Showing posts with label kerja di Eropa. Show all posts
Showing posts with label kerja di Eropa. Show all posts

Saturday, May 30, 2020

Tips Cari Kerja di Eropa |Fashion Style

Sudah 3,5 tahun saya bekerja sebagai au pair dan tinggal di 3 negara berbeda di Eropa. Menyenangkan? Iya. Saya bisa hijrah ke luar negeri, dapat uang saku, jalan-jalan, bertemu teman internasional , dan mempelajari budaya lokal.

Tapi au pair bukanlah pekerjaan menjanjikan. Kontraknya pun hanya berkisar 12-24 bulan saja. Setelahnya, kita harus pulang ke Indonesia atau lanjut ke negara lain jika masih berniat mengasuh anak orang. Selain sifatnya antara paruh pekerja dan paruh pelajar, umur pun jadi kendala. Ya wajar, karena au pair sebetulnya bukan ajang cari uang dan jenjang karir, tapi pengalaman. Batas maksimum umum au pair hanya 30 tahun—di beberapa negara bahkan hanya sampai 26 tahun, karena memang pekerjaan ini diperuntukkan untuk anak muda.

Meskipun setelah selesai kontrak di Norwegia usia saya masih di bawah 30 tahun, namun saya enggan jadi au pair lagi di negara lain.That's enough! Lima tahun sudah,please! Kalau pun masih ingin tinggal di Eropa lebih lama, saya berharap mendapatkan pekerjaan lain dengan tingkatchallenging yang berbeda.

Banyak gadis-gadis au pair dari Filipina yang enggan kembali ke negaranya, rela lompat-lompat negara di Eropa karena melihat au pair sebagai easy market mencari uang. Tentu saja, karena urusan visanya mudah dan biayanya tidak terlalu mahal. Peluang visa dikabulkan pun hampir 100%.

Jauh sebelum kenal au pair, saya memang sudah lama ingin tinggal dan bekerja di luar negeri. Saking niatnya, saya sampai membeli buku panduan tinggal dan bekerja di beberapa negara. Banyak artikel tentang topik serupa sudah saya cari dan baca dengan seksama. Intinya, cari kerja dimana pun tidak mudah. Apalagi di Eropa, saat status kita bukanlah warga Uni Eropa.

Lalu apakah gampang mencari kerja di Eropa selepas masa au pair? Tentu saja tidak! Kalau mudah, semua au pair Filipina pasti sudah punya 10 keturunan di Eropa. Belum lagi saingan kita tidak hanya orang lokal, tapi juga warga pendatang Uni Eropa lain dengan keahlian lebih mumpuni.

Berikut gambaran bagaimana melihat celah kerja di Eropa. Harap diperhatikan ya, saya tidak memberikan info dimana dan bagaimana mendapatkan pekerjaan. Saya hanya menunjukkan peluangnya saja.

1. Be a skilled worker

Sebagai orang Indonesia yang ingin bekerja di Eropa, status kita harus legal dulu di salah satu negaranya. Untuk menjadi legal ini pun tidak mudah karena setidaknya kita sudah mengantongi satu surat sponsor atau kontrak kerja dari perusahaan. Imigrasi di banyak negara Eropa tidak akan memberikan izin tinggal bagi pendatang yang hanya akan bekerja sebagai babysitter atau tukang jaga kios rokok. Kalau itu sih, orang lokal juga bisa.

Syarat pertama untuk mendapatkan working permit, kita harus memiliki kualifikasi dulu sebagai skilled worker yang benar-benar dibutuhkan perusahaan. Entah itu insinyur, jurnalis, teknisi, pekerja di kedutaan, atau koki.

Karakteristik pekerjaan on demand pun tidak serta merta mudah didapat, apalagi kalau kita sebar cv dari Indonesia. Salah satu cara agar keahlian kita diakui oleh perusahaan asing adalah dengan bekerja di perusahaan multinasional di Indonesia. Tapi seorang yang bekerja di perusahaan multinasional juga harus pandai melihat jenjang karir secara global, karena persaingan akan sangat tinggi dan akan ada peluang pekerja dipindahkan ke berbagai negara lainnya.

2. Take a higher education

Cara terbaik bagi anak muda yang tertarik bekerja di Eropa adalah dengan menjadi pelajar di salah satu kampus di benua tersebut dulu. Dengan memahami sistem edukasi di satu negara, lulusannya diharapkan lebih cepat berintegrasi dengan budaya lokal dan working ethic selama masa magang.

Tapi tentu saja tidak semua lulusan luar negeri bisa langsung bekerja di negara dimana dia kuliah. Persaingan yang kompetitif membuat kita harus lebih cekatan dalam melihat peluang. Menurut saya, jurusan terbaik dengan market kerja yang luas sampai 10 tahun ke depan masih ditempati bidang teknik, IT, dan desain digital. Jadi kalau kamu tertarik lanjut kuliah di Eropa dan kebetulan background S1 mendukung, lanjutkan saja sekolah ke jurusan yang ada hubungannya dengan tiga sektor tersebut.

Seorang teman lulusan Literatur Universitas Indonesia, terpaksa harus kuliah S1 lagi dari awal di Belgia dan banting setir ke desain digital. Dia paham, jurusan Literaturnya tidak memiliki level karir mana pun di Belgia. So, she is totally okay to start from the scratch.

Banyak au pair Indonesia yang juga menjadikan pendidikan di Eropa sebagai batu loncatan untuk tinggal lebih lama disini. Dengan belajar langsung di negaranya, ada harapan besar akan mendapatkan karir lebih baik selepas wisuda. Apalagi kalau sudah fasih berbahasa lokal, sayang sekali jika tidak lanjut kuliah di negara setempat.

Negara dengan biaya hidup dan biaya kuliah terjangkau masih ditempati Jerman, Belgia, dan Belanda. Apalagi Jerman yang sangat welcome dengan para pendatang, memberikan banyak kesempatan bagi para lulusan kampus Jerman untuk mencari pekerjaan selesai masa studi.

3. Speak the language

Lagi-lagi, meskipun sudah kuliah di Eropa dan merasa jurusan yang diambil tepat, belum tentu peluang kerja langsung memihak ke kita. Lulusan lokal yang lebih cekatan dan paham budaya kerja, tentu saja lebih diprioritaskan. Lalu bagaimana agar peluang kita dan orang lokal setidaknya sama? Pelajari bahasa mereka!

Sejujurnya pekerjaan di sektor IT tidak mengutamakan orang-orang menguasai bahasa lokal, cukup berbahasa Inggris. Tapi, kalau bisa bahasa lokal plus lulusan dari salah satu kampus di negara tersebut, kesempatan kita lebih besar besar ketimbang dengan lulusan yang hanya bisa berbahasa Inggris. Banyak perusahaan startup menjamur di Eropa dan membutuhkan anak muda kreatif mengisi lowongan. Though, the salary won't be good in the beginning.

4. Be a 'nekad' traveller

Kalau kamu merasa punya banyak uang dan mampu surviving dari kenekadan, silakan membuat visa turis jangka panjang ke Eropa. Sampai sini, kamu bisa cari black job sebagai tukang bersih-bersih tanpa bantuan agensi. Kembali ke poin pertama, kalau kamu yakin mempunyaiskill yang akan dibutuhkan perusahaan di Eropa, jangan takut untuk sebar cv selagi singgah disini. Kedengaran sedikit impossible memang, apalagi kita tidak diperkenankan mencari pekerjaan memakai visa kunjungan wisata.

Seorang kenalan datang ke Denmark memakai visa kunjungan pacar selama 3 bulan. Alih-alih hanya kunjungan, dia mencari peruntungan untuk bekerja sebagai au pair dan langsung dapathost family kurang dari satu bulan saja. Si kenalan ini pun baru mengurus semua aplikasinya sewaktu di Kopenhagen. Dikira permohonan aplikasi akan ditolak, ternyata izin tinggal au pair-nya dikabulkan. Tricky memang!

5. Married or living together

Cara lain yang menurut saya terlalu naif. Saya mengenal beberapa cewek yang super desperate ingin tinggal di Eropa, lalu mencari cowok lokal untuk dijadikan pacar atau suami yang akan memberikan "jaminan" izin tinggal. Tentu saja tidak semua cewek Indonesia memiliki konsep mencari pasangan bule hanya untuk dapat visa dan tinggal di Eropa. Yang ingin saya katakan, dari permit tinggal bersama atau menikah ini, kita bisa sebebasnya melanglang Eropa sekalian cari kerja di negara asal si pasangan.

Pekerjaan seperti pelayan, tukang bersih-bersih, atau babysitter lepas bisa dicoba sebagai awal, kalau belum menguasai bahasa lokal. Tapi jika memang berniat mendapatkan pekerjaan lebih baik, ikuti poin nomor 2 dan 3. Study more, speak the language, and do not be a stupid Asian partner! Kalau kita memiliki keahlian yang oke, tak jarang lho, pacar atau suami bisa menawarkan kita pekerjaan di perusahaan tempat mereka bekerja.

Ada juga cewek Indonesia yang saya kenal, bekerja di butik ternama di Belanda setelah menikah dengan pasangan Belandanya. Tentu saja langkah awalnya bekerja di butik tersebut karena memang sudah legal dan memiliki izin tinggal (karena menikah). Tapi si kenalan ini juga lulusan Lasalle Singapura. So, the luck is hers.

Ngomong-ngomong, luck juga berperan penting saat mencari kerja di Eropa, lho. Teman dekat saya orang Latvia, sudah hampir 9 tahun di Denmark, dan dua gelar sarjananya didapat dari sana. Sangat fasih berbahasa Rusia, Inggris, dan Denmark. Namun apa daya, berkali-kali melamar pekerjaan, tetap saja gagal. Akhirnya teman saya kembali ke negara asalnya dan beruntungnya, mendapatkan pekerjaan di perusahaan Denmark juga.

Lucunya, teman sebangsa dia yang datang ke Denmark, hanya bermodalkan pengalaman kerja di Latvia dan basic Danish, langsung bisa dapat kerja.Well, again, luck speaks. Kadang perusahaan tidak hanya butuh skill, tapi persona. Satu lagi, networking!

Saya tentu saja berharap bisa tinggal lebih lama di Skandinavia.I am tired of being an au pair. Tapi kalau pun harus bekerja menjaga anak lagi, setidaknya dikombinasikan dengan studi lanjutan. Setelah lama tidak berpikir kritis, otak saya jadi kangen buku-buku akademis. Tapi saya juga mesti realistis, kalau memang tidak ada kesempatan, Indonesia always calls me back!

Kalian sendiri bagaimana, ada niat kah cari kerja di Eropa? Jika iya, di negara mana?How about starting from being an au pair, serius belajar bahasa, lalu lanjut sekolah?

Monday, May 18, 2020

Tips 6 Cara Dapat Uang Tambahan Selama Jadi Au Pair|Fashion Style

Meskipun uang saku au pair sudah disesuaikan dengan gaya hidup dan pengeluaran pelajar lokal di negara tersebut, namun tak jarang au pair tetap harus ekstra irit setiap bulannya. Ongkos transportasi, jajan di luar, serta biaya jalan-jalan, seringkali membuat banyak au pair memutar otak bagaimana mengatur keuangan agar tak sampai angka 0 sebelum habis bulan.

Memang, biaya hidup tergantung gaya hidup. Walaupun sudah berusaha super hemat, tak sedikit au pair yang kurang puas dengan uang saku yang diterima lalu mencari kerja sampingan lain. Terlepas dari sifatnya yang ilegal, uang tambahan yang diterima memang cukup lumayan.

Tapi tahu kah kalian kalau sebagai au pair, kita juga bisa cari kerja sampingan lain untuk dapat uang tambahan? Bukan blackwork yang harus cleaning rumah dan osek-osek WC orang dulu. Kerjanya bisa dilakukan di rumah atau bahkan saat 'nongkrong' di toilet! Uang yang dihasilkan memang tidak sebesar dan seinstan kalau mengambilblackwork. Namun kerjanya legal, bisa sambil santai, dan kalau serius, jumlah uang tambahan yang didapat bisa lumayan!

1. Mengumpulkan botol bekas

Untuk mengurangi limbah plastik dan menjaga lingkungan, pemerintah di banyak negara Eropa mengajak warganya untuk tidak membuang botol atau kaleng minuman di tempat sampah, namun menukarkannya dengan uang tunai. Contohnya di Denmark atau Norwegia, satu botol plastik atau kaleng alumunium dihargai 1-3 krona (cek value-nya di label kemasan!). Karena berharga, seringkali kita melihat banyak homeless yang mengaduk-aduk isi tempat sampah hanya untuk menemukan botol plastik bekas, terutama saat ada event besar.

Biasanya keluarga angkat belanja banyak produk minuman yang botolnya sering dibuang begitu saja. Coba mulai sekarang mulai teliti mengecek berapa value botol minuman yang terbuang dan kumpulkan saja untuk ditukarkan di mesin daur ulang. Satu sampai sepuluh botol mungkin belum terlalu berharga, namun kalau kita rajin mengumpulkan botol sampai 1 bulan saja, tak jarang bisa dapat 50-200 krona! Keluarga saya di Denmark rajin sekali minum soda botolan yang dalam satu bulan, bisa saja terkumpul sampai 50-an botol! Lumayan kan, menjaga lingkungan sekalian dapat uang tunai?!

2. Jual barang sekon

Salah satu godaan terbesar au pair adalah belanja baju atau sepatu; baik bekas, diskonan, atau baru. Tanpa disadari biasanya banyak sekali baju atau sepatu menumpuk di kamar, sampai bingung akan dikemanakan kalau harus pulang atau pindah negara lagi. Sebetulnya, selain disumbangkan lewat kontainer baju bekas, kita juga bisa cari uang lewat barang-barang sekon yang kita punya.

Jangan salah, orang-orang Eropa juga suka barang bekasan asal kondisinya masih bagus. Tidak hanya pakaian, tapi juga barang-barang elektronik dan perabot rumah tangga lainnya. Jadi kalau ada pakaian yang kita malas pakai tapi kondisinya masih bagus, jual saja di situs barang bekas lokal! Tidak perlu memasang harga terlalu tinggi mentang-mentang di Eropa, asal barang laku dan keluar lemari, kita bisa stress-free.

3. Mengkomersilkan skill

Jangan remehkan keahlian masak, seni, atau fotografi yang kita punya! Seorang teman au pair di Belgia, bisa mengumpulkan cukup uang hanya dari keahlian masak dan jiwa kreatifnya, lho! Berbekal ilmu dari yang tadinya hanya hobi, teman saya ini akhirnya percaya diri membuka katering sederhana dan mempromosikan banyak jenis masakan Asia ke teman-teman terdekat dan keluarga pacarnya. Satu porsi bisa dihargai €5-20 tergantung jenis masakan.

Tidak hanya sampai disitu, karena juga berbakat melukis, si teman ini membuka pesanan kartu ucapan atau lukisan handmade. Semuanya dilakukan sendiri dan dipromosikan lewat sosial media atau mulut ke mulut saja. Karena promosinya bagus dan orangnya gigih, saya tak pernah melihat si teman ini kosong pesanan. So, tidak perlu malu mengkomersilkan skill yang kita punya di Eropa karena bisa jadi ladang rejeki!

4. Jual jasa online

Kalau bakat kamu bukan di handmade craft dan memasak, ada cara lain menjual jasa lewat internet. Situs seperti Fiverr dan UpWork adalah salah dua situs terbesar yang mewadahi perusahaan/perorangan untuk mencari atau menjual jasa lewat media daring. Ada banyak sekali jasa yang bisa kamu tawarkan, dari membuat situs, menyelesaikan event project, sampai jadi virtual personal assistant. Jenjang karir dan gaji yang ditawarkan perusahaan pun bervariasi dari enty-level sampai profesional.

Di Indonesia sendiri, kita bisa ikut menjual jasa di Projects.co.id sebagai content writer, desainer poster, atau juga penerjemah. Tak jarang perusahaan yang tadinya hanya merekrut kita sebagai pekerja lepas, bisa menawarkan pekerjaan full time sebagai remote worker yang dibayar lebih dari 2000 USD untuk satu kali proyek! Karena kerjanya freelance, kita tetap bisa menyiasati waktu sebagai au pair sekalian mengerjakan proyek sampingan.

Five. Mengisi survei daring

Selama ini mungkin kita berpikir bahwa mengisi survey dari perusahaan hanyalah sukarela untuk membantu perusahaan tersebut memahami produk mereka dari feedback konsumen. Tapi ternyata, ada banyak situs yang mau membayar kita hanya untuk mengisi survey! Beberapa situs survey berbayar yang bisa dicoba adalah Mobrog , PanelPlace , Toluna , YouGov , LifePoints , iSay , Opinion Outpost , dan Hiving .

Karena tinggal di Norwegia, saya mendaftarkan diri ke situs survey berbayar yang juga berfokus di produk-produk lokal. Bahasanya memang jadi bahasa lokal, tapi lumayan sekalian belajar. Untuk satu kali mengisi survey, kita bisa dibayar 3-20 NOK tergantung berapa lama waktu pengisian. Poin atau uang yang terkumpul bisa gunakan untuk membeli giftcard, ditransfer ke PayPal, ataupun ditukar poin dari maskapai penerbangan.

6. Ikut lomba atau kuis

Daripada bosan dengan pekerjaan rumahan dan sepi teman kencan , coba iseng-iseng buka situs pencarian lomba atau kuis, siapa tahu bisa menang hadiah uang tunai atau barang elektronik! Sewaktu di Denmark, saya sempat ikut lomba blog #PejuangIrit yang diselenggarakan oleh Shopee dan menang uang tunai 2,5 juta Rupiah. Padahal itu adalah lomba blog pertama saya dan tak disangka langsung menang. Artikelnya bisa kamu baca disini .

Saya juga pernah ikut lomba menulis "Colourful Europe" yang diadakan Energy Au Pair Norway di musim panas 2 tahun lalu dan ternyata menang juga. Hadiahnya memang bukan uang, tapi paket lengkap yang berisi parfum, speaker, payung, dan masih banyak lainnya. Lumayan sekali untuk koleksi pribadi! Ini tulisan saya saat menang lomba saat itu. Grammar berantakan, tapi masih menang.

Faktanya, cari uang tambahan selama jadi au pair sangat memungkinkan dan tidak hanya lewat babysitting dan cleaning. Ada banyak cara lain yang bisa kita coba untuk mengasah kemampuan, mengembangkan jaringan, serta menambah uang saku selain berkutat di urusan rumah tangga. Tertarik juga untuk mencoba?

Monday, May 11, 2020

Tips Cara Mencantumkan Pengalaman Au Pair di Resume Kerja|Fashion Style

Tahun ini adalah tahun paling produktif untuk saya karena banyaknya langkah dan perubahan yang terjadi sampai penghujung 2019. Saya yang dari dulu sadar bahwa au pair bukanlah kesempatan abadi sebagai pengganti karir, tentu saja selalu mencari peluang baru yang lebih baik. Dari coba-coba ikut tes pramugari Emirates hingga mendaftar kuliah lagi .

I did write and update my CV a looot this year! Tidak hanya untuk mendaftar kerja dan kuliah, tapi resume kerja adalah cermin bagi saya untuk mengukur diri, how far I have stepped by now. Lima tahun jadi au pair bukanlah waktu yang sebentar. Saat teman-teman saya di Indonesia sudah menapaki karir yang stabil, saya di sini masih saja berkutat dengan popok bayi dan vacuum cleaner setiap hari. Di satu sisi, saya bersyukur bisa mendapatkan pengalaman priceless yang belum tentu semua teman saya dapatkan. Tapi di sisi lain, saya bingung, apa hal yang bisa dijual ke employer selama 5 tahun ini?! Dibandingkan dengan rata-rata orang-orang Eropa, I have no enough education and skills!

Setelah 2 tahunan ini mencoba selalu memperbarui CV, saya sadar sebetulnya pengalaman jadi au pair itu cukup menjual, lho! Bagi kalian yang sekarang jadi/akan jadi au pair, jangan malu mencantumkan pengalaman ini di resume kerja. Tapi, jangan juga sampai salah langkah karena bisa jadi poin minus bagi employer!

1. Mention these skills

Saat ikut tes pramugari Emirates beberapa waktu lalu, saya menelusuri kata-kata kunci yang mungkin bisa cocok dengan segala pengalaman saya selama ini. Sebagai pramugari yang selalu berurusan dengan penumpang berbeda background, tentu saja perusahaan penerbanganan internasional membutuhkan seseorang yang service-minded, bisa menguasai bahasa asing, mudah beradaptasi, serta mampu mengendalikan homesickness dan kesendirian.

Dilihat dari pengalaman kita sebagai au pair, ada banyak soft skills yang sebetulnya dicari perusahaan. Contohnya;

  • Kemampuan berkomunikasi; tidak hanya pencapaian kita menguasai bahasa asing, tapi juga kemampuan mendengar, merasakan, mengobservasi, serta mengutarakan pendapat terhadap lingkungan yang sama sekali berbeda dari tempat asal kita.
  • Cultural awareness; membuat kita tidak serta merta menutup diri dari lingkungan baru, tapi juga berusaha menghargai dan menerima perbedaan di luar ranah nyaman selama ini.
  • Adaptability; bukan hanya terhadap makanan, budaya, tradisi, cuaca yang berbeda, namun pengalaman dan tantangan baru di negara asing menjadikan diri kita lebih berkembang, along with resilience.
  • Self-awareness; melatih diri kita untuk melihat dunia dari perspektif yang lebih luas tanpa bias dengan apa yang sudah kita yakini.
  • Self-reliance; karena semuanya tidak akan berjalan dengan rencana, dari host kids yang bandel sampai host parents yang pelit. Namun karena yakin bisa menghadapi semuanya, akhirnya ada rasa kepercayaan diri yang tertanam untuk mendorong diri untuk terus berkembang meskipun sempat melakukan kesalahan.

Sebagai pendahuluan, kita juga bisa menuliskan "A young professional with 3 years experience of being a kindergarten teacher and having international experience of cultural exchange in Finland."

2. Au pair is NOT a job!

Meskipun harus dapat working permit dulu, bayar pajak, serta diperlakukan layaknya pekerja, namun jangan pernah tuliskan pengalaman au pair di bagian "professional working experience". Mengapa, karena sejatinya au pair itu memang bukan pekerjaan, namun hanya program pertukaran budaya.

Awalnya saya sempat menuliskan au pair sebagai pengalaman profesional, namun semakin kesini, saya merasa hal tersebut justru tidak tepat. Host family memanglah employer yang punya kewajiban memberi kita uang saku, namun bukan real employer yang HRD perusahaan ingin tahu.

Dari pembelajaran ini saya akhirnya menaruh posisi au pair di bagian "additional experience" di bawah "pengalaman kerja". Tidak perlu tulis nama host family, cukup jelaskan 1 kalimat saja apa itu au pair, dimana, kapan. Contohnya, "Au pair - a cultural exchange programme in the Netherlands where I lived with a host family to learn their culture and Dutch for a year."

3. Employers don't want to know what you have done

Meneruskan poin ke-2, mengapa saya taruh pengalaman au pair sebagai "additional experience", karena sejatinya part-time domestic job tidak terlalu menjual ke perusahaan. Mereka tidak perlu tahu berapa banyak popok yang kita ganti seharian, berapa sering kita mencuci baju keluarga angkat dalam seminggu, ataupun seberapa pandai kita masak makan malam untuk satu keluarga.

No, they don't want to know those things!

Seorang teman saya sempat mencantumkan au pair ini di bagian "professional experience" saat mencari kerja di Indonesia. Awalnya memang lancar karena si teman sudah sampai tahap interview. Sayangnya, di bagian inilah teman saya ditanya-tanya soal pengalamannya au pair yang sebetulnya tak sampai 1 tahun itu.

"Oh jadi sekolah tinggi-tinggi, lalu selama setahun ke belakang cuma jadi pembantu ya di negara orang?" kata si pewawancara. Tajam.

"Bukan, Bu. Itu sebetulnya juga sekalian pertukaran budaya."

"Ya, tetap saja. Intinya kan tinggal di rumah orang, lalu bantu bersih-bersih."

Make sense! Tapi mungkin wording teman saya di resume kerjanya tidak tepat sehingga menimbulkan pernyataan demikian dari si pewawancara. Tidak semua orang di dunia ini tahu apa itu au pair. Ketimbang menjelaskan rentetan pekerjaan, sebaiknya tuliskan saja pencapaian kita selama jadi au pair. Contoh, "A culture exchanging in Norway where I am learning Norwegian in intermediate level and facing the diversity by living with a native host family."

Kalau kamu berniat jadi guru di TK internasional, bolehlah sekalian mencantumkan sedikit deskripsi seperti; "worked with children from age 0-8 years to assist their daily routines" atau "taught French kids English and Indonesian as an exchange of French culture in daily life".

4. Sell the experience, not the job desc

Saat menulis cover letter untuk syarat mendaftar kuliah S-2 di Universitas Oslo, saya dibuat pusing juga dengan pencapaian saya selama ini. Okelah, cover letter-nya memang berbau akademis yang mana saya juga bisa bercerita tentang pengalaman kerja dan ekstrakurikuler saat kuliah dulu. Tapi bukankah akan jadi tanda tanya juga "mengapa bisa jadi au pair sampai 5 tahun??!!". Tak ada pengalaman profesional setelah itu. Stuck jadi au pair!

Tapi meskipun pusing juga ingin menulis apa, untungnya saya cukup aktif dan oportunis selama tinggal di Eropa ini. Tidak hanya datang ke sekolah bahasa, tapi saya juga coba belajar menggambar dari kelas seni di Ghent, ikut kelas desain di Kopenhagen , sampai tak pernah absen ikut kegiatan volunteering dalam satu tahun. I know being an au pair alone is not getting me to the peak!

Saya sarankan juga bagi kalian untuk tidak hanya jadi "au pair biasa". Terus kembangkan diri , temukan passion dan belajarlah hal baru setiap waktu selama kita masih tinggal di negara orang ini. Datangi konferensi dan seminar, ikutlah volunteering untuk belajar teamwork dan branding management, serta cobalah belajar bahasa dengan serius. Banyak sekali kesempatan yang tak akan saya temui jika tinggal di Palembang, makanya kapan lagi ikut banyak kegiatan dengan world-class setting seperti ini. Hasilnya, sungguh worth-it! Bukan soal au pair yang saya tuliskan di cover letter, tapi pengalaman selama mengikuti kegiatan sukarelawan yang banyak sekali korelasinya dengan dunia kerja.

Kalau kamu ada kesempatan ikut kursus programming atau sempat punya projek kecil-kecilan dengan teman-teman lain, don't hesitate untuk juga mencantumkannya di resume kerja. Cara paling sederhana lainnya menurut saya adalah dengan ikut lomba dan kompetisi yang sesuai dengan bakat. Tahukah kamu kalau banyaknya prestasi yang kita raih juga bisa jadi professional portfolio ke depannya? Suka menulis, ikutlah kompetisi menulis. Suka membuat video, ikutlah kompetisi film pendek! And so on..

Trust me, it is definitely worth-it!

(Coba juga ikutan kompetisi menulis & ilustrasi "My Final Year" 2019 ini, siapa tahu kamu menang paket hadiah dari Skandinavia plus award-nya bisa jadi portfolio kerja!)

5. Tie the competence

Tidak semua mantan au pair bangga dengan titel "au pair" ini. Atau bisa jadi juga, simpelnya karena malu jadi au pair. Tidak semua mantan au pair juga ingin mencantumkan pengalaman au pairnya di resume kerja mengingat mungkin adanya ekspektasi berlebih dariemployer di Indonesia.

Seorang teman saya yang lain menolak untuk menuliskan pengalamannya ini di CV kerja. Alasannya karena takut para HRD perusahaan memandangnya overqualified hanya gara-gara pernah tinggal di luar negeri. Takut juga kalau si teman saya ini ingin minta gaji tinggi hanya karena sudah punya pengalaman internasional.

Well, that's totally up to you! Saya juga merasa bahwa tidak semua pekerjaan punya keterikatan dengan au pair ini. Banyak perusahaan yang tak peduli dengan pengalaman internasional. Banyak juga dari mereka yang lebih mengutamakan pengalaman profesional ketimbang deretan pengalaman lain yang tak ada kualifikasinya sama sekali dengan pekerjaan yang kita tuju.

Saya, karena sudah 5 tahun ini jadi au pair, mau tidak mau harus mencantumkan juga apa yang saya lakukan selepas lulus kuliah. On that's why, saya butuh ilmu dan skill tambahan setelah jadi au pair. Karena pengalaman jadi au pair sendirian bisa useless jika tidak didampingi pengalaman profesional dan kemampuan lainnya.

6. Host family could be our referee

Tahu kah kalian bahwa host family yang juga statusnya sebagai employer, bisa kita mintai surat rekomendasi sekiranya diperlukan dalam penulisan resume? Tak harus saat melamar pekerjaan, di beberapa kesempatan seperti contohnya melamar beasiswa ataupun cari kontrakan, kadang kita juga harus melampirkan surat rekomendasi dari seseorang yang kenal kita dengan cukup baik.

Happy writing and keep updating your CV!

Thursday, May 7, 2020

Tips Berburu 'Student Job' Tanpa Lelah (Bagian 1)|Fashion Style

"It doesn't matter if you flip burgers, bricks or houses. Just don't sit on your ass all day flipping channels. Hustle." - Denzel Washington

Setelah pencarian host families tanpa lelah sejak 5 tahun ke belakang, kegiatan saya berburu pekerjaan baru memang belum terhenti sampai di situ. Ketika mendengar cerita berkuliah saya di Norwegia, salah satu om menyayangkan keputusan saya harus kuliah dengan biaya sendiri. Apalagi setelah tahu saya akan kuliah sekalian bekerja paruh waktu untuk menopang biaya hidup. Ide ini dipandangnya cukup nekad dan gila mengingat beliau dulu bisa kuliah di luar negeri juga karena bantuan beasiswa.

"Kalau ada beasiswa, ya kenapa juga harus repot-repot kerja? Sebaiknya fokus saja ke studi, daripada harus mengorbankan waktu sekalian kerja part-time," ujarnya.

Dari sana, beliau dengan pedenya menyuruh saya mencari tahu informasi beasiswa LPDP yang begitu dia banggakan tersebut — meskipun dulunya dapat beasiswa dari Pemerintah Jerman, DAAD. Katanya tak masalah apply meskipun saya sudah masuk semester dua. Jadi maksudnya on going saja begitu. Well, demi memuaskan keingintahuan beliau, saya cari saja informasi soal beasiswa tesis LPDP yang mungkin memang tersedia tahun ini. Namun untungnya, memang tak ada!

Oke, saya bukan anti beasiswa. Saya malah sebetulnya sangat ingin dapat beasiswa tiap bulan tanpa perlu repot-repot dan capek memikirkan soal biaya hidup. Kuliah dengan biaya sendiri itu super duper berat, Sodara! Tapi apa daya, saya tahu diri. Nilai IPK pas-pasan, malas minta surat rekomendasi (lagi), belum lagi saingannya bejibun. Jadi daripada berekspektasi harus bisa kuliah dengan dana beasiswa, saya tetap akan kuliah meskipun harus menopang biaya hidup dengan kerja sambilan.

Lagipula, kuliah sekalian kerja paruh waktu di luar negeri itu sebetulnya punya banyak manfaat. Selain cari uang, kesempatan lainnya adalah;

1. Memperlancar bahasa lokal

2. Menambah pengalaman dan memperluas networking

3. Mengenal lebih jauh budaya kerja setempat

4. Punya rekan kerja dan tak lagi bicara dengan tembok layaknya kesendirian au pair dulu!

Di Norwegia, pelajar asing yang mendapatkan izin tinggal bisa bekerja paruh waktu sampai 20 jam per minggu. Di sini, kerja paruh waktu disebut deltid atau 50% porsinya, mengingat kerja heltid (100%) itu sama dengan 37,5-40 jam per minggu.

Kalau ada yang tanya ke saya, apakah cari kerja paruh waktu di Norwegia itu mudah, jawabannya adalah mudah! Syaratnya, kamu mesti bisa lancar bahasa Norwegia, dan yang kedua, kamu punya orang dalam alias teman yang bisa jadi referensi utama mu ke bos di tempat kerja tersebut. Mudah kan? ;p

Tapi bagi pelajar asing, cari kerja di Norwegia tanpa kedua syarat tersebut bisa jadi malapetaka karena keterbatasan lowongan kerja. Belum lagi, 70% lowongan kerja yang tersedia di sini sebetulnya tidak diiklankan, melainkan hanya kabar dari mulut ke mulut. Jadi kalau networking kita sempit, jangan harap bisa dapat pekerjaan dengan mudah, bahkan untuk jadi cleaning lady sekali pun!

Pekerjaan yang dikira mudah semisal pelayan McDonalds atau pegawai pom bensin pun tak banyak melirik pelajar asing karena masalah bahasa. Mengapa syarat bahasa Norwegia sangat mutlak di kota-kota besar semisal Oslo atau Bergen, karena tingginya persaingan antara orang asing dan warga lokal. Jadi kalau kamu hanya terpaku di bahasa Inggris, bisa dipastikan lowongan kerja akan sangat sedikit sekali. Makanya banyak pelajar asing lebih realistis dan memilih bekerja sebagai kurir makanan (layaknya GoFood), kurir koran, petugas kebersihan, atau babysitter lepas, yang berkualifikasi tanpa perlu menguasai bahasa lokal.

Kembali ke saya pribadi, karena memang tak punya orang dalam dan networking yang luas, saya masih sedikit beruntung karena bisa bicara dan mengerti bahasa Norwegia (level A2) meskipun memang belum cukup kuat untuk bersaing di luaran. Itulah mengapa ada manfaatnya jadi pelajar setelah menyelesaikan masa au pair, karena level bahasa kita biasanya lebih baik ketimbang para pelajar asing lain yang baru saja datang ke Norwegia. Plusnya lagi, karena memahami isi konten yang ada di internet, kita bisa curi start duluan berburu pekerjaan paruh waktu di banyak situs lowongan kerja seperti Finn, Glassdoor, Nav, Indeed, Karrierestart, dan masih banyak lainnya.

Untuk jenis pekerjaan, saya tak neko-neko.I don't care as long as I could pay my bills dan latihan bicara bahasa lokal. Jadi pilihannya bisa ke pelayan restoran, penjaga toko, atau asisten butik yang setiap hari menggunakan bahasa Norwegia. Selain jenis pekerjaan tersebut, saya juga mencoba melamar ke perusahaan startup di Norwegia pada posisi magang berbayar (paid internship). Saya mesti sombong sedikit untuk hanya memilih posisi magang yang dibayar karena sekarang memang sedang butuh uang.

Getting a process takes time!

Lalu apakah dengan menguasai bahasa Norwegia stage A2 membuat kesempatan saya lebih besar? Sebetulnya tidak juga. Dari banyaknya lowongan pekerjaan paruh waktu tersebut, tak semuanyaa saya berkualifikasi dikarenakan tetap ada persyaratan yang mengharuskan menguasai bahasa Norwegia dengan sangat lancar. Jadi walaupun sudah bisa bahasa lokal sedikit-sedikit, saya juga tak mau bertaruh mengirim lamaran kerja ke beberapa tempat yang memang mewajibkan bahasa Norwegia fasih sebagai syarat mutlak. Lagipula menulis resume dan surat lamaran kerja itu sangat melelahkan, lho! Saya mesti menyesuaikan isi surat lamaran dengan jenis pekerjaan yang saya lamar.

Kembali lagi, karena saya tidak punya orang dalam atau kenalan, serta degree bahasa Norwegia masih stage dasar, cari kerja paruh waktu menjadi tantangan yang sangat berat. Jangan salah, untuk posisi yang kita kira mudah seperti pelayan restoran atau pegawai toko, saingannya bejibun terutama dari kalangan pelajar lokal itu sendiri! Meskipun kita sudah banyak pengalaman lokal dan internasional, tapi kesempatan biasanya tetap diberikan kepada para pelajar lokal yang bahkan belum punya pengalaman sama sekali.

Cari kerja dimana pun juga melelahkan karena memerlukan proses yang panjang, mulai dari kirim lamaran sampai mendapatkan jawaban. Untuk posisi magang di musim panas (summer internship), saya bahkan sudah mengirim berkas lamaran sejak September tahun lalu. Prosesnya begitu lama dan saingannya pun sangat kompetitif, mengingat posisi yang saya lamar ini juga adalah paid internship. Sedangkan untuk kerja paruh waktu, saya memang sudah rutin mengirimkan lamaran sejak akhir November lalu. Dalam satu bulan, saya bisa mengirimkan 10-20 lamaran kerja ke banyak tempat. Ada yang direspon, ada pula yang tak ada kabar sama sekali. Karena sedang sibuk ujian akhir semester dan pindahan, saya juga tak punya waktu untuk follow up semua lamaran yang sudah dikirim.

Target saya, awal tahun 2020 harus sudah dapat pekerjaan baru! Bisa jadi masalah besar kalau sampai akhir Februari saya belum dapat kerja mengingat uang saku hasil au pair kemarin pun makin menipis. Sekarang saja satu minggu belum dapat kerja dan hanya duduk manis di kosan rasanya sangat membosankan. Meskipun bisa saja sesekali kena stress ala pengangguran, tapi untungnya saya tipikal orang yang cukup oportunis dan gigih. Setiap hari saya berusaha mengecek satu per satu lowongan kerja paruh waktu di internet dan mencocokkan dengan kemampuan yang saya miliki. Satu cocok, secepatnya saya mengirimkan resume dan membuat surat lamaran kerja hari itu juga.

Resume dan surat lamaran kerja (cover letter)

Sekarang mari membahas bagaimana caranya saya melamar pekerjaan ke banyak tempat, apakah datang langsung atau mengirim aplikasi via online. Yang pertama, saya ingin membahas dulu soal syarat lamaran kerja di Norwegia. Berbeda dengan Indonesia, kirim lamaran kerja di Norwegia itu anti ribet. Yang dibutuhkan hanya dua, resume/CV dan surat lamaran kerja (cover letter). Kecuali melamar posisi magang di perusahaan besar, syarat transkrip nilai jadi dokumentasi tambahan.

Banyak pekerjaan yang diiklankan di internet bisa langsung kirim aplikasionline tanpa perlu datang mengantarkan berkas ke kantornya. Beberapa perusahaan ada yang dengan baik hati memberifeedback, ada pula yang acuh sama sekali. Jadi kalau kamu lebih rajin dari saya, kamu bisa coba follow up semua surat lamaran kerja yang sudah dikirim tanpa harus menunggu jawaban yang lama terlebih dahulu.

Untuk CV saya buat berbeda-beda berdasarkan jenis pekerjaan dan posisi yang saya lamar. Bahasa yang saya gunakan di CV semuanya menggunakan bahasa Inggris untuk jenis pekerjaan apapun. Saat melamar kerja paruh waktu, saya buat lebih personal dengan menyertakan kemampuan bahasa serta hobi. Sedangkan saat melamar posisi magang, saya lebih menonjolkan pencapaian akademik dan organisasi. Layout-nya pun sangat simpel mengikuti pola Europass, hanya hitam putih. Yang penting isinya jelas ketimbang desainnya yang terlalu menonjol.

Selanjutnya adalah menuliskan surat lamaran kerja. Di komputer, ada banyak sekali file cover letter untuk masing-masing posisi yang sudah pernah saya lamar. Meskipun isinya tak jauh beda satu dan lainnya, namun memang ada yang saya tonjolkan di tiap surat lamaran kerja. Untuk posisi pekerjaan paruh waktu, saya menulis lamaran dengan bahasa Norwegia. Saya tulis kasar terlebih dahulu, lalu Mumu membantu mengedit kembali. Sementara untuk surat lamaran berbahasa Inggris, saya proofread sendiri.

Mengapa saya menuliskan surat lamaran kerja dalam bahasa Norwegia, karena ini membuka sedikit peluang untuk dilirik oleh HRD. Setidaknya akan menimbulkan kesan bahwa meskipun nama saya totok Indonesia, namun ada niat untuk berintegrasi dengan kultur lokal. Ada banyak sekali HRD yang langsung menyingkirkan aplikasi kita sekilas hanya melihat nama yang terlalu asing, meskipun kita bisa lancar bahasa Norwegia.

Sayangnya, dari semua cara di atas, kesempatan saya mendapatkan panggilan kerja pun tak banyak, terutama di jenis pekerjaan paruh waktu berbahasa lokal. Kalau mau dinilai, surat lamaran kerja saya memang terlalu "tipikal"  dan tidak menonjol dari pelamar lainnya. Tak dipungkiri, saya juga banyak melihat contoh di internet yang jenis kontennya memang seragam. Dari sini, saya mengganti taktik untuk menuliskan ulang motivasi dan pengalaman kerja secara lebih clear serta personal dari sebelumnya. Fiiuuhh.. what a process!

Ngomong-ngomong, ini dulu yang bisa saya ceritakan di postingan kali ini. Next, saya ingin cerita soal pengalaman wawancara kerja serta pekerjaan apa yang mungkin akan mendarat ke saya di awal tahun ini!

Kalian sendiri, apakah ada pekerjaan impian yang mungkin sempat terpikir kalau punya kesempatan bisa bekerja paruh waktu di luar negeri?