Showing posts with label rencana au pair. Show all posts
Showing posts with label rencana au pair. Show all posts

Sunday, June 21, 2020

Tips Kuliah S2? Nanti Dulu!|Fashion Style

Saya sebenarnya salut dengan para mantan au pair Indonesia yang meneruskan kuliah di Eropa selepas masa au pair mereka berakhir. Fakta memang, bahwa au pair bisa dijadikan batu loncatan untuk tinggal di Eropa lebih lama. Antusiasme teman-teman au pair itu pun sebenarnya layak diacungi jempol karena kebanyakan dari mereka kuliah dengan uang pribadi.

Meskipun embel-embelnya kuliah di luar negeri dan memakai uang sendiri, namun jangan salah, banyak juga dari mereka yang bukanlah dari keluarga golongan kaya. Kemauan mereka yang gigih serta tekad yang kuat untuk tetap tinggal di Eropa, membuat mereka rela sekolah sekalian kerja banting tulang mencukupi kehidupan sehari-hari. Berat memang. Namun banyak juga yang beruntung mendapatkan dukungan ethical dan finansial luar biasa dari keluarga di Indonesia.

Lalu saya sendiri, apa tidak niat meneruskan kuliah Master di Eropa?

Sejujurnya, sangat niat. Dulu, sebelum kenal au pair, tinggal dan menempuh pendidikan di luar negeri adalah impian saya sejak lama. Saat masih berumur eleven tahun, saya bahkan sudah bermimpi untuk SMA ataupun kuliah di Jepang.

Setelah lulus dari Universitas Sriwijaya, saya pun kembali mencari cara bagaimana bisa keluar negeri sekalian studi. Tapi karena IPK pas-pasan dan bahasa Inggris masih berantakan, akhirnya saya batalkan rencana tersebut. Niatnya saat itu memang mencari beasiswa. Tapi sudahlah, saya tahu diri karena saingannya lebih hebat-hebat.

Pindah ke Eropa dan tinggal selama beberapa tahun, membuat saya tahu bahwa kuliah di luar negeri sangat possible meskipun IPK dan bahasa Inggris pas-pasan. Banyak kampus di Eropa yang menawarkan uang kuliah yang murah hingga gratis. Syaratnya, kita mesti ikut kelas berbahasa lokal seperti yang ada di Belgia, Belanda, Prancis, Jerman, ataupun Finlandia.

Banyak teman-teman au pair yang malas pulang ke Indonesia, akhirnya lanjut kuliah di Eropa karena memang kesempatannya sangat terbuka dan ada. Lalu, apakah saya tidak tergiur untuk kuliah juga dan stay di Eropa lebih lama?

Sayangnya, tidak. Ada beberapa alasan yang akhirnya membuat saya mengurungkan dulu niat melanjutkan Master meskipun kesempatannya terlihat ada.

1. Kuliah itu melelahkan

Saya tidak pernah bosan belajar, bahkan selalu terbuka dengan ilmu-ilmu baru. Tapi saya sempat mengalami naik turun saat S1 dulu karena salah jurusan. Kuliah itu full teori. Belum lagi S2, semakin mendalami teori. Kalau harus melanjutkan kuliah hanya karena ingin tinggal di Eropa lebih lama, saya rasa akan buang-buang waktu saja. Kecuali saya kuliah untuk mendalami bidang tertentu yang berhubungan dengan profesi, why not?

Lagipula, bukankah tujuan akhir dari kuliah itu juga ujung-ujungnya mencari pekerjaan? Enak, kalau dia kuliah memang ingin mendalami bidang tertentu yang menunjang profesi yang sudah dimiliki atau akan dimilikinya. Just go for it!Lha, kalau masih meraba-raba seperti saya?

Saat berkencan dengan Bunny , seorang cowok Denmark, saya ada di posisi ketika dia sedang sibuk mengerjakan tesis. Selesai tesis, doi pun harus berada lagi di masa-masa mencari pekerjaan, membuat cv dan cover letter yang berbeda, mencari lowongan, lalu mengirimkan surat lamaran. "That's the most boring process!" katanya.

Belum lagi persiapan wawancara, ditolak sana-sini, hingga akhirnya tetap terus berusaha mencari. Doi sudah dapat pekerjaan sekarang, meskipun bukan pekerjaan yang sesungguhnya dia harapkan.

Jadi intinya, kuliah itu capek. Belum lagi lulusnya, masih stres harus cepat dapat pekerjaan.

2. Saya sudah berniat independen

Ibu saya sebenarnya sudah berniat menyekolahkan saya lagi sampai S2 di Indonesia. Namun saya katakan tidak. Bagi saya, kewajiban beliau menyekolahkan cukuplah hanya sampai S1 saja. Terima kasih banyak. Terlalu banyak beban yang beliau sudah tanggung di rumah. Saya ini belum bisa menghasilkan apa-apa, masa iya ingin minta duit disekolahkan lagi.

Makanya saat wisuda S1, saya katakan ke ibu, kalaupun harus lanjut S2 lagi, saya tidak ingin pakai uang sendiri atau merepotkan orang lain. Setidaknya harus beasiswa, agar saya bisa fokus belajar tanpa stres mencari uang kesana kemari. Sudah tidak fokus, kecapekan, yang ada belajar tidak maksimal. Belajar itu tidak mudah dan fokusnya bukan foremost, lho.

Three. Tujuan S2 itu untuk apa?

Jujur, kalau saya S2 hanya untuk menambahkan gelar atau takut pengangguran, saya tidak usah capek-capek mengejar gelar tersebut. Bagi saya, kuliah S2 akan dirasa penting jika memang profesi impian membutuhkan ilmu yang tinggi, contohnya menjadi dosen ataupun hakim. Lagipula, kebanyakan tempat kerja sebenarnya lebih mempedulikan pengalaman kerja ketimbang titel yang sudah disahkan di selembar kertas.

Banyak juga teman-teman saya yang dapat posisi bagus di Google, Momondo, ataupun Bjarke Ingels Group (BIG) karena pengalaman kerja mereka yang oke. Kebanyakan dari mereka juga hanya sekolah hingga S1 saja.

Di Eropa, banyak juga lapangan pekerjaan yang mencari orang-orang dengan skill dan pengalaman kerja tinggi tanpa harus memenuhi kualifikasi Master dulu. Anak-anak muda di Denmark pun baru mulai kuliah S1 saat mereka berumur 25 atau 27 tahun, tapi hebatnya sudah pernah magang dan kerja dimana-mana selepas SMA.

Lagi-lagi, saya belum melihat apa guna tujuan melanjutkan S2 untuk saya ke depannya.

Four. Pendidikan yang tinggi akan membuka banyak kesempatan pekerjaan

Tentu saja! Tapi tunggu dulu, di Indonesia itu ada banyak sekali lulusan S2, apalagi di luar negeri. Teman saya, Ieva, sudah hampir 9 tahun tinggal di Denmark lalu menyelesaikan kuliahnya hingga S2. Karena jurusannya terlalu mainstream, Internasional Business, jadi doski pun mesti saingan dengan para orang lokal ataupun orang asing pencari kerja lainnya. Padahal doski lancar bicara 3 bahasa asing, lho. Sempat stres tidak kunjung dapat pekerjaan yang oke, akhirnya Ieva memilih pulang ke negara asalnya di Latvia.

Semakin tinggi gelar, biasanya akan tinggi juga ekspektasi terhadap posisi dan gaji. Boleh memang. Tapi kalau cuma lulus saja sih gampang. Yang sulit itu, bagaimana menjadi lulusan S2 yang berkompeten, pandai dan cerdik menghadapi pasar, lalu bisa menyumbangkan ide dan kontribusinya ke tempat kerja.

5. Mending jadi pelajar ketimbang au pair

Oke, jadi pelajar di Eropa statusnya jelas, "pelajar". Bisa dapat diskon pelajar kemana-mana. Kalau ditanya sedang apa di Eropa, jawabnya enak dan dipandang keren, "sedang studi". Ruang lingkup pertemanan pun luas dan intelektual. Meskipun harus dikejar deadline tugas dan ujian, namun student life sebenarnya sangat "aman" dan seru. Menjadi pelajar di Eropa juga membuka kemungkinan jika setelahnya lulus, bisa bekerja disana atau negara maju lainnya. Meskipun sih, peluang ini juga tidak besar.

Tapi bagi saya, tidak ada yang salah juga dengan rencana orang untuk memutuskan jadi au pair. Au pair itu santai. Makan dan tempat tinggal gratis. Hari libur dan waktu senggang banyak. Dikejar deadline? No. Uang saku, tiap bulan dikasih. Sekolah, tetap. Au pair juga punya ujian, tugas, dan ruang lingkup pertemanan di sekolah dan komunitas—bagi yang berjiwa sosial. Au pair pun memiliki kesempatan saat free time untuk travelling, bersosial, ataupun sekedar leye-leye sehabis mengurus rumah. Tetap seru juga kan?

Saya sebenarnya sudah pernah mencoba mengirimkan berkas beasiswa ke salah satu kampus di Cina jurusan Media & Komunikasi—bukan Eropa malah. Kuliahnya hanya satu tahun, berbahasa Inggris, kampus internasional, dan lokasinya di Suzhou. Saya diterima bersyarat, karena nilai IELTS saya belum memenuhi kualifikasi jurusan. Mereka memberikan batas waktu apakah saya ingin tes IELTS lagi atau ikut kursus intensif disana.

Semakin dipikir, dipikir, dipikir lagi, ternyata saya menemukan jawaban bahwa tujuan saya selanjutnya bukan untuk studi. Ketimbang menghabiskan waktu di bangku kuliah, saya lebih prefer mencari lapangan pekerjaan atau dream job yang sesuai passion. Saya juga percaya diri kalau sebenarnya saya mampu menemukan pekerjaan di Indonesia tanpa memiliki gelar pendidikan yang selevel S2.

Impian saya pun tidak neko-neko lagi. Tuhan sudah mengabulkan mimpi saya untuk tinggal dan belajar di luar negeri. Jadi, kalau memang tidak ada kesempatan tinggal lebih lama, saya tidak takut untuk pulang ke Indonesia.

Kalaupun ingin stay di Eropa lebih lama, saya tidak ingin kuliah tapi bekerja. Kalaupun harus kuliah lagi, saya sudah berniat untuk mengambil fakultas desain hanya untuk menambah ilmu saja. Eh tapi, ilmu desain juga tidak harus dipelajari lewat bangku formal. Banyak sekali desainer yang belajar otodidak lewat komputer mereka. So, memang tidak ada alasan kuat kan mengapa saya harus lanjut S2? (;

Tips Hah, Jadi Au Pair Lagi?!|Fashion Style

"Mau sampai kapan?"

"Belum wisuda juga jadi pengasuh anak, Nin?"

"Gils! Kuat deh jij!"

Begitu tanggapan beberapa orang teman setelah tahu rencana saya untuk jadi au pair lagi di Norwegia. Tak tanggung-tanggung, langsung teken kontrak selama dua tahun!

Saya sebenarnya sudah eneg jadi au pair. Bukan apa, pekerjaan yang statis menyangkut anak-anak dan rumah tangga, membuat saya sebenarnya sudah menyerah di tahun ketiga. Setelah melewati tahun pertama di Belgia dan dua tahun di Denmark, kadang saya terus-terusan berpikir, apalagi yang akan saya cari di Eropa. Pengalaman, sudah. Jalan-jalan, sudah tiap bulan. Uang, sudah lumayan untuk tabungan. Lalu?

Keputusan untuk jadi au pair lagi ini pun sebenarnya tidak ada dalam rencana besar saya sebelumnya. Karena beberapa orang teman ada yang sudah menetap di Bali, saya sudah mantap sekali ingin menyusul mereka dan mencari kerja saja di Pulau Dewata. Belum tahu ingin kerja apa, tapi setidaknya di pikiran saya sudah tidak ada lagi keinginan untuk stay di Eropa.

Tiket ke Denpasar dari Palembang pun hampir saja saya book meskipun masih tinggal di Denmark. Niat saya saat itu memang sudah kuat untuk settle down di negara sendiri. Toh, saya tetap percaya diri dengan kemampuan yang sudah saya miliki.

Tiga minggu sebelum pulang ke Indonesia, saya iseng-iseng mengaktifkan kembali profil au pair di Energy Au Pair. Tidak hanya itu, saya juga mencoba mengirimkan beberapa cv ke perusahaan penerbangan di Timur Tengah diluar pekerjaan menjadi pramugari. Seperti para pencari kerja umumnya, semua cv saya ditolak.

Mengingat profil di Energy Au Pair juga sudah aktif kembali, setiap minggu setidaknya ada 8 hingga 10 profil keluarga angkat yang dikirimkan ke saya. Dasar memang niatnya tidak ingin jadi au pair lagi, hampir semua profil pun saya tolak. Total lebih dari 20 profil keluarga angkat, saya hanya tertarik dengan 6 keluarga.

Lucunya, dari 6 profil itu pun, hanya 2 keluarga yang juga tertarik pada saya. Hingga akhirnya, cuma satu keluarga yang benar-benar ingin interview via Skype. Dang! What should I do?! Bukankah niat saya hanya iseng?

"Just do your best, Nin," kata Adel, seorang teman au pair.

"Jangan kepedean dulu. Ini baru tahap wawancara. Tidak usah banyak ekspektasi dan be yourself saja," saran Anggi, seorang teman mantan au pair yang menetap di Bali, ketika tahu saya mulai ketar-ketir.

Singkat cerita, si ibu yang kala itu mewawancarai saya, sangat terkesan dan ingin secepatnya mengundang saya ke Oslo. Padahal seminggu lagi adalah jadwal keberangkatan saya ke Indonesia. Tapi si keluarga ini tetap kekeuh ingin mengundang untuk satu malam sekalian berkenalan dengan anak, anjing bernama Pia, serta au pair mereka yang sekarang.

Menurut saya, keluarga yang sangat niat mendatangkan calon au pair ke rumah mereka, sudah bisa dipastikan akan menerima au pair tersebut. Meskipun perasaan saat itu masih kalut, tapi tetap saya penuhi saja undangan mereka ke Oslo. Gratis juga ini, sekalian jalan-jalan. Soal diterima atau ditolak, bisa dilihat nanti.

Lalu, benar saja, setelah menginap di rumah mereka dan esok paginya diajak minum kopi di kafe,....

"Nin, my husband and I already talked last night, we like you blablablaaa..."

Nah lho!

"Just take your time to think first. Semua keputusan ada di kamu, tapi kita sangat berharap kalau kamu bisa menjadi bagian dari keluarga kami tahun depan," kata si ibu menutup obrolan di bandara siang itu.

Satu minggu setelah pulang dari Indonesia, akhirnya saya mantap memutuskan untuk menjadi bagian dari keluarga mereka. Sejujurnya, tawaran dari keluarga di Oslo ini cukup menggiurkan. Bukan hanya soal uang saku, tapi juga pengalaman yang akan mereka hadiahkan. Anak dan anjing mereka yang lucu dan jinak, lokasi rumah yang berada di sentral kota, serta kelembutan keluarga ini, membuat saya juga menyukai mereka.

Memang, lagi-lagi saya akan berkutat dengan urusan anak dan rumah tangga, lagi-lagi saya akan jauh dari keluarga, lagi-lagi saya akan kesepian dan terpaksa harus mengulang bersosialisasi dengan teman baru. Namun, selagi masih muda, saya rasa, kembali ke Eropa bukanlah hal yang akan sia-sia.

Then again, the decision has made. Semoga ini yang terbaik.

Monday, June 15, 2020

Tips Au Pair: Cewek Muda Serba Bisa|Fashion Style

Suatu hari, seorang cewek muda Indonesia memiliki niat dan mimpi besar melihat dunia tapi terkendala biaya. Dia tahu betul dirinya bukan orang kaya, pun bukan orang pintar yang bisa sekolah tinggi ke Eropa lewat bantuan beasiswa. Benua biru ini masih ada dalam waiting list-nya, hingga suatu ketika dia menemukan satu jalan ke Eropa dengan menjadi au pair.

Tentu saja au pair bisa mengantarkannya menuju benua biru tanpa butuh dana besar. Namun, au pair yang sejatinya cultural exchange tidak segampang sledding di atas salju tanpa perlu usaha maksimum.

Si cewek muda ini sebetulnya tidak tahu bahwa dunia menyenangkan au pair justru bisa berbuah rasa sakit hati yang menimbulkan rasa trauma. Si cewek muda ini pun belum tahu kalau au pair bersifat sama-sama menguntungkan. You get Europe, they get a clean house.

Au pair memang bisa mewujudkan mimpi mu ke Eropa dan melihat dunia, tapi kamu juga harus tahu bahwa ada hal yang harus kamu tukar dari mimpi mu itu. There is no such a free thing!

Kalau ada yang mengatakan kita datang jauh-jauh ke Eropa hanya untuk jadi pembantu, please shut their mouth up! Au pair itu cewek muda luar biasa yang memiliki fleksibilitas tinggi dan energi pantang kendur!

Karena au pair itu juga...

1. Petugas bersih-bersih

Dari mulai vacuuming, mengepel, lap kaca, buang sampah, dan bersih-bersih dapur yang sampai ada kadar kebersihan sendiri-sendiri di tiap rumah, lho! Jangan remehkan bersih-bersih ini, karena kalau keluarga kamu termasuk super perfeksionis, ada sehelai rambut jatuh di lantai bisa saja disuruh vakum ulang.

2. Asisten rumah tangga

Karena au pair adalah asisten di rumah, kamu dirasa lebih tahu dimana letak barang-barang si keluarga yang kadang kamu sendiri juga tidak pernah melihatnya. Dimana kaos kaki si ini, dimana chargeran si emak, dimana kamu letakkan si piring, dimana kamu taruh baju yang gambarnya itu. Well, you have a big responsibility of their house!

Three. Koki

Beberapa keluarga biasanya mewajibkan au pair menyiapkan makan malam setiap hari. Saya contohnya. Tahu kan kalau selera orang Eropa dan Asia itu tidak sama? Banyak juga au pair yang sebenarnya tidak pintar memasak untuk orang lain. Saya lagi contohnya.

Kalau kamu suka memasak, ya silakan. Bad side-nya, kamu yang potong bahan, kamu yang masak, kamu juga yang beres-beres setelah makan malam. See, you are even more than a cook!

Four. Supir

Teman saya jadi supir si host kids setiap hari karena memang dia diwajibkan antar jemput anak ke sekolah, tempat kursus, atau melakukan aktifitas lainnya. Bagi dia, antar jemput anak itu cukup melelahkan dan membosankan. Apalagi dia tahu, selain merangkap jadi supir, dia kadang juga mesti belanja dan membawa barang belanjaan masuk dan keluar mobil lagi.

Five. Nanny

Para au pair sebetulnya tidak memiliki basic training sebagai pengasuh bayi dan anak, tapi mereka belajar dari pengalaman mengasuh anak si keluarga yang masih balita. This is not easy, girls. Ganti popok, menimang, hingga memandikan balita butuh fokus yang ekstra. Faktanya tidak semua au pair bisa mentolerir bau eek si bayi atau muntahan anak.

6. Petugas kebersihan hotel

Selain tukang bersih-bersih rumah, kamu juga lebih mirip petugas kebersihan resort yang mesti membersihkan rest room, susun baju, menyetrika, dan mengganti sprei setiap minggunya.

7. Guru TK

Sebagai au pair, kita juga dituntut untuk selalu tersenyum ria setiap hari. Bermain bersama, menggambar, menyanyi, berdansa, membuat sesuatu dari kertas, pokoknya harus selalu aktif setiap waktu. Jangan biarkan anak-anak sibuk dengan iPad atau tontonan saja.

Seriously, I'm fed up somehow! Karena setiap hari ketemu host kids, wajar jika kebanyakan au pair bosan, jenuh, eneg, dan tidak mood bermain dengan si anak. I want to choke my host kids sometime! Hah!

8. Pengasuh bagi penyandang cacat

Tidak semua keluarga memiliki anak normal. Beberapa keluarga juga ada yang concern memiliki au pair untuk anaknya yang disability dan butuh perhatian khusus. Lalu, kamu pikir ini gampang? No way! Kamu harus bantu dia makan, menyuapi, menggendong, atau memandikan si anak. Mengasuh anak berkebutuhan khusus sama dengan mengurus bayi, it takes full of attention and timing.

9. Anak SMP

Sekali lagi, karena kamu tinggal dengan keluarga angkat, kamu harus menjaga sikap agar selalu terlihat seperti anak baik-baik di rumah. Kadang ada saja keluarga yang mengunci pintu hingga jam 10 malam dan tidak membiarkan au pairnya masuk kalau pulang kemalaman. Atau kamu juga harus minta izin dulu jika ada teman yang ingin menginap dan masak-masak. Lalu minta izin lagi setiap keluar rumah, lalu kadang minta izin lagi bolehkah mengambil makanan di kulkas.

10. Kakak tertua

You are the boss! Tapi ini juga salah satu tanggung jawab kamu yang mesti mengingatkan si anak untuk tidur, stop bermain iPad, menjadwalkan waktu nonton TV, ataupun menjaga si anak kalau sedang sakit. Kamu adalah tangan ketiga yang membantu mengawasi anak jika orang tua mereka sedang tidak di rumah. Plus, menjaga dan mengajak anjing jalan jika dibutuhkan.

Eleven. Keluarga

Well, after all, a great host family would be so happy having you as their family. Mereka adalah keluarga yang melindungi, memperhatikan, dan juga peduli dengan waktu libur dan kehidupan kamu selama tinggal di rumah mereka. But wait! Keluarga itu harusnya tidak banyak meminta kan ya? Ya itu, jangan banyak minta meskipun kamu dituntut untuk selalu fleksibel dengan waktu, inisiatif, dan tenaga.

Saat kencan dengan seorang cowok, doi nanya kenapa saya mau jadi au pair. Dia bahkan menilai au pair tidak lebih dari cheap labour semata. Doi sebenarnya tidak berusaha menjelekkan profesi saya sebagai au pair. Hanya saja dia miris dengan banyaknya tugas au pair yang merangkap sebagai "apapun", namun hanya diganti dengan pocket money yang kecil dan tempat tinggal.

He is obviously right, but in another case, he is also wrong. Kita jadi au pair bukan untuk uang. Kita menukarkan mimpi datang ke Eropa, dapat tempat tinggal, makan enak, hingga bisa menabung, karena kita juga paham tidak ada sesuatu yang gratis. Tidak usah terlalu memikirkan uang yang sedikit, kalau memang sudah dihadiahihost family yang baik.

Just be proud eventually you're coming to Europe!

Tuesday, June 2, 2020

Tips Rencana Eks-Au Pair Setelah Au Pairing|Fashion Style

Satu atau dua tahun bukanlah waktu yang lama jika masa au pairing mu sangat menyenangkan. Terlebih lagi biasanya beberapa bulan sebelum kepulangan ke Indonesia, kita sudah punya banyak teman akrab atau someone special yang rasanya sedih sekali untuk ditinggal. Tapi tiket pulang sudah di tangan dan waktu kepulangan ke Indonesia tinggal sebentar lagi.

Lalu apa yang akan dilakukan eks-au pair ini setelah masa au pairing mereka di Eropa? Beberapa teman au pair biasanya sudah memiliki beberapa rencana yang akan mereka lakukan selepas belajar dan bertukar budaya selama setahun disana.

1. Kembali ke Indonesia dan melanjutkan kuliah yang tertunda

Beberapa eks-au pair yang tujuannya mendalami bahasa asing, biasanya sengaja stop out dulu dari kuliah demi jadi au pair. Selepas masa au pair mereka selama satu tahun di Eropa, tentunya sudah berbekal pengalaman dan juga kemampuan bahasa asing yang lebih baik. Hal ini pastinya akan dilakukan para eks-au pair yang masih berstatus mahasiswa.

2. Kembali ke Indonesia dan mencari pekerjaan di tanah air

Au pair merupakan salah satu kesempatan yang luar biasa menyenangkan karena bisa tinggal di luar negeri dan bertukar budaya dengan keluarga angkat. Pengalaman berharga yang dirasakan akan terus membuka pikiran kita untuk berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Namun cukup untuk satu atau dua tahun menjadi au pair, beberapa eks-au pair memutuskan untuk mencari pekerjaan di Indonesia saja. Berbekal bahasa asing selain bahasa Inggris, skill ini dapat mereka 'jual' ke perusahaan atau masyarakat nantinya. Banyak juga eks-au pair yang bahkan menjadi guru les bahasa asing atau membuka usaha bisnis sendiri bermodalkan tabungan sewaktu menjadi au pair.

Three. Kembali ke Indonesia dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi

Saya banyak bertemu dengan teman-teman au pair yang mulai mendapatkan residence atau work permit pertama mereka tepat setelah lulus sekolah menengah. Ada juga teman au pair yang sudah sempat bekerja di Indonesia, namun belum menyandang gelar sarjana. Semangat teman-teman eks-au pair ini untuk sekolah lagi patut diacungi jempol karena biasanya mereka akan menabung selama di Eropa untuk bekal melanjutkan S1 atau S2 di Indonesia.

4. Kembali ke Indonesia untuk mengurus berkas-berkas sekolah di luar negeri

Beberapa teman saya yang dulunya juga pernah jadi au pair di Belanda, memang sengaja jadi au pair lagi di Belgia untuk sekolah disana. Ada juga eks-au pair yang pindah negara dari Jerman ke Austria karena memang berkeinginan melanjutkan kuliah di salah satu negara tersebut setelah masa au pair mereka. Hal ini biasanya akan direncanakan oleh beberapa eks-au pair yang sudah pernah jadi au pair lebih dari satu kali.

Sekilas info, biaya kuliah S1 di KU Leuven (Belgia) untuk kelas bahasa Belanda hanya €800-1900 pertahun. Sementara untuk universitas lain di Belgia biayanya ada yang lebih mahal. Teman saya yang akan melanjutkan sekolah di Belgia tahun ini, memang juga mengatakan kalau dibandingkan Belanda, biaya kuliah di Belgia jauh lebih murah. Karena kelas bahasa lokal biaya kuliahnya memang lebih murah, kemampuan bahasa Belanda level B2 (upper-intermediate) harus sudah dikuasai. Seorang teman yang baru tahun kemarin jadi au pair, akhirnya masuk kelas bahasa Belanda intensif agar cepat naik level. Sementara untuk kelas pengantar bahasa Inggris sendiri harganya bisa €3500 pertahun.

Sama halnya juga dengan biaya kuliah di Jerman yang terkenal murah se-Eropa Barat. Teman saya ini sengaja mati-matian belajar bahasa Jerman agar bisa melanjutkan studi S2-nya disana. Namun semua teman eks-au pair ini memang bukan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya. Mereka harus membayar sendiri semua biaya selama mereka berada disana. Salah satu syarat merepotkan bagi siswa internasional yaitu mereka harus memiliki jaminan sekitar ?8600 pertahun yang akan diendapkan sebagai deposit. Deposit ini untuk memastikan bahwa mereka bisa tinggal, menyewa kamar, dan makan selama masa studi mereka.

Uang deposit ini bisa dihilangkan dari salah satu syarat mendaftar kalau ada sponsor yang bersedia menjamin kita selama disana. Seorang eks-au pair pernah mendapatkan sponsor dari keluarga angkatnya di Denmark untuk melanjutkan studi S2-nya. Teman-teman saya lainnya juga pernah mencoba 'merayu' keluarga angkat mereka untuk memberikan surat sponsor ini. Namun sayangnya hal tersebut tidak mudah karena sangat sedikit sekali keluarga yang mau direpotkan soal surat jaminan ini.

Four. Kembali ke Indonesia dan mengurus visa baru ke negara lain

Saya pernah bertemu dengan dua orang au pair asal Filipina yang ternyata ini adalah tahun keempat mereka menjadi au pair. Sebelumnya mereka pernah menjadi pengasuh anak di Belanda selama setahun, dua tahun berikutnya di Denmark, lalu tahun ini di Belgia. Bahkan mereka juga berkeinginan jadi au pair lagi di Norwegia, Perancis, bahkan Amerika nantinya!

Lalu apa yang benar-benar mereka cari selama proses au pairing ini sendiri? Kenapa begitu seringnya berpindah-pindah tempat demi jadi au pair? Bukankah itu sama saja 'merendahkan' konteks au pair itu sendiri ya?

Namun berbeda dengan para TKW dari Indonesia yang kebanyakan sekolah menengah, biasanya au pair dari Filipina ini justru lulusan S1 bahkan S2 lho! Intinya mereka adalah orang-orang yang well educated. Lalu apa motivasi mereka datang jauh-jauh ke Eropa hanya jadi tukang bersih-bersih? Yang saya tahu, mereka sangat sadar negara mereka masih berkembang dan kesempatan bekerja dengan gaji yang layak sangatlah terbatas. Untuk itulah mereka datang ke negara-negara maju untuk mengubah nasib, walaupun itu hanya sebagai tukang bersih-bersih atau pengasuh anak. Dilihat dari sini, tentu saja alasan mereka adalah uang.

Bukannya ingin menjelek-jelekkan salah satu bangsa, namun faktanya orang Filipina yang jadi au pair memang merupakan orang yang sangat giat bekerja. Dibandingkan orang Indonesia yang lebih suka menghabiskan days off berkumpul bersama teman atau belanja-belanja cantik di chain stores, para au pair Filipina biasanya tetap bekerja di tempat lain saat hari libur walaupun sudah tahu hal itu ilegal. Oh ya, para au pair ini pun hampir sama dengan orang Indonesia yang akan mengirimkan uang hasil kerja keras mereka ke kampung halaman. Walau sudah melanggar konteks au pair sebenarnya, namun au pair yang pindah-pindah negara ini tujuannya memang untuk membantu perekonomian keluarga di rumah.

Lalu bagaimana dengan au pair dari Indonesia sendiri? Seperti yang saya jelaskan di atas, au pair dari Indonesia yang memutuskan untuk jadi au pair lagi biasanya memiliki keinginan untuk mendalami bahasa asing demi meneruskan studinya di negara tersebut. Atau bisa jadi memang salah satu tujuannya adalah making money dan belajar. Kehadiran someone special juga bisa jadi salah satu faktor mengapa setahun dirasa belum cukup sehingga tetap harus kembali mengejar cinta. Hasseekkk..

5. Memperbarui visa living together

Tanpa pulang ke Indonesia, biasanya eks-au pair akan mengupayakan memperbarui visa ini di negara au pairing mereka. Mereka yang akan mengupayakan mendapatkan visa living together biasanya dibarengi dengan hadirnya seorang pacar berkewarganegaraan negara tersebut. Saya mengenal dua orang eks-au pair yang berhasil mendapatkan visa living together sehingga bisa tinggal lebih lama di Eropa. Tentunya syarat utamanya adalah kalian punya pacar berkebangsaan negara tersebut, sudah kenal cukup lama (minimal 2 tahun), dan tentunya berkeinginan tinggal bersama di satu atap tanpa ikatan pernikahan (visa yang diperbarui akan berbeda jika tujuannya menikah). Mendapatkan visa ini juga tidak mudah, karena seorang teman asli Belgia pernah mengaku kalau permohonan visa si pacar sempat ditolak.

Itulah rencana-rencana yang biasanya eks-au pair akan lakukan selepas masa au pairing mereka. Walaupun kampung halaman menyimpan sejuta kenangan dan lapangan pekerjaan, keinginan untuk sekolah atau menetap luar negeri merupakan salah satu keinginan terbesar eks-au pair setelah berhasil menginjakkan kaki di Eropa. Masalah di Indonesia yang cukup pelik, moda transportasi yang belum semaju negara-negara di Eropa, bahkan bagusnya kurikulum perkuliahan di Eropa merupakan salah satu alasan-alasan klasik mengapa biasanya eks-au pair belum bisa meninggalkan benua biru ini.

Namun banyak juga eks-au pair yang cukup yakin dengan tanah air sehingga lebih memilih pulang dan berkarya di Indonesia. Pengalaman berharga selama di Eropa tentunya akan menjadi salah satu pelajaran terbaik yang dapat mengembangkan potensi serta memperkuat intellectual mereka untuk terjun di masyarakat.

Monday, June 1, 2020

Tips Gaji Au Pair, Sepadan kah?|Fashion Style

Dikarenakan perlakuan host family yang suka semena-mena terhadap au pair, banyak gadis muda asing terpaksa harus bekerja overtime. Sayangnya, sifat mean keluarga angkat ini membuat au pair bekerja lebih lama dari kontrak, tapi tetap dibayar denganpocket money minimum. Unfair?

Iya. Pergeseran makna au pair yang disamaratakan dengan pembantu internasional murah, tentunya membuat banyak pihak merasa program pertukaran budaya ini tak lain hanyalah perbudakan. Kerja berjam-jam namun hanya dibayar 450 Euro, misalnya.

Tapi tunggu dulu, tidak semua host family memperlakukan au pair dengan tidak adil. Banyak keluarga yang sangat patuh terhadap regulasi dan mau menghadiahi au pair mereka dengan pengalaman berharga. Makanya sebelum bicara soal gaji kecil atau cheap labour, mari kita bahas lagi program au pair ini.

Apa itu au pair?

Au pair adalah gadis muda internasional berusia 18-30 tahun yang datang ke negara asing, tinggal bersama keluarga angkat, dan "bekerja" sebagai domestic helper atau asisten rumah tangga. Tujuan utama program ini sebenarnya pertukaran budaya selama au pair tinggal dengan host family. Sebagai ganti akomodasi dan makan "gratis", au pair membantu pekerjaan rumah tangga ringan dan mengasuh anak keluarga tersebut selama 4-6 jam per hari.

Pertukaran budaya seperti apa?

Seorang au pair mengeluh ke saya karena pekerjaan rumah tangga dia lebih banyak ketimbang exchange culture-nya. Saya tanya, pertukaran budaya seperti apa yang dia inginkan? Dia bingung.

Bagi saya, pertukaran budaya itu sama dengan integrasi dan transisi ke kehidupan modern Eropa. Selama tinggal dengan host family, kita diajak untuk mengenal kebiasaan keluarga lokal, makan makanan khas lokal, melihat parenting style mereka, serta ikut merayakan tradisi Natal yang berbeda-beda di tiap negara.

Satu lagi, kalau host family bersedia membayari saya kursus bahasa lokal, artinya mereka sudah berupaya mengenalkan bahasa mereka agar saya secepatnya bisa berintergrasi dengan negara tersebut.

Yang saya tahu, pertukaran budaya memang begitulah sifatnya. Kalau kamu ikut program exchange culture di salah satu tempat kursus di Indonesia, untuk mendapatkan pengalaman seperti ini tidak gratis. Justru kitalah yang harus membayar ke penyelenggara tersebut agar dicarikan host family dan bisa tinggal untuk jangka waktu maksimum 3 bulan.

Kewajiban au pair

Karena host family sudah menyediakan tempat tinggal, makan, uang kursus, serta beberapa fasilitas lainnya secara gratis, au pair wajib membantu pekerjaan rumah tangga yang sifatnya ringan seperti vakum lantai, mengepel, lap debu, ganti sprei, bersih-bersih WC, cuci piring (di mesin), cuci baju (di mesin), masak, mengasuh anak, antar-jemput anak, dan pekerjaanbasiclainnya.

Host family yang baik tidak akan memanfaatkan au pair mereka dengan mudah hanya karena sudah membayar mahal. Di beberapa negara, contohnya Denmark, au pair dianggap bukanlah sebuah pekerjaan melainkan program pertukaran budaya ataustudy-internship. Karena sifatnya tidakfull time dan fleksibel, au pair bisa disamakan dengan pelajar yang bekerja paruh waktu selama 20-35 jam per minggu.

Gaji au pair kecil

Karena banyak negara yang tidak menganggap au pair sebagai pekerjaan, maka uang yang diberikan host family pun bukan dinamakan gaji, tapi uang saku atau uang jajan bulanan. Uang saku ini memang terlihat kecil, tapi sejujurnya cukup dan sudah disesuaikan dengan biaya hidup di negara tersebut.

Di Belgia, saya menerima 450 Euro perbulan. Di Denmark tahun 2015, 4000 DKK (sebelum pajak). Sementara di Norwegia, saya menerima 5600 NOK (sebelum pajak).

What?! Hanya 4000 DKK per bulan? Memangnya cukup?

Orang awam harus tahu, 4000 DKK (2015) bagi au pair di Denmark sejujurnya cukup! Di Skandinavia, au pair juga diwajibkan membayar pajak yang akan dipotong dari uang saku bulanan. Karena harus bayar pajak pula, saya hanya mendapatkan sekitar 3400 DKK per bulan. Tahun lalu, teman saya menerima 4150 DKK bersih tanpa potong pajak karena sudah ditanggung pihak keluarga.

Hanya 3400 DKK per bulan lalu kerja selama 6 jam?! Kamu cheap labour! Harusnya pekerjaan dihitung per jam.

All-in

Orang awam tahunya au pair di Denmark hanya menerima uang saku 4250 DKK per bulan (2018). Bagi mereka, uang saku tersebut jauuuuh dari kata cukup karena harusnya host family membayar lebih.

Oke, sekarang begini, mari kita lihat lagi syarat jadi au pair. Perlu gelar kah? Perlu skill yang mumpuni kah? Perlu bahasa asing berlevel advanced kah? Tidak kan?

Bisa dikatakan, au pair itu pekerjaan part-time yang statusnya kita samakan dengan unskilled job. Karena saya pernah tinggal di Belgia, saya contohkan dari negara ini. Au pair disini menerima 450 Euro per bulan tanpa pajak.

Di Belgia, pekerjaan uneducated seperti cleaning, babysitting, pelayan, atau bartender biasanya dibayar 10 Euro per jam. Peraturan di Belgia memperbolehkan au pair bekerja selama 20 jam per minggu atau sama dengan 80 jam per bulan. Karena kadang mestiovertime, katakan saja 90 - 100 jam. Artinya, au pair "harusnya" dibayar 900 - 1200 Euro per bulan atau setara dengan gajiunskilled job lainnya di atas.

Tapi, kita harus ingat, pekerjaan seperti cleaning lady atau pelayan kafe itu live-out alias mereka tidak tinggal dengan host family. Artinya, dari gaji 900 - 1200 Euro per bulan itu mereka tetap harus sewa apartemen, beli bahan makanan, bayar transportasi, tabungan untuk jalan-jalan, hingga harus bayar pajak sendiri.

Di Belgia, untuk menyewa satu kamar kecil saja sangat sulit dan tidak murah. Kalau kamu pelajar, satu kamar di student housing tanpa kamar mandi dalam paling murah disewakan sekitar 450 Euro per bulan. Sementara kamar dengan kamar mandi pribadi disewakan > 650 Euro per bulan. Tentu saja student housing ini disediakan dengan fasilitas basic dan berukuran kecil. Banyak pelajar asing di Eropa harus mengirit uang jajan hanya untuk makan, jalan-jalan, dan biaya hidup lainnya.

Au pair di Belgia; bebas dari akomodasi, makan, plus pajak. Enaknya lagi, host family saya dulu bersedia membayari tiket bulanan angkutan umum plus tagihan telepon. Jadi 450 Euro per bulan itu murni untuk saya sepenuhnya tanpa harus berpikir ingin makan apa malam nanti. Host family saya dulu kebetulan tidak pelit soal makanan, jadi saya bisa seenaknya ambil roti, cokelat, susu, daging, atau salmon di kulkas.

Jadi kalau kamu berpikir uang saku au pair itu super kecil, sebaiknya pikir lagi. Karena sesungguhnya uang saku tersebut bersih untuk memenuhi kebutuhan pribadi kita seperti belanja pakaian,travelling, eat out, nonton, atau tabungan. Jangan lupa juga untuk menambahi fasilitas lain yang diberikan host family seperti phone bills, monthly ticket, atau uang kursus yang tidak perlu kita bayar tiap bulan. Kadang saya berpikir, kehidupan au pair di Eropa itu lebih mewah ketimbang para pelajar asing.

Then again, semuanya kembali ke gaya hidup.

Di Denmark, gajinya terlihat besar, namun akan sakit hati juga kalau tiap bulan selalu potong pajak. Biaya hidup juga mempengaruhi uang saku au pair di tiap negara. Contohnya Jerman yang hanya 270 Euro according to bulan, tapi Norwegia bisa dua kali lipatnya. Tentu saja, karena hidup di Norwegia apa-apa mahal.

Seorang kenalan saya, pekerja paruh waktu di Denmark, bergaji sekitar 15.000 DKK consistent with bulan (sebelum pajak). Mungkin kita melihatnya besar, 30 juta! Tapi ternyata sisa duit doi hanya sekitar 2500 - 4000 DKK saja per bulan setelah potong sana-sini. Belum lagi doi harus mengirit untuk tidak makan yang mahal-mahal dan biasanya harus membeli bahan makanan diskonan.

Sama dengan pocket money au pair kan, uang saku pribadi yang tersisa?

Tapi kenapa di Australia gaji au pair lebih besar? Dibayarnya in keeping with minggu pula!

Well, visa yang dipakai ke Australia itu berlaku untuk semua orang, mau pekerjaannya au pair atau pemetik buah. Orang Indonesia bisa pakai Working Holiday Visa (WHV) ke Australia tanpa jadi au pair sekali pun. Karena tidak ada peraturan khusus untuk au pair, gaji mingguan bagi pemegang WHV dipatok sekitar 200-250 AUD per minggu atau 650 AUD (live-out) tergantung sektor pekerjannya.

Live comfortably

Jadi au pair itu sebetulnya membosankan, tapi super nyaman. Kamar disediakan dengan fasilitas bagus; ranjang besar, kamar luas, tv, dan kamar mandi pribadi. Belum lagi kalau mendapatkan host family super baik yang mau membayari tiket, pajak, dan tagihan bulanan. Kurang nyaman apalagi?

Hidup dengan orang itu tidak nyaman!

Tentu saja! Tapi apa kamu kira host family nyaman dengan adanya orang asing di rumah mereka? Tentu saja tidak. Mereka juga harus berdamai dengan ego sendiri yang membiarkan orang lain tinggal dan mondar-mandir di rumah, mengambil makanan apapun dari kulkas, hingga mengundang banyak teman untuk masak bersama. Host family mesti menanggalkan privasi mereka, namun di sisi lain tetap harus menghargai privasi au pair.

Banyak juga para pelajar atau anak muda lain yang harus menyewa kamar kecil di satu apartemen dan tinggal dengan orang lain. Tentu saja mereka tetap harus menanamkan rasarespect saat memakai kamar mandi atau dapur bersama.

Mari kita sisihkan sejenak beberapahost family gila yang hanya butuh tukang bersih-bersih semata. Kalau kamu memang lucky mendapatkan keluarga baik yang bersedia memberikan fasilitas mewah dan uang tambahan saat kamu harus bekerja overtime, cherish them! Au pair itu bukan cheap labour atau pembantu murahan ya. We earn a lot of experience and so little money. Tapi kita juga bisa bersenang-senang dan jalan-jalan keliling Eropa tanpa duit orang tua.

So, what do you think? Apa uang saku au pair masih terdengar sangat kecil bagi kamu?

Wednesday, May 20, 2020

Tips Daftar Kuliah di Kampus Oslo|Fashion Style

Setelah akhirnya mantap memiliki beberapa alasan untuk lanjut kuliah di Norwegia , saya mulai mengajukan aplikasi untuk mendaftar ke kampus disini. Karena berencana menghabiskan kontrak au pair sekalian kuliah, saya hanya bisa mendaftar ke kampus yang ada di Oslo saja. Tapi karena jadwal deadline-nya masih panjang, saya juga iseng-iseng mendaftar ke University of Bergen (UiB) di Bergen.

Di Oslo sebetulnya tidak banyak tempat yang bisa dipilih mengacu ke pendidikan terakhir saya di Indonesia. Saya kemarin mengambil software studi fisika di bawah naungan Fakultas Pendidikan. Cukup bingung juga, karena application saya ini di tengah-tengah ilmu sosial dan ilmu eksak. Di Norwegia, fakultas pendidikan masuk ke ilmu sosial. Sementara di program studi saya kemarin, lebih dari 50 persen silabusnya belajar tentang fisika murni seperti Fisika Kuantum, Kalkulus, Optik, dan lainnya.

Sejujurnya, saya sudah tidak berminat mengambil kuliah yang fokus ke fisika murni. Kalau pun mesti belajar ilmu baru, saya malah ingin sekali mengambil jurusan desain. Sayangnya, pendidikan Strata 1 saya sangat jauh dari ilmu desain dan saya tidak memiliki portofolio ataupun pengalaman bekerja di bidang ini. Ingin masuk jurusan teknik pun ilmu fisika saya dinilai belum mampu memenuhi kualifikasi karena banyak materi perkuliahan teknik yang tidak saya pelajari saat kuliah kemarin.

Tapi daripada pusing-pusing tidak jadi daftar kuliah, akhirnya saya menyerah saja dengan opsi yang ada. Lagipula daftar kuliah di Norwegia itu sangat mudah dan gratis, berbeda halnya dengan kampus-kampus di negara lain yang harus membayar 75-100 Euro per aplikasi. Jadi coba saja mendaftar karenawon't hurt you anything.

1. Pilih tempat

Kalau ditanya kampus mana yang terbaik di Norwegia, jawabannya tidak ada. Kembali ke kita ingin kuliah jurusan apa dan fokusnya kemana. Contohnya Norwegian University of Science and Technology (NTNU) di Trodheim yang diperuntukkan bagi mahasiswa yang ingin mendalami ilmu teknik secara praktek, University of Svalbard (UNIS) di utara Norwegia bagi yang tertarik belajar atau mengadakan riset tentang Kutub Utara, atau ada juga S?Mi University of Applied Science (UArctic) di Kautokeino kalau kamu ingin belajar tentang budaya dan bahasa S?Mi. Jadi sebetulnya kampus-kampus di Norwegia ini dibuat memang berdasarkan spesialisasi berdasarkan minat dan bakat.

Di Oslo sendiri ada universitas terbesar dan tertua di Norwegia, University of Oslo, yang lebih mengacu ke ilmu sosial dan humaniora. Ada juga BI Norwegian Business School untuk ilmu Ekonomi, Norwegian School of Veterinary Science yang berminat jadi dokter hewan, Norwegian Academy of Music, Oslo Metropolitan University, Norwegian School of Theology, Religion, and Society (MF), dan masih banyak yang lainnya.

Berkaca dari pendidikan terakhir, hanya ada dua tempat di Oslo yang memungkinkan bagi saya, yaitu University of Oslo (UiO) dan Oslo Metropolitan University (OsloMet).

2. Perhatikan tenggat waktu

Kampus di Norwegia memiliki deadline aplikasi yang tidak sama setiap tempatnya. Setelah memilih kampus mana yang dituju, ada baiknya langsung mengecek batas akhir pendaftaran bagi mahasiswa internasional. Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa asing yang diterima untuk mengajukan visa dan student housing sebelum datang ke Norwegia.

Di beberapa kampus lain, contohnya UiO atau UiB, membagi pendaftar menjadi 3 kategori yang masing-masing berbeda batas waktu pendaftarannya. Untuk mahasiswa internasional deadline-nya di bulan Desember atau Januari, mahasiswa EU dan Swiss awal Maret, dan mahasiswa Nordik atau penduduk Norwegia di pertengahan April. Karena saya tinggal di Norwegia dan memegang residence permit yang berlaku, maka saya masuk ke grup ketiga bersama warga negara Nordik lainnya. Pendaftaran dibuka awal Februari dan ditutup pertengahan April. Kesempatan ini tentu saja saya manfaatkan untuk tes IELTS dulu sekalian memperbaiki nilai.

Sementara di OsloMet, pendaftar asing baik yang tinggal di/ataupun luar Norwegia memiliki waktu pembukaan dan penutupan pendaftaran yang sama, yaitu Desember.

3. Cek kemampuan bahasa

Kebanyakan kampus biasanya menargetkan skor total minimum 6.5 untuk IELTS, 90 untuk TOEFL iBT, dan sixty two untuk PTE Academic. Namun application studi tertentu memerlukan skor lebih tinggi sebagai syarat administrasi, seperti Literatur Inggris atau Media dan Komunikasi. University of Bergen menetapkan overall skor IELTS minimal 6.5 namun tidak kurang dari 6.0 di setiap bagiannya. Jadi sebelum yakin mendaftar, harap perhatikan juga minimal skor seperti apa yang kampus tersebut minta.

Di UiO, skor general minimal untuk IELTS adalah 6.Five. Sementara di OsloMet skor total minimumnya 6.0. Karena masih punya sertifikat IELTS dari dua tahun lalu yang memang nilainya hanya 6.Zero, saya gunakan untuk mendaftar kesana.

Four. Pilih jurusan

Karena pilihan kampusnya hanya dua, saya pun berusaha mencocokkan saja software studi mana yang ingin diambil dan cocok dengan minat serta bakat. Pilihan program studi Master di OsloMet sedikit sekali dan yang paling relevan adalah bidang Education Development-nya. Sayangnya, software ini lebih menitikberatkan kepada pendidikan di negara berkembang di Eropa Selatan. Agak jomplang memang karena programnya lebih ke ilmu sosial, hubungan internasional, dan humaniora.

Saya juga sempat menanyakan ke bagian administrasi kampus apakah program studi saya yang kemarin cocok dengan Education Development ini. Seperti yang saya bilang di awal, karena S1 saya berada di tengah-tengah ilmu sosial dan eksak, maka si admin kampus menegaskan kalau jurusan saya tidak relevan karena fisika lebih condong ke ilmu eksak.

Tertarik juga dengan Teknik Arsitektur-nya, saya iseng-iseng lagi bertanya apakah ilmu fisika saya memenuhi kualifikasi di program ini. Lalu tentu saja ditolak kembali. Alasannya karena ilmu fisika saya bukan ilmu Fisika Teknik. Blah!

Tapi daripada tidak mendaftar sama sekali, saya masukkan saja aplikasi ke dua spesialisasi di bidang Education Development karena application studi inilah yang paling mendekati.

Untungnya pilihan software studi di UiO lebih banyak dan bervariasi, serta cocok dengan minat. Saya baca dengan sangat teliti hampir semua persyaratan administrasi di banyak program studi, lalu akhirnya mantap dengan 1 pilihan di bidang Entrepreneurship dan 2 pilihan di Ilmu Pendidikan.

Di Norwegia juga tidak semua application studi diperuntukkan bagi mahasiswa asing. Beberapa jurusan perminyakan dan teknologi hanya dikhususkan bagi mahasiswa Nordik atau Eropa yang menguasai bahasa Norwegia saja.

Five. Persiapan dokumen

Daftar kuliah di Norwegia itu mudah sekali karena prosesnya hanya masuk ke portal universitas dan melengkapi persyaratan dokumen. Dokumen yang perlu dipersiapkan juga sangat standar misalnya scanned copy paspor, ijazah dan traskrip asli beserta terjemahannya, serta sertifikat bahasa Inggris. Yang membuat saya bersyukur lagi, hampir semua kampus di Norwegia tidak memerlukan surat rekomendasi dari atasan dan dosen, karena saya sempat di-PHP dosen pembimbing saat dimintai surat ini.

Meskipun syarat dokumennya sangat standar, namun ada beberapa tambahan dokumen yang harus diperhatikan seperti:

1. Bukti finansial

2. CV

3. Motivation letter

4. Course description

5. Portofolio

Untuk dua kampus yang saya tuju untungnya tidak ada persyaratan melampirkan bukti finansial saat pendaftaran. OsloMet baru mewajibkan mahasiswa asing untuk menyerahkan bukti finansial saat sudah diterima dan sedang proses mengajukan visa. Sementara UiO dan UiB tidak mewajibkan pendaftar asing yang tinggal di Norwegia melengkapi lampiran tersebut sebagai syarat pendaftaran. Baguslah, karena sejujurnya tabungan saya belum cukup memenuhi 116.369 NOK yang diwajibkan untuk mendapatkan study permit.

Lalu untuk kelengkapan CV dan motivation letter hanya diwajibkan di beberapa program saja, terutama di program studi yang ingin saya ambil. Karena penerimaan mahasiswa menggunakan sistem ranking, penilaian terhadap motivation letter bisa dijadikan nilai tambah jika jumlah pendaftar melebihi kuota.

Untuk tambahan dokumen poin ke-four inilah yang membuat saya cukup kewalahan. Saya tadinya ingin coba-coba mengambil application Materials Science di UiO yang salah satu syaratnya adalah menyertakan silabus pembelajaran fisika saat S1. Tim komite penerimaan mahasiswa tidak bisa menilai sistem kredit dan perkuliahan mahasiswa asing hanya dengan melihat transkrip saja. Makanya silabus pembelajaran dari kuliah terdahulu harus disertakan untuk melihat apakah mata kuliah yang sudah saya ambil berkualifikasi.

Saya mencari silabus khusus Fisika di kampus saya kemarin dan yang tersedia tentu saja hanya bahasa Indonesia. Satu mata kuliah bisa sampai 4 lembar penjabaran silabusnya. Sementara mata kuliah fisika sendiri lebih dari 20 macam. Artinya mau tidak mau saya harus menerjemahkan semua isi materi tersebut ke dalam bahasa Inggris yang jumlahnya bisa lebih dari 80 lembar! Aduh, skip!

Selesai! Pengumuman diterima atau tidaknya harus menunggu sampai awal Juli, sementara kuliah akan dimulai di akhir liburan musim panas. I just hope for the best!

Saturday, May 16, 2020

Tips Pengumuman Penerimaan Mahasiswa di Norwegia|Fashion Style

Bulan Juli adalah waktu yang saya tunggu sehubungan dengan pengumuman penerimaan mahasiswa baru semester musim gugur tahun ini. Jujur saja, dari awal daftar kuliah sebetulnya ada perasaan pesimis apakah saya berhasil masuk di kampus yang saya tuju. Apalagi saya anaknya cukup tahu diri bahwa IPK pun tak sampai 3 dan nilai IELTS juga pas-pasan. Belum lagi banyak kampus di Norwegia punya passing grade yang tinggi terhadap calon mahasiswanya.

Tahun lalu, saya sempat mengobrol dengan seorang cewek Moldova yang sedikit skeptis dengan peluang saya diterima di kampus Norwegia. Saat tahu usia saya sudah late 20s, dia membuat saya down dengan isu yang katanya 50% calon mahasiswa yang diterima kuliah Master usianya masih di bawah 25.

"What?? Am I not young enough to continue my Master’s?!" tanya saya penasaran.

"Kamu tidak tahu kan kalau disini ada praktek diam-diam dari komisi penerimaan mahasiswa baru, bahwa prioritas lebih ditujukan ke calon mahasiswa di bawah 25 tahun? Lagipula orang-orang disini well-educated semua. Jadi wajar saja kalau usia 23 sudah lulus S1 lalu langsung lanjut S2," katanya.

Setelah cerita panjang lebar, ternyata si cewek Moldova ini merasa kecewa mengapa dia tidak diterima di satu pun kampus Norwegia meskipun nilainya diyakini sangat baik. Ceritanya ingin lanjut kuliah Arsitektur, sudah mendaftar ke hampir semua universitas di Norwegia, sudah legalisasi dokumen juga ke NOKUT, tapi tidak ada yang diterima. Mungkin karena kekecewaan ini, adanya pikiran negatif bahwa orang lain bisa lulus pun seperti mustahil.

Saya sempat menanyakan langsung ke pihak kampus apakah isu yang dikatakan si cewek Moldova benar, yang akhirnya dibantah oleh kampus tersebut. Selagi kita berkualifikasi, umur tak jadi masalah, apalagi untuk kuliah S2.

Ngomong-ngomong, karena hasil pengumuman sudah keluar, saya tak sabar ingin berbagi berita; baik atau buruk.FYI, saya ikut pendaftaran gelombang ketiga karena tinggal di Norwegia dan mempunyai residence permit yang masih berlaku. Untuk gelombang ketiga ini, pendaftaran dimulai dari Februari-April, lalu pengumumannya di bulan Juli. Gelombang ini juga hanya diperuntukkan bagi orang-orang Nordik serta non-Eropa yang bermukim di Norwegia. Artinya, saya berkompetisi dengan penduduk Nordik lainnya untuk mendapatakan satu kursi di kampus Norwegia.

1. Oslo Metropolitan University (OsloMet)

Untuk kampus yang ini, sebetulnya gelombang pendaftaran untuk mahasiswa asing hanya dijadwalkan dari Oktober-Desember saja. Saya juga sudah mendapatkan hasilnya awal Maret lalu. Kalau kalian sempat baca cerita saya saat mendaftar kuliah , sebetulnya tidak ada program studi di kampus ini yang cocok dengan background S1 saya. Tapi karena daftarnya juga gratis, jadinya iseng saja memasukkan aplikasi ke program yang 'mungkin' bisa dikait-kaitkan dengan pendidikan terakhir. Program studi yang dipilih adalah International Education Development dengan spesialisasi tentang Education, Culture and Sustainable Development dan Inequality, Power and Change.

Hasil: Tidak berkualifikasi - "You were lack of a relevant specialization to the programs you have applied for."

2. University of Oslo (UiO)

Karena harus lanjut au pair sampai habis kontrak tahun depan, saya memang lebih fokus memilih kampus yang ada di Oslo saja. UiO adalah kampus tertua di Norwegia yang memiliki program studi kuliah lebih variatif serta relevan dengan pendidikan saya dulu. Dari awal memang niatnya sudah ingin kuliah disini saja, sampai menghabiskan waktu 1,5 bulan untuk menulis motivation letters yang ditujukan ke tiga program yang saya pilih, yaituEntrepreneurship, Assessment and Evaluation, dan Higher Education. Dari situs resmi UiO, tertulis juga bahwa ketiga program ini persaingan jumlah peminat dan kursi yang disediakan sangat kompetitif.

Hasil: Diterima - Entrepreneurship

3. University of Bergen (UiB)

Daftar ke kampus ini sebetulnya modal iseng karena deadline pendaftarannya juga di bulan April. Program studi yang tersedia kebanyakan tentang ilmu eksak yang kajiannya lebih mendalam. Banyak program yang tidak tersedia bagi mahasiswa asing, namun hanya bagi penduduk Norwegia saja. Selain karena beberapa mata kuliah memakai bahasa lokal, beberapa kajian di program tersebut memang lebih menyesuaikan letak geografis dan SDA Norwegia sebagai lahan minyak dan tambang. Program yang saya pilih adalah Fisika dengan spesialisasi di bidang Medical Physics and Technology dan Measurement Science.

Hasil: Tidak berkualifikasi - “Your academic background was insufficient to be eligible for admission.”

Dari ketiga kampus dan program studi yang saya daftar di atas, bisa dikatakan UiO memang paling banyak peluangnya. Selain melihat dari mata kuliah yang kita ampu saat S1, ada juga syarat tambahan untuk melengkapi dokumen dengan menyertakan CV dan surat motivasi. Mungkin bisa jadi, saya diterima di UiO karena komisi penerimaan mahasiswa juga mempertimbangkan isi surat motivasi saya. Karena kalau ingin dilihat secara keseluruhan, justru pendidikan terakhir saya kemarin lebih memenuhi syarat masuk ke UiB. Nyatanya, keputusan penerimaan sekali lagi kembali ke kampus masing-masing.

Bagi kalian yang tertarik mendaftar kuliah ke Norwegia dan penasaran berapa banyak peminat dan jumlah kursi yang ditawarkan di masing-masing program, silakan buka statistik tahunannya disini (bahasa Norwegia). Kalau syarat dokumen terpenuhi, nilai mencukupi, serta pendidikan atau pengalaman kerja terakhir selaras dengan bidang yang akan kita pelajari, masuk kampus Norwegia tidaklah mustahil. Bahkan kabar yang saya dengar, sebetulnya banyak juga pendaftar yang sudah tahu dari awal tidak berkualifikasi, tapi nekad mendaftar. Tipe pendaftar seperti ini sebetulnya bukan pesaing berat dan akan tersingkirkan dengan sendirinya.

Friday, May 15, 2020

Tips (Jadinya) Kuliah S-2 di Universitas Oslo|Fashion Style

Kalau mengikuti cerita saya saat mendaftar kuliah di Norwegia sampai pengumuman dari kampus , kalian akan tahu bahwa saya memang berniat kuliah di Oslo. Selain karena masih harus menyelesaikan kontrak au pair yang tinggal beberapa bulan lagi, saya memang lebih nyaman hidup di ibukota dengan segala akses kemudahan informasi dan transportasi.

Pun begitu, selain mendaftar di University of Oslo (UiO), saya juga mencoba memasukkan aplikasi ke Oslo Metropolitan University (OsloMet) dan University of Bergen (UiB). Iseng saja, karena toh pendaftarannya gratis juga.

Bulan Juli adalah bulan yang saya tunggu dari tahun lalu, karena bulan inilah yang akan jadi penentu nasib saya ke depannya. Harus pulang kah setelah 5 tahun au pair di Eropa, masih harus jadi au pair lagi kah (BIG NO!), ataukah ada kesempatan untuk lanjut kuliah S-2 disini? Saya juga sebetulnya sudah menyiapkan banyak rencana jika memang harus pulang. Pulang pun tak masalah karena ide bisnis di otak saya rasanya juga sudah meluap. Apalagi berulang kali saya dan adik ipar membahas soal peluang bisnis yang kemungkinan akan kami jalani kalau saya pulang ke Palembang. Intinya, apapun hasil dari kampus, saya terima.

Pengumuman hasil diumumkan paling lambat tanggal 6 Juli. Untuk UiO, saya mendapatkan email jawaban di tanggal 4 Juli sekitar pukul 5.28 sore. Lagi di Prancis, lagi santai-santai duduk di bawah pohon, tiba-tiba email dari UiO muncul. Saya deg-degan bukan main sampai emailnya tidak ingin saya buka dulu karena masih takut membaca hasilnya. Tanpa babibu, saya langsung menghubungi adik saya di Cina yang ikut nervous dengan isi email tersebut. Meskipun katanya sudah siap dengan apapun isi email tersebut, tapi tetap saja, ujung penantian ini malah membuat saya semakin gugup. Setelah diyakinkan oleh adik, beberapa menit kemudian barulah saya siap.

Baiklah, whatever kan?!

1... 2... Three...

Saya buka email-nya dan membaca cepat untuk mencari kata-kata “unfortunately”, “regret”, “rejected”, yang ternyata tidak ada! Selintas saya hanya menemukan kata “offer” disana! Sekali lagi, isi surat tersebut saya baca secara teliti dari atas.

Whoaaaa!!! Saya diterima jadi mahasiswi Master di UiO untuk program studi yang memang jadi top priority! Senangnya bukan main, tapi nervous-nya juga belum usai. Adik saya yang saya kabari ternyata ikut gemetaran dan masih belum percaya juga dengan hasilnya.

Lebay? Dramatis? Mungkin. It’s not Harvard or Stanford, is it?

Iya, memang bukan! Tapi segala penantian, keputusasaan, serta ketidakpastian dari tahun lalu akhirnya memberikan jawaban manis. FYI, satu malam sebelum pengumuman ini, saya sebetulnya juga bermimpi bahwa nama saya tertulis di program studi Entrepreneurship. Kebetulan? Entahlah, tapi ternyata mimpi saya benar-benar jadi kenyataan.

Walaupun katanya masuk kampus Eropa tidak terlalu susah asal memenuhi syarat, tapi masih ada perasaan pesimis yang selalu menghantui. Apalagi UiO adalah kampus top di Norwegia yang banyak peminatnya. Dari data statistik tahunan yang saya baca disini (bahasa Norwegia),program studi Entrepreneurship ini hampir menerima 700 aplikasi tahun kemarin. Sementara yang berkualifikasi hanya 15% saja dan slot yang tersedia kurang lebih 5% dari total aplikasi setiap tahun. Cukup beralasan kan mengapa saya sangat pesimis tak diterima disini? Lihat saja, buktinya aplikasi saya ditolak di OsloMet dan UiB!

Anyway, time has answered! Akhir tahun ini akan banyak cerita baru yang dimulai di Norwegia sebagai seorang pelajar. Meskipun saya sudah diterima kuliah di UiO, tapi justru tantangan terberat adalah saat menjalani perkuliahan dan bertahan hidup di Oslo selama 2 tahun ke depan. Be with me, because I want to tell you more! ☺️

Sunday, May 10, 2020

Tips Au Pair di Norwegia Sekalian Kuliah S-2|Fashion Style

Di postingan sebelumnya , saya cerita bagaimana rasanya jadi mahasiswa lagi dan kuliah S-2 di kampus negeri di Norwegia. Faktanya, kuliah Master itu tidaklah sesantai yang para senior katakan! Kali ini, saya ingin menyambung cerita, bagaimana rasanya jadi au pair plus lanjut kuliah pula.

Dari banyaknya au pair yang saya kenal, saya belum pernah mendengar cerita au pair Indonesia di Eropa yang sekalian lanjut kuliah S-2. Yang lanjut kuliah setelah masa au pairnya selesai memang banyak. Bahkan karena sudah nyaman dengan keluarga tersebut, tak jarang mantan au pair ini masih tinggal dan bekerja di rumah host family. Jadi prioritasnya adalah kuliah, sekalian cari uang tambahan dari student job yang maksimalnya 15-20 jam per minggu.

Bedanya, status saya sekarang adalah au pair yang masih terikat kontrak penuh, tapi di sisa akhir kontrak memutuskan untuk lanjut kuliah di Norwegia. Prioritas saya disini tentu saja tidak hanya sekolah, tapi juga bekerja. Karena tidak ada kenalan au pair yang sekalian kuliah ini, saya tidak punya referensi soal pengalaman au pair plus kuliah full time di Eropa.

The worst component

Kalau ada yang tanya, susahkah membagi waktu antara au pair dan kuliah, sebetulnya kembali lagi ke host family masing-masing. Untuk kasus saya yang sudah 3 bulanan kuliah ini, ternyata menjalani keduanya sangat berat! Mengapa, karena ekspektasi host family saya yang masih menginginkan saya bekerja full time selama 30 jam per minggu - meskipun student job di Norwegia hanya diperbolehkan bekerja maksimal 20 jam per minggu.

Saya dan keluarga Norwegia ini tentu saja sudah duduk satu meja dan membahas masalah ini jauh sebelum saya diterima kuliah. Intinya saat itu, host family akan berusaha fleksibel dengan jadwal kuliah saya, tapi di sisi lain, saya juga tetap harus bisa sefleksibel dulu - saat belum kuliah. You have to know what is 'flexible' means in au pair term! Kata lainnya, harus siap bekerja 24/7 meskipun di suasana darurat. Poin minusnya lagi, sejak Oktober lalu, host dad saya sudah pindah duluan ke Swiss untuk merenovasi rumah baru. Working with a single mother has a big plus and minus, for sure!

Again, saya masih terikat kontrak penuh, makanya sepintar mungkin mesti mampu mengatur waktu agar semuanya bisa berjalan tanpa mengorbankan salah satunya. Pagi harus bangun dan menyiapkan sarapan sekeluarga, lalu siap-siap berangkat kuliah. Siangnya tanpa bisa nongkrong lebih lama di kampus, saya harus segera pulang dan menyelesaikan sisa tugas au pair. Imbasnya, saya sering kali kehilangan waktu bersosial dan selalu absen datang ke event seru karena waktunya overlapping dengan jadwal kerja.

Di sisi lain, saya juga harus siap-siap absen kuliah kalau ternyata salah satu anak tiba-tiba sakit atau host mom harus meeting dari pagi sampai sore. Host family saya juga sudah mewanti-wanti dari awal agar saya ikhlas absen kuliah karena saat ini memang tidak ada keluarga satu pun dari pihak ayah atau ibu yang bisa diminta tolong untuk menjaga anak di rumah.

Meskipun sadar di kontrak kerja sudah sepakat tugas saya setiap hari itu apa, tapi tetap saja ada momen yang membuat saya kesal dan lelah. Pagi-pagi, tanpa bisa leha-leha dulu di kasur dan sarapan dengan santai, saya mesti menyiapkan sarapan dan beres-beres rumah orang terlebih dahulu. Kadang kalau orang tuanya tak di rumah dan saya ditinggal sendiri dengan dua bocah, saya juga mesti bertugas layaknya orang tua mereka. Pagi-pagi selain menyiapkan sarapan, saya juga harus mengganti baju, dan mengantar mereka ke sekolah.

Bekerja dengan anak-anak tentu saja tidak mudah! Emosi dan energi saya terkuras luar biasanya, apalagi kalau anak-anak ini sulit sekali diajak kerja sama di pagi hari. Pernah suatu kali si adik popoknya mesti diganti karena poop, lalu gantian kakaknya yang ingin ditemani ke toilet untuk poop. Baru saja siap dan ingin keluar rumah, si adik poop lagi dan saya mau tidak mau harus kembali ke atas mengganti popoknya. Saat mengantar mereka ke TK, saya mengantur napas perlahan untuk menghilangkan rasa stres dan beban negatif ini. Rasanya ingin quit saat itu juga dan ganti pekerjaan lain yang tak harus dilakukan di pagi hari sebelum jadwal kuliah.

Oh well, saya juga tahu ada banyak pelajar asing yang rela bangun jam 3 fajar hanya untuk mengantarkan koran keliling rumah dengan kereta dorong. Tapi bekerja dengan benda mati tentu saja berbeda dengan bekerja dengan manusia. Working with kids has no negotiations! Mereka sakit, you have to leave an absence. They are slow, then you need to force them to move faster - yang mana buang-buang energi lebih banyak. God, I just want it to be over soon!

The high-quality element

Meskipun dirasa sangat sulit jadi au pair plus kuliah full time, tapi saya juga bersyukur sudah sampai di titik ini. Mengapa, karena jadi au pair duluan sebelum mulai kuliah di negara yang sama itu banyak juga hal positifnya.

Yang pertama, tentu saja karena kita sudah familiar dengan sistem. Lini masa Facebook saya di salah satu grup mahasiswa internasional selalu memuat status soal kebingungan mahasiswa asing yang baru saja tiba di Norwegia. Bingung soal mengurus residence permit , bingung bagaimana cara buka akun bank , bingung caranya beli tiket transportasi umum, bingung juga mengurus pajak, bahkan ada yang masih bingung menyalakan penghangat ruangan atau kompor listrik!

Sementara kita yang sudah duluan sampai ini, semua kebingungan tersebut sudah teratasi sejak awal. Ingin belanja, tinggal tap karena sudah punya kartu ATM. Ingin naik bus, tinggal pesan lewat aplikasi ponsel. Soal kompor listrik, I think all au pairs know it.

Yang kedua, tentu saja saya sudah familiar dengan kultur masyarakat setempat. Tak perlu lagi menyesuaikan diri dengan dinginnya musim dingin di Eropa Utara ataupun kaget dengan alam Norwegia yang tak ada jelek-jeleknya. Being an au pair lets us to be in the ecosystem immediately. Adaptasi jadi lebih mudah karena yang perlu saya pikirkan bukan lagi winter boots atau tempat beli sayuran murah, tapi jadwal kumpul tugas kuliah.

Yang ketiga, tentu saja soal bahasa. Bagi kalian au pair yang punya rencana lanjut kuliah di negara yang sama, saya sarankan belajar bahasa lokal semaksimal mungkin dari hari pertama kalian tiba di negara tersebut. Pick up some words and keep practicing! Hal ini tentu saja jadi nilai tambah di kehidupan sosial dan membuka lebih banyak kesempatan mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Karena menurut saya, belajar bahasa ini bisa jadi competitive advantage kita ketimbang pelajar asing lain yang baru tiba di Norwegia hanya untuk lanjut kuliah. Sebagai au pair yang diberikan kesempatan kursus bahasa - bahkan banyak yang dibayari host family, jangan sampai malas-malasan hanya karena excuse 'bahasa Inggris saja sudah cukup'.

In the end, saya sebetulnya tetap merasa bersyukur karena au pair ini bisa jadi penopang hidup saya di masa awal-awal kuliah. Saya tidak perlu lagi repot ingin tinggal dimana atau makan apa, karena sudah disediakan kamar dan makanan gratis di rumah host family. Selain itu, dari kerja jaga anak dan ini, saya juga mendapat uang saku sekitar NOK 6000 per bulan untuk membayar uang semester dan membeli tiket transportasi bulanan. Perjuangannya begitu terasa karena harus kerja demi mencukupi kehidupan hidup saat kuliah di negara orang!

Tapi sebetulnya, jadi au pair sekalian kuliah itu menyenangkan dan bisa membunuh waktu juga. Waktu saya terasa lebih cepat berlalu karena setiap hari tidak hanya memikirkan pekerjaan, tapi juga tugas kuliah yang tak ada habisnya. Waktu terasa semakin cepat berlalu, apalagi kalau sudah masuk hari Rabu. It's weekend soon, meskipun buntutnya masih ada tugas yang mesti dikumpul Seninnya.

Sekali lagi, cerita saya mungkin tak sama untuk setiap orang. Host family serta jam kerja saya juga pastinya tak berlaku bagi au pair yang lain. Yang pasti, jadi au pair plus lanjut kuliah di sisa akhir kontrak sangat doable, hanya saja mungkin lebih berat kalau kebetulan dapat host family yang tak mau rugi! Kuncinya adalah selalu komunikasi dengan host family tentang jadwal kuliah serta pandai mengatur waktu agar sebisa mungkin imbang keduanya.

Saturday, May 9, 2020

Tips This is My Final Au Pair Year!!|Fashion Style

It is soooo near an cease!!!!

Ngomong-ngomong, saat menulis tulisan ini, saya masih ada di Zermatt, Swiss, dalam rangka 'business trip'. Host family saya memutuskan pindah ke tempat impian di Pegunungan Alpen, untuk bermukim dan meneruskan hidup dengan meninggalkan semua kehidupan sosial mereka di Norwegia. Pegunungan Alpen yang membentang di Swiss tentu saja jadi pilihan utama karena Zermatt adalah tempat spesial yang selalu jadi area favorit ber-ski bagi orang-orang berduit. Tak heran juga mengapa Swiss, karena negaranya sama-sama makmur dan semahal Norwegia, namun dengan pajak penghasilan yang lebih rendah.

I am one of the luckiest au pairs yang bisa terbang dengan gratis ke tempat ini tanpa perlu merogoh kocek teramat dalam untuk menemukan the real winter wonderland di Eropa. Zermatt is AWESOME! Kanan kiri membentang pepohonan pinus berselimut salju, perumahan berkayu oak yang hampir semuanya adalah tempat penginapan, serta cuitan burung yang menambah tenangnya desa ini dengan tingkat polusi hampir zero! Zermatt bisa jadi adalah tempat terakhir yang saya singgahi dalam rangka "kunjungan kerja" sebagai au pair .

Kalau bisa menyudahi lebih awal, sebetulnya saya sudah ingin cepat-cepat diwisuda saja sebagai au pair dari beberapa bulan yang lalu. Tapi karena kontrak dan komitmen yang mengikat, saya terus saja bekerja sekalian menafkahi diri sendiri setelah diterima jadi mahasiswa S-2 di Universitas Oslo .

Saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan formal setelah 5 tahun hanya berkutat dengan anak-orang & tugas rumah tangga saja. Kesempatan ini saya gunakan karena banyak kampus di Norwegia masih membebaskan biaya kuliah bagi mahasiswa lokal dan internasional. Meskipun begitu, biaya hidup yang tinggi juga cukup memberatkan apalagi saya kuliah pakai biaya sendiri dan tanpa sponsor.

Mungkin ada yang berasumsi kalau hidup saya setelah selesai au pair ini cukup enak karena sudah ada Mumu . At least, bisa menumpang dan makan gratis di apartemen doi. Well, if that's what you really think, then you are wrong!I have stood on my own feet since day 1!Mumu memang teman terbaik dan partner saya di Norwegia, namun bukan berarti dia ATM berjalan dan pengganti bapak saya di sini. He would help me if needed, tapi bukan berarti juga saya bisa menggantungkan semua harapan ke dia. Meskipun, I feel safe because he is always by my side.

Namun walaupun hepi juga sebentar lagi akan menamatkan kontrak terakhir au pair, ada perasaan gelisah yang terus membuncah di akhir tahun ini. Dulu, meskipun harus kerja rodi jaga anak dan bersih-bersih rumah, namun tinggal tunggu awal bulan, uang saku sudah otomatis masuk ke rekening tabungan. Mulai tahun depan, saya otomatis harus cari penghasilan sendiri untuk menyokong kehidupan sampai tamat kuliah.

FYI, saya memutuskan untuk tidak tinggal dengan Mumu dulu, namun menyewa kamar di student housing. Yang artinya, semua biaya sewa dan makan setiap hari harus saya tanggung sendiri. Ada perasaan takut juga bagaimana kalau saya tidak dapat kerja per awal tahun dan tidak bisa bayar sewa bulanan. Perasaan kalut ini bahkan menyelimuti hampir setiap hari! Maklumlah, uang saku yang saya kumpulkan selama 2 tahun ini tak seberapa, belum lagi masih tertitip di orang lain pula.

But the best thing is, I know myself better every day! Setelah semua pengalaman yang sudah saya lewati ini, saya yakin semuanya akan baik-baik saja. Au pair sudah berakhir, no kehidupan mewah, no kamar luas dan modern, no kulkas penuh makanan mahal, no gaji otomatis tiap awal bulan. A bit terrifying to leave them all, but this is LIFE I have always wanted; free from all the limitations!

Terima kasih yang sudah mampir ke blog ini dan selalu membaca cerita tentang kehidupan saya sebagai seorang au pair - dan sekarang sebagai pelajar. Saya tetap akan menulis lika-liku dunia au pair karena informasi tentang au pair itu selalu up-to-date setiap tahunnya. I am soooo happy sharing my au pair life to you for these 5 years! Semoga kalian selalu kembali mengunjungi Art och Lingua untuk menggali cerita terbaru saya di fase berikutnya.

Untuk yang akan mulai, masih jadi au pair, atau akan lanjut au pair lagi, good luck!! Being an au pair is definitely full of fun, but interdependent and addicted!

Ngomong-ngomong, kalau ada yang tanya, apakah saya sedih meninggalkan host kids saya setelah 2 tahun bersama mereka? I WILL BE!! I 1000% WILL BE! Sekesal-kesalnya saya dengan dua bocah Norwegia itu, tapi sejak usia si adik baru 3 minggu, saya adalah orang tua ketiga yang selalu mengasuh dan mengganti popoknya. Saya juga yang paling tahu perkembangan kecerdasan si kakak yang tadinya belum bisa bicara saat pertama kali saya tiba di Oslo, sampai sekarang, sudah cerewet kalau diajak adu mulut. I am sad, but again, happy not to take care of them anymore!

Monday, May 4, 2020

Tips 5 Tanda Kamu Ketagihan Au Pair|Fashion Style

Tinggal di luar negeri, bebas berbikini, serunya berkencan dengan cowok Kaukasian, hingga tak lagi pusing memikirkan betapa idiotnya tingkah beberapa oknum di kampung halaman, membuat kebanyakan au pair Indonesia merasa betah hidup di Eropa. Walaupun ujungnya mereka akan menambahi fakta bahwa hidup di luar negeri itu tidak seindah yang semua orang pikirkan, tapi tetap saja mereka memilih untuk stay.

Meninggalkan zona nyaman lalu hijrah ke negara orang demi jadi au pair itu adalah salah satu langkah terbesar yang ada dalam hidup mu. Banyak hal yang akan kamu pelajari dengan tinggal di negara baru, dengan mulai memahami diri sendiri hingga berusaha beradaptasi dengan budaya yang tak selalu membuat nyaman. But that's an amazing life story and you should be grateful to have it! Bersyukur karena tak semua orang Indonesia punya kesempatan tinggal di luar negeri - dengan kategori permit sebagai au pair.

Meskipun awalnya au pair hanya dikenal oleh para mahasiswa sastra yang tertarik belajar bahasa di Prancis dan Jerman, semakin ke sini, au pair lebih dikenal sebagai batu loncatan. Bukan hanya untuk mengasah bahasa asing, tapi untuk mendekatkan mimpi mu agar lebih nyata. Mulai dari kuliah dan bekerja di luar negeri, sampai menikahi cowok Kaukasian yang selama ini menjadi idaman.

No matter what your purpose is, jangan sampai keasikan jadi au pair hingga lupa memikirkan rencana ke depannya! Kenapa, karena kehidupan au pair yang nyaman dengan tempat tinggal gratisan, bisa membuat mu ketagihan! Berikut 5 tanda kamu mulai ketagihan jadi au pair!

1. Malas pulang ke Indonesia setelah au pair pertama

Sebagai au pair junior yang memulai kisah au pair pertama di tahun 2014, bisa dikatakan saya cukup membuka telinga terhadap semua masukan para teman-au pair senior. Ketika memutuskan untuk langsung lanjut au pair di negara lain tanpa pulang dulu ke Indonesia, seorang teman-senior malah menasehati saya sebaliknya. Baginya, pulang ke Indonesia setelah 1 tahun jadi au pair itu bisa jadi terapi sebelum memulai petualangan selanjutnya.

"Trust me, you are gonna be so happy ketemu abang bakso lagi, makan sate pinggir jalan, hingga merasakanunlimited sunlight setiap harinya! Eropa begini-begini saja, Nin. Kamu ke sini 5 tahun dari sekarang pun masih akan seperti ini saja. Take your chance to go home and say hi to your relatives!" katanya saat itu.

Saya memang malas pulang ke Indonesia. Malas membuat visa dari awal, malas packing, lalu malas juga kalau harus terbang lagi PP Indonesia-Eropa. Tapi karena pulang ke Indonesia saat itu dibayari host family setengahnya, saran teman tersebut pun saya dengarkan. Memang benar, pulang sebentar ke Indonesia demi memanjakan lidah dan berkumpul bersama keluarga tanpa harus mendengar teriakan anak balita di rumah bisa jadi terapi tersendiri.

2. Tak ada tujuan di Indonesia

Kamu sudah jadi au pair, lalu pulang ke Indonesia for good, namun sempat terpikir untuk jadi au pair lagi karena merasa muak atau tak ada tujuan di Indonesia. Yang seperti ini, banyak! Ada perasaan rindu suasana Eropa, rindu minum-minum di bar, rindu pulang malam tanpa ancaman begal, rindu swiping dengan para bule-bule kece, hingga rindu suasana Natal yang syahdu di Benua Biru.

Di saat seperti ini, memang hanya au pair yang bisa dengan mudah menerbangkan mu kembali ke Eropa dan menikmati kebebasan yang terbatasi di Indonesia. Tapi apa kamu yakin ingin kembali jadi au pair hanya merasa tak ada tujuan di Indonesia, bukan karena kemarin belum puas menikmati kehidupan di negara orang?

3. Travelling 'murah' masih ada dalam wishlist mu

It was me when I started my journey back to Denmark! Pengalaman au pair saya di Belgia betul-betul up and down and I swore to myself to be an au pair again! Di Belgia, saya hanya punya 10 hari libur untuk jalan-jalan yang saat itu ending-nya pergi ke Italia dan Yunani. Masih ada banyak sekali daftar negara yang ada dalam wishlist dan saya sadar bahwa sekembalinya ke Indonesia, melihat Eropa dari peta saja sudah sangat jauh. Belum lagi masalah ongkos dan visanya! Manusia kere macam saya ini rasanya harus kembali bermimpi.

Saya tahu bahwa dengan jadi au pair lagi, resolusi saya travelling ke banyak tempat jauh dari kata impossible. Kenyataannya benar, uang saku saya selama 2 tahun di Denmark memang hanya habis untuk jalan-jalan. Hampir setiap bulan saya bisa travelling dengan (lebih) murah dan mudah ke banyak negara Eropa, dari Islandia sampai Turki, hingga kesampaian mengunjungi adik saya di Cina.

I know it is not only me, since most of au pairs who love travelling also would do the same; niat jadi au pair lagi demi keliling dunia!

4. Post-au pair crisis

Pertanyaan "setelah ini ingin kemana?" adalah momok yang real bagi para au pair. Sudah malas pulang ke Indonesia, tak niat lanjut kuliah, si pacar belum ingin menikahi, ya ujung-ujungnya lanjut au pair lagi! Mau bagaimana lagi, iya kan?

Hidup jadi au pair di Eropa itu cukup nyaman. Dapat kamar gratisan, makan tinggal buka kulkas, jalan-jalan murah, belum lagi banyaknya fasilitas mewah lainnya yang host family berikan. Sebelum menyentuh usia 30, berkelana ke banyak tempat untuk jadi au pair pun rasanya tak masalah. Tapi semakin kamu bingung ingin kemana selepas au pair, semakin kamu akan menyadari bahwa ternyata 1 tahun di negara orang itu bisa berlalu dengan sangat cepat! Hayo, ingin kemana lagi selepas ini?

Five. Belum selesai satu, sudah berniat ke negara selanjutnya

Kamu baru beberapa bulan di satu negara, tapi karena menyadari enaknya jadi pair, sudah memiliki rencana untuk langsung mencari host family sebelum permit habis. Hal ini dilakukan agar tak harus pulang dulu ke Indonesia dan apply visa lagi. Now you understand, how 'easy' it is handling the papers in Europe than in Indonesia!

Tapi sebelum memutuskan ingin jadi au pair lagi, kamu harus berencana lebih jelas apa tujuan au pair kesekian ini. Kehidupan au pair yang nyaman akan berakhir ketika menyentuh usia 29 atau 30 tahun. Jadi sebelum buang-buang waktu dan menua karena bingung "setelah ini ingin kemana?", perhaps you might challenge yourself to stop living comfortably (as an au pair)?

Being an au pair is so addictive, Teman-teman! Sesampainya di sini, ada kemungkinan kamu akan menyetir ulang jalan untuk pulang dan berpikir untuk menetap. Seperti yang saya katakan di atas, au pair bisa menjadi batu loncatan menggapai mimpi dengan mencari ilmu, karir, atau jodoh di luar negeri. Tapi sebelum ketagihan dan terlalu lama menjadi au pair, membuat rencana yang matang sebagai jawaban dari "setelah ini ingin kemana?" ituharus, karena kehidupan au pair di satu tempat itu tidak lama, hanya 12 sampai 24 bulan saja.

Saya jadi au pair sampai 5 tahun lamanya juga bukan karena kebetulan. Bahkan kalau harus mengulang dari awal, saya mungkin akan mencoret Denmark dan langsung ke Norwegia untuk menjadi au pair dan meneruskan hidup sebagai mahasiswa. I would save 2 years of precious time in my life! Atau kemungkinan saya akan menyudahi petualangan di Denmark, mencoret Norwegia, lalu stay di Indonesia untuk bekerja di perusahaan multinasional.

Jangan takut untuk pulang dan meneruskan hidup di Indonesia jika Eropa memang bukan jalan yang tepat untuk meraih mimpi mu! In the end, hanya Indonesia yang masih mau menerima kembali jika Eropa tak lagi mengizinkan mu tinggal selama-lamanya (kuncinya, well-planned kalau memang ingin stay longer di negara impian since your "jalani saja" would bring you nowhere!).