Showing posts with label bahasa asing. Show all posts
Showing posts with label bahasa asing. Show all posts

Friday, July 10, 2020

Tips Belajar Bahasa Denmark: Simpel tapi Menantang|Fashion Style

"I hate Danish!"

"When I heard Danes talk their own language, it's like they devour potatoes at the equal time."

"I've been right here for 5 years, however I cannot speak Danish but even though I recognize primarily all of component."

"Meskipun sudah three tahun di Denmark, saya pun masih harus battle sama pronunciation-nya."

Itulah beberapa komentar yang sering saya dengar dari para ekspat tentang bahasa Denmark.Mereka tidak suka dengan bahasa ini, tidak bisa bicara walaupun sudah cukup lama tinggal disini, bahkan malas belajar. Cukup beralasan memang, mengingat Kopenhagen adalah kota internasional dengan penduduk yang kebanyakan warga pendatang dari negara lain. Berbeda dengan ibukota negara lain yang pernah dikunjungi, saya rasanya sedang berada di UK ketika hampir setiap sudut Kopenhagen dipenuhi oleh para pendatang yang berbicara bahasa Inggris.

Orang asli Denmark dari penjuru utara sampai selatan pun sebenarnya sangat fasih bicara bahasa Inggris, kecuali para generasi tua yang tidak terlalu percaya diri dengan kemampuan bahasa mereka. Anak-anak muda dari usia 14 tahun sudah mampu berdialog dengan baik, walaupun kadang mereka masih rendah hati mengakui bahasa Inggris mereka tidak sempurna.

Saat berbelanja atau di kafe, jika pelanggan tidak bisa bicara bahasa Denmark, kasir ataupun pelayan secepatnya langsung berganti ke bahasa Inggris. Di Kopenhagen sendiri pun, kebanyakan orang Denmark akan sangat bangga jika bisa show off tentang Bahasa Inggris mereka ke orang asing. Mereka cenderung lebih nyaman bicara bahasa Inggris ketimbang mendengar orang asing berusaha bicara bahasa mereka dengan pengucapan yang super kacau.

Hampir semua penduduk Denmark bisa bahasa Inggris, lalu kenapa juga mesti belajar bahasa ini? Sayangnya, karena banyak warga pendatang yang memenuhi negara mereka, pemerintah akhirnya "mewajibkan" kursus bahasa Denmark bagi setiap pendatang yang sudah memiliki nomor CPR dengan tujuan pekerjaan ataupun studi. Namun karena biasanya masa studi software Master hanya sekitar 2 tahun, kebanyakan mahasiswa software ini menjadikan kursus bahasa Denmark sebagai opsional.

Di kelas saya, banyak sekali para pencari kerja yang mesti ekstra sabar belajar bahasa ini sampai mereka mampu melamar ke beberapa tempat kerja. Mereka sebenarnya sedikit berjudi dengan keadaan karena ikut suami atau pacar ke Denmark, mengungsi dari daerah perang, ataupun ingin mendapatkan kesempatan hidup yang lebih baik. Walaupun hampir semua orang di Denmark bisa berbahasa Inggris, namun lapangan pekerjaan akan terbuka lebih lebar bagi para pendatang jika mampu berbicara bahasa lokal.

Pelajaran bahasa memang tidak untuk semua orang, terutama mempelajari bahasa baru yang jauh dari bahasa ibu. Selain antusiasme dan motivasi, nilai fungsional sebuah bahasa juga berperan untuk menentukan suka tidaknya kita dengan bahasa tersebut. Bagi pendatang yang bekerja di sektor IT, mungkin saja mereka tidak perlu belajar bahasa Denmark terutama jika lingkungan pekerjaan tersebut lebih mengedepankan bahasa Inggris. Para mahasiswa juga tidak perlu juga repot-repot mengikuti kelas bahasa Denmark di malam hari karena kelas pun kebanyakan internasional dan memakai bahasa Inggris.

Setelah dua bulan mengikuti kelas bahasa di Ballerup, saya cukup mengerti tentang masalah bahasa di Denmark. Selain karena kebanyakan penduduk di Denmark bisa berbahasa Inggris dengan baik, bahasa Denmark sendiri memang terdengar sangat aneh bagi semua orang. Apalagi kelas Modul 1, dimana semua orang baru berkenalan dengan alfabet dan kata-kata baru, pasti menjadikan bahasa ini sebagai ajang lucu-lucuan. Saya pun merasa kalau mereka bicara dengan lidah yang terbelit-belit dulu hingga bisa menjadikan banyak kata menjadi satu kalimat. Intinya, banyak anggapan tentang betapa anehnya bahasa ini makanya banyak yang malas belajar.

Menurut saya, bahasa Denmark memang cukup aneh di awal-awal. Saya sendiri masih cukup sulit berhadapan dengan pelafalan kata-kata yang tidak punya aturan. Bunyi kata-kata itu sendiri bisa berubah sesuai padanan alfabet. Belum lagi saya masih harus belajar ekstra keras untuk membedakan ? Dan e, ? Dan y, atau ? Dan o. Walaupun orang Denmark mengakui pelafalan adalah hal tersulit dari bahasa mereka, namun saya sedikit diuntungkan karena gramatikanya cukup mirip dengan bahasa Belanda. Struktur kalimatnya juga lebih simpel ketimbang bahasa Inggris dan tidak "kesana-kemari" seperti bahasa Belanda.

Kesimpelan bahasa Denmark juga sebenarnya terlihat dari ketiadaan "please", "Madam/Sir", atau "smakkelijk!" yang berarti "selamat menikmati (makanan)!" dalam bahasa Belanda. Karena terlalu kasual, para siswa juga tidak memanggil guru mereka dengan "sopan". Mereka lebih senang jika guru dan siswa seperti teman dengan hanya memanggil nama depan agar terkesan akrab.

Generasi muda Denmark yang juga cuek, tidak peduli apakah harus memanggil "Madam/Sir" saat percakapan formal. Bahkan anak-anak pun bisa memanggil orang tua mereka hanya dengan nama. Dari sini, saya merasa bahwa orang Denmark tidak terlalu suka hal-hal yang bersifat terlalu formal dan serius.

Bagi saya, mempelajari bahasa lokal merupakan proper manner sebagai pendatang. Saya lebih bangga jika mampu berkomunikasi dalam bahasa Denmark dengan pelayan di toko atau kafe meskipun tahu muka saya sangat-sangat Asia. Lagipula sebagai au pair, datang ke sekolah dan bertemu orang-orang baru yang sama struggling-nya belajar bahasa Denmark adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Saya tidak harus selalu berkutat dengan tugas rumah tangga setiap hari sehingga lupa bertemu teman baru. Flot!

Thursday, July 2, 2020

Tips Fakta Tentang Bahasa Denmark|Fashion Style

Wohooo.. Sudah nyaris satu tahun yang lalu saya membuat postingan tentang bahasa Denmark , tahun ini saya sudah masuk Modul 4. Apa yang menarik dari modul ini? Pelajaran tata bahasa makin sulit, tapi saya belum bisa juga bicara dengan baik.

Di kelas saya, mayoritas siswanya memang nyaris 90% bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Daripada capek-capek memikirkan kata per kata dan menyusun hingga jadi kalimat dalam bahasa Denmark, saya dan mereka keseringan berganti ke bahasa Inggris saja. Jadi bisa dibayangkan betapa beratnya perjuangan siswa kelas saya di bagian speaking bahasa Denmark ini.

Teman-teman au pair ataupun non-au pair yang dulu sempat mengambil kelas bahasa Denmark, banyak yang memutuskan menyerah. Begitu pun juga saya. Meskipun sempatupdandown menyusun mood datang ke sekolah, akhirnya saya putuskan untuk kembali datang ke kelas menemui teman-teman seperjuangan. Semakin dipelajari, semakin banyak fakta menarik soal bahasa bangsa Viking ini.

1. Datar dan tanpa irama

Bahasa Denmark diakui sebagai bahasa terjelek di Skandinavia oleh banyak orang. Tidak seperti bahasa Swedia yang lemah gemulai dan bernada, ataupun bahasa Norwegia yang lebih jelas cara bacanya, bahasa Denmark lebih mirip orang lagi kumur-kumur. Tidak hanya fantastic datar, tapi nyaris semua huruf dimakan.

Gara-gara label "terjelek" namun juga tersulit inilah, banyak pendatang memutuskan malas belajar bahasa Denmark. Alasan lainnya, tanpa bahasa Denmark pun, mereka tetap bisa bertahan hidup di kota-kota besar hanya dengan bahasa Inggris.

2. Rigsdansk

Sama seperti negara mana pun, tiap location biasanya memiliki dialek atau aksen di setiap bahasa resmi mereka. Di Denmark, dialek orang Aalborg berbeda dengan orang Ringk?Bing. Pun begitu dengan dua dialek tersebut, sangat berbeda dengan dialek orang-orang yang tinggal di sekitar location Kopenhagen.

Rigsdansk atau rich Danish sebenarnya merupakan tata bahasa resmi yang dipakai di Denmark hingga saat ini. Rigsdansk biasanya diajarkan di sekolah ataupun dipakai saat acara formal.

Lucunya, rigsdansk sering dikaitkan oleh bahasa orang-orang middle class di tahun 1800-an. Di tahun 1970-an, karena pusat pemerintahan ada di Kopenhagen, rigsdansk menjadi tata bahasa resmi sekaligus dialek tetap para Copenhageners ataupun orang-orang yang tinggal di area Sjælland.

Karena perbedaan dialek inilah, orang-orang Sjælland biasanya kesulitan mengerti dialek orang Jutland ataupun Bornholm. Mereka lebih sering disebut bahasa petani ataupun bahasa lower class karena tidak menggunakan standar bahasa Denmark yang dipakai oleh para Copenhageners.

3. Terkesan kasar

Saat belajar bahasa Inggris, kita sudah diajarkan soal pembagian bahasa formal dan non-formal. Untuk memanggil orang yang tak dikenal pun, kita tahu harus memanggil mereka dengan sebutan Sir atau Madam, jika tidak tahu nama belakang orang tersebut. Pun begitu saat saya belajar bahasa Prancis dan Belanda sewaktu di Belgia.

Di Denmark (dan juga bahasa Nordik lainnya), formalitas bukanlah ketetapan dari standarisasi satu bahasa. Selain kata undskyld yang berarti maaf (atau excuse me), saya tidak mengenal kata lemah lembut lainnya.

Atmosfir antara siswa dan guru pun tercipta dengan sangat kasual. Yang tua tidak gila hormat hanya untuk dipanggil Pak, yang muda pun tidak perlu pikir panjang hanya untuk bersikap sopan.

Ketiadaan bahasa formal, logat yang datar dan tanpa berirama, cocok saja jika bahasa ini terdengar cukup kasar di telinga.

Four. Betapa liberalnya bahasa ini

Orang Denmark termasuk yang sangat bebas dalam pemakaian bahasa mereka. Tidak seperti orang-orang di Britania Raya yang sangat sopan dan takut untuk memakai kata-kata kasar, orang Denmark justru sebaliknya.

Kata-kata makian yang bermakna seksual, kasar, dan tidak pantas dianggap biasa saja digunakan dalam percakapan sehari-hari. Karena terpengaruh tontonan Amerika, anak-anak kecil di Denmark sudah sangat akrab dengan F! word. Belum lagi para orang dewasa yang sering lepas kontrol mengucapkan kata serupa.

Di lirik lagu, deadline koran, ataupun majalah, kata-kata pinjaman dari Inggris-Amerika yang bermakna negatif sering dipakai. Karena hal inilah, tidak heran kalau orang Denmark juga dicap sebagai bangsa yang hobicursing.

Host kid saya yang baru berumur 5 tahun, bebas saja mengatai orang tuanya. Saya pernah mendengar gadis kecil ini sampai berteriak-teriak, "Ayah bodoh!" atau "Betapa bodohnya orang tua ku ini!". Seorang teman pernah bercerita, sepupunya yang berusia 13 tahun, bebas saja mengatakan, "Dasar ibu bodoh, such a b**ch!"

Reaksi orang tua mereka? Biasa saja. Malah hanya bertanya dengan lemah lembut, "Kenapa? Kenapa ibu sampai dikatai bodoh?"

Dulu, saat satu kata kasar keluar dari mulut kecil kami, orang tua saya tidak segan-segan mengambil cabe merah atau rawit untuk dimasukkin ke mulut kami. Memang tidak pernah terjadi karena hanya menakut-nakuti. Tapi jelas sekali, kalau no place for bad words at home!

Sunday, June 28, 2020

Tips Pengalaman Tes IELTS Pertama di Eropa|Fashion Style

Akhirnya, saya berhasil menaklukkan salah satu ketakutan terbesar dalam hidup: tes IELTS!

Iya, entah kenapa tes Bahasa Inggris yang satu ini selalu jadi momok seram. Meskipun saya sudah belajar bahasa Inggris sedari umur 9 tahun, tapi tetap saja tidak ada keberanian untuk mengikuti uji kefasihan. Selain harganya mahal, kalau ternyata tidak mencapai goal, melayang saja kan uang yang sudah terbayar.

Setelah hampir eight tahun menunda untuk mengikuti IELTS/TOEFL, ujung-ujungnya saya korbankan juga 1875 DKK atau sekitar 3,five juta demi menguji kemampuan bahasa Inggris. Sebenarnya niat tes IELTS memang hanya didasari untuk mendaftar ke salah satu perguruan tinggi, yang sudah diniatkan sejak saya tamat SMA hingga tamat kuliah. Mengingat kontrak au pair di Denmark juga akan habis, saya iseng-iseng saja ingin mendaftar ke salah satu kampus di negara lain.

Ingin mengikuti tes pun sebenarnya maju mundur karena saya sudah malas belajar. Baik itu belajar sebelum mengikuti tes, maupun belajar di bangku kuliah. Tapi setelah pertimbangan matang, dua bulan sebelum tes, saya mendaftar juga.

Di Eropa Utara, harga tesnya lebih mahal dari negara-negara lain. Di Denmark saja, tes IELTS dihargai 1875 DKK (Kopenhagen) hingga lebih dari 2000 DKK (Faroe Island). Sementara di Finlandia, tes IELTS harganya ?250, lebih mahal ?40 dari Belgia ataupun Jerman.

Karena di Kopenhagen cepat sekali penuh, pendaftaran pun harus dilakukan sesegera mungkin. Ada dua opsi untuk bagian tes Speaking, bisa lain hari ataupun di hari yang sama dengan tiga tes lainnya. Merujuk ke pengalaman tes module Bahasa Denmark , saya memilih tes Speaking di hari lain saja.

Speaking Test

Satu minggu sebelum tes dimulai, pihak EDU sudah mengirimkan email konfirmasi soal jadwal dan tempat tes Speaking. Karena memilih beda hari, tes Speaking saya diadakan satu hari sebelum tiga tes lainnya.

Jam 2.45 sore, saya sudah datang ke tempat ujian untuk mendaftarkan diri dan difoto. Sesuai dengan jadwal tes, jam 3 teng, seorang bapak penguji asli Inggris sudah menyambut saya ramah di depan sebuah ruangan.

Si bapak yang bernama Mark ini sebenarnya sama sekali tidak menakutkan. Ekspresinya memang datar, tapi terkesan hangat dan ramah. Saya juga jadinya tidak terlalu deg-degan dan menjawab sesantai mungkin.

Tes Speaking bagian pertama sangat gampang. Topiknya hanya sebatas sekolah, cokelat, dan buku. Semuanya bisa saya jawab dengan lugas karena memang hal semacam ini sudah menjadi pembicaraan sehari-hari.

Bagian kedua, saya mulai kehabisan kata-kata. Topiknya sangat jelek, menurut saya, soal kesibukan. Meskipun sudah mencoba menuliskan poin-poin yang akan diucapkan, saya merasa ada dua poin yang kelupaan.

Bagian ketiga, beberapa pertanyaan lanjutan ditanyakan oleh Mark, yaitu tentang tekanan saat sekolah dan hidup di masa mendatang. Saya sempat berpikir sekitar 2-3 detik sebelum menjawab pertanyaan, karena sedikit bingung menyambung dari opini sebelumnya.

Kuncinya: bicara lugas dan lancar tanpa terlalu pusing memikirkan opini. Isi opini boleh mengarang, yang penting tata bahasa, perkaya kata-kata baru, dan anggap saja si penguji adalah teman kita.

Listening Test

Kalau sudah terbiasa mendengar podcast, lagu berbahasa Inggris, radio, ataupun menonton BBC, sebenarnya tidak ada masalah. Meskipun aksen yang dipakai adalah British-Inggris, tapi kata-kata yang digunakan sebenarnya hampir semuanya sama saja dengan Inggris-Amerika. Justru saya merasa, rekaman orang di IELTS lebih jelas ketimbang mendengarkan teman-teman asal UK mengobrol.

Di bagian awal, percakapan masih mudah karena biasanya hanya menyangkut nama, nomor, umur, ataupun kata-kata dasar yang hanya diperbolehkan ditulis dengan satu kata saja di lembar jawaban.

Masuk ke bagian pertengahan dan akhir, percakapan lebih berat menyangkut soal teknologi, sains, ekonomi, seni, ataupun pendidikan. Sedikit mengecoh, karena selain mendengar, kita juga harus membaca dan berpikir kira-kira jawaban mana yang tepat. Saya sempat sedikit blank di bagian ini hingga harus menjawab asal.

Reading Test

Tes bagian ini menurut saya adalah bagian paling membosankan. Jujur saja, saya sama sekali tidak ada persiapan dan banyak latihan. Tes Reading bahasa Inggris dimana-mana sama saja, ya tidak IELTS, tidak UAN, tidak UAS, ataupun ujian semesteran. Intinya, ada teks yang panjang (sekali), lalu harus menjawab True-False, memilih opsi, ataupun mengisi isian dari A-Z.

Lupakan soal paham atau tidaknya kita dengan seluruh isi teks, karena nyatanya, tugas kita bukan disuruh menerjemahkan. Untuk Academic Test, biasanya peserta tes diharapkan untuk sepenuhnya menganalisa pertanyaan sekalian mencocokan dengan isi teks.

Sekali lagi, bagian paling membosankan dan menyita waktu, karena terlalu tricky. Di sepuluh jawaban terakhir, lagi-lagi saya mulai blank hingga akhirnya asal tembak saja. Sudah dianalisa, dibaca berulang-ulang, dilihat-lihat lagi, tetap saja tidak menemukan jawaban. Oke, goodbye! A! B! C!

Writing Test

Mendengar komentar dari teman-teman yang sudah pernah mengikuti tes IELTS (hingga berkali-kali), saya sepakat kalau tes Writing adalah tes yang HARUS penuh persiapan. Berbeda dengan General Training, peserta tes Academic diharapkan mampu menuangkan opini, ide, serta kemampuan analisa ke dalam tulisan yang bahasanya lebih formal dan tertata.

Meskipun sudah disediakan waktu 70 hari persiapan, saya hanya menggunakan kurang dari five hari untuk latihan menulis. Padahal saya paham sekali dengan kekurangan terbesar saya saat menulis artikel dalam bahasa Inggris.

Sehari sebelum tes pun, saya hanya membuka beberapa artikel internet, lalu mempelajari beberapa pola yang diharapkan oleh IELTS. Mempelajari pola jawaban menjadi sangat penting agar kita tahu struktur bahasa ataupun paragraf seperti apa yang mereka nilai.

Kalau ingin mendapat nilai tinggi di bagian ini, jangan lupa sering-sering membaca berita terbaru berbahasa Inggris. Selain mendapatkan kosa kata non-mainstream, kita juga terbiasa dengan isu terhangat semisal ekonomi, pendidikan, budaya, ataupun masalah dunia lainnya. Struktur tata bahasa menjadi poin penting lainnya agar tulisan kita menjadi tepat sasaran sesuai penggunaan waktu dan kaedah yang berlaku.

Pengalaman saya di bulan April, tes Writing di bagian pertama sebenarnya tidak terlalu banyak analisa karena diagram batang yang digunakan mudah diteliti. Topiknya pun tentang perbandingan jumlah siswa yang belajar di tiap subjek pelajaran.

Sementara bagian kedua, tangan saya hampir patah menulis?Padahal sebenarnya juga tidak ada yang ditulis, tentang topik yang lagi-lagi?Menurut saya?Jelek. Yaitu tentang isu pembangunan di sektor ekonomi yang berdampak dengan kemunduran norma sosial. Apaaaa coba?!

RESULT!!

Kalau ingin jujur, mengingat ini adalah tes pertama, saya sebenarnya tidak menaruh harapan yang terlalu besar soal skor. Iya memang, saya menetapkan skor 7.0 karena memang si kampus yang saya incar menarafkan skor segitu. Tapi sekali lagi, I am happy because it's over.

Tiga belas hari setelah tes selesai, saya sudah bisa mengakses hasilnya di internet. Eng... Ing... Eng....

Skor IELTS saya hanya 6.Zero!

Benar saja, nilai di bagian Writing dan Reading paling anjlok, hanya 5.5. Karena sebelumnya memang sudah tidak ada persiapan matang dan ekspektasi tinggi, saya pun mengakui kemampuan saya di tahun ini berada di taraf itu. I have tried my best yooo! (;

Tapi setelah semuanya berakhir, entah kenapa lagi-lagi saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan mengulang tes selama beberapa tahun ke depan. Seriusan, tes IELTS layaknya ujian mana pun yang stres dan menakutkan. Satu lagi, mahal!

Saturday, June 13, 2020

Tips Tips Belajar Bahasa Asing (1)|Fashion Style

Pada bagian ini saya akan memberikan sedikit tips dalam memilih bahasa yang akan kamu pelajari. Tips ini sebenarnya saya gabung-gabungkan dari pengalaman pribadi belajar bahasa asing baik otodidak maupun melalui native speaker langsung. Let's jump!

1. Pilih bahasa asing yang digunakan setidaknya oleh dua negara

Sebagai contekan, ada beberapa bahasa yang biasanya digunakan oleh lebih dari satu negara di dunia. Bahkan bahasa ini pun sebenarnya merupakan bahasa kedua yang direkomendasikan untuk dipelajari selain bahasa Inggris. Berikut bahasa kedua yang menurut saya baik untuk mulai dipelajari.

French , bahasa yang kata orang, sekali lagi kata orang, paling romantis di dunia ini dipakai di beberapa negara di Eropa selain Perancis. Contohnya, Belgia, Luksemburg, dan Swiss (di beberapa bagian region), negara di Afrika, Maroko, bahkan beberapa tempat di Kanada.

Spanish, selain di Spanyol sendiri, bahasa ini juga digunakan di Amerika Latin. Bahkan sudah banyak universitas di Amerika yang memberikan persyaratan kepada calon mahasiswa baru harus memiliki sertifikat keahlian bahasa Spanyol (DELE).

German , bahasa ini dipakai juga di Austria, Swiss, serta beberapa kawasan di Luksemburg dan Belgia.

Arabic, negara-negara yang tergabung di UAE (United Arab Emirates) berbicara dengan bahasa ini. Selain itu juga, Maroko dan beberapa negara di Afrika memakai bahasa Arab sebagai bahasa utama mereka.

Mandarin Chinese, bahasa Mandarin memang cukup populer dan digunakan oleh lebih 960juta orang di dunia. Bukan hanya di China sendiri, tapi juga di Taiwan, Hongkong, Macau, dan Shenzhen.

2. Pilih bahasa yang cara pengucapannya mirip dengan lafal bahasa Indonesia

Tips ini sebenarnya yang membuat saya sangat selektif dalam memilih bahasa apa yang akan saya pelajari. Kalau ditanya, bahasa apa yang tidak mau saya pelajari, jawabannya adalah Perancis! Sumpah, saya merasa harus berpikir dua kali untuk belajar bahasa ini. Apa yang ditulis dan diucapkan, nyaris 80% berbeda! Ini beberapa bahasa yang cukup dikenal dengan lafal pengucapan yang tidak terlalu susah.

Italiano, keputusan saya belajar bahasa ini gara-gara pelafalan kata-katanya miriiiippp banget sama bahasa Indonesia. Paling ya beda 10-20%. Tapi tidak terlalu banyak perbedaan yang berarti dari segi pengucapan.

Spanish, antara bahasa Spanyol dan Italia sebenarnya tidak terlalu berbeda. Seorang kenalan dari Spanyol pernah mengatakan, kalau kamu sudah bisa bahasa Italia, tidak akan terlalu susah mempelajari bahasa Spanyol. Bahkan dari segi grammar pun, bahasa Spanyol dibawah bahasa Italia (alias lebih gampang).

Dutch, ada beberapa alfabet yang sedikit berbeda dari bahasa kita. Walaupun bahasa yang ditulis sedikit berbeda dari pengucapan, tapi biasanya kita sudah bisa menebak apa pelafalan dari kata tersebut. Bahasa Belanda sendiri juga sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan pelafalan bahasa Inggris. Kombinasi saja sih.

Finnish, yang ini memang agak langka dan hanya dipakai di Finlandia. Tapi beberapa hari ke belakang saya sempat penasaran dengan bahasa ini sampai akhirnya searching di YouTube. Huhu. Bahasanya susah gampang, tapi pertimbangannya cuma satu, yang ditulis itulah yang diucapkan!

Turkish, kalau ngomongin Turki kok saya langsung inget cowok-cowok perpaduan muka Arab dan Eropa yang ganteng-ganteng ya? Hihi.. Bahasa ini juga tidak terlalu susah untuk diucapkan. Hampir sama seperti bahasa Belanda, mungkin sedikit berbeda, tapi tidak terlalu menyusahkan.

Three. Pilih bahasa berdasarkan tulisannya

Yang terakhir ini menurut saya sangat subjektif sekali. Saya sendiri sebenarnya malas mempelajari bahasa asing yang memiliki tulisan lain di luar tulisan latin. Saya jadi mesti harus belajar tiga kali untuk memahaminya. Pertama, belajar bahasanya dulu. Yang kedua, belajar tulisannya. Dan yang ketiga, saya mesti paham apa yang ditulis, apa bacaannya, lalu kemudian apa artinya. Deuuhh...panjang! Itulah hal yang akhirnya membuat saya menyerah belajar bahasa Thai.

Tapi kalau kamu tekun dan bisa menguasai bahasa dengan tulisannya, jujur saya salut! Artinya kamu bisa dapat poin plus dong dari bahasa yang sedang kamu pelajari. Tentunya bisa lebih enak mencurahkan isi hati, karena tidak ada orang yang mengerti.

Mandarin Chinese, tidak ada salahnya kamu mempelajari bahasa ini beserta tulisannya. Bahasa Mandarin mulai menjadi bahasa internasional bahkan diterima di beberapa badan/perusahaan asing ternama di dunia.

Arabic, tidak rugi juga belajar bahasa ini. Selain bisa mengerti sedikit bahasa Al-Qur'an, saat di Tanah Suci biasanya kita tidak akan kesulitan menawar barang (lho..lho.. kok ujung-ujungnya belanja??).  Saya sendiri tiga tahun mempelajari bahasa Arab di sekolah. Tapi dasar memang dodol dan malas ribet, akhirnya sampai sekarang tidak mengerti arti tulisan Arab sama sekali. Saya bisa baca, tapi tidak mengerti artinya.

Japanese, orang Eropa punya minat tinggi terhadap kebudayaan di Asia. Salah satunya adalah Jepang. Ingat cerita Nobita di film Doraemon yang nyasar tidak bisa pulang gara-gara tidak bisa baca huruf kanji?

Korean, yang ini lagi musim! Banyak gadis-gadis di luar sana lagi serius mendalami bahasa Korea dan tulisannya biar bisa ngerti postingan yang ada di website Korea. Tidak ada salahnya juga sih belajar bahasa ini. Dulu saya sempat iseng-iseng belajar dan menurut saya tingkat kesulitannya dibanding bahasa Jepang lebih kecil.

Greek, ada yang tertarik belajar bahasa dewa-dewi ini?

*tip lagi: walaupun bahasa asing di atas menggoda untuk dipelajari, saran saya mantapkanlah dulu bahasa Inggris setidaknya di level Intermediate. Karena menurut saya, porsi untuk belajar bahasa Inggris tetap harus dilebihkan untuk keperluan globalisasi.

Sekian tips belajar bahasa asing dari saya. Semoga bisa membuka pikiran dan membantu kira-kira bahasa mana yang ingin dipelajari. Habis dari sini, cepat-cepat daftar ke tempat kursus atau belajar lewat YouTube dan buku ya.

Tips Ayo Belajar Bahasa Asing!|Fashion Style

Apa yang kalian lakukan di rumah saat sedang galau, bad mood, kesepian, ataupun bosan tiada tara?

Nonton TV atau DVD?

Dengar radio?

Curhat sama teman?

Jalan ke mal?

Atau tidur-tiduran di kasur, pasang AC, sekalian BBMan sama someone?

Semuanya tidak ada yang salah. Semuanya bisa kita lakukan untuk membunuh rasa bosan dan jenuhnya rutinitas setiap hari. Tapi tahu apa yang biasanya saya lakukan saat sedang bosan dan malas sekali melakukan aktifitas di luar? BELAJAR BAHASA ASING!

Lho kok, sedang bosan masih sempet-sempetnya belajar? Belajar bahasa asing pula! Bahasa Inggris aja belum lulus ini. Yuhuuu.. Entah kenapa daripada berkeluh kesah dan mikirin si doi yang belum tentu mikirin kita (duilee..Curhat) saya lebih menikmati buku-buku touring ataupun buka Youtube untuk belajar bahasa asing. Saya merasa selain kegiatan ini positif, pikiran juga teralihkan dari rasa bosan yang kadang membuat saya mau teriak sejadi-jadinya.

Terus apa sih enaknya belajar bahasa asing? Bukannya bahasa Inggris aja belum tentu sampai tingkat 'lumayan' ya? Tidak ada waktu nih belajar bahasa asing, tidak ada mentornya, tidak ada accomplice ngomongnya.

Nah, ada beberapa alasan yang membuat saya mau belajar bahasa asing dan merasa perlu sekali untuk mempelajarinya. Yang jelas satu, kita mesti punya passion ataupun minat untuk belajar dulu. Susah juga sih untuk belajar kalau minatnya belum terbangun. Lagipula tidak setiap orang punya kemampuan di bidang linguistik alias bahasa. Saya sebenarnya juga tidak memiliki passion di bahasa asing, bakat dan minat saya pun sebenarnya lebih ke seni ataupun desain. Saya juga baru mulai belajar bahasa asing beberapa bulan ini. Tapi kok jadi nyandu ya? Berikut alasan saya mengapa merasa kita perlu mempelajari bahasa asing:

1. Karena saya suka traveling. Sungguh, walaupun tidak begitu membantu saat menanyakan suatu tempat saat kesasar, tapi kata-kata sederhana seperti "terima kasih", "halo", "maaf", ataupun "sampai jumpa" dalam bahasa mereka membuat saya merasa dihargai oleh penduduk lokal. Saat berkesempatan ke Thailand tahun lalu, saya mati-matian mempelajari bahasa mereka. Tidak penting ya sepertinya? Tapi kok saya malah jatuh cinta ya sama bahasa itu. Hohoho.. Tapi sedihnya saya akhirnya menyerah juga mempelajari bahasa Thai gara-gara malas belajar hurufnya yang keriting-keriting itu. Hehe.. Di Thailand sendiri saya akhirnya cuma mengingat kata-kata dasar seperti "halo" dan "terima kasih". :p

2. Menambah kemampuan bahasa asing. Kalau kamu ada keinginan untuk melanjutkan studi di luar negeri ataupun tertarik bekerja di perusahan multinasional, tentunya kemampuan bahasa asing sangat diperlukan. Saya sendirinya sebenarnya sangat tertarik melanjutkan studi ke Eropa kalau ada kesempatan (dan dapat beasiswa gratis : p ). Makanya saya mulai memperkaya kemampuan saya untuk menguasai setidaknya dua bahasa asing selain Bahasa Inggris (yang masih pas-pasan ini).

3. Kamuflase. Kenapa saya bilang kamuflase? Bahasa asing ini sebenarnya ibarat penyamaran. Saya pernah sangat kesal pada someone (eheemm..) dan nyindir dia lewat Twitter. Hahahaa..typical sekali ya. Kalau ditulis pakai bahasa Indonesia, pasti si doi ngerti dong. Pakai bahasa Inggris juga pasti si doi bakalan ngerti. Akhirnya saya nyindir alias ngatain dia pake bahasa Spanyol! Hahahaa.. Untungnya dia bukan termasuk orang yang kepo-an (kopi terus tempel di Google Translate) untuk tahu apa yang sedang saya tulis.

4. Tebar pesona sama bule atau orang asing. Eh ini serius, waktu di bandara saya tidak sengaja bertemu dengan cowok dari Taiwan yang mau ke Bali. Gara-gara dulunya sering nonton film Meteor Garden jadinya saya spontan langsung ngomong ni hao ma (apa kabar?) saat tahu dia dari Taiwan. Tahu reaksi dia? Wah, dia surprise dan berbinar banget (asli, hiperbolik!). Saya sampai ditepok-tepokin segala lagi. Dari situ akhirnya dia jadi welcome dan friendly banget, padahal sebelumnya agak-agak 'males' gitu. Tuh kan, cuma gara-gara 'apa kabar?' doang?!

5. Meningkatkan rasa percaya diri. Tahu dong kalau sekarang lagi masa-masanya globalisasi. Jadi mau tidak mau kita juga sebenarnya 'harus' ikut globalisasi ini. Kecuali kalau kita mau menetapkan diri sebagai makhluk 'tertinggal' selama-lamanya. Dalam era globalisasi ini, tentunya persaingan bakalan semakin ketat dan kita juga mesti meningkatkan kemampuan agar bisa bersaing. Kalau kamu merasa tidak berbakat di dunia tarik suara ataupun bisnis, sebenarnya menguasai setidaknya dua bahasa asing bisa meningkatkan rasa percaya diri. Saya merasa kemampuan desain dan sains saya biasa-biasa saja, nyanyi tidak bisa, musik apalagi, ya sudah saya harus percaya pada kemampuan diri di bidang lain.

6. Bisa ngajarin orang lain dan dapet duit saku. Haha.. Asli, tiba-tiba otak bisnis saya berjalan gara-gara melihat peluang bagus. Di kota saya, sulit sekali mencari mentor yang bisa berbahasa asing dengan baik. Sialnya kalaupun mau belajar bahasa, saya harus otodidak dan bolak-balik cari ilmu di Youtube. Memang sih otodidak kesannya lebih 'rajin', tapi tetap saja dong, saya butuh seseorang yang mampu menjadi guide saya disaat saya salah ataupun perlu bantuan (muka miris). Makanya saya niat banget belajar bahasa asing terus nantinya mau diajarin ke orang-orang di kota saya yang membutuhkan mentor privat. Memang sih, level bahasa asing saya masih basic, tapi suatu hari nanti saya percaya kok dimanapun dan kapanpun ada saja orang yang butuh. Makanya dari sekarang banting tulang membuat si lidah ini terbiasa ngomong dengan bahasa alien. Hehe..

Nah, itulah alasan kenapa akhirnya saya punya passion untuk belajar bahasa asing dan merasa kalau mempelajarinya perlu. Kalau kamu juga punya passion yang sama, ayo mulai belajar bahasa asing dari sekarang! Yakinlah, tidak akan rugi mempelajari bahasa asing manapun.

Tips Tips Belajar Bahasa Asing (2)|Fashion Style

Setelah mengetahui bahasa apa yang mulai kamu ingin pelajari, sekarang saatnya mulai ke tahap inti. Kamu boleh langsung ikutan kursus di kota kamu ataupun bisa belajar otodidak. Bagi yang di tempat tinggalnya sudah tersedia tempat kursus bahasa asing, tinggal datang dan langsung daftar. Nah saya, susah sekali belajar kursus bahasa asing disini dikarenakan tidak adanya lembaga yang membuka kelas bahasa tersebut.

Ada lembaga bahasa di kampus menyediakan kursus bahasa asing semisal Jepang, Jerman, atau Perancis. Tapi sayangnya, pembukaan kelas didasari pada kuota siswa. Kelas baru akan dibuka kalau jumlah siswa minimal 15 orang. Teman saya yang ingin belajar bahasa Perancis sempat sebal gara-gara harus menunggu pendaftar dulu baru kelas barunya dibuka. Sebalnya, orang yang baru mendaftar untuk kelas bahasa Perancis baru 5 orang!

Belajar lewat kursus ataupun otodidak sebenarnya sama. Sama-sama harus tekun dan rajin agar bahasa asingnya lancar. Tapi memang ada keunggulan dan kekurangan dari tiap masing-masing cara belajar. Kalau kamu suka suasana belajar yang ramai/dinamis, langsung bertemu dengan native speaker/belajar langsung dari tutor, mendapatkan sertifikat, memang sebaiknya kamu ikut kelas. Kekurangannya adalah sistem belajar yang monoton, moody datang ke kelas, dan yang terpenting biasanya biaya yang dikeluarkan juga besar.

Tapi kalau kamu mengalami keterbatasan seperti saya, sulit mendapatkan kursus bahasa asing di tempatmu, mau tidak mau harus mulai terbiasa belajar secara otodidak. Memang kita harus belajar ekstra keras, menunggu mood dulu untuk belajar, tidak ada tutor untuk belajar, tapi asiknya adalah kita bisa menentukan kapanpun akan belajar, kita juga lebih mandiri dengan belajar sendiri, dan hemat biaya.

Berikut hints dari saya untuk kalian yang ingin mempelajari bahasa baru, baik melalui kursus ataupun otodidak:

1. Mulailah dengan 3 kata sakti. Di tempat kursus biasanya kamu akan menerima modul yang berisi materi-materi pelajaran yang akan dipelajari. Sebaiknya sebelum memulai kursus atau belajar, pelajarilah dulu speaking paling dasarnya. Kata-kata sakti seperti 'halo', 'apa kabar?', dan 'terima kasih' biasanya akan membantu kalian di sesi paling awal.

2. Perkenalan diri. Untuk kamu yang belajar otodidak, selain dimulai dengan 3 kata sakti di atas, pelajaran berikutnya adalah dengan proses perkenalan diri. Biasanya perkenalan diri yang pendek sedikit lebih gampang. Kalimat perkenalan seperti 'Halo, apa kabar? Nama saya..... Senang berkenalan dengan kamu' bisa kamu pelajari berulang-ulang. Perhatikan juga kalimat yang digunakan, karena biasanya terdapat perbedaan percakapan formal-informal dan soal gender kata.

3. Ayo ngomong! Yang paling penting belajar bahasa adalah ngomong! Ngomong dong ngomong (iklan banget). Ngomong apaan, kan belum lancar? Ya, ngomong 3 kalimat sakti dan perkenalan diri.

4. Jangan lupa beli kamus. Saya sarankan untuk membeli kamus yang setidaknya memuat kata kerja dasar dari bahasa tersebut. Sejujurnya saya sendiri tidak punya kamus saku dan lebih sering memanfaatkan aplikasi translator untuk membantu. Tapi saya memang harus beli kamus nih sepertinya. Karena beberapa kata kerja di translator itu sebenarnya kadang kurang tepat.

5. Manfaatkan YouTube. Siapa guru kedua saya belajar bahasa selain buku teks? Jawabannya adalah video. Selain mendapatkan gambaran yang pasti tentang tulisannya, saya juga lebih mudah memahami gaya bicara si native.

6. Dengar dan dengar. Kamu sudah punya modul dan kamus, tapi koneksi internet sedang tidak bagus sehingga YouTube kelamaan buffering-nya? Kamu bisa mendownload podcast atau rekaman suara native speaker saat sedang memberikan materi tentang pelajaran. Tapi seperti yang saya bilang di tulisan sebelumnya, bahasa Inggris kamu setidaknya harus berada di level Intermediate karena rata-rata para native speaker menggunakan bahasa tersebut untuk memberikan materi.

7. Mulailah kalimat sederhana dengan native. Chatting merupakan kegiatan yang sebenarnya bisa sangat bermanfaat kalau kita mampu menggunakannya dengan benar. Maksud saya, chatting yang berkualitas itu bukan hanya curhat tentang kegalauan atau menghabiskan waktu. Kamu juga bisa cari aplikasi di smartphone yang memungkinkan untuk berbicara dengan orang asing ataupun native speaker dari bahasa yang sedang kamu pelajari. Dulu saya sangat menyukai aplikasi Yahoo! Messenger yang memungkinkan kita masuk 'room' dan ngobrol dengan orang asing. Lumayan sih melatih percakapan dalam bahasa Inggris.

8. Saatnya menulis. Sekarang setidaknya kamu sudah bisa berbicara kalimat sederhana dengan orang asing, pelajaran selanjutnya adalah kamu harus menulis. Bahasa asing yang menggunakan huruf latin memang tidak ada masalah, tapi bagaimana dengan kamu yang belajar bahasa Jepang atau Mandarin? Tentunya tulisan tidak bisa dianggap sepele. Kurang panjang, kurang garis, kurang titik, kurang bundar, bisa mempengaruhi arti sebuah kata.

9. Komitmen. Belajar itu tidak mudah makanya dibutuhkan keseriusan dan komitmen yang tinggi. Intinya saat kamu mulai menyerah dan merasa tidak semangat, coba kamu ingat kembali apa alasan kamu belajar. Ingat kembali apa hal yang akan kamu dapatkan seandainya level bahasa asing kamu sudah di tingkat Intermediate. Saya sendiri sempat hampir menyerah, tapi akhirnya saya ingat, saya ini orangnya paling malas mengulang dari awal lagi. Membosankan. Daripada saya mengulang yang lupa, lebih baik saya meneruskan apa yang sudah pernah saya pelajari. Lagipula saya merasa tidak ada ruginya juga belajar bahasa apapun.

10. Latihan dan terus latihan. Saya yang sudah belajar bahasa Arab selama 3 tahun, sampai saat ini belum bisa fasih ngomong. Kenapa? Gara-gara saya tidak latihan dan kebanyakan melupakan pelajaran. Tapi ini tidak berlaku untuk kamu yang terus latihan demi meningkatkan level bahasa kamu. Bahkan, kamu mungkin bisa hampir lulus level dasar di bulan ke-2.

Friday, June 12, 2020

Tips Bahasa Perancis: Fashion|Fashion Style

Hola todos.. (Spanish, halo semua..)

bueno tardes (Spanish, selamat siang)

Baiklah, sepertinya saya sedikit nggak nyambung nih. Judul postingannya 'Bahasa Perancis' tapi opening greetings-nya malah pakai bahasa Spanyol. Haha.. Maafkan. Di tulisan sebelumnya saya sudah mengaku kalau saya agak iritasi sama bahasa Perancis. Kenapa? Membingungkan! Tulisannya apa, bacanya apa. Saya pernah menuruti salah seorang native speaker asal Perancis bicara, yang ada tenggorokan saya kering dan sakit.

Postingan kali ini cukup simpel, membahas tulisan dengan lafal bahasa Perancis. Beberapa waktu yang lalu saya mendengarkan seorang penyiar radio menyebutkan brand asal Perancis dengan ngaco. Saya jadi sok pinter dan mikir, seorang penyiar radio harusnya cari info yang bener dulu baru di-share ke pendengar. Ini kok dengan bangga menyebut salah satu brand pakaian asal Perancis tapi cara pelafalannya salah. Duuuhh...kok saya waktu itu jadi kesal sendiri ya. Secara saya juga bukan tukang belanja barang bermerk, tapi memang cukup aktif beli majalah fashion. Makanya ketika mendengar si penyiar salah sebut seperti itu, sedikit risih di telinga saya.

Berikut beberapa brand ternama asal Perancis yang orang sering mengucapkannya dengan lafal yang kurang tepat. Hayooo..jangan mengaku suka beli barang mahal ya, tapi menyebut merk-nya saja salah.

Chanel (baca: syanel)

Louis Vuitton (baca: lui vitong) 'o pada foto' . Ini nih brand yang penyebutannya salah sama si penyiar. Tau dia nyebut apa?? LUIS VUITON, jaaahhh...ular piton kali ah.

Dior (baca: jio) 'o pada foto'

Hermes (baca: ighrmes) 'e pada Memes'

Balenciaga (baca: balonsiagya) 'o pada balon'

Givenchy (baca: zyivongzi)

YSL/Yves Saint Laurent (baca: ivs sang lorang). Jadi inget zaman SMA dulu tiap ke toko sepatu terus lihat merk ini bacanya 'waives seint loren'. Haha..

Lacoste (baca: lekost)

Chacarel (baca: syakarel)

Nina Ricci (baca: nina rici)

Pierre Cardin (baca: pier kardan)

LANVIN (baca: longvang)

Celine (baca: selin)

Christian Lacroix (baca: krisciong lakroa)

Le Coq Sportif (baca: lu kog sportif)

Etam (baca: ehtam) 'e pada lele'

Karl Lagerfeld (baca: karl laguerfeld)

Kookai (baca: kukay)

Chantelle (baca: syongtel)

Catherine Malandrino (baca: kehtrin malandrino)

Huruf R pada bahasa Perancis kurang lebih dibaca ghr.

See? Kenapa saya tidak menyukai bahasa Perancis? Saya tidak rela tenggorokan saya gatal-gatal. Haha.. Atau memang saya-nya saja kali ya yang tidak bakat jadi orang romantis.

(brand source: Discount Upon)

Tips Tips Belajar Bahasa Asing (3)|Fashion Style

Tulisan yang saya berikan sebelumnya adalah tips untuk pemula yang baru mulai belajar bahasa asing atau masih berada di tingkat basic/beginner. Banyak orang mengatakan 'memulai' suatu hal itu adalah hal yang sangat sulit. Ada banyak hal yang biasanya jadi masalah seseorang malas belajar bahasa asing, apalagi secara otodidak.

Tidak ada teman ngobrol.

Malas buka buku.

Tidak ada waktu.

Sekarang belum penting, nanti aja nunggu dapat beasiswa sekolah ke luar negeri.

Keluhan di atas merupakan four dari banyak kendala yang sering dialami seseorang ketika mulai atau sedang belajar bahasa. Tapi setiap kendala tentunya punya solusi dong. Intinya kita memang harus disiplin dan rajin mencari solusi atas kendala atau keterbatasana kita kalau kita memang mau belajar.

1. Sewaktu di Penang, saya sekamar dengan seorang tante asal Spanyol. Saya sempat kegirangan saat itu gara-gara saya juga sedang belajar bahasa Spanyol dan selama ini tidak ada teman ngobrol. Sebalnya, tiba-tiba kemampuan bahasa Spanyol saya kok jadi hilang ya? Swear, untuk bilang 'apa kabar?' saja saya amnesia! Saya mengaku kalau sebenarnya sedang belajar bahasa Spanyol dan mendadak lupa saat bertemu dengan dia. Tante yang namanya Veronica itu langsung memberikan tips saya harusnya punya pacar orang Spanyol biar ada teman mengobrol. Tante Veronica sebenarnya benar juga sih. Karena level bahasa Inggris saya juga sempat naik lantaran tiap hari BBM-an sama gebetan asal Kanada (isshhh pameeerr).

Kamu sebenarnya tidak harus punya pacar dulu untuk ngobrol, kamu bisa menemukan situs yang menghubungkan kamu dengan para native speakers yang bersedia mengajarkan kita sedikit bahasa mereka. Berikut rekomendasi yang saya berikan karena sering pakai:

Interpals

Status pertemanan ini saya gunakan dua tahun belakangan. Anggotanya berasal dari hampir seluruh negara di dunia. Mirip-mirip Facebook sih, tapi kelebihannya kita bisa sekalian cari teman yang bisa diajak tukar bahasa (language exchange). Kita juga bisa sekalian pilih teman yang bisa diajak mengobrol dengan melihat deskripsi profil mereka. Kita juga bisa mengatur profil pribadi dengan membatasi umur orang yang bisa menghubungi kita serta membuat tulisan warna-warni di profil. Lucunya, kita juga bisa flirting sama cowok-cowok ganteng disini dengan modus minta diajarin bahasa mereka. Tertarik bikin akun?

Postcrossing

Kamu suka kirim-kiriman surat atau tukar-tukaran kartu pos dengan orang di seluruh dunia? Kamu wajib bikin akun di situs ini! Selain bisa tukar-tukaran kartu pos, saya biasanya memanfaatkan situs ini untuk belajar bahasa. Kalau kebetulan kamu 'disuruh' mengirim kartu pos ke negara yang sedang kamu pelajari bahasanya, bisa jadi ajang pamer kemampuan menulis dong.

2. Saat sedang pelajaran bahasa Inggris waktu di SMA, guru saya pernah ngomong daripada ngabisin duit kursus bahasa bertahun-tahun, mendingan duitnya dikumpulin terus belajar keluar negeri. Sudah banyak tempat kursus bahasa Inggris besar seperti EF yang menawarkan homestay keluar negeri sebagai bagian dari proses belajar. Kalau kamu merasa malas belajar bahasa asing di kota kamu (dan kebetulan banyak duit), saya sarankan mencoba kursus musim panas di luar negeri yang durasinya 3-12 bulan tergantung level yang kamu tuju. Biaya yang dikeluarkan memang besar, dari akomodasi sampai uang kursus. Tapi ada beberapa kursus bahasa yang memberikan beasiswa bebas uang kursus namun kita tetap harus menanggung biaya akomodasi dan tiket pesawat.

3. Zaman sekarang memang sudah masanya teknologi digital. Saya sendiri masih tetap memerlukan buku teks atau modul sebagai penunjang. Bayangkan kalau kita mesti dihadapkan pada kondisi dimana mati lampu seharian penuh. Kita tetap tidak bisa memanfaatkan laptop atau handphone untuk mengecek arti satu kata secara terus-menerus kan? Untuk itulah keberadaan buku dan kamus tetaplah penting saat belajar bahasa asing. Sebaiknya carilah buku-buku yang bahasanya kamu mengerti, komposisi bukunya cukup lengkap, dan harganya bisa disesuaikan dengan kantong. Sebelum pergi ke kasir, pastikan dulu kamu membaca isi buku tersebut sekali lewat. Kamu juga bisa mengambil beberapa modul di internet sebagai penunjang kalau kebetulan tidak ingin keluar uang banyak membeli buku.

4. Kalau kebetulan kalian ingin mempelajari bahasa tertentu dan memerlukan tentor atau setidaknya website yang user-friendly agar tidak terlalu membingungkan, saya sarankan mengunjungi website dibawah ini.

Italki

Disini kamu bisa ngobrol langsung dengan native speakers yang bisa berbahasa Inggris, mencoba kelas privat berbayar dari mereka, atau kamu juga bisa mendaftarkan diri sebagai tutor orang lain.

Pod101

Website ini menurut saya komplit. Kita bisa download modul, video, podcast untuk belajarr listening, bahkan ada sesi latihannya. Situs ini termasuk yang 'mendaftar seumur hidup' dan kamu tinggal meng-upgrade akun agar banyak keuntungan yang bisa kamu dapat.

Pertama kali mendaftar, kamu akan mendapatkan waktu gratis 7 hari untuk men-download semua podcast yang tidak semuanya bisa terbuka kalau kamu belum meng-upgrade akun. Saya sarankan kamu harus memiliki kemampuan bahasa Inggris di level Intermediate untuk mendengarkan podcast-nya. Semuanya berbahasa Inggris, namun sangat mudah dipelajari kalau kamu paham apa yang sedang mereka ucapkan. Mereka juga punya musik pengantar lucu sesuai negara yang bahasanya sedang dipelajari. Untuk menemukan situs dengan bahasa yang tepat untuk kamu, cukup tambahkan bahasa yang ingin kamu pelajari + Pod101 + [dot]com, enter. Contohnya Italian, Dutch, Japanese, atau Swedish.

BBC Learning English

Seperti yang saya bilang ditulisan sebelumnya, selain belajar bahasa baru, durasi belajar bahasa Inggris tetap harus dilebihkan. Ini merupakan situs favorit saya saat belajar reading dan listening. Yang paling penting, situsnya user-friendly, materinya fun, dan kita bisa download teks atau audio-nya gratis.

5. Belajar bahasa bisa kapanpun dan dimanapun, bahkan untuk kamu yang sudah terdaftar di salah tempat kursus manapun. Kalau problem waktu adalah alasan terbesar kamu malas belajar dan kamu lebih memilih otodidak, cobalah untuk terus belajar minimal seminggu sekali. Bisa hari apapun dan jam berapa pun. Bahkan durasinya terserah kamu. Saya sendiri kadang harus membawa buku grammar bahasa Inggris ke kampus biar bisa dipelajari di dalam bus. Kadang juga cuma bertahan 20 menit, soalnya saya cepat ngantuk kalau belajar grammar. Hihi..

6. Kapan waktu yang tepat untuk belajar? Ya sekarang! Kamu menunggu apalagi? Menunggu dapat beasiswa dulu? Duh, kelamaan! Kalau memang kamu sedang merencanakan studi ke luar negeri, ada baiknya kamu mulai mempelajari bahasa negara yang sedang kamu bidik. Kemampuan berbahasa yang baik akan menaikkan poin kamu dimata juri saat kamu mengajukan beasiswa. Akan kelihatan kalau kamu serius belajar di negara mereka dengan bukti kamu sudah mempersiapkan diri kamu jauh sebelum diterima.

Semoga recommendations-suggestions di atas membantu ya, teman. Tidak ada kata terlambat kok untuk belajar. Namun apa yang bisa kita lakukan sekarang, yuk mari kita lakukan. Semoga bermanfaat!

Saturday, May 30, 2020

Tips Belajar Bahasa Asing dengan Anak-anak|Fashion Style

Dari awal sebelum datang ke Belgia, saya memang sudah berasumsi bahwa au pair adalah pertukaran budaya antara kita dan keluarga angkat . Dalam ajang pertukaran budaya ini juga, au pair diberikan kesempatan belajar bahasa lokal untuk memudahkan komunikasi sehari-hari dengan host kids dan lingkungan sekitar. Apalagi di Prancis yang kebanyakan penduduknya tidak bisa bahasa Inggris.

Sadar akan tinggal dengan keluarga multibahasa, saya rela beli buku pelajaran bahasa Belanda dan Prancis dari Kesaint Blanc sebagai modal awal 6 bulan sebelum keberangkatan. Meskipun banyak orang Belgia Utara paham bahasa Inggris, tapi saya tidak ingin terperangkap di zona nyaman hanya karena bisa bahasa tersebut. Kalau bisa, saya ingin meminimalisir penggunaan bahasa Inggris di rumah, terutama dengan anak-anak.

Setiap hari saya pelajari buku-buku tersebut secara otodidak dan memutar CD materinya. Sangat menyenangkan, apalagi sebenarnya saya memang suka belajar bahasa asing . Enam bulan belajar tentu saja tidak membuat seseorang langsung fasih bicara bahasa asing, apalagi saya tidak memiliki teman berlatih.  Namun setidaknya saya sudah mengenal beberapa frase atau kata-kata sederhana yang bisa digunakan saat berbicara dengan host kids.

Keluarga saya yang pertama sehari-hari menggunakan bahasa Prancis, meskipun mereka tinggal di lingkungan yang semua orang menggunakan Flemish (bahasa Belanda versi Belgia). Saat saya datang, anak mereka yang pertama baru berusia 2 tahun dan belum terlalu lancar berbicara. Jadi enaknya, kami bisa sama-sama belajar. Banyak kosa kata baru justru saya dapatkan langsung dari si orang tua.

Beberapa kali seminggu saya tetap ikut kursus bahasa Belanda, walaupun sesampainya di rumah kembali menggunakan bahasa Prancis. Saya tidak pernah sedikit pun menggunakan bahasa Inggris ke anak-anak, kecuali saat bicara ke host parents.

Rayan, anak tiri host mom yang berumur 9 tahun, kadang menginap di rumah dan sering kali mengajak saya mengobrol. Walaupun tahu saya tidak bisa bahasa Prancis, si anak ini tetap saja asik bercerita tanpa harus saya respon. Tapi gara-gara sering mengobrol ini juga, saya lalu jadi tempat curhat Rayan. Kalau tidak paham satu frasa atau kosa kata baru, Rayan tidak segan menjelaskan ke saya kembali memakai bahasa tubuh.

Pelajaran bahasa Prancis saya pun berlanjut dengan cleaning lady keluarga ini, Zeza, yang tidak bisa baca tulis. Zeza kadang jadi partner of crime saya kalau harus making a story dengan si host mom. Maklum, Zeza juga tidak terlalu suka dengan sifat host mom yang terlalu bossy.

Pindah dari keluarga ini, saya tinggal dengan keluarga asli Belgia yang sehari-hari berbicara bahasa Belanda. Sayangnya ketiga anak mereka sudah sangat fasih berbahasa Inggris dan tidak membantu pelajaran bahasa saya sama sekali. Mereka lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris untuk menghindari miskomunikasi. Pelajaran bahasa Belanda yang saya pelajari di sekolah pun seperti tidak membekas karena selama 7 bulan full saya jarang praktik, selain di supermarket atau toko roti.

Datang ke Denmark, saya lagi-lagi paham kalau bahasa yang akan digunakan berbeda. Sama seperti persiapan di tahun pertama, saya tetap berusaha mempelajari sedikit bahasa lokal sebelum datang ke negara aslinya. Karena bahasa Denmark tidak terlalu ngetop di Indonesia, saya hanya mempelajari kosa kata sederhana lewat Duo Lingo. Lumayan sih, setidaknya saya tahu kalau kylling itu artinya ayam.

Dua tahun di Denmark, saya betul-betul absen menggunakan bahasa Inggris di rumah dengan para host kid. Umur si kakak saat itu masih 4 tahun dan dua adik kembarnya baru 4 bulan. Emilia, si kakak, awalnya kesal dan mengalami kesulitan berkomunikasi karena saya seperti bisu tuli. Setahun kemudian, malah saya yang paling sering mengejek-ejek dia dengan bahasa Denmark.

Saya bersyukur karena semua host parents tidak pernah memaksa saya menggunakan bahasa Inggris ke si anak. Host parents juga sangat senang saat tahu saya tertarik mempelajari bahasa lokal. Banyak kata-kata baru saya dapatkan langsung dari mereka, terutama di meja makan atau saat mereka menegur si anak. Kata-kata ini kadang saya gunakan kembali sebagai senjata saat si anak tidak mendengar omongan saya.

Satu hal yang saya suka belajar bahasa asing dengan parahost kid adalah mereka tidak pernah mengecap bahasa asing saya jelek. Mungkin awalnya si anak ini hanya "hah?" dengan raut aneh. Tapi setelahnya, mereka tidak ambil pusing dan kadang dengan baik hati membenari ejaan saya yang salah. Berbeda dengan para orang dewasa yang malas mendengar imigran berbicara salah-salah dan lebih menyarankan diganti ke Inggris saja.

Dari pengalaman ini, saya tahu, kalau kamu ingin dekat seperti teman dengan host kids, maka speak their language—meskipun patah-patah! Jangan paksa host kids untuk memahami apa yang kita inginkan. Jangan juga menyalahkan mereka yang tidak bisa berbahasa Inggris. This is our own responsibility to learn their culture and language. Katanya ingin exchange culture kan? Ya inilah saatnya untuk belajar bahasa baru.

Saya tahu, mungkin kita hanya akan tinggal selama setahun atau dua tahun di negara tersebut. Saya juga paham mungkin banyak au pair yang merasa tidak niat belajar bahasa lokal karena tidak tahu akan digunakan dimana. Tapi menurut saya, tidak ada pembelajaran yang sia-sia.

Saya sempat belajar bahasa Prancis 3 tahun lalu dan tidak tahu kapan akan menggunakannya kembali. Musim panas tahun ini, ternyata saya berkesempatan mengunjungi Prancis lagi bersama keluarga yang sekarang. Meskipun banyak kata-kata yang terlupa, tapi sedikit-sedikit saya masih bisa bertanya harga di pasar, mengeja angka, ataupun mengerti sedikit apa yang orang lokal katakan.

Sama halnya seperti bahasa Denmark yang katanya bahasa terjelek di Eropa. Saya tetap bangga mempelajarinya, meskipun dulu saya juga tidak tahu apa manfaatnya kalau harus pulang ke Indonesia. Ternyata, saya pun kembali ke Norwegia yang bahasanya mirip-mirip Danish. Satu lagi, saya juga merasa bangga bisa mengeja dan tahu sistem angkaDanish yang nobody in the North can understand, but Danes. Bahkan kalau ada kesempatan lagi, rasanya ingin meneruskan pelajaran bahasa Denmark yang terhenti sampai Modul 4 tahun lalu.

Jadi tidak salahnya mengisi waktu luang datang ke tempat kursus dan belajar bahasa baru, apalagi kalau host family bersedia membayari. Just take that chance! Lha, daripada hanya manyun dan bersih-bersih di rumah. Teman berlatih pun sudah ada, para host kid. Karena meskipun sudah belajar di sekolah, tapi saya tetap merasa kalau tutor terbaik saya selama di Eropa adalah host kids itu sendiri.

Percayalah, kamu akan bangga dengan diri mu sendiri kalau bisa menguasai bahasa asing lain selain Inggris. Plus, jadi modal juga mempercantik cv kerja. So, would you like to learn a new language when you are moving abroad?

Thursday, May 28, 2020

Tips Tinggal di Norwegia, Belajar Norsk|Fashion Style

Bahasa Norwegia (Norsk) adalah bahasa resmi yang dipakai di Norwegia dengan dua penulisan yang berbeda, Bokmål (Book language) dan Nynorsk (New Norwegian). Dua-duanya mirip secara linguistik namun pada dasarnya lebih dianggap sebagai "dialek dalam tulisan". Bokmål diajarkan dan dipakai oleh 90% populasi Norwegia, sementara Nynorsk hanya dipakai oleh 10% penduduk Norwegia di bagian barat.

Sebetulnya bahasa Norwegia bukan bahasa baru bagi saya. Layaknya bahasa Nordik yang mirip-mirip, pola tatabahasa dan penulisannya seragam dengan bahasa Denmark dan bahasa Swedia. Saya sempat belajar bahasa Denmark sampai Modul 4 dan beruntungnya hal tersebut cukup membantu saat awal berkenalan dengan host kids.

Tapi meskipun penulisan bahasa Denmark dan Norwegia sangat mirip, jangan bayangkan pelafalannya. Norsk terdengar lebih masuk akal dan cocok bagi lidah orang Indonesia. Kalau bahasa Swedia dan Norwegia intonasinya seperti orang bernyanyi, bahasa Denmark lebih terdengar seperti orang mengunyah kentang panas. Belum lagi sistem penomoran bahasa Denmark yang berbeda sendiri dan terkesan lebih tidak masuk akal, karena hanya mereka sendiri yang mengerti se-Skandinavia.

Contoh pelafalan:

Tager (Dansk) - Tar (Norsk) yang artinya mengambil, dibaca Taa' (Dansk) dan Tar (Norsk).

Haven (Dansk) - Hagen (Norsk) yang artinya kebun, dibaca Hewun (Dansk) dan Hagen (Norsk).

Toget (Dansk) - Toget (Norsk) yang artinya kereta, dibaca To' (Dansk) danToge (Norsk).

Hvorfor (Dansk) - Hvorfor (Norsk) yang artinya mengapa, dibaca Wo'foa (Dansk) dan Wurfur (Norsk)

67

Norsk : sekstisju

Svenska : sextiosju

Íslensku :sextíu og sjö

Dansk : syvogtres (tujuh dan enam puluh) - tres = 60

70

Norsk : sytti

Svenska : sjuttio

Íslensku : sjötíu

Dansk : halvfjerds (baca: helfias) ☹

Terlepas dari penulisan yang mirip dengan bahasa Denmark, saya tetap harus mulai lagi kursus Norskdari level paling dasar (A1). Sama halnya dengan bahasa Indonesia dan Malaysia, beberapa bahasa Skandinavia juga memiliki kata-kata berbeda yang memiliki makna sama. Contohnya anak perempuan, Pige (Dansk), Jente (Norsk), dan Flicka (Svenska). Meskipun memungkinkan untuk lompat level, tapi saya tetap butuh pedoman dasar untuk berlatih dengan host kids. Lagipula gol utama saya bukan untuk naik kelas saja, tapi juga belajar kosakata dan frasa paling sederhana hingga penekanan pada intonasinya.

Sistem edukasi bahasa di Norwegia bagi pendatang asing berbeda dengan Denmark. Di Denmark, keluarga angkat saya harus membayar uang muka sekitar 5400 DKK untuk biaya kursus. Setiap pendatang yang sudah mendapatkan Social Security Number sangat disarankan untuk mempelajari bahasa Denmark di berbagai sekolah bahasa, GRATIS! Hal tersebut menjadi wajib kalau pasangan kita warga negara Denmark, karena berhubungan dengan jaminan yang dibayar oleh pasangan di balai kota sebagai izin kita tinggal.

Dari suplemen belajar sampai buku pelajaran disediakan secara cuma-cuma untuk mendukung para pendatang mempelajari bahasa lokal. Sayangnya, banyak pendatang yang tidak serius belajar bahasa Denmark dan berhenti di tengah jalan. Kabar yang saya dengar, partai anti-imigran di Denmark mulai menghapuskan free Danish course tahun ini dan mewajibkan pendatang untuk membayar deposito penuh sebagai jaminan hingga tamat sampai Modul 5. Karena tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah lagi, beberapa sekolah bahasa swasta bahkan berencana tutup.

Kembali ke Norwegia, sekolah bahasa disini dikelola oleh swasta dan pribadi. Disini kita harus membayar 3000-6000 NOK per level dengan masa studi 1,5 bulan untuk kelas 2 kali per minggu. Belum lagi kita diwajibkan memiliki dua buku pengantar yang harga totalnya hampir 1000 NOK. Buku ini harus asli dan tidak boleh difotokopi.

Tapi, ada pengecualian untuk beberapa grup imigran tertentu yang bisa mendapatkan kursus dan training gratis selama 3 tahun. Salah satunya adalah pendatang yang memegang residence permit karena living together atau menikah dengan warga asli salah satu negara Nordik. Kursus ini memang lebih lama dibandingkan kursus di tempat lainnya karena tujuannya tidak hanya belajar bahasa, namun mempersiapkan para pendatang untuk tinggal lebih lama dan jadi warga negara tetap.

Sekolah bahasa di Norwegia tersebar di banyak tempat tergantung dengan kebutuhan kita. Ada kursus privat 1-1 untuk memperlancar komunikasi, ada juga institusi resmi yang memberikan sertifikat setelah masa pembelajaran. Bagusnya, hampir semua institusi dan kursus privat menerapkan kelas dengan grup kecil yang hanya membatasi 8-10 orang saja. Beberapa kenalan Filipina saya juga ada yang menyarankan ikut kursus daring gratis yang diselenggarakan oleh University of Oslosebagai pengenalan.

Khusus untuk au pair di Norwegia, keluarga angkat wajib menyubsidi iuran kursus hingga 8400 NOK per tahun. Tergantung kesepakatan apakah keluarga angkat bersedia membayar lebih atau tidak, karena seperti kasus teman saya yang hanya dibiayai satu level saja lalu keluarganya angkat tangan.

Menurut saya, sekolah bahasa di Norwegia betul-betul dijadikan lahan bisnis. Dari level A1 sampai C2 (total 600 jam) dipisah-pisah dan diberlakukan iuran khusus untuk tiap level. Selesai satu level, kita mendapatkan sertifikat yang menyatakan telah selesai mengikuti 36 jam pelajaran. Normalnya, kalau ingin mendapat permanent residence, pendatang hanya wajib menyelesaikan minimal 250 jam pelajaran atau lulus tes kecakapan oral dan tertulis minimal level A2.

Untuk tes kecakapan ini pun kita harus membayar lagi. Beberapa tempat kursus bahkan menawarkan tes prepatori yang harganya juga super mahal. Jadi ya, apa-apa diduitin hanya demi lulus tes. Selain memenuhi syarat sekolah bahasa atau lulus tes, bagi yang berminat jadi permanent residence juga diwajibkan mengambil kelas Social Studies (tentang Norwegia) sampai 50 jam atau lulus tes Social Studies dalam bahasa Norwegia.

Sebetulnya kalau hanya ingin mengejar syarat 250 jam tersebut, kita bisa mengambil kelas super intensif yang kurang dari dua tahun juga selesai. Kalau punya banyak waktu dan uang, boleh juga mengambil kelas mega intensif selama 750 jam yang sudah termasuk kelasSocial Studies. Harganya memang mencengangkan, 66.600 NOK! Tapi sudah selesai hanya dalam waktu satu tahun.

Saya sekarang sedang meneruskan level A1-2 di Alfaskolen , Oslo. Harga kursus per levelnya 4760 NOK. Saya tidak perlu membeli buku pengantar lagi karena sudah diwarisi oleh au pair sebelumnya. Tapi kalau memang ingin mencari yang murah, coba buka Finn.no , pusat jual beli barang second di Norwegia.

Untuk harga segitu, belajar di Alfaskolen termasuk mahal. Sudah untung tahun ini keluarga saya masih mau menanggung semua biaya A1 yang totalnya lebih dari 8400 NOK. Sebetulnya ada banyak tempat yang lebih murah di Oslo, seperti Caritas atau Language Champ yang sangat dekat dengan rumah. Sayangnya, jadwal yang cocok bagi saya dan keluarga hanya di Alfaskolen itu. Keluarga angkat saya juga sepertinya keberatan keluar uang lebih sampai tahun depan kalau saya ingin lanjut A2.

Saya masih sangat antusias belajar Norsk, tapi saya sendiri juga tidak tahu akan kemana setelah selesai kontrak. Kalau tidak berencana mencari kerja dan tinggal di Norwegia lebih lama, belajar bahasa lokal secara tekun sebetulnya hanya buang-buang waktu. Bahkan jika harus memilih, saya malah ingin lanjut belajar bahasa Denmark saja ketimbang Norsk. Daripada tahu banyak bahasa tapi sedikit-sedikit, lebih baik tahu sedikit tapi sangat fasih.

Sejujurnya, saya juga berpikir untuk menyerah belajar Norsk dan mengalihkan subsidi dari keluarga angkat ke hal lain saja. Di Kopenhagen, saya bisa dengan mudah menemukan kursus desain , keramik, hingga bahasa lain. Di Oslo, sudah di-googling kesana kemari, tetap tidak ada kursus kreatif yang menarik perhatian. Ada, Folkeuniversitetet dan Blank Space yang mengadakan. Tapi itupun tempatnya cukup jauh dan waktunya tidak tepat dengan jadwal host family saya .

"When you are about to give up, just try to keep doing it for fun," kata seorang teman.

Betul. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan , daripada hanya manyun di rumah, lebih baik datang ke tempat kursus sekalian cari angin segar, bertemu teman baru, dan juga melatih otak. Anyway, saya juga paham kalau sebetulnya tidak ada ilmu yang sia-sia.

Kalau kamu jadi saya, would you keep learning Norwegian just for fun?