Showing posts with label pelajar di norway. Show all posts
Showing posts with label pelajar di norway. Show all posts

Saturday, May 9, 2020

Tips Menghitung Uang Saku Pelajar vs Au Pair di Norwegia|Fashion Style

Banyak orang awam yang mengutuki sistem kerja au pair karena dianggap abusive dan tak sesuai dengan ketentuan seharusnya. Dengan gaji NOK 5900 per bulan di Norwegia contohnya, au pair hanya terlihat sebagai praktek perbudakan semata yang berkedok pertukaran budaya. Belum lagi adanya budaya overworking, diperlakukan tak adil dan abusive oleh para host family. Tapi meskipun banyak cerita buruk berkembang di luaran, toh masih banyak saja anak-anak muda Indonesia yang ingin jadi au pair. Karena kebanyakan yang dicari memang bukan uang, tapi kesempatan tinggal, belajar, dan jalan-jalan.

Entah adil atau tidak menurut masyarakat awam, sebetulnya uang saku yang diterima oleh au pair di tiap negara itu sudah diatur sedemikian rupa mencocokkan uang saku pelajar setelah dipangkas kebutuhan primer lainnya. Saya sudah pernah bercerita sedikit soal uang saku au pair di sini . Silakan dipahami terlebih dahulu, lalu pikirkan kembali, apakah menurut kalian adil atau tidak. Semakin tinggi biaya hidup, semakin besar pula uang saku yang au pair tersebut dapatkan.

Sebagai seorang au pair yang juga merangkap mahasiswa S-2 di salah satu perguruan tinggi di Norwegia, kali ini saya ingin sharing lebih banyak soal uang saku yang seringkali jadi perdebatan ini. Saya contohkan saja perbandingannya dengan uang saku para pelajar asing yang bekerja paruh waktu di luar, sedang belajar menggunakan dana beasiswa, atau dapat hibah dan pinjaman pemerintah dari Lånekassen.

1. Jam kerja dan upah

Mari kita mulai dari sini dulu, jam kerja serta upah minimum yang diterima. Di Norwegia, jam kerja au pair normalnya 30 jam per minggu, sementara mahasiswa asing hanya diperbolehkan bekerja 20 jam per minggu di tahun pertama, namun diizinkan bekerja full time saat sedang libur.

Upah minimum untuk pekerjaan paruh waktu juga diatur sesuai dengan usia, jam kerja, serta jenis pekerjaan yang kita lakukan. Sementara au pair tidak punya upah kerja baku karena sudah dijatah NOK 5900 (2019) setiap bulannya. Normalnya, pekerja paruh waktu di Norwegia diupah NOK 140-200 per jam. Usia di atas 27 tahun wajib diupah minimal NOK 180 per jam meskipun jenis pekerjaannya hanya sebagai pelayan restoran. Kerja di atas pukul 9 malam dan akhir pekan/libur, gaji per jamnya naik jadi 160%. Sementara kalau ingin cari kerja serabutan di luar seperti tukang bersih-bersih atau babysitter lepas, upah diatur dengan kesepakatan antara kita dan employer.

Let's say saya bekerja jadi pelayan restoran dengan upah NOK 180 per jam. Dalam seminggu, saya bisa mengantongi sekitar NOK 3600. Dengan 80 jam kerja dalam sebulan, saya bisa mendapat gaji bruto sebesar NOK 14.400.

Gaji bruto;

Au pair: 120 jam kerja per bulan = NOK 5900

Mahasiswa yang bekerja paruh waktu: 80 jam kerja = NOK 14.400

Oke, sampai sini semuanya hanya berupa gaji bruto yang belum dipotong pajak. Di Norwegia semua yang berpenghasilan wajib bayar pajak, meski au pair sekalipun. Untuk pekerja biasa, pajak biasanya dikenakan sekitar 30-35% dari penghasilan. Sementara au pair, pajaknya tak tetap karena bisa berpengaruh pada banyak hal, tapi kita asumsikan saja 15% (meskipun ada juga yang 6 atau 35 persen!)

Setelah pajak;

Uang saku au pair: NOK 5015

Gaji paruh waktu (pajak 30%): NOK 10.080

Anyway, untuk mahasiswa yang dapat beasiswa atau dana hibah, jumlah per bulannya untuk yang masing single sekitar NOK 11.000 tanpa dipotong pajak.

2. Akomodasi

Setelah upah, lanjut lagi ke biaya akomodasi. Sebagai mahasiswa asing, tentunya place to stay and sleep adalah yang paling banyak menyita biaya bulanan. Sama seperti banyak negara lainnya, tentu saja biaya sewa bulanan di ibukota tak akan sama dengan kota kecil.

Di Oslo, biaya sewa kamar sepetak seluas 8 sqm di apartemen berbagi saja dipatok antara NOK 3500-5000 tergantung dari berapa banyak penghuni rumah, berperabot atau kosong, serta kemudahan akses transportasi ke tengah kota. Pilihan lainnya adalah menyewa kamar di student housing yang harganya juga bervariasi tergantung kelengkapan kamar tersebut. Yang pasti kita bisa memilih apakah ingin berbagi fasilitas dengan orang lain atau semuanya ada di satu kamar pribadi. Semakin lengkap kamar, semakin mahal. Katakan saja kamar  bermebel berukuran 11 sqm dengansharing toilet & kitchen di student housing berharga NOK 4200 sebulan.

Biaya sewa kamar;

Au pair: GRATIS! Kamar biasanya cukup luas, berperabotan sendiri, punya kamar mandi pribadi bahkan dapur sendiri! Ilustrasi kamar di atas adalah yang biasanya paling banyak au pair punya.

Mahasiswa asing: NOK 4200 sebesar 11 sqm dengan kamar mandi dan fasilitas dapur yang harus berbagi dengan 6-8 mahasiswa lainnya

3. Makan

Setelah tempat tinggal, biaya primer lain yang harus dipikirkan adalah biaya makan setiap hari. Jadi mahasiswa asing harus pintar-pintar berhemat karena biaya hidup Norwegia  sangat mahal. Masak sendiri adalah cara paling ampuh untuk menghindari pengeluaran membengkak. Rajin mencari informasi barang diskonan di situs toko sayuran juga bisa dicoba jika ingin mendapatkan produk dengan harga miring.

Setiap orang tentunya punya kebutuhan pokok yang tak sama. Tapi kalau ingin dihitung, biaya beli bahan makanan ini bisa kita bulatkan NOK 500 per minggu. Jadi dalam satu bulan, mahasiswa asing setidaknya mengeluarkan sekitar NOK 2000. Biaya ini belum ditambah jika kita ingin jajan di luar atau makan di kantin kampus.

Kebutuhan pangan sebulan;

Au pair: GRATIS! Join makan dengan host family atau kalau pun harus jajan mie atau sayuran sendiri, semaksimalnya NOK 500

Mahasiswa asing: Sekitar NOK 2000-2500

4. Tiket transportasi

Setiap daerah di Norwegia punya sistem transportasi sedikit berbeda, termasuk soal harga. Di beberapa wilayah, ada tiket khusus anak muda sampai usia 29 yang harga perbulannya hampir setengah harga normal. Sementara di Oslo, tak ada yang membedakan anak muda kecuali status full-time student- atau trainee-nya atau usia di bawah 19 tahun.

Ongkos bulanan;

Au pair: Di Oslo, harga tiket perbulan untuk tahun 2019 adalah NOK 746

Mahasiswa asing: Diskon sampai 40% atau NOK 450

KESIMPULAN:

Sehemat-hematnya mahasiswa yang tinggal di Norwegia, uang saku bulannya tetap akan kalah dengan 'penghasilan' au pair. Biaya di atas juga belum termasuk paket telpon dan internet yang kebanyakan au pair dibiayai oleh host family. Tapi mengapa uang saku au pair malah yang paling cepat ludes? Kembali lagi ke gaya hidup "tanpa absen nongkrong dan jalan-jalan". Travelling penting, namun menabung juga penting, but what should you prioritise?

Makanya tak heran seorang teman saya rela jadi serial au pair hanya karena kehidupannya yang nyaman, makan-minum-tidur sudah ditanggung. Buka pintu kamar, langsung kerja tanpa harus berjibaku dengan dinginnya salju di musim dingin. Belum lagi adanya fasilitas mewah lainnya seperti diajak travelling bersama, tiket PP gratis, sampai kamar yang mirip hotel bintang lima. Enak kan (sebetulnya) jadi au pair?

Now, tell me what you think! Menurut kalian, uang saku au pair itu sebetulnya sudah cukup adil belum sih?

Thursday, May 7, 2020

Tips Berburu 'Student Job' Tanpa Lelah (Bagian 1)|Fashion Style

"It doesn't matter if you flip burgers, bricks or houses. Just don't sit on your ass all day flipping channels. Hustle." - Denzel Washington

Setelah pencarian host families tanpa lelah sejak 5 tahun ke belakang, kegiatan saya berburu pekerjaan baru memang belum terhenti sampai di situ. Ketika mendengar cerita berkuliah saya di Norwegia, salah satu om menyayangkan keputusan saya harus kuliah dengan biaya sendiri. Apalagi setelah tahu saya akan kuliah sekalian bekerja paruh waktu untuk menopang biaya hidup. Ide ini dipandangnya cukup nekad dan gila mengingat beliau dulu bisa kuliah di luar negeri juga karena bantuan beasiswa.

"Kalau ada beasiswa, ya kenapa juga harus repot-repot kerja? Sebaiknya fokus saja ke studi, daripada harus mengorbankan waktu sekalian kerja part-time," ujarnya.

Dari sana, beliau dengan pedenya menyuruh saya mencari tahu informasi beasiswa LPDP yang begitu dia banggakan tersebut — meskipun dulunya dapat beasiswa dari Pemerintah Jerman, DAAD. Katanya tak masalah apply meskipun saya sudah masuk semester dua. Jadi maksudnya on going saja begitu. Well, demi memuaskan keingintahuan beliau, saya cari saja informasi soal beasiswa tesis LPDP yang mungkin memang tersedia tahun ini. Namun untungnya, memang tak ada!

Oke, saya bukan anti beasiswa. Saya malah sebetulnya sangat ingin dapat beasiswa tiap bulan tanpa perlu repot-repot dan capek memikirkan soal biaya hidup. Kuliah dengan biaya sendiri itu super duper berat, Sodara! Tapi apa daya, saya tahu diri. Nilai IPK pas-pasan, malas minta surat rekomendasi (lagi), belum lagi saingannya bejibun. Jadi daripada berekspektasi harus bisa kuliah dengan dana beasiswa, saya tetap akan kuliah meskipun harus menopang biaya hidup dengan kerja sambilan.

Lagipula, kuliah sekalian kerja paruh waktu di luar negeri itu sebetulnya punya banyak manfaat. Selain cari uang, kesempatan lainnya adalah;

1. Memperlancar bahasa lokal

2. Menambah pengalaman dan memperluas networking

3. Mengenal lebih jauh budaya kerja setempat

4. Punya rekan kerja dan tak lagi bicara dengan tembok layaknya kesendirian au pair dulu!

Di Norwegia, pelajar asing yang mendapatkan izin tinggal bisa bekerja paruh waktu sampai 20 jam per minggu. Di sini, kerja paruh waktu disebut deltid atau 50% porsinya, mengingat kerja heltid (100%) itu sama dengan 37,5-40 jam per minggu.

Kalau ada yang tanya ke saya, apakah cari kerja paruh waktu di Norwegia itu mudah, jawabannya adalah mudah! Syaratnya, kamu mesti bisa lancar bahasa Norwegia, dan yang kedua, kamu punya orang dalam alias teman yang bisa jadi referensi utama mu ke bos di tempat kerja tersebut. Mudah kan? ;p

Tapi bagi pelajar asing, cari kerja di Norwegia tanpa kedua syarat tersebut bisa jadi malapetaka karena keterbatasan lowongan kerja. Belum lagi, 70% lowongan kerja yang tersedia di sini sebetulnya tidak diiklankan, melainkan hanya kabar dari mulut ke mulut. Jadi kalau networking kita sempit, jangan harap bisa dapat pekerjaan dengan mudah, bahkan untuk jadi cleaning lady sekali pun!

Pekerjaan yang dikira mudah semisal pelayan McDonalds atau pegawai pom bensin pun tak banyak melirik pelajar asing karena masalah bahasa. Mengapa syarat bahasa Norwegia sangat mutlak di kota-kota besar semisal Oslo atau Bergen, karena tingginya persaingan antara orang asing dan warga lokal. Jadi kalau kamu hanya terpaku di bahasa Inggris, bisa dipastikan lowongan kerja akan sangat sedikit sekali. Makanya banyak pelajar asing lebih realistis dan memilih bekerja sebagai kurir makanan (layaknya GoFood), kurir koran, petugas kebersihan, atau babysitter lepas, yang berkualifikasi tanpa perlu menguasai bahasa lokal.

Kembali ke saya pribadi, karena memang tak punya orang dalam dan networking yang luas, saya masih sedikit beruntung karena bisa bicara dan mengerti bahasa Norwegia (level A2) meskipun memang belum cukup kuat untuk bersaing di luaran. Itulah mengapa ada manfaatnya jadi pelajar setelah menyelesaikan masa au pair, karena level bahasa kita biasanya lebih baik ketimbang para pelajar asing lain yang baru saja datang ke Norwegia. Plusnya lagi, karena memahami isi konten yang ada di internet, kita bisa curi start duluan berburu pekerjaan paruh waktu di banyak situs lowongan kerja seperti Finn, Glassdoor, Nav, Indeed, Karrierestart, dan masih banyak lainnya.

Untuk jenis pekerjaan, saya tak neko-neko.I don't care as long as I could pay my bills dan latihan bicara bahasa lokal. Jadi pilihannya bisa ke pelayan restoran, penjaga toko, atau asisten butik yang setiap hari menggunakan bahasa Norwegia. Selain jenis pekerjaan tersebut, saya juga mencoba melamar ke perusahaan startup di Norwegia pada posisi magang berbayar (paid internship). Saya mesti sombong sedikit untuk hanya memilih posisi magang yang dibayar karena sekarang memang sedang butuh uang.

Getting a process takes time!

Lalu apakah dengan menguasai bahasa Norwegia stage A2 membuat kesempatan saya lebih besar? Sebetulnya tidak juga. Dari banyaknya lowongan pekerjaan paruh waktu tersebut, tak semuanyaa saya berkualifikasi dikarenakan tetap ada persyaratan yang mengharuskan menguasai bahasa Norwegia dengan sangat lancar. Jadi walaupun sudah bisa bahasa lokal sedikit-sedikit, saya juga tak mau bertaruh mengirim lamaran kerja ke beberapa tempat yang memang mewajibkan bahasa Norwegia fasih sebagai syarat mutlak. Lagipula menulis resume dan surat lamaran kerja itu sangat melelahkan, lho! Saya mesti menyesuaikan isi surat lamaran dengan jenis pekerjaan yang saya lamar.

Kembali lagi, karena saya tidak punya orang dalam atau kenalan, serta degree bahasa Norwegia masih stage dasar, cari kerja paruh waktu menjadi tantangan yang sangat berat. Jangan salah, untuk posisi yang kita kira mudah seperti pelayan restoran atau pegawai toko, saingannya bejibun terutama dari kalangan pelajar lokal itu sendiri! Meskipun kita sudah banyak pengalaman lokal dan internasional, tapi kesempatan biasanya tetap diberikan kepada para pelajar lokal yang bahkan belum punya pengalaman sama sekali.

Cari kerja dimana pun juga melelahkan karena memerlukan proses yang panjang, mulai dari kirim lamaran sampai mendapatkan jawaban. Untuk posisi magang di musim panas (summer internship), saya bahkan sudah mengirim berkas lamaran sejak September tahun lalu. Prosesnya begitu lama dan saingannya pun sangat kompetitif, mengingat posisi yang saya lamar ini juga adalah paid internship. Sedangkan untuk kerja paruh waktu, saya memang sudah rutin mengirimkan lamaran sejak akhir November lalu. Dalam satu bulan, saya bisa mengirimkan 10-20 lamaran kerja ke banyak tempat. Ada yang direspon, ada pula yang tak ada kabar sama sekali. Karena sedang sibuk ujian akhir semester dan pindahan, saya juga tak punya waktu untuk follow up semua lamaran yang sudah dikirim.

Target saya, awal tahun 2020 harus sudah dapat pekerjaan baru! Bisa jadi masalah besar kalau sampai akhir Februari saya belum dapat kerja mengingat uang saku hasil au pair kemarin pun makin menipis. Sekarang saja satu minggu belum dapat kerja dan hanya duduk manis di kosan rasanya sangat membosankan. Meskipun bisa saja sesekali kena stress ala pengangguran, tapi untungnya saya tipikal orang yang cukup oportunis dan gigih. Setiap hari saya berusaha mengecek satu per satu lowongan kerja paruh waktu di internet dan mencocokkan dengan kemampuan yang saya miliki. Satu cocok, secepatnya saya mengirimkan resume dan membuat surat lamaran kerja hari itu juga.

Resume dan surat lamaran kerja (cover letter)

Sekarang mari membahas bagaimana caranya saya melamar pekerjaan ke banyak tempat, apakah datang langsung atau mengirim aplikasi via online. Yang pertama, saya ingin membahas dulu soal syarat lamaran kerja di Norwegia. Berbeda dengan Indonesia, kirim lamaran kerja di Norwegia itu anti ribet. Yang dibutuhkan hanya dua, resume/CV dan surat lamaran kerja (cover letter). Kecuali melamar posisi magang di perusahaan besar, syarat transkrip nilai jadi dokumentasi tambahan.

Banyak pekerjaan yang diiklankan di internet bisa langsung kirim aplikasionline tanpa perlu datang mengantarkan berkas ke kantornya. Beberapa perusahaan ada yang dengan baik hati memberifeedback, ada pula yang acuh sama sekali. Jadi kalau kamu lebih rajin dari saya, kamu bisa coba follow up semua surat lamaran kerja yang sudah dikirim tanpa harus menunggu jawaban yang lama terlebih dahulu.

Untuk CV saya buat berbeda-beda berdasarkan jenis pekerjaan dan posisi yang saya lamar. Bahasa yang saya gunakan di CV semuanya menggunakan bahasa Inggris untuk jenis pekerjaan apapun. Saat melamar kerja paruh waktu, saya buat lebih personal dengan menyertakan kemampuan bahasa serta hobi. Sedangkan saat melamar posisi magang, saya lebih menonjolkan pencapaian akademik dan organisasi. Layout-nya pun sangat simpel mengikuti pola Europass, hanya hitam putih. Yang penting isinya jelas ketimbang desainnya yang terlalu menonjol.

Selanjutnya adalah menuliskan surat lamaran kerja. Di komputer, ada banyak sekali file cover letter untuk masing-masing posisi yang sudah pernah saya lamar. Meskipun isinya tak jauh beda satu dan lainnya, namun memang ada yang saya tonjolkan di tiap surat lamaran kerja. Untuk posisi pekerjaan paruh waktu, saya menulis lamaran dengan bahasa Norwegia. Saya tulis kasar terlebih dahulu, lalu Mumu membantu mengedit kembali. Sementara untuk surat lamaran berbahasa Inggris, saya proofread sendiri.

Mengapa saya menuliskan surat lamaran kerja dalam bahasa Norwegia, karena ini membuka sedikit peluang untuk dilirik oleh HRD. Setidaknya akan menimbulkan kesan bahwa meskipun nama saya totok Indonesia, namun ada niat untuk berintegrasi dengan kultur lokal. Ada banyak sekali HRD yang langsung menyingkirkan aplikasi kita sekilas hanya melihat nama yang terlalu asing, meskipun kita bisa lancar bahasa Norwegia.

Sayangnya, dari semua cara di atas, kesempatan saya mendapatkan panggilan kerja pun tak banyak, terutama di jenis pekerjaan paruh waktu berbahasa lokal. Kalau mau dinilai, surat lamaran kerja saya memang terlalu "tipikal"  dan tidak menonjol dari pelamar lainnya. Tak dipungkiri, saya juga banyak melihat contoh di internet yang jenis kontennya memang seragam. Dari sini, saya mengganti taktik untuk menuliskan ulang motivasi dan pengalaman kerja secara lebih clear serta personal dari sebelumnya. Fiiuuhh.. what a process!

Ngomong-ngomong, ini dulu yang bisa saya ceritakan di postingan kali ini. Next, saya ingin cerita soal pengalaman wawancara kerja serta pekerjaan apa yang mungkin akan mendarat ke saya di awal tahun ini!

Kalian sendiri, apakah ada pekerjaan impian yang mungkin sempat terpikir kalau punya kesempatan bisa bekerja paruh waktu di luar negeri?

Sunday, May 3, 2020

Tips Pendidikan di Negara Nordik: Jangan Kuliah Karena Gratis!|Fashion Style

Well, siapa yang tak ingin mendapatkan pendidikan gratis?! Apalagi kalau bisa belajar hingga ke luar negeri, tanpa perlu mengeluarkan kocek berlebih untuk menikmati fasilitas pendidikan kelas dunia. Tapi jangan sampai terlalu jujur kalau niat kamu kuliah hanya karena privilege 'gratisan' dari negara tertentu, setidaknya di Norwegia.

I am gonna tell you the truth; most local students are quite fed up listening to foreign students coming to their country just for free education! Bukan, saya bukan bicara tentang para mahasiswa internasional yang beruntung bisa kuliah di Norwegia karena dana hibah atau beasiswa. Tapi soal betapa jujurnya para mahasiswa asing yang hanya sekolah di Norwegia untuk menikmati fasilitas 'bebas uang kuliah' yang masih diberikan oleh pemerintah setempat.

Di negara Nordik, sampai sekarang hanya Norwegia yang masih membebaskan uang kuliah di kampus negeri bagi mahasiswa lokal dan internasional. Denmark (2006) dan Swedia (2011) sudah menutup peluang free tuition fee bagi mahasiswa internasional, selain warga Uni Eropa. Sementara Finlandia yang dulunya masih royal membebaskan uang kuliah bagi semua mahasiswa di penjuru dunia, di semester musim gugur 2017 ikut menutup kesempatan ini juga bagi semua warga di luar Uni Eropa & Swiss.

Tercatat, setelah hampir semua negara Nordik tak lagi membebaskan uang kuliah bagi mahasiswa di luar Uni Eropa, angka mahasiswa internasional yang datang untuk belajar pun turun secara drastis. Di Swedia, dua tahun setelah pemerintah menetapkan uang kuliah bagi warga non-Uni Eropa, jumlah mahasiswa asing turun sampai 80% ! Tak heran, seorang cowok Islandia yang saya temui di Denmark ironi berpendapat bahwa hanya ada 2 tipe orang Asia yang bisa belajar sampai Eropa Utara; kalau bukan super smart karena dapat beasiswa, pasti karena super rich karena keluarganya mampu menutupi biaya kuliah dan hidup yang mahal di Eropa Utara. What a rude statement, tapi faktanya memang benar! To be frankly honest, saya belum pernah ketemu mantan au pair yang memutuskan langsung kuliah di Denmark dengan biaya sendiri, kecuali didukung 'kantong besar' orang tua.

Kembali ke Norwegia, pemerintah setempat memutuskan untuk tidak ikut dalam penetapan uang kuliah bagi mahasiswa internasional (non-Uni Eropa). Norwegia menganggap bahwa penetapan uang kuliah ini bisa menimbulkan efek domino bagi mahasiswa lokal yang mungkin juga harus membayar uang kuliah ke depannya. Di samping itu, ketakutan akan penurunan angka mahasiswa asing di Norwegia juga menjadi faktor penting mengapa pemerintah setempat masih berusaha royal di bidang pendidikan. Prinsip mereka, memupuk keanekaragaman dan kualitas di tengah populasi mahasiswa asing menjadi hal yang penting di era globalisasi. Terlebih lagi, Norwegia tetap ingin memberikan kesempatan kepada semua warga negara yang ingin mendapatkan fasilitas pendidikan kelas dunia tanpa takut biaya mahal.

Di semua negara Nordik, kesetaraan (equality) merupakan landasan model kesejahteraan dalam hidup. Dalam dunia pendidikan, equality bisa diterjemahkan menjadi sebuah penawaran yang berlaku bagi semua warga negara di dunia. Semua negara Nordik juga memiliki kebijakan untuk mendorong terciptanya kesetaraan jenis kelamin dalam pendidikan serta berupaya mendukung para pelajar yang terlahir dari keluarga kurang mampu agar bisa meneruskan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Untuk level sekolah tinggi/universitas, selain tingkat pendaftaran yang sangat tinggi antara laki-laki dan perempuan, kesenjangan gender sekarang telah berbalik menjadikan perempuan dominan dalam dunia kerja (high-skilled). Di Norwegia, Swedia, dan Islandia , perbandingan perempuan yang mendaftar di universitas kira-kira 1.5:1 dari laki-laki, sementara di Finlandia dan Denmark, perempuan juga menempati posisi dominan pada tingkat universitas.

Melirik jumlah mahasiswa internasional di semester musim semi 2018, tercatat hampir 14 ribu mahasiswa sedang menempuh pendidikan di seluruh penjuru Norwegia. Tiga universitas negeri terfavorit ada di Oslo (University of Oslo), Trondheim/Gjøvik (NTNU), dan Bergen (University of Bergen). Tak ada yang namanya kampus terbaik, karena setiap universitas di Norwegia memiliki kelebihan dan fokus tersendiri di beberapa bidang. Meskipun, saat ini hanya University of Oslo sendiri yang masuk 100 besar kampus terbaik di dunia, dan salah satu alasan yang paling menarik untuk melanjutkan studi di Norwegia bagi mahasiswa internasional tentu saja karena penawaran free education fee.

Lalu kalau memang berusaha mendukung dunia ketiga, lantas mengapa banyak pelajar lokal yang muak mendengar para pelajar asing datang ke Norwegia untuk belajar gratis? Karena dana pendidikan di negara Nordik semuanya dibiayai oleh publik! Menurut data OECD di tahun 2014, dana investasi publik yang diberikan bagi dunia pendidikan di Norwegia besarnya hampir 96%. Selain itu, kehidupan tradisional yang berstandar tinggi di Norwegia juga disokong oleh aliran dana dari minyak bumi di Laut Utara (North Sea). Dengan lebih dari NOK 10 Triliun investasi dari minyak bumi dan USD 450 Triliun aset negara, Norwegia membangun perusahaan minyak negara dan menyalurkan petrodolarnya ke dana pensiun pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Bagi yang belum tahu, sebelum tahun 70-an Norwegia hanyalah negara miskin di antara 2 negara Skandinavia lainnya. Lalu saat mereka menemukan minyak bumi, hasil sumber daya alam inilah yang melumasi seluruh perekonomian di Norwegia hingga membuatnya menjadi salah satu negara paling kaya di dunia dan dijuluki "Arab Saudi dari Utara".

Selain karena kekayaan ini, Norwegia juga menetapkan keseimbangan antara pendapatan dan pajak yang tinggi, lalu dengan tepat menggunakan uang pajak tersebut untuk mendanai beberapa lembaga dan fasilitas bagi rakyatnya. Dana ini meliputi kesejahteraan, tunjangan pengangguran, layanan kesehatan universal, pendidikan gratis, bantuan hukum, serta banyak dana bermanfaat lainnya — yang betul-betul dimanfaatkan dengan sangat tepat di krisis Corona seperti ini. Artinya, pajak warga lokal yang dipotong 30-70% per bulan itu disisihkan salah satunya bagi dunia pendidikan. Tentu saja banyak yang menilai hal ini tak adil, karena orang Norwegia yang bayar pajak, tapi justru banyak mahasiswa asing yang menikmati social benefit tersebut.

Me, I am not going to lie. Alasan utama saya melanjutkan kuliah di Norwegia, selain karena rindu dunia akademik, tentu saja adalah soal biaya kuliah. Di banyak kampus lain di semua negara Nordik, mahasiswa non-Uni Eropa harus merogoh kocek €3000-8.000 per semester hanya untuk biaya kuliah — belum termasuk uang semester dan juga biaya hidup yang tinggi. Di Norwegia, saya hanya membayar NOK 840 (€84) per semester sebagai ganti biaya fotokopi serta angsuran organisasi kampus. Tentu saja kata-kata "kuliah gratis di Norwegia" itu salah, karena yang gratis hanya biaya kuliahnya namun mahasiswa tetap harus beli buku, bayar uang semesteran, dan membiayai hidup yang tak murah. Meskipun, sebetulnya biaya pendidikan di Eropa itu tergolong murah ketimbang Inggris dan Amerika Serikat.

Namun untuk ukuran negara kaya yang sangat royal memberikan pendidikan "cuma-cuma", Norwegia juga cukup adil dalam dunia kerja. Karena negaranya kecil dengan penduduk hanya 5 juta jiwa, job market di Norwegia tergolong tipis. Kecuali kalian menguasai bahasa Norwegia dengan sangat lancar dan mampu berintegrasi dengan budaya kerja di sini, kesempatan untuk mendapatkan high-skilled job di luar industri IT, sangatlah kecil. Bahkan kalau harus memilih acak dari semua warga negara di dunia ini, kebanyakan perusahaan di Norwegia cenderung tertarik merekrut tenaga kerja dari Amerika untuk bidang sains, serta India untuk bidang IT. Jadi ya silakan nikmati fasilitas pendidikan gratisnya, tapi jangan harap bisa bersaing dengan mudah di pencarian kerja — mungkin pikir orang lokal.

Jadi kalau kamu juga tertarik melanjutkan kuliah di sini dengan biaya sendiri, mulailah sugarcoating alasan apa yang sangat menarik dari Norwegia, selain karena bebas uang kuliah. Saya sering dapat pertanyaan seperti ini soalnya, "why did you end up in Norway?". Seperti kebanyakan warga lokal, mungkin kita juga sebal mendengar banyak turis kere datang ke Indonesia hanya karena alasannya "murah meriah". Are we that cheap?