Showing posts with label cowok Denmark. Show all posts
Showing posts with label cowok Denmark. Show all posts

Tuesday, June 23, 2020

Tips Bunny, Si Cowok Denmark Penakluk Hati|Fashion Style

Saya sebenarnya bersumpah untuk tidak berkencan dengan cowok manapun lagi. Alasannya simpel, saya akan meninggalkan Denmark dalam waktu dekat. Lagipula, berkencan itu melelahkan. I'm fed up already!

Aplikasi dating semacam Tinder sudah saya hapus sejak tahun lalu. Meskipun sering buka tutup OKCupid, tapi hanya situs kencan satu ini yang masih saya pertahankan. Saat bosan melanda, sering iseng saya buka walaupun tujuannya hanya untuk mengecek siapa yang mengunjungi profil saja.

Suatu hari, saat mengecek profil, satu foto menarik perhatian saya. Bukan soal tampangnya, tapi matanya. Bukan warna biru seperti kebanyakan orang Denmark lainnya, tapi abu-abu muda yang sangat cantik dan berbeda.

"Nice eyes. You're welcome," kata saya mengawali sekalian mengakhiri obrolan.

Jujur saja, tidak sekali ini saya mengirim pesan duluan ke cowok-cowok di situs kencan. Kalau profil atau foto mereka menarik, biasanya saya tidak malu memuji duluan. Tujuannya bukan breaking the ice, tapi benar-benar murni memuji. Meskipun ujung-ujungnya kadang hanya dibalas, "Thank you."

Benar saja, si cowok bermata abu-abu ini lalu membalas pesan saya. Tidak hanya ucapan terima kasih, tapi berusaha untuk mencari topik obrolan agar berlanjut. Satu, dua, tiga pesan pendek, lalu seterusnya selalu dibalas pesan panjang.

"It's too bad I cannot meet you this weekend. Saya mau liburan dulu ke Austria nih," kata saya saat doi mengajak ketemuan.

"Ah, that's okay. I will meet you when you're back then!"

Sampai akhirnya satu minggu berlalu, saya dan dia masih saja balas-balasan pesan lewat OKCupid setiap hari. Doi juga kadang jadi tempat sampah berbagi uneg-uneg saat saya sudah muak di Paris .

"I'm flying back home tonight! Semoga bisa ketemu besok ya," kata saya mengakhiri obrolan sebelum pesawat lepas landas.

*

Sabtu sore, saya dan dia janjian ketemuan di stasiun metro Frederiksberg. Stasiun ini memang sangat dekat dengan taman yang akan jadi tempat kencan pertama kami. Yang saya suka saat berkencan dengan orang lokal adalah mereka biasanya tahu tempat-tempat mana saja yang tidak terdeteksi oleh turis. Makanya saat doi menyarankan dating di Landbohøjskolens, saya dengan mantap langsung mengiyakan.

Bagi saya, kencan pertama serasa bertemu teman baru. Pun saat bertemu dengan doi, sudah tidak ada lagi rasa gugup. Saya mengembangkan senyuman saat baru tiba di stasiun dan melihat cowok kurus tinggi langsing berjalan menghampiri saya. It's him!

"Finally!" kata saya lalu memeluknya.

Bunny, panggilan saya ke dia, memakai kemeja hitam saat itu. So typical Danish! Rambutnya cokelat tua berbelah pinggir, berewokan seperti cowok-cowok zaman sekarang, tapi tetap cute dengan mata abu-abunya.

Doi memang tipe cowok Denmark yang mudah ditebak, sopan, namun sangat hangat. Karena tidak ingin terlihat kaku, Bunny juga tidak berhenti mengeluarkan jokes sepanjang perjalanan di taman. Sangat mirip dengan gaya obrolan kami yang jarang serius di texting. Karena saat itu Bunny juga lagi sibuk mengerjakan tugas akhir masternya, topik obrolan pun kadang nyangkut ke tesis dia.

"I'm boring. I know," katanya rendah diri saat menyadari saya mulai menguap mendengar doi menjelaskan tentang si tugas akhir.

Kencan saya dan Bunny hari itu berlangsung cukup lama. Tidak hanya di taman Landbohøjskolens, saya dan dia juga mampir ke kedai es krim sekalian mengitari daerah Frederiksberg. Rute kali itu, taman, es krim, lalu taman lagi.

"Do you want to sit above my jacket?" tanya Bunny seraya menggelar jaket hitamnya di atas rerumputan.

"No. That's fine. I can just sit on the grass."

"Well, saya kira saya bisa jadi gentleman karena menawari jaket," katanya sambil tidak berhenti menatap mata saya.

Jleebbb...There's something on him.Sesuatu yang membuat saya ingin mengenal dia lebih jauh. Tapi karena terlalu geer ditatap begitu terus, saya langsung melirik jam tangan.

"Sudah jam setengah 8. Kamu mau cari makan buat dinner kah?"

"Hmm.. Sebenernya belum lapar. But, if you think you are, let's go grab some food!"

Kebingungan ingin makan apa, ujung-ujungnya saya dan dia mampir ke kedai pizza. Tidak ingin menghabiskan waktu hanya di dalam ruangan, kami pun membawa si pizza ke taman lain yang masih berada di daerah yang sama.

Kami memilih duduk di perairan, yang sialnya, berdekatan dengan bebek-bebek yang lagi mondar-mandir santai. Karena mencium aroma pizza, sekawanan bebek berjalan ke arah kami. Cukup mengganggu, karena harus makan sekalian mencegah para bebek agar tidak mematuk makanan kami.

"Well, we have friends to eat with now," kata Bunny sambil mengunyah sandwich pilihan dia.

Sudah jam 9 malam. Hari sudah mulai gelap, tapi saya dan dia masih duduk kaku di tempat yang sama. Obrolan pun masih terus berlanjut dari soal si bebek, orang-orang yang lewat, hingga apa yang mesti kita lakukan setelah dinner ini.

"Let's take a walk a bit!" saran Bunny.

It seemed like we never wanted to go home. Bunny membuat kencan hari itu begitu santai namun tetap romantis. Meskipun sempat grogi juga karena sering ditatap, tapi jokes-nya selalu membuat saya tertawa kecil. Hingga 10 menit kemudian, saya kebelet ingin ke toilet.

"Ehmmm... Kita mesti jalan balik ke belakang kalo kamu ingin pip.."

"No!" kata saya menginterupsi. "That's impossible! Saya bener-bener sudah kebelet. Lagian sudah jam setengah 10 ini. Kamu yakin kalau toiletnya masih buka?"

"Well, I'm not that sure."

"Itu!" kata saya seraya menunjuk daerah pepohonan seperti hutan mini di tengah taman. "Saya mesti kencing di semak-semak itu."

Tanpa babibu, Bunny langsung saja menuntun saya menuju semak-semak dan sedikit berkeliling mencari posisi yang pas agar tidak terlihat oleh orang yang masih berlalu-lalang.

"Oke, kayaknya saya juga mau pipis nih," katanya sambil membelakangi saya.

Saya yang masih sedikit canggung, akhirnya terpaksa menunggu si Bunny kencing dulu lalu menyuruhnya menjauh. Gila! Kencan apa-apaan ini?!

"It was quite challenging and fun, you know?! Kencing di semak-semak. Haha!" kata si Bunny sambil tertawa kecil.

"Iya. Di kencan pertama pula. What a shame!"

"But, do you think we're gonna meet again?" tanya Bunny saat kami sudah dekat dengan gerbang taman.

"I don't know. It's not only about me, but also you. Kamu mau ketemu saya lagi kah?"

"Of course!"

Tips Kamu Masak, Saya Minum Wine|Fashion Style

Hari ini kencan ketigasaya dengan Bunny. Setelah sebelumnya doi dipaksa harus masak makan malam, hari ini saya juga sedikit memaksa Bunny untuk masak sesuatu kalau ingin rumahnya dikunjungi lagi.

Sebenarnya saya sudah sedikit paham degree masak Bunny. Karena tidak suka masak, sekalinya masak, lama sekali! Di kencan kedua lalu, Bunny dengan rela membuka kembali buku masakan Jamie Oliver yang katanya sudah bertahun-tahun tidak dibuka. Untuk spaghetti bolognese yang simpelnya bukan important, doi membutuhkan waktu dua jam! Padahal kalau saya yang masak, 15 menit kelar!

"Kamu yakin mau masak lagi?" tanya saya sekali lagi masih tidak yakin.

"Iya. I love cooking you something."

"Ah males, it would be long again."

"I'll try to find something simple," katanya masih niat.

Cowok Eropa memang paling suka mengundang cewek ke rumah dengan embel-embel makan malam menu masakan si cowok. Selain hemat, kadang gaya kencan seperti ini dirasa lebih romantis dan sweet. Tak jarang lho, cowok-cowok Eropa punya skill masak di atas rata-rata.

Tapi meskipun si Bunny bukan cowok yang pinter masak, tapi niat dia patut saya acungi jempol. Dari siang, si doi kabarnya sudah belanja ke supermarket demi melengkapi bahan masakan.

"I make cream soup," katanya via WhatsApp.

"Wihh, enak tuh sepertinya. I love soup!"

"I hope it's gonna be delicious, though I'm not that so proud of what I have made. Sepertinya tidak terlalu sesuai ekspektasi."

"That's fine. You've tried your best! Saya sampai setengah jam lagi. Ada titipan?"

"Bisa minta tolong bawa baguette? Lupa beli tadi. Pas kamu datang, supnya sudah jadi."

Empat puluh menit kemudian, saya menghubungi Bunny untuk menjemput ke lantai dasar. Maklum, bel kamarnya lagi rusak, jadi mau tidak mau doi harus turun juga ke bawah.

"Is it done?" tanya saya sambil membututinya ke ruangan.

"Uhmmm.. in ten minutes."

"Belum jadi juga? Sudah jam setengah eight ini. Huhu."

"Easy. Cuma sebentar kok." Bunny membuka pintu kulkas, "look! I have bought wine as you requested; fresh and a bit sweet."

Saya juga membuka tas, "look! Two bottles of expensive wine from Brian!"

"Whaaat?? So, we have THREE? Are we gonna be drunk tonight?!"

Saya menaikkan bahu, "maybe."

Karena tahu akan makan malam di rumahnya lagi, saya memang minta Bunny untuk menyediakan sebotol wine. Tamu tidak tahu diri ya. Memang. Tapi karena si Bunny tidak ada pembuka botol wine, saya akhirnya terpaksa meminjam ke Louise.

"Kamu minum wine?" tanya Brian kaget ketika Louise malah bertanya balik padanya tentang keberadaan pembuka wine di rumah.

"Kadang, kalau lagi hang out dengan teman."

"Kalau kamu mau, bawa saja wine di basement," kata Brian sambil menyuruh saya mengikutinya ke ruang penyimpanan wine.

Saya tahu betul, host family saya di Denmark ini persediaan wine-nya berbotol-botol tapi tidak pernah diminum. Jangankan alkohol, Louise dan Brian pun tidak pernah terlihat minum kopi ataupun teh. Favorit mereka hanya satu, Pepsi atau Coca Cola zero sugar.

"Berapa orang yang mau minum-minum?" tanya Brian lagi.

"Lima orang. Cewek semua," jawab saya bohong.

"Ini, bawa saja dua botol. Dua-duanya sama-sama enak dan mahal. I think your friends would like them."

"Do you want to try my cheap wine first?" Bunny mengambil gelas dan menunggu reaksi saya. "Sambil menunggu supnya, kamu boleh minum duluan."

"Yes, please!"

Info tambahan:

Di kencan keempat, lagi-lagi Bunny membuatkan saya makan malam kari domba resepnya Jamie Oliver. Karena dari belanja hingga masak saya temani, tanpa mau dibantu sedikit pun di dapur, tak tanggung-tanggung saya harus menunggu selama tiga jam sampai masakannya benar-benar selesai! Oh Bunny....

Wednesday, June 17, 2020

Tips Cupcake Kaos Kaki Untuk Bunny|Fashion Style

Saya sebenarnya sudah gatal memberikan Bunny kaos kaki. Beberapa kali, saya memergoki doi yang ternyata memakai kaos kaki berwarna gelap tapi tidak selaras. Yang kanan pakai hitam, yang kiri pakai biru dongker.

"Iya, saya sering kesulitan menemukan pasangannya karena hampir semua kaos kaki saya warnanya gelap. They are dark, but have different.. how do you call it? Tone? Jadi kalau penerangan sedang tidak bagus, saya asal ambil saja yang warnanya sama. Tapi pas sudah terang, baru ketahuan kalau mereka beda."

Hmm.

He is so Danish. Jarang sekali saya menemukan pakaian atau barang-barang Bunny di luar warna hitam, cokelat tua, atau biru tua. Kalaupun bermotif, warnanya pasti tidak ngejreng. Kebetulan masih summer sale, saya menemukan kaos kaki motif lucu-lucu dari Happy Socks yang masih gratis ongkir ke seluruh Eropa. Tanpa mengurangi rasa hormat saya ke so-Danish-an Bunny, saya memilih kaos kaki bermotif dengan warna pastel.

And it is time for crafting! Tidak ingin membungkus kaos kaki hanya dengan kertas kado, saya menemukan inspirasi wrapping gift di Chica Circleyang juga bisa dicoba untuk membungkus baju bayi ataupun handuk kecil.

Bahan yang disiapkan:

  • Kertas karton ukuran HVS
  • Kertas kado atau motif ukuran HVS
  • Papercup motif
  • Dua pasang kaos kaki; seukuran mata kaki dan panjang
  • Lem
  • Selotip

Cara membuat kaos kaki berbentuk cupcake ini pun sangat gampang dan bisa dilihat caranya di Cupcake Onesies Gift Idea .

Karena cupcake yang diberikan hanya dua biji, saya membuat sendiri kotak kecil sebagai wadah. Membuatnya pun sangat mudah hanya dengan bermodalkan kertas karton, kertas bermotif, lem, selotip, dan gunting. Lagipula saya berpikir, kalau kotaknya terlalu bagus dan harus beli, toh juga langsung dibuang oleh si Bunny. Tapi bagi yang tidak mau repot dan ingin memberikan cupcake lebih banyak, boleh cari kotak di pasaran yang bentuknya lebih cantik.

Anyway, sebenarnya papercup untuk muffin atau cupcake di rumah Louise cukup banyak, tapi yang jenis kertasnya tipis. Karena kaos kaki setelah digulung sedikit besar, papercup yang tipis tidak terlalu cantik "menggenggam" si kaos kaki. Jadinya saya memilih papercup yang kertasnya lebih tebal dan sudah berbentuk mangkuk.

Setelah semua selesai, kado tinggal dibungkus dengan plastik dan pita sebagai pemanis. Oh ya, karena di Denmark rata-rata pemberi hadiah harus menyertakan kartu ucapan, saya juga mengisi kartu ucapan yang akan diberikan ke Bunny. Ehh... voila!

"Thank you so much, Nin. Lucu sekali kaos kakinya. Ini bakalan jadi kaos kaki ter-colorful yang pernah saya punya. Additionally, they are also easier to find since I always miss the other pair (of the dark ones)," kata Bunny saat membuka kado.

Kalian sendiri bagaimana, pernah memberi hadiah unik ke pasangan? Or, do you enjoy crafting?

Monday, June 1, 2020

Tips Haruskah Bule?|Fashion Style

Minggu lalu seorang teman au pair cerita ke saya tentang teman-teman Indonesianya yang super nosy. Intinya mereka iri karena si teman saya ini punya pacar bule, bisa ke Eropa karena program au pair, dan Instagramnya dipenuhi foto-foto keren di banyak negara. Pokoknya tipe-tipe sohib bermuka dua yang iri saat temannya sukses lebih dulu.

Kalau ingat cerita si teman au pair ini, saya jadi bersyukur karena teman-teman saya di Palembang tidak ada satu pun yang nosy begitu. Mereka rata-rata sudah menikah tak lama dari lulus kuliah dan fokus dengan kehidupan sendiri-sendiri. Pun yang belum menikah, kebanyakan sudah punya pacar. Apa yang mesti dicemburui dari saya yang bisa berkencan dengan cowok bule , misalnya?

Ngomong-ngomong soal bule, saya sama sekali tidak pernah merasa lucky juga bisa berkencan dengan para cowok kulit putih ini. I have no option, but I have a chance. That's all!

Kalau mau bicara tipe—tsaahh—saya sebetulnya masih suka dengan cowok bermuka oriental. Saya lahir di tahun 90-an saat era Jimmy Lin, Aaron Kwok, atau Andy Lau lagi hits. Ya ala-ala cowok berambut halus berbelah tengah dan bermuka kyut yang selalu menghiasi layar kaca dari siang sampai malam.

Karena juga tinggal di kawasan pecinan, saya merasa selalu diikuti bayang-bayang para artis tersebut. Ke tukang salon, ada poster Jimmy Lin. Ke pasar, di dindingnya ada gambar Andy Lau. Lewat depan rumah Om Apeng, lagunya siapa entahlah berbahasa Mandarin selalu dipasang.

Masuk tahun 2000-an, Meteor Garden tiba-tibabooming dan semua cewek sepertinya mengidolakan F4. Tak terkecuali saya dan teman-teman SD yang mulai genit. Idola saya saat itu si Koko Hua Zhe Lei yang pendiam dan misterius. Muka-muka F4 pun ada dimana-mana saking terkenalnya. Ke rumah sepupu, poster Jerry Yan sebesar pintu kamar terpajang. Ke sekolah, tukang jualan belakang SD semarak berjualan pernak-pernik F4. Ke toko, lagu-lagu Meteor Garden dan F4 berulang kali diputar. Duh!

Saat SMP, technology-generation manga dan dorama Jepang mulai mengimbangi drama Taiwan. Saya pun ikut membayangkan cowok-cowok ganteng di dalam komik yang mukanya hanya hitam putih. Tak lama kemudian, muncul juga Takashi Kashiwabara dan Hideaki Takizawa yang memberikan ide betapa kyutnya para cowok Jepang di dunia nyata.

Tahun 2005, teman-teman SMA saya mulai seru membahas drama Korea dengan aktor-aktor bermata sipit berwujud pangeran. Sebut saja Rain, Jae Hee, Ju Ji-hoon atau yang terakhir kali Super Junior. Setelah masuk kuliah, saya mulai meninggalkan para pangeran karena demam Korea mewabah dan sudah terlalu mainstream. Saya sampai bosan sendiri mendengar K-Pop dimana-mana. Plus, selera cewek-cewek Indonesia mulai tidak realistis berkiblat ke para cowok kaya, romantis, dan nan tampan yang ada di drama Korea.

Tidak ada nama Westlife, Zac Efron, Justin Timberlake, apalagi Justin Bieber yang pernah saya kagumi. Nope. No white guys. Bahkan saat zamannya telenovela Amigos x siempre (2000), saya absen mengidolakan si Pedro a.k.a Martin Ricca yang sering jadi imajinasi teman-teman sebaya saya.

Jujur saja, tipe cowok saya dulu memang mengikuti tren para aktor Asia yang saling berganti masa menghiasi tv. Kalau mau dirunut pun, gebetan dan mantan pacar saya juga mukanya rata-rata oriental dengan karakter misterius.

Lalu kenapa sekarang gebetannya bule semua?

Lha, karena saya tinggal di Eropa! Kanan kiri warnanya putih, bermata biru, berambut kuning. Ingin cari yang mukanya oriental, di Skandinavia ini kok susah ya? Apalagi yang mukanya totok Indonesia. Sekalinya ada, kalau bukan bapak orang, ya suami orang. Kalaupun ada yang sepantaran, sudah punya pacar atau tidak cocok saja.

Jadi kalau kamu tanya kenapa rata-rata au pair Indonesia di Eropa bisa punya pacar bule , sebetulnya hanya karena mereka punya kesempatan bertemu. Bisa tahu juga mana yang benaran tampan dan mana yang biasa saja. Tak seperti di Indonesia yang semua bule dipukul rata ganteng semua. Si bule itu pun harusnya lucky bisa mendapatkan cewek Indonesia yang pinter masak, independent, jenaka, dan soft-spoken!

Saya tidak punya pilihan kalau mau bicara tipe. Meskipun, kadang rindu juga cowok-cowok Asia yangmanner-nya masih sama dengan Indonesia. Kencan terbaik saya di Eropa pun sebetulnya bersama cowok Korea-Amerika yang saat itu sedangbusiness trip di Kopenhagen. Dari humor sampai basa-basi super nyambung.

Ya kembali lagi, terserah kamu inginnya punya pacar asli Indonesia, Korea, Uzbekistan, Swedia, atau Kanada. Hanya saja, don't worship white guys that much! They're not exclusive at all. Mereka juga banyak yang miskin, kampungan, bodoh, bau badan, dan sombong. Tinggalkan juga kesan negatif kalau yang pacaran dengan bule hanya melihat visa dan harta. Some do. But most of them are just falling in love!

Sunday, May 31, 2020

Tips Bunny, Bukan Cowok Impresif|Fashion Style

Jumat malam, ceritanya saya sedang ngidam makan Kebab. Entah apa alasannya, saya terbayang-bayang daging domba empuk dan enak dibungkus dengan roti dan salad. Tahu Bunny hampir selalu available, saya menghubungi doi yang unsurprisingly memang sedang free. Friday night, jauh-jauh ke Kopenhagen cuma cari Kebab.

Karena rumahnya Bunny tak jauh dari Nørrebro, kami sepakat mencari kedai Kebab yang masih buka hingga tengah malam di sekitar situ. Banyak sebetulnya. Apalagi distrik ini termasuk daerah ghetto yang paling banyak imigran Muslim. Kedai Kebab dan supermarket halal dimana-mana. Tapi sekali ini saya minta tolong Bunny menemukan tempat terenak, bukan kedai 'abal-abal'.

Entah kalian ya, tapi menurut saya Kebab di Denmark paling enak. Apalagi kedai yang ada di Lyngby, legendaris sekali! Kenapa saya katakan enak, karena saya pernah mencoba yang 'asli' di Turki tapi hambar. Di Jerman, hanya menang besar tapi biasa aja. Di Oslo, apalagi! Mahal tapi mengecewakan.

Kebab di Denmark rasanya berbeda. Kalau kalian bisa memilih kedai terbaik, dagingnya lebih empuk dan berasa. Rotinya juga homemade dan saladnya selalu segar. Plus, tambahan yang tidak saya temukan dimana pun—bahkan di negara asalnya, sambal mangkok yang selalu tersedia di meja makan! Kalau tidak ada, tanyakan ke kasir karena biasanya disimpan di kulkas. Sambalnya merah dan berminyak, tapi lumayan pedas dan bisa menambah cita rasa si Kebab.

Pulang dari makan Kebab, saya mampir ke rumahnya Bunny menumpang tidur. Sengaja memang ingin menginap, karena besoknya juga libur.

Saat itu doi masih menyewa tempat di Bispebjerg. Hanya berupa studio mini yang super sederhana.  Tapi namanya juga lelaki ya, studionya berantakan minta ampun! Saat saya datang kesana, piring kotor masih di wastafel, baju kotor dan baju bersih tidak ada bedanya, lantainya berdebu, plus kasurnya acak-acakan.

Ini cowok gengsinya dimana?? Bersihkan dulu kek ini kamar sebelum saya mampir. Vakum dulu kek lantainya.

Meskipun terlihat berantakan, tapi Bunny sebetulnya tipe cowok yang rapih dalam berpakaian. Pertama kali ketemu saat kencan pertama pun, doi tetap memakai kemeja hitam panjang saat musim panas. Di beberapa kencan berikutnya, doi juga tidak pernah pakai pakaian jenis lain selain kemeja. Lalu saya baru tahu kalau hampir ninety% isi lemarinya memang kemeja.

Tidak seperti para cowok lainnya yang punya banyak jenis pakaian dari kaos oblong sampai jas, Bunny hanya punya kemeja. Titik. Sepuluh persen isi lemarinya juga hanya baju-baju musim dingin berwarna hitam. Those are what he likes. Tapi jangan salah, meskipun rumah si Bunny hanya studio sederhana, tapi doi kalau belanja memang beli kualitas. Isi lemarinya pun meskipun diskonan, harganya masih di atas 1000 DKK.

Jam 2 pagi, saya pamit tidur. Meskipun Bunny hanya punya satu ranjang ukuran dobel, tapi doi cukup respek tetap pakai kaos dan kolor saat saya disana.

"I am used to sleeping naked," katanya.

"Please not tonight. Ngomong-ngomong, kamu punya bantal lain tidak ya? Kenapa cuma satu?" tanya saya sambil celingak-celinguk mengecek tiap sudut ranjangnya.

"I only have one."

. . .

"So how could your ex sleep before, if you only have one pillow?!"

"Hmmm.. dulu mantan saya tidur di coat tebal itu sih," katanya sambil menunjuk mantel tebal tergantung di dekat pintu. "You can have that if you want. It's thick and useful as a pillow. I will take it for you."

What an initiative!Saya dikasih lipatan mantel. What a host and date! Bunny terlihat santai dan pede sekali hanya memberi si teman kencan mantel untuk dijadikan bantal. Bunny kok sengsara sekali ya? Itu mantan pacarnya cuma dikasih bantal saat tinggal bareng, kok ya betah-betah saja?

"Well, you can have mine," katanya setengah tidak ikhlas melihat saya yang tiba-tiba manyun.

To be honest, saya tidak tertarik tidur di bantal Bunny. Saya hargai sikap gentleman-nya yang mau meminjami saya si bantal kesayangan. Tapi bantalnya seperti tidak berbentuk lagi. Lembut-lembut minta dibuang yang kapuknya sudah mulai menyatu ke bagian kanan dan kiri saja.

Kesal dan tidak tahu harus bagaimana, akhirnya saya menyerah tidak tidur pakai bantal malam itu. Mantel tebal si Bunny tidak nyaman dijadikan bantal karena wol-nya bikin gatal.

Esok-esoknya, saya sampai harus beli bantal murahan sendiri di Netto kalau ingin menginap di tempat Bunny. Itu cowok ya, hidupnya apa adanya sekali. Why don't try to impress me once in his lifetime?!

Anyway, sekarang si Bunny sudah pindah ke tempat yang sedikiiiit lebih besar dari studio lamanya. Sedihnya, baru 5 bulan tinggal disitu doi seperti tidak bahagia karena si apartemen dekat sekali dengan jalan raya. Katanya dia sampai harus pasang earplugs dan masker mata sebelum tidur agar terhindar dari polusi suara setiap malam. Bunny is not a spoiled guy as long as it's quite cheap and close to his workplace. Karena dia tahu, cari apartemen di Kopenhagen susahnya bukan main apalagi di tengah kota.

Would you like to date this kind of Scandinavian guy , girls?