Showing posts with label belajar bahasa. Show all posts
Showing posts with label belajar bahasa. Show all posts

Friday, July 10, 2020

Tips Belajar Bahasa Denmark: Simpel tapi Menantang|Fashion Style

"I hate Danish!"

"When I heard Danes talk their own language, it's like they devour potatoes at the equal time."

"I've been right here for 5 years, however I cannot speak Danish but even though I recognize primarily all of component."

"Meskipun sudah three tahun di Denmark, saya pun masih harus battle sama pronunciation-nya."

Itulah beberapa komentar yang sering saya dengar dari para ekspat tentang bahasa Denmark.Mereka tidak suka dengan bahasa ini, tidak bisa bicara walaupun sudah cukup lama tinggal disini, bahkan malas belajar. Cukup beralasan memang, mengingat Kopenhagen adalah kota internasional dengan penduduk yang kebanyakan warga pendatang dari negara lain. Berbeda dengan ibukota negara lain yang pernah dikunjungi, saya rasanya sedang berada di UK ketika hampir setiap sudut Kopenhagen dipenuhi oleh para pendatang yang berbicara bahasa Inggris.

Orang asli Denmark dari penjuru utara sampai selatan pun sebenarnya sangat fasih bicara bahasa Inggris, kecuali para generasi tua yang tidak terlalu percaya diri dengan kemampuan bahasa mereka. Anak-anak muda dari usia 14 tahun sudah mampu berdialog dengan baik, walaupun kadang mereka masih rendah hati mengakui bahasa Inggris mereka tidak sempurna.

Saat berbelanja atau di kafe, jika pelanggan tidak bisa bicara bahasa Denmark, kasir ataupun pelayan secepatnya langsung berganti ke bahasa Inggris. Di Kopenhagen sendiri pun, kebanyakan orang Denmark akan sangat bangga jika bisa show off tentang Bahasa Inggris mereka ke orang asing. Mereka cenderung lebih nyaman bicara bahasa Inggris ketimbang mendengar orang asing berusaha bicara bahasa mereka dengan pengucapan yang super kacau.

Hampir semua penduduk Denmark bisa bahasa Inggris, lalu kenapa juga mesti belajar bahasa ini? Sayangnya, karena banyak warga pendatang yang memenuhi negara mereka, pemerintah akhirnya "mewajibkan" kursus bahasa Denmark bagi setiap pendatang yang sudah memiliki nomor CPR dengan tujuan pekerjaan ataupun studi. Namun karena biasanya masa studi software Master hanya sekitar 2 tahun, kebanyakan mahasiswa software ini menjadikan kursus bahasa Denmark sebagai opsional.

Di kelas saya, banyak sekali para pencari kerja yang mesti ekstra sabar belajar bahasa ini sampai mereka mampu melamar ke beberapa tempat kerja. Mereka sebenarnya sedikit berjudi dengan keadaan karena ikut suami atau pacar ke Denmark, mengungsi dari daerah perang, ataupun ingin mendapatkan kesempatan hidup yang lebih baik. Walaupun hampir semua orang di Denmark bisa berbahasa Inggris, namun lapangan pekerjaan akan terbuka lebih lebar bagi para pendatang jika mampu berbicara bahasa lokal.

Pelajaran bahasa memang tidak untuk semua orang, terutama mempelajari bahasa baru yang jauh dari bahasa ibu. Selain antusiasme dan motivasi, nilai fungsional sebuah bahasa juga berperan untuk menentukan suka tidaknya kita dengan bahasa tersebut. Bagi pendatang yang bekerja di sektor IT, mungkin saja mereka tidak perlu belajar bahasa Denmark terutama jika lingkungan pekerjaan tersebut lebih mengedepankan bahasa Inggris. Para mahasiswa juga tidak perlu juga repot-repot mengikuti kelas bahasa Denmark di malam hari karena kelas pun kebanyakan internasional dan memakai bahasa Inggris.

Setelah dua bulan mengikuti kelas bahasa di Ballerup, saya cukup mengerti tentang masalah bahasa di Denmark. Selain karena kebanyakan penduduk di Denmark bisa berbahasa Inggris dengan baik, bahasa Denmark sendiri memang terdengar sangat aneh bagi semua orang. Apalagi kelas Modul 1, dimana semua orang baru berkenalan dengan alfabet dan kata-kata baru, pasti menjadikan bahasa ini sebagai ajang lucu-lucuan. Saya pun merasa kalau mereka bicara dengan lidah yang terbelit-belit dulu hingga bisa menjadikan banyak kata menjadi satu kalimat. Intinya, banyak anggapan tentang betapa anehnya bahasa ini makanya banyak yang malas belajar.

Menurut saya, bahasa Denmark memang cukup aneh di awal-awal. Saya sendiri masih cukup sulit berhadapan dengan pelafalan kata-kata yang tidak punya aturan. Bunyi kata-kata itu sendiri bisa berubah sesuai padanan alfabet. Belum lagi saya masih harus belajar ekstra keras untuk membedakan ? Dan e, ? Dan y, atau ? Dan o. Walaupun orang Denmark mengakui pelafalan adalah hal tersulit dari bahasa mereka, namun saya sedikit diuntungkan karena gramatikanya cukup mirip dengan bahasa Belanda. Struktur kalimatnya juga lebih simpel ketimbang bahasa Inggris dan tidak "kesana-kemari" seperti bahasa Belanda.

Kesimpelan bahasa Denmark juga sebenarnya terlihat dari ketiadaan "please", "Madam/Sir", atau "smakkelijk!" yang berarti "selamat menikmati (makanan)!" dalam bahasa Belanda. Karena terlalu kasual, para siswa juga tidak memanggil guru mereka dengan "sopan". Mereka lebih senang jika guru dan siswa seperti teman dengan hanya memanggil nama depan agar terkesan akrab.

Generasi muda Denmark yang juga cuek, tidak peduli apakah harus memanggil "Madam/Sir" saat percakapan formal. Bahkan anak-anak pun bisa memanggil orang tua mereka hanya dengan nama. Dari sini, saya merasa bahwa orang Denmark tidak terlalu suka hal-hal yang bersifat terlalu formal dan serius.

Bagi saya, mempelajari bahasa lokal merupakan proper manner sebagai pendatang. Saya lebih bangga jika mampu berkomunikasi dalam bahasa Denmark dengan pelayan di toko atau kafe meskipun tahu muka saya sangat-sangat Asia. Lagipula sebagai au pair, datang ke sekolah dan bertemu orang-orang baru yang sama struggling-nya belajar bahasa Denmark adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Saya tidak harus selalu berkutat dengan tugas rumah tangga setiap hari sehingga lupa bertemu teman baru. Flot!

Thursday, July 2, 2020

Tips Fakta Tentang Bahasa Denmark|Fashion Style

Wohooo.. Sudah nyaris satu tahun yang lalu saya membuat postingan tentang bahasa Denmark , tahun ini saya sudah masuk Modul 4. Apa yang menarik dari modul ini? Pelajaran tata bahasa makin sulit, tapi saya belum bisa juga bicara dengan baik.

Di kelas saya, mayoritas siswanya memang nyaris 90% bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Daripada capek-capek memikirkan kata per kata dan menyusun hingga jadi kalimat dalam bahasa Denmark, saya dan mereka keseringan berganti ke bahasa Inggris saja. Jadi bisa dibayangkan betapa beratnya perjuangan siswa kelas saya di bagian speaking bahasa Denmark ini.

Teman-teman au pair ataupun non-au pair yang dulu sempat mengambil kelas bahasa Denmark, banyak yang memutuskan menyerah. Begitu pun juga saya. Meskipun sempatupdandown menyusun mood datang ke sekolah, akhirnya saya putuskan untuk kembali datang ke kelas menemui teman-teman seperjuangan. Semakin dipelajari, semakin banyak fakta menarik soal bahasa bangsa Viking ini.

1. Datar dan tanpa irama

Bahasa Denmark diakui sebagai bahasa terjelek di Skandinavia oleh banyak orang. Tidak seperti bahasa Swedia yang lemah gemulai dan bernada, ataupun bahasa Norwegia yang lebih jelas cara bacanya, bahasa Denmark lebih mirip orang lagi kumur-kumur. Tidak hanya fantastic datar, tapi nyaris semua huruf dimakan.

Gara-gara label "terjelek" namun juga tersulit inilah, banyak pendatang memutuskan malas belajar bahasa Denmark. Alasan lainnya, tanpa bahasa Denmark pun, mereka tetap bisa bertahan hidup di kota-kota besar hanya dengan bahasa Inggris.

2. Rigsdansk

Sama seperti negara mana pun, tiap location biasanya memiliki dialek atau aksen di setiap bahasa resmi mereka. Di Denmark, dialek orang Aalborg berbeda dengan orang Ringk?Bing. Pun begitu dengan dua dialek tersebut, sangat berbeda dengan dialek orang-orang yang tinggal di sekitar location Kopenhagen.

Rigsdansk atau rich Danish sebenarnya merupakan tata bahasa resmi yang dipakai di Denmark hingga saat ini. Rigsdansk biasanya diajarkan di sekolah ataupun dipakai saat acara formal.

Lucunya, rigsdansk sering dikaitkan oleh bahasa orang-orang middle class di tahun 1800-an. Di tahun 1970-an, karena pusat pemerintahan ada di Kopenhagen, rigsdansk menjadi tata bahasa resmi sekaligus dialek tetap para Copenhageners ataupun orang-orang yang tinggal di area Sjælland.

Karena perbedaan dialek inilah, orang-orang Sjælland biasanya kesulitan mengerti dialek orang Jutland ataupun Bornholm. Mereka lebih sering disebut bahasa petani ataupun bahasa lower class karena tidak menggunakan standar bahasa Denmark yang dipakai oleh para Copenhageners.

3. Terkesan kasar

Saat belajar bahasa Inggris, kita sudah diajarkan soal pembagian bahasa formal dan non-formal. Untuk memanggil orang yang tak dikenal pun, kita tahu harus memanggil mereka dengan sebutan Sir atau Madam, jika tidak tahu nama belakang orang tersebut. Pun begitu saat saya belajar bahasa Prancis dan Belanda sewaktu di Belgia.

Di Denmark (dan juga bahasa Nordik lainnya), formalitas bukanlah ketetapan dari standarisasi satu bahasa. Selain kata undskyld yang berarti maaf (atau excuse me), saya tidak mengenal kata lemah lembut lainnya.

Atmosfir antara siswa dan guru pun tercipta dengan sangat kasual. Yang tua tidak gila hormat hanya untuk dipanggil Pak, yang muda pun tidak perlu pikir panjang hanya untuk bersikap sopan.

Ketiadaan bahasa formal, logat yang datar dan tanpa berirama, cocok saja jika bahasa ini terdengar cukup kasar di telinga.

Four. Betapa liberalnya bahasa ini

Orang Denmark termasuk yang sangat bebas dalam pemakaian bahasa mereka. Tidak seperti orang-orang di Britania Raya yang sangat sopan dan takut untuk memakai kata-kata kasar, orang Denmark justru sebaliknya.

Kata-kata makian yang bermakna seksual, kasar, dan tidak pantas dianggap biasa saja digunakan dalam percakapan sehari-hari. Karena terpengaruh tontonan Amerika, anak-anak kecil di Denmark sudah sangat akrab dengan F! word. Belum lagi para orang dewasa yang sering lepas kontrol mengucapkan kata serupa.

Di lirik lagu, deadline koran, ataupun majalah, kata-kata pinjaman dari Inggris-Amerika yang bermakna negatif sering dipakai. Karena hal inilah, tidak heran kalau orang Denmark juga dicap sebagai bangsa yang hobicursing.

Host kid saya yang baru berumur 5 tahun, bebas saja mengatai orang tuanya. Saya pernah mendengar gadis kecil ini sampai berteriak-teriak, "Ayah bodoh!" atau "Betapa bodohnya orang tua ku ini!". Seorang teman pernah bercerita, sepupunya yang berusia 13 tahun, bebas saja mengatakan, "Dasar ibu bodoh, such a b**ch!"

Reaksi orang tua mereka? Biasa saja. Malah hanya bertanya dengan lemah lembut, "Kenapa? Kenapa ibu sampai dikatai bodoh?"

Dulu, saat satu kata kasar keluar dari mulut kecil kami, orang tua saya tidak segan-segan mengambil cabe merah atau rawit untuk dimasukkin ke mulut kami. Memang tidak pernah terjadi karena hanya menakut-nakuti. Tapi jelas sekali, kalau no place for bad words at home!

Saturday, May 30, 2020

Tips Belajar Bahasa Asing dengan Anak-anak|Fashion Style

Dari awal sebelum datang ke Belgia, saya memang sudah berasumsi bahwa au pair adalah pertukaran budaya antara kita dan keluarga angkat . Dalam ajang pertukaran budaya ini juga, au pair diberikan kesempatan belajar bahasa lokal untuk memudahkan komunikasi sehari-hari dengan host kids dan lingkungan sekitar. Apalagi di Prancis yang kebanyakan penduduknya tidak bisa bahasa Inggris.

Sadar akan tinggal dengan keluarga multibahasa, saya rela beli buku pelajaran bahasa Belanda dan Prancis dari Kesaint Blanc sebagai modal awal 6 bulan sebelum keberangkatan. Meskipun banyak orang Belgia Utara paham bahasa Inggris, tapi saya tidak ingin terperangkap di zona nyaman hanya karena bisa bahasa tersebut. Kalau bisa, saya ingin meminimalisir penggunaan bahasa Inggris di rumah, terutama dengan anak-anak.

Setiap hari saya pelajari buku-buku tersebut secara otodidak dan memutar CD materinya. Sangat menyenangkan, apalagi sebenarnya saya memang suka belajar bahasa asing . Enam bulan belajar tentu saja tidak membuat seseorang langsung fasih bicara bahasa asing, apalagi saya tidak memiliki teman berlatih.  Namun setidaknya saya sudah mengenal beberapa frase atau kata-kata sederhana yang bisa digunakan saat berbicara dengan host kids.

Keluarga saya yang pertama sehari-hari menggunakan bahasa Prancis, meskipun mereka tinggal di lingkungan yang semua orang menggunakan Flemish (bahasa Belanda versi Belgia). Saat saya datang, anak mereka yang pertama baru berusia 2 tahun dan belum terlalu lancar berbicara. Jadi enaknya, kami bisa sama-sama belajar. Banyak kosa kata baru justru saya dapatkan langsung dari si orang tua.

Beberapa kali seminggu saya tetap ikut kursus bahasa Belanda, walaupun sesampainya di rumah kembali menggunakan bahasa Prancis. Saya tidak pernah sedikit pun menggunakan bahasa Inggris ke anak-anak, kecuali saat bicara ke host parents.

Rayan, anak tiri host mom yang berumur 9 tahun, kadang menginap di rumah dan sering kali mengajak saya mengobrol. Walaupun tahu saya tidak bisa bahasa Prancis, si anak ini tetap saja asik bercerita tanpa harus saya respon. Tapi gara-gara sering mengobrol ini juga, saya lalu jadi tempat curhat Rayan. Kalau tidak paham satu frasa atau kosa kata baru, Rayan tidak segan menjelaskan ke saya kembali memakai bahasa tubuh.

Pelajaran bahasa Prancis saya pun berlanjut dengan cleaning lady keluarga ini, Zeza, yang tidak bisa baca tulis. Zeza kadang jadi partner of crime saya kalau harus making a story dengan si host mom. Maklum, Zeza juga tidak terlalu suka dengan sifat host mom yang terlalu bossy.

Pindah dari keluarga ini, saya tinggal dengan keluarga asli Belgia yang sehari-hari berbicara bahasa Belanda. Sayangnya ketiga anak mereka sudah sangat fasih berbahasa Inggris dan tidak membantu pelajaran bahasa saya sama sekali. Mereka lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris untuk menghindari miskomunikasi. Pelajaran bahasa Belanda yang saya pelajari di sekolah pun seperti tidak membekas karena selama 7 bulan full saya jarang praktik, selain di supermarket atau toko roti.

Datang ke Denmark, saya lagi-lagi paham kalau bahasa yang akan digunakan berbeda. Sama seperti persiapan di tahun pertama, saya tetap berusaha mempelajari sedikit bahasa lokal sebelum datang ke negara aslinya. Karena bahasa Denmark tidak terlalu ngetop di Indonesia, saya hanya mempelajari kosa kata sederhana lewat Duo Lingo. Lumayan sih, setidaknya saya tahu kalau kylling itu artinya ayam.

Dua tahun di Denmark, saya betul-betul absen menggunakan bahasa Inggris di rumah dengan para host kid. Umur si kakak saat itu masih 4 tahun dan dua adik kembarnya baru 4 bulan. Emilia, si kakak, awalnya kesal dan mengalami kesulitan berkomunikasi karena saya seperti bisu tuli. Setahun kemudian, malah saya yang paling sering mengejek-ejek dia dengan bahasa Denmark.

Saya bersyukur karena semua host parents tidak pernah memaksa saya menggunakan bahasa Inggris ke si anak. Host parents juga sangat senang saat tahu saya tertarik mempelajari bahasa lokal. Banyak kata-kata baru saya dapatkan langsung dari mereka, terutama di meja makan atau saat mereka menegur si anak. Kata-kata ini kadang saya gunakan kembali sebagai senjata saat si anak tidak mendengar omongan saya.

Satu hal yang saya suka belajar bahasa asing dengan parahost kid adalah mereka tidak pernah mengecap bahasa asing saya jelek. Mungkin awalnya si anak ini hanya "hah?" dengan raut aneh. Tapi setelahnya, mereka tidak ambil pusing dan kadang dengan baik hati membenari ejaan saya yang salah. Berbeda dengan para orang dewasa yang malas mendengar imigran berbicara salah-salah dan lebih menyarankan diganti ke Inggris saja.

Dari pengalaman ini, saya tahu, kalau kamu ingin dekat seperti teman dengan host kids, maka speak their language—meskipun patah-patah! Jangan paksa host kids untuk memahami apa yang kita inginkan. Jangan juga menyalahkan mereka yang tidak bisa berbahasa Inggris. This is our own responsibility to learn their culture and language. Katanya ingin exchange culture kan? Ya inilah saatnya untuk belajar bahasa baru.

Saya tahu, mungkin kita hanya akan tinggal selama setahun atau dua tahun di negara tersebut. Saya juga paham mungkin banyak au pair yang merasa tidak niat belajar bahasa lokal karena tidak tahu akan digunakan dimana. Tapi menurut saya, tidak ada pembelajaran yang sia-sia.

Saya sempat belajar bahasa Prancis 3 tahun lalu dan tidak tahu kapan akan menggunakannya kembali. Musim panas tahun ini, ternyata saya berkesempatan mengunjungi Prancis lagi bersama keluarga yang sekarang. Meskipun banyak kata-kata yang terlupa, tapi sedikit-sedikit saya masih bisa bertanya harga di pasar, mengeja angka, ataupun mengerti sedikit apa yang orang lokal katakan.

Sama halnya seperti bahasa Denmark yang katanya bahasa terjelek di Eropa. Saya tetap bangga mempelajarinya, meskipun dulu saya juga tidak tahu apa manfaatnya kalau harus pulang ke Indonesia. Ternyata, saya pun kembali ke Norwegia yang bahasanya mirip-mirip Danish. Satu lagi, saya juga merasa bangga bisa mengeja dan tahu sistem angkaDanish yang nobody in the North can understand, but Danes. Bahkan kalau ada kesempatan lagi, rasanya ingin meneruskan pelajaran bahasa Denmark yang terhenti sampai Modul 4 tahun lalu.

Jadi tidak salahnya mengisi waktu luang datang ke tempat kursus dan belajar bahasa baru, apalagi kalau host family bersedia membayari. Just take that chance! Lha, daripada hanya manyun dan bersih-bersih di rumah. Teman berlatih pun sudah ada, para host kid. Karena meskipun sudah belajar di sekolah, tapi saya tetap merasa kalau tutor terbaik saya selama di Eropa adalah host kids itu sendiri.

Percayalah, kamu akan bangga dengan diri mu sendiri kalau bisa menguasai bahasa asing lain selain Inggris. Plus, jadi modal juga mempercantik cv kerja. So, would you like to learn a new language when you are moving abroad?

Thursday, May 28, 2020

Tips Tinggal di Norwegia, Belajar Norsk|Fashion Style

Bahasa Norwegia (Norsk) adalah bahasa resmi yang dipakai di Norwegia dengan dua penulisan yang berbeda, Bokmål (Book language) dan Nynorsk (New Norwegian). Dua-duanya mirip secara linguistik namun pada dasarnya lebih dianggap sebagai "dialek dalam tulisan". Bokmål diajarkan dan dipakai oleh 90% populasi Norwegia, sementara Nynorsk hanya dipakai oleh 10% penduduk Norwegia di bagian barat.

Sebetulnya bahasa Norwegia bukan bahasa baru bagi saya. Layaknya bahasa Nordik yang mirip-mirip, pola tatabahasa dan penulisannya seragam dengan bahasa Denmark dan bahasa Swedia. Saya sempat belajar bahasa Denmark sampai Modul 4 dan beruntungnya hal tersebut cukup membantu saat awal berkenalan dengan host kids.

Tapi meskipun penulisan bahasa Denmark dan Norwegia sangat mirip, jangan bayangkan pelafalannya. Norsk terdengar lebih masuk akal dan cocok bagi lidah orang Indonesia. Kalau bahasa Swedia dan Norwegia intonasinya seperti orang bernyanyi, bahasa Denmark lebih terdengar seperti orang mengunyah kentang panas. Belum lagi sistem penomoran bahasa Denmark yang berbeda sendiri dan terkesan lebih tidak masuk akal, karena hanya mereka sendiri yang mengerti se-Skandinavia.

Contoh pelafalan:

Tager (Dansk) - Tar (Norsk) yang artinya mengambil, dibaca Taa' (Dansk) dan Tar (Norsk).

Haven (Dansk) - Hagen (Norsk) yang artinya kebun, dibaca Hewun (Dansk) dan Hagen (Norsk).

Toget (Dansk) - Toget (Norsk) yang artinya kereta, dibaca To' (Dansk) danToge (Norsk).

Hvorfor (Dansk) - Hvorfor (Norsk) yang artinya mengapa, dibaca Wo'foa (Dansk) dan Wurfur (Norsk)

67

Norsk : sekstisju

Svenska : sextiosju

Íslensku :sextíu og sjö

Dansk : syvogtres (tujuh dan enam puluh) - tres = 60

70

Norsk : sytti

Svenska : sjuttio

Íslensku : sjötíu

Dansk : halvfjerds (baca: helfias) ☹

Terlepas dari penulisan yang mirip dengan bahasa Denmark, saya tetap harus mulai lagi kursus Norskdari level paling dasar (A1). Sama halnya dengan bahasa Indonesia dan Malaysia, beberapa bahasa Skandinavia juga memiliki kata-kata berbeda yang memiliki makna sama. Contohnya anak perempuan, Pige (Dansk), Jente (Norsk), dan Flicka (Svenska). Meskipun memungkinkan untuk lompat level, tapi saya tetap butuh pedoman dasar untuk berlatih dengan host kids. Lagipula gol utama saya bukan untuk naik kelas saja, tapi juga belajar kosakata dan frasa paling sederhana hingga penekanan pada intonasinya.

Sistem edukasi bahasa di Norwegia bagi pendatang asing berbeda dengan Denmark. Di Denmark, keluarga angkat saya harus membayar uang muka sekitar 5400 DKK untuk biaya kursus. Setiap pendatang yang sudah mendapatkan Social Security Number sangat disarankan untuk mempelajari bahasa Denmark di berbagai sekolah bahasa, GRATIS! Hal tersebut menjadi wajib kalau pasangan kita warga negara Denmark, karena berhubungan dengan jaminan yang dibayar oleh pasangan di balai kota sebagai izin kita tinggal.

Dari suplemen belajar sampai buku pelajaran disediakan secara cuma-cuma untuk mendukung para pendatang mempelajari bahasa lokal. Sayangnya, banyak pendatang yang tidak serius belajar bahasa Denmark dan berhenti di tengah jalan. Kabar yang saya dengar, partai anti-imigran di Denmark mulai menghapuskan free Danish course tahun ini dan mewajibkan pendatang untuk membayar deposito penuh sebagai jaminan hingga tamat sampai Modul 5. Karena tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah lagi, beberapa sekolah bahasa swasta bahkan berencana tutup.

Kembali ke Norwegia, sekolah bahasa disini dikelola oleh swasta dan pribadi. Disini kita harus membayar 3000-6000 NOK per level dengan masa studi 1,5 bulan untuk kelas 2 kali per minggu. Belum lagi kita diwajibkan memiliki dua buku pengantar yang harga totalnya hampir 1000 NOK. Buku ini harus asli dan tidak boleh difotokopi.

Tapi, ada pengecualian untuk beberapa grup imigran tertentu yang bisa mendapatkan kursus dan training gratis selama 3 tahun. Salah satunya adalah pendatang yang memegang residence permit karena living together atau menikah dengan warga asli salah satu negara Nordik. Kursus ini memang lebih lama dibandingkan kursus di tempat lainnya karena tujuannya tidak hanya belajar bahasa, namun mempersiapkan para pendatang untuk tinggal lebih lama dan jadi warga negara tetap.

Sekolah bahasa di Norwegia tersebar di banyak tempat tergantung dengan kebutuhan kita. Ada kursus privat 1-1 untuk memperlancar komunikasi, ada juga institusi resmi yang memberikan sertifikat setelah masa pembelajaran. Bagusnya, hampir semua institusi dan kursus privat menerapkan kelas dengan grup kecil yang hanya membatasi 8-10 orang saja. Beberapa kenalan Filipina saya juga ada yang menyarankan ikut kursus daring gratis yang diselenggarakan oleh University of Oslosebagai pengenalan.

Khusus untuk au pair di Norwegia, keluarga angkat wajib menyubsidi iuran kursus hingga 8400 NOK per tahun. Tergantung kesepakatan apakah keluarga angkat bersedia membayar lebih atau tidak, karena seperti kasus teman saya yang hanya dibiayai satu level saja lalu keluarganya angkat tangan.

Menurut saya, sekolah bahasa di Norwegia betul-betul dijadikan lahan bisnis. Dari level A1 sampai C2 (total 600 jam) dipisah-pisah dan diberlakukan iuran khusus untuk tiap level. Selesai satu level, kita mendapatkan sertifikat yang menyatakan telah selesai mengikuti 36 jam pelajaran. Normalnya, kalau ingin mendapat permanent residence, pendatang hanya wajib menyelesaikan minimal 250 jam pelajaran atau lulus tes kecakapan oral dan tertulis minimal level A2.

Untuk tes kecakapan ini pun kita harus membayar lagi. Beberapa tempat kursus bahkan menawarkan tes prepatori yang harganya juga super mahal. Jadi ya, apa-apa diduitin hanya demi lulus tes. Selain memenuhi syarat sekolah bahasa atau lulus tes, bagi yang berminat jadi permanent residence juga diwajibkan mengambil kelas Social Studies (tentang Norwegia) sampai 50 jam atau lulus tes Social Studies dalam bahasa Norwegia.

Sebetulnya kalau hanya ingin mengejar syarat 250 jam tersebut, kita bisa mengambil kelas super intensif yang kurang dari dua tahun juga selesai. Kalau punya banyak waktu dan uang, boleh juga mengambil kelas mega intensif selama 750 jam yang sudah termasuk kelasSocial Studies. Harganya memang mencengangkan, 66.600 NOK! Tapi sudah selesai hanya dalam waktu satu tahun.

Saya sekarang sedang meneruskan level A1-2 di Alfaskolen , Oslo. Harga kursus per levelnya 4760 NOK. Saya tidak perlu membeli buku pengantar lagi karena sudah diwarisi oleh au pair sebelumnya. Tapi kalau memang ingin mencari yang murah, coba buka Finn.no , pusat jual beli barang second di Norwegia.

Untuk harga segitu, belajar di Alfaskolen termasuk mahal. Sudah untung tahun ini keluarga saya masih mau menanggung semua biaya A1 yang totalnya lebih dari 8400 NOK. Sebetulnya ada banyak tempat yang lebih murah di Oslo, seperti Caritas atau Language Champ yang sangat dekat dengan rumah. Sayangnya, jadwal yang cocok bagi saya dan keluarga hanya di Alfaskolen itu. Keluarga angkat saya juga sepertinya keberatan keluar uang lebih sampai tahun depan kalau saya ingin lanjut A2.

Saya masih sangat antusias belajar Norsk, tapi saya sendiri juga tidak tahu akan kemana setelah selesai kontrak. Kalau tidak berencana mencari kerja dan tinggal di Norwegia lebih lama, belajar bahasa lokal secara tekun sebetulnya hanya buang-buang waktu. Bahkan jika harus memilih, saya malah ingin lanjut belajar bahasa Denmark saja ketimbang Norsk. Daripada tahu banyak bahasa tapi sedikit-sedikit, lebih baik tahu sedikit tapi sangat fasih.

Sejujurnya, saya juga berpikir untuk menyerah belajar Norsk dan mengalihkan subsidi dari keluarga angkat ke hal lain saja. Di Kopenhagen, saya bisa dengan mudah menemukan kursus desain , keramik, hingga bahasa lain. Di Oslo, sudah di-googling kesana kemari, tetap tidak ada kursus kreatif yang menarik perhatian. Ada, Folkeuniversitetet dan Blank Space yang mengadakan. Tapi itupun tempatnya cukup jauh dan waktunya tidak tepat dengan jadwal host family saya .

"When you are about to give up, just try to keep doing it for fun," kata seorang teman.

Betul. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan , daripada hanya manyun di rumah, lebih baik datang ke tempat kursus sekalian cari angin segar, bertemu teman baru, dan juga melatih otak. Anyway, saya juga paham kalau sebetulnya tidak ada ilmu yang sia-sia.

Kalau kamu jadi saya, would you keep learning Norwegian just for fun?