Showing posts with label tidak enak tinggal di luar negeri. Show all posts
Showing posts with label tidak enak tinggal di luar negeri. Show all posts

Wednesday, May 27, 2020

Tips 6 Hal yang Saya Rindukan Sejak Menjadi Au Pair|Fashion Style

Berkesempatan tinggal di luar negeri adalah salah satu pengalaman transformatif dan tak terlupakan seumur hidup. Bisa karena melanjutkan sekolah, mendapatkan pekerjaan di perusahaan asing, ikut suami migrasi, atau pun jadi au pair. Namun apapun alasannya, semua orang mengakui bahwa hijrah ke luar negeri itu tidak mudah . Kamu harus berlatih untuk adaptasi dengan budaya baru, memaksa diri untuk belajar bahasa lokal, berpikiran lebih terbuka dengan perbedaan, sampai memaklumi rasa kesepian.

Saya sendiri merasa beruntung selama hampir 4 tahun ini jadi au pair dan bisa tinggal di 3 negara berbeda di Eropa. Tapi jadi au pair di Eropa tentu saja tidak selamanya bahagia. Di Eropa Utara, kebanyakan orang lokalnya terkenal tertutup dan tidak terlalu membuka kesempatan untuk berteman dengan orang baru. Jadi pelajar atau ikut suami masih lebih baik, meskipun sama-sama homesick, namun setidaknya setiap hari bertemu teman di kelas ataupun ada yang bisa diajak mengobrol di rumah.

Jadi au pair, kamu harus tinggal dan bekerja di rumah saja selama 5-6 hari per minggu. Yang bisa diajak main hanya host kids atau hewan peliharaan. Yang bisa diajak bicara hanya host parents yang belum tentu juga nyaman dijadikan teman. It's so frustrating!

Tahun keempat saya di Norwegia adalah yang terberat. Bayangkan saat kamu harus pindah-pindah negara dalam waktu 4 tahun, bukannya menyenangkan malah melelahkan. Sudah nyaman dengan satu negara dan punya teman dekat, harus pindah lagi ke negara lain. Apalagi kesempatan bertemu orang baru di Oslo tidaklah selebar saat saya di Kopenhagen atau Brussels. Proses pencarian teman harus mulai dari awal lagi dan belum tentu juga langsung cocok.

Saya tak pernah menyesal dengan pengalaman yang pernah saya dapatkan di tiap negara selama menjadi au pair. Namun ada beberapa hal yang merasa hilang dan selalu dirindukan.

1. Berpikir kritis

Saya lulus kuliah S1 tahun 2014, lalu sebulan kemudian langsung berangkat ke Belgia dan jadi au pair untuk pertama kalinya. Saat itu saya betul-betul penat selepas wisuda dan bersumpah untuk tidak akan melanjutkan kuliah master. Hari-hari sebagai au pair saya lalui dengan ringan karena the first world problem hanyalah memikirkan kemana nongkrong weekend ini atau negara mana yang harus saya singgahi saat liburan.

Nyaris empat tahun kemudian, saya jenuh terus-terusan hidup manja dibawah naungan fasilitas mewah dari host family yang seringkali berdampingan juga dengan rasa hampa. Saya rindu teman kuliah yang dulunya obrolan kami tidak terbatas dari hal kecil seperti dosen rese hingga politik luar negeri. Sampai sini, topik terpanas hanyalah seputarhost family, urusan anak, ataupun cowok Tinder.

Terlalu lama jadi au pair juga membuat banyak kosakata bahasa Inggris saya ikut hilang karena setiap hari hanya membahas dapur dan anak. Pernah suatu kali diajak diskusi masalah imigran di Eropa, saya gagu karena bingung melemparkan kata-kata yang pas dalam bahasa Inggris. Setelah masa vakum lebih dari 4 tahun ini, otak saya sepertinya perlu diajak berpikir lebih mendalam agar tetap kritis dan bijak melihat masalah dari banyak sisi.

2. Teman dekat

Lingkup pertemanan au pair itu super sempit. Dari Senin sampai Jumat, bahkan Sabtu, kerjanya hanya di rumah mengurus anak dan rumah orang. Beruntung kalau host parents kita termasuk orang yang asik diajak cerita. Seringkali, host parents tak lebih dari sekedar 'bos' yang membuat kita segan dan menjaga jarak.

Kalau hanya cari teman hangout setiap minggu, mungkin bisa ikut salah satu event di Meetup atau Couchsurfing. Tapi menemukan teman sehati yang bisa diajak cerita dan mengerti dengan kondisi kita, itu yang susah. Apalagi saya sedikit picky memilih teman. Kenal boleh, tapi belum tentu besoknya orang tersebut saya ajak jalan. Saya juga bukan seperti para au pair Filipina yang terlalu nyaman dengan geng Filipinanya saja. Bagi saya, kebanyakan teman Indonesia di luar negeri itu bisa jadi bumerang. Belum lagi kalau cekcok dan kebanyakan drama, duh, no way!

Makanya hidup au pair itu sebetulnya lebih banyak kesepiannya. Datang ke tempat kursus, belum tentu pulang-pulang membawa teman. Pun berniathaving fun dengan orang baru kesana kemari, belum tentu juga meninggalkan kesan setelahnya. Ujung-ujungnya hanya berteman dengan sesama profesi au pair saja. Bahkan cari pacar yang pengertian kadang lebih gampang ketimbang cari teman.

3. Being creative

Saya rindu menggambar, menjahit, atau membuat pernak-pernik lucu sebagai hobi untuk membunuh kejenuhan. Di Belgia dulu masih enak, bahan membuat kerajinan tangan masih mudah didapat dengan harga yang cukup terjangkau. Di Skandinavia, saya kadang takut merogoh kocek lebih dalam hanya untuk segulung benang jahit.

Anyway, sebetulnya jiwa kreatif saya mati bukan juga karena takut membuang uang. Tapi entah kenapa saya merasa kehilangan inspirasi dan motivasi. Terakhir kali merasa menjadi kreatif adalah tahun lalu, saat saya membuat mahkota kertas berbentuk kupu-kupu sebagai pelengkap saat Bachelorette Party seorang teman di Kopenhagen. Lantai kamar jadi berantakan dan penuh dengan guntingan kertas, but at the same time I found my soul.

Four. Privasi

Meskipun au pair katanya dianggap sebagai keluarga, faktanya kita tetaplahthe outsider. Saya pernah mengundang seorang teman ke rumah host family. Kamar saya letaknya di lantai dasar, sementara dapur dan ruang tamu di lantai dua. Karena saat itu sudah lewat jam makan malam, saya berinisiatif ke atas mengambil minum dan masak makanan untuk si teman ini. Tak disangka, ternyata si teman ikut menyusul ke atas karena katanya ingin ikut membantu.

Sadar ekspresi host parents saya tiba-tiba berubah masam saat si teman ada di dapur, saya suruh saja si teman ini turun dan menunggu di bawah. Benar saja, 10 detik kemudian host dad menghampiri saya dan mengatakan kalau hanya saya yang boleh menginjak ruangan inti. Jlebb! Padahal tidak ada aba-aba dari mereka sebelumnya apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama tamu saya datang.

Yang saya lihat, host family ini memang bukan tipe keluarga yang nyaman dengan orang asing. Tamu saya ya tamu saya, bukan tamu mereka. Selagi tamu saya bukan mereka yang mengundang, tamu saya tidak diperkenankan naik ke atas dan melihat-lihat isi rumah. Bahkan saat ituhost mom menyuruh kami makan di kamar saja. Bahh! Padahal siapa juga yang ingin makan di meja makan mereka.

Di satu sisi saya memahami kalau host family ini memang butuh privasi dan tidak ingin ada orang lain berkeliaran di rumah mereka. Tapi di sisi lain, saya rindu kenyamanan dan privasi diri sendiri yang tiada seorang pun berani melarang saya melakukan apapun. Kadang saya berpikir, daripada jadi live-in au pair, lebih baik memilih live-out. Meskipun hanya memiliki kamar sewaan sepetak murah, namun bebas mengundang siapa pun tanpa harus izin dulu. Tapi ya, impossible!

5. Karir

I wonder, what is my professional talent apart from highly skilled in changing the diapers or carrying the toddlers in one hundred and one styles?

What should I installed my CV whereas my previous (and modern) running revel in is just being an au pair?

Tahu kan, au pair itu sebetulnya tidak dianggap sebagai pekerjaan meskipun kita memiliki working permit. Di Skandinavia, meskipun kasusnya au pair dapat tunjangan dan mesti bayar pajak , tapi pekerjaan ini hanya diasumsikan sebagai pertukaran budaya saja. Selain itu, banyak orang tidak tahu au pair itu apa. Makanya menggambarkan au pair sebagai suatu pengalaman kerja profesional sebetulnya belum pantas. Apalagi kalau kita melamar pekerjaan di jabatan yang sama sekali tidak berhubungan dengan childcare.

Saat ini saya hanya menaruh posisi au pair pada "additional experience" di bawah "working experience". Daripada menuliskan detail pekerjaan sebagai tukang masak, jaga anak, dan cleaning lady, sebaiknya tulis di deskripsi kalau kita memiliki pengalaman di dunia internasional dalam menghadapi cross-cultural communication serta memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan atau budaya baru.

Au pair is a superb experience. But I couldn't get a job I need by means of simply picturing myself as a high professional au pair.

6. Rumah

Saya dan adik saya kebetulan memang sedang jauh dari rumah. Saya di Norwegia, sedangkan si adik sedang menyelesaikan studinya di Cina. Meskipun jenuh dan kesal juga dengan kelakuan orang Indonesia zaman sekarang, tapi kami tidak pernah membenci rumah dan selalu menanti pulang ke Indonesia.

No matter what, we call Palembang home . Kami selalu rindu kesederhanaan rumah , rindu makanan Palembang, rindu gerobak model di depan masjid, rindu Go-Jek, rindu menyetir, rindu joke ala wong kito galo, dan rindu juga teman atau keluarga yang rasa sayangnya tidak berubah meskipun ditinggalkan.

Ini fakta, lho! Saya pikir, setelah meninggalkan Indonesia selama 4 tahun, saya akan kehilangan banyak teman. Apalagi banyak sekali teman dekat saya dari SD hingga kuliah sudah menikah dan memiliki anak. Salutnya, meskipun tahu saya tidak akan pernah bisa datang di hari H, mereka tetap mau mengirimkan undangan nikah bahkan mencetak nama saya langsung di undangan tesebut. Terharu!

What might you leave out the most whilst leaving Indonesia?

Tuesday, May 5, 2020

Tips Belajar Ski Gratisan|Fashion Style

Punya kesempatan tinggal di Norwegia, belajar ski atau setidaknya mencoba berdiri di papan ski adalah salah satu aktifitas yang ada dalam list saya. Kapan lagi bisa belajar ski di negara yang selalu langganan menjuarai olimpiade internasional ini?! Dua tahun ke belakang, pekerjaan saya hanya menjaga host kids di arena ski sementara orang tuanya menghabiskan waktu di slopes. Iri rasanya.

Tahun ini, saat Norwegia Selatan baru diguyur salju lebat di awal Maret, saya manfaatkan belajar main ski dengan pelatih pribadi dan tercinta saya, Mumu ! Well, he vowed to teach me since last year! Biaya kursus ski di Norwegia, khususnya Oslo, untuk 50 menit pertama dimulai di angka NOK 1500 (€150) untuk belajar 1-on-1. Harga tentu saja sangat beragam berdasarkan tempat, durasi, serta jenis ski apa yang ingin kita pelajari. Jadi kalau kebetulan punya kerabat atau kenalan yang bisa mengajar dari dasar, mengapa tidak.

Tapi meskipun olahraga ski dan Norwegia adalah dua hal yang sama-sama mahal, masih ada yang gratisan di negara ini, lho! Berawal dari informasi profesor saya di kampus, pacar beliau sedang mengelola bisnis penyewaan alat olahraga seperti ski, canoe, atau ice skating, yang dibiayai pemerintah. BUA adalah organisasi nasional yang sangat mendukung anak muda melakukan banyak aktifitas di luar ruangan, tanpa perlu takut membayar mahal demi membeli alat.

Silakan buka situs BUA  (dalam bahasa Norwegia) yang tersebar seantero Norwegia untuk mengecek lokasi terdekat dari tempat mu. Mereka menyewakan banyak sekali alat untuk menunjang aktifitas luar ruangan, seperti ice hockey, downhill dan cross country skiing, ice skating, canoe, serta banyak lainnya. Untuk menyewa alat di sini, kita hanya perlu datang ke salah satu pusat BUA terdekat dan memilih alat apa yang kita inginkan. Kita lalu mendaftar on the spot dan semua alat bisa disewa secara gratis selama 7 hari.

Bagi yang tertarik menyewa, jangan lupa cek jam buka serta ketersediaan stok ukuran di lokasi tersebut. Ada baiknya menelpon terlebih dahulu untuk mengecek apakah di satu BUA punya ukuran yang kita inginkan, sebelum mengecek ke BUA lainnya. Karena disewakan secara gratis, mereka tidak menerima reservasi dan sangat disarankan kita datang sendiri mencoba alat; terutama sepatu.

Karena saya dan Mumu sepakat akan belajar ski di area hutan, maka saya diharuskan memiliki semua perlengkapan untuk cross country skiing. Ibunya Mumu berbaik hati meminjamkan saya papan, tongkat, dan sarung tangan ski karena memang tinggi kami setara. Untuk outwear dan inwear yang hangat, saya cukup beruntung banyak diwarisi pakaian dari host family terdahulu. Sementara sepatu, saya dan Mumu harus berkendara agak jauh ke BUA Lier karena saat mengecek stok sepatu, mereka punya ukuran saya dan BUA ini yang masih buka di hari itu.

Sayangnya pas datang ke sana, sistem di situs dan aslinya tak sama. Sepatu ukuran saya tak ada, namun beruntung karena saya bisa up 1 dan stok sepatunya masih ada. Bagi yang tak mengerti memilih jenis papan dan tongkat ski, pegawai yang ada di BUA ini dengan sangat siap membantu. Mereka juga akan membantu dimana kita bisa mendapatkan ukuran yang tepat di BUA terdekat lainnya.

Oke, lalu apa bedanya cross country dan downhill (alpin) skiing. Untuk cross country, biasanya dilakukan di daerah yang lebih flat semisal daerah perhutanan. Sementara untuk downhill, lebih banyak dihabiskan di daerah berlandai seperti pegunungan yang tinggi. Untuk mengjangkau tempat ini, kita mesti datang ke arena ski di daerah pegunungan yang punya tiket masuk kalau ingin naik lift sampai ke daerah yang lebih tinggi. Tapi bagi Mumu, downhill sebetulnya lebih fun dan mudah untuk dipelajari karena yang kita lakukan hanya turun dari landaian dan belajar bagaimana caranya berhenti.

Sebetulnya, bagi para pemula sangat disarankan datang ke region ski anak-anak yang lebih luas dan tepat untuk belajar. Tapi karena ski arena memang sangat ramai saat akhir pekan, ada baiknya datang saat hari biasa atau pagi-pagi sekali sebelum banyak orang mengerumuni place.

Untuk kursus pertama, saya memulai di area perhutanan di Lierskogen yang areanya sepi tapi terlalu sempit untuk belajar. Namun bagi saya yang baru belajar ski saat sudah tua seperti ini, daerah yang sepi menjadi sangat pas tanpa takut malu dan merasa terintimidasi oleh anak-anak kecil yang sudah sangat lancar berski di arena ski. Ada perasaan takut tergelincir, takut tak bisa berhenti, dan takut segala hal saat baru mulai. Tapi beruntung juga punya guru seperti Mumu yang sangat sabar mengajari meskipun awalnya doi bingung sendiri harus mulai mengajar dari mana.

Untuk cross country skiing, Skiforeningen, organisasi di Norwegia yang bertugas membuat track ski di hutan sudah menyediakan track khusus yang memudahkan beginner seperti saya ini belajar. Untuk 50 menit pertama, saya setidaknya sudah mampu menuruni tebing tanpa takut jatuh dan fokus menyeimbangkan badan. Padahal sebelumnya, papan jalan sedikit saja sudah sangat takut. Belum lagi jatuh sampai tak bisa bangun sendiri itu sudah pasti. Trust me, cross country skiing is sooooo tiring! Karena kita mesti menyeimbangkan badan, lengan, dan kaki agar papan ski terus melaju. Gerakan lengan menjadi sangat penting untuk terus mendorong papan ke depan. Jangan heran setelahnya badan jadi sakit karena otot dipaksa melakukan hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya.

But overall, skiing is so fun! I want to train myself moooore, karena saya dan Mumu sudah punya rencana untukskitur (ski touring) di hutan sekalian membawa bekal untuk dimakan di perjalanan.Sounds so Norwegian!Belum lagi bulan ini saya dan teman sekelas juga punya rencana ke Hemsedal untuk belajardownhill skiing untuk pertama kalinya sekalianhyttetur (apa itu hytettur, cek postingan saya di sini !).

Kalau punya kesempatan tinggal di Norwegia, jangan takut untuk menghabiskan waktu di luar saat musim dingin dan mencoba olahraga kebanggan orang lokal, ski! Alat-alat bisa disewa gratis dan kita hanya perlu menemukan seseorang yang mau mengajar. Kalau tak punya teman atau pacar yang mau mengajari, saya sangat menyarankan mengikuti kegiatan Caritas Au Pair via Facebook page mereka. Organisasi yang menaungi para au pair di Norwegia ini, biasanya punya agenda ber-ski dan ice skating gratis di Oslo yang bisa dilakukan ramai-ramai dengan au pair lainnya. Kamu juga bisa melihat event di Meetup atau Couchsurfing jika sesekali ada yang mengadakan kursus ski bagi pemula.

Make your experience richer whilst living in Norway via trying new stuff you can't do in Indonesia or any 'hotter' European nations!