Showing posts with label Kelas Ekonomi. Show all posts
Showing posts with label Kelas Ekonomi. Show all posts

Monday, June 22, 2020

Tips Pengalaman Terbang dengan Thai Airways Rute Kopenhagen - Bangkok|Fashion Style

Di tahun 2017, Thai Airways dinobatkan sebagai maskapai dengan katering dan kelas Ekonomi terbaik. Bertepatan dengan jadwal kepulangan saya di Indonesia, Brian akhirnya memesankan tiket Thai Airways yang memang saat itu adalah yang paling murah dan paling cepat. Belum pernah naik maskapai asal Thailand ini, akhirnya saya hepi-hepi saya dibelikan tiket tersebut.

Rute penerbangan kali ini akan dilayani dari Kopenhagen ke Jakarta. Tapi berhubung saya tidak terlalu banyak mengambil gambar saat transit di Bangkok, jadinya saya hanya merangkum pengalaman naik Boeing 777-three hundred nonstop selama nyaris eleven jam hingga Bangkok saja. Tapi secara keseluruhan, pengalaman naik penerbangan lanjutan menuju Jakarta, pesawat dan pelayanannya pun sama.

Berat bagasi

Di website tertulis kalau bagasi yang boleh dibawa untuk penumpang kelas ekonomi adalah 30 kg**. Jujur saja, saya tinggal di Denmark sudah 2 tahun. Mana mungkin bisa membawa pulang semua barang ke dalam koper yang hanya bermuatan 30 kg. Belum lagi coat tebal dan boot berat yang harus saya lupakan untuk dibawa pulang. Buku-buku dan banyak peralatan gambar pun mau tidak mau ditinggalkan dulu di rumah Louise.

Di malam sebelum keberangkatan, saya dibantu Adel, teman asal Indonesia, berulang lagi bongkar muat isi koper hanya untuk mendapatkan gambaran angka 30 pas di timbangan. Tidak bisa. Berulang kali juga isi koper saya tetap berujung di angka 36 atau 34 kg. Padahal semua baju sudah saya masukkan ke dalam space maker, namun terpaksa harus dibongkar lagi juga.

Setelah bongkar-timbang-bongkar-timbang lebih dari 10 kali, akhirnya saya harus pasrah dengan timbangan koper yang mantap di angka 32 kg. Seingat saya dulu saat pulang dari Belgia menggunakan Garuda Indonesia, ada kebijakan dari beberapa maskapai yang memperbolehkan kelebihan bagasi maksimum 2 kg dari batas everyday. Ya sudah, saya dengan percaya diri bahwa Thai Airways akan berlaku sama dengan Garuda Indonesia.

Untuk mengakali isi koper check-in yang sudah 32 kg, saya terpaksa harus membawa 3 tas besar ke dalam kabin untuk mengangkut sisa barang yang tidak muat. Bayangkan, saya harus membawa 1 koper kabin ukuran 55L, satu tas backpack ukuran 44L, satu tas tangan berisi laptop, serta tas kecil yang menggantung di pundak ke dalam kabin! Oh my!!

**in step with April 2019, Thai Airways hanya memberikan bagasi 20kg bagi tiket berkode L/V/W. Kecuali untuk tiket yang dipesan sebelum 31/4/2019, ketentuan lama masih berlaku.

Proses take a look at-in

Sehari sebelumnya, saya sudah check-in online via website mereka. Selain check-in, penumpang juga bisa memilih kursi dan makanan khusus maksimum 24 jam sebelum terbang. Karena sudah memilih kursi sebelumnya, saya kosongkan saja request makanan.

Saat menimbang bagasi di konter check-in, petugas konter mengatakan kalau koper saya kelebihan bagasi 2 kg yang artinya sudah overweight. Petugas tersebut juga menawarkan jika saya ingin membayar kelebihan bagasi senilai 50 USD per kilo. Karena sayang duit, saya pun keluar dari konter dan berpikir untuk menaruh 2 kg barang ke tas yang akan dibawa ke kabin.

Brian dan Louise yang saat itu ikut mengantar, sampai heran kenapa saya balik lagi ke belakang padahal urusan koper belum selesai.

"It's overweight 2 kilogram," kata saya.

"Cannot we just pay for it?" tanya Brian.

"No, Brian. It's okay. Saya keluarkan saja isinya."

"No, no, no. I will help you," kata Brian mantap sambil menuju konter check-in kembali.

Meskipun Brian berusaha untuk nego 2 kg ke petugas konter yang ganteng itu, tapi tetap saja akhirnya kelebihan bagasi harus tetap dibayar. Kata si petugas, takutnya akan ada masalah saat di Bangkok menuju Jakarta nanti. Thank you, Brian!

Untung saja, petugas konter hanya sibuk mengawasi koper take a look at-in sehingga tas-tas yang akan saya bawa ke kabin, aman! Bayangkan kalau si petugas ikut memeriksa berapa banyak tas kabin saya, bisa-bisa sama saja membeli tiket baru ini namanya.

In-flight service

Pesawat kali ini menggunakan formasi kursi 3-3-three untuk kelas ekonomi. Tapi karena tidak ingin bersikutan dengan banyak orang, saya memilih kursi nomor 39 di dekat lavatory yang memang dikhususkan untuk 2 orang saja.

Selain katering, tahun ini kursi kelas Ekonomi Thai Airways juga dinobatkan sebagai kursi nomor 3 terbaik di dunia. Badan saya yang tidak terlalu tinggi merasa super comfy karena banyaknya space yang tersedia di kursi berukuran 32" ini.

Meskipun repot di awal karena harus mengangkut koper kecil dan backpack ke atas kabin, tapi karena saya memilih kursi di dekat jendela, jadinya masih banyak ruang tersedia untuk menaruh tas lain. Satu hal lagi yang saya suka, kursi Thai Airways terdapat senderan kaki di depan dan belakang yang sangat berguna untuk merilekskan kaki saat tidur. Walaupun saya memilih kursi paling belakang di kabin tersebut, namun kursi tetap bisa disandarkan maksimal.

Di sisi kursi juga terdapat colokan USB untuk mengecas hape. Selain earplugs, penumpang kelas ekonomi juga mendapatkan selimut dan bantal berwarna ungu khas Thai Airways. Sayangnya, hiburan selama di dalam pesawat tidak terlalu oke. Genre film dan musiknya tidak satu selera dengan saya. Jadi selama perjalanan, saya kebanyakan tidur.

Oh iya, saya cukup amazed dengan jumlah penumpang Thai Airways yang kala itu kebanyakan didominasi pasangan beda negara, ceweknya Thai, lakinya bule. Kebanyakan dari mereka ceweknya cantik dan muda, lalu si laki sudah kelihatan tua. Hmm.. liburan ke rumah mertua? :p

In-flight meal

Karena sedang mengikuti application food regimen vegetarian, saya memang biasanya memesan menu khusus sebelum keberangkatan. Plusnya, makanan tersebut akan diantarkan terlebih dahulu saat kita berada di dalam pesawat. Jadi daripada kelamaan menunggu pramugari membagikan makanan, saya biasanya sudah mulai menyuap makanan duluan.

Untuk penerbangan kali ini, saya memang sengaja tidak memesan makanan karena siapa tahu kursi saya bisa di- upgrade seperti kasusnya Air France dan KLM dulu. Hehe. Gambling sih memang, tapi boleh juga dicoba. Meksipun tidak mendapat upgrade di penerbangan kali ini, tapi saya cukup puas dengan pelayanan di kelas ekonomi.

Menu makan malam ayam kari dengan piring porselen

Sarapan pagi omelet dan sosis sapi

Sialnya, saat proses pembagian makan malam saya malah ketiduran. Bangun-bangun, saya sudah mendapati banyak penumpang yang malah selesai menyantap makanan mereka. Sekitar 15 menit kemudian, saya memencet bel dan bermaksud meminta pramugari membawakan makanan saya.

"Can I get my food?" tanya saya.

Pramugari Thailand ramah itu pun hanya menjawab tanpa memberikan opsi, "maaf, makanan kami hanya tersisa babi."

Waduh!

"Kamu tidak makan babi? Bagaimana kalau mie?"

Saya tersenyum tapi ciut dan ragu.

"Tunggu ya, coba kami periksa dulu."

Sekitar five menit kemudian, si pramugari datang lagi dan memberi kabar gembira kalau masih ada menu ayam kari di pentry. Tanpa babibu, langsung saya iyakan. Ya daripada makan mie.

Transit di Suvarnabhumi

Secara keseluruhan, saya sebenarnya cukup puas dengan pelayanan di kelas ekonomi Thai Airways kali itu. Pramugarinya ramah, muda, dan sigap, kursinya enak, meskipun makanannya...Ya, cukup okelah.

Tapi kerepotan masih terus berlanjut saat transit di Suvarnabhumi. Untuk naik ke raise dan pemeriksaan barang pun, antriannya puaanjang sekali! Saran saya, tidak perlu pakai sepatu aneh-aneh, cukup kets ringan atau ballerina saja. Malas sekali kan harus copot sana sini dulu.

Karena hanya memiliki waktu transit 2 jam, saya tidak sempat keliling bandara dulu. Pun begitu, saya tidak tertarik. Badan saya rasanya pegal-pegal semua membawa banyak tas kabin. Penerbangan pun belum usai, karena saya harus menuju Jakarta dan Palembang untuk rute selanjutnya.

Saya tidak kecewa dengan penerbangan kali ini, namun saya akan berpikir dulu kalau harus naik Thai Airways lagi. Capek di jalan dan transit di bandara itu, lho!

Thursday, June 18, 2020

Tips Review Penerbangan Philippine Airlines Kelas Ekonomi Rute Kuala Lumpur - Shanghai |Fashion Style

Sebelum keberangkatan ke suatu tempat dengan maskapai baru, saya memang selalu rajin research dulu tentang kualitas dan tempat duduk pesawat yang akan saya naiki. Kali ini saya akan kembali ke Cina bersama ibu mengunjungi adik yang sedang studi disana. Karena akan membawa emak-emak jalan, saya memang mencari full board airlines yang cukup nyaman untuk penerbangan cukup jauh.

Pilihan pertama saya kemarin adalah Malaysia Airlines yang terbang dari Jakarta PP hanya 3,5 juta saja per orang. Sialnya, saat akan di-booking, harga promo tersebut sudah naik di atas 6 jutaan. Harganya masih oke sih, tapi karena kali ini gantian saya yang akan membelikan tiket, budget terpaksa harus ditekan maksimal 10 juta untuk dua orang.

Sempat bingung cari rute terbaik, akhirnya pilihan jatuh ke Philippine Airlines setelah melihat harganya hanya 1 juta saja one way dari Kuala Lumpur ke Shanghai, dan transit di Manila selama 11 jam. It was a great deal! Meskipun harus transit di malam hari, namun kesempatan ini akan saya gunakan sekalian bertemu teman Filipina yang sudah lama kenal namun belum pernah ketemu.

Sayangnya, tidak banyak review berbahasa Indonesia tentang maskapai ini selain reputasinya sebagai salah satu maskapai paling berbahaya di dunia. Makanya kali ini saya ingin berbagi pengalaman tentang pengalaman penerbangan kami menggunakan Philippine Airlines.

Proses check-in dan bagasi

Satu hari sebelum keberangkatan, saya mencoba check-in via website mereka namun ternyata gagal. Saat membeli tiket via Traveloka, saya sudah bisa memilih tempat duduk. Namun saat mencoba check-in, tempat duduk yang sudah saya pilih sebelumnya (yang ternyata) di kelas premium economy dipindahkan ke bangku ekonomi. Mungkin karena penerbangan rute Kuala Lumpur - Manila sedang sepi kala itu.

Di Kuala Lumpur, petugas konter membantu saya mencetak dua boarding pass untuk penerbangan lanjutan. Tapi katanya, mereka tidak bisa mencetak boarding pass untuk keberangkatan dari Manila. Jadi kami harus mendatangi transfer desk setibanya di Manila untuk meminta boarding pass.

Philippine Airlines termasuk tidak pelit menyediakan bagasi gratis hingga 30 kg* bagi penerbangan internasional. Karena memang kami hanya transit di Manila, jadi bagasi tidak harus diambil di conveyor karena akan menginap dulu di bandara. Petugas imigrasi pun sangat santai memberikan kami cap keluar airport Manila.

*Untuk tiket yang dipesan pada/setelah 17 Agustus 2018, penumpang kelas Economy Saver/Value/Classic/Flex untuk penerbangan internasional Asia (kecuali Jepang) mendapatkan 25 kg, sementara Premium Economy 30kg

Kursi

Pesawat yang akan digunakan untuk kedua rute menggunakan Airbus 321 yang cukup luas berkonfigurasi 3-3 untuk kelas premium economy dan ekonomi. Lebar kursi kelas ekonomi 30 inchi sementara premium economy 34 inchi.

Benar saja, tidak banyak penumpang yang akan berangkat dari Kuala Lumpur ke Manila sehingga kursi bagian belakang pesawat banyak sekali yang kosong.

Beberapa susunan kursi pesawat kali ini menurut saya sedikit aneh. Tapi beruntung juga karena ibu saya kebetulan dapat kursi 42K di dekat pintu keluar dengan ruang gerak yang luas. Sayangnya kursi 42H dan 42J entah kenapa sempit sekali berbeda dengan deretan kursi di nomor belakang.

Saking sempitnya, bapak-bapak yang berada di samping saya jadi pindah ke kursi di depan kami yang memang kosong dan super luas.

Di rute kedua dari Manila ke Shanghai, pesawat ternyata penuh, jadi saya dan ibu bisa mencicipi kursi premium economy di bagian depan yang super luas untuk kaki. Sayangnya karena pesawat yang kami gunakan kali ini hanya untuk penerbangan pendek, tidak ada in-flight entertainment untuk membunuh kebosanan.

Tapi karena pesawat dari Manila berangkat sangat pagi, tak heran, hampir semua penumpang hanya tertidur pulas saat lampu mulai dipadamkan.

Makanan

Ini juga alasan saya kadang lebih melirik full board ketimbang low cost airlines yang kadang harganya lebih mahal; dapat makanan! Meskipun pergi dengan harga 1 juta saja, kami sudah bisa menikmati bagasi dan makanan gratis.

Karena ibu saya vegetarian, jauh sebelum keberangkatan saya sudah menghubungi pihak Traveloka untuk memintaspecial meal. Lucunya, mereka tidak bisa memesankan menu vegetarian selain VGML (pure vegan) only. Oke, noted, saya iyakan saja dulu.

Saya lalu menghubungi pihak Philippine Airlines di Denpasar—setelah yang di Jakarta tidak mengangkat telpon saya, untuk mengganti menu VGML dengan menu vegetarian lain semisal vegetarian oriental (VOML) atau vegetarian lacto-ovo (VLML). Katanya sih sudah diganti, tapi saat di pesawat, kami berdua masih mendapat menu VGML.

FYI, setelah menelpon, sebenarnya saya mengirim email ke mereka lagi untuk mengganti jika ada menu Low Fat atau Halal Meal. Namun tidak dibalas.

Untuk rute Kuala Lumpur ke Manila, kami sebenarnya cukup menyesal memesan menu vegetarian karena ternyata menu regulernya kelihatan lebih enak. Ada pilihan nasi ikan dan nasi ayam yang terlihat lebih berwarna dan menggugah selera. Sementara menu lunch kami kali itu hanya nasi zukini dan labu yang membuat saya tidak nafsu.

Di rute menuju Shanghai, menu reguler bisa dipilih antara American breakfast berkomposisi babi atau sapi. Makanan vegetarian kami lagi-lagi hambar karena hanya terdiri dari nasi, jamur, dan tahu bumbu merah. Saking hambar tapi lapar, ibu saya menambahkan sambal goreng yang memang sempat dibeli saat di Kuala Lumpur.

Menu VGML Philippine Airlines kurang recommended, sementara menu regulernya terlihat lebih enak dan menarik. Kalau memang tidak ada keterbatasan makan seperti kami, boleh saja menikmati menu reguler mereka. Philippine Airlines tidak menyediakan Moslem Meal (MOML), jadi siap-siap harus menyerah saja dengan pilihan lain.

Service on board

Menurut kami, pramugari Philippine Airlines terlihat sangat cantik dan cute dengan seragam biru tua dan lipstik merah mereka. Saat berada di dalam pesawat pun, kami dilayani dengan ramah dan penuh senyuman.

Pramugari yang melayani kelas ekonomi terlihat muda dan fresh, sementara di kelas bisnis lebih tua dan bersahaja. Beberapa kali pramugari pun menawari penumpang teh, kopi, atau air putih dari depan hingga belakang. Terlihat sekali bahwa selling point maskapai ini adalah servis dan keramahan khas Filipina dari para awak kabin mereka.

Meskipun beberapa pramugari membiarkan rambut pendek mereka tergerai, namun kesan profesional dan rapih masih tetap terlihat. Saya pun kadang tidak berhenti memandangi wajah mereka yang super cute itu.

Terminal 2 Ninoy Aquino International Airport (NAIA)

Selama di Manila, kami tiba dan berangkat di Terminal 2 yang memang dikhususkan untuk penerbangan internasional dan domestik menggunakan Philippine Airlines. Bandara terlihat mulai sibuk saat Subuh dengan banyaknya antrian di tempat makan dan minum setelah melewati immigration border.

Kami tiba di Manila sekitar jam 8 malam dan memang sudah berniat menginap di hotel di dekat bandara saja. Carel, teman online yang sudah saya kenal nyaris 7 tahun lalu, sudah menunggu di pintu kedatangan. Hari itu pertama kali saya bertemu dengan Carel setelah sempat losing contact selama beberapa bulan.

Sebenarnya malam itu Carel tidak bisa menjemput karena sedang berada jauh di luar Manila. Tapi demi pertemuan pertama kami, Carel rela naik bus selama 5 jam menuju bandara. Huhu, terharu.

Tips dari Carel, kalau memang baru pertama kali ke Manila dan bingung dengan sistem taksi disana, sebaiknya unduh aplikasi Grab atau Uber. Supir online dari dua aplikasi tersebut bebas keluar masuk NAIA, sampai disediakan spot khusus untuk menjemput penumpang.

Banyak sekali cerita beredar kalau taksi di bandara sering menipu penumpang asing. Makanya daripada bingung harus naik apa dan kemana, mending pakai Grab atau Uber untuk mengantar ke tempat tujuan.

Kami contohnya, untuk menuju hotel yang hanya berjarak 5 km saja dari bandara, dipatok harga 450 Peso oleh supir taksi. Sementara saat menggunakan Grab, kami hanya membayar 177 Peso saja. Enaknya di Filipina, banyak orang bisa berbahasa Inggris sehingga memudahkan komunikasi dengan para supir online.

KESIMPULAN:

Yes for service, kursi, dan bagasi yang tidak pelit. No for vegetarian meal and customer service. Kalau memang sedang ada promo murah dari Philippine Airlines ke tempat lain, saya tidak segan untuk mencoba maskapai ini lagi.

Thursday, May 7, 2020

Tips Pengalaman Naik Cathay Pacific Kelas Bisnis dan Ekonomi Rute Zürich - Hong Kong - Jakarta (PP)|Fashion Style

Sudah lama saya mendengar reputasi baik Cathay Pacific yang selalu menjadi top airlines setiap tahunnya. Tak terlalu banyak kesempatan untuk mencoba maskapai asal Hong Kong ini, akhirnya di akhir tahun 2019 saya bisa mencicipi duduk di dua kelas sekaligus dalam satu rute; Ekonomi dan Bisnis.

Naik maskapai ini juga sebetulnya kebetulan karena di tanggal yang saya pilih, hanya Cathay Pacific yang harganya paling murah untuk pulang ke Indonesia. Maklum, akhir tahun, peak season. Saya memesan tiket bolak-balik seharga NOK 6700 atau sekitar €658. Harga maskapai lainnya sudah di atas angka €900, bahkan mencapai €1400 untuk kelas Ekonomi! Tak lsampai Oslo memang, karena saya harus memesan tiket lagi setelahnya.

Tapi apakah benar reputasi Cathay Pacific sebaik yang selalu diberitakan di media? Berikut review saya selama mengudara bersama Cathay Pacific!

Check-in dan bagasi

Hampir seragam dengan banyak full board airlines lainnya, Cathay Pacific tak pelit menjatah penumpang kelas Ekonomi dengan berat bagasi sampai 30 kg. Di Zürich sendiri, yang menjadi base di Eropa, penumpang bisa langsung mencetak baggage tag, menuju mesin scanner dan memindai barcode sendiri, tanpa perlu mengantri di konter check-in.

Untuk proses check-in, penumpang sudah diperbolehkan online check-in minimal 48 jam sebelum keberangkatan. Saya mengalami masalah saat online check-in ini karena proses dinyatakan gagal saat akan check-in rute Hong Kong - Jakarta. Cukup menyebalkan, dikarenakan saya memang ingin memilih kursi sendiri demi menghindari dapat kursi tengah secara random.

Karena kegagalan check-in ini, saya menghubungi pihak Cathay Pacific via help center chat mereka. Asumsi saya saat itu, mungkin saya tak bisa check-in karena bukan warga asal Eropa atau Swiss, jadi harus menunjukkan residence permit dulu di bandara. Namun petugas customer service-nya mengatakan bukan itu yang menyebabkan kegagalan, melainkan bandara Zürich menemukan ada kecurigaan di sistem mereka. Waduh!

Dua jam sebelum keberangkatan, saya mengantri di konter check-in untuk mendaftarkan bagasi dan meminta boarding pass. Saya juga komplen ke petugas konternya, kenapa proses check-in saya gagal hingga akhir. Petugas konter hanya menjelaskan bahwa rute Hong Kong - Jakarta sedang overbooking. Jadi untuk saat itu, saya hanya bisa mendapatkan boarding pass Zürich - Hong Kong, sementara penerbangan selanjutnya harus dikonfirmasi ulang ke konter yang ada di Hong Kong.

"Masih ada kursi di lorong kah?" tanya saya ke si petugas konter untuk mengecek.

"Kalau saya lihat di sini sebetulnya tidak ada. Tapi saya akan informasikan ke petugas di Hong Kong kalau kamu request kursi di lorong ya. Yang saya lihat memang kursi yang masih tersedia hanya di Premium Economy dan Business saja ini. But, don't worry, you are set! They will help you!" kata si petugas santai.

Ngomong-ngomong, bandara Zürich ini ternyata besar dan panjang sekali! Dari konter check-in menuju ke gate sampai butuh kereta dan perjalanannya cukup lama. Belum lagi mengantri di security border-nya. Untuk jaga-jaga, saya menyarankan datang maksimum 2 jam sebelum keberangkatan untuk penerbangan internasional! Apalagi kalau bawa anak-anak dan masih ingin window shopping dulu.

Di Hong Kong, saya langsung menuju konter check-in untuk mendapatkan boarding pass ke Jakarta dan sempat komplen juga mengapa saya tak bisa online check-in dan memilih kursi sendiri.

"Iya, saya lihat di sini kamu request kursi di lorong ya. Tapi sayangnya sudah tidak ada kursi di bagian lorong," kata si petugas konter.

"Tapi kan itu bukan salah saya. Saya tetap prefer kursi di bagian lorong kalau ada. Kenapa juga saya tak bisa online check-in?"

"Kamu tidak bisa online check-in karena memang pesawatnya sedang overbooking. Jadinya kami sengaja memilih meng-upgrade kursi kamu ke Premium Economy. Ini ada kursi di bagian A, dekat jendela, tapi sudah dipindahkan ke kelas Premium Economy," jelas si petugas konter sambil memberikan saya boarding pass yang kelasnya sudah di-upgrade.

Oalaaahhh....

Kenyamanan Kursi dan Kabin

Setelah laporan panjang soal proses check-in, kali ini mari membahas soal kenyaman kursi Cathay Pacific. Untuk pesawat, saya menggunakan 3 jenis pesawat berbeda untuk rute pulang pergi ini. Rute Zürich - Hong Kong, pesawat yang digunakan adalah Airbus A350-1000 dengan formasi 3-3-3 di kelas Ekonomi.

Kalau mau jujur, kursi kelas Ekonomi di Cathay Pacific ini sungguh kurang nyaman. Bantalannya sangat keras dan beberapa kursi tak bisa disandarkan! Untuk standar Ekonomi, maskapai ini malah kalah jauh dari Thai Airways , menurut saya.

Sementara untuk rute Hong Kong - Jakarta, pesawat yang digunakan adalah Boeing 777-300ER. Di rute ini, saya yang tadinya mendapatkan kursi Premium Economy, di-upgrade kembali ke kelas Bisnis! Ketahuannya saat saya iseng-iseng mengecek situs mereka untuk mengecek ulang pemesanan. Tiba-tiba saya melihat nomor kursi saya sudah diganti jadi 20K yang mana adalah kursi kelas Bisnis. Saat boarding pun, kartu boarding pass saya mengalami error lalu diganti dengan boarding pass kelas Bisnis yang baru.

Sepertinya pesawat memang sangat penuh saat itu, makanya beberapa penumpang kelas Ekonomi kecipratan rejeki di-upgrade langsung ke Bisnis untuk mengakomodir penumpang lain di kelas lainnya. Bapak-bapak di samping saya cerita kalau harusnya beliau memesan Premium Economy dari Johannesburg, tapi sampai boarding gate, boarding pass-nya langsung diganti ke kelas Bisnis.

Anyway, kalau boleh curhat, duduk di kursi Bisnis Cathay Pacific bisa jadi adalah mimpi saya sejak lama. Pernah suatu kali saya iseng membuka Instagramnya Ruben Onsu yang sekeluarga naik kelas Bisnis ke Hong Kong untuk liburan. Sepertinya sangat nyaman bisa mendapatkan fasilitas berlebih seperti itu.

Tapi karena perjalanan Hong Kong - Jakarta tak terlalu lama, hanya sekitar 4 jaman, naik kelas Bisnis sebetulnya tak terlalu worth-it. Bagi saya, kelas Bisnis menjadi sangat nyaman kalau penerbangan harus menempuh jarak panjang sampai harus tidur dan beristirahat.

Untuk kursinya sendiri, lagi-lagi saya harus katakan, biasa saja. Dibandingkan kursi Bisnis Singapore Airlines yang lebih elegan dan empuk, bantalan keras Cathay Airways seragam saja seperti kelas Ekonominya.

Saya juga kurang suka dengan LCD besarnya yang kurang solid. Buka tutup dulu layaknya jendela. Layar ini juga harusnya dikatupkan kembali saat mendarat agar tak tiba-tiba tertutup sendiri layaknya saya saat itu. Sedang asik-asik nonton di akhir episode, saat mendarat tiba-tiba si layar terkatup sendiri ke belakang. Ppppfftt!

Makanan

Untuk pilihan makanan, baik di kelas Ekonomi maupun Bisnis, saya bisa katakan biasa-biasa saja. Menu yang ditawarkan biasanya mengikuti rute pesawat, dengan campuran menu Hongkongers. Ada beberapa menu yang bahkan diulang-ulang kembali dengan presentasi makanan yang sedikit berbeda.

Rute Zürich - Hong Kong (Economy Class)

Rute Hong Kong - Jakarta (Business Class)

Kalau mau jujur, presentasi makanan di kelas Bisnis ini sebetulnya tak terlalu menarik. Yang menarik memang hanya piring porselennya yang berbeda dari kelas Ekonomi. Cara mereka menyajikan juga secara berkeliling sambil membawa makanan yang bisa langsung dipilih oleh penumpang kelas Bisnis. Di sesi ini, saya memilih Dim Sum, meskipun presentasi mie goreng sebetulnya lebih menarik.

Rute Jakarta - Hong Kong - Zürich

Di rute kepulangan ke Zürich, saya tidak menyempatkan memotret menu makanan apa saja yang disajikan saat itu. Tapi sebetulnya makanan yang tersedia juga hampir sama seperti di atas. Untuk makan malam utama dari Hongkong ke Zürich, saya lewatkan karena mata saya sudah tak kuat menahan kantuk. Padahal saat saya baca menu utamanya, lebih menggoda ketimbang rute sebelumnya.

Saat sarapan, saya lagi-lagi mengambil menu bubur yang kali ini variasinya menggunakan Beef Stroganoff. Bubur ini juga sebetulnya hanya berasa asin saja, tipikal makanan Hong Kong yang ringan di pagi hari. Tapi sejujurnya cukup menyegarkan tenggorakan karena hangat dan lumer, ketimbang omelet dan sosis.

Meskipun menunya cenderung hambar, namun saya cukup terkesan dengan sajian dessert mereka yang selalu menyajikan es krim setelah makan besar. Kita juga bisa memesan snack tambahan di sela waktu sekiranya masih kelaparan lewat awak kabin.

Fasilitas dan pelayanan di kabin

Soal fasilitas, mungkin saya lebih menyoroti daftar pilihan entertainment yang tersedia selama penerbangan. Meskipun banyak sekali film-film bermutu yang bisa kita nonton, namun saya kurang tertarik dengan isi lagu mereka yang kebanyakan jadul. Selain itu toiletnya juga kurang bersih dan cenderung messy, bahkan di kelas Bisnis sekali pun.

Lalu pelayanan, saya mungkin akan menaruh angka 6. Mengapa, karena bisa dikatakan awak kabinnya kurang responsif. Untuk mengantarkan makanan dari depan ke belakang memang biasanya harus bolak-balik dua kali untuk mengisi kembali trolley. Saya dan penumpang yang duduk di kursi agak belakang harus menunggu mungkin 15 menitan lebih sebelum makanan kami diantarkan. Padahal saat itu kami sudah lapar luar biasa. Mengapa saya tahu, karena pasangan muda yang duduk di samping saya sampai mengupas pisang bawannya demi menahan lapar.

Saat mengangkat nampan kotor pun lamanya bukan main. Padahal penumpang sudah selesai makan 20 menit yang lalu, namun awak kabin belum juga kembali mengumpulkan piring kotor.

Satu hal lagi yang saya kecewa, salah satu awak kabin bahkan menghentikan penyajian mie instan sebagai snack, sekitar 2,5 jam sebelum mendarat. Padahal 2 menit yang lalu doi baru saja mengantarkan mie instan ke salah satu penumpang. Lalu saat saya request minta mie instan, doi menolak dengan alasan, sebentar lagi sarapan akan diantarkan. Padahal saya tahu sarapan diantarkan biasanya kurang lebih satu jam sebelum mendarat. Yang membuat saya kesal, ternyata satu jam kemudian ada yang request mie instan, tapi tetap dibuatkan oleh awak kabin yang lain!

Kesimpulan:

Tak ada yang sangat istimewa dari Cathay Pacific ketimbang maskapai besar lainnya. Semuanya terkesan biasa saja, menurut saya. Jam keberangkatan pun delay dan pelayanan selama di udara juga kurang responsif.