Showing posts with label Keluarga Eropa. Show all posts
Showing posts with label Keluarga Eropa. Show all posts

Saturday, June 20, 2020

Tips 7 Kebiasaan Makan Keluarga Eropa|Fashion Style

Selain table manner, orang Eropa juga sangat perhatian terhadap nilai gizi yang terkandung di suatu makanan hingga hanya makan makanan berkualitas tinggi. Berbeda dengan orang Indonesia yang menjadikan meja makan hanya sebagai tempat menaruh makanan, membuka tudung saji saat akan disantap, lalu pergi ke ruang nonton sambil makan.

Selama tinggal dengan banyak macam keluarga angkat, tidak hanya nilai gizi yang saya pelajari dari mereka, tapi juga kebiasaan makan orang Eropa yang sebenarnya sangat sederhana dan tidak berlebihan. Dari kebiasaan makan mereka ini juga, saya bisa menyimpulkan mengapa orang-orang di benua ini awet tua alias tetap sehat menginjak usia di atas 70-an. Kuncinya, pola makan yang seimbang.

1. Mulailah dengan yang manis

Jangan bayangkan bubur ayam, nasi goreng, nasi uduk plus oseng tempe, ataupun mie kuah, ada di meja makan orang Eropa saat sarapan. Karena nyatanya, mereka tidak ada waktu membuat semua makanan itu di pagi hari.

Sarapan di Eropa termasuk mudah dan paling lama hanya 15 menit. Selain roti, sereal, ataupun yoghurt, banyak juga keluarga angkat saya yang menambahkan telur, sosis, atau salami di menu sarapan mereka. Di negara Nordik, para anak dan orang dewasa juga suka sekali menyantap oatmeal (atau mereka menyebutnya bubur) saat sarapan. Lucunya, sarapan di Eropa selalu dimulai dengan sesuatu yang manis-manis, seperti susu, kopi, teh, jus, cokelat, buah-buahan segar, ataupun selai buah.

Sewaktu jalan-jalan ke Italia, saya dan seorang teman mampir ke kedai kopi yang sudah buka jam 6 pagi. Betul saja, dibandingkan menemukan sandwich yang mengenyangkan, kami hanya melihat orang kanan kiri menyantap brioche atau roti manis ditemani secangkir espresso.

2. You can only be king once

Ada sebuah pepatah diet mengatakan, "breakfast like a king, lunch like a prince, and dine like a pauper." Di Eropa, prinsip ini justru malah kebalikannya. Orang Eropa cenderung makan sangat sedikit di pagi hari dan menyantap makanan berat saat malam.

Tidak seperti di Indonesia yang selalu menyajikan nasi panas dari pagi ke malam hari plus lauk berminyak nan mengenyangkan, orang Eropa 'hanya boleh' menyantap masakan hangat sekali dalam sehari. Bisa saat makan siang ataupun makan malam.

Kalau sarapan selalu dimulai dengan yang manis, siang hari menu diganti dengan makanan yang asin seperti sandwich ataupun salad. Malam hari, salah satu anggota keluarga biasanya masak dan menyiapkan sesuatu yang lebih berat seperti steak, nasi, pasta, burger, ataupun pizza.

Bagi orang Eropa, dinner menjadi sangat penting bagi tubuh mereka setelah lelah beraktifitas di luar. Makanya demi memanjakan si tubuh, makan malam biasanya dibuat lebih komplit dan berat ketimbang dua waktu lainnya. Hebatnya lagi, orang Eropa sudah terbiasa menyantap makanan fresh from the oven setiap hari meskipun harus repot memasak dulu. Ide tentang menyimpan makanan lalu besoknya dimakan kembali biasanya hanya bertahan selama satu hari, lalu sisanya dibuang.

3. Snacking is not so chic

Sejujurnya, saya jarang sekali menemukan orang yang suka ngemil di Eropa. Apalagi ngemil kue-kue manis ataupun chiki sambil nonton tv. But, of course, they do eat chips! Konsep ngemil ini pun biasanya hanya dijadikan disiplin saat hari kerja. Di akhir pekan, orang Eropa biasanya lebih relaxed memanjakan lidah dengan sesuatu yang manis seperti cokelat ataupun permen.

Ngemil pun sebenarnya dipandang tidak elegan oleh orang Prancis. Selain mengandung lemak dan kolesterol tinggi, tentu saja mereka sangat membatasi asupan snack yang dimakan untuk menjaga tubuh agar selalu tetap ramping dan sehat.

Orang tua Eropa juga sangat membatasi anaknya untuk tidak sembarangan makan snack di luar jam makan besar. Kuantitas ngemil harus dihitung agar anak tidak ketagihan. Kebiasaan mendisiplinkan anak seperti ini awalnya saya rasa terlalu "jahat" sampai harus membatasi apa yang anak ingin makan. Tapi lama-kelamaan, saya mengerti, kalau anak terus-terusan diberi makanan manis tanpa dikontrol, mereka akan sangat mudah obesitas dan manja ingin minta lagi dan lagi.

Dibandingkan ngemil keripik kentang, orang Eropa lebih suka mengunyah biskuit buah-buahan, muesli bar,ataupun kue beras. Kalau pun belum kenyang, mereka juga biasanya menyajikan dessert yang wajib ada setelah makan malam. Jenis dessert pun kebanyakan sehat, seperti yoghurt plus berries, sepotong kecil fruit cake, atau berbagai jenis keju berkualitas tinggi.

Lalu bayangkan di Indonesia, betapa gurih dan nikmatnya ngemil bakso saat hujan, pempek dengan cuko pedas-pedas, ataupun martabak manis penggugah selera. Uuups, belum kenyang, lanjut Nasi Padang!

4. Makanlah pada tempatnya

Saya akui, kedisplinan orang Eropa di meja makan harus diacungi jempol. Lapar tidak lapar, kalau waktunya memang sedang makan bersama, semua anggota keluarga wajib berkumpul di meja. Tradisi seperti ini hebatnya bisa saya rasakan setiap hari sewaktu tinggal di Belgia.

Di Indonesia, momen makan bersama keluarga sangat sulit saya dapatkan kecuali di bulan Ramadhan. Saat buka puasa pun, kadang beberapa anggota keluarga ada yang sengaja memisahkan diri agar bisa nonton television. Padahal makan bersama seperti ini adalah waktu yang paling tepat bertukar cerita dengan anggota keluarga hingga menguatkan rasa kebersamaan.

Satu lagi yang menarik soal betapa hebatnya fungsi meja makan. Para anak-anak balita di Eropa dibiasakan sudah mandiri di meja makan mereka sendiri tanpa harus dipangku orang tua. Saat usia mulai satu bulan, parahost kids saya sudah 'ikut makan' bersama keluarga di meja. Menginjak satu tahun, kursi khusus pun dipersiapkan di samping kursi orang tuanya. Lalu di usia 2 tahun, saya sudah bebas tugas membantu menyuapi anak-anak ini, karena nyatanya mereka sudah bisa makan sendiri.

5. No phone allowed

Jujur saja, saya sangat benci melihat ada ponsel di meja makan. Meskipun sedang makan sendiri di restoran , saya berusaha terlihat acuh dengan keberadaan ponsel tanpa takut mati gaya.

Orang Eropa sangat menikmati waktu kebersamaan di meja makan hingga bisa saja mengobrol begitu lamanya. Keberadaan ponsel memang tidak jauh dari mereka tapi selalu absen saat makan malam. Sangat tidak sopan sibuk dengan ponsel masing-masing ketika semua anggota keluarga sedang menyantap hidangan.

Kembali ke Indonesia, entah kenapa, saya selalu melihat meja makan orang di restoran dipenuhi dengan ponsel. Belum lagi ide mencuri WiFi gratisan yang alih-alihnya dipakai untuk upload foto sebelum atau setelah makan. Puncak asiknya adalah saat selesai makan, lalu semua orang seperti terburu-buru mengeluarkan ponsel dan sibuk melihat apa yang terjadi di sosial media.

Satu kali, host mom saya di Denmark, pernah mengangkat telpon dari seseorang di jam makan malam. Mungkin karena keasikkan, si ibu sampai tidak terlalu memperhatikan anak kembarnya yang memang sedang sakit lalu muntah-muntah. Bukannya langsung sigap dengan si kembar, si ibu masih asik saja mengobrol dengan orang di seberang telpon.

Host dad saya akhirnya langsung sigap mengangkat si kembar dari kursi dan marah-marah ke si istri karena bisa-bisanya masih sibuk dengan hal lain. Sehabis dari kejadian itu, saya tidak pernah lagi melihat si ibu memegang ponsel ketika jam makan malam.

6. Rumput tetangga memang lebih hijau

Pertama kali ke Denmark dan ikut masak dengan host dad, saya sebenarnya heran sekaligus bosan selalu kebagian tugas memotong sayuran segar untuk dibuat salad. Tidak hanya sekali dua kali, tapi setiap hari! Sampai-sampai saya pernah menyindir mereka, "you always eat salad."

Si bapak yang memang lebih cerewet, bertanya kepada saya jenis sayuran apa saja yang biasa orang makan di Indonesia. "We never eat raw veggies, only the overcooked ones," kata saya.

Semakin lama tinggal dengan mereka dan ikut komunitas vegan, akhirnya saya paham bahwa orang Eropa memang tidak pernah lepas dari sayuran segar sebagai pelengkap makan. Dibandingkan dengan sayuran layu yang ada pada menu makanan orang Indonesia, orang Eropa lebih banyak mendapatkan vitamin dari sayuran mentah sebagai salad. Ibarat sambal bagi orang Indonesia, kehadiran sayuran di tiap menu makanan menjadi hal wajib bagi orang Eropa.

Di Belgia, host kids saya termasuk yang sangat pilih-pilih makanan dan sayuran. Jenis sayuran pun hanya terbatas ke kembang kol, wortel, ataupun brokoli yang di-steam. Sementara di Denmark, host mom saya sudah membiasakan anak-anaknya diberi wortel, kacang polong rebus, ataupun jagung sejak usia 2 tahun. Meskipun tak semua anak mau makan sayuran, tapi semua orang tua mereka percaya bahwa menghadirkan sayuran di piring sejak dini bisa perlahan menumbuhkan awareness mereka saat beranjak besar.

7. Always obey the rules!

Selain kebiasaan makan di atas, saya juga sangat menyukai pelajaran table manner sederhana yang saya lihat dari keluarga Eropa. Contohnya dengan mengajarkan anak memegang pisau di sebelah kiri dan garpu di sebelah kanan. Saya kesulitan makan dengan tangan kiri, akhirnya jadi terbiasa memegang garpu di sebelah kanan.

Para anggota keluarga pun dilarang meninggalkan meja makan duluan jika anggota keluarga lainnya masih ada yang makan, kecuali sedang ada hal penting yang harus segera dilakukan. Anak-anak yang rewel dan tidak ingin makan di meja, selalu didisiplinkan terlebih dahulu untuk bersikap well-mannered di meja makan.

Saat ada pesta besar pun, makanan yang sudah disajikan di atas meja sepatutnya dihabiskan agar tidak mubazir. Jadi bagi yang masih lapar, sungguh dipersilakan kembali mengisi piring mereka dengan makanan yang masih ada. Tenang saja, tidak akan ada yang menyindir berapa kalori yang sudah dimakan. Jadi, tidak perlu malu jika ingin menambah.

Karena begitu tegasnya pelajaran tentang kedisplinan dan kebersamaan ini lah, makanya kebiasaan makan ini tetap kuat di segala generasi. Seorang teman saya, Michi , wajib sekali makan tiga kali—tapi tidak lebih—sehari karena memang seperti itulah normalnya bagi dia. Bunny , cowok Denmark yang saya kenal, meskipun bangun tidur jam 5 sore, dia tetap memulai hari dengan makanoatmeal layaknya di pagi hari.

Jadi, kalau kita mengatakan bahwa orang Eropa cenderung individualis dan tidak terlalu family minded, sebenarnya salah juga. Orang Eropa justru sangat relaxedhingga betah berlama-lama mengobrol sekalian menikmati momen kebersamaan. Tidak hanya diajarkan untuk menikmati makanan, ada juga ungkapan-ungkapan dalam bahasa lain, contohnya Denmark, seperti "Tak for mad (terima kasih atas makanan yang sudah dibuat)" yang diucapkan setelah makan untuk menghargai jasa si pembuat makanan.

Tuesday, June 2, 2020

Tips 10 Tipe Host Family yang Mesti Kamu Pertimbangkan Kembali|Fashion Style

Cari host family yang baik dan sesuai harapan itu tidak mudah. Saya mencari hingga 5 bulan baru akhirnya dipertemukan dengan keluarga Belgia keturunan Maroko via agensi. But, bad thing happened. Belum full satu tahun kontrak, saya sudah angkat kaki dari rumah keluarga tersebut.

Saya tahu, tidak ada keluarga yang sempurna memang. Begitu pula dengan kita, belum tentu sesuai dengan ekspektasi si keluarga angkat. Namun, tetaplah waspada dan pintar saat mencari keluarga. Saya paham, kamu juga senaif saya dulu yang ingin sesegera mungkin merasakan udara sejuk Eropa. Ingin secepatnya jalan-jalan ke negara tetangga dan ingin secepatnya juga meninggalkan Indonesia. Karena muak mungkin?

Namun tetaplah realistis dan hati-hati. Meskipun tidak pernah berharap akan terjadi, tapi kadang ada saja yang membuat kita tidak cocok dengan keluarga angkat. Jadi daripada kamu bermasalah di negara orang nantinya, sebaiknya baca tipe-tipe keluarga yang menurut saya red flag dan mesti kamu pertimbangkan dulu sebelum buru-buru terima tawaran mereka.

1. Tidak mau rugi

Host family seperti ini biasanya hanya akan memberikan fasilitas standar seperti kamar dan uang saku minimum. Beberapa keluarga ada yang jujur dari awal agar kamu tidak pakai listrik dengan boros, hemat air, tidak makan apa yang bukan milik kamu, tiket disuruh bayar sendiri, ataupun mereka yang tidak menganjurkan kamu untuk ikut kursus bahasa. Seriously, tanpa pikir panjang, sebaiknya kamu tolak saja offer dari keluarga begini!

Mereka mengundang kamu bukan untuk diperlakukan sebagai keluarga, tapi personal assistant semata. Untuk apa jauh-jauh ke Eropa kalau kerja kita hanya stay di rumah dan jaga anak?! Sudah hampir semuanya kita yang bayar, mereka juga lebih peduli dengan hasil kerja ketimbang kenyamanan kita.

2. Anak banyak

Bagi saya, anak 3 biji itu paling maksimal. Pun begitu, saya berharap tidak disuruh mengasuh dan mengawasi semuanya. Apalagi kalau mereka semua masih kecil-kecil.

Kalau ini pengalaman kamu pertama kali jadi au pair, saya sarankan hanya memilih keluarga yang anaknya paling banyak 2. Jangan percaya dengan iming-iming keluarga yang akan saling menolong mengasuh anak, karena faktanya kamu bisa kena jebakan. Teman saya harus mengasuh 5 orang anak tanpa bantuan sedikit pun dari host family-nya. Sudah mengasuh anak, ditambah kerjaan rumah yang setiap hari tidak pernah beres. Minusnya lagi, ibu angkatnya super pelit soal makanan dan hobi pinjam duit ke au pair!

Sanggup kamu?

Three. Mantan Filipina

Yes, saya memang sangat skeptis dengan populasi au pair Filipina di Eropa. Menurut saya, keluarga angkat yang pernah punya au pair Filipina sebelumnya akan memperlakukan au pair selanjutnya sama.

Au pair Filipina kebanyakan yes-maam saja karena takut berkonfrontasi dan mengeluarkan pendapat. Tidak sedikit keluarga yang bermasalah dengan au pair Filipina karena miskomunikasi. Kalau pun tidak bermasalah, kamu juga mesti sedikit aware karena au pair Filipina kebanyakan pintar cleaning dan penurut. Makanya banyak keluarga Eropa di utara lebih memilih au pair dari Filipina ketimbang negara lain. No wonder, hampir semua au pair Filipina yang ada di Skandinavia adalah mantan pembantu di Singapura atau Hong Kong.

So, kalau eks au pair si keluarga adalah cewek Filipina , bisa dipastikan ekspektasi keluarga tentang cleaning akan sedikit mirip dengan pekerjaan si mantan. Sialnya, kalau si Filipina mau saja disuruh banyak hal, kamu juga mesti melakukan hal yang sama!

Four. Rumahnya di desa

Saya pernah tinggal di desa saat jadi au pair di Belgia. Awalnya memang bahagia karena jauh dari keramaian dan dekat dengan alam. Lama-lama, saya bosan! Beruntung, tempat saya tinggal saat itu hanya sekitar 40 menit naik bus ke Ghent. Masih lumayanlah kalau ingin rehat saat akhir pekan.

Tapi tidak semua desa dekat dengan kota besar. Belum lagi, biasanya transportasi umum di pedesaan horor alias tidak beroperasi sampai tengah malam dan bisa datang dua jam sekali. Saya sering kali jalan kaki tengah malam dari stasiun terdekat hanya karena ketinggalan bus terakhir.

Travelling ke negara tetangga pun jadi mahal kalau memang harus pergi via bandara yang tiket murahnya justru berada di ibukota. Cari teman juga susah karena kebanyakan tetangga adalah pasangan tua ataupun keluarga yang super sibuk. Makanya sebelum memutuskan deal, sebaiknya kamu cek dulu di peta seberapa jauh desa tersebut dari kota besar. Cek juga halte bus dan stasiun kereta terdekat.

Sejujurnya, saya kapok tinggal di desa! Kita masih muda, masih butuh kehidupan sosial,having fun, danexploring.

5. Cari cleaning lady

Pertama kali kenalan dengan keluarga Denmark, Louise, host mom saya sudah menjelaskan dan jujur kalau sebenarnya mereka lebih butuh housekeeper ketimbang babysitter yang hanya fokus ke anak. Lalu yang terjadi memang benar, pekerjaan saya di Denmark super varitif. Mulai dari mengurus bayi, laundry, beres-beres rumah, masak, loading dishwasher, hingga belanja ke supermarket setiap minggu.

FYI, keluarga di Eropa Utara terkenal "memanfaatkan" au pair hanya untuk mencari cleaning lady murah. Banyak sekali cerita buruk au pair di Skandinavia yang harus bekerja overtime. Menyewa tukang bersih-bersih di Skandinavia memang mahal sekali dan hanya keluarga super kaya yang mampu membayar jasa mereka. Makanya au pair adalah opsi termurah dan all-in; jaga anak iya, masak iya, cleaning lady iya, kadang juga mengurus peliharaan pun iya. Hebat kan tugas au pair di Skandinavia?!

Saran saya, kalau profil keluarga tersebut memang sudah menerangkan urusan rumah tangga akan lebih banyak dari urusan anak, sebaiknya tanya dan diajak diskusi kembali. Kadang ada juga keluarga yang malah ingin kamu ikut gardening. Bahh! Lebih susah menolaknya kalau sudah terlanjur tinggal bersama.

6. Keluarga imigran

Saya sudah pernah membahas tentang keluarga imigran di postingan tentang keluarga Arab . Walaupun lahir, tinggal, dan besar di lingkungan Barat, after all they are still immigrants in heart.

Pengalaman buruk saya dengan keluarga Maroko di Belgia mengajarkan untuk tidak akan pernah mau tinggal lagi dengan keluarga pendatang. Tidak hanya saya, hampir semua teman yang keluarganya imigran juga merasa tidak nyaman dengan treatment dari keluarga tersebut. Mulai dari sifat mereka yang tidak mau rugi, kurang komunikasi, susah diajak diskusi, kurang open-minded,hingga harus kerja berlebihan. Skip deh, meskipun embel-embelnya seagama!

7. Anaknya sudah abege

Di Belgia dan Denmark, batas umur anak terkecil untuk punya au pair hanyalah sampai 12 tahun. Herannya, keluarga angkat biasanya masih manja dan tetap ingin punya au pair meskipun anak-anak mereka sudah mandiri.

Seorang kenalan terpaksa harus merapihkan kamar si anak tertua berumur 18 tahun setiap minggu, meskipun tidak ada dalam kontrak. Hal ini terpaksa dia lakukan karena seperti jebakan Batman, terlanjur pasrah tanpa bisa menolak. Si anak terkecil pun sudah berumur 8 tahun yang notabene mampu mengurus perut dan dirinya sendiri.

Kesimpulan saya, tipe keluarga seperti ini hanya mau dimanja dan sudah ketagihan jasa au pair. Kalau pun tidak disuruh jaga anak, ada juga yang tetap butuh au pair menjaga anjing saat si keluarga liburan. Apa peran au pair kalau semua anak sudah mandiri? Baca poin kelima!

8. Bitchy face

Betul, jangan menilai seseorang cuma dari foto saja. You never know until you get to know them better. Betul itu.

Tapi entah mengapa, sudah 3 orang teman saya bermasalah dengan host mom-nya yang super perhitungan dan rude. Anehnya, para ibu angkat mereka memiliki garis muka yang mirip; muka jutek! Mungkin muka-muka jutek host mom ini ikut berpengaruh ke karakternya di rumah. Kalau kamu bingung seperti apa bitchy face itu, lihat contoh ini;

Intinya muka tante-tante yang fake smiling, kebanyakan gaya, muka angkuh, muka sok cantik, dan muka jutek kayak mau ditonjok. Hah! Just trust me!

9. Track record buruk

Tidak semua tipe keluarga yang sudah saya sebutkan di atas semuanya mean dan rude. Sekali lagi, tidak ada yang bisa menilai sifat manusia sebelum kita bertemu dan kenalan langsung. Tapi kalau kamu punya kesempatan mengobrol dengan mantan au pair mereka, take that chance!

Eks au pair keluarga saya yang sekarang sebetulnya orang Filipina. Jujur saja, keluarga ini juga sempat jadi red alert buat saya. Tapi setelah bicara panjang lebar dengan si eks au pair, saya bisa melihat kalau si Filipina bahagia tinggal dengan keluarga ini. Tidak ada yang ditutup-tutupi dan semuanya terkesan apa adanya.

Au pair adalah kunci untuk tahu jelek baiknya host family saat di rumah. Jangan malas untuk mengulik sedikit tentang kebiasaan host family yang belum kamu tahu.

BUT! Please jangan kebanyakan kepo sampai terlalu banyak bertanya masalah hadiah dan fasilitas yang keluarga akan berikan ke au pair pengganti. Kenyataan akan berbeda, pun begitu dengan treatment keluarga antara au pair pertama dan kedua. Jadikan pengalaman si mantan au pair sebagai pelajaran awal kamu mengenal calon keluarga lebih baik.

10. Tinggal di Britania Raya/Spanyol/Italia

Sudah pernah saya bahas juga di postingan Guide Au Pair , kalau pemegang paspor Indonesia tidak bisa mendapatkan izin tinggal di Inggris atau Spanyol pakai visa au pair.

Kalau kamu memang nekad dan sangat tertarik tinggal di negara tersebut, coba gunakan visa pelajar. Tentu saja, persyaratan dokumennya lebih komplet ketimbang visa au pair. Selain bukti finansial, kamu juga harus melampirkan flight booking, dan LoA dari tempat belajar di negara tersebut. Baca postingan saya tentang au pair ke Irlandia, Spanyol, dan Italia kalau kamu tertarik kesana!

Anyway, kenapa harus jadi au pair disana sih? Kenapa tidak coba apply di negara Eropa lain yang lebih possible, lalu travelling saja ke Inggris atau Italia? Psstt.. pocket money di Spanyol juga kecil kok ðŸ˜›

Sekali lagi, tidak ada yang bisa menjamin nasib kita setelah tiba di Eropa. Bad things could happen dan kenyataan akan sungguh berbeda dari apa yang kita harapkan sebelumnya. Tapi siapa juga yang mau punya pengalaman buruk kan? Tentu saja chemistry berpengaruh saat kamu berdiskusi dengan calon host family. Namun jangan juga kena jebakan Batman hanya karena sifat gegabah yang ingin cepat-cepat ke Eropa tapi melupakan red alert dari calon keluarga.

Good success, ladies!

Sunday, May 31, 2020

Tips The Norwegian Host Family|Fashion Style

This is the aim of being an au pair, cultural exchanging. Dari tinggal bersama keluarga lokal, kita banyak tahu bagaimana kebiasaan si keluarga tersebut mewakili stereotipe masyarakat di negaranya.

Orang Norwegia terkenaloutdoorsy alias pecinta alam. Tidak peduli hujan, mendung, panas, atau bersalju, mereka tetap tahu bagaimana menikmati aktifitas luar ruangan. Sama halnya seperti keluarga angkat saya yang sekarang, super aktif. Kalau ingin tahu bagaimana the real Norwegians, lihatlah keluarga saya!

Mulai dari olahraga ski, renang, mountain biking, jogging, sampai hiking, mereka jagonya. Saya kadang tidak habis pikir bagaimana nenek moyang orang Norwegia mengajarkan keturunan mereka untuk terus aktif. Mungkin karena beruntung tinggal di negara kaya dan cantik, makanya orang Norwegia tidak melewatkan kesempatan menikmati alam fantastis saat musim apapun.

Host mom saya yang sporty, Ida, lahir dari pasangan atlet ski. Beranjak remaja, Ida juga menjadi atlet berkuda yang sering ikut serta di kompetisi nasional. Tidak hanya sampai situ, host mom saya sudah diajak berburu memegang senapan saat usianya masih 16 tahun. Kalau kita hanya punya maksimal dua SIM, Ida punya SIM tambahan dari kapal sampai truk. Sekarang Ida terlihat lebih kalem dan meninggalkan semua olahraga beratnya sejak menikah dan punya anak.

Lasse, si host dad, pernah saya bahas sekali lewat bersama para host dad lainnya. Sama seperti si istri, host dad saya ini juga aktifnya bukan main. Tipikal orang yang tidak bisa hanya diam di rumah selain kerja. Hobinyahiking naik turun gunung, mountain biking, ski, hingga sering ikut marathon di Amerika.

Meskipun karakter host parents saya ibarat dua sisi mata uang, tapi mereka sama-sama punya hobi travelling! Bukan, bukan ke kota-kota besar dan selfie-selfie lucu. Tapi ke tempat non-mainsteam, kota kecil eksotis, dan jauh dari keramaian.

"Dibandingkan Dubai, saya lebih tertarik ke Oman. Dubai is artificial and extravagant, " ungkap host mom saya di pesawat kala itu.

Kegiatan travelling ini pun tetap berlanjut meskipun sudah punya anak dua. Jangan pikir kalau punya anak, semua kegiatan outdoor terpaksa absen dulu. Di Norwegia, anak-anak yang usianya baru 2 tahun sudah punya ski gear sendiri. Mereka sudah dibawa ke gunung dan diajari bagaimana caranya ber-ski. Tak heran mengapa anak-anak usia 6 tahunan sudah pintar berselancar di tebing rendah.

Kalau keluarga Denmarkweekend enaknya di rumah dan santai-santai, keluarga Norwegia justru out of the city dan tinggal sementara waktu di kabin atau summer house. Kalau kalian jalan-jalan ke daerah perumahan di Oslo saat musim panas, dijamin jalanan terlihat sepi. Mengapa, karena hampir setengah penduduk Oslo sedang berlibur ke pesisir pantai atau kabin mereka.

Keluarga saya sekarang juga termasuk orang kaya yang rumahnya dimana-mana. Si host dad, punya winter cabin sendiri di Hemsedal yang terkenal untuk skiing. Host mom saya, diwarisisummer house besar di Tjøme (baca: Syomma). Makanya setiap weekend keluarga saya ini jarang sekali ada di Oslo. Ya sepakat sih, there's nothing to do in Oslo after all.

Sebagai au pair mereka, saya cukup beruntung kecipratan rejeki travelling gratis sekalian business trip menemani keluarga ini. Tapi sejujurnya gaya hidup saya tidak cocok dengan gaya hidup aktif mereka. Bulan lalu, saat kami liburan musim panas di Prancis, saya diajak mengunjungi satu vila besar di atas bukit milik orang tua si host mom. Rumahnya otentik sekali dan sangat French. Kanan kiri hanya hutan, tapi fasilitas di dalamnya sangat lengkap. Mulai dari kolam berenang hingga lapangan tenis.

Tiga hari awal, saya sudah bosan tinggal disana. Tapi keluarga ini terlihat sangat menikmati liburan dan berjemur di tepi kolam berenang setiap hari. Kegiatan pagi diawali dengan mountain biking, jogging, atau yoga. Siangnya, saat matahari di atas kepala, mereka berenang dan berjemur santai sampai 4 jam. Sorenya pun tak kalah seru, main tenis juga!

Saya geleng-geleng kepala dengan kebiasaan sehat tersebut, karena berenang sedikit pun kaki saya sudah kram. Mengikuti mereka yang hobi jalan-jalan dan pindah lokasi ini sempat membuat saya kewalahan. Hari ini baru sampai Oslo dari penerbangan 3 jam, sudah harus packing lagi karena besok pindah ke rumah kedua di Tjøme. Tak pernah ada capeknya mereka!

Tanpa harus mengorbankan hobi, makanya mereka berani membayar mahal jasa au pair dan mengikutsertakan anak-anak yang masih mini-mini dalam penerbangan panjang. Untungnya host mom saya tipe ibu-ibu cekatan yang sabar dan banyak ide. Makanya travelling bersama si mini pun terasa lebih mudah.

Anyway, one thing I like about them, mereka sangat sederhana. Walaupun sadar kaya raya dan rumah besarnya dimana-mana, mereka tidak menjadikan hal tersebut sebagai suatu kebanggaan yang harus dipamerkan ke semua orang. Saat liburan, mereka fokus menikmati masa-masa istirahat dari kantor dan bermain bersama si anak, ketimbang update status di sosial media. Mereka tidak perlu pengakuan dari orang banyak kalau mereka keluarga berada dan sering jalan-jalan.

But as many Norwegians, mereka juga sangat tertutup dan tidak suka kehidupan pribadi dijadikan konsumsi publik. Bahkan bagi tamu saya sekali pun, tidak diizinkan mengakses lantai atas rumah karena dinilai mengganggu privasi. Hmm..

Fakta apa yang paling menarik dari keluarga angkat kalian?

Friday, May 29, 2020

Tips Mengasuh Anak-anak Keluarga Eropa|Fashion Style

If people think, I want to be an au pair (this long) because I love kids, that's totally wrong!

Though, I am so good at faking it.

Lasse, host dad Norwegia, menyapa saya dengan muka lelah di pagi yang cerah. Dia mengadu kalau si kakak tak henti-hentinya bangun dan menangis sejak jam 2 pagi. Tak jelas apa sebabnya, tapi si bapak ini harus bolak-balik menenangkan si anak.

"Too much work to do also. I am so tired," keluhnya sambil tetap tersenyum.

Tidak sekali ini saja si bapak mengeluh tentang gaya hidupnya yang berubah sejak punya anak. Lasse memang jujur dalam banyak hal dan tidak segan menceritakannya ke orang baru, seperti saya. Dari foto lamanya yang saya lihat, si bapak dulunya sangat menjaga bentuk badan dengan cara terus berolahraga.

"Now I even have no time to exercise," keluhnya lagi di waktu yang lain. "I am actually exhausted. I'd rather watch a movie, than run. But it's obligatory! Too much fatty food last weekend and I expect to get my well-shaped body again."

Siap punya anak berarti memang harus siap dengan resiko yang akan diterima. Siap bangun tengah malam, siap tidur kurang, siap punya rumah lebih besar, dan siap-siap juga kehilangan waktu untuk having fun. Makanya untuk mengurangi beban, keluarga di Eropa mau keluar uang tidak sedikit untuk menyewa jasa au pair.

Meskipun gaya parenting dan babysitting orang Eropa lebih 'easy' ketimbang di Indonesia, tapi jadi au pair mereka bisa sama stresnya. Kita dituntut untuk fleksibel dan diberi tanggung jawab sebagai pengganti orang tua saat mereka tidak di rumah. Apalagi saya yang sudah 3,5 tahun jadi au pair dan berpengalaman mengurusi anak dari usia 0-12 tahun, rasa bosan dan stresnya sudah diubun-ubun!

Tiap keluarga angkat punya cerita dan pola asuh yang berbeda-beda. Berikut pengalaman saya menjadi kakak dan babysitter bagi para host kids di Eropa. Tanpa bermaksud menjelek-jelekkan para keluarga, saya hanya memberikan gambaran bagaimana anak-anak Eropa diasuh dengan kultur yang berbeda dengan Indonesia. Trust me, karakter anak memang terbentuk seperti apa mereka dididik dari kecil!

Keluarga Belgia-Maroko

Tiba di Belgia, host mom saya sedang hamil tua dan tinggal menunggu waktu kelahiran anak keduanya. Dari awal sudah dijelaskan kalau saya hanya disuruh fokus menjaga si kakak yang baru berumur 2 tahun. Tugas saya sebetulnya tidak berat dan masih wajar, seperti antar-jemput si kakak, bermain bersama, masak makanan sederhana untuk dibawa ke TK, ataupun hanya hand washing baju anak-anak.

Pertama kali jadi au pair, saya kaget sekali memperhatikan pola asuh keluarga ini yang sangat suka membentak dan berteriak ke anak. Walaupun si kakak baru berumur 2 tahun, tapi seperti sudah diperlakukan layaknya anak umur 5 tahun. Si anak dipaksa untuk dewasa dan mandiri, padahal bicara pun belum lancar. Kalau salah sedikit, ditarik atau dimaki tepat di depan kupingnya. Saya sampai tidak tega hati.

Entah karena memang kebanyakan didikan keluarga Arab sangat keras, akibatnya si kakak jadi sangat keras kepala dan suka berteriak juga. Orang tuanya kadang berusaha untuk tegas dengan melarang ini itu, tapi yang saya lihat, mereka hanya modal memaki. Tujuannya berharap si anak takut, lalu menuruti apa kata orang tuanya. Padahal yang terjadi, si anak sering kali membantah dan merengek.

Saya sering kali dibuat jengkel oleh ulah si kakak yang suka berkata 'tidak' untuk semua hal. Si ibu juga sangat berharap kalau saya bisa jadi teman main si kakak dengan menciptakan banyak ide kreatif seperti melukis atau menggambar. No TV, no gadget. Tapi karena sulit sekali dijadikan teman, saya kewalahan juga mengurus anak ini.

Keluarga Belgia

Merasa tidak berbakat mengasuh anak kecil, saya meminta pihak agensi untuk dicarikan keluarga angkat yang anaknya sudah besar. Mungkin akan lebih mudah, pikir saya saat itu.

Hanya 3 hari berselang, pihak agensi menawarkan saya keluarga di Laarne yang anaknya berumur 7, 11, dan 12 tahun. Semua anak sangat baik, bersahabat, dan fasih berbahasa Inggris. Anak-anak ini sangat suka bercerita dan menganggap saya layaknya seorang kakak. Maklum, saya adalah au pair ke-7 mereka.

Ternyata memang benar, mengurus anak seusia mereka sangat easy. Saya tidak perlu mengganti popok, memandikan, sok-sok cari bahan permainan, ataupun lari-larian kesana kemari. Mereka sudah besar dan tahu apa yang ingin dilakukan. Tugas saya betul-betul seperti kakak tertua yang hanya menuntun ke sekolah naik sepeda, membuat makan malam, dan babysitting semalaman suntuk saat orang tuanya masih sibuk bekerja.

Kalau mau jujur, tugas saya disini betul-betul enak dan santai. Fokus saya hanya ke anak, masak untuk makan malam 4 kali seminggu, dan 2-3 kali sebulan saja vacuuming lantai dasar. Tidak tanggung-tanggung, saya diberikan satu rumah dua lantai sebagai tempat tinggal. FYI, rumah ini dulu memang punya mereka saat rumah utama sedang direnovasi. Karena tidak pernah ditinggali lagi, jadinya dialihkan sebagai akomodasi au pair.

Tidak enaknya mengasuh anak yang sudah besar-besar ini adalah mereka sangat mudah mengatur kita. Aturan orang tua yang tadinya sangat strict, tidak boleh ini, tidak boleh itu, akhirnya dengan mudah dilanggar saat orang tua mereka tidak di rumah. Mereka sangat sering mengajak negosiasi untuk nonton film atau main gadget lebih lama dan tidak jarang ada insiden berkelahi dulu sebelum tidur.

Keluarga Denmark

Saat wawancara pertama saya dengan si ibu, beliau mengatakan kalau sedang menunggu kelahiran dua bayi kembar beberapa bulan lagi. Selain menunggu si kembar, host parents saya juga memiliki anak pertama yang berusia 4 tahun. Tapi karena si bayi nantinya kembar, si ibu meminta saya fokus membantu mengurusi si bayi. Urusan si kakak adalah urusan orang tuanya.

Sampai di Denmark, si bayi sudah berumur 4 bulan and I fell in love in a sudden! Mereka sangat lucu dan mukanya tidak mirip. Yang satu mirip bapak, yang satu mirip ibu. Si kakak belum terlalu dekat dengan saya karena saat itu masih manja-manjanya dengan orang tuanya. Beberapa kali dia berusaha mengajak main, tapi saya sering bingung sendiri karena belum bisa bahasa Denmark .

Enaknya mengurus bayi itu, kita tidak perlu pusing-pusing memikirkan ingin main apa hari ini. Tidak juga capek harus kejar-kejaran hanya karena si anak terlalu aktif. Tapi kesalnya juga banyak! Si bayi tidak bisa ditinggal, harus siap mendengar rengekan, butuh perhatian ekstra, harus disuapi, plus kita mesti menggendong kesana kemari. Belum lagi kalau mereka eek berceceran atau muntahan yang harus segera dibersihkan. Sanggup kamu?

Beruntungnya, host mom saya tipe ibu yang supeeeer sabar dan tidak pernah mengeluh sedikit pun. Saya tahu mukanya lelah mengurus dua newborn babies plus satu anak lagi. Tapi mungkin karena sudah sangat siap punya anak, jadinya kedua orang tua ini lebih bertanggungjawab. Tugas jaga anak dibagi dua. Siang bagian saya dan si ibu, malamnya giliran si bapak yang membuat susu dan bangun kalau si kembar menangis.

Dari segi karakter, host parents saya ini ibarat dua sisi mata koin. Si bapak terlihat lebih arogan, mudah emosi, dan suka berteriak ke anak. Si ibu begitu lembut, jarang marah, dan suka memanjakan anak. Imbasnya, si kakak jadi ikut-ikutan si bapak yang punya temperamen tinggi dan suka berteriak kencang sekali. Sifat manjanya makin menjadi-jadi dengan bersikap bossy, minta perhatian dengan cara kasar, ataupun berteriak agar suaranya didengar.

Si kakak sebetulnya anak yang super manis kalau 'warasnya' keluar. Tapi sifat usil dan keras kepalanya memang bisa membuat semua orang kesal. Meskipun sudah dimarahi habis-habisan, herannya anak ini tidak pernah kapok dan balik memarahi orang tuanya.

Saya tak memungkiri bahwa tahun pertama di Denmark adalah tahun terberat saya dengan tugas yang super variatif. Mulai dari masak makan malam setiap hari, jaga bayi, laundry, lipat pakaian, sampai bersih-bersih rumah pun, saya semua yang mengerjakan.Kerja minimal baru selesai jam 8 malam. Tapi saat si bayi belum setahun, mereka harus ditimang-timang dulu sebelum tidur. Sudah tangan pegal, saya ikut mengantuk, kerja juga sering lembur sampai jam 9.30 malam.

Keluarga Norwegia

Berpengalaman mengasuh newborn babies sepertinya membuat keluarga Norwegia ini sangat tertarik dengan profil saya. Apalagi saat mereka tahu kalau saya sempat ditinggalkan bertiga saja dengan si kembar saat orang tuanya tidak ada di rumah.

"Lalu kalau mereka sama-sama menangis, bagaimana? Kamu gendong sekaligus?" tanya si bapak saat itu.

"Tidak. They have different characters. Yang satu memang sangat rewel, yang satu pendiam. Untungnya, mereka seperti mengerti satu sama lain. Kalau yang satu menangis, yang satunya diam. Malah pernah yang satu menangis sangat kencang, tapi yang satu lagi tidak terbangun dari tidur sama sekali."

Saat saya berkunjung ke Oslo, si ibu sedang mengandung anak kedua selama 4 bulan. Anak mereka yang pertama baru berumur 1 tahun 5 bulan. Menurut cerita dari au pair mereka sebelumnya, keluarga ini super easy dan tipe orang tua yang mau berbagi peran, tanpa sepenuhnya melimpahkan tugas anak ke au pair.

"Really? Kami dulu tidak pernah meninabobokkan si kakak saat masih bayi. Letakkan saja di kasur, lalu si kakak tidur dengan sendirinya," kata si bapak saat mendengar saya harus menimang-nimang si kembar dulu sebelum tidur.

Luar biasa! Kalau si kembar Denmark dulunya kami perlakukan seperti itu, yang ada mereka terus-terusan menangis dan tidak mau tidur.

Si adik yang baru berusia 3 minggu saat saya datang ke Oslo, akan jadi tanggung jawab terbesar saya. Dibandingkan dengan si adik, interaksi saya dengan kakaknya mungkin hanya 10% saja setiap hari. Saya tidak terlalu banyak diberi tugas mengawasi si kakak karena memang anaknya tidak manja dan rewel. Si adik ini sebetulnya yang paling membuat saya jengkel!! Tangisannya sangat nyaring, melengking, dan menusuk telinga. Rasanya ingin saya banting kalau tantrum-nya keluar.

Tapi sebetulnya mengurus si adik ini cukup mudah karena kita sudah tahu apa yang akan dilakukan. Si ibu super strict dalam mendisiplinkan anak-anaknya sejak usia 1 hari. Waktu makan dan tidur diatur sedemikian rupa agar anak-anaknya terbiasa dan mempermudah kita juga merawat mereka. Betul saja, jam 7 malam sudah tidak lagi suara anak kecil di rumah ini karena mereka dengan mudah bisa tidur sendiri dengan hanya dibaringkan di kasur. Tugas saya pun jadi lebih mudah karena jam 6 atau 6.30 malam sudah beres.

Pola asuh keluarga ini memang bisa dijadikan contoh. Meskipun si anak masih kecil, tapi orang tuanya sudah mengajarkan untuk bersikap lemah lembut dan sopan. Si kakak yang sekarang berusia 2,5 tahun adalah anak yang sangat manis, lembut, dan kalem. Si kakak tidak diperbolehkan berteriak kencang di dalam rumah, memukul, dan bermain dengan makanan.To be honest, saya tidak pernah menemukan sisa makanan si kakak yang berhamburan di bawah meja karena cara makannya yang bersih dan tertata.

"Kalau kamu sudah membiasakan sikap tegas dan disiplin ke anak sejak mereka bayi, hal itu akan membuat hidup mu lebih mudah," kata si host mom.

I agree!

Sebetulnya jadi au pair dan mengasuh anak keluarga Eropa itu bisa jadi edukasi dan latihan kalau nanti ingin punya anak. Memang tidak ada pola asuh yang benar-benar tepat, entah itu keluarga Eropa ataupun keluarga Indonesia. Apalagi karakter anak terbentuk dari didikan orang tua terlebih dahulu. Sayangnya, banyak sekali keluarga yang sok-sokan strict dengan anak tapi mereka sendiri yang kadang mengingkari. Ujung-ujungnya au pair atau pengasuh lagi yang disalahkan kalau anak mereka tidak mau menurut.

Saran saya, tetaplah berdiskusi dengan para orang tua kalau kamu mengalami kesulitan mengasuh anak-anak mereka. Coba bicarakan dengan cara santai tanpa terkesan mengeluh dengan kerjaan. Jangan lupa juga belajar bahasa lokal agar host kids lebih paham apa yang kamu katakan.

Satu lagi, kalau kamu belum pernah mengasuh bayi, please don't dare to do so! Mengutip film Dilan, "jangan mengasuh bayi. Ini berat. Kau tak akan kuat. Biar aku saja." ðŸ˜„

Mengasuh anak orang saja sudah melelahkan dan stressful, apalagi anak sendiri. Saya belum sanggup harus kehilangan waktu tidur dan bersenang-senang. Terlalu lama jadi au pair malah membuat saya tidak ingin punya anak (dulu)!

Sunday, May 24, 2020

Tips Katakan "THANK YOU"|Fashion Style

Seorang kenalan menyapa via WhatsApp. Saya melirik ponsel sebentar, lalu tahu kalau si kenalan ini ternyata ingin minta bantuan. Katanya dia sudah bertanya ke teman yang lain, tapi tidak ada yang bisa membantu.

Saya tidak pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya. Yang saya tahu hanya namanya.  Baru kenalan pun sehari yang lalu karena doi ini mengaku temannya teman saya. Foto di WhatsApp juga tidak jelas sehingga sulit mengenali si empunya wajah.

Katanya dia betul-betul urgent ingin minta tolong. Saya tidak bisa membantu kala itu namun hanya coba memberikan banyak informasi yang mungkin bisa menjadi solusi. Seharian si kenalan mencoba bertanya ulang ke saya lagi dan lagi. Meskipun lagi sibuk babysitting, saya jadi tak tega dan ikut mencari informasi lain yang sekiranya bisa membantu.

Selesai mendapatkan bantuan, si kenalan ini hanya mengucapkan, "I love you."

Heh?

By the way, doi cewek. Tapi mungkin karena terlalu girang sudah mendapatkan jawaban yang relevan, dia hanya bisa mengungkapkan ekspresi bahagianya dengan kalimat tersebut, instead of....thank you.

Was it difficult to mention the ones two magic words in a 2nd?

Lalu saya paham, kalau orang Indonesia memang tidak terbiasa dengan ucapan "terima kasih". Dua kata ini biasanya dinilai 'sakral' hanya saat kita diberikan barang semisal hadiah atau angpao.

Pertama kali datang ke Belgia, saya sebetulnya sering sekali dibanjiri ucapan terima kasih dari host family untuk usaha sekecil apapun. Jujur saja, saya sedikit risih di awal dan merasa mereka terlalu berlebihan. I just did what I could.

Diambilkan jaket, terima kasih.

Dimasakkan makanan, terima kasih.

Diantar anaknya ke sekolah, terima kasih.

Dibukakan pintu, terima kasih.

Kelamaan sedikit jam mengasuh anaknya, diucapkan beribu terima kasih.

Saya heran, padahal menjaga anaknya memang tugas harian saya. Tapi tetap saja, sihost family tak segan berterima kasih atas apa yang sudah saya lakukan untuk mereka.

Datang ke Skandinavia, saya semakin heran dengan kebiasaan orang-orang lokal yang juga suka sekali berterima kasih untuk hal apapun.

"Mau pakai gula?"

"Iya, terima kasih."

"Selamat berakhir pekan!"

"Terima kasih. Kamu juga ya!"

"Ini kembaliannya."

"Terima kasih banyak!"

"Rok kamu lucu sekali!"

"Terima kasih."

"Semoga kalian menyukai makanannya."

"Terima kasih."

"Semoga perjalanannya menyenangkan!"

"Terima kasih!"

See? Setiap kepedulian orang lain yang menyenangkan kita, tak henti-hentinya dibalas dengan ucapan terima kasih. Kalian kira, orang yang memberikan informasi tak patut diberikan "perhargaan"? Kalian pikir informasi itu gratis? Kalian pikir, tidak ada waktu yang terbuang hanya untuk memberikan informasi yang sebetulnya sangat berguna untuk hidup mu?

Kita memang harusnya tidak boleh mengharapkan apapun atas apa yang sudah diberikan ke orang lain, pun ucapan terima kasih. Tapi kelamaan tinggal di Skandinavia, membuat saya terbiasa mengucapkan kata-kata sakti ini. Kadang sekembalinya ke Indonesia, kuping saya jadi jengah kalau ada usaha kecil seseorang yang dirasa tak bernilai harganya.

Baru-baru ini saya membantu sepupu mengganti jadwal tiket pesawat internasional yang sedang ada masalah di jadwal transitnya. Dari awal sampai akhir, saya yang membantunya bicara ke orang maskapai hingga membuat keputusan. Lalu setelah beres dan mendapat kode reservasi baru, sepupu saya ini hanya mengetik kalimat pendek, "OK", di akhir pembicaraan kami.

Ada lagi satu teman lama saya yang minta tolong dibuatkan surat pengunduran diri berbahasa Inggris yang sebetulnya bisa doi contek di Google, tapi malah lebih senang menyerahkan semuanya ke saya. Setelah selesai, doi hanya membalas pesan saya pendek, "mantap!"

Entah kenapa di Indonesia ucapan terima kasih terdengar sangat mahal bila diucapkan ke keluarga, sohib karib, atau orang yang lebih muda. Padahal di Eropa, anak-anak kecil dari umur 2 tahun sudah dibudayakan dan diwajibkan mengucapkan "terima kasih" tanpa melihat repute dan umur.

Host kid di keluarga Norwegia saya, tak henti-hentinya selalu diingatkan untuk berterima kasih kepada siapa pun. Kalau dia lupa, orang tuanya tak jarang menegur dan kembali memberikan pengarahan bahwa pertolongan orang lain itu patut dihargai.

Bahkan di Denmark dan Norwegia, selalu ada ucapan "Tak for mad/matten!" (Terima kasih makanannya!) setiap selesai makan. Ucapan ini diberikan kepada si pembuat makanan yang sudah bersusah payah masak untuk menyenangkan perut kita.

Di Indonesia, ucapan ini nyaris nihil diucapkan oleh anak-anak. Bahkan saya pernah membaca satu artikel yang mengatakan bahwa anak-anak tidak seharusnya berterima kasih setiap diberikan hadiah. Alasannya, karena ditakutkan si anak ini merasa bahwa apa yang sudah diberikan wajib mendapatkan pamrih. Padahal, thanking someone won't hurt you anyway.

Iseng-iseng, saya menonton lagi sinetron lawas Indonesia thru Youtube, Si Doel Anak Sekolahan, yang sangat populer di technology 90-an. Saya tidak ingin mengupas kejelekan sinetron ini karena ceritanya mengingatkan saya dengan masa kecil yang sangat herbal. Tapi lewat sinetron ini, bisa kita lihat bahwa anak-anak Indonesia memang tidak dibiasakan mengatakan "terima kasih" sejak dini.

Si Enyak yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tak henti-hentinya bekerja di rumah melayani keluarga. Mulai dari masak, membuatkan kopi untuk si Babe, jaga warung, juga melayani si Doel yang kadang kelelahan sepulang kerja. Lalu, apa yang didapat Enyak? Tidak ada. Jangankan ucapkan terima kasih, kadang si Enyak ini juga mendapat hinaan dari hasil jerih payahnya membuatkan kopi.

Pernah lagi ada adegan si Doel yang membantu anak-anak membetulkan rantai sepeda di tengah jalan, lalu setelah beres, ditinggalkan begitu saya oleh si anak ini. It's SO rude to do so here! Berani-beraninya kamu langsung meninggalkan seseorang yang sudah membetulkan sepeda mu tanpa ucapan terima kasih sedikit pun. Ingin dimaklumi karena dia anak-anak? Ya, begitulah. Karena sering mendapatkan kemakluman, anak-anak Indonesia jadi tidak tahu bagaimana seharusnya menghargai pertolongan orang lain.

Saya juga bukan anak Indonesia yang sempurna dulunya. Saya nyaris absen mengatakan terima kasih ke orang-orang yang seharusnya deserve it. Datang ke Eropa membuka pikiran saya, bahwa kebiasaan baik masyarakat sini memang sudah terbentuk sejak kecil lalu mendarah daging. Tenaga dan usaha manusia itu tidak murah harganya, tapi mengucapkan "terima kasih" pun tidak mengurangi isi kantong mu.

Tips Mengurus Anak Lebih Mudah Ketimbang Mengurus Tanaman|Fashion Style

Beberapa waktu yang lalu saya melihat Instagram Story seorang teman berkata bodoh, ?Kelihatannya lebih mudah mengurus tanaman ya daripada mengurus anak?. Saya menahan napas sejenak. Lalu rasanya ingin saya kuncit mulut doi dan jambak rambutnya.

Segitunya saya, karena si teman ini guru TK dan mantan au pair juga. Yang saya tahu, anak-anak yang pernah diurusnya berusia 4-6 tahunan. Mungkin karena host kids-nya sudah cukup mandiri, makanya doi anteng saja mengajak main, mendadani, atau memberi makan. Beres.

Saya sudah tiga kali jadi au pair dan anak-anak yang saya urus usianya beragam, mulai dari three minggu sampai 12 tahun. Jam terbang saya tentu saja lebih tinggi karena pengalaman mengasuh anak lebih banyak, terutama bayi. Sebagai informasi juga, saya pernah jadi guru TK selama lebih dari setahun setengah. Kalau disuruh memilih antara mengurus tanaman atau anak, tentu saja saya ingin menjerit lebih baik mengurus tanaman. Si tanaman tidak perlu kalian gendong, suapi, mandikan, ataupun ajak bermain. Si tanaman juga tidak akan menangis di tengah malam ataupun berisik minta dibelikan jajanan saat di jalan.

Saya tidak perlu punya keturunan lebih dahulu untuk tahu betapa lelah dan stressnya mengasuh anak. Mungkin akan ada yang berkomentar, “mengasuh anak sendiri berbeda dengan mengasuh anak orang”. No, peeps. It’s totally the same!Jangan mentang-mentang para host kids tidak lahir dari rahim saya, lalu bisa diperlakukan ala kadarnya. Tentu saja tidak. Saya tetap berperan layaknya orang tua ketiga yang ikut mengasuh dan menyayangi mereka. Pola asuh yang sering orang tuanya terapkan pun selalu saya aplikasikan juga ke anak-anaknya. Apalagi selain dibayar, saya mendapat kepercayaan penuh dari si orang tua langsung.

Sama seperti halnya hewan peliharaan yang masuk menjadi bagian anggota keluarga. Meskipun hewan tersebut bukan dari kandungan kita, mustahil kita bisa memperlakukan mereka seenaknya. Ada rasa tanggung jawab, kasih sayang, dan peduli yang kita curahkan. Dipeluk, diberi kandang yang layak dan makanan yang sehat, serta dibawa ke dokter kalau sakit. Bedanya, hewan peliharaan tidak akan seberisik anak-anak. Hewan peliharaan juga tidak perlu ditimang ataupun diganti popoknya setiap waktu.

Lalu mungkin ada lagi yang berkomentar, “alah.. situ kan cuma babysitter yang jaga bayi sebentar-sebentar, tidak 24 jam. Mana tahu seninya mengurus anak.” Kalau masalah pengalaman, jam terbang saya lagi-lagi lebih lama dari para ibu muda yang ada di luar sana. Saya pernah 'dikarunia' tugas mengasuh dua anak berusia di bawah 3 tahun plus satu anjing selama 4 hari 3 malam saat orang tua mereka liburan ke Inggris. Ini yang babysitting-nya non stop 4 hari. Belum lagi babysitting lain yang harus juga saya tangani. Saking fokusnya dan harus membagi atensi ke semua anak, saya sampai tidak punya waktu untuk mandi dan mengurus laundry. Lelah sekali. Saat mengajak anjing jalan pun, dua anak lainnya mesti diajak. Ya jadilah stroller penuh membawa para asuhan. Belum kali kalau si bayi teriak lapar, si kakak minta tambahkan susu, sementara perut saya pun sudah merongrong minta makan. Aaaargghh!

Si teman saya tadi mungkin belum pernah berurusan dengan popok kotoran, jeritan bayi di pagi hari, intervensi saat tidur, ataupun lelahnya raga saat harus mengurus para anak ketika tantrum menyerang. Di pikirannya mungkin punya anak itu selalu menyenangkan ataupun menggemaskan. There.. there.. the truth is far from that! Main dulu yang jauh, bertemanlah dengan para ibu muda yang sering juga mengeluh saat mengurus anak. Kalau perlu, latihan dulu mengasuh anak orang di bawah usia 5 tahun selama satu minggu penuh agar tahu mana tanaman, mana anak-anak.

Children are nightmares and uneasy creatures. Jangan pernah samakan mereka dengan tanaman. Ada pikiran, tenaga, waktu, dan materi yang dikorbankan untuk mereka. Bahkan ada yang mengatakan, mengurus dan mendidik anak perempuan lebih sulit ketimbang mengurus 10 ekor kerbau. Jadi kalau disuruh pilih mengurus anak, hewan peliharaan, atau tanaman, saya mencoret opsi pertama ☺

Wednesday, May 6, 2020

Tips 5 Alasan Mengapa Kamu Harus Tinggal dengan Keluarga Native|Fashion Style

Salah satu hal yang membuat kamu sukses mendapatkan pengalaman berharga saat tinggal di luar negeri dan setelah melewati masa au pair, tentunya adalah host family atau keluarga asuh/angkat. Mereka yang bisa menerbangkan mu dari Indonesia menuju host countries dan memberikan kesempatan mengikuti program pertukaran budaya di negara tujuan. Mereka adalah penentu apakah nasib mu di negara tersebut bisa berakhir menggembirakan, atau justru meninggalkan trauma.

Keluarga angkat ini juga ada yang asli lokal, campuran, atau sama sekali bukan asli warga setempat. Saya pernah tinggal bersama keluarga non-native dan lebih banyak tinggal dengan keluarga native. Pandangan saya terhadap kedua tipe keluarga ini, ada yang super baik, ada juga yang super mean tergantung individualnya. Bukan dari mana mereka berasal. Yakin saja, keluarga jahat itu sebetulnya ada dimana-mana.

Hanya saja, karena tujuan utama kita jadi au pair sebetulnya pertukaran budaya, saya sangat menganjurkan pilihlah keluarga native, atau yang salah satu orang tuanya merupakan orang lokal. Mengapa, karena ada banyak hal yang bisa kamu pelajari dari keluarga native ini.

1. Pelajaran bahasa mu akan lebih terasa karena praktik nyata

Saya tahu, di luar sana sebetulnya banyak sekali au pair yang malas belajar bahasa dan merasa cukup menggunakan bahasa Inggris di rumah. Banyak juga yang merasa happy kalau ternyata host kids mereka bisa berbahasa Inggris.

Tapi, bagi kamu yang sangat bermotivasi untuk belajar bahasa asing, tinggal dengan keluarga native bisa membuat kemampuan bahasa mu meningkat drastis. Tak perlu repot-repot cari tandem belajar, host kids di rumah adalah guru sekaligus teman belajar bahasa lokal . Mungkin ada juga yang sedikit terintimidasi dengan host kids yang sudah cukup dewasa dan selalu mengernyitkan dahi memahami apa yang kita ucapkan. Namun yakinlah, hal ini malah bisa jadi semangat untuk bisa memoles bahasa lokal mu lebih baik.

Dari pengalaman saya juga, keluarga native yang punya anak kecil lebih memudahkan kita belajar bahasa karena sama-sama baru belajar mengucapkan kata per kata. Anak kecil ini juga tak mudah menghakimi kemampuan bahasa kita hanya karena salah grammar atau pelafalan.

Sewaktu tinggal di Belgia, keluarga saya juga sebetulnya bukan asli Belgia. Mereka adalah orang Maroko yang lahir dan besar di sana. Namun, karena di rumah percakapan hanya menggunakan bahasa Prancis, hal ini bisa jadi kesempatan saya yang saat itu kebetulan memang ingin belajar bahasa Prancis. Karena anaknya juga masih mini-mini, pelajaran bahasa Prancis saya lebih cepat terasah karena setiap hari terpaksa harus mengobrol dengan bahasa yang dipahami mereka.

2. Makanan yang kamu cicipi tidak selalu nasi

Who does not love rice?! Tenang saja, para bule di Eropa juga sebetulnya suka nasi, kok. Hanya saja memang frekuensi makannya jauh lebih sedikit daripada kita di Indonesia.

Tinggal dengan keluarga native membuat kamu juga bisa mencicipi kuliner lokal yang belum pernah ada resepnya di Indonesia. Dari yang tadinya benci sayuran, kamu akan terpaksa mencicipi salad segar setiap hari. Saya dulu juga awalnya benci terong dan sayuran segar lainnya. Namun karena setiap hari disajikan itu-itu lagi di meja makan, saya punya kecenderungan untuk ikut mencicipi menu yang jauh dari zona nyaman lidah selama ini.

Selain itu, sebetulnya ada banyak sekali jenis makanan yang tak harus selalu disantap dengan nasi, tapi pasta, quinoa, ataupun kentang. Hal paling menantang adalah mencoba untuk meninggalkan rasa pedas yang selalu kita rasakan selama di Indonesia. Apa-apa pakai sambal! Mungkin awalnya akan terasa hambar dan hanya terasa asin saja, namun kalau kita tinggal dengan keluarga native, lidah juga akan berlatih untuk merasakan rasa selain pedas.

Beda halnya kalau kamu tinggal dengan keluarga non-native semisal Maroko, contohnya. Makanan mereka kebanyakan berlemak dan nyaris nihil sayuran. Nasi atau couscous pun selalu memenuhi meja makan hampir setiap hari. Selain rempah masakan mereka yang hampir selaras dengan makanan Asia, saya tak terlalu banyak mencicipi rasa selain fatty dan heavy.

3. Mengenal tradisi dan kebiasaan lokal lebih jauh

Tahu kah kamu kalau di Belgia, keluarga native memulai sarapan mereka dengan yang manis-manis? Tahu kah juga bahwa saat tinggal dengan keluarga native Denmark, kamu akan menyadari bahwa rumah mereka kebanyakan didominasi warna putih dan produk berdesain asli Skandinavia. Kamu juga akan belajar memahami hal-hal yang masyarakat tersebut sering lakukan, namun terlihat aneh bagi kita.You wouldn't know this kalau tak tinggal dengan keluarga asli!

Tinggal dengan keluarga native juga seru, karena bisa sekalian mengamati manner dan kebiasaan mereka sehari-hari. Bagaimana gaya parenting di sana, hingga jenis snack seperti apa yang sangat disukai warga lokal. They will tell you more about their country, for sure! Termasuk stereotipe yang akan kamu sering kamu dengar dari banyak foreigners tentang warga lokal!

4. Merayakan Natal yang bukan lagi jadi perayaan agama

Far from Indonesia and stay with the natives akan membuat cara pandang mu berubah dalam melihat kehidupan. Di Eropa, perayaan Natal bukan hanya milik agama tertentu. Natal menjadi liburan terbesar sepanjang tahun karena saat inilah orang-orang menjauh sebentar dari hiruk pikuk kota dan berkumpul bersama keluarga di rumah.

It is OF COURSE allowed to decorate the Christmas tree regardless your real religion or nationality! Semua orang bersuka cita mendirikan pohon natal plastik atau asli, sekalian mendadani si pohon agar tampak cantik jauh sebelum perayaan Natal tiba. Lampu-lampu kerlap-kerlip dipasang di luar rumah ikut menambah euforia Natal yang syahdu. Lagu-lagu khas Natal juga semakin sering berdendang di radio sampai kamu sendiri mungkin akan hapal dan muak.

Christmas eve is soooo cozy! Beruntung kalau kamu juga bisa merasakan white Christmas.Di malam sebelum Natal (24 Desember), meja terisi penuh makanan enak, ditambah dengan cercahan lilin yang akan membuat suasana semakin nyaman. Semua anggota keluarga berbagi cerita, hingga saatnya tiba saling bertukar hadiah. Kalau yang diundang banyak, acara tukar hadiah ini bisa berlangsung sangat panjang.

Bagi saya yang mantan au pair, perayaan Natal adalah momen yang WAJIB kamu rasakan bersama host family selama masa au pair! It would be full of good food, good mood, and good experience! Satu lagi, kamu wajib tahu bahwa di Eropa, perayaan Natal di tiap negara pun punya kultur yang berbeda, lho!

Five. Beraktifitas seru layaknya masyarakat lokal

Saya merasa sangat beruntung menemukan keluarga native yang semuanya mau berusaha mengenalkan budayanya ke saya. Kapan lagi, bisa merayakan 17 Mei di Norwegia, namun bukan bersama masyarakat lokal di Oslo, namun di pulau pribadi milik host family . Kapan lagi bisa diajak lunch di tengah laut Norwegia Selatan, kalau tak naik kapal pribadi milik mereka!

Kalau kamu mendapatkan host family yang aktif, akan ada banyak kesempatan dimana kamu bisa diajak beraktifitas bersama atau sekadar diajak 'business trip ' sesekali. Saat mereka sekeluarga berski ria, bisa jadi kamu ditawari ikut main ski bersama, sampai dibelikan peralatan lengkapnya! Keluarga kamu suka menikmati makanan high standard, ada kemungkinan juga mereka akan selalu mengajak atau menawarkan voucher makan-makan fancy di luar.

Bahkan kalau pun tak rejeki diajak kemana-mana, kamu tetap bisa belajar bagaimana keluarga lokal ini menikmati waktu senggang mereka. Di Denmark, kehidupan masyarakat lokalnya cenderung membosankan. Tappiiii, ada tren mendatangi health club yang jadi kultur setempat. Seorang teman saya akhirnya ikut termotivasi untuk mendatangi tempat gymnasium setiap minggu karena mencontek aktifitas favorit keluarga angkatnya.

Tak ada salahnya memiliki preferensi ingin mendapatkan host family seperti apa. Boleh yang seiman, senegara, ataupun sebahasa. Bebas! Belum tentu juga keluarga native akan cocok dengan gaya hidup kita, atau bahkan bisa jadi lebih buruk dari keluarga imigran. Namun, kalau disuruh memilih, saya tetap akan memilih keluarga native yang saya yakini, bisa lebih banyak memberikan saya pelajaran dan pengalaman selama di negara tujuan.

Kamu sendiri, apa punya preferensi keluarga seperti apa yang ingin kamu dapatkan sekiranya punya kesempatan jadi au pair? Boleh juga membaca postingan saya tentang 10 hal yang mungkin bisa kamu hindari sebelum memilih keluarga!