Showing posts with label makan. Show all posts
Showing posts with label makan. Show all posts

Saturday, July 4, 2020

Tips PRAHA: Liburan Dari Kafe ke Kafe|Fashion Style

Setelah memutuskan memilih negara-negara murah di Eropa tengah untuk liburan musim panas, saya sudah mewanti-wanti seorang teman untuk memasukkan Praha sebagai kota terlama yang akan kami kunjungi. Teman Belgia saya, Mittchie, juga setuju kalau kami memang wajib mengunjungi Praha lebih lama.

Praha, ahh little sister of Paris, katanya. Mulai dari distrik Letna yang kalem, trekking ke bukit hingga sampai di Metronome dan melihat keindahan Praha dari ketinggian, TV Tower, hingga banyaknya bangunan warna-warni didominasi warna oranye yang manis.

Tapi saya sebal kalau hanya menyusuri Praha dari Old Town saja. Sama seperti halnya Paris, turis di Praha juga selalu memenuhi daerah pusat kota. Saya bosan tiap jalan beberapa meter selalu saja menemui aktor dan aktris K-Pop KW 3. Seriusan, mereka ada dimana-mana!

Oke, karena saya dan Mittchie juga tidak terlalu suka sightseeing dan berkumpul dengan turis, akhirnya kami putuskan memasukkan agenda wisata kuliner di Praha. Ketimbang memilih tempat makan di area turistik, saya sedikit memaksa Mittchie untuk mengikuti saya mencari tempat makan hingga ke distrik luar pusat kota Praha.

Ngopi-ngopi lucu @ MŮJ ŠÁLEK KÁVY

Mittchie memang suka kopi, tapi saya tidak. Tiada satu hari tanpa minum kopi bagi teman saya ini. Dibandingkan minum kopi di salah satu cabang Starbucks, saya lebih suka memilih tempat khas lokal. Menurut saya, salah satu cara terbaik menikmati budaya suatu tempat adalah dengan mengunjungi tempat makan lokal dan mencicipi apa yang mereka buat.

Saat kami datang ke MSK, beberapa meja sudah penuh dan reserved. Untungnya kami masih punya waktu satu jam setengah untuk menempati salah satu meja yang sudah dipesan. Saya sudah jatuh cinta dengan tempat ini sesaat setelah kami sampai di tempat. "Nice place!", komentar Mittchie.

Uniknya, tidak seperti kebanyakan coffee shop lain, di MSK pelanggan justru tidak memesan kopi langsung melalui barista. Layaknya seperti restoran, pelanggan dipersilakan menempati kursi, lalu beberapa staf akan datang mengantarkan menu. Lihat nih ekspresi Mittchie saat kebingungan memilih kopi!

Pesanan saya: Jordi's hot chocolate with milk and 63% dark Ecuador cacao & banana cake

Pesanan Mittchie: Ethiopia layo tiraga coffee & almond cake

One stop break @ BISTRO 8

Hujan deras mengguyur Praha saat kami selesai menyusuri distrik Letna. Menemukan Bistro 8 pun sebenarnya tidak sengaja. Saya yang kala itu ingin melihat buku-buku desain di Page Five, akhirnya menemukan tempat ini sekalian berteduh. Page Five dan Bistro 8 pun hanya selemparan batu di satu jalan yang sama.

Sebenarnya Bistro 8 lebih tepat disebut tempat menikmati sarapan ataupun brunch karena pilihan makanan yang beragam dan cukup mengenyangkan. Tidak seperti banyaknya tempat makan yang dipenuhi turis, Bistro 8 justru terletak di kawasan permukiman orang Ceko. Banyaknya apartemen di kawasan ini, membuat Bistro 8 jadi salah satu tempat favorit menikmati sarapan ataupun makan siang. Beruntungnya, saya dan Mittchie tidak menemukan aktor atau aktris K-Pop di tempat ini.

Pesanan saya: Matcha latte

Pesanan Mittchie: Flat white coffee (harus pesan dua kali karena si Mittchie menambahkan garam yang dikira gula :p )

Makan Chlebicek ala Czechs @ SISTERS

You definitely have to go to this place if you're in Prague! Sisters terletak di Distrik 1 yang tidak jauh dari spot-spot turis di Praha. Tempatnya tidak terlalu besar, namun tetap bisa menikmati open sandwich khas Praha (chlebicek) di meja dan kursi yang disediakan.

Sebenarnya tidak ada yang spesial dari chlebicekdi Sisters. Di Denmark, makanan seperti ini juga bisa saya temukan di banyak tempat ataupun membuat sendiri di rumah. Bedanya, roti untuk sandwich di Praha lebih lembut dan toppingnya pun lebih simpel tapi tetap enak. Die die must try!

Selain harganya super murah, 29-45 CZK (di Denmark bisa 6 kali lipatnya!) untuk satu chlebicek, sup harian yang ditawarkan pun cukup menggugah selera. Jauhi kesalahan turis saat datang ke tempat ini! Orang-orang Ceko tidak makan chlebicek dengan sendok dan garpu, tapi langsung dengan tangan. Tidak juga seperti makan pizza, dilarang untuk melipat chlebicek agar mudah digigit. So, eat slowly and enjoy every bite!

Pesanan saya: Egg with watercress, Mackarel with wasabi mayonnaise, & Potato soup

Pesanan Mittchie: Ham and potato salad & Roast beef

Lunch di distrik lokal @ HOME KITCHEN

Saya dan Mittchie sepakat kalau Home Kitchen di Holesovice adalah tempat makan siang terbaik kami di Praha. Home Kitchen sebenarnya ada dua tempat, pusatnya di Distrik 1, lalu tempat terbaru ada di Distrik 7. Makanannya sama-sama enak, simpel, dan staf yang friendly. Bedanya, di Distrik 1 hanya muat dua meja, tapi tidak di Holesovice.

Ketika memutuskan keluar dari zona turis dan menuju tempat ini, saya dan Mittchie sedikit skeptis seperti apa Home Kitchen di Distrik 7. Yang kami lihat, kawasan yang dituju merupakan daerah perkantoran dan permukiman yang sepi.

Sekali lagi, saya dan Mittchie juga sama-sama sepakat untuk jatuh cinta dengan tempat ini. Makanannya memang simpel, tapi atmosfir yang ditawarkan sangat cozy. Selain makan di dalam, pelanggan juga bisa makan di luar dengan bagi perokok maupun non perokok. Karena kami tidak merokok, seorang pelayan menempatkan kami di luar dengan sisi apartemen Ceko yang segar.

Meskipun tempatnya berada di kawasan perkantoran dengan interior yang oke dan terlihat mahal, namun harga makanan di tempat ini far too good! Menu makanan orang Ceko memang tidak jauh-jauh dari sup krim. Serunya, pelanggan juga bisa menikmati roti homemade sebagai teman makan sup dengan pilihan deeping oil bawang putih, rosemary, cabe, ataupun original.

Pesanan saya: Semangkuk besar sup jagung dan sayuran - chilli oil

Pesanan Mittchie: Semangkuk kecil sup & menu harian (Chicken potato) - garlic oil

Brunch terakhir @ POLÉVKÁRNA

Sebelum packing dan menuju bandara, saya lagi-lagi memaksa Mittchie untuk menemani saya ke Karlin. Karena sudah keseringan makan sup seperti orang Ceko, brunch terakhir kali ini di Praha juga ingin ditutup dengan sup.

Jam 10 pagi, saya dan Mittchie akhirnya sepakat keluar rumah dan berjalan kaki menuju salah tempat makan sup murah di Karlin. Tidak seperti tempat makan beratmosfir Instagramic yang sudah kami singgahi, Polevkarna hanya berupa tempat makan sederhana. Beberapa tempat duduk juga disediakan di luar kafe bagi yang ingin menikmati mentari Praha.

Sup yang ditawarkan biasanya berbeda dari hari ke hari. Meskipun harganya murah, tapi makanannya pun cukup beragam, mengenyangkan, dan enak. Jangan lupakan juga side dish mereka seperti almond cake atau spinach pie.

Pesanan saya: Dua mangkuk kecil sup sayuran & sup jagung, plus sepotong pie beet root

Pesanan Mittchie: Semangkuk besar sup ayam sayuran

Friday, July 3, 2020

Tips NOODLE STATION: Tempat Makan Terbaik di Mahalnya Reykjavík|Fashion Style

Untuk urusan perut saat travelling, saya cukup yang tidak ingin ambil aman. Saya tidak terburu-buru mencari Mekdi ataupun Subway terdekat hanya karena murah. Daripada menyerah dengan burger asal Amerika, saya malah ke supermarket mencari buah, yoghurt, ataupun mie instan kalau sedang kehabisan uang dan tidak bisa mencicipi makanan lokal. Don't get me wrong! I do love burger and fries, but show me the local ones please ;)

So, what I always do before travelling? Always study place to eat beforehand!

Di pusat kota Reykjavík, saya tidak menemukan makanan cepat saji semisal Mekdi, Subway, maupun rekan-rekannya. Bagus! Seputar area downtown Reykjavík, saya hanya melihat restoran lokal khas Islandia, masakan oriental, ataupun hotdog terenak yang kata orang sangat recommended!

Sebelum ke Islandia, saya memang sudah membaca reputasi bagus bar soup di daerah Laugavegur, Noodle Station . Beruntung sekali, hostel yang akan saya tempati hanya 2 menit jalan kaki dari tempat ini. Selain mendapatkan predikat "The Best Spot" untuk harga makanan termurah di Reykjavík, rasa sup mie-nya pun super enak!

Saat datang untuk makan malam, hampir seluruh meja penuh oleh pelanggan. Meskipun kebanyakan pelanggan berwajah Asia, tapi banyak juga pelanggan berkulit putih masuk dan keluar tempat ini.

Pelayan di kasir memang terkesan flat seperti tidak ramah, namun sebenarnya memang sepertilah tipikal orang Islandia (meskipun bermuka Asia). Tanpa pikir panjang, saya langsung saja memesan semangkuk sup mie daging seharga 1540 ISK (sekitar 96DKK atau €13). Sebelum berpindah tangan, pelayan juga menanyakan apakah mie kita ingin ditambah cabe atau tidak. Tentu sajaaa!

Dang! Di hirupan kuah pertama, saya sudah jatuh cinta dengan makanan ini. Supnya sangat segar dengan aroma koriander yang khas. Mirip-mirip kuah bakso atau tekwan khas Palembang. Dagingnya pun sangat lembut dan enak. Benar-benar kombinasi mie, sup, dan rasa daging yang pas. Saking senangnya menemukan tempat ini, saya nyaris nangis bahagia. Kalau memang kurang pedas ataupun gurih, di meja juga disediakan bubuk cabe, kacang halus sebagai topping, ataupun garam.

Di hari kedua, saya memaksakan diri kembali lagi ke tempat ini untuk makan malam. Padahal saya sudah reservasi meja di restoran lain, lho. Jadi sebelum datang ke restoran, akhirnya saya menyerah dan jalan kaki setengah jam ke Noodle Station. Saya pun memilih menu vegetarian yang lebih murah seharga 890ISK (sekitar 56DKK atau €7,5).

Meskipun sama-sama menyegarkan dan mengenyangkan, tapi entah kenapa saya lebih merekomendasikan beef noodle. Kombinasinya lebih pas dan menari-nari di mulut. Duh, ngiler lagi!

Selain menu daging dan vegetarian, mereka juga menyediakan menu ayam. Harga supnya pun hampir sama dengan menu daging. Saya tidak tahu kombinasinya seperti apa, tapi sepertinya saya harus kembali lagi ke tempat ini mencoba sendiri.

Kurang kenyang? Boleh tambah mie, tambah daging atau ayam, ataupun memesan sup dengan mangkuk yang lebih besar dengan ekstra biaya. Trust me, food in Reykjavík are so daaaamn expensive! Croissant ataupun roti cokelat yang biasanya saya beli di Denmark seharga 7-10DKK (sekitar €2), disini bisa 299ISK (sekitar 20DKK atau €2,7) per biji!

Makanya tempat ini serasa surga bagi pecinta makanan pedas atau fans mie kuah bercita rasa oriental. Ssst...bumbu sedap a la Noodle Station sebenarnya resep rahasia dari keluarga Thailand!

Die die must try! Highly recommended!

Thursday, June 25, 2020

Tips Dinner Sendirian? Siapa Takut!|Fashion Style

Soupa Bistro, Bratislava

Dari kecil hingga kuliah, saya bisa menghitung berapa kali saya terbiasa makan di luar. Saya anaknya memang tidak terlalu suka jajan. Sekalinya makan-makan pun, biasanya bersama teman yang selalu saja available saat diajak ketemuan.

Hijrah ke Denmark dua tahun lalu, saya merasa lebih sering kesepian karena memang jarang sekali menghabiskan waktu dengan teman. Pernah suatu kali, ada pageant seru atau restoran yang pengen saya coba, ternyata tidak terlalu menyenangkan jika datang sendiri.

Kadang kaki ini gatal ingin kesana, ingin kesini, tapi malas karena tidak punya teman jalan. Bosan juga lama-lama sering batal jalan hanya karena tidak ada teman, akhirnya saya paksakan saja datang ke banyak kafe, festival, museum, ataupun restoran sendirian.

Di Eropa menjadi hal yang sangat wajar jika orang-orang datang ke festival ataupun museum sendirian. Tapi untuk dinner solo, hmmm, everything is gonna be awkward!

Daging domba di Kopar Restaurant, Reykjav?Okay

Dulu di Palembang, saya sebenarnya bukan orang yang suka keluar nongkrongin restoran cepat saji hanya untuk mengenyangkan perut. Boleh, sesekali. Tapi entah kenapa sejak tinggal di Denmark, selera saya terhadap makanan berubah. Seorang teman pun pernah mengatakan kalau saya memiliki standar yang cukup tinggi untuk makanan.

Pernah suatu kali, saat saya dan dua orang teman masak mie rebus, si teman saya ini hanya menyeduh mie-nya dengan air panas dan ditambahkan bubuk mie. Sementara saya, harus dimasak di atas kompor, ditambahkan sayuran, telur, daging kepiting, hingga bawang goreng. Untuk semangkuk mie rebus, makanan saya termasuk "mahal".

Perubahan selera makan saya ini akhirnya juga berpengaruh dengan tempat makan yang selalu saya pilih. Sedari kecil, orang tua saya selalu mengatakan kalau makan di luar itu, yang dibeli bukan hanya makanannya, tapi juga atmosfirnya. It's totally okay spending some bucks just for experiencing good food and ambience. Dan inilah saya sekarang, selalu penasaran ingin mencoba fine dining atau tempat makan recommended yang ada di banyak tempat.

F-Hoone, Tallinn

Sayangnya, karena rasa penasaran yang "mahal", lagi-lagi saya kesulitan menemukan teman yang mau diajak mencicipi tasting menu ataupun wine di restoran sekitaran Kopenhagen. Maklum, kantong kami masih pas-pasan. Atau mungkin hanya saya saja yang terlalu boros? ;p

Gara-gara hal inilah, daripada menunggu teman dan mati penasaran, saya beranikan diri mereservasi meja di restoran untuk berdua, lalu datang sendirian. Awkward? Iya, kadang. Tapi sebenarnya saya cuek saja karena orang-orang di restoran sebenarnya tidak terlalu memperhatikan.

Saat liburan di Reykjavík , saya sengaja mereservasi meja di salah satu restoran ternama dan memesan 3-course menu. Restorannya sangat antik dengan kursi-kursi kulit dan meja kayu. Meja di sekeliling saya semuanya penuh oleh pelanggan yang datang bersama pasangan dan teman. Meskipun sempat mati gaya dan sedikit krik krik, tapi saya tahan untuk tidak  mengecek ponsel apalagi sok sibuk dengan internet.

?SterGRO, Kopenhagen

Karena kebiasaan yang sering travelling sendirian , akhirnya saya juga keseringan dinner solo di banyak tempat. Tidak jarang saya mendapati orang-orang yang terlihat takjub dan aneh karena saya makan sendirian. Saat di Tallinn, saya paksakan datang ke sebuah tempat makan oke hanya karena tempat tersebut sangat direkomendasikan. Tahu saya datang sendiri, mereka sengaja memisahkan meja hanya untuk saya. Sialnya, karena posisi meja tepat di tengah ruangan, keberadaan saya sangat sukses menyita perhatian banyak pelanggan yang saat itu kebanyakan datang dengan pasangan. Hiks. Miris.

Meskipun sendirian, saat datang pun biasanya saya tidak tanggung-tanggung, sengaja memakai dress dan pakaian rapih hanya untuk makan di restoran oke. Kadang kala, si pelayan menyangka saya sedang menunggu seseorang. But, no, I am not.

"It is really nice seeing you coming alone. Where did you know this place?" tanya seorang pelanggan di hadapan saya. Restoran kecil tersebut memang di-set di sebuah meja dan bangku panjang hanya untuk menampung 24 orang. Kalau dilihat kanan kiri, memang hanya saya satu-satunya orang yang datang sendirian kesana. Lucunya, sudah sendirian, saya datang paling telat. Tapi tidak jadi masalah karena memang dasarnya saya sudah penasaran mencicipi makanan di tempat tersebut.

Dinner solo memang jadi momen yang sangat tidak menyenangkan, apalagi kalau saya sedang travelling. Tujuan punya teman makan itu, agar kita bisa menilai makanan yang dipesan sekalian cerita-cerita seru. Sungguh, dinner solo bisa sangat kesepian dan awkward. Tapi sekali lagi, daripada saya hanya menunggu kehadiran seseorang atau teman yang tidak satu selera, it's time for being a loner!

Saturday, June 20, 2020

Tips 7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa|Fashion Style

Selain table manner, orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan.

Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola makan yang seimbang.

1. Mulailah dengan yang manis

Jangan bayangkan bubur ayam, nasi goreng, nasi uduk plus oseng tempe, ataupun mie kuah, ada di meja makan orang Eropa saat sarapan. Karena nyatanya, mereka tidak ada waktu membuat semua makanan itu di pagi hari.

Sarapan di Eropa termasuk mudah dan paling lama hanya 15 menit. Selain roti, sereal, ataupun yoghurt, banyak juga keluarga angkat saya yang menambahkan telur, sosis, atau salami di menu sarapan mereka. Di negara Nordik, para anak dan orang dewasa juga suka sekali menyantap oatmeal (atau mereka menyebutnya bubur) saat sarapan. Lucunya, sarapan di Eropa selalu dimulai dengan sesuatu yang manis-manis, seperti susu, kopi, teh, jus, cokelat, buah-buahan segar, ataupun selai buah.

Sewaktu jalan-jalan ke Italia, saya dan seorang teman mampir ke kedai kopi yang sudah buka jam 6 pagi. Betul saja, dibandingkan menemukan sandwich yang mengenyangkan, kami hanya melihat orang kanan kiri menyantap brioche atau roti manis ditemani secangkir espresso.

2. You can only be king once

Ada sebuah pepatah diet mengatakan, "breakfast like a king, lunch like a prince, and dine like a pauper." Di Eropa, prinsip ini justru malah kebalikannya. Orang Eropa cenderung makan sangat sedikit di pagi hari dan menyantap makanan berat saat malam.

Tidak seperti di Indonesia yang selalu menyajikan nasi panas dari pagi ke malam hari plus lauk berminyak nan mengenyangkan, orang Eropa 'hanya boleh' menyantap masakan hangat sekali dalam sehari. Bisa saat makan siang ataupun makan malam.

Kalau sarapan selalu dimulai dengan yang manis, siang hari menu diganti dengan makanan yang asin seperti sandwich ataupun salad. Malam hari, salah satu anggota keluarga biasanya masak dan menyiapkan sesuatu yang lebih berat seperti steak, nasi, pasta, burger, ataupun pizza.

Bagi orang Eropa, dinner menjadi sangat penting bagi tubuh mereka setelah lelah beraktifitas di luar. Makanya demi memanjakan si tubuh, makan malam biasanya dibuat lebih komplit dan berat ketimbang dua waktu lainnya. Hebatnya lagi, orang Eropa sudah terbiasa menyantap makanan fresh from the oven setiap hari meskipun harus repot memasak dulu. Ide tentang menyimpan makanan lalu besoknya dimakan kembali biasanya hanya bertahan selama satu hari, lalu sisanya dibuang.

3. Snacking is not so chic

Sejujurnya, saya jarang sekali menemukan orang yang suka ngemil di Eropa. Apalagi ngemil kue-kue manis ataupun chiki sambil nonton tv. But, of course, they do eat chips! Konsep ngemil ini pun biasanya hanya dijadikan disiplin saat hari kerja. Di akhir pekan, orang Eropa biasanya lebih relaxed memanjakan lidah dengan sesuatu yang manis seperti cokelat ataupun permen.

Ngemil pun sebenarnya dipandang tidak elegan oleh orang Prancis. Selain mengandung lemak dan kolesterol tinggi, tentu saja mereka sangat membatasi asupan snack yang dimakan untuk menjaga tubuh agar selalu tetap ramping dan sehat.

Orang tua Eropa juga sangat membatasi anaknya untuk tidak sembarangan makan snack di luar jam makan besar. Kuantitas ngemil harus dihitung agar anak tidak ketagihan. Kebiasaan mendisiplinkan anak seperti ini awalnya saya rasa terlalu "jahat" sampai harus membatasi apa yang anak ingin makan. Tapi lama-kelamaan, saya mengerti, kalau anak terus-terusan diberi makanan manis tanpa dikontrol, mereka akan sangat mudah obesitas dan manja ingin minta lagi dan lagi.

Dibandingkan ngemil keripik kentang, orang Eropa lebih suka mengunyah biskuit buah-buahan, muesli bar,ataupun kue beras. Kalau pun belum kenyang, mereka juga biasanya menyajikan dessert yang wajib ada setelah makan malam. Jenis dessert pun kebanyakan sehat, seperti yoghurt plus berries, sepotong kecil fruit cake, atau berbagai jenis keju berkualitas tinggi.

Lalu bayangkan di Indonesia, betapa gurih dan nikmatnya ngemil bakso saat hujan, pempek dengan cuko pedas-pedas, ataupun martabak manis penggugah selera. Uuups, belum kenyang, lanjut Nasi Padang!

4. Makanlah pada tempatnya

Saya akui, kedisplinan orang Eropa di meja makan harus diacungi jempol. Lapar tidak lapar, kalau waktunya memang sedang makan bersama, semua anggota keluarga wajib berkumpul di meja. Tradisi seperti ini hebatnya bisa saya rasakan setiap hari sewaktu tinggal di Belgia.

Di Indonesia, momen makan bersama keluarga sangat sulit saya dapatkan kecuali di bulan Ramadhan. Saat buka puasa pun, kadang beberapa anggota keluarga ada yang sengaja memisahkan diri agar bisa nonton television. Padahal makan bersama seperti ini adalah waktu yang paling tepat bertukar cerita dengan anggota keluarga hingga menguatkan rasa kebersamaan.

Satu lagi yang menarik soal betapa hebatnya fungsi meja makan. Para anak-anak balita di Eropa dibiasakan sudah mandiri di meja makan mereka sendiri tanpa harus dipangku orang tua. Saat usia mulai satu bulan, parahost kids saya sudah 'ikut makan' bersama keluarga di meja. Menginjak satu tahun, kursi khusus pun dipersiapkan di samping kursi orang tuanya. Lalu di usia 2 tahun, saya sudah bebas tugas membantu menyuapi anak-anak ini, karena nyatanya mereka sudah bisa makan sendiri.

5. No phone allowed

Jujur saja, saya sangat benci melihat ada ponsel di meja makan. Meskipun sedang makan sendiri di restoran , saya berusaha terlihat acuh dengan keberadaan ponsel tanpa takut mati gaya.

Orang Eropa sangat menikmati waktu kebersamaan di meja makan hingga bisa saja mengobrol begitu lamanya. Keberadaan ponsel memang tidak jauh dari mereka tapi selalu absen saat makan malam. Sangat tidak sopan sibuk dengan ponsel masing-masing ketika semua anggota keluarga sedang menyantap hidangan.

Kembali ke Indonesia, entah kenapa, saya selalu melihat meja makan orang di restoran dipenuhi dengan ponsel. Belum lagi ide mencuri WiFi gratisan yang alih-alihnya dipakai untuk upload foto sebelum atau setelah makan. Puncak asiknya adalah saat selesai makan, lalu semua orang seperti terburu-buru mengeluarkan ponsel dan sibuk melihat apa yang terjadi di sosial media.

Satu kali, host mom saya di Denmark, pernah mengangkat telpon dari seseorang di jam makan malam. Mungkin karena keasikkan, si ibu sampai tidak terlalu memperhatikan anak kembarnya yang memang sedang sakit lalu muntah-muntah. Bukannya langsung sigap dengan si kembar, si ibu masih asik saja mengobrol dengan orang di seberang telpon.

Host dad saya akhirnya langsung sigap mengangkat si kembar dari kursi dan marah-marah ke si istri karena bisa-bisanya masih sibuk dengan hal lain. Sehabis dari kejadian itu, saya tidak pernah lagi melihat si ibu memegang ponsel ketika jam makan malam.

6. Rumput tetangga memang lebih hijau

Pertama kali ke Denmark dan ikut masak dengan host dad, saya sebenarnya heran sekaligus bosan selalu kebagian tugas memotong sayuran segar untuk dibuat salad. Tidak hanya sekali dua kali, tapi setiap hari! Sampai-sampai saya pernah menyindir mereka, "you always eat salad."

Si bapak yang memang lebih cerewet, bertanya kepada saya jenis sayuran apa saja yang biasa orang makan di Indonesia. "We never eat raw veggies, only the overcooked ones," kata saya.

Semakin lama tinggal dengan mereka dan ikut komunitas vegan, akhirnya saya paham bahwa orang Eropa memang tidak pernah lepas dari sayuran segar sebagai pelengkap makan. Dibandingkan dengan sayuran layu yang ada pada menu makanan orang Indonesia, orang Eropa lebih banyak mendapatkan vitamin dari sayuran mentah sebagai salad. Ibarat sambal bagi orang Indonesia, kehadiran sayuran di tiap menu makanan menjadi hal wajib bagi orang Eropa.

Di Belgia, host kids saya termasuk yang sangat pilih-pilih makanan dan sayuran. Jenis sayuran pun hanya terbatas ke kembang kol, wortel, ataupun brokoli yang di-steam. Sementara di Denmark, host mom saya sudah membiasakan anak-anaknya diberi wortel, kacang polong rebus, ataupun jagung sejak usia 2 tahun. Meskipun tak semua anak mau makan sayuran, tapi semua orang tua mereka percaya bahwa menghadirkan sayuran di piring sejak dini bisa perlahan menumbuhkan awareness mereka saat beranjak besar.

7. Always obey the rules!

Selain kebiasaan makan di atas, saya juga sangat menyukai pelajaran table manner sederhana yang saya lihat dari keluarga Eropa. Contohnya dengan mengajarkan anak memegang pisau di sebelah kiri dan garpu di sebelah kanan. Saya kesulitan makan dengan tangan kiri, akhirnya jadi terbiasa memegang garpu di sebelah kanan.

Para anggota keluarga pun dilarang meninggalkan meja makan duluan jika anggota keluarga lainnya masih ada yang makan, kecuali sedang ada hal penting yang harus segera dilakukan. Anak-anak yang rewel dan tidak ingin makan di meja, selalu didisiplinkan terlebih dahulu untuk bersikap well-mannered di meja makan.

Saat ada pesta besar pun, makanan yang sudah disajikan di atas meja sepatutnya dihabiskan agar tidak mubazir. Jadi bagi yang masih lapar, sungguh dipersilakan kembali mengisi piring mereka dengan makanan yang masih ada. Tenang saja, tidak akan ada yang menyindir berapa kalori yang sudah dimakan. Jadi, tidak perlu malu jika ingin menambah.

Karena begitu tegasnya pelajaran tentang kedisplinan dan kebersamaan ini lah, makanya kebiasaan makan ini tetap kuat di segala generasi. Seorang teman saya, Michi , wajib sekali makan tiga kali—tapi tidak lebih—sehari karena memang seperti itulah normalnya bagi dia. Bunny , cowok Denmark yang saya kenal, meskipun bangun tidur jam 5 sore, dia tetap memulai hari dengan makanoatmeal layaknya di pagi hari.

Jadi, kalau kita mengatakan bahwa orang Eropa cenderung individualis dan tidak terlalu family minded, sebenarnya salah juga. Orang Eropa justru sangat relaxedhingga betah berlama-lama mengobrol sekalian menikmati momen kebersamaan. Tidak hanya diajarkan untuk menikmati makanan, ada juga ungkapan-ungkapan dalam bahasa lain, contohnya Denmark, seperti "Tak for mad (terima kasih atas makanan yang sudah dibuat)" yang diucapkan setelah makan untuk menghargai jasa si pembuat makanan.

Tips Mencicipi Kangguru dan Buaya di Banksia Food & Beer|Fashion Style

Tahun lalu saya berkesempatan fine dining dengan para member InterNations yang tergabung di grup Girls Night Out. InterNations sendiri adalah wadah perkumpulan ekspatriat di negara tertentu yang sering mengadakan event seru setiap minggunya. Sila coba saja daftar menjadi member mereka untuk update event terbaru sekalian bertemu dengan para global minded lain.

Saya sendiri sebenarnya kebagian informasi bukan melalui akun InterNations, tapi Meetup . Julia, host acara yang terkenal quirky dan easygoing, mengundang 6-8 cewek di sekitar area Kopenhagen untuk makan malam sekalian nonton bareng film di bioskop setelahnya.

Restoran yang dipilih pun berada di Indre By atau downtown-nya Kopenhagen. Karena sedang ada promo di Sweetdeal , Julia hanya menekankan kepada para undangan untuk hanya membayar 290 DKK termasuk tiket nonton dan 3-course menu makanan Australia di Banksia Food and Beer. Sounds very enticing!

Iseng-iseng mengecek situsnya, Banksia adalah restoran Australia yang ternyata menyediakan kangguru dan buaya sebagai menu andalan mereka. Harga menu yang ditawarkan pun termasuk mahal-mahal. Untuk menu kangguru, pelanggan harus merogoh kocek 235 DKK in keeping with porsi. Beruntung sekali saya bisa mencicipi 3 macam menu hanya dengan 200 DKK saja, plus tiket nonton ninety DKK.

Jam 6 sore ditengah cuaca Kopenhagen yang basah, saya masuk ke restoran berdua lantai ini. Lantai pertama dibuat lebih rileks sekalian menyediakan menu burger mini kangguru dan bir keran. Sementara naik ke lantai atas, suasana cozy dan elegan menyambut di pintu depan. Julia yang sudah menunggu, melambaikan tangan ke saya.

Atmosfir lantai dua Banksia memang wonderful nyaman dan intim. Lampu-lampu dibuat temaram, lilin sudah benderang di tiap meja, serta meja-meja simpel nan elegan menambah kesan mewah restoran. Beberapa grup tamu pun sudah memenuhi ruangan berdekatan dengan meja kami. Ingin sekali memotret ruangan dalam restoran, tapi saya buru-buru menyimpan ponsel dan lebih menikmati suasana makan malam ketika semua cewek dari InterNations telah tiba.

Kembali ke menu Banksia, jadi dari kupon promo yang Julia dapatkan di Sweetdeal, kami boleh memilih satu dari masing-masing appetizer, main course, dan dessert. Meskipun dengan harga 200 DKK kami tidak bisa asal pilih makanan yang ada di menu, namun pilihan yang sudah disediakan pun tidak pelit dan semuanya terlihat enak.

Untuk menu pembuka, pelanggan boleh memilih antara Crocodile Dumpling Soup atau satu makanan Italia, yang saya lupa namanya, berbentuk bola-bola nasi yang digoreng. Penasaran dengan menu buaya, saya memutuskan untuk memilih sup buaya sebagai appetizer.

Sup buaya yang bercitarasa Australia-Asia ini ternyata cukup menyegarkan dan pedas dengan perpaduan daun serai, cabe, dan lemon. Sementara daging buayanya diisi di dalam dumpling yang lembut. Dagingnya berwarna putih dan menurut saya lebih mirip daging ayam yang direbus namun tanpa serat. Lumayan pas dipadukan dengan sup berkuah pedas segar.

Di menu utama, pelanggan boleh memilih antara Banksia Steak 150GR, Seared Tuna, atau menu andalan mereka, The Kangaroo. Meskipun di luar sana banyak pendapat yang pro kontra dengan daging kangguru, saya tetap penasaran dan memilih kangguru sebagai menu utama. Iseng-iseng bertanya ke pelayannya, ternyata daging kangguru bukan didatangkan langsung dari Australia tapi Jerman.

The Kangaroo disajikan super apik dengan perpaduan mashed potato,buah bit bakar, dedaunan segar, dukkah kacang, serta saus buah bit hangat. Rasanya? Juara! Daging kanggurunya super lembut dan saus buah bit-nya juga pas sebagai pelengkap.

Berbeda dengan daging sapi yang banyak serat, daging kangguru memiliki serat lebih sedikit dan teksturnya lebih lembut. Katanya juga, daging kangguru mengandung banyak protein, lho!

Setelah lumayan kenyang menyantap makanan utama, saatnya menunggu makanan penutup yang bisa dipilih antara Beer Tiramisu atau Brownies. Tentu saja saya memilih tiramisu berasa bir yang cukup unik dan baru.

Tiramisu disajikan dengan taburan kacang tanah dan Macadamia dipadukan dengan saus bir dan madu. Rasanya menurut saya sedikit aneh karena perpaduan manis dan pahit dari alkohol yang kurang pas di lidah saya. Pun begitu, bagi yang suka bir, tiramisu yang lembut akan mencair di lidah bersama rasa alkohol yang cukup strong pasti akan menambah kesan baru dan berbeda.

Overall, pengalaman makan buaya dan kangguru menjadi sangat seru karena sekalian bisa bertukar cerita dengan girls member InterNations lainnya. Saya juga cukup beruntung bisa makan di tempat ini karena ternyata Banksia sudah tutup permanen di akhir tahun 2017.

Bagi yang punya kantong cetek seperti saya namun tetap ingin makan enak di restoran dengan harga murah di sekitar place Kopenhagen, boleh cek promo atau diskon di Sweetdeal. Biasanya akan ada kupon makan atau nongkrong dengan diskon lumayan setiap minggunya.

Thursday, June 11, 2020

Tips Mabuk Servis di Phnom Penh (1)|Fashion Style

Juni 2013

Saya dan dua orang travel mate di awal kedatangan kami ke Kamboja untuk pertama kalinya sempat dibuat takjub dengan keramahan orang Kamboja. Awalnya kami mengira negara ini masih miskin dan masyarakatnya tidak terlalu terbuka dengan dunia luar. Namun, kenyataanya justru tidak seratus persen benar. Kami justru mendapatkan fakta bahwa orang Kamboja sangat menghargai orang asing dan berusaha menjamu dengan sebaik mungkin.

Dwi, salah seorang travel mate, pernah jadi LO (Liaison Officer) untuk atlet petanque kontingen Laos waktu kejuaraan SEA Games ASEAN yang diadakan di Palembang dulu. Dari pengalamannya itu, dia akhirnya punya teman atlet dari dua negara, Laos dan Kamboja. H-5 sebelum keberangkatan Dwi memang sudah intens bilang ke saya kalau dia mau ketemuan dengan temannya di Phnom Penh. Saya, Dwi, dan Mbak Lia, seorang travel mate lain, menyangka ini cuma ketemuan biasa atau ajang reunian semata sih. Namun nyatanya, kami tidak pernah menduga kalau pertemuan kami disambut dengan luar biasa!

Di malam pertama kedatangan kami ke Phnom Penh, Mai, seorang teman Dwi, sudah siap menjemput kami dengan mobil Mercy-nya. Mai mengajak kami makan malam di sebuah food court open air yang menurut saya cozy sekali. Agak kontras dengan imej kota Phnom Penh yang menurut saya masih kalah bagus dengan Palembang. Tempatnya bagus, dengan kursi-kursi putih dan meja bundar. Di tiang-tiang tenda, dipasangi lampion dan tambahan live music membuat suasana makin romantis. Sayangnya ini bukan tempat makan sepasang muda-mudi, tapi lebih diperuntukkan untuk keluarga atau teman.

Food court docket outside yang saya lupa namanya

Dari saat memarkirkan mobil, saya juga agak kaget dengan 'tukang parkir'-nya yang super ramah membukakan pintu mobil. Dia memakai kemeja biru muda dengan penampilan yang rapih dengan walkie talkie di tangannya. Wihh..'tukang parkir' profesional nih, pikir saya. Lalu dengan senyum ramah dia mengantarkan kami berempat ke meja kosong hingga memastikan kami nyaman di tempat itu baru dia pergi.

Mai memesan seafood dengan berbagai macam lauk dan sedikit nasi. Nasinya dikit sekali, saya sampai mikir beneran cukup nasi segitu untuk orang 4?

Cara makan orang Kamboja ini menganut adat China yang biasanya menghidangkan banyak makanan dengan sedikit nasi. Biasanya tuan rumah akan mengambilkan makanan untuk tamu dan mempersilakan tamu mencicipinya. Karena lauknya yang banyak, nasi cuma jadi selingan. Kalau ditanya kenyang atau tidak? Pasti! Bukan karena makanannya, tapi karena kebanyakan minum air.

Apapun makannya, minumnya Angkor beer

Orang Kamboja terkenal dengan kebiasaan minum bir yang berlebihan. Mereka tidak akan berhenti minum sebelum merasa mabuk. Karena saya tidak bisa minum alkohol, akhirnya saya cuma minum teh melon kalengan. Berulang kali seorang pelayan berkeliling ke meja-meja untuk memastikan gelas-gelas tamu tidak kosong dengan batu es. Saya yang tadinya tidak bisa minum es, akhirnya menyerah dengan servis orang Kamboja yang ramah. Seorang pelayan cowok berulang kali menghampiri meja kami untuk sekedar mengisi gelas-gelas dengan batu es. Mukanya lumayan sih, untuk ukuran orang Kamboja yang sebenarnya 'biasa' aja. Saya yakin dia sudah lelah sekali, tapi tidak ada raut kebosanan di mukanya untuk melayani tamu. Saat dia mengisikan es batu di gelas saya, saya tidak mendapatkan senyuman disana. Dasar memang si pelayannya cuek kali ya.. Jadinya saya isengin dia dan berkata, "smile.. pleaseee smile". Akhirnya dia tersenyum juga. Usil!

Di tengah acara makan kami, Mai menelepon teman dan kakaknya untuk bergabung dengan kami. Si kakak yang datang duluan, sampai menghabiskan bir hingga 8 botol. Karena bahasa Inggrisnya kurang bagus, jadinya saya cuma pakai bahasa Tarzan yang intinya ngomong, kamu tidak apa-apa minum banyak? Padahal kan nanti mau mengendarai motor. Si kakak bilang kalau dia baik-baik saja dan dia tahu kapan harus berhenti minum, apalagi dia juga mengendarai motor. Tapi saya tidak yakin tuh. Buktinya dia sudah ngelantur dan perutnya mulai membuncit.

Sekitar setengah jam sebelum pulang, Dina, seorang atlet petanque juga, datang bergabung dengan kami. Bahasa Inggrisnya lumayan fasih dan orangnya seru juga. Dina sempat tidak menyangka kalau kedatangan kami ke Kamboja adalah yang pertama. Karena besoknya kami harus buru-buru ke Siem Reap, akhirnya Dina menawari kami sarapan pagi bersama esoknya. Horeee... :p

Namun karena kebanyakan minum, saya cukup sering bolak-balik lavatory. Awalnya saya mengira toilet disini bakalan kotor dan tidak terlalu dirawat. Daann..Saya salah lagi! Justru toiletnya fantastic bersih dan wangi. Huehehehe.. Si penjaga bathroom, seorang bibi, juga selalu tersenyum ramah kepada orang-orang yang keluar masuk bathroom. Sehabis kami selesai menggunakan bathroom dan mencuci tangan, biasanya dia akan memberikan tisu untuk mengeringkan tangan. Saya dan Mbak Lia sempat salah tingkah juga nih kira-kira 'pelayanan' ini bayar atau tidak. Masih dengan senyuman ramah, saat saya tanya si bibi bilang kalau kami tidak perlu membayar toilet.

Tapi saya tidak tega juga untuk tidak memberikan dia uang, habisnya dia adalah penjaga bathroom yang paling ramah yang pernah saya temui. Dia juga ramah dan baik kepada semua orang, bukan hanya kepada turis. Justru dia tidak tahu sebelumnya kalau kami adalah orang asing. Saat menggunakan rest room kedua kalinya saya berikan sisa uang Riel (mata uang Kamboja) yang jumlahnya cuma 500. Duuh...Saya jadi merasa Phnom Penh adalah kota biasa dengan penduduk yang sebenarnya ramah dan hangat.

Wednesday, June 10, 2020

Tips Mabuk Servis di Phnom Penh (2)|Fashion Style

Siang ini kami saya dan dua orang travel mate akan meninggalkan Phnom Penh menuju Siem Reap. Dari Siem Reap rencananya kami akan meneruskan perjalanan ke Ho Chi Minh City dan menghabiskan 5 hari disana lalu kembali lagi ke Phnom Penh karena pesawat kami ke Kuala Lumpur akan terbang dari sana.

Jam 7 pagi Mai dan Dina sudah menunggu di lobi. Dengan motornya, mereka mengajak kami ke salah satu restoran di dekat guesthouse. Lalu lintas di Phnom Penh agak kacau, jadinya pagi itu kami naik motor agak ekstrim. Apalagi saya, Mbak Lia, naik motor Dina bonceng tiga. Dina ini orangnya cuek dan sangat tomboy, naik motornya ngebut dan malas pakai helm.

Sekitar sepuluh menit kemudian kami sampai di sebuah restoran yang tidak terlalu kelihatan kalau itu sebenarnya tempat makan. Karena sebelumnya kami sudah mengatakan tidak bisa makan babi, mereka sudah paham dan berakhir di sebuah restoran yang semua bahan dasarnya terbuat dari jamur. Dina sudah meyakinkan kami kalau restoran itu tidak ada menu daging-dagingan sama sekali. Untunglah..

Karena tidak tahu mau makan apa, akhirnya kami menyerahkan semuanya ke Dina. Dia memilihkan kami makanan yang menurut saya porsinya besar sekali untuk sarapan.

Sayangnya saya benar-benar tidak selera makan dan menghabiskan tidak sampai setengahnya. Padahal saya sangat suka mie, tapi sepertinya bumbu makanan ini tidak cocok di lidah saya. Tapi tidak untuk Dwi dan Mbak Lia. Mereka enteng saja tuh menghabiskan Teppanyaki dan jamur goreng yang rasanya sedikit mirip daging itu. Tidak enak juga sih makan tidak habis begitu apalagi ini kan ditraktir, tapi ya gimana saya tidak selera begini.

Selesai sarapan, kami diantar lagi ke Central Market-nya Phnom Penh yang saya lupa apa namanya. Hahaha.. Saya kebiasaan tidak mencatat nama tempat sih. Pasar tradisional ini interior bangunannya mirip-mirip peninggalan zaman dulu. Yang dalam gedung kebanyakan jual aksesoris giok atau batu-batuan, sementara bagian luar menjual suvenir khas Kamboja, perabotan rumah tangga, ataupun makanan. Kalau tertarik membeli kain-kain dengan motif cantik, pasar ini bisa dijadikan alternatif.

Karena ada latihan, Mai akhirnya pamit duluan dan tidak bisa mengobrol dengan kami lebih lama. Akhirnya Dina berbaik hati menemani kami di guesthouse sekalian menunggu bis ke Siem Reap menjemput. Sebenarnya kami tidak tega menyuruh Dina menunggu lebih lama apalagi langit sudah mendung. Tapi dia keukeh mau menemani kami. Kagetnya, dia malah masih mau mentraktir kami makan siang. Doohh..padahal kami sudah kenyang dan tidak niat makan lagi. Tapi dia mengingatkan kalau perjalanan ke Siem Reap akan lama dan pastinya kami tidak sempat makan siang nantinya. Yasudah, kami menurut saja. Kan ditraktir juga. Hahaa..

Dan mimpi buruk pun dimulai. Nyatanya tidak ada makanan yang tidak enak di dunia ini. Semuanya enak namun sangat subjektif dan tergantung lidah masing-masing. Tapi untuk sesi makan siang ini, kami bertiga (kecuali Dina) sepertinya memiliki selera yang sama.

Karena sudah cukup makan berat sarapan tadi, kami memutuskan untuk memesan roti isi dan spring roll saja. Bodohnya, memesan spring roll ini adalah ide saya. Saya tidak mengira kalau spring roll Kamboja berbeda dengan yang di Thailand. Saya sudah pernah makan yang di Thailand dan rasanya lumayan enak, mirip lumpia goreng atau rebus.

Nah yang di Kamboja ini, rasanya 'menyiksa'. Ternyata spring roll-nya dimakan mentah-mentah. Isi spring roll adalah dedaunan segar, wortel mentah, dan daging ayam rebus yang hambar. Sementara kulitnya sendiri sepertinya masih basah. Baru gigitan pertama, lidah saya sudah dikagetkan dengan rasa dedaunan yang membuat saya mual. Hingga akhirnya saya keluarkan daun itu dari mulut dan membedah isi spring roll-nya. Saya juga tidak tahu itu daun apa tapi yang jelas rasanya mirip daun sirih. Pedas dan enek. Tidak saya saja, Dwi dan Mbak Lia juga begitu. Bahkan Mbak Lia seperti menahan tangis saat menghabiskan gigitan pertamanya.

Selanjutnya adalah ide Dina untuk memesan sup mie daging. Sebelumnya Dina berulang kali menawari kami untuk makan nasi, tapi kami menolak gara-gara alasan kenyang. Dia mengerti dan memesan sup daging yang ada isi mie-nya saja sebagai pengganti nasi. Sayangnya karena sudah enek dan mual, kami tidak sanggup lagi menghabiskan sup itu. Bahkan menggigit bakso daging sapinya saja kami tidak sanggup karena sepertinya restoran pilihan Dina tidak halal dan masih terdapat menu babi. Jadinya makan siang sekali itu tidak kami nikmati sama sekali.

Tips Mabuk Servis di Phnom Penh (3)|Fashion Style

Karena permintaan dari Dina dan Mai yang menyuruh kami untuk pulang lebih awal dari Ho Chi Minh City, akhirnya saya dan dua orang travel mate sampai di Phnom Penh satu hari lebih cepat. Rasanya baru jam 5 pagi melihat Sunrise di Mui Ne, Vietnam, tengah malamnya kami sudah harus pulang ke Phnom Penh melalui Ho Chi Minh City. Seperti kata Dwi, "kita ini traveling seperti dikejar tikus. Lebih-lebih dari artis schedule-nya." Hahaa..

Sekitar jam 10 pagi kami akhirnya tiba juga di penginapan yang berbeda kawasannya dengan yang pertama kali kami inapi. Tempatnya baru saja direnovasi. Masih baru, super wangi dan bersih, serta resepsionis yang ramah dan fasih Bahasa Inggris. Padahal menurut sopir tuk-tuk, kawasan kami yang di Chamkar Mon ini jauh dari pusat kota. Tapi tak apalah, lagian WiFi disini lebih kencang dari guesthouse yang sebelumnya kami tempati.

Jam 7 malam, Mai menelepon Dwi untuk mengajak makan malam (lagi). Karena Dina sedang makan malam dengan pelatihnya, jadinya Mai sendirian yang menemani (baca: mentraktir) kami malam itu. Duuhh.. Habis jadi gembel di Vietnam, akhirnya di Phnom Penh perbaikan gizi lagi. Hohoho.. Untuk makan malam sekali ini, Mai sepertinya agak kebingungan mau pilih tempat yang mana. Dia sampai memutar mobilnya dua kali untuk menemukan tempat makan. Padahal kami sih oke-oke aja, kan ditraktir. *bawa-bawa nama traktiran lagi*

Akhirnya kami merapat ke tempat makan open air yang mirip dengan tempat makan hari pertama. Tapi tempat makan sekali ini kurang romantis sih. Ini dia makanan yang Mai pesan malam itu. Saya pengen lagi makan pizza jagung yang super duper crunchy dan manis itu.

Di akhir makan malam, Mai ditelepon ibunya. Kirain bakal disuruh pulang, tapi ternyata tidak! Ibunya Mai sekarang ada di sebuah KTV bersama teman-temannya dan mengajak kami untuk gabung. Oooooww...Marilah kalau begitu!

Orang Kamboja biasanya paling senang berkumpul di KTV sambil minum bir atau makan bersama keluarga atau teman-temannya. Berbeda sekali dengan kita yang suka nongkrong-nongkrong di mall sekalian nonton atau makan di kafe. Di Phnom Penh sendiri justru kafe kurang laku. Kafe fungsinya cuma tempat makan, CUMA tempat makan ya.

Jam 11 malam, empat anak perempuan masih kelayapan di luar. Nongkrong di KTV pula! Oh tunggu dulu, ternyata KTV ini tidak seseram yang saya kira. Selain ada live music, tempatnya juga lumayan asik. Si pelayan yang kebanyakan Mbak-mbak ini juga sibuk bolak-balik mengecek tiap meja untuk menambahkan bir atau es batu ke dalam gelas. Saya tidak berhenti bolak-balik toilet gara-gara kebanyakan meneguk kola.

Ibunya Mai ini ternyata orang yang ramah dan asik sekali diajak mengobrol. Sayangnya saya tidak terlalu asik mengobrol dengan beliau karena bangku yang agak jauh. Ibu Mai kebetulan membawa tiga orang temannya yang sebenarnya sudah om-om semua sih. Ada satu om-om berperawakan kurus tinggi yang super lucu. Bahasa Inggrisnya parah sekali tapi kerennya dia tetap usaha mengobrol dengan kami. Pakai acara menunjukkan trik sulap segala. Gokil! Walaupun kebanyakan nge-blank-nya, tapi kami hargai usaha dia untuk bersikap terbuka dengan orang asing.

Disela-sela obrolan, si om kurus yang namanya juga saya lupakan itu naik ke atas panggung dan mulai sing songs. Asli roaming, lagu yang dia nyanyikan belum pernah masuk playlist saya. Lalu beberapa saat kemudian tiba giliran saya dan Mbak Lia menyumbangkan sebuah lagu berbahasa Inggris, Home - Michael Buble. Bukan karena cocok dengan suasana traveling sih, tapi nyatanya di buku lagu cuma itu yang kami hapal melodinya. Terharunya lagi, rombongan tamu di meja depan yang semuanya cowok-cowok ikutan nyanyi dan berdiri sambil cheers gelas bir mereka saat lirik "Let me go hoooooommeeeeee...."

Ohh so candy....!

Tuesday, June 9, 2020

Tips Mabuk Servis di Phnom Penh (4)|Fashion Style

Pagi-pagi kami seperti dikejar anjing dan mesti buru-buru gara-gara salah jadwal. Karena kelelahan semalam, kami sampai bangun kesiangan. Jam 7 pagi ponsel Dwi sudah berdering karena panggilan Mai. Masih dengan mata tertutup dan setengah sadar, saya mendengar, "Yes, what? Okay. Eleven? Okay." Klik.

Kembali hening....

Sialnya beberapa menit kemudian kami bertiga bangun layaknya zombie, langsung berebutan masuk kamar mandi dan Dwi buru-buru nampol bedak kesana-kemari. "Duuh..Kirain jam 11, jadinya aku tidur lagi. Eh ini dia barusan nelepon katanya jam 7. SEVEN jadinya bukan ELEVEN," kata Dwi. Parahnya lagi saat Mai nelepon, ternyata dia sudah di lobi. Aaarrghh..

"I'm sorry, Mai, we're late," akhirnya saya dan Mbak Lia yang datang 30 menit kemudian jadi tidak keenakan dengan Mai. Hari ini Mai bilang kalau dia sedang tidak sehat tapi karena sudah janji ingin mengantar kami keliling Phnom Penh akhirnya dia malah yang tidak enak kalau sampai telat. Lho, Mai...

Saat itu Mai tidak sendiri, tapi ditemani adik pacarnya yang masih berumur 19 tahun. Saya lupa nih siapa nama adik itu. Iiisshh.. Dari hostel, kami menjemput Dina dulu di rumahnya. Karena semalam tidak bisa ikut gabung, akhirnya dia ingin join hari ini. Seperti biasa, lagi-lagi kami diservis dengan sangat memuaskan! Selain (lagi-lagi) ditraktir sarapan, kami diajak keliling Phnom Penh sekalian foto-foto. Mai bilang, kalau kami tinggal lebih lama di Phnom Penh dia akan mengajak kami ke Sihanouk.

"How long that place from Phnom Penh?" tanya Dwi.

"It's about 4 hours from here," jawab Mai.

"How to go to there?" tanya saya.

"By car."

"Who's the driver then?" tanya saya lagi.

"Me. I'll take you there and we'll play in the sea or BBQ-ing."

Ohhh...Mai sudah kelewatan baik nih kayaknya. Dari hari pertama sampai hari keempat kami di Phnom Penh tidak henti-hentinya dia memanjakan kami. Ya mungkin lebih tepatnya tidak berhenti mentraktir makan 3 kali sehari. Sehabis sarapan, kami diajak mengunjungi Royal Palace-nya Kamboja yang jadi salah satu landmark kota. Sayangnya saat kami kesana, Royal Palace sedang tutup dan istirahat. Yasudahlah, main-main di teras istana lumayan juga.

Karena Mai sedang ada kerjaan, jadinya dia nyuruh kami tinggal di rumah Dina dulu sampai makan siang. Dina juga tidak segan dan sepertinya dia happy sekali saat kami main di rumahnya. Di rumahnya, kami kenalan sama ibu Dina yang kata Dina, beliau salut sekali dengan kami, keliling dua negara, tanpa keluarga atau sanak saudara. Pemberani! Backpacking gitu lho...

Cuaca Phnom Penh siang itu memang sedang bersahabat sepertinya. Hujan deras mengguyur kota sepanjang siang. Dina sepertinya mengerti kalau kami kecapekan dan mempersilakan kami untuk tidur siang di kamarnya selagi menunggu Mai. Awalnya sih kami tidak mau, takut merepotkan. Tapi nyatanya, semua mendarat di kasur dengan selamat. Hahaa..

Jam three sore, saat hujan sudah reda, Dina membangunkan kami untuk cari makan siang. Apalagi nih? Perasaan kami belum terlalu lapar. Tapi Dina bilang jam makan siang sudah lewat dan dia sudah kelaparan. Baiklah.. Mari kita makan!!

Sekitar satu jam kemudian Mai datang dengan adik pacarnya ke restoran. Setelah makan siang ini mereka akan mengajak kami karaokean! Yaaayy... Dengan 2 motor, yang masing-masing dinaiki 3 orang, kami akhirnya sampai juga di sebuah tempat karaoke yang sebenarnya mirip dengan tempat karaoke di Indonesia. Tapi baru setengah jam bernyanyi, Mai dan Dina komplain ke Mbak resepsionis (tidak tahu bicara apa) lalu mengajak kami pindah lokasi. Lho?

"The place isn't really good," jawab Dina singkat saat kami tanya kenapa sampai harus pindah lokasi. Padahal menurut kami tempatnya lumayan juga sih. Tidak ada yang salah. Tapi ya mau bagaimana lagi, cuma mereka yang tahu alasannya. Hingga akhirnya mereka memilih KTV ini! Wohooo...

Sekitar 2 jam bernyanyi tidak jelas, jam 8 malam Mai ditelepon seseorang yang mengatakan kalau ibunya sekarang masuk rumah sakit gara-gara kebanyakan minum. Semalam saat di KTV ibu Mai memang tidak berhenti minum bir. Saat pulang pun saya melihat gelagatnya yang sudah seperti orang mabuk. Ternyata kami juga baru tahu ibu Mai minum bir lagi setelah pulang dari KTV itu. Oh my God! Padahal Mai bilang ingin bernyanyi bersama kami hingga tengah malam. Rencananya dia akan mengajak pacarnya bergabung.Tapi saat dihubungi, pacarnya sedang kuliah dan baru bisa gabung jam 9 malam. Bakalan semalaman suntuk di KTV pasti ceritanya nanti.

Kami akhirnya sudah kembali ke hostel jam 9 malam. Ada untungnya juga sih. Ini malam terakhir kami di Phnom Penh, artinya kami masih punya waktu untuk istirahat lebih lama dan unpacking. Tapi Dina menguntit hingga ke kamar. Awalnya dia seperti 'tidak tega' melihat kami hanya menghabiskan waktu di kamar saat malam terakhir di Phnom Penh. Kalau kami mau, sebenarnya dia akan menghubungi teman-temannya agar bisa menemani kami keliling Phnom Penh malam itu. Sungguh jamuan yang memuaskan memang. Namun sepertinya Dina mulai mabuk karena dia sampai tergeletak lama di kasur kami. Tuh kan, untuk tawaran dia kami tolak. Lha orangnya saja sudah mabuk begitu.'

"Okay, we'll be meet again at 7 AM tomorrow. Don't forget ya..!" katanya mengakhiri obrolan saat kami mengantarnya ke lift malam itu.