Showing posts with label terbang. Show all posts
Showing posts with label terbang. Show all posts

Tuesday, July 14, 2020

Tips Ternyata Emirates!|Fashion Style

Sebulan sebelum keberangkatan, bahkan sebelum tahu kapan Louise akan membelikan tiket, saya sudah hunting duluan kira-kira maskapai apa yang saya harapkan. Dari daftar Skyscanner, saya selalui menemui Thai Airlines memiliki tarif terendah untuk keberangkatan ke Kopenhagen di awal September. Disusul Aeroflot, maskapai asal Rusia yang saya tidak pernah mendengar sebelumnya.

Saya selalu berharap semoga saja akan terbang lagi dengan pesawat asal Timur Tengah seperti Qatar Airways, Emirates, atau Etihad. Kenapa pesawat Timur Tengah, karena selain bagasinya muat 30kg, makanannya halal, di bandaranya disediakan mushola, dan sudah terkenal memiliki reputasi yang sangat baik di dunia penerbangan. Pesawat Eropa seperti Lufthansa atau KLM memang biasanya mahal, namun yang saya tahu mereka hanya menampung bagasi hingga 23 kg saja. Duh, saya sangat yakin barang yang akan saya bawa memang mendekati 30 kg nantinya!

Selain itu, naik maskapai Timur Tengah menuju Eropa biasanya akan transit dulu menunggu penerbangan berikutnya. Artinya kalau waktu tempuh menuju Eropa bisa sampai 15 jam (di luar waktu transit), 8 jam menuju ke salah satu kota di Timur Tengah, lalu 7 jamnya menuju Eropa. Saya pernah naik pesawat selama 15 jam nonstop dari Amsterdam ke Jakarta dengan Garuda Indonesia dan terus terang saja saya kurang nyaman berada di pesawat selama itu.

Dua minggu kemudian, akhirnya Louise mengirimkan email rekomendasi maskapai apa yang sepertinya akan saya gunakan. Mereka menawarkan Emirates dengan waktu transit 3 jam di Dubai. Saya memang tidak betah lama-lama berada di bandara sendirian. Padahal, kalaupun saya mau jalan-jalan sebentar di Dubai, saya bisa saja menawarkan opsi transit yang lebih lama. Saat itu opsi transit terlama bisa nine hingga thirteen jam.

Luckily, Louise juga menawarkan untuk membayari tiket pesawat dari Palembang ke Jakarta. Karena ibu saya dan si bungsu ingin mengantarkan sampai Jakarta, akhirnya kami sepakat terbang bersama Sriwijaya Air saja, dilanjutkan naik free shuttle bus ke Terminal 2. Kalau tidak ingin repot naik shuttle bus, silakan menggunakan maskapai Garuda Indonesia yang juga akan tiba di Terminal 2.

Bus switch free of charge ini dapat ditemui di depan bagian informasi di dekat gerbang keberangkatan di Bandara Soekarno Hatta. Busnya memang tidak terlalu besar, tapi seorang "kernet" tetap akan membantu menaruh koper besar kita di bagasi seandainya dalam bus sudah penuh. Tapi tenang saja, bus akan datang tiap 10 hingga 20 menit sekali.

Maskapai dari Timur Tengah biasanya akan berangkat dini hari dari Jakarta. Tidak perlu repot membawa jaket tebal ke dalam pesawat, karena biasanya sudah disediakan selimut oleh pihak maskapai. Berbeda dengan Qatar Airways yang menyiapkan selimut, masker mata, penutup telinga, dan kaus kaki, saya hanya mendapatkan selimut saja saat terbang bersama Emirates.

Lama penerbangan hingga 15 jam, memastikan kita akan mendapatkan dua kali jatah makan besar selain snack. Para awak kabin biasanya akan memberikan menu makanan yang dapat dipilih saat di pesawat. Tapi karena sedikit membatasi pilihan makanan, akhirnya saya reservasi duluan through website sebelum keberangkatan.

Kalau memang sedang diet, ada banyak pilihan makanan yang dapat dipesan sesuai program diet kita. Karena berangkat dini hari, perut saya biasanya sudah menolak diberi makanan terlalu berat. Saya pun memilih menu vegetarian menuju Dubai, lalu menuseafood menuju Kopenhagen. Enaknya reservasi via website, makanan yang saya pesan diantarkan terlebih dahulu oleh awak kabinnya mau dimanapun tempat duduk kita. Jadi tidak perlu didatangi langsung sembari antri menunggu penumpang yang lain.

Saat tiba di Dubai pun, saya tidak bisa lihat toko kanan kiri terlalu lama karena nyatanya 3 jam bukanlah waktu yang panjang. Menuju terminal connection flight, saya harus antri menunggu kereta, dilanjutkan naik lift ke arah terminal yang tepat. Belum sampai sejam saya duduk di ruang tunggu, penumpang ternyata sudah bisa naik ke pesawat diantar oleh bus sebelumnya.What a long journey!

Jam 13.10 CEST, saya sampai di bandara internasional Kopenhagen, mengambil bagasi, lalu keluar bandara menemui Louise dan Brian yang sudah berada di garis depan menyambut saya.

"Welcome to Denmark! Welcome to Copenhagen!", kata Louise hangat sambil memeluk saya diikuti oleh Brian.

Saturday, June 27, 2020

Tips Menunggangi Air France A380 Kelas Premium Economy ke Shanghai|Fashion Style

Berniat ingin liburan, merayakan ulang tahun, sekalian mengunjungi adik saya di Cina, saya memang sudah memantau tiket Air France tiga bulan sebelum keberangkatan. Selain karena jadwal dan waktu transit yang cukup nyaman, saya juga sebenarnya penasaran ingin mencoba kursi Premium Economy-nya dari Paris atau Shanghai, mengingat lama penerbangan lebih dari 10 jam.

Tahu ingin mengunjungi si adik, kakak saya di Palembang (lagi-lagi) mendukung penuh dengan membelikan tiket pulang pergi Turkish Airlines kelas Ekonomi. Beruntung sudah memegang tiket dua bulan sebelum keberangkatan, saya lega dan petantang-petenteng saja sekalian mengurus visa di Kopenhagen.

Sialnya, satu hari sebelum keberangkatan tiket saya dibatalkan oleh pihak Turkish Airlines gara-gara masalah verifikasi kartu kredit yang dipakai oleh kakak saya. Karena sedang berada di luar kota, beliau sulit sekali dihubungi. Akhirnya mau tidak mau saya beli tiket baru 20 jam sebelum keberangkatan! Untung, harga tiketnya masih terhitung murah dan sama saja seperti tiga bulan lalu.

Maskapai termurah adalah pesawat pulang-pergi naik Air France dan KLM. Ya sudah, langsung saja saya reserving saat itu juga di Economy Class. Lagi-lagi sial, saat test-in online dan ingin memilih kursi, pilihan saya begitu minim. Antara tetap pada pilihan kursi yang diberikan, 92C, yang notabene ada di tengah-tengah, atau membeli kursi baru yang harganya lebih mahal.

Karena tidak minat membeli kursi, saya akhirnya tinggalkan saja pilihan ke random seat itu. Jujur saja, saya yang terbang sendirian ini bukan penikmat bangku tengah. Tapi mau bagaimana lagi, opsi ini berlaku pada penerbangan saya dari Paris ke Shanghai.

1. Rejeki tidak kemana

Saat mengoper bagasi di Kastrup Airport, konter Air France terlihat sangat sepi. Saya dilayani oleh seorang petugas yang dari awal sampai selesai hanya berbicara bahasa Denmark.

"Oke. Ini boarding pass kamu. Silakan ke atas ya lewat jalur Fast Track," katanya sambil mengecek boarding pass saya .

Hah, Fast Track?

"Oh, tunggu tunggu. Bentar, saya baca dulu," ralatnya lagi. "Ah, maaf. Saya tidak melihat ada ketentuannya disini. Berarti mau tidak mau kamu mesti lewat jalur normal pas security border."

"Iya. It's okay.Sama sekali tidak ada masalah."

"Tapi itu koper kamu sudah saya kasih label Priority kok."

Hah, label Priority?

Saya masih bingung tapi mengangguk-angguk saja dengan apa yang dia bicarakan. Saat memegang boarding pass, sekali lagi saya mengecek tempat duduk di semua penerbangan. Oh wait, ada yang berubah! Kursi saya dari Paris menuju Shanghai dialihkan ke 85K. Mata saya menelusuri kolom terakhir boarding pass yang menerangkan kalau saya sudah di-upgrade ke Premium Economy. Pantas!

Yippie!! Rejeki memang tidak akan kemana. I was on cloud nine! Is this my early present?

Setelah mendarat, saya cepat-cepat keluar pesawat karena hanya memiliki waktu transit di Paris sekitar 45 menitan (pesawat dari Kopenhagen di-delay) dan langsung menuju imigrasi. Karena pesawat dari Paris memang terbang larut malam, beruntung sekali tidak ada yang mengantri di immigration border. Petugas imigrasi Paris pun tidak terlalu bawel dan langsung saja mengecap paspor saya.

Saat tiba di gate keberangkatan, ternyata pesawat sudah boarding dan banyak orang yang sudah mulai masuk pesawat. Beruntungnya kelas Premium Economy, selain mendapatkan label Priority untuk koper, penumpang di kelas ini juga mendapat prioritas boarding yang sama seperti First dan Business Class. Sayangnya, belum ada akses gratis ke living room bagi penumpang kelas Premium Economy Air France.

2. On board

Saya baru tahu thru seatguru.Com, kalau pesawat yang akan digunakan dari Paris ke Shanghai malam itu adalah jenis Airbus A380 jumbo double-decker. Kursi saya berada di dek atas berdekatan dengan Business Class dan beberapa kelas Economy di bagian belakang. Sementara di dek bawah adalah deretan First Class dan ratusan kursi kelas Economy lainnya.

Saat menimang ingin memesan tiket Air France tiga bulan lalu, sebenarnya saya sudah mulai mencari tahu seperti apa kabin Premium Economy Air France lewat internet. Kelas Premium Economy berada di kabin kecil di tengah-tengah kelas Bisnis dan Ekonomi. Susunan kursi berdimensi 2-3-2 yang hanya berjumlah five baris.

Kabin antara Business dan Economy Class juga dipisahkan oleh tirai. Tapi karena kabin begitu kecil, suasana privat lebih terasa. Kursi saya pun terlihat lebih nyaman dari kelas Ekonomi, namun tidak bisa dibaringkan sampai 180° seperti kursi Bisnis. Selain lebih besar dan terdapat sandaran kaki, air mineral ukuran kecil juga sudah disediakan di dekat layar monitor. Di sisi kursi juga terdapat fasilitas premium tambahan yang lumayan lengkap seperti headphone, lampu baca, colokan USB, bantal, remote, dan selimut.

Penerbangan dari Paris ke Shanghai malam itu ternyata begitu ramai. Kalau dihitung-hitung, hampir 90% penumpangnya adalah orang Cina yang ingin pulang kampung. Teman duduk saya pun adalah seorang lelaki usia 30 tahunan, muka Cina, tapi sepertinya lahir dan besar di Prancis. Dari ketemu sampai berpisah, saya selalu diajak bicara bahasa Prancis. Thanks to my French lesson! Setidaknya saya tidak bisu-bisu amat hanya menjawab non atau mérci.

3. Goodie bag Air France

Sebelum pesawat lepas landas, seorang pramugara membagikan daftar menu makanan dan amenities kit kepada semua penumpang di kelas Premium Economy. Saya pikir, penumpang di kelas Ekonomi juga ikut kebagian, seperti halnya di Qatar Airways. Tapi saat saya menoleh ke belakang, ternyata pouch lucu berlis merah atau kuning ini hanya dibagikan bagi penumpang di kabin Premium Economy.

Sepertinya Air France baru saja mengganti desain pouch mereka. Terakhir kali saya membaca review seorang penumpang, pouch yang dibagikan justru lebih lucu. Terlepas dari masalah desain, isi pouch Air France juga lumayan lengkap, dari sarung headphone, sikat gigi dan odol, masker mata, penutup telinga, dan kaos kaki panjang berwarna biru tua. Lumayan, bisa jadi suvenir untuk diri sendiri.

4. In-flight leisure

Menurut saya, hiburan di layar reveal Air France cukup lengkap dan menarik selama perjalanan. Bagian yang paling saya suka adalah video saat menerangkan tentang keselamatan di dalam pesawat. Video yang ditayangkan begitu apik dan khas Parisian sekali. Tidak seperti video kaku lainnya, Air France menayangkan 6 version cewek sebagai pemandu keselamatan.

Lucunya, fashion yang digunakan pun sungguh khas Parisian yang hobi memakai kaos garis-garis, rok A-line selutut, flat shoes, dan lipstik merah. Tingkah para model ini pun sungguh centil dan sangat memanjakan mata. Saya tidak melihat ada satu penumpang pun yang tidak terkesima menyimak video keselamatan sampai akhir.

Karena pesawat memang berangkat tengah malam, mata saya sudah tidak kuat menyimak hiburan yang ada di layar monitor. Setelah selesai menyikat gigi dan kembali ke kursi, akhirnya saya pasang headphone dan menyetel lagu Bruno Mars keras-keras sekalian menemani saya terlelap.

Five. Makanan

Sesaat setelah dibagikan menu makanan sebelum pesawat lepas landas, saya sudah tahu makanan apa yang akan saya pesan. Karena berangkat ke Shanghai, menu makanan pun terbagi jadi dua gaya, Chinese dan French fashion. Walaupun menu makanan Chinese fashion lebih menarik, tapi terpaksa saya urungkan karena menyajikan daging babi. Hiks.

Untuk makan malam kali ini, pilihan saya akhirnya jatuh ke masakan ala Prancis-Timur Tengah, nasi kari ayam. Lidah saya sebenarnya tidak terlalu rewel di dalam pesawat. Dinner kali ini lumayan enak, kecuali kuenya. Karena cukup lapar, saya menghabiskan nasi kari ayam dan side dish-nya yang menurut saya juara, salad udang. Sebagai tambahan, saya memesan white wine. Sementara teman sebangku saya memesan red wine yang pas dengan pork rice-nya.

Keesokan harinya, sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Shanghai, kami kembali disajikan menu makan pagi. Menu hari itu adalah omelette dan creamy spinach dengan tambahan roti, kopi, atau teh.

Overall:

Saya termasuk beruntung bisa di-upgrade ke kursi Premium Economy gratis, karena pesawat hari itu memang kebetulan lagi penuh. Meskipun review yang saya baca selalu pro dan kontra, tapi untuk keseluruhan, kelas Premium Economy Air France cukup worth it. Mengingat lama penerbangan yang panjang, saya rasa tidak ada salahnya menambah beberapa Krona demi kenyamanan.

Terlepas dari masalah tambahan biaya, saya cukup bahagia dengan kursi top class mereka. Meskipun, saya tetap tidak bisa tidur nyenyak karena kursi tidak bisa bersandar terlalu rendah. Akhirnya saya mesti gonta-gonti posisi tidur dan jalan-jalan kesana kemari demi melancarkan peredaran darah.

Oh ya, karena terbang dari Kopenhagen, pesawat saya menuju Paris sama sekali tidak ada masalah kecuali di-delay selama 20 menit. Saya ditempatkan di kursi 10D di dekat pintu keluar dan memungkinkan kaki saya mendapatkan banyak space yang longgar.

Karena Air France termasuk salah satu maskapai terbesar di Eropa, mereka juga menyediakan makanan dan minuman free of charge kepada semua penumpang. Dengan waktu tempuh ke Paris yang hanya 1jam 55 menit, saya memilih sandwich vegetarian sebagai bahan kunyahan malam itu.

Monday, June 22, 2020

Tips Pengalaman Terbang dengan Thai Airways Rute Kopenhagen - Bangkok|Fashion Style

Di tahun 2017, Thai Airways dinobatkan sebagai maskapai dengan katering dan kelas Ekonomi terbaik. Bertepatan dengan jadwal kepulangan saya di Indonesia, Brian akhirnya memesankan tiket Thai Airways yang memang saat itu adalah yang paling murah dan paling cepat. Belum pernah naik maskapai asal Thailand ini, akhirnya saya hepi-hepi saya dibelikan tiket tersebut.

Rute penerbangan kali ini akan dilayani dari Kopenhagen ke Jakarta. Tapi berhubung saya tidak terlalu banyak mengambil gambar saat transit di Bangkok, jadinya saya hanya merangkum pengalaman naik Boeing 777-three hundred nonstop selama nyaris eleven jam hingga Bangkok saja. Tapi secara keseluruhan, pengalaman naik penerbangan lanjutan menuju Jakarta, pesawat dan pelayanannya pun sama.

Berat bagasi

Di website tertulis kalau bagasi yang boleh dibawa untuk penumpang kelas ekonomi adalah 30 kg**. Jujur saja, saya tinggal di Denmark sudah 2 tahun. Mana mungkin bisa membawa pulang semua barang ke dalam koper yang hanya bermuatan 30 kg. Belum lagi coat tebal dan boot berat yang harus saya lupakan untuk dibawa pulang. Buku-buku dan banyak peralatan gambar pun mau tidak mau ditinggalkan dulu di rumah Louise.

Di malam sebelum keberangkatan, saya dibantu Adel, teman asal Indonesia, berulang lagi bongkar muat isi koper hanya untuk mendapatkan gambaran angka 30 pas di timbangan. Tidak bisa. Berulang kali juga isi koper saya tetap berujung di angka 36 atau 34 kg. Padahal semua baju sudah saya masukkan ke dalam space maker, namun terpaksa harus dibongkar lagi juga.

Setelah bongkar-timbang-bongkar-timbang lebih dari 10 kali, akhirnya saya harus pasrah dengan timbangan koper yang mantap di angka 32 kg. Seingat saya dulu saat pulang dari Belgia menggunakan Garuda Indonesia, ada kebijakan dari beberapa maskapai yang memperbolehkan kelebihan bagasi maksimum 2 kg dari batas everyday. Ya sudah, saya dengan percaya diri bahwa Thai Airways akan berlaku sama dengan Garuda Indonesia.

Untuk mengakali isi koper check-in yang sudah 32 kg, saya terpaksa harus membawa 3 tas besar ke dalam kabin untuk mengangkut sisa barang yang tidak muat. Bayangkan, saya harus membawa 1 koper kabin ukuran 55L, satu tas backpack ukuran 44L, satu tas tangan berisi laptop, serta tas kecil yang menggantung di pundak ke dalam kabin! Oh my!!

**in step with April 2019, Thai Airways hanya memberikan bagasi 20kg bagi tiket berkode L/V/W. Kecuali untuk tiket yang dipesan sebelum 31/4/2019, ketentuan lama masih berlaku.

Proses take a look at-in

Sehari sebelumnya, saya sudah check-in online via website mereka. Selain check-in, penumpang juga bisa memilih kursi dan makanan khusus maksimum 24 jam sebelum terbang. Karena sudah memilih kursi sebelumnya, saya kosongkan saja request makanan.

Saat menimbang bagasi di konter check-in, petugas konter mengatakan kalau koper saya kelebihan bagasi 2 kg yang artinya sudah overweight. Petugas tersebut juga menawarkan jika saya ingin membayar kelebihan bagasi senilai 50 USD per kilo. Karena sayang duit, saya pun keluar dari konter dan berpikir untuk menaruh 2 kg barang ke tas yang akan dibawa ke kabin.

Brian dan Louise yang saat itu ikut mengantar, sampai heran kenapa saya balik lagi ke belakang padahal urusan koper belum selesai.

"It's overweight 2 kilogram," kata saya.

"Cannot we just pay for it?" tanya Brian.

"No, Brian. It's okay. Saya keluarkan saja isinya."

"No, no, no. I will help you," kata Brian mantap sambil menuju konter check-in kembali.

Meskipun Brian berusaha untuk nego 2 kg ke petugas konter yang ganteng itu, tapi tetap saja akhirnya kelebihan bagasi harus tetap dibayar. Kata si petugas, takutnya akan ada masalah saat di Bangkok menuju Jakarta nanti. Thank you, Brian!

Untung saja, petugas konter hanya sibuk mengawasi koper take a look at-in sehingga tas-tas yang akan saya bawa ke kabin, aman! Bayangkan kalau si petugas ikut memeriksa berapa banyak tas kabin saya, bisa-bisa sama saja membeli tiket baru ini namanya.

In-flight service

Pesawat kali ini menggunakan formasi kursi 3-3-three untuk kelas ekonomi. Tapi karena tidak ingin bersikutan dengan banyak orang, saya memilih kursi nomor 39 di dekat lavatory yang memang dikhususkan untuk 2 orang saja.

Selain katering, tahun ini kursi kelas Ekonomi Thai Airways juga dinobatkan sebagai kursi nomor 3 terbaik di dunia. Badan saya yang tidak terlalu tinggi merasa super comfy karena banyaknya space yang tersedia di kursi berukuran 32" ini.

Meskipun repot di awal karena harus mengangkut koper kecil dan backpack ke atas kabin, tapi karena saya memilih kursi di dekat jendela, jadinya masih banyak ruang tersedia untuk menaruh tas lain. Satu hal lagi yang saya suka, kursi Thai Airways terdapat senderan kaki di depan dan belakang yang sangat berguna untuk merilekskan kaki saat tidur. Walaupun saya memilih kursi paling belakang di kabin tersebut, namun kursi tetap bisa disandarkan maksimal.

Di sisi kursi juga terdapat colokan USB untuk mengecas hape. Selain earplugs, penumpang kelas ekonomi juga mendapatkan selimut dan bantal berwarna ungu khas Thai Airways. Sayangnya, hiburan selama di dalam pesawat tidak terlalu oke. Genre film dan musiknya tidak satu selera dengan saya. Jadi selama perjalanan, saya kebanyakan tidur.

Oh iya, saya cukup amazed dengan jumlah penumpang Thai Airways yang kala itu kebanyakan didominasi pasangan beda negara, ceweknya Thai, lakinya bule. Kebanyakan dari mereka ceweknya cantik dan muda, lalu si laki sudah kelihatan tua. Hmm.. liburan ke rumah mertua? :p

In-flight meal

Karena sedang mengikuti application food regimen vegetarian, saya memang biasanya memesan menu khusus sebelum keberangkatan. Plusnya, makanan tersebut akan diantarkan terlebih dahulu saat kita berada di dalam pesawat. Jadi daripada kelamaan menunggu pramugari membagikan makanan, saya biasanya sudah mulai menyuap makanan duluan.

Untuk penerbangan kali ini, saya memang sengaja tidak memesan makanan karena siapa tahu kursi saya bisa di- upgrade seperti kasusnya Air France dan KLM dulu. Hehe. Gambling sih memang, tapi boleh juga dicoba. Meksipun tidak mendapat upgrade di penerbangan kali ini, tapi saya cukup puas dengan pelayanan di kelas ekonomi.

Menu makan malam ayam kari dengan piring porselen

Sarapan pagi omelet dan sosis sapi

Sialnya, saat proses pembagian makan malam saya malah ketiduran. Bangun-bangun, saya sudah mendapati banyak penumpang yang malah selesai menyantap makanan mereka. Sekitar 15 menit kemudian, saya memencet bel dan bermaksud meminta pramugari membawakan makanan saya.

"Can I get my food?" tanya saya.

Pramugari Thailand ramah itu pun hanya menjawab tanpa memberikan opsi, "maaf, makanan kami hanya tersisa babi."

Waduh!

"Kamu tidak makan babi? Bagaimana kalau mie?"

Saya tersenyum tapi ciut dan ragu.

"Tunggu ya, coba kami periksa dulu."

Sekitar five menit kemudian, si pramugari datang lagi dan memberi kabar gembira kalau masih ada menu ayam kari di pentry. Tanpa babibu, langsung saya iyakan. Ya daripada makan mie.

Transit di Suvarnabhumi

Secara keseluruhan, saya sebenarnya cukup puas dengan pelayanan di kelas ekonomi Thai Airways kali itu. Pramugarinya ramah, muda, dan sigap, kursinya enak, meskipun makanannya...Ya, cukup okelah.

Tapi kerepotan masih terus berlanjut saat transit di Suvarnabhumi. Untuk naik ke raise dan pemeriksaan barang pun, antriannya puaanjang sekali! Saran saya, tidak perlu pakai sepatu aneh-aneh, cukup kets ringan atau ballerina saja. Malas sekali kan harus copot sana sini dulu.

Karena hanya memiliki waktu transit 2 jam, saya tidak sempat keliling bandara dulu. Pun begitu, saya tidak tertarik. Badan saya rasanya pegal-pegal semua membawa banyak tas kabin. Penerbangan pun belum usai, karena saya harus menuju Jakarta dan Palembang untuk rute selanjutnya.

Saya tidak kecewa dengan penerbangan kali ini, namun saya akan berpikir dulu kalau harus naik Thai Airways lagi. Capek di jalan dan transit di bandara itu, lho!

Thursday, May 7, 2020

Tips Pengalaman Naik Cathay Pacific Kelas Bisnis dan Ekonomi Rute Zürich - Hong Kong - Jakarta (PP)|Fashion Style

Sudah lama saya mendengar reputasi baik Cathay Pacific yang selalu menjadi top airlines setiap tahunnya. Tak terlalu banyak kesempatan untuk mencoba maskapai asal Hong Kong ini, akhirnya di akhir tahun 2019 saya bisa mencicipi duduk di dua kelas sekaligus dalam satu rute; Ekonomi dan Bisnis.

Naik maskapai ini juga sebetulnya kebetulan karena di tanggal yang saya pilih, hanya Cathay Pacific yang harganya paling murah untuk pulang ke Indonesia. Maklum, akhir tahun, peak season. Saya memesan tiket bolak-balik seharga NOK 6700 atau sekitar €658. Harga maskapai lainnya sudah di atas angka €900, bahkan mencapai €1400 untuk kelas Ekonomi! Tak lsampai Oslo memang, karena saya harus memesan tiket lagi setelahnya.

Tapi apakah benar reputasi Cathay Pacific sebaik yang selalu diberitakan di media? Berikut review saya selama mengudara bersama Cathay Pacific!

Check-in dan bagasi

Hampir seragam dengan banyak full board airlines lainnya, Cathay Pacific tak pelit menjatah penumpang kelas Ekonomi dengan berat bagasi sampai 30 kg. Di Zürich sendiri, yang menjadi base di Eropa, penumpang bisa langsung mencetak baggage tag, menuju mesin scanner dan memindai barcode sendiri, tanpa perlu mengantri di konter check-in.

Untuk proses check-in, penumpang sudah diperbolehkan online check-in minimal 48 jam sebelum keberangkatan. Saya mengalami masalah saat online check-in ini karena proses dinyatakan gagal saat akan check-in rute Hong Kong - Jakarta. Cukup menyebalkan, dikarenakan saya memang ingin memilih kursi sendiri demi menghindari dapat kursi tengah secara random.

Karena kegagalan check-in ini, saya menghubungi pihak Cathay Pacific via help center chat mereka. Asumsi saya saat itu, mungkin saya tak bisa check-in karena bukan warga asal Eropa atau Swiss, jadi harus menunjukkan residence permit dulu di bandara. Namun petugas customer service-nya mengatakan bukan itu yang menyebabkan kegagalan, melainkan bandara Zürich menemukan ada kecurigaan di sistem mereka. Waduh!

Dua jam sebelum keberangkatan, saya mengantri di konter check-in untuk mendaftarkan bagasi dan meminta boarding pass. Saya juga komplen ke petugas konternya, kenapa proses check-in saya gagal hingga akhir. Petugas konter hanya menjelaskan bahwa rute Hong Kong - Jakarta sedang overbooking. Jadi untuk saat itu, saya hanya bisa mendapatkan boarding pass Zürich - Hong Kong, sementara penerbangan selanjutnya harus dikonfirmasi ulang ke konter yang ada di Hong Kong.

"Masih ada kursi di lorong kah?" tanya saya ke si petugas konter untuk mengecek.

"Kalau saya lihat di sini sebetulnya tidak ada. Tapi saya akan informasikan ke petugas di Hong Kong kalau kamu request kursi di lorong ya. Yang saya lihat memang kursi yang masih tersedia hanya di Premium Economy dan Business saja ini. But, don't worry, you are set! They will help you!" kata si petugas santai.

Ngomong-ngomong, bandara Zürich ini ternyata besar dan panjang sekali! Dari konter check-in menuju ke gate sampai butuh kereta dan perjalanannya cukup lama. Belum lagi mengantri di security border-nya. Untuk jaga-jaga, saya menyarankan datang maksimum 2 jam sebelum keberangkatan untuk penerbangan internasional! Apalagi kalau bawa anak-anak dan masih ingin window shopping dulu.

Di Hong Kong, saya langsung menuju konter check-in untuk mendapatkan boarding pass ke Jakarta dan sempat komplen juga mengapa saya tak bisa online check-in dan memilih kursi sendiri.

"Iya, saya lihat di sini kamu request kursi di lorong ya. Tapi sayangnya sudah tidak ada kursi di bagian lorong," kata si petugas konter.

"Tapi kan itu bukan salah saya. Saya tetap prefer kursi di bagian lorong kalau ada. Kenapa juga saya tak bisa online check-in?"

"Kamu tidak bisa online check-in karena memang pesawatnya sedang overbooking. Jadinya kami sengaja memilih meng-upgrade kursi kamu ke Premium Economy. Ini ada kursi di bagian A, dekat jendela, tapi sudah dipindahkan ke kelas Premium Economy," jelas si petugas konter sambil memberikan saya boarding pass yang kelasnya sudah di-upgrade.

Oalaaahhh....

Kenyamanan Kursi dan Kabin

Setelah laporan panjang soal proses check-in, kali ini mari membahas soal kenyaman kursi Cathay Pacific. Untuk pesawat, saya menggunakan 3 jenis pesawat berbeda untuk rute pulang pergi ini. Rute Zürich - Hong Kong, pesawat yang digunakan adalah Airbus A350-1000 dengan formasi 3-3-3 di kelas Ekonomi.

Kalau mau jujur, kursi kelas Ekonomi di Cathay Pacific ini sungguh kurang nyaman. Bantalannya sangat keras dan beberapa kursi tak bisa disandarkan! Untuk standar Ekonomi, maskapai ini malah kalah jauh dari Thai Airways , menurut saya.

Sementara untuk rute Hong Kong - Jakarta, pesawat yang digunakan adalah Boeing 777-300ER. Di rute ini, saya yang tadinya mendapatkan kursi Premium Economy, di-upgrade kembali ke kelas Bisnis! Ketahuannya saat saya iseng-iseng mengecek situs mereka untuk mengecek ulang pemesanan. Tiba-tiba saya melihat nomor kursi saya sudah diganti jadi 20K yang mana adalah kursi kelas Bisnis. Saat boarding pun, kartu boarding pass saya mengalami error lalu diganti dengan boarding pass kelas Bisnis yang baru.

Sepertinya pesawat memang sangat penuh saat itu, makanya beberapa penumpang kelas Ekonomi kecipratan rejeki di-upgrade langsung ke Bisnis untuk mengakomodir penumpang lain di kelas lainnya. Bapak-bapak di samping saya cerita kalau harusnya beliau memesan Premium Economy dari Johannesburg, tapi sampai boarding gate, boarding pass-nya langsung diganti ke kelas Bisnis.

Anyway, kalau boleh curhat, duduk di kursi Bisnis Cathay Pacific bisa jadi adalah mimpi saya sejak lama. Pernah suatu kali saya iseng membuka Instagramnya Ruben Onsu yang sekeluarga naik kelas Bisnis ke Hong Kong untuk liburan. Sepertinya sangat nyaman bisa mendapatkan fasilitas berlebih seperti itu.

Tapi karena perjalanan Hong Kong - Jakarta tak terlalu lama, hanya sekitar 4 jaman, naik kelas Bisnis sebetulnya tak terlalu worth-it. Bagi saya, kelas Bisnis menjadi sangat nyaman kalau penerbangan harus menempuh jarak panjang sampai harus tidur dan beristirahat.

Untuk kursinya sendiri, lagi-lagi saya harus katakan, biasa saja. Dibandingkan kursi Bisnis Singapore Airlines yang lebih elegan dan empuk, bantalan keras Cathay Airways seragam saja seperti kelas Ekonominya.

Saya juga kurang suka dengan LCD besarnya yang kurang solid. Buka tutup dulu layaknya jendela. Layar ini juga harusnya dikatupkan kembali saat mendarat agar tak tiba-tiba tertutup sendiri layaknya saya saat itu. Sedang asik-asik nonton di akhir episode, saat mendarat tiba-tiba si layar terkatup sendiri ke belakang. Ppppfftt!

Makanan

Untuk pilihan makanan, baik di kelas Ekonomi maupun Bisnis, saya bisa katakan biasa-biasa saja. Menu yang ditawarkan biasanya mengikuti rute pesawat, dengan campuran menu Hongkongers. Ada beberapa menu yang bahkan diulang-ulang kembali dengan presentasi makanan yang sedikit berbeda.

Rute Zürich - Hong Kong (Economy Class)

Rute Hong Kong - Jakarta (Business Class)

Kalau mau jujur, presentasi makanan di kelas Bisnis ini sebetulnya tak terlalu menarik. Yang menarik memang hanya piring porselennya yang berbeda dari kelas Ekonomi. Cara mereka menyajikan juga secara berkeliling sambil membawa makanan yang bisa langsung dipilih oleh penumpang kelas Bisnis. Di sesi ini, saya memilih Dim Sum, meskipun presentasi mie goreng sebetulnya lebih menarik.

Rute Jakarta - Hong Kong - Zürich

Di rute kepulangan ke Zürich, saya tidak menyempatkan memotret menu makanan apa saja yang disajikan saat itu. Tapi sebetulnya makanan yang tersedia juga hampir sama seperti di atas. Untuk makan malam utama dari Hongkong ke Zürich, saya lewatkan karena mata saya sudah tak kuat menahan kantuk. Padahal saat saya baca menu utamanya, lebih menggoda ketimbang rute sebelumnya.

Saat sarapan, saya lagi-lagi mengambil menu bubur yang kali ini variasinya menggunakan Beef Stroganoff. Bubur ini juga sebetulnya hanya berasa asin saja, tipikal makanan Hong Kong yang ringan di pagi hari. Tapi sejujurnya cukup menyegarkan tenggorakan karena hangat dan lumer, ketimbang omelet dan sosis.

Meskipun menunya cenderung hambar, namun saya cukup terkesan dengan sajian dessert mereka yang selalu menyajikan es krim setelah makan besar. Kita juga bisa memesan snack tambahan di sela waktu sekiranya masih kelaparan lewat awak kabin.

Fasilitas dan pelayanan di kabin

Soal fasilitas, mungkin saya lebih menyoroti daftar pilihan entertainment yang tersedia selama penerbangan. Meskipun banyak sekali film-film bermutu yang bisa kita nonton, namun saya kurang tertarik dengan isi lagu mereka yang kebanyakan jadul. Selain itu toiletnya juga kurang bersih dan cenderung messy, bahkan di kelas Bisnis sekali pun.

Lalu pelayanan, saya mungkin akan menaruh angka 6. Mengapa, karena bisa dikatakan awak kabinnya kurang responsif. Untuk mengantarkan makanan dari depan ke belakang memang biasanya harus bolak-balik dua kali untuk mengisi kembali trolley. Saya dan penumpang yang duduk di kursi agak belakang harus menunggu mungkin 15 menitan lebih sebelum makanan kami diantarkan. Padahal saat itu kami sudah lapar luar biasa. Mengapa saya tahu, karena pasangan muda yang duduk di samping saya sampai mengupas pisang bawannya demi menahan lapar.

Saat mengangkat nampan kotor pun lamanya bukan main. Padahal penumpang sudah selesai makan 20 menit yang lalu, namun awak kabin belum juga kembali mengumpulkan piring kotor.

Satu hal lagi yang saya kecewa, salah satu awak kabin bahkan menghentikan penyajian mie instan sebagai snack, sekitar 2,5 jam sebelum mendarat. Padahal 2 menit yang lalu doi baru saja mengantarkan mie instan ke salah satu penumpang. Lalu saat saya request minta mie instan, doi menolak dengan alasan, sebentar lagi sarapan akan diantarkan. Padahal saya tahu sarapan diantarkan biasanya kurang lebih satu jam sebelum mendarat. Yang membuat saya kesal, ternyata satu jam kemudian ada yang request mie instan, tapi tetap dibuatkan oleh awak kabin yang lain!

Kesimpulan:

Tak ada yang sangat istimewa dari Cathay Pacific ketimbang maskapai besar lainnya. Semuanya terkesan biasa saja, menurut saya. Jam keberangkatan pun delay dan pelayanan selama di udara juga kurang responsif.