Showing posts with label studi. Show all posts
Showing posts with label studi. Show all posts

Sunday, June 21, 2020

Tips Kuliah S2? Nanti Dulu!|Fashion Style

Saya sebenarnya salut dengan para mantan au pair Indonesia yang meneruskan kuliah di Eropa selepas masa au pair mereka berakhir. Fakta memang, bahwa au pair bisa dijadikan batu loncatan untuk tinggal di Eropa lebih lama. Antusiasme teman-teman au pair itu pun sebenarnya layak diacungi jempol karena kebanyakan dari mereka kuliah dengan uang pribadi.

Meskipun embel-embelnya kuliah di luar negeri dan memakai uang sendiri, namun jangan salah, banyak juga dari mereka yang bukanlah dari keluarga golongan kaya. Kemauan mereka yang gigih serta tekad yang kuat untuk tetap tinggal di Eropa, membuat mereka rela sekolah sekalian kerja banting tulang mencukupi kehidupan sehari-hari. Berat memang. Namun banyak juga yang beruntung mendapatkan dukungan ethical dan finansial luar biasa dari keluarga di Indonesia.

Lalu saya sendiri, apa tidak niat meneruskan kuliah Master di Eropa?

Sejujurnya, sangat niat. Dulu, sebelum kenal au pair, tinggal dan menempuh pendidikan di luar negeri adalah impian saya sejak lama. Saat masih berumur eleven tahun, saya bahkan sudah bermimpi untuk SMA ataupun kuliah di Jepang.

Setelah lulus dari Universitas Sriwijaya, saya pun kembali mencari cara bagaimana bisa keluar negeri sekalian studi. Tapi karena IPK pas-pasan dan bahasa Inggris masih berantakan, akhirnya saya batalkan rencana tersebut. Niatnya saat itu memang mencari beasiswa. Tapi sudahlah, saya tahu diri karena saingannya lebih hebat-hebat.

Pindah ke Eropa dan tinggal selama beberapa tahun, membuat saya tahu bahwa kuliah di luar negeri sangat possible meskipun IPK dan bahasa Inggris pas-pasan. Banyak kampus di Eropa yang menawarkan uang kuliah yang murah hingga gratis. Syaratnya, kita mesti ikut kelas berbahasa lokal seperti yang ada di Belgia, Belanda, Prancis, Jerman, ataupun Finlandia.

Banyak teman-teman au pair yang malas pulang ke Indonesia, akhirnya lanjut kuliah di Eropa karena memang kesempatannya sangat terbuka dan ada. Lalu, apakah saya tidak tergiur untuk kuliah juga dan stay di Eropa lebih lama?

Sayangnya, tidak. Ada beberapa alasan yang akhirnya membuat saya mengurungkan dulu niat melanjutkan Master meskipun kesempatannya terlihat ada.

1. Kuliah itu melelahkan

Saya tidak pernah bosan belajar, bahkan selalu terbuka dengan ilmu-ilmu baru. Tapi saya sempat mengalami naik turun saat S1 dulu karena salah jurusan. Kuliah itu full teori. Belum lagi S2, semakin mendalami teori. Kalau harus melanjutkan kuliah hanya karena ingin tinggal di Eropa lebih lama, saya rasa akan buang-buang waktu saja. Kecuali saya kuliah untuk mendalami bidang tertentu yang berhubungan dengan profesi, why not?

Lagipula, bukankah tujuan akhir dari kuliah itu juga ujung-ujungnya mencari pekerjaan? Enak, kalau dia kuliah memang ingin mendalami bidang tertentu yang menunjang profesi yang sudah dimiliki atau akan dimilikinya. Just go for it!Lha, kalau masih meraba-raba seperti saya?

Saat berkencan dengan Bunny , seorang cowok Denmark, saya ada di posisi ketika dia sedang sibuk mengerjakan tesis. Selesai tesis, doi pun harus berada lagi di masa-masa mencari pekerjaan, membuat cv dan cover letter yang berbeda, mencari lowongan, lalu mengirimkan surat lamaran. "That's the most boring process!" katanya.

Belum lagi persiapan wawancara, ditolak sana-sini, hingga akhirnya tetap terus berusaha mencari. Doi sudah dapat pekerjaan sekarang, meskipun bukan pekerjaan yang sesungguhnya dia harapkan.

Jadi intinya, kuliah itu capek. Belum lagi lulusnya, masih stres harus cepat dapat pekerjaan.

2. Saya sudah berniat independen

Ibu saya sebenarnya sudah berniat menyekolahkan saya lagi sampai S2 di Indonesia. Namun saya katakan tidak. Bagi saya, kewajiban beliau menyekolahkan cukuplah hanya sampai S1 saja. Terima kasih banyak. Terlalu banyak beban yang beliau sudah tanggung di rumah. Saya ini belum bisa menghasilkan apa-apa, masa iya ingin minta duit disekolahkan lagi.

Makanya saat wisuda S1, saya katakan ke ibu, kalaupun harus lanjut S2 lagi, saya tidak ingin pakai uang sendiri atau merepotkan orang lain. Setidaknya harus beasiswa, agar saya bisa fokus belajar tanpa stres mencari uang kesana kemari. Sudah tidak fokus, kecapekan, yang ada belajar tidak maksimal. Belajar itu tidak mudah dan fokusnya bukan foremost, lho.

Three. Tujuan S2 itu untuk apa?

Jujur, kalau saya S2 hanya untuk menambahkan gelar atau takut pengangguran, saya tidak usah capek-capek mengejar gelar tersebut. Bagi saya, kuliah S2 akan dirasa penting jika memang profesi impian membutuhkan ilmu yang tinggi, contohnya menjadi dosen ataupun hakim. Lagipula, kebanyakan tempat kerja sebenarnya lebih mempedulikan pengalaman kerja ketimbang titel yang sudah disahkan di selembar kertas.

Banyak juga teman-teman saya yang dapat posisi bagus di Google, Momondo, ataupun Bjarke Ingels Group (BIG) karena pengalaman kerja mereka yang oke. Kebanyakan dari mereka juga hanya sekolah hingga S1 saja.

Di Eropa, banyak juga lapangan pekerjaan yang mencari orang-orang dengan skill dan pengalaman kerja tinggi tanpa harus memenuhi kualifikasi Master dulu. Anak-anak muda di Denmark pun baru mulai kuliah S1 saat mereka berumur 25 atau 27 tahun, tapi hebatnya sudah pernah magang dan kerja dimana-mana selepas SMA.

Lagi-lagi, saya belum melihat apa guna tujuan melanjutkan S2 untuk saya ke depannya.

Four. Pendidikan yang tinggi akan membuka banyak kesempatan pekerjaan

Tentu saja! Tapi tunggu dulu, di Indonesia itu ada banyak sekali lulusan S2, apalagi di luar negeri. Teman saya, Ieva, sudah hampir 9 tahun tinggal di Denmark lalu menyelesaikan kuliahnya hingga S2. Karena jurusannya terlalu mainstream, Internasional Business, jadi doski pun mesti saingan dengan para orang lokal ataupun orang asing pencari kerja lainnya. Padahal doski lancar bicara 3 bahasa asing, lho. Sempat stres tidak kunjung dapat pekerjaan yang oke, akhirnya Ieva memilih pulang ke negara asalnya di Latvia.

Semakin tinggi gelar, biasanya akan tinggi juga ekspektasi terhadap posisi dan gaji. Boleh memang. Tapi kalau cuma lulus saja sih gampang. Yang sulit itu, bagaimana menjadi lulusan S2 yang berkompeten, pandai dan cerdik menghadapi pasar, lalu bisa menyumbangkan ide dan kontribusinya ke tempat kerja.

5. Mending jadi pelajar ketimbang au pair

Oke, jadi pelajar di Eropa statusnya jelas, "pelajar". Bisa dapat diskon pelajar kemana-mana. Kalau ditanya sedang apa di Eropa, jawabnya enak dan dipandang keren, "sedang studi". Ruang lingkup pertemanan pun luas dan intelektual. Meskipun harus dikejar deadline tugas dan ujian, namun student life sebenarnya sangat "aman" dan seru. Menjadi pelajar di Eropa juga membuka kemungkinan jika setelahnya lulus, bisa bekerja disana atau negara maju lainnya. Meskipun sih, peluang ini juga tidak besar.

Tapi bagi saya, tidak ada yang salah juga dengan rencana orang untuk memutuskan jadi au pair. Au pair itu santai. Makan dan tempat tinggal gratis. Hari libur dan waktu senggang banyak. Dikejar deadline? No. Uang saku, tiap bulan dikasih. Sekolah, tetap. Au pair juga punya ujian, tugas, dan ruang lingkup pertemanan di sekolah dan komunitas—bagi yang berjiwa sosial. Au pair pun memiliki kesempatan saat free time untuk travelling, bersosial, ataupun sekedar leye-leye sehabis mengurus rumah. Tetap seru juga kan?

Saya sebenarnya sudah pernah mencoba mengirimkan berkas beasiswa ke salah satu kampus di Cina jurusan Media & Komunikasi—bukan Eropa malah. Kuliahnya hanya satu tahun, berbahasa Inggris, kampus internasional, dan lokasinya di Suzhou. Saya diterima bersyarat, karena nilai IELTS saya belum memenuhi kualifikasi jurusan. Mereka memberikan batas waktu apakah saya ingin tes IELTS lagi atau ikut kursus intensif disana.

Semakin dipikir, dipikir, dipikir lagi, ternyata saya menemukan jawaban bahwa tujuan saya selanjutnya bukan untuk studi. Ketimbang menghabiskan waktu di bangku kuliah, saya lebih prefer mencari lapangan pekerjaan atau dream job yang sesuai passion. Saya juga percaya diri kalau sebenarnya saya mampu menemukan pekerjaan di Indonesia tanpa memiliki gelar pendidikan yang selevel S2.

Impian saya pun tidak neko-neko lagi. Tuhan sudah mengabulkan mimpi saya untuk tinggal dan belajar di luar negeri. Jadi, kalau memang tidak ada kesempatan tinggal lebih lama, saya tidak takut untuk pulang ke Indonesia.

Kalaupun ingin stay di Eropa lebih lama, saya tidak ingin kuliah tapi bekerja. Kalaupun harus kuliah lagi, saya sudah berniat untuk mengambil fakultas desain hanya untuk menambah ilmu saja. Eh tapi, ilmu desain juga tidak harus dipelajari lewat bangku formal. Banyak sekali desainer yang belajar otodidak lewat komputer mereka. So, memang tidak ada alasan kuat kan mengapa saya harus lanjut S2? (;

Wednesday, June 17, 2020

Tips Hijrah ke Luar Negeri Itu Melelahkan|Fashion Style

Muncul perasaan sedih, haru, namun bercampur bahagia ketika pesawat Thai Airways yang saya tumpangi mendarat di Bandara Oslo-Gardermoen. Bahagia karena akhirnya perjalanan panjang nan melelahkan selesai juga. Haru karena bisa mendapat kesempatan kembali lagi ke Eropa. Tapi juga sedih karena lagi-lagi meninggalkan keluarga dan teman-teman terdekat di Indonesia.

Ini kali ketiganya saya pindah dan tinggal di Eropa. Setelah drama visa Norwegia dan paspor yang cukup menyita waktu, tenaga, dan biaya, akhirnya semua terbayarkan karena bisa mendapatkan izin tinggal selama 2 tahun di negara terbahagia di dunia ini (2017).

Dalam waktu three tahun terakhir, saya bersyukur bisa mendapat kesempatan tinggal di 3 negara Eropa plus jalan-jalan ke banyak tempat. Tapi dalam waktu 3 tahun juga, saya sudah 5 kali mengepak barang untuk pindah dan pulang. Kalau ada yang mengatakan saya beruntung, tentu saya harus lebih banyak bersyukur.

Namun kalau ada yang bertanya lebih jauh tentang perasaan saya, sejujurnya saya depresi. Moving abroad is stressful and tiring! Jangankan pindah negara, bayangkan saja kalian harus pindah sekolah selama 3 kali dalam kurun waktu 3 tahun. It's no fun anymore, isn't it?

Oke, tidak hanya saya au pair yang pindah ke banyak negara dalam waktu beberapa tahun. Banyak juga teman au pair yang selesai di Belanda, lalu pindah ke Belgia, tanpa pulang dulu ke Indonesia. Culture clash pasti ada, meskipun kedua negara tersebut sama-sama di Eropa. Tapi coba saja jika harus bolak-balik pindahan dulu dari Indonesia, the culture never stops shocking me!

Mengapa?

1. Belajar bahasa dan budaya baru lagi

Learning language is tough and needs a strong commitment. Saya tahu bahwa belajar bahasa apapun memang tidak akan pernah sia-sia. Tapi bagaimana kalau pembelajaran yang sedang ditekuni terpaksa terhenti hanya karena harus pulang?

Bisa dikatakan, sampai sekarang level bahasa saya nanggung, alias masih disitu-situ aja. Sempat belajar bahasa Prancis, tapi hanya baby talk atau frase paling dasar saja. Belajar bahasa Belanda, eh tahunya malah sedikit terpakai karena di rumah kebanyakan pakai bahasa Inggris.

Sampai di Denmark, belajar bahasa baru lagi. Saat saya sedang serius menekuni bahasa tersebut, akhirnya saya mesti puas saja stop di Modul 4 karena memang sudah habis kontrak dan harus pulang ke Indonesia.

Pindah lagi ke Norwegia, mesti ulang belajar bahasa baru karena memang perlu.Then, it starts again from the basic!Walaupun bahasa Denmark dan Norwegia sedikit mirip, tapi aksen dan pengucapannya super beda.

Banyak belajar, tapi skill nanggung. That's me.

2. Cari teman baru lagi

Mencari teman di Skandinavia lebih sulit ketimbang mencari teman di Eropa Barat. Contohnya, orang-orang Belgia cenderung lebih suka basa-basi dan terbuka ketimbang para penduduk Skandinavia. Teman asli Belgia saya memang tidak banyak, namun setidaknya mereka lebih mudah diajak ngobrol saat baru pertama kenal.

Tinggal dua tahun di Denmark, saya sudah cukup banyak berkenalan dengan orang baru dan akhirnya bisa dijadikan teman nongkrong saat akhir pekan. Mencari para teman ini pun tidak mudah. Saya harus aktif di banyak acara, volunteering, ikut meet up, ataupun sekedar memenuhi undangan dari kenalan lainnya dulu.

Bertemu dengan orang baru pun tidak secepatnya langsung menjadikan mereka teman. Ada banyak pengalaman yang membuat saya harus datang ke acara, haha hehe dengan orang baru, lalu pulangnya tetap sendiri tanpa menyambung silaturahim dengan mereka. Yah namanya juga cocok-cocokkan.

Lalu setelah mendapat teman yang nyaman di Denmark dan Belgia, saya harus kembali memulai frase mencari teman di Norwegia yang pastinya butuh waktu. Kadang, pindah-pindah tempat tinggal bukannya menambah teman, namun kehilangan yang sudah ada.

3. Keliling dan mengenal daerah baru lagi

Entah kenapa, setibanya di Oslo, akhir pekan saya berjalan sangat datar. Berbeda saat baru tiba di Brussels dan Kopenhagen, keinginan untuk menjelajah tempat baru rasanya begitu membuncah. Sepanjang jalan mengitari kota selalu membawa perasaan bahagia dan penasaran. Ada apa lagi ya di sudut sana? Kafe mana lagi ya yang oke untuk nongkrong? Tempat pemberhentian selanjutnya diman aya? Daftar kunjungan yang wajib saya datangi rasanya sudah panjang.

Akhir pekan lalu, saya hanya jalan-jalan 10 menit di kota lalu pulang. Everything still looks the same as two years back I was here. Nothing new.

Oslo memang tidak terlalu berbeda dengan banyak ibukota di Eropa. Turis, museum, kafe, bar, tempat selfie, dan salju. Oslo juga sebenarnya tidak baru, karena saya pernah important ke kota ini. Lama-lama main di sentral, eh kok, bosan juga ya?

4. Mempelajari sistem kependudukan dan transportasi publik lagi

Tiba di Oslo, tidak membuat saya serta merta langsung menjadi bagian penduduk Norwegia. Ada banyak sekali hal yang harus lakukan agar bisa mendapatkan hak yang sama dengan penduduk lokal.

Sebelum pindah ke tempat baru, biasanya saya lakukan riset mini dulu sebagai bahan perkenalan dengan negara yang akan saya tempati. Dari cara membeli tiket kereta, diskon untuk anak muda, kartu telepon, buka akun bank, hingga pajak, biasanya saya pelajari satu-satu. Hal ini rutin saya lakukan agar tidak kaget dan setidaknya mengerti sedikit tentang sistem di negara yang akan saya tempati.

Menjadi orang baru lagi tidak gampang. Kita harus dituntut untuk lebih banyak tahu dan belajar, bukan hanya having fun.

5. Berkencan dengan cowok baru lagi

Bagi yang masih jomblo, pindah ke negara baru bisa berarti tantangan baru. Cowok Belgia tentu saja berbeda dengan cowok Denmark. Pun begitu dengan cowok Norwegia yang katanya sangat suka alam dan kegiatan luar ruangan.

Tidak hanya cari teman baru yang melelahkan, namun juga berkencan . Saya yang bukan ekspert, tapi mantan serial dater ini, rasanya terlalu malas jika harus berkenalan dan berkencan dengan banyak cowok baru lagi.

Girls, modern dating is so overwhelming. Kamu kenalan lewat online, ketemuan, baper, berharap lebih, eh lalu si bule menghilang. Begitu saja terus sampai lelah atau akhirnya menemukan yang terbaik. Anyway, it always takes time to find the right one. But, I give up already.

Kata orang, sesuatu yang baru itu terlihat lebih menarik dan menyenangkan. Tapi entah mengapa, pindahan kali ini justru membuat saya sedikit menutup diri dan malas-malasan. Saat saya curhat hal ini ke adik, saya dibuat jleb dengan komentar singkat dia, "who've decided?"

Iya. Ini yang sudah saya putuskan. Inilah resiko yang harus saya hadapi ketika mulai nyaman di satu tempat, lalu harus pindah lagi ke tempat baru.

It's just started. It's only the beginning. Daripada saya mengeluh terus, lebih baik tetap berpikiran positif bahwa akan selalu ada kejutan menarik di setiap tempat yang pernah saya tinggali. Oslo might be boring, but my life could not be!

Yes. Welcome to Norway!

Tuesday, June 2, 2020

Tips Rencana Eks-Au Pair Setelah Au Pairing|Fashion Style

Satu atau dua tahun bukanlah waktu yang lama jika masa au pairing mu sangat menyenangkan. Terlebih lagi biasanya beberapa bulan sebelum kepulangan ke Indonesia, kita sudah punya banyak teman akrab atau someone special yang rasanya sedih sekali untuk ditinggal. Tapi tiket pulang sudah di tangan dan waktu kepulangan ke Indonesia tinggal sebentar lagi.

Lalu apa yang akan dilakukan eks-au pair ini setelah masa au pairing mereka di Eropa? Beberapa teman au pair biasanya sudah memiliki beberapa rencana yang akan mereka lakukan selepas belajar dan bertukar budaya selama setahun disana.

1. Kembali ke Indonesia dan melanjutkan kuliah yang tertunda

Beberapa eks-au pair yang tujuannya mendalami bahasa asing, biasanya sengaja stop out dulu dari kuliah demi jadi au pair. Selepas masa au pair mereka selama satu tahun di Eropa, tentunya sudah berbekal pengalaman dan juga kemampuan bahasa asing yang lebih baik. Hal ini pastinya akan dilakukan para eks-au pair yang masih berstatus mahasiswa.

2. Kembali ke Indonesia dan mencari pekerjaan di tanah air

Au pair merupakan salah satu kesempatan yang luar biasa menyenangkan karena bisa tinggal di luar negeri dan bertukar budaya dengan keluarga angkat. Pengalaman berharga yang dirasakan akan terus membuka pikiran kita untuk berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Namun cukup untuk satu atau dua tahun menjadi au pair, beberapa eks-au pair memutuskan untuk mencari pekerjaan di Indonesia saja. Berbekal bahasa asing selain bahasa Inggris, skill ini dapat mereka 'jual' ke perusahaan atau masyarakat nantinya. Banyak juga eks-au pair yang bahkan menjadi guru les bahasa asing atau membuka usaha bisnis sendiri bermodalkan tabungan sewaktu menjadi au pair.

Three. Kembali ke Indonesia dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi

Saya banyak bertemu dengan teman-teman au pair yang mulai mendapatkan residence atau work permit pertama mereka tepat setelah lulus sekolah menengah. Ada juga teman au pair yang sudah sempat bekerja di Indonesia, namun belum menyandang gelar sarjana. Semangat teman-teman eks-au pair ini untuk sekolah lagi patut diacungi jempol karena biasanya mereka akan menabung selama di Eropa untuk bekal melanjutkan S1 atau S2 di Indonesia.

4. Kembali ke Indonesia untuk mengurus berkas-berkas sekolah di luar negeri

Beberapa teman saya yang dulunya juga pernah jadi au pair di Belanda, memang sengaja jadi au pair lagi di Belgia untuk sekolah disana. Ada juga eks-au pair yang pindah negara dari Jerman ke Austria karena memang berkeinginan melanjutkan kuliah di salah satu negara tersebut setelah masa au pair mereka. Hal ini biasanya akan direncanakan oleh beberapa eks-au pair yang sudah pernah jadi au pair lebih dari satu kali.

Sekilas info, biaya kuliah S1 di KU Leuven (Belgia) untuk kelas bahasa Belanda hanya €800-1900 pertahun. Sementara untuk universitas lain di Belgia biayanya ada yang lebih mahal. Teman saya yang akan melanjutkan sekolah di Belgia tahun ini, memang juga mengatakan kalau dibandingkan Belanda, biaya kuliah di Belgia jauh lebih murah. Karena kelas bahasa lokal biaya kuliahnya memang lebih murah, kemampuan bahasa Belanda level B2 (upper-intermediate) harus sudah dikuasai. Seorang teman yang baru tahun kemarin jadi au pair, akhirnya masuk kelas bahasa Belanda intensif agar cepat naik level. Sementara untuk kelas pengantar bahasa Inggris sendiri harganya bisa €3500 pertahun.

Sama halnya juga dengan biaya kuliah di Jerman yang terkenal murah se-Eropa Barat. Teman saya ini sengaja mati-matian belajar bahasa Jerman agar bisa melanjutkan studi S2-nya disana. Namun semua teman eks-au pair ini memang bukan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya. Mereka harus membayar sendiri semua biaya selama mereka berada disana. Salah satu syarat merepotkan bagi siswa internasional yaitu mereka harus memiliki jaminan sekitar ?8600 pertahun yang akan diendapkan sebagai deposit. Deposit ini untuk memastikan bahwa mereka bisa tinggal, menyewa kamar, dan makan selama masa studi mereka.

Uang deposit ini bisa dihilangkan dari salah satu syarat mendaftar kalau ada sponsor yang bersedia menjamin kita selama disana. Seorang eks-au pair pernah mendapatkan sponsor dari keluarga angkatnya di Denmark untuk melanjutkan studi S2-nya. Teman-teman saya lainnya juga pernah mencoba 'merayu' keluarga angkat mereka untuk memberikan surat sponsor ini. Namun sayangnya hal tersebut tidak mudah karena sangat sedikit sekali keluarga yang mau direpotkan soal surat jaminan ini.

Four. Kembali ke Indonesia dan mengurus visa baru ke negara lain

Saya pernah bertemu dengan dua orang au pair asal Filipina yang ternyata ini adalah tahun keempat mereka menjadi au pair. Sebelumnya mereka pernah menjadi pengasuh anak di Belanda selama setahun, dua tahun berikutnya di Denmark, lalu tahun ini di Belgia. Bahkan mereka juga berkeinginan jadi au pair lagi di Norwegia, Perancis, bahkan Amerika nantinya!

Lalu apa yang benar-benar mereka cari selama proses au pairing ini sendiri? Kenapa begitu seringnya berpindah-pindah tempat demi jadi au pair? Bukankah itu sama saja 'merendahkan' konteks au pair itu sendiri ya?

Namun berbeda dengan para TKW dari Indonesia yang kebanyakan sekolah menengah, biasanya au pair dari Filipina ini justru lulusan S1 bahkan S2 lho! Intinya mereka adalah orang-orang yang well educated. Lalu apa motivasi mereka datang jauh-jauh ke Eropa hanya jadi tukang bersih-bersih? Yang saya tahu, mereka sangat sadar negara mereka masih berkembang dan kesempatan bekerja dengan gaji yang layak sangatlah terbatas. Untuk itulah mereka datang ke negara-negara maju untuk mengubah nasib, walaupun itu hanya sebagai tukang bersih-bersih atau pengasuh anak. Dilihat dari sini, tentu saja alasan mereka adalah uang.

Bukannya ingin menjelek-jelekkan salah satu bangsa, namun faktanya orang Filipina yang jadi au pair memang merupakan orang yang sangat giat bekerja. Dibandingkan orang Indonesia yang lebih suka menghabiskan days off berkumpul bersama teman atau belanja-belanja cantik di chain stores, para au pair Filipina biasanya tetap bekerja di tempat lain saat hari libur walaupun sudah tahu hal itu ilegal. Oh ya, para au pair ini pun hampir sama dengan orang Indonesia yang akan mengirimkan uang hasil kerja keras mereka ke kampung halaman. Walau sudah melanggar konteks au pair sebenarnya, namun au pair yang pindah-pindah negara ini tujuannya memang untuk membantu perekonomian keluarga di rumah.

Lalu bagaimana dengan au pair dari Indonesia sendiri? Seperti yang saya jelaskan di atas, au pair dari Indonesia yang memutuskan untuk jadi au pair lagi biasanya memiliki keinginan untuk mendalami bahasa asing demi meneruskan studinya di negara tersebut. Atau bisa jadi memang salah satu tujuannya adalah making money dan belajar. Kehadiran someone special juga bisa jadi salah satu faktor mengapa setahun dirasa belum cukup sehingga tetap harus kembali mengejar cinta. Hasseekkk..

5. Memperbarui visa living together

Tanpa pulang ke Indonesia, biasanya eks-au pair akan mengupayakan memperbarui visa ini di negara au pairing mereka. Mereka yang akan mengupayakan mendapatkan visa living together biasanya dibarengi dengan hadirnya seorang pacar berkewarganegaraan negara tersebut. Saya mengenal dua orang eks-au pair yang berhasil mendapatkan visa living together sehingga bisa tinggal lebih lama di Eropa. Tentunya syarat utamanya adalah kalian punya pacar berkebangsaan negara tersebut, sudah kenal cukup lama (minimal 2 tahun), dan tentunya berkeinginan tinggal bersama di satu atap tanpa ikatan pernikahan (visa yang diperbarui akan berbeda jika tujuannya menikah). Mendapatkan visa ini juga tidak mudah, karena seorang teman asli Belgia pernah mengaku kalau permohonan visa si pacar sempat ditolak.

Itulah rencana-rencana yang biasanya eks-au pair akan lakukan selepas masa au pairing mereka. Walaupun kampung halaman menyimpan sejuta kenangan dan lapangan pekerjaan, keinginan untuk sekolah atau menetap luar negeri merupakan salah satu keinginan terbesar eks-au pair setelah berhasil menginjakkan kaki di Eropa. Masalah di Indonesia yang cukup pelik, moda transportasi yang belum semaju negara-negara di Eropa, bahkan bagusnya kurikulum perkuliahan di Eropa merupakan salah satu alasan-alasan klasik mengapa biasanya eks-au pair belum bisa meninggalkan benua biru ini.

Namun banyak juga eks-au pair yang cukup yakin dengan tanah air sehingga lebih memilih pulang dan berkarya di Indonesia. Pengalaman berharga selama di Eropa tentunya akan menjadi salah satu pelajaran terbaik yang dapat mengembangkan potensi serta memperkuat intellectual mereka untuk terjun di masyarakat.

Sunday, May 10, 2020

Tips Au Pair di Norwegia Sekalian Kuliah S-2|Fashion Style

Di postingan sebelumnya , saya cerita bagaimana rasanya jadi mahasiswa lagi dan kuliah S-2 di kampus negeri di Norwegia. Faktanya, kuliah Master itu tidaklah sesantai yang para senior katakan! Kali ini, saya ingin menyambung cerita, bagaimana rasanya jadi au pair plus lanjut kuliah pula.

Dari banyaknya au pair yang saya kenal, saya belum pernah mendengar cerita au pair Indonesia di Eropa yang sekalian lanjut kuliah S-2. Yang lanjut kuliah setelah masa au pairnya selesai memang banyak. Bahkan karena sudah nyaman dengan keluarga tersebut, tak jarang mantan au pair ini masih tinggal dan bekerja di rumah host family. Jadi prioritasnya adalah kuliah, sekalian cari uang tambahan dari student job yang maksimalnya 15-20 jam per minggu.

Bedanya, status saya sekarang adalah au pair yang masih terikat kontrak penuh, tapi di sisa akhir kontrak memutuskan untuk lanjut kuliah di Norwegia. Prioritas saya disini tentu saja tidak hanya sekolah, tapi juga bekerja. Karena tidak ada kenalan au pair yang sekalian kuliah ini, saya tidak punya referensi soal pengalaman au pair plus kuliah full time di Eropa.

The worst component

Kalau ada yang tanya, susahkah membagi waktu antara au pair dan kuliah, sebetulnya kembali lagi ke host family masing-masing. Untuk kasus saya yang sudah 3 bulanan kuliah ini, ternyata menjalani keduanya sangat berat! Mengapa, karena ekspektasi host family saya yang masih menginginkan saya bekerja full time selama 30 jam per minggu - meskipun student job di Norwegia hanya diperbolehkan bekerja maksimal 20 jam per minggu.

Saya dan keluarga Norwegia ini tentu saja sudah duduk satu meja dan membahas masalah ini jauh sebelum saya diterima kuliah. Intinya saat itu, host family akan berusaha fleksibel dengan jadwal kuliah saya, tapi di sisi lain, saya juga tetap harus bisa sefleksibel dulu - saat belum kuliah. You have to know what is 'flexible' means in au pair term! Kata lainnya, harus siap bekerja 24/7 meskipun di suasana darurat. Poin minusnya lagi, sejak Oktober lalu, host dad saya sudah pindah duluan ke Swiss untuk merenovasi rumah baru. Working with a single mother has a big plus and minus, for sure!

Again, saya masih terikat kontrak penuh, makanya sepintar mungkin mesti mampu mengatur waktu agar semuanya bisa berjalan tanpa mengorbankan salah satunya. Pagi harus bangun dan menyiapkan sarapan sekeluarga, lalu siap-siap berangkat kuliah. Siangnya tanpa bisa nongkrong lebih lama di kampus, saya harus segera pulang dan menyelesaikan sisa tugas au pair. Imbasnya, saya sering kali kehilangan waktu bersosial dan selalu absen datang ke event seru karena waktunya overlapping dengan jadwal kerja.

Di sisi lain, saya juga harus siap-siap absen kuliah kalau ternyata salah satu anak tiba-tiba sakit atau host mom harus meeting dari pagi sampai sore. Host family saya juga sudah mewanti-wanti dari awal agar saya ikhlas absen kuliah karena saat ini memang tidak ada keluarga satu pun dari pihak ayah atau ibu yang bisa diminta tolong untuk menjaga anak di rumah.

Meskipun sadar di kontrak kerja sudah sepakat tugas saya setiap hari itu apa, tapi tetap saja ada momen yang membuat saya kesal dan lelah. Pagi-pagi, tanpa bisa leha-leha dulu di kasur dan sarapan dengan santai, saya mesti menyiapkan sarapan dan beres-beres rumah orang terlebih dahulu. Kadang kalau orang tuanya tak di rumah dan saya ditinggal sendiri dengan dua bocah, saya juga mesti bertugas layaknya orang tua mereka. Pagi-pagi selain menyiapkan sarapan, saya juga harus mengganti baju, dan mengantar mereka ke sekolah.

Bekerja dengan anak-anak tentu saja tidak mudah! Emosi dan energi saya terkuras luar biasanya, apalagi kalau anak-anak ini sulit sekali diajak kerja sama di pagi hari. Pernah suatu kali si adik popoknya mesti diganti karena poop, lalu gantian kakaknya yang ingin ditemani ke toilet untuk poop. Baru saja siap dan ingin keluar rumah, si adik poop lagi dan saya mau tidak mau harus kembali ke atas mengganti popoknya. Saat mengantar mereka ke TK, saya mengantur napas perlahan untuk menghilangkan rasa stres dan beban negatif ini. Rasanya ingin quit saat itu juga dan ganti pekerjaan lain yang tak harus dilakukan di pagi hari sebelum jadwal kuliah.

Oh well, saya juga tahu ada banyak pelajar asing yang rela bangun jam 3 fajar hanya untuk mengantarkan koran keliling rumah dengan kereta dorong. Tapi bekerja dengan benda mati tentu saja berbeda dengan bekerja dengan manusia. Working with kids has no negotiations! Mereka sakit, you have to leave an absence. They are slow, then you need to force them to move faster - yang mana buang-buang energi lebih banyak. God, I just want it to be over soon!

The high-quality element

Meskipun dirasa sangat sulit jadi au pair plus kuliah full time, tapi saya juga bersyukur sudah sampai di titik ini. Mengapa, karena jadi au pair duluan sebelum mulai kuliah di negara yang sama itu banyak juga hal positifnya.

Yang pertama, tentu saja karena kita sudah familiar dengan sistem. Lini masa Facebook saya di salah satu grup mahasiswa internasional selalu memuat status soal kebingungan mahasiswa asing yang baru saja tiba di Norwegia. Bingung soal mengurus residence permit , bingung bagaimana cara buka akun bank , bingung caranya beli tiket transportasi umum, bingung juga mengurus pajak, bahkan ada yang masih bingung menyalakan penghangat ruangan atau kompor listrik!

Sementara kita yang sudah duluan sampai ini, semua kebingungan tersebut sudah teratasi sejak awal. Ingin belanja, tinggal tap karena sudah punya kartu ATM. Ingin naik bus, tinggal pesan lewat aplikasi ponsel. Soal kompor listrik, I think all au pairs know it.

Yang kedua, tentu saja saya sudah familiar dengan kultur masyarakat setempat. Tak perlu lagi menyesuaikan diri dengan dinginnya musim dingin di Eropa Utara ataupun kaget dengan alam Norwegia yang tak ada jelek-jeleknya. Being an au pair lets us to be in the ecosystem immediately. Adaptasi jadi lebih mudah karena yang perlu saya pikirkan bukan lagi winter boots atau tempat beli sayuran murah, tapi jadwal kumpul tugas kuliah.

Yang ketiga, tentu saja soal bahasa. Bagi kalian au pair yang punya rencana lanjut kuliah di negara yang sama, saya sarankan belajar bahasa lokal semaksimal mungkin dari hari pertama kalian tiba di negara tersebut. Pick up some words and keep practicing! Hal ini tentu saja jadi nilai tambah di kehidupan sosial dan membuka lebih banyak kesempatan mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Karena menurut saya, belajar bahasa ini bisa jadi competitive advantage kita ketimbang pelajar asing lain yang baru tiba di Norwegia hanya untuk lanjut kuliah. Sebagai au pair yang diberikan kesempatan kursus bahasa - bahkan banyak yang dibayari host family, jangan sampai malas-malasan hanya karena excuse 'bahasa Inggris saja sudah cukup'.

In the end, saya sebetulnya tetap merasa bersyukur karena au pair ini bisa jadi penopang hidup saya di masa awal-awal kuliah. Saya tidak perlu lagi repot ingin tinggal dimana atau makan apa, karena sudah disediakan kamar dan makanan gratis di rumah host family. Selain itu, dari kerja jaga anak dan ini, saya juga mendapat uang saku sekitar NOK 6000 per bulan untuk membayar uang semester dan membeli tiket transportasi bulanan. Perjuangannya begitu terasa karena harus kerja demi mencukupi kehidupan hidup saat kuliah di negara orang!

Tapi sebetulnya, jadi au pair sekalian kuliah itu menyenangkan dan bisa membunuh waktu juga. Waktu saya terasa lebih cepat berlalu karena setiap hari tidak hanya memikirkan pekerjaan, tapi juga tugas kuliah yang tak ada habisnya. Waktu terasa semakin cepat berlalu, apalagi kalau sudah masuk hari Rabu. It's weekend soon, meskipun buntutnya masih ada tugas yang mesti dikumpul Seninnya.

Sekali lagi, cerita saya mungkin tak sama untuk setiap orang. Host family serta jam kerja saya juga pastinya tak berlaku bagi au pair yang lain. Yang pasti, jadi au pair plus lanjut kuliah di sisa akhir kontrak sangat doable, hanya saja mungkin lebih berat kalau kebetulan dapat host family yang tak mau rugi! Kuncinya adalah selalu komunikasi dengan host family tentang jadwal kuliah serta pandai mengatur waktu agar sebisa mungkin imbang keduanya.

Friday, May 8, 2020

Tips Exam!!|Fashion Style

Karena dari dulu saya sangat tertarik lanjut kuliah di luar negeri, rasanya begitu terinspirasi dan terhibur tiap kali membaca atau mendengar cerita orang Indonesia yang bisa lanjut kuliah di Eropa. Kali ini gantian, saya yang ingin cerita bagaimana sistem ujian di kampus saya di Universitas Oslo, setelah kemarin-kemarin lebih banyak cerita soal sistem kuliah di kelas .

Yang pasti setiap program studi dan kampus di Norwegia punya sistem yang beda-beda. Akhir tahun jadi masa paling sibuk bagi para mahasiswa karena semester musim gugur akan segera berakhir yang artinya, ujian sudah di depan mata! Perpustakaan biasanya jadi tempat nongkrong paling sering dikunjungi di kampus dan selalu penuh. Jam operasional akan ditambah menjadi setiap hari dan beberapa kantin kampus ikut buka lebih lama demi menemani masa-masa ujian para mahasiswa. Hampir semua kantin kampus juga memberikan diskon sampai 50% di minggu-minggu ujian untuk jenis makanan buffet.

Kembali ke program studi saya di Entrepreneurship & Innovation Management, dari awal semester sebetulnya saya sudah sangat disibukkan dengan banyaknya tugas kelompok.Literally, BANYAK! Di 3 mata kuliah semester ini, profesor saya sudah mulai mengadakan ujian individual bahkan dari satu bulan pertama kami belajar. Satu mata kuliah ada 3 ujian individu, ditambah tugas dan ujian kelompok. Belum lagi kami masih ada 2 mata kuliah lainnya yang sama-sama punya tugas dan ujian sendiri. Saya tak mengerti bagaimana para elit program studi ini mengatur jadwal sedemikian rupa sampai seintensif ini. Ternyata kuliah S-2 begini amat yakk!

Di sisi lain, ada mata kuliah tambahan (elective course)sebesar 10 ECTS yang menurut saya, sama sekali tak berguna. Salahnya mungkin juga ada pada saya yang salah mengambil mata kuliah. Ujiannya lisan dan bidang studinya juga sebetulnya tak terlalu saya minati, meskipun lumayan menarik; Renewable Energy & Technology System. Padahal ternyata ada beberapa mata kuliah general lain yang ujiannya dikerjakan di rumah alias home exam!

Untuk sistem nilai, di sini pakai huruf A-F atau pass/fail grading. F dinyatakan gagal dan nilai terendah untuk lulus adalah E. Pengajar di kampus ada yang memberikan nilai A, A/B, B, B/C, C, C/D, D, D/E, dan E dibandingkan berbentuk angka, meskipun hasil akhirnya hanya A-E saja. Jangan khawatir juga dapat C, karena di sini C diartikan "Good" atau sama seperti "B-" di Indonesia. Untuk dapat nilai A juga sebetulnya tak terlalu sulit asal tugas yang kita kerjakan sesempurna maunya pengajar dan ujian kompetensinya bisa dijawab dengan cukup baik. FYI, kalau memang ada niat lanjut S-3 atau sampai Ph.D, nilai jadi sangat penting.

Saya sebetulnya sudah cukup lelah dengan banyaknya tugas dan ujian yang harus dikerjakan semester ini. Dari 4 bulanan kuliah, rasanya hanya 2-3 minggu free tanpa tugas dan ujian. Namun ada baiknya, program studi ini lebih banyak menekankanhands-on experience ketimbang hanya mendengarkan teori dari dosen di kelas. Kalau memang tak terlalu baik di ujian individu, nilai kita bisa tertolong dengan nilai tugas dan ujian kelompok yang porsinya bisa sampai 60% dari total keseluruhan. Karena isi ujiannya juga tak ada di buku, kami sekelas juga tak perlu repot-repot nongkrong di perpustakaan saat masa ujian. Profesor saya cukup adil dan hanya mengambil soal-soal dari apa yang sudah diajarkan, meskipun ujiannya lebih mirip ujian anak SD yang 100% hapalan!

(Anyway, kampus di sini sangat terbuka menerima kritikan dan masukan dari para mahasiswa setelah semester berakhir untuk meningkatkan mutu program studi. Jadinya kalau memang dirasa banyak sistem yang kurang berhasil dan tak memuaskan, well, you are so welcome to file the feedback. Yes, I am ready!)

Oke, saya lelah, namun bukan berarti juga menyerah. I just wanted to brag since December is going to be the busiest month ever! Karena selain ujian dan tugas yang never ending, saya juga mesti siap-siap pindahan ke Swiss dan segera mengakhiri masa au pair ini! Tired, happy, but also a little bit of scared of what might happen next year.

Monday, May 4, 2020

Tips Membangun Perusahaan Startup di Norwegia|Fashion Style

Setelah sibuk beberapa minggu ke belakang, saya akan membuka postingan pertama di bulan Maret tentang progress perkuliahan semester ini. Kalau ada yang tanya bagaimana kehidupan akademis saya di Universitas Oslo, jawabannya sedang ups and down. Tidak seperti semester lalu yang lebih disibukkan dengan riset dan presentasi, tahun ini pengalamannya lebih hands-on karena kami betul-betul terjun ke lapangan membuat perusahaan startup.

Sebagai salah satu negara terkaya di dunia berdasarkan GDP in line with kapita, Norwegia akan menjadi tempat dimana perusahaan startup baru akan terus bermunculan. Jika kalian tinggal di sini dan punya ide bagus membuat perusahaan teknologi baru bersama tim yang berkompeten di atas rata-rata, kalian setidaknya mampu mengumpulkan 1-2M NOK (~1,five-3T Rupiah) pada fase pertama.

Ada kabar baik juga bagi para pelajar yang tertarik membangun perusahaan startup. Banyak free money berkucuran dari organisasi di Norwegia yang mau menyumbangkan banyak uang untuk mendukung ide kita menjadi real business. Meskipun saya merasa perkembangan industri startup di Norwegia belum se-booming negara tetangganya di Skandinavia, tapi ekosistem di negara ini cukup menjanjikan bagi para entrepreneur muda.

Kembali ke program studi saya, di semester ini kami sekelas yang tinggal berisikan 10 orang dibentuk menjadi 3 tim baru. Tiap tim diwajibkan mempunyai ide bisnis yang bisa diaplikasikan dalam waktu maksimal 4 bulan. Ide ini tak wajib diteruskan menjadi real business, tapi hanya sebagai latihan bagaimana membangun startup di fase awal sebelum launching produk. Meskipun, salah satu tim ada yang sangat berminat meneruskan ide mereka menjadi bisnis nyata di masa depan.

Tidak semua ide bisnis bisa berkualifikasi, lho! Akan ada 2 kali presentasi yang harus dipaparkan sebelum semua tim berkualifikasi bisa meneruskan dan menjalankan ide tersebut. Kadang ada yang harus ganti ide sampai 3 kali, ada juga cerita gagal tak berkualifikasi dari para senior hingga ending-nya magang di salah perusahaan terpilih.

Milestones dari ide bisnis juga bisa bermacam-macam. Karena hanya diberikan waktu 4 bulan atau sampai semester kedua selesai, kami boleh membuat MVP (Minimum Viable Product), fixed business model, atau beta-version product sebagai hasil akhir. Karena akan sulit sekali membuat produk nyata yang produksi dan risetnya bisa memakan waktu lama, semua tim akhirnya sepakat akan membuat produk yang termasuk dalam industri teknologi. Produk digital layaknya sebuah situs atau aplikasi ponsel dirasa lebih realistis dan achievable dalam waktu 4 bulanan.

Saya dan 2 rekan satu tim memutuskan untuk membuat situs dan aplikasi ponsel yang tujuannya memudahkan hidup para foreigners dan anak muda Oslo yang tertarik dengan harga diskonan. Sebagai negara yang harga makanannya sangat mahal, kami on going membuat platform servis yang menawarkan diskonan di beberapa restoran di Oslo bagi yang suka makan-makan tanpa takut kantong bolong.

Agar suasana semakin mirip para entrepreneur yang bekerja di kantor, kampus bekerja sama dengan salah satu ekosistem startup di Oslo Science Park, StartupLab, untuk menunjang workflow kami. Kantornya sangat modern karena bukan lagi macam bilik-bilik tertutup ala kantor model dulu, tapi open space yang memungkinkan tiap entrepreneurs bersosialisasi dengan lebih leluasa. Kami juga dibantu beberapa mentor yang kadang datang memberikan masukan bagaimana mengelola riset pasar dengan lebih baik.

Setelah terjun langsung menjadi co-founder perusahaan startup, saya banyak belajar bahwa membangun perusahaan baru itu tidak mudah dan bukan cuma soal ikut-ikutan tren. Bekerja sama dengan orang yang tak tepat akan mempengaruhi alur kerja, mood, dan perkembangan perusahaan ke depannya. Teman yang baik secara personal, belum tentu akan cocok menjadi rekan kerja yang profesional. Akan ada banyak silent treatment dalam hubungan internal sebuah tim hanya karena kami berusaha menghargai perasaan masing-masing. That's why my academic life this semester has so much ups and downs.

Ide yang baik belum tentu juga akan berkembang menjadi bisnis yang bagus. Jadi kalau kamu sekarang sedang tertarik punya perusahaan sendiri dan merasa punya ide brilian, saran saya, banyak-banyaklah riset tentang pasar yang akan kamu tuju. Banyak-banyaklah bicara dengan calon pelanggan dengan cara wawancara, survei, atau mendengar keluh kesah mereka. Riset menjadi sangat penting karena ide dan bisnis yang bagus, ketika tak ada permintaan besar yang besar, akan menjadi bisnis yang sia-sia.

Akan ada banyak operating cost yang harus kamu pikirkan sekiranya tertarik membuat produk nyata; contohnya tas, baju, atau makanan. Kalau memang sudah punya modal, why not. Tapi kalau merasa ide kita akan berjalan sangat baik di pasar yang kita tuju, sering-sering saja datang ke event startup atau kompetisi ide. Kompetisi ini hadiahnya cukup lumayan dan bisa saja jadi salah satu money resource penunjang ide bisnis kamu. Sementara event startup ini bisa jadi tempat belajar sangat baik bagi yang ingin belajar bagaimana pitching di hadapan investor, ataupun tempat mingling sekedar cari networking.

Satu hal lagi dari profesor saya di kampus, jangan angkuh dan besar kepala! Anak-anak muda yang jualan baju online, belum tentu bisa dianggap seorang wirausahawan. Jadi the true CEO dari sebuah perusahaan itu langkahnya sangat panjang dan mentality juga penentu apakah perusahaan yang kita bangun akan berkembang di masa depan. Until then, I am still learning how to be a good CEO for my next real business!

Sunday, May 3, 2020

Tips Pendidikan di Negara Nordik: Jangan Kuliah Karena Gratis!|Fashion Style

Well, siapa yang tak ingin mendapatkan pendidikan gratis?! Apalagi kalau bisa belajar hingga ke luar negeri, tanpa perlu mengeluarkan kocek berlebih untuk menikmati fasilitas pendidikan kelas dunia. Tapi jangan sampai terlalu jujur kalau niat kamu kuliah hanya karena privilege 'gratisan' dari negara tertentu, setidaknya di Norwegia.

I am gonna tell you the truth; most local students are quite fed up listening to foreign students coming to their country just for free education! Bukan, saya bukan bicara tentang para mahasiswa internasional yang beruntung bisa kuliah di Norwegia karena dana hibah atau beasiswa. Tapi soal betapa jujurnya para mahasiswa asing yang hanya sekolah di Norwegia untuk menikmati fasilitas 'bebas uang kuliah' yang masih diberikan oleh pemerintah setempat.

Di negara Nordik, sampai sekarang hanya Norwegia yang masih membebaskan uang kuliah di kampus negeri bagi mahasiswa lokal dan internasional. Denmark (2006) dan Swedia (2011) sudah menutup peluang free tuition fee bagi mahasiswa internasional, selain warga Uni Eropa. Sementara Finlandia yang dulunya masih royal membebaskan uang kuliah bagi semua mahasiswa di penjuru dunia, di semester musim gugur 2017 ikut menutup kesempatan ini juga bagi semua warga di luar Uni Eropa & Swiss.

Tercatat, setelah hampir semua negara Nordik tak lagi membebaskan uang kuliah bagi mahasiswa di luar Uni Eropa, angka mahasiswa internasional yang datang untuk belajar pun turun secara drastis. Di Swedia, dua tahun setelah pemerintah menetapkan uang kuliah bagi warga non-Uni Eropa, jumlah mahasiswa asing turun sampai 80% ! Tak heran, seorang cowok Islandia yang saya temui di Denmark ironi berpendapat bahwa hanya ada 2 tipe orang Asia yang bisa belajar sampai Eropa Utara; kalau bukan super smart karena dapat beasiswa, pasti karena super rich karena keluarganya mampu menutupi biaya kuliah dan hidup yang mahal di Eropa Utara. What a rude statement, tapi faktanya memang benar! To be frankly honest, saya belum pernah ketemu mantan au pair yang memutuskan langsung kuliah di Denmark dengan biaya sendiri, kecuali didukung 'kantong besar' orang tua.

Kembali ke Norwegia, pemerintah setempat memutuskan untuk tidak ikut dalam penetapan uang kuliah bagi mahasiswa internasional (non-Uni Eropa). Norwegia menganggap bahwa penetapan uang kuliah ini bisa menimbulkan efek domino bagi mahasiswa lokal yang mungkin juga harus membayar uang kuliah ke depannya. Di samping itu, ketakutan akan penurunan angka mahasiswa asing di Norwegia juga menjadi faktor penting mengapa pemerintah setempat masih berusaha royal di bidang pendidikan. Prinsip mereka, memupuk keanekaragaman dan kualitas di tengah populasi mahasiswa asing menjadi hal yang penting di era globalisasi. Terlebih lagi, Norwegia tetap ingin memberikan kesempatan kepada semua warga negara yang ingin mendapatkan fasilitas pendidikan kelas dunia tanpa takut biaya mahal.

Di semua negara Nordik, kesetaraan (equality) merupakan landasan model kesejahteraan dalam hidup. Dalam dunia pendidikan, equality bisa diterjemahkan menjadi sebuah penawaran yang berlaku bagi semua warga negara di dunia. Semua negara Nordik juga memiliki kebijakan untuk mendorong terciptanya kesetaraan jenis kelamin dalam pendidikan serta berupaya mendukung para pelajar yang terlahir dari keluarga kurang mampu agar bisa meneruskan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Untuk level sekolah tinggi/universitas, selain tingkat pendaftaran yang sangat tinggi antara laki-laki dan perempuan, kesenjangan gender sekarang telah berbalik menjadikan perempuan dominan dalam dunia kerja (high-skilled). Di Norwegia, Swedia, dan Islandia , perbandingan perempuan yang mendaftar di universitas kira-kira 1.5:1 dari laki-laki, sementara di Finlandia dan Denmark, perempuan juga menempati posisi dominan pada tingkat universitas.

Melirik jumlah mahasiswa internasional di semester musim semi 2018, tercatat hampir 14 ribu mahasiswa sedang menempuh pendidikan di seluruh penjuru Norwegia. Tiga universitas negeri terfavorit ada di Oslo (University of Oslo), Trondheim/Gjøvik (NTNU), dan Bergen (University of Bergen). Tak ada yang namanya kampus terbaik, karena setiap universitas di Norwegia memiliki kelebihan dan fokus tersendiri di beberapa bidang. Meskipun, saat ini hanya University of Oslo sendiri yang masuk 100 besar kampus terbaik di dunia, dan salah satu alasan yang paling menarik untuk melanjutkan studi di Norwegia bagi mahasiswa internasional tentu saja karena penawaran free education fee.

Lalu kalau memang berusaha mendukung dunia ketiga, lantas mengapa banyak pelajar lokal yang muak mendengar para pelajar asing datang ke Norwegia untuk belajar gratis? Karena dana pendidikan di negara Nordik semuanya dibiayai oleh publik! Menurut data OECD di tahun 2014, dana investasi publik yang diberikan bagi dunia pendidikan di Norwegia besarnya hampir 96%. Selain itu, kehidupan tradisional yang berstandar tinggi di Norwegia juga disokong oleh aliran dana dari minyak bumi di Laut Utara (North Sea). Dengan lebih dari NOK 10 Triliun investasi dari minyak bumi dan USD 450 Triliun aset negara, Norwegia membangun perusahaan minyak negara dan menyalurkan petrodolarnya ke dana pensiun pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Bagi yang belum tahu, sebelum tahun 70-an Norwegia hanyalah negara miskin di antara 2 negara Skandinavia lainnya. Lalu saat mereka menemukan minyak bumi, hasil sumber daya alam inilah yang melumasi seluruh perekonomian di Norwegia hingga membuatnya menjadi salah satu negara paling kaya di dunia dan dijuluki "Arab Saudi dari Utara".

Selain karena kekayaan ini, Norwegia juga menetapkan keseimbangan antara pendapatan dan pajak yang tinggi, lalu dengan tepat menggunakan uang pajak tersebut untuk mendanai beberapa lembaga dan fasilitas bagi rakyatnya. Dana ini meliputi kesejahteraan, tunjangan pengangguran, layanan kesehatan universal, pendidikan gratis, bantuan hukum, serta banyak dana bermanfaat lainnya — yang betul-betul dimanfaatkan dengan sangat tepat di krisis Corona seperti ini. Artinya, pajak warga lokal yang dipotong 30-70% per bulan itu disisihkan salah satunya bagi dunia pendidikan. Tentu saja banyak yang menilai hal ini tak adil, karena orang Norwegia yang bayar pajak, tapi justru banyak mahasiswa asing yang menikmati social benefit tersebut.

Me, I am not going to lie. Alasan utama saya melanjutkan kuliah di Norwegia, selain karena rindu dunia akademik, tentu saja adalah soal biaya kuliah. Di banyak kampus lain di semua negara Nordik, mahasiswa non-Uni Eropa harus merogoh kocek €3000-8.000 per semester hanya untuk biaya kuliah — belum termasuk uang semester dan juga biaya hidup yang tinggi. Di Norwegia, saya hanya membayar NOK 840 (€84) per semester sebagai ganti biaya fotokopi serta angsuran organisasi kampus. Tentu saja kata-kata "kuliah gratis di Norwegia" itu salah, karena yang gratis hanya biaya kuliahnya namun mahasiswa tetap harus beli buku, bayar uang semesteran, dan membiayai hidup yang tak murah. Meskipun, sebetulnya biaya pendidikan di Eropa itu tergolong murah ketimbang Inggris dan Amerika Serikat.

Namun untuk ukuran negara kaya yang sangat royal memberikan pendidikan "cuma-cuma", Norwegia juga cukup adil dalam dunia kerja. Karena negaranya kecil dengan penduduk hanya 5 juta jiwa, job market di Norwegia tergolong tipis. Kecuali kalian menguasai bahasa Norwegia dengan sangat lancar dan mampu berintegrasi dengan budaya kerja di sini, kesempatan untuk mendapatkan high-skilled job di luar industri IT, sangatlah kecil. Bahkan kalau harus memilih acak dari semua warga negara di dunia ini, kebanyakan perusahaan di Norwegia cenderung tertarik merekrut tenaga kerja dari Amerika untuk bidang sains, serta India untuk bidang IT. Jadi ya silakan nikmati fasilitas pendidikan gratisnya, tapi jangan harap bisa bersaing dengan mudah di pencarian kerja — mungkin pikir orang lokal.

Jadi kalau kamu juga tertarik melanjutkan kuliah di sini dengan biaya sendiri, mulailah sugarcoating alasan apa yang sangat menarik dari Norwegia, selain karena bebas uang kuliah. Saya sering dapat pertanyaan seperti ini soalnya, "why did you end up in Norway?". Seperti kebanyakan warga lokal, mungkin kita juga sebal mendengar banyak turis kere datang ke Indonesia hanya karena alasannya "murah meriah". Are we that cheap?