Karena semester tahun ini hampir berakhir dan sedikit cheating deadline tugas dari kantor, saya memutuskan untuk mengisi hari dengan menonton drama series di Netflix. Series are not my thing, sebetulnya. Kenapa, karena saya mudah bosan dan tidak betah berlama-lama menonton kelanjutan cerita. Tapi karena memang sedang suntuk, jadinya mulai lagi mengecek beberapa drama Korea yang paling direkomendasikan tahun ini.
Tahu sendiri kan drama seri buatan Asia itu kaya konflik mulai dari persahabatan, keluarga, hingga percintaan?! Makanya tak heran dari dulu film India, dorama Jepang, series vampir cantik atau percintaan dari Cina/Taiwan, dan drama Korea sukses ditonton banyak orang Indonesia sampai booming, karena memang cerita hidupnya sangat related dengan budaya kita sebagai orang Asia sehari-hari.
Hanya saja, karena biasanya sering terlarut saat nonton drama Asia, ada satu hal yang saya sangat rindukan back in the old days; the dating cultures! Oh man, I missed all those things about secret admirers, childhood love, dan semua proses perkenalan yang dimulai sebelum pacaran!! Gara-gara teringat semua cerita cinta saya dulu kala (hwekk..), saya dan Mumu sampai punya topik pembicaraan sendiri soal ini.
"Mu, kalau kamu bisa memilih antara bisa punya pacar lewat Tinder atau kenal dari koneksi, kamu lebih pilih yang mana?" tanya saya setelah menonton beberapa episode drama.
"Tentu saja bukan lewat app atau online dating!"
"Oh yeah, you know what.. I am so lucky having you by my side right now. But if I may be honest, I am not that so happy we knew each other through Tinder," kata saya.
Kasihan si Mumu,I am being too harsh on him 😟. Gara-gara obrolan ini juga, Mumu sampai menyangka kalau saya ingin putus dan berusaha mencari pacar lagi bukan lewat app. My wish!Here, in Scandinavian countries, ketika banyak orang terlalu sibuk sekolah & kerja, miskin koneksi, dan bukan budayanya untuk tiba-tiba menyapa orang asing, cara paling utama untuk mencari pasangan memang lewat online dating. (Baca postingan tentang karakter cowok-cowok Skandinavia !)
Online dating sucks!! Apalagi kamu adalah cewek asing yang harus pindah ke luar negeri, lalu berusaha mencari belahan hati. Ketemu cowok ala-ala drama Asia di taman, lalu tiba-tiba menyapa, minta nomor ponsel lalu jadian? Mimpi! Atau, kamu berharap ketemu cowok lucu yang lagi duduk sendirian di kafe, lirik-lirikan, lalu pura-pura salah tingkah sampai akhirnya si cowok menghampiri dan memulai obrolan? Girls, you are watching too much Hollywood things!
Kalau dulu kita tak akan bisa menjemput jodoh hanya dengan duduk di rumah, zaman sekarang sudah berbeda. Asal punya smartphone dan koneksi internet, lagi nongkrong di WC pun bisa saja tiba-tiba menemukan pasangan impian dari balik layar. Mari ambil contoh kehidupan para au pair, yang didominasi oleh cewek-cewek muda yang datang ke Eropa sekalian mencari cinta . Tinggal unduh atau daftar diri di salah satu online dating, geser kanan kiri, sama-sama matched, tukar pesan sehari dua hari, lalu kemudian hari bisa saja sudah jadian. Itu kalau memang cocok dan kebetulan berjodoh. Belum lagi ditambah drama lainnya. Drama si tukang pencari hiburan alias mencari teman tidur semata, ghosting, texting miscommunication, dan masih banyak hal lain yang membuat kita semakin mudah terbawa perasaan dengan orang baru lewat dunia maya.
Apalagi online dating sesungguhnya memang sangat menguntungkan bagi kaum Hawa karena sehari dapat 100 Likes dan 50 pesan pun mudah saja. Kadang saking populernya di situs kencan, kebanyakan cewek juga tak sempat lagi membalas semua pesan atau justru kerajinan sampai jari keriting membalasi semua pesan yang masuk. Makanya saya tak wow, menemukan profil seorang teman yang sudah matched dengan lebih dari >500 cowok di situs kencan, tapi kehidupan percintaannya di dunia nyata lempem saja.
Mencari jodoh memang semakin mudah karena bantuan situs atau app pencari teman kencan. Deretan profil dan foto-foto cowok ganteng atau cewek seksi terpampang jelas untuk didekati sesuai dengan tipe kita. Kalau dulu ada yang namanya mak comblang, sekarang dengan bantuan algoritma preferensi dan karakter, situs atau app kencan mudah saja menemukan calon-calon orang yang cocok dengan karakter tersebut. Oh, seems so obvious! Tapi, apa mencari cinta sejati memang semudah swipe kanan kiri? Definitely NOT!
Keseringan, kita harus jadi serial dater terlebih dahulu sebelum menemukan pasangan yang benar-benar tepat dan inilah fase paling melelahkannya. Kita tak hanya harus berkorban waktu dan usaha untuk satu orang saja, namun harus terlibat kencan dengan 2 atau bahkan 4 orang lainnya dalam satu waktu. Belum tentu semua orang ini cocok dan sesuai dengan isi profilnya. Lalu fase lingkaran kencan pun terus berputar, cari lagi, ketemu lagi, sampai akhirnya kita lelah sendiri terus-terusan memperkenalkan diri ke orang-orang baru saat pertama kali ketemu. Kenapa saya tahu, karena sayalah mantan serial dater itu! HAH!
Dulunya, proses kenalan dan pedekate tidaklah mudah. Contohnya sewaktu kuliah, saya sering melihat cowokberinisial F di halte bus saat ingin berangkat ke kampus. Hampir setiap hari saya selalu menyempatkan datang ke halte di jam-jam yang sama dengan doi hanya karena ingin melihat gaya doi hari itu. Tak tahu harus memulai dari mana, suatu hari saya kebetulan menemukan nomor ponselnya darimana entahlah, lalu berusaha SMS tak penting menanyakan soal tugas. Padahal kami lain fakultas!
Atau, proses saya kenalan dengan seorang cowok saat mengikuti kuliah umum. Saat itu saya seperti love at the first sight dengan si Y yang secara tiba-tiba lewat di depan kelas. Karena penasaran, dua minggu kemudian saya minta tolong teman sekelas secara basa-basi menanyakan identitas cowok ini. Padahal teman seangkatan saya ini juga tak kenal dengan doi. Tapi setelah dapat identitasnya, ternyata si Y satu SMA dengan teman baik saya! Eng.. ing.. eng.. Singkat cerita, saya akhirnya berkesempatan kenalan dengan doi dan jadi pengagum rahasia sampai beberapa bulan hingga sadar ternyata doi masih belum bisa move on dari mantannya.
There! There! Maksud saya jalan cerita ala kura-kura seperti ini yang saya rindukan! Saat kamu tiba-tiba dicomblangin teman, disorak ciye ciye padahal tak punya rasa, dapat salam ini itu, lirik-lirikan saat jam istirahat, atau jadi pengagum rahasia berbulan hingga bertahun-tahun sampai akhirnya berhasil mengungkapkan. Oldish tapi sangat natural! (Padahal saya dulu lebih banyak jadi pengagum rahasia saja 😁). Paham kan mengapa saya betul-betul rindu proses berkencan atau pedekate sebelum jadian setelah menonton drama Korea tersebut??
Dulu, kalau cewek-cewek sedang kumpul dan curhat soal cowok, yang dibicarakan biasanya hanya satu orang. Si A naksir si B. Done. Then here we are now, ketika kumpul-kumpul lalu yang diceritakan lebih dari satu orang. Kemarin si L ngedate dengan si X tapi gagal, sekarang lagi usaha dengan si C yang baru matched tadi siang. Minggu depan karena si C juga gagal, ada cerita baru tentang si cowok berinisial D. Bahkan karena merasa populer di online dating, tak jarang juga banyak cewek-cewek yang merasa hal ini jadi ajang kompetisi siapa yang paling banyak mendapatkan Likes. Girls.. Girls.. Girls.. Paham kan mengapa menemukan cowok serius lewat situs kencan itu cukup sulit dan menguras waktu serta perasaan?!
"Sorry, bukannya saya menyesal kita kenal lewat Tinder. But it seems like we are missing the gold story to be told to our kids or family later on. Bayangkan, saat anak atau keluarga kita bertanya, kalian kemarin ketemu dimana? Lalu kita jawab, Tinder. Done. I know, orang-orang pasti tak peduli entah itu di Tinder, sekolah, atau manalah itu. Tapi kamu mengerti kan, that process-of-pedekate yang full-of-cenat-cenut bisa jadi bahan cerita itu, lho," kata saya berusaha mendamaikan perasaan Mumu.
Saya dan Mumu sempat sedikit berimajinasi; tanpa Tinder, berapa persen kah dan kira-kira dimana kesempatan kami bisa bertemu di dunia nyata. "Maybe at the park nearby your place since my parents and I like to be there quite often? Maybe when you babysit the kids with Pia (the dog), one of your host kids threw the ball towards me so it would strike the small talk between us? Then I might start the conversation and be interested to pet Pia? Maybe we were not going to exchange the numbers in a sudden, but had a chance to accidentally meet again in the National Theatre since it was close to my brother's place and yours? Might be." Ohh.. saya berharap itulah cerita sesungguhnya yang memang penuh kebetulan dan khayalan!
Tapi akhirnya saya mengerti, untuk budaya kolektif semacam Asia, menemukan pasangan bisa jadi bukan masalah besar. Koneksi kita tak hanya dari teman SD sampai lingkungan kerja, tapi juga keluarga. Tegur sapa dengan orang asing, lalu tukaran nomor telpon sampai akhirnya jadian, tidaklah mustahil. Namun sebagai pendatang di Eropa, apalagi bagian Utara, untuk bisa mendarat mulus di hati seseorang tanpa bantuan online dating rasanya sulit. Ibaratnya, online dating inilah yang bisa menjadi perantara kita mengenal calon pendamping tanpa harus gagu. Mengapa, karena di Eropa Utara, kebanyakan pasangan yang tak menggunakan situs kencan biasanya berjodoh dengan mutual friends yang sudah sangat lama mereka kenal. Karena sudah kenal dengan baik inilah, biasanya akan terjadi ajang saling jodoh-jodohan yang bisa saja berakhir pernikahan. Another story, bisa saja terjadi di bar ketika sama-sama sudah meneguk alkohol dan keberanian untuk bertegur sapa dengan orang lain pun semakin besar. Sedikit berbeda untuk usia di atas 45 tahun, karena koneksi manusia single tak seluas dahulu, masih banyak juga dari mereka yang akhirnya terlibat blind date dan menggunakan situs kencan premium. ( Here is a story kalau kamu ingin tahu karakter cowok Norwegia di situs kencan!)
In the end, meskipun online dating menyebalkan dan tak akan pernah bisa menggantikan proses kenalan yang terjadi secara natural, namun kisah cinta terbaik tetap bisa terukir lewat keduanya. Maybe you are not that lucky meeting someone directly in real life, but online dating. Karena sesungguhnya, jodoh bisa muncul dari mana saja. Meskipun ada banyak cowok baik nan serius di situs kencan, tapi tetaplah waspada untuk tak membuang banyak waktu meladeni cowok-cowok creepy yang kadang otaknya hanya selangkangan—kecuali motivasi kamu di sana memang hanya untuk having fun.
What do you think, what do you scare the most of online dating scenes?