonesia. Dari yang tadinya benci sayuran, kamu akan terpaksa mencicipi salad segar setiap hari. Saya dulu juga awalnya benci terong dan sayuran segar lainnya. Namun karena setiap hari disajikan itu-itu lagi di meja makan, saya punya kecenderungan untuk ikut mencicipi menu yang jauh dari zona nyaman lidah selama ini.

Selain itu, sebetulnya ada banyak sekali jenis makanan yang tak harus selalu disantap dengan nasi, tapi pasta, quinoa, ataupun kentang. Hal paling menantang adalah mencoba untuk meninggalkan rasa pedas yang selalu kita rasakan selama di Indonesia. Apa-apa pakai sambal! Mungkin awalnya akan terasa hambar dan hanya terasa asin saja, namun kalau kita tinggal dengan keluarga native, lidah juga akan berlatih untuk merasakan rasa selain pedas.

Beda halnya kalau kamu tinggal dengan keluarga non-native semisal Maroko, contohnya. Makanan mereka kebanyakan berlemak dan nyaris nihil sayuran. Nasi atau couscous pun selalu memenuhi meja makan hampir setiap hari. Selain rempah masakan mereka yang hampir selaras dengan makanan Asia, saya tak terlalu banyak mencicipi rasa selain fatty dan heavy.

3. Mengenal tradisi dan kebiasaan lokal lebih jauh

Tahu kah kamu kalau di Belgia, keluarga native memulai sarapan mereka dengan yang manis-manis? Tahu kah juga bahwa saat tinggal dengan keluarga native Denmark, kamu akan menyadari bahwa rumah mereka kebanyakan didominasi warna putih dan produk berdesain asli Skandinavia. Kamu juga akan belajar memahami hal-hal yang masyarakat tersebut sering lakukan, namun terlihat aneh bagi kita.You wouldn't know this kalau tak tinggal dengan keluarga asli!

Tinggal dengan keluarga native juga seru, karena bisa sekalian mengamati manner dan kebiasaan mereka sehari-hari. Bagaimana gaya parenting di sana, hingga jenis snack seperti apa yang sangat disukai warga lokal. They will tell you more about their country, for sure! Termasuk stereotipe yang akan kamu sering kamu dengar dari banyak foreigners tentang warga lokal!

4. Merayakan Natal yang bukan lagi jadi perayaan agama

Far from Indonesia and stay with the natives akan membuat cara pandang mu berubah dalam melihat kehidupan. Di Eropa, perayaan Natal bukan hanya milik agama tertentu. Natal menjadi liburan terbesar sepanjang tahun karena saat inilah orang-orang menjauh sebentar dari hiruk pikuk kota dan berkumpul bersama keluarga di rumah.

It is OF COURSE allowed to decorate the Christmas tree regardless your real religion or nationality! Semua orang bersuka cita mendirikan pohon natal plastik atau asli, sekalian mendadani si pohon agar tampak cantik jauh sebelum perayaan Natal tiba. Lampu-lampu kerlap-kerlip dipasang di luar rumah ikut menambah euforia Natal yang syahdu. Lagu-lagu khas Natal juga semakin sering berdendang di radio sampai kamu sendiri mungkin akan hapal dan muak.

Christmas eve is soooo cozy! Beruntung kalau kamu juga bisa merasakan white Christmas.Di malam sebelum Natal (24 Desember), meja terisi penuh makanan enak, ditambah dengan cercahan lilin yang akan membuat suasana semakin nyaman. Semua anggota keluarga berbagi cerita, hingga saatnya tiba saling bertukar hadiah. Kalau yang diundang banyak, acara tukar hadiah ini bisa berlangsung sangat panjang.

Bagi saya yang mantan au pair, perayaan Natal adalah momen yang WAJIB kamu rasakan bersama host family selama masa au pair! It would be full of good food, good mood, and good experience! Satu lagi, kamu wajib tahu bahwa di Eropa, perayaan Natal di tiap negara pun punya kultur yang berbeda, lho!

Five. Beraktifitas seru layaknya masyarakat lokal

Saya merasa sangat beruntung menemukan keluarga native yang semuanya mau berusaha mengenalkan budayanya ke saya. Kapan lagi, bisa merayakan 17 Mei di Norwegia, namun bukan bersama masyarakat lokal di Oslo, namun di pulau pribadi milik host family . Kapan lagi bisa diajak lunch di tengah laut Norwegia Selatan, kalau tak naik kapal pribadi milik mereka!

Kalau kamu mendapatkan host family yang aktif, akan ada banyak kesempatan dimana kamu bisa diajak beraktifitas bersama atau sekadar diajak 'business trip ' sesekali. Saat mereka sekeluarga berski ria, bisa jadi kamu ditawari ikut main ski bersama, sampai dibelikan peralatan lengkapnya! Keluarga kamu suka menikmati makanan high standard, ada kemungkinan juga mereka akan selalu mengajak atau menawarkan voucher makan-makan fancy di luar.

Bahkan kalau pun tak rejeki diajak kemana-mana, kamu tetap bisa belajar bagaimana keluarga lokal ini menikmati waktu senggang mereka. Di Denmark, kehidupan masyarakat lokalnya cenderung membosankan. Tappiiii, ada tren mendatangi health club yang jadi kultur setempat. Seorang teman saya akhirnya ikut termotivasi untuk mendatangi tempat gymnasium setiap minggu karena mencontek aktifitas favorit keluarga angkatnya.

Tak ada salahnya memiliki preferensi ingin mendapatkan host family seperti apa. Boleh yang seiman, senegara, ataupun sebahasa. Bebas! Belum tentu juga keluarga native akan cocok dengan gaya hidup kita, atau bahkan bisa jadi lebih buruk dari keluarga imigran. Namun, kalau disuruh memilih, saya tetap akan memilih keluarga native yang saya yakini, bisa lebih banyak memberikan saya pelajaran dan pengalaman selama di negara tujuan.

Kamu sendiri, apa punya preferensi keluarga seperti apa yang ingin kamu dapatkan sekiranya punya kesempatan jadi au pair? Boleh juga membaca postingan saya tentang 10 hal yang mungkin bisa kamu hindari sebelum memilih keluarga!

Monday, May 4, 2020

Tips 5 Tanda Kamu Ketagihan Au Pair|Fashion Style

Tinggal di luar negeri, bebas berbikini, serunya berkencan dengan cowok Kaukasian, hingga tak lagi pusing memikirkan betapa idiotnya tingkah beberapa oknum di kampung halaman, membuat kebanyakan au pair Indonesia merasa betah hidup di Eropa. Walaupun ujungnya mereka akan menambahi fakta bahwa hidup di luar negeri itu tidak seindah yang semua orang pikirkan, tapi tetap saja mereka memilih untuk stay.

Meninggalkan zona nyaman lalu hijrah ke negara orang demi jadi au pair itu adalah salah satu langkah terbesar yang ada dalam hidup mu. Banyak hal yang akan kamu pelajari dengan tinggal di negara baru, dengan mulai memahami diri sendiri hingga berusaha beradaptasi dengan budaya yang tak selalu membuat nyaman. But that's an amazing life story and you should be grateful to have it! Bersyukur karena tak semua orang Indonesia punya kesempatan tinggal di luar negeri - dengan kategori permit sebagai au pair.

Meskipun awalnya au pair hanya dikenal oleh para mahasiswa sastra yang tertarik belajar bahasa di Prancis dan Jerman, semakin ke sini, au pair lebih dikenal sebagai batu loncatan. Bukan hanya untuk mengasah bahasa asing, tapi untuk mendekatkan mimpi mu agar lebih nyata. Mulai dari kuliah dan bekerja di luar negeri, sampai menikahi cowok Kaukasian yang selama ini menjadi idaman.

No matter what your purpose is, jangan sampai keasikan jadi au pair hingga lupa memikirkan rencana ke depannya! Kenapa, karena kehidupan au pair yang nyaman dengan tempat tinggal gratisan, bisa membuat mu ketagihan! Berikut 5 tanda kamu mulai ketagihan jadi au pair!

1. Malas pulang ke Indonesia setelah au pair pertama

Sebagai au pair junior yang memulai kisah au pair pertama di tahun 2014, bisa dikatakan saya cukup membuka telinga terhadap semua masukan para teman-au pair senior. Ketika memutuskan untuk langsung lanjut au pair di negara lain tanpa pulang dulu ke Indonesia, seorang teman-senior malah menasehati saya sebaliknya. Baginya, pulang ke Indonesia setelah 1 tahun jadi au pair itu bisa jadi terapi sebelum memulai petualangan selanjutnya.

"Trust me, you are gonna be so happy ketemu abang bakso lagi, makan sate pinggir jalan, hingga merasakanunlimited sunlight setiap harinya! Eropa begini-begini saja, Nin. Kamu ke sini 5 tahun dari sekarang pun masih akan seperti ini saja. Take your chance to go home and say hi to your relatives!" katanya saat itu.

Saya memang malas pulang ke Indonesia. Malas membuat visa dari awal, malas packing, lalu malas juga kalau harus terbang lagi PP Indonesia-Eropa. Tapi karena pulang ke Indonesia saat itu dibayari host family setengahnya, saran teman tersebut pun saya dengarkan. Memang benar, pulang sebentar ke Indonesia demi memanjakan lidah dan berkumpul bersama keluarga tanpa harus mendengar teriakan anak balita di rumah bisa jadi terapi tersendiri.

2. Tak ada tujuan di Indonesia

Kamu sudah jadi au pair, lalu pulang ke Indonesia for good, namun sempat terpikir untuk jadi au pair lagi karena merasa muak atau tak ada tujuan di Indonesia. Yang seperti ini, banyak! Ada perasaan rindu suasana Eropa, rindu minum-minum di bar, rindu pulang malam tanpa ancaman begal, rindu swiping dengan para bule-bule kece, hingga rindu suasana Natal yang syahdu di Benua Biru.

Di saat seperti ini, memang hanya au pair yang bisa dengan mudah menerbangkan mu kembali ke Eropa dan menikmati kebebasan yang terbatasi di Indonesia. Tapi apa kamu yakin ingin kembali jadi au pair hanya merasa tak ada tujuan di Indonesia, bukan karena kemarin belum puas menikmati kehidupan di negara orang?

3. Travelling 'murah' masih ada dalam wishlist mu

It was me when I started my journey back to Denmark! Pengalaman au pair saya di Belgia betul-betul up and down and I swore to myself to be an au pair again! Di Belgia, saya hanya punya 10 hari libur untuk jalan-jalan yang saat itu ending-nya pergi ke Italia dan Yunani. Masih ada banyak sekali daftar negara yang ada dalam wishlist dan saya sadar bahwa sekembalinya ke Indonesia, melihat Eropa dari peta saja sudah sangat jauh. Belum lagi masalah ongkos dan visanya! Manusia kere macam saya ini rasanya harus kembali bermimpi.

Saya tahu bahwa dengan jadi au pair lagi, resolusi saya travelling ke banyak tempat jauh dari kata impossible. Kenyataannya benar, uang saku saya selama 2 tahun di Denmark memang hanya habis untuk jalan-jalan. Hampir setiap bulan saya bisa travelling dengan (lebih) murah dan mudah ke banyak negara Eropa, dari Islandia sampai Turki, hingga kesampaian mengunjungi adik saya di Cina.

I know it is not only me, since most of au pairs who love travelling also would do the same; niat jadi au pair lagi demi keliling dunia!

4. Post-au pair crisis

Pertanyaan "setelah ini ingin kemana?" adalah momok yang real bagi para au pair. Sudah malas pulang ke Indonesia, tak niat lanjut kuliah, si pacar belum ingin menikahi, ya ujung-ujungnya lanjut au pair lagi! Mau bagaimana lagi, iya kan?

Hidup jadi au pair di Eropa itu cukup nyaman. Dapat kamar gratisan, makan tinggal buka kulkas, jalan-jalan murah, belum lagi banyaknya fasilitas mewah lainnya yang host family berikan. Sebelum menyentuh usia 30, berkelana ke banyak tempat untuk jadi au pair pun rasanya tak masalah. Tapi semakin kamu bingung ingin kemana selepas au pair, semakin kamu akan menyadari bahwa ternyata 1 tahun di negara orang itu bisa berlalu dengan sangat cepat! Hayo, ingin kemana lagi selepas ini?

Five. Belum selesai satu, sudah berniat ke negara selanjutnya

Kamu baru beberapa bulan di satu negara, tapi karena menyadari enaknya jadi pair, sudah memiliki rencana untuk langsung mencari host family sebelum permit habis. Hal ini dilakukan agar tak harus pulang dulu ke Indonesia dan apply visa lagi. Now you understand, how 'easy' it is handling the papers in Europe than in Indonesia!

Tapi sebelum memutuskan ingin jadi au pair lagi, kamu harus berencana lebih jelas apa tujuan au pair kesekian ini. Kehidupan au pair yang nyaman akan berakhir ketika menyentuh usia 29 atau 30 tahun. Jadi sebelum buang-buang waktu dan menua karena bingung "setelah ini ingin kemana?", perhaps you might challenge yourself to stop living comfortably (as an au pair)?

Being an au pair is so addictive, Teman-teman! Sesampainya di sini, ada kemungkinan kamu akan menyetir ulang jalan untuk pulang dan berpikir untuk menetap. Seperti yang saya katakan di atas, au pair bisa menjadi batu loncatan menggapai mimpi dengan mencari ilmu, karir, atau jodoh di luar negeri. Tapi sebelum ketagihan dan terlalu lama menjadi au pair, membuat rencana yang matang sebagai jawaban dari "setelah ini ingin kemana?" ituharus, karena kehidupan au pair di satu tempat itu tidak lama, hanya 12 sampai 24 bulan saja.

Saya jadi au pair sampai 5 tahun lamanya juga bukan karena kebetulan. Bahkan kalau harus mengulang dari awal, saya mungkin akan mencoret Denmark dan langsung ke Norwegia untuk menjadi au pair dan meneruskan hidup sebagai mahasiswa. I would save 2 years of precious time in my life! Atau kemungkinan saya akan menyudahi petualangan di Denmark, mencoret Norwegia, lalu stay di Indonesia untuk bekerja di perusahaan multinasional.

Jangan takut untuk pulang dan meneruskan hidup di Indonesia jika Eropa memang bukan jalan yang tepat untuk meraih mimpi mu! In the end, hanya Indonesia yang masih mau menerima kembali jika Eropa tak lagi mengizinkan mu tinggal selama-lamanya (kuncinya, well-planned kalau memang ingin stay longer di negara impian since your "jalani saja" would bring you nowhere!).

Saturday, May 2, 2020

Tips 7 Alasan Mengapa Sebaiknya Kamu Jadi Au Pair di Kawasan Eropa|Fashion Style

Sekitar 6 atau 7 tahun lalu saat saya pertama kali tahu au pair, negara paling populer bagi au pair Indonesia masih ditempati oleh Jerman, Belanda, dan Prancis. Negara terakhir biasanya dipilih karena banyak mahasiswa Sastra Prancis yang berniat mengasah bahasa asing mereka di negaranya langsung. Sementara Jerman populer hingga sekarang karena menawarkan kesempatan tinggal lebih luas dari negara lainnya ― meskipun uang sakunya kecil. Lalu Belanda, karena mungkin punya sejarah panjang dengan Indonesia dan populasi orang Indonesianya juga lebih banyak ketimbang kawasan lain di Eropa, makanya dipilih karena ingin tetap "feel at home".

Saat ini dengan semakin mudahnya informasi didapat, perlahan au pair juga tertarik ke negara lainnya selain 3 daftar negara mainstream di atas. Yang saya dengar, sekarang Denmark dan Belgia malah jadi negara favorit menggantikan Prancis! Bahkan saya juga banyak menerima pesan dari blog readers yang tertarik ke Jepang, Turki, atau Inggris untuk jadi au pair. Kalau kamu baru pertama kali au pair, coba buka postingan saya di sini  sebagai referensi negara mana yang saya rekomendasikan bagi first timer.

Namun dari semua negara yang memungkinkan, saya tetap merekomendasikan kawasan Eropa sebagai tempat terbaik bagi application au pair ini. Mengapa?

1. Regulasinya jelas

Au pair berasal dari bahasa Prancis "at par" atau "setara (equal to)", yang berarti adanya kesetaraan relasi bagi au pair untuk dianggap sebagai bagian dari keluarga, ketimbang pembantu. Di Eropa konsep au pair ini berbeda dengan Amerika Utara, apalagi Asia. Au pair di Amerika Utara dan Australia lebih condong sebagai pengasuh anak purna waktu, sementara di Eropa lebih sebagai pekerjaan paruh waktu yang memungkinkan au pair bisa sekolah bahasa sebagai bagian program pertukaran budaya.

Karena memang berasal dari Eropa, aturan untuk au pair ini pun sangat jelas di negara-negara kawasan Schengen seperti Swedia, Belanda, Prancis, Jerman, atau Austria. Meskipun tiap negara punya aturan yang berbeda soal jam kerja dan uang saku, namun adanya kejelasan aturan ini di keimigrasian membuat proses dokumentasi dan izin tinggal pun tak memusingkan. Kita bisa langsung buka situs imigrasi bersangkutan dan informasi soal au pair sudah tersedia dengan lengkap. Beberapa negara juga sudah menyediakan formulir khusus, kontrak kerja, dan tes tersendiri bagi host family yang berminat mengundang au pair ke rumah mereka.

2. Status mu dilindungi badan ketenagakerjaan

Karena status yang jelas ini, au pair pun masuk ke dalam skema tenaga kerja yang dilindungi oleh negara. Artinya, kalau ada masalah besar yang menimpa mu dan host family , kamu bisa melaporkan keluarga tersebut ke polisi atau badan ketenagakerjaan lokal. Status host family ini bisa sangat tidak menguntungkan dan kalau kasusnya memang dirasa berat, mereka bisa di-blacklist negara untuk tak boleh punya au pair 2 sampai 5 tahun berikutnya.

Setelah saya meninggalkan Belgia beberapa tahun lalu, kabar soal betapa banyaknya kasus bermasalah terhadap au pair semakin sering terdengar. Untuk mengantisipasi host family yang abusive, polisi sering kali menyamar sebagai orang asing dan melakukan razia ke rumah-rumah yang terlihat memiliki wajah-wajah gadis asing. Seorang teman saya bahkan pernah terazia hanya membantu host family-nya buang sampah ke luar, meskipun saat itu belum mengantungi izin kerja. Hal ini memang sangat dilarang karena ditakutkan host family hanya memanfaatkan tenaga kita sebelum keluarnya izin yang valid dari pemerintah. Ada banyak juga polisi yang siap membantu au pair jika memang dirasa perlu, karena sejatinya di Eropa juga banyak host family mean!

3. Less scammers

Sampai sekarang, saya belum pernah mendengar cerita ada keluarga palsu dari Eropa yang ending-nya minta uang. Kebanyakan keluarga palsu (scammers) berasal dari negara-negara berbahasa Inggris seperti Amerika Utara dan Britania Raya. Tujuannya simpel, pura-pura menjadi keluarga yang mencari au pair, bertukar kontak, lalu ujung-ujungnya minta uang untuk pengurusan dokumen di agensi ini itu. Masalah profil bisa dibuat-buat karena foto bisa dicomot dari internet, alamat bisa Googling sendiri pakai alamat orang, dan masalah agensi yang terlihat real itu hanyalah topeng palsu agar terlihat meyakinkan. Bahkan saya sempat menerima email dari orang tua calon au pair yang sampai menanyakan ke saya soal keabsahan kontrak kerja dari "host family" Inggris, yang jelas-jelas adalah scammer!

Di Eropa, keberadaan host family fiktif PASTI ada! Hanya saja, akan sangat mudah melacaknya karena tipe-tipe keluarga ini biasanya hanya akan menghubungi via Facebook. Seorang teman pernah dihubungi bapak-bapak di Facebook yang alasan awalnya cari au pair, namun ternyata malah cari istri baru.

Kembali ke para penipu bermodus uang tadi, selain harus bisa bahasa asing (yang mana para scammers hanya bisa bahasa Inggris), menyertakan dokumen berbahasa lokal akan sangat menyulitkan mereka karena sistem imigrasi di Eropa bagi au pair sudah sangat solid. Tak perlu was-was juga kalau ketemu host family dari situs pencarian au pair atau agensi terpercaya, karena hampir semua profil yang kamu temukan di situs tersebut memang betul-betul sedang mencari au pair. (Baca juga postingan saya di sini agar kamu lebih waspada terhadap penipuan !)

4. Agensi lebih mengerti ‘what to do

Karena status dan jenis visa yang sesuai regulasi, serta status kita dilindungi negara, agensi lokal yang berperan aktif dalam pengurusan dokumen pun tahu apa yang harus dilakukan. Tidak sama seperti agensi yang hanya butuh uang, banyak juga agensi gratis di kawasan Eropa mau menjadi mediator saat kita punya masalah dengan host family. Agensi ini juga sudah diberikan pengetahuan bagaimana mendamaikan konflik, informasi soal hari libur dan uang saku, serta seluk-beluk pertanyaan lain yang mungkin ada di benak kita.

Sudah berdedikasi mengurusi persoalan au pair, kamu juga bisa langsung minta tolong carikan host family baru lewat mereka karena banyak keluarga biasanya mendaftar lewat agensi yang sama. Di Belanda, peran agensi begitu penting karena merekalah yang akan mewawancara kita terlebih dahulu untuk tahu apakah motivasi kita jadi au pair sejalan dengan tujuan program tersebut. Bahkan banyak agensi yang juga bekerja sama dengan badan ketenagakerjaan lokal mengadakan workshop, aktifitas luar ruangan, dan merayakan Natal bersama au pair lainnya untuk menangkis kesepian saat di tanah rantau.

5. Tak perlu visa lagi keliling kawasan Schengen/Uni Eropa

Sebagai benua eksotis yang memikat banyak orang Asia dan Amerika untuk berkunjung, kepemilikan izin tinggal sementara yang sakti memungkinkan kita jalan-jalan keliling Eropa tanpa perlu daftar visa baru. Ketika mendapat kesempatan tinggal di Inggris atau Australia, kamu tetap harus daftar visa Schengen lebih dulu untuk berkunjung ke Eropa. Bahkan Turki yang three persennya masih masuk kawasan Eropa, tetap harus daftar visa baru karena bukan bagian kawasan Schengen atau Uni Eropa.

Keuntungan lainnya, pemegang izin tinggal Eropa juga punya kesempatan mengunjungi negara lain tanpa harus repot apply visa; contohnya Taiwan. Bahkan kalau kamu punya izin tinggal Denmark, mengunjungi Greenland juga tak mustahil tanpa perlu apply visa lagi! Tahu sendiri kan betapa repotnya apply visa Schengen dengan menyertakan bukti tabungan ini itu, sebelum akhirnya diperbolehkan masuk ke salah satu negara mereka.

6. Bahasa asingnya berlaku di banyak negara

Kalau tertarik belajar bahasa Inggris di level advanced, tentu saja negara terbaik yang bisa kamu pilih untuk homestay adalah negara-negara yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris. Meskipun, untuk jadi au pair di negara ini sendiri pun ada syarat minimum bahasa Inggris yang mesti kamu penuhi. Di Australia contohnya, karena au pair bukanlah sebuah program khusus, lebih seperti pekerjaan alternatif dibalik WHV (Working Holiday Visa), maka kamu setidaknya harus mengantongi minimum skor bahasa Inggris untuk level General lebih dulu. Jadinya, tak harus kursus bahasa Inggris di Australia pun tak masalah.

Di Eropa, banyak bahasa berasal dari akar yang sama dan keuntungannya, kamu bisa tetap memakai bahasa tersebut di negara lain. Contohnya, bahasa Prancis yang kamu pelajari di Prancis tetap bisa dipakai di Belgia, Luxembourg, dan Swiss. Sama halnya jika kamu fasih berbahasa Jerman, jangan takut untuk tak terpakai saat travelling ke Austria, Swiss, dan sisi selatan Belgia yang berdekatan langsung dengan Jerman. Bahkan untuk bahasa seaneh Finlandia pun, kamu tetap bisa gunakan sedikit-sedikit di Estonia, atau pelajari bahasa Swedia yang juga bahasa resmi kedua di negara tersebut. Yang pasti, ada skill baru yang mempercantik CV mu jika mampu menguasai salah satu bahasa asing lain selain Inggris.

7. Pindah negara lebih mudah

Hampir semua au pair Indonesia yang saya kenal merasa ketagihan jadi au pair dan punya keinginan untuk mencoba negara lain di tahun-tahun berikutnya. Saya juga yakin bahwa kenyamanan dan kebebasan di negara orang punya magnet tersendiri yang membuat banyak au pair malas kembali kempung halaman. Salah satu perk-nya tinggal di Eropa, kamu punya banyak kesempatan lompat-lompat negara tanpa perlu repot-repot lagi apply visa baru dari Indonesia. Banyak negara juga memungkinkan calon au pair untuk datang langsung ke negara tersebut sambil menunggu selesainya izin tinggal. Yang pasti, cara ini dinilai lebih mudah dan murah. (Cek disini bagi yang belum tahu apa beda 'visa' dan 'izin tinggal!')

Tambahan lainnya, karena punya au pair butuh biaya yang mahal, banyak sekali host family mencari au pair yang sudah berada di wilayah Eropa saja. Mengapa, biasanya mereka malas menunggu proses visa dan izin tinggal yang cukup lama dari Asia. Kedua, mereka enggan membayar uang tiket pesawat mu yang mahal itu (meskipun jatuhnya fifty:fifty). Yang ketiga, host family ini ada niat ketemu langsung terlebih dahulu sebelum tertarik mengundang mu jadi au pair di rumah mereka.

Satu hal lagi yang tak saya bahas di atas adalah program pertukaran budaya akan begitu terasa karena tiap negara di Eropa punya budaya dan tradisi yang berbeda. Meskipun Belgia dan Belanda adalah negara identik dengan bahasa yang sama, namun mereka punya kultur dan pola pikir yang cukup berbeda satu sama lain.

Tentu saja Inggris, Irlandia, Italia, dan Spanyol itu bagian kawasan Eropa (dan Schengen) yang juga memiliki kualifikasi au pair. Sayangnya, regulasinya untuk orang Indonesia tidak ada dan kita tak memungkinkan apply visa au pair ke sana, kecuali pakai visa pelajar. Di sini, tujuan kita utamanya adalah belajar, sementara au pair sendiri hanyalah pekerjaan sampingan. Bayangkan kalau kita tiba-tiba punya masalah dan ditendang dari rumah host family, kepada siapa kita harus laporan dan berapa banyak keluarga yang saat itu betul-betul butuh au pair sebagai pengganti?

Saya juga tidak melarang kalian ke Turki, Jepang, atau dimana pun negara Asianya. Hanya saja sama halnya dengan Inggris atau Italia, saya melihat tidak ada regulasi khusus soal au pair ini. Bahkan di Jepang, au pair ini sama halnya seperti Australia, hanya dibalut visa liburan dan bekerja yang jatuhnya seperti pekerjaan sampingan sekalian tinggal bersama host family. Tak sampai di situ, saya juga merasa bahwa kebanyakan orang Asia masih berpikir bahwa keberadaan au pair itu sama saja dengan pembantu rumah tangga. Jangankan di benua Asia, banyak imigran yang sudah tinggal dan besar lama di Eropa pun pikirannya kadang masih kolot dan manja sejak adanya au pair. (Baca postingan saya di sini tentang keluarga imigran yang harus kamu pertimbangkan kembali!)

Saran saya, kalau kalian tidak ada tujuan khusus untuk jadi au pair , maka carilah host family dari negara-negara di Eropa yang peraturan dan visanya jelas bagi pemegang paspor Indonesia. Kecuali memang ada niat spesifik untuk tinggal lama dan cari kesempatan kerja lebih realistis, mungkin bisa coba ke Amerika atau Australia yang job market-nya lebih luas. Yang ingin lebih dekat dengan Eropa, namun tetap ingin merasakan suasana Muslim, cobalah Turki yang memiliki masjid dan makanan halal dimana-mana. Lalu jika kamu memang nekad ingin ke Inggris, siapkan bukti tabungan finansial dan cobalah untuk berhati-hati karena banyak sekali penipu di internet. Minusnya memilih negara-negara ini, kamu tetap mesti siap-siap apply visa Schengen kalau berniat liburan ke Eropa ;)

Rekomendasi bacaan untuk kamu lainnya: Rangkuman jadi au pair from A-Z

I desire you an awesome luck for your choice!