Showing posts with label Jalan-jalan di Asia. Show all posts
Showing posts with label Jalan-jalan di Asia. Show all posts

Sunday, June 28, 2020

Tips Drama Visa Cina yang Menguras Emosi, Waktu, dan Biaya|Fashion Style

"Mengurus visa turis Cina sangat mudah! Paling mudah! Praktis! Tidak butuh syarat banyak!"

Iya, kalau mengurus aplikasinya di Indonesia! Di Denmark, entah kenapa aplikasi saya malah dipersulit.

Berawal dari niat mengunjungi adik saya yang sedang studi di Cina, saya memutuskan memasukkan aplikasi 3 minggu sebelum keberangkatan. Selain karena waktu mengurus visa Cina yang reguler hanya 4 hari kerja, saya juga harus mengurus aplikasi perpanjangan residence permit baru dulu.

Residence permit saya habis tanggal 6 Mei 2017, sementara saya mesti ke Cina di penghujung bulan Mei. Karena baru saja mengurus perpanjangan permit baru, akhirnya saya tidak mengantongi kartu residence permit yang valid.

Tapi, ada ketentuan tertulis dari Ministry of Immigration, Integration, and Housing, yang memperbolehkan orang yang permit barunya sedang diproses, keluar masuk Denmark selama maksimum 90 hari jika memang ingin travelling. Namanya Re-entry Permit, stiker berbentuk visa yang akan ditempel di paspor kita dan berfungsi sebagai residence permit.

Re-entry Permit dapat diperoleh di kantor Danish Agency atau Citizen Center. Jelas sekali, Re-entry Permit fungsinya sama dengan residence permit yang memperbolehkan kita keluar Denmark sesuai dengan berapa lama kita travelling. More info here.

Karena tahu tidak mengantongi kartu residence permit, saya mencoba menghubungi pihak Kedutaan Besar Cina untuk menanyakan masalah ini. Mungkin saja mereka bisa membantu menjelaskan kira-kira dokumen apa saja yang perlu saya lengkapi saat membuat visa.

Saya e-mail, tidak dibalas. Saya telepon beberapa kali, tidak pernah diangkat. Akhirnya saya nekad saja membuat janji via online untuk menyerahkan aplikasi di Chinese Visa Application Center.

Syarat-syarat dokumen terlihat sangat gampang:

1. Paspor yang masa berlakunya tidak kurang dari 6 bulan PLUS fotokopi halaman facts diri di depan.

2. Pasfoto ukuran 4,8x3,3mm (TRUST ME!! Mereka tidak pernah mengukur sisi kali sisi. Di Denmark sangat sulit menemukan tukang cuci cetak foto. Jadi, jangan permasalahkan ukuran, yang penting terlihat jelas saja sudah cukup. Saya menggunakan foto 4,5x3,5 sama sekali tidak masalah)

3. Formulir aplikasi visa yang diisi dengan lengkap dan ditandatangani (Di VAC Kopenhagen, formulir tersedia dengan gratis di tempat.)

4. Bukti tanda kependudukan legal kalau pemohon membuat visa tidak di negara asal mereka PLUS fotokopinya. Bisa berupa residence permit, kartu mahasiswa, ataupun surat lain yang menyatakan pemohon tinggal secara legal di negara dimana pemohon membuat visa.

Tambahan:

1. Tiket pesawat pulang-pergi

2. Konfirmasi reserving penginapan

3. Surat undangan (jika ada)

4. Detail perjalanan (tidak harus)

Meskipun bisa membuat visa tipe S2, tapi saya batalkan saja untuk tetap membuat visa turis tipe L. Visa tipe S2 diberikan kepada pemohon yang pergi ke Cina dengan tujuan mengunjungi keluarga yang sedang studi ataupun kerja. Masa berlaku tinggal bisa sampai 180 hari, lho.

Hari Pertama

Setelah mengambil nomor antrian, saya menunggu giliran untuk menyerahkan dokumen di loket. Sebenarnya tidak terlalu banyak orang yang mengantri di Chinese VAC Kopenhagen. Tanpa harus booking jadwal thru on-line, orang-orang juga bisa langsung datang, mengisi formulir di tempat, lalu menunggu giliran dipanggil. Namun memang, orang yang reserving jadwal through on-line biasanya akan dilayani terlebih dahulu.

Kantornya pun cukup lengkap. Karena selain mesin fotokopi, orang-orang juga bisa mengeprint dokumen langsung jika ada yang mesti dilengkapi lagi.

Tibalah giliran saya di satu loket yang petugasnya seorang wanita bermuka jutek. Semua petugas loket orang Cina. Tapi entah kenapa hanya dia yang tidak terlalu bersahabat.

"What is your nationality?" katanya.

"Indonesia."

Saat melihat paspor saya masih tertutupi sampul hitam, dia segera menyuruh melepaskannya.

"This because I still have my old passport here. So, I put them together in a passport cover."

"We don't need your old passport. We only need your new one," katanya lagi dengan jutek.

"Okay. I thought you need the old one to see my travel history."

"No, no need."

Dia mengecek dokumen saya dan mencentang statistics-records yang cocok dengan information passport.

"Where is your residence permit?" tanya si petugas jutek sambil terus membolak-balik dokumen yang saya lampirkan.

"Well, it is in the process. I have just submitted my new residence permit application. Thus, I wrote in the note (in visa form) regarding my residence permit extension."

"We cannot give you a visa if you don't have a residence permit."

"But I have attached my Re-entry Permit copy. It works the same as residence permit, which is allowing me to come and leave Denmark multiple times."

"Yes. But we need to see when and where you submit your extension permit. We need to know that you really submit the application of your extension."

Blablabla... Sampai akhirnya dokumen saya semuanya dikembalikan untuk segera dilengkapi. Si petugas jutek menyuruh saya datang lagi sekalian menambahkan surat keterangan dari Citizen Center yang menyatakan kalau saya benar-benar sedang memperpanjang residence permit. Meskipun sedikit kecewa, saya akhirnya pulang ke rumah sekalian meminta konfirmasi lagi ke pihak Citizen Center tempat saya membuat data biometrik.

Hari Kedua

Karena si petugas ingin saya menyertakan surat pernyataan dari Citizen Center, akhirnya saya menghubungi pihak tersebut jikalau mereka bersedia membuatkan saya surat keterangan. Saat e-mail tidak dibalas, saya langsung saja menelpon yang ternyata juga harus antri selama 10 menit.

Setelah berhasil menghubungi mereka dan menceritakan masalah saya, pihak Citizen Center mengatakan kalau mereka sama sekali tidak ada hak untuk membuatkan surat tersebut. Pertama, karena mereka hanya bertugas mengurusi pembuatan residence permit bagi pemohon yang tinggal di Denmark.

Yang kedua, di website New in Denmark sudah jelas sekali menyatakan tentang Re-entry Permit ini. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, Re-entry Permit hanya diberikan kepada pemohon yang MEMANG sedang menunggu perpanjangan residence permit baru, namun harus travelling keluar Denmark selama proses menunggu.

Yang ketiga, dibandingkan dengan surat pernyataan dari Citizen Center, petugas yang sedang menerima panggilan menyarankan untuk meminta host family yang membuatkan surat pernyataan.

"They are the right people to make you that statement since you are living with them," katanya.

"Terus bagaimana saya bisa membuktikan kepada pihak visa center kalau saya memang sedang perpanjangan permit? Apa hanya bisa dibuktikan dengan tanda terima dari Citizen Center saat pengambilan facts biometrik?"

"Yes, that should be fine. Di tanda terima tersebut juga bisa dilihat jika kamu memang sudah mengambil data biometrik yang tujuannya untuk keperluan pembuat permit baru."

Hari Ketiga

Empat hari setelah menyiapkan semua dokumen tambahan, saya datang lagi ke Chinese VAC di Kopenhagen.

Dokumen tambahan tersebut:

1. Fotokopi tanda terima dari Citizen Center yang menyatakan saya sudah selesai mengambil data biometrik.

2. Fotokopi kartu residence permit lama

3. Surat pernyataan au pair dari Louise yang menyatakan saya memang au pair mereka, lama kontrak, hingga masa travelling yang diijinkan oleh pihak keluarga.

Saat tiba giliran menyerahkan dokumen, sialnya saya lagi-lagi mesti bertemu dengan si petugas jutek. Duh!

"So, how is it? What was the last time? Did you bring all the documents?" tanyanya saat mengambil dokumen saya.

Saya hanya diam saja tidak menjawab pertanyaan satu pun. Saya hanya membiarkan dia mengecek sendiri dokumen tambahan yang sudah disiapkan.

"But,..." katanya ragu saat pengecekan. "Where is that statement?"

"I have already contacted them (Citizen Center) and they said, they have no right to make it. They even said, my host family is the right person to make it for me since I am living and working for them," kata saya tegas.

"Iya. Tapi tidak cukup bukti. Kami tidak bisa memberikan visa kalau status kamu tidak jelas di Denmark."

Hah, what, status tidak jelas? Saya hanya menarik napas panjang saat mendengar pernyataan dia.

Dokumen saya dicek halaman demi halaman oleh si petugas. Kata in keeping with kata yang saya tulis, hingga apapun yang ada di formulir visa saya dibaca berulang-ulang.

"So, you are an au pair and you'll be here until September?"

"Yes!"

"And what will you do after?"

"Come back to Indonesia."

"Why do you want double entry visa?"

"Because I am thinking to come back to China with my mom within 6 months."

"No, we cannot give you. You even have no residence permit now. Only single entry."

Saya hanya menarik napas dalam-dalam pasrah.

"This is your receipt," katanya lagi-lagi judes sambil menyerahkan tanda terima. "I don't know about the decision. But maybe you need an interview with the embassy. Maybe."

Hah? Interview lagi? Ini saja sebelum diwawancara pihak kedutaan, saya merasa sudah duluan dicecar banyak pertanyaan oleh si petugas.

Hari Keempat

Hari Senin, saya menerima panggilan dari Chinese VAC, dari orang yang sama, mengatakan kalau ternyata saya memang butuh interview dengan pihak Kedubes Cina.

"Ini saya buatkan janji interview dengan mereka. Hari Kamis, jam 2.30 ya."

Gila! Hari ini baru Senin dan saya mesti menunggu three hari lagi untuk diwawancara. Artinya saya hanya memiliki waktu satu minggu sebelum keberangkatan untuk menunggu fame visa saya yang belum tentu juga diterima.

I'm loss of life! Really!

Hari Kelima

Saya miskomunikasi dengan si petugas Chinese VAC yang membuatkan janji dengan Kedubes Cina.

"Kamu yang mau datang untuk interview ya?" kata seorang petugas di kedubes yang membukakan pintu ketika saya tidak berhenti memencet bel.

"Iya. Jam 2.30 kan?"

"No, it was this morning. Seperti yang kamu tahu, kantor hanya buka dari jam 9-12 siang. Dokumen kamu sudah saya kembalikan lagi ke Chinese VAC dengan catatan kalau ternyata yang di-interview tidak datang."

"Iya. Tapi ditelinga saya, dia mengatakan jam two thirty."

"No, no, ten thirty."

"Yaaah.. Jadi saya mesti membuat janji baru lagi? Saya sudah mesti ke Cina tanggal 23 ini. Apakah kira-kira permohonan saya diterima?"

"Iya, sepertinya masih sempat," kata si petugas sambil berpikir singkat. "Masalahnya, saya harus melihat dokumen kamu dulu baru bisa memutuskan. Begini saja, nanti saya hubungi lagi pihak Chinese VAC dan mengatakan kalau ada miskomunikasi jadi kamu bisa datang lagi hari Selasa."

Double pffttt ~

Hari Keenam

Saya datang lagi ke Kedubes Cina 15 menit sebelum janji interview. Seorang petugas laki-laki yang sebelumnya sempat saya temui ternyata adalah orang yang juga akan mewawancarai saya.

Setelah mewawancarai seorang pemohon, akhirnya tiba giliran saya.

"So, we will take your fingerprints first and then we start the interview," katanya ramah.

Selesai mengambil sidik jari dan memeriksa dokumen saya, si petugas mulai menanyakan tentang keberadaan saya di Denmark. Sudah berapa lama di Denmark, apa itu au pair, siapa yang mengurus program au pair ini, dengan visa apa saya bisa datang ke Denmark, lalu tujuan dan kota mana saja yang akan saya kunjungi di Cina. Wawancara santai pun hanya sekitar five menit.

"The Chinese Visa Application Center will inform you when your passport is ready to be picked up," katanya lagi mengakhiri wawancara hari itu.

Hari Ketujuh

Sempat deg-degan visa tidak akan di-approve, saya cek popularity visa yang bisa ditelusuri through internet site VAC dari hari Rabu. Hari Jumat saya cek, ternyata paspor sudah dikembalikan ke pihak VAC. Artinya, paspor sudah bisa saya ambil hari itu juga.

Kalian harus tahu, biaya visa Cina lewat VAC di Kopenhagen mahalnya 3x lipat dari di Indonesia. Paling mahal adalah pemohon berkewarganegaraan Amerika, lalu Eropa, dan kewarganegaraan lain yang paling murah dimulai dari 765 DKK (sekitar 1,5 juta rupiah) untuk single entry yang jenis reguler 4 hari kerja. Hiks.

Karena sudah habis-habisan biaya transportasi kesana kemari, lalu ditambah lagi biaya visa yang mahal, saya akhirnya lega juga karena paspor sudah tertempel visa Cina.Though, it's never been easy.

Thursday, June 25, 2020

Tips Mencari Cowok Ganteng di Cina|Fashion Style

Di awal tahun ini, saya sempat jalan dengan seorang cowok Korea-Amerika yang datang ke Kopenhagen untuk urusan bisnis. Menyinggung sedikit soal percintaan, saya baru tahu kalau ternyata si doi pernah pacaran dengan cewek Cina selama beberapa tahun.

"Waktu saya ke Chengdu, saya seperti artis," katanya.

"Kenapa?" tanya saya sedikit skeptis dengan rasa percaya dirinya yang tinggi.

"Cowok-cowok Cina tuh jelek-jelek, tahu gak sih?"

"No!! Di Indonesia, cowok keturunan Tionghoa justru ganteng, keren, dan maskulin," kata saya sambil membayangkan muka VJ Daniel, Morgan Oey, Joe Taslim, ataupun anaknya Om Ferry Salim itu.

"Iya, di Indonesia. Kamu sudah pernah ke Cina belum? Mantan saya saja sampai berkata begitu, lho."

Membayangkan muka-muka ganteng pemain Meteor Garden ataupun MVP Lover, rasanya brilliant mustahil kalau cowok Cina bermuka pas-pasan. Lagipula, masalah fisik kan relatif. Tidak hanya di Cina, di Eropa pun tidak semua bule mancung dan tinggi semampai.

"Duh, datang kesini deh! Lihat dan buktikan sendiri," kata adik saya, yang memang sedang menyelesaikan studinya di Cina, saat ditanya soal keberadaan makhluk ganteng di negeri Panda.

Jujur, saya datang ke Cina sebenarnya bukan dalam proses berkencan ataupun mencari pasangan hidup. Tapi karena teringat dengan obrolan dengan si cowok Korea-Amerika beberapa waktu lalu, saya jadi penasaran sekalian lucu saja kalau bisa membuktikan ketidakbenaran omongan si doi.

Karena memang ingin mengeksplor satu tempat lebih lama, saya hanya jalan-jalan ke Shanghai, Suzhou, dan beberapa kota kecil lainnya yang masih masuk wilayah Provinsi Jiangsu. Pembuktian pun berlangsung selama 10 hari.

Tidak hanya tempat turis dan transportasi umum, saya juga sempat mendatangi mall, restoran, ataupun tempat nongkrong anak muda di Jiangsu. Benar saja, siap-siap kecewa untuk para cewek! Kenyataannya, sulit sekali menemukan cowok ganteng disini. Bahkan menurut saya, cowok-cowok keturunan Tionghoa di Indonesia jauh lebih ganteng!

Para cowok di Tongji

Para cowok yang saya lihat kebanyakan kurus ceking, mungil, dan kadang sedikit malu-malu kalau berdekatan dengan cewek di subway. Yang membawa pasangan, sering terlihat romantis duduk bersama pacar mereka dan biasanya tidak malu membawakan tas tangan si cewek kemana pun berada.

Saat liburan ke Thailand, saya dengan mudah menemukan cowok good-looking yang ada di jalanan, mall, ataupun transportasi umum. Mirip-mirip di Indonesia lah. Tapi di Cina, entah apa yang terjadi. Muka mereka nyaris semuanya sama dengan postur tubuh yang kebanyakan seragam pula.

Kalau ada yang menyamakan mereka dengan si negara tetangga, sungguh sangat jauh. Cowok-cowok Korea dan Jepang memang super stylish dan suka dandan. Sementara cowok-cowok Cina, far from sophisticated! Karena saat itu sedang musim panas, seragam andalan mereka hanya kaos oblong, celana panjang, dan sepatu. Salah? Tidak. Tapi beda jauh dengan cewek-ceweknya!

Cewek-cewek Cina bergaun cantik melenggang di hangatnya musim panas

Kabar baik bagi para cowok yang mengagumi cewek langsing, rambut panjang halus, dan berkulit putih. China is a real heaven! Serius, saya sampai bingung kenapa populasi cewek cantik di Cina terlalu banyak ketimbang cowoknya.

Meskipun bukan negara fashion, tapi cewek Cina tahu betul cara berpakaian. Di musim panas, mereka bisa saja menunjukkan kulit putih nan mulus di tengah teriknya matahari. Saya sampai dibuat wow sendiri melihat kaki-kaki ramping mereka yang polos tanpa bulu.

Dibandingkan dengan cewek-cewek Eropa yang lebih suka memakai kacamata hitam, cewek Cina lebih nyaman menggenggam payung mereka saat cuaca sedang terik. Pakaian yang dipakai pun ajaib! Meskipun harus berjalan jauh dan naik kendaraan umum, mereka tetap oke saja memakai sepatu hak tinggi, cheongsam, dress panjang, ataupun topi besar. Begh, kalau di Indonesia, pakaian antik seperti itu hanya akan dipakai saat kondangan.

"Musim panas memang lebih modis, coba saja tunggu saat musim dingin. Mulai deh, gayanya lebih cuek. Dari yang pakai jaket warna pink, celana warna biru, lalu boot-nya kuning," kata adik saya, saat saya mengomentari outfit para cewek Cina.

Hayo, cari yang paling ganteng!

Saya sendiri sebenarnya bukan seorangfashion slave ataupun fashion guru. Tapi cukup lama tinggal di Eropa, saya pun jadi ikut memperhatikan cara berpakaian orang-orang sana yang begitu elegan dan stylish. Saat datang ke Cina, saya jadi tahu kalau sebenarnya cewek-cewek Cina berpakaian yang praktikal, hingga terkesan cuek dan apa adanya.

Karena keseringan melihat pasangan cewek cantik dan cowok biasa, saya akhirnya iseng-iseng menginstall Tinder kembali dan mengecek siapa tahu ada satu cowok kyut disana. Dari sekian kali swipe sana sini dan match dengan beberapa orang cowok, yang justru mengirim pesan duluan kebanyakan bule. Diihh! Cowok Cina kebanyakan penakut, apalagi kalau tahu kita turis atau orang asing.

Lalu, saya bertanya-tanya, apa cowok-cowok ganteng hanya ada di television saja ya?

"Tidak juga. Katanya, cowok-cowok Cina di bagian utara lebih banyak yang ganteng ketimbang di selatan. Terus yang kamu lihat di television itu bukan di Cina, tapi Taiwan," kata adik saya lagi.

"Lho, beda?"

"Beda lah. Di Taiwan orang-orangnya lebih oke dan tahu cara merawat diri. Mereka juga lebih terbuka dengan dunia. Lha di Cina, apa-apa diblok (Facebook, Twitter, atau Instagram). Jadi cewek Cina menganggap, para cowok di negara mereka adalah yang terganteng di dunia," tambah adik saya lagi.

"Aha!"

Karena jomplangnya populasi manusia ganteng dan cantik, wajar saja saya beberapa kali mendapati banyak pasangan beda negara disini. Ceweknya Cina, tapi cowoknya ternyata orang Korea atau bule. Pssttt.. katanya cowok Korea sengaja menikahi cewek Cina untuk memperluas bisnis di negara tersebut.How lucky they are!

Nanjing Road, tempat terbaik melihat cewek elegant dan cowok kasual

Ngomong-ngomong, meskipun para cowok Cina bermuka pas-pasan, tapi mereka terkenal super royal terhadap pasangan. Cowok-cowok ini juga hobi sekali memanjakan si cewek dengan barang-barang mahal ataupun ribuan perhatian cinta. Gara-gara hal ini juga, cewek Cina jadi ikutan manja dan si cowok pun kadang tidak berdaya alias takut, kalau si cewek tiba-tiba moody atau ngambek. Duh!

Thursday, June 18, 2020

Tips Ke Tembok Cina Pakai Sopir dan Mobil Pribadi|Fashion Style

Ke Beijing tanpa melihat Tembok Cina rasanya ada yang kurang. Apalagi perjalanan saya dan keluarga saat itu sudah jauh-jauh dari Shanghai naik kereta cepat selama lebih dari 5 jam.

Cerita sedikit tentang sejarahnya, Tembok Cina merupakan salah satu bangunan terpanjang yang pernah dibuat manusia. Pembangunan tembok ini sebenarnya sudah dimulai sekitar tahun 722 SM sebelum masa Dinasti Qin. Pada tahun 220 SM di bawah pemerintahan Dinasti Qin, Tembok Cina mulai dilanjutkan pembangunannya hingga banyak memakan korban jiwa.

Setelah mengalami pasang surut pembangunan yang banyak menelan jiwa dan biaya, Tembok Cina direkonstruksi pada zaman Dinasti Ming sebagai benteng pertahanan serta gerbang masuk ke daerah perbatasan. Pada masa pemerintahan ini juga, Tembok Cina berhasil diselesaikan dengan panjang hingga 8850 km.

Tidak banyak yang tahu bahwa di luar segala kemegahan dan kegagahannya, Tembok Cina menyimpan duka mendalam yang misterius. Kabarnya, para lelaki zaman dulu dipaksa bekerja untuk membangun tembok tanpa diberi upah dan makan. Karena banyaknya manusia yang tidak bisa bertahan hidup, jasad mereka langsung dikuburkan di bawah konstruksi bangunan.

Saat melihat rute ke Tembok Cina, saya cukup kaget karena ternyata lokasinya berada di gunung yang jauh dari pusat kota Beijing. Bagian tembok pun sebenarnya dibagi-bagi berdasarkan apa yang ingin pengunjung lihat dan bagaimana cara kesana. Ada empat bagian tembok yang paling terkenal, seperti Badaling, Mutianyu, Jinshanling, dan Simatai. Ada banyak lagi bagian tembok yang terbuka untuk umum, namun untuk menuju kesana biasanya lebih sulit dan butuh usaha mendaki yang panjang.

Where to go?

Bingung akan kemana, saya langsung saja mencari cara menuju Tembok Cina dengan mempertimbangkan bagian tembok mana yang oke plus transportasi termudah.

Badaling merupakan bagian tembok yang paling dekat dengan Beijing, paling mudah transportasinya dari pusat kota, paling mudah didaki, tapi juga paling ramai oleh turis. Mutianyu adalah spot terbaik yang lebih jauh dari Badaling, lebih sedikit turis, lebih susah dakiannya, tapi juga menawarkan pemandangan hutan dan gunung yang fantastis.

Jinshanling lebih jauh, lebih menantang, tidak sedikit turis yang datang, tapi juga butuh waktu lebih lama untuk naik ke gunung menuju tembok. Kalau memang berjiwa petualang dan malas melihat banyak turis, bagian tembok ini memang paling pas untuk sang penantang. Sementara Simatai, mengundang banyak grup turis datang meskipun jarak tempuhnya cukup jauh. Kabarnya, bagian tembok ini adalah bagian terbaik melihat Tembok Cina secara keseluruhan arsitektur.

How to get there?

Karena membawa ibu ikut travelling, kami tidak ingin repot mesti mengejar bus paling pagi lalu harus berganti-ganti moda transportasi sebelum sampai tujuan. Apalagi kami datang ke Cina saat musim dingin dengan suhu -7 derajat Celsius. Aduh, ibu saya sudah mulai malas duluan.

Saya langsung skip ke Tembok Cina menggunakan transportasi umum, lalu mencari-cari informasi tur. Sebenarnya banyak grup tur yang bersedia antar-jemput ke hotel hingga mampir dulu ke objek wisata lainnya. Tapi harganya itu mahal sekali. Belum lagi karena sudah terjadwal, mau tidak mau kami harus ikut jadwal pemandu wisata tanpa boleh berlama-lama di suatu tempat.

Akhirnya setelah membaca pengalaman beberapa travel blogger, kami lebih tertarik menyewa sopir dan kendaraan pribadi. Saya menemukan rekomendasi salah seorang blogger tentang Mark's Guide & Driver Service - Day Tour di TripAdvisor . Ternyata Mark, si pemilik, juga memiliki situs tur perjalanan yang sangat rinci di Best-our .

Beberapa opsi pun ditawarkan sesuai dengan budget dan pilihan lokasi pengunjung. Kami sepakat mengunjungi Mutianyu (baca: Mu Tien Yu) dengan harga 600 CNY (bukan per orang) sudah termasuk mobil dan sopir pribadi. Harga tersebut adalah yang termurah karena si sopir hanya bisa berbahasa Mandarin. Sementara sopir berbahasa Inggris-Mandarin dikenakan tarif 700 CNY.

Saya dan ibu cukup lega karena adik saya memang sudah fasih berbahasa Mandarin. Jadinya kami tidak perlu mengeluarkan 100 CNY tambahan hanya untuk English driver.It was so easy, stress-free, dan kami tidak harus mengikuti jadwal bus atau pemandu wisata dulu.

Kami menghubungi Mark via email dan 10 menit kemudian langsung dikonfirmasi dengan cepat.

How was the experience?

Sesuai dengan kesepakatan, jam 8 pagi, seorang bapak sekitar umur 50 tahunan sudah menunggu kami di lobi dengan membawa kertas bernama saya. Si bapak yang bermarga Sun itu langsung menyambut kami ramah dan langsung keluar mengambil mobil.

Jumlah penumpang hanya 3 orang, tapi mobil yang kami gunakan saat itu cukup besar muat hingga 6 penumpang. Mobilnya super bersih dan sangat nyaman.

Si bapak juga tidak berhenti mengajak adik saya mengobrol saat tahu doski sudah fasih berbahasa Mandarin. Pak Sun juga dengan ramah dan terbuka menjawab beberapa pertanyaan kami seputar Cina. Meskipun hanya bisa berbahasa Mandarin, tapi saya juga paham selera humor beliau yang kadang garing tapi tetap lucu.

Perjalanan dari hotel ke Mutianyu ditempuh sekitar 1,5 jam. Sangat disarankan minta jemput pagi-pagi sekitar jam 7.30-8.30 untuk menghindari macet. Suasana kota pagi itu masih lenggang karena kami memang berangkat saat akhir pekan.

Sedikit cemas juga karena kabarnya akhir pekan merupakan waktu terburuk mengunjungi Tembok Cina dikarenakan naiknya lonjakan turis. Turis-turis ini tidak hanya warga negara asing, lho. Orang Cina pun sebenarnya sangat senang jalan-jalan keliling negara mereka di akhir pekan.

Sebelum sampai di loket pembelian tiket, Pak Sun menanyakan apakah ingin diantar sampai ke atas ataukah ingin ditunggu di kaki gunung lalu menuju ke atas pakai shuttle bus? Jadi sebenarnya, para sopir hanya mengantar dan memarkirkan mobil hingga sampai loket pembelian tiket di bawah ini.

Dari tempat parkiran menuju lokasi ke atas sekitar 3,5 km yang dapat ditempuh dengan naik shuttle bus atau hiking sendiri. Pak Sun menawarkan, mobil bisa naik sampai atas asal si pengunjung meluangkan waktu dan uangnya sedikit untuk membeli makanan atau minuman di restoran Subway. Jadi sebenarnya parkiran atas itu milik Subway. Makanya kalau ingin parkir di atas, setidaknya mampir dan belilah produk mereka sedikit.

No worry! Semua langsung oke.

Ngomong-ngomong, tiket masuk ke lokasi harganya 60 CNY per orang. Kata Pak Sun, kalau punya kartu pelajar, bisa didiskon sampai 20 CNY dengan menunjukkan kartu ke petugas tiket.

Sampai di atas, Pak Sun keluar dan menunjukkan kami loket cable car. Jadi sebenarnya ada dua opsi menuju bagian atas Tembok Cina, bisa dengan cable car atau hiking sendiri. Baca-baca di blog, katanya mendaki memerlukan waktu sekitar 1 jam 45 menit. Daripada kelelahan dan kedinginan, kami semua sepakat naik ke atas naik cable car saja.

Untuk menuju loket cable car dari parkiran ini pengunjung tetap harus mendaki lagi, lho. Ibu saya sampai ngos-ngosan menuju ke atas.

Lokasi cable car-nya juga ternyata ada dua pilihan, spot 6 dan spot 14. Spot 6 paling dekat dari pintu masuk parkiran tapi lebih asik kalau sedang musim panas. Soalnya cable car ini bagian depannya terbuka, hanya muat 2 orang, lalu sekembalinya dari atas bisa meluncur menggunakan sejenis kapal tunggangan kecil.

Sementara spot 14 dakiannya lebih panjang dan tinggi. Kami terpaksa harus mendaki lebih tinggi karena memang cable car di spot tersebut lebih cocok untuk kami bertiga. Harga di kedua spot tersebut pun sebenarnya sama saja, one way 100 CNY sementara return 120 CNY.

Kami naik cable car sekitar jam setengah 10, tapi ternyata sudah ada beberapa pengunjung yang selesai dan siap turun gunung.

Pak Sun hanya mengantar kami hingga menuju loket cable car saja. Beliau memberikan waktu 2 jam sekalian menunggu di Subway.

Beruntung sekali kami datang cukup pagi. Karena meskipun akhir pekan, pengunjung masih sangat sepi. Foto-foto pun tidak perlu editing Photoshop segala karena bisa bebas memotret tanpa halangan kepala orang.

Walaupun datang di musim yang kurang tepat, tapi pemandangan hutan dan gunung di sekitar Tembok Cina membuat foto semakin terlihat magis. Apalagi saat itu sedang foggy, jadinya banyak siluet terlihat cantik dengan batang pepohonan yang daunnya mengering.

Saya suka Mutianyu dan semua pengalaman kami bersama Pak Sun. Namun ibu saya sebaliknya, beliau ternyata lebih suka tempat wisata yang lebih banyak turis karena bisa diajak berfoto-foto. Saking sepinya Mutianyu pagi itu, beberapa turis pun "kena paksa" foto dengan ibu saya.

Tengah hari, saat kami mulai turun gunung, banyak sekali pengunjung mulai mendaki ke atas. Suhu udara pun terasa mulai naik karena matahari bersinar dengan teriknya.

Anyway, karena harus hiking sedikit, ada baiknya menggunakan sepatu dengan sol karet yang tidak licin. Banyak juga turis yang ternyata pakai hi-heels boot dan pantofel kesini.

Musim dingin memang bukan waktu yang tepat menuju Tembok Cina, tapi asal tidak ada angin dan salju, semuanya tetap aman. We still love to be there!

Friday, June 12, 2020

Tips Cerita di Thailand: Tersiksa di Kereta |Fashion Style

Saya sedih mesti meninggalkan Bangkok pagi-pagi dan mesti berada di Phuket keesokan harinya. Sambil mencangklong travel bag saya yang rusak di hari pertama backpacking, saya memasuki stasiun kereta api Hua Lamphong. Sebelum memesan tiket kereta api ke Surat Thani, saya menitipkan travel bag dulu. Agak sedikit kaget tiket yang dibeli cuma 217B untuk kereta api kelas 3. Padahal di buku panduan jalan-jalan yang sedang saya bawa, si penulis mendapatkan tiket 60B lebih mahal dari saya. Hehe. Rencananya sebelum ke Surat Thani, saya ingin menyempatkan diri membeli tas di Chatuchak Weekend Market.

Jam 3 sore, saya sudah tiba di stasiun lagi. Naik ke lantai atas dan menyempatkan ibadah dulu. Dari atas saya bisa melihat aktifitas calon penumpang di ruang tunggu yang tadi pagi saya lihat masih sepi, ternyata semakin sore malah semakin ramai. Bahkan ada bapak-ibu bule yang langsung membuka dua koper mereka di tengah-tengah ruang tunggu. Koper mereka itu bukan yang ukuran mini ya, sodara-sodara. Tapi yang guede itu, yang kira-kira muat buat backpacking-an 6 bulan. Hihi. Mereka dengan santainya merapihkan isi koper sambil menyusun barang belanjaan yang sepertinya baru sudah dibeli. Seru sekali melihat aktifitas di staisun Hua Lamphong di sore hari.

Dari lantai atas di ruang shalat, saya bisa melihat jadwal keberangkatan kereta. Waktu sudah menunjukkan pukul 5, tapi saat saya coba mengecek di papan jadwal, rute Bangkok-Surat Thani mengalami keterlambatan hingga satu jam. Akhirnya saya menyempatkan shalat Maghrib dulu sekalian menunggu kereta datang.

Satu jam kemudian, kok tidak ada tanda-tanda kereta akan datang ya? Di papan jadwal masih tertulis delay dan saya sendiri masih membeku di ruang shalat. Saya melihat ke bawah, di ruang tunggu bule-bule dengan ransel bagong semakin rame saja. Kereta memang menjadi salah satu transportasi murah yang sering dijadikan alternatif mengunjungi tempat-tempat di Thailand selatan.

Jam setengah 7 nih, kok perasaan saya makin tidak enak ya? Saya turun dan mencoba bertanya ke salah seorang om-om yang sedang berdiri memandang papan jadwal. Bodohnya, bukannya langsung cari kereta ke gerbong, saya tetap yakin kalau kereta mungkin saja telat lebih lama. Sialnya, om-om yang ditanya sama sekali tidak bisa bahasa Inggris. Malah sok-sokan mengerti lagi, saya makin bingung nih. Saya tinggalkan dia dan langsung bertanya ke polisi jaga yang berdiri di dekat gerbang (dari tadi kek!). Gila, saya rasanya mau melompat saat dia bilang kereta menuju Surat Thani sudah mulai meninggalkan stasiun. Si pak polisi langsung menyuruh saya lari-lari dan menunjuk kereta di gerbong sekian (lupa, jekk) yang memang sedang berjalan pelan. Mammaaakkk..traveling bag saya berat sekaleee. *Maklum, ditambahin barang belanjaan dari Chatuchak :p*

Setelah memastikan kembali apakah itu benar kereta menuju Surat Thani dengan kondektur yang lagi berdiri di pintu, saat dia bilang iya, saya beneran langsung melompat ke kereta yang sedang berjalan pelan itu. Sesaat sebelum masuk kereta, saya melirik sebentar ke pak polisi yang tadi mengantar saya ke gerbong, dia melambaikan tangan dan air mukanya berubah jadi lega. Saya lebih lega, Pak, terima kasih.

Baiklah, tapi penderitaan belum berakhir. Kereta sudah mulai berjalan lebih cepat dan sekarang waktunya saya mencari tempat duduk. Jujur, ini pengalaman pertama saya naik kereta antar kota setelah sejak belasan tahun lalu. Saya naik kereta terakhir kali ke kampus, dengan kondisi kereta yang nyaman dan tidak pernah nyaris ketinggalan. Saya mulai celingukkan mencari tempat duduk, kira-kira saya bakalan duduk dimana nih. Dan saya mau teriak, pas salah seorang kondektur bilang tempat duduk saya ada di gerbong 1 dan saya sekarang ada di gerbong 12. Artinya? Artinyaaa...??

Cukup. Saya sudah mulai kehabisan napas melewati 11 gerbong di belakang dengan mengangkat tas yang berat dan keadaan kereta yang oleng kesana kemari saat berjalan. Baiklah, saya sudah berada di bangku, menarik napas, dan mulai memperhatikan sekeliling. Saya lupa kalau sekarang saya naik kereta api kelas 3, bergabung dengan warga lokal, lalu akan menghabiskan malam di kursi keras ini. Betapa bodohnya saya yang sudah menyamakan tingkat kenyaman saya dengan tingkat kenyaman penulis di salah satu buku backpacking itu! Saya mulai berpikir rasional dan ingat kata-kata teman saya waktu kami nyasar di Kuala Lumpur dulu, tidak semuanya yang di buku panduan itu bakal memandu! Tidak semuanya yang terlihat mudah dan gampang buat si penulis juga bakalan mudah untuk kita. Kenyataannya selalu berbeda.

Benar saja, 'penyiksaan' ini dimulai dengan pakaian saya yang tidak siap perang melawan malam. Saya cuma pakai jaket tipis dan sandal jepit. Semakin malam, udara malam semakin menusuk. Memang, jendela di dekat saya sudah ditutup, tapi jendela di bangku penumpang di barisan kiri rata-rata terbuka lebar. Saya benar-benar tidak bisa tidur dan berulang kali terbangun. Akhirnya saya mengambil kaus kaki wool di dalam tas dan berusaha menyelamatkan kaki. Kaki saya rasanya sudah beku saat itu. Saya benar-benar mengutuki diri saya yang ingin hemat, tapi seperti menyiksa diri. Telinga dan wajah saya juga sudah beku dan mati rasa. Topi yang saya kenakan ternyata tidak mampu menahan hawa dingin udara malam yang membuat telinga ikutan membeku. Saya memang tidak bawa topi wool, ya lagian buat apaan? Thailand kan panas. :(

Jam 3 pagi saya terbangun dan bersumpah tidak mau tidur lagi. Rasanya seperti mimpi buruk berada di kereta ini! Kenapa nggak pesen sleeper aja tadi?!, gerutu saya saat itu. Untungnya saya sebangku dengan ibu-ibu lokal yang lumayan ramah walaupun tidak bisa sedikitpun bahasa Inggris. Dia selalu berusaha mengajak saya berbicara walaupun di antara kami terdapat batasan bahasa. Yasudahlah, setidaknya saya masih bisa berpikiran positif di saat kondisi menyiksa seperti ini.

Tapi lagi-lagi pikiran negatif saya kambuh, duh..mana yang katanya naik kereta api kelas 3 nyaman? Mana yang katanya bisa tidur nyenyak? Penipu! Saya kok malah berulang kali menggerutui pengalaman penulis yang bukunya sedang saya jadikan panduan ini ya? Haha. Ternyata memang benar kata teman saya, apa yang dirasakan penulis di buku panduan jalan-jalan bisa saja selalu berbeda dengan apa yang kita rasakan. Kita tidak harus selalu menjadi 'kere' untuk berhemat, tapi setidaknya kita juga harus bisa memastikan apakah akomodasi/transportasi yang dianjurkan penulis sesuai dengan kita. Bisa saja rate atau kenyamanan yang ada dirasakan penulis berbeda dengan yang ada di lapangan.

Jam setengah 5 pagi, ibu-ibu ramah tadi turun di stasiun yang jaraknya kurang lebih 3 stasiun sebelum Surat Thani. Dia tersenyum ramah dan mendoakan saya selamat sampai tujuan. Khob khun mak kha, Bu.. (terima kasih banyak). Tapi mata saya kok merem melek begini? Saya malah mengantuk diterpa angin Subuh yang mulai menyejukkan, bukan menusuk kulit! Di sepanjang perjalanan mulai terlihat pohon kelapa khas wilayah pantai dan katanya sudah mulai dekat dengan stasiun Surat Thani.

Tidak terasa saya menempuh perjalanan hampir 12 jam hingga sampailah saya di stasiun Surat Thani dan selanjutnya akan meneruskan perjalanan ke Phuket dengan bus. Betapa kagetnya saya saat mendapati jemari kaki yang terbungkus kaus kaki sudah membengkak. Benar-benar bengkak dengan jemarinya yang membesar. Hiks... Saya buru-buru membersihkan muka, membungkus kaki dengan sepatu kets, dan bersiap menuju Phuket dengan mata panda.

Thursday, June 11, 2020

Tips Weekend Meriah di Jonker Street|Fashion Style

Tiba-tiba kepala saya terasa sangat berat beberapa jam setelah tiba di guesthouse. Niatnya ingin langsung walking trip ke beberapa landmark kota Melaka setelah jam makan siang, tapi cuaca di luar benar-benar tidak mendukung. Panasnya sangat terik dan sama sekali tidak bersahabat untuk jalan santai. Beberapa bus wisata membawa turis keturunan Tionghoa mondar-mandir di depan guesthouse. Saya juga baru ngeh kalau guesthouse tempat saya menginap berada di Chinatown-nya Melaka yang menjadi salah satu objek wisata di sini.

Yang tadinya mau jelajah kota dari siang sampai malam, akhirnya saya dan dua orang adik baru keluar dari guesthouse jam setengah 5 sore. Dikiranya matahari bakalan lebih bersahabat, tapi ternyataaa sinar matahari masih menyilaukan dan bikin muka saya memerah. Saya juga awalnya ogah-ogahan beranjak dari kasur karena rasa nyeri di kepala masih menempel. Namun, saya paksakan juga sih. Lagian adik saya sudah merengek-rengek minta dibawa jalan-jalan.

Kali ini entah kenapa saya tidak penuh persiapan saat traveling. Saya malah lupa nge-print peta Melaka dan cuma mengandalkan ingatan saja. Duuhh, mana sempat nyasar pula di tengah kota yang panas. Untungnya saat makan siang, di warung makan saya bertemu dengan bapak-bapak ramah yang bersedia memberikan peta-nya untuk kami. Selain ramah, bapak ini juga doyan sekali bicara. Saat kami makan, saat kami minum, saat kami berjalan untuk sekedar mengambil sendok, dia tidak berhenti mengajak bicara. Saya sampai kebosanan dan senggol-senggolan siku dengan adik saya. Kapan nih dia berhenti ngomong, pikir saya saat itu.

Tapi terima kasih atas petanya, Pak. Akhirnya saya tidak buta arah lagi. Lagian peta di-guesthouse sama sekali tidak membantu. Mereka hanya mencetak peta yang tidak menunjukkan arah jalan kota, manapula cuma difotokopi lagi.

Dari informasi yang saya temukan di internet, pusat landmark kota Melaka sebenarnya dapat ditempuh dengan berjalan kaki kalau kita memilih penginapan yang tepat. Dua tempat yang saya ingin kunjungi saat di Melaka adalah Jonker Walk atau Jonker Street dan Dutch square. Dari beberapa foto di internet, suasana jalan berwarna merah meriah yang ramai adalah salah satu daya tarik tempat ini.

Sebenarnya jalan ini adalah jalan lurus biasa yang sama sekali tidak ada denyutnya di hari Senin hingga Sabtu. Saya juga baru tahu dari seorang sopir taksi, Jonker Street ramai hanya di hari Minggu. Hoh, untung banget saya kesini tepat di hari Minggu. Saya sempat ingin mengganti jadwal ke Melaka di hari Senin soalnya.

Dari pangkal ke ujung Jonker Street banyak kios atau toko-toko yang menjual barang yang hampir sama. Tapi semakin ke ujung, harga barang yang ditawarkan biasanya akan semakin murah. Selain barang-barang lucu, disini juga tersedia berbagai macam makanan kecil yang membuka kedainya di pinggir jalan.

Saat kami datang kesini, bus-bus pariwisata mulai memenuhi jalanan. Sebelum memasuki kawasan Jonker Street kami melewati Dutch rectangular atau biasa dikenal dengan Red rectangular, area Christ Church dan The Stadthuys berada, yang kanan kiri bangunannya berwarna merah bata. Bangunan yang sudah ada abad ke-18 ini merupakan peninggalan kolonial Belanda, yang saat pertama kali dibangun bukan berwarna merah. Ada banyak alasan dan cerita yang menyebutkan mengapa kawasan ini di-cat merah. Namun salah satu alasan yang lebih masuk akal adalah dikarenakan kurangnya pemeliharaan. Merah batu laterit yang digunakan untuk membangun The Stadthuys lama-kelamaan memutih dikarenakan hujan yang yang sering terjadi cukup deras. Untuk menghemat biaya pemeliharaan, di abad ke-19 kawasan ini disulap Inggris menjadi merah seluruhnya biar seragam dengan warna merah batu. Bukan cuma disini, di beberapa bangunan tua dan ruko di sekitar tempat ini juga akhirnya ikutan di-cat dengan warna serupa.

Di tempat ini juga terdapat pasar kaget dan banyak becak dengan rangkaian bunga warna-warni yang siap mengantar kita menjelajah kota. Tapi saya tidak sempat naik sih, cuma mengabadikan fotonya saja. Sayangnya sinar matahari masih saja terik dan terang benderang di jam 6 sore. Eh, tapi sakit kepala saya hilang nih gara-gara diajakin jalan dan keringatan. Karena sudah menyerah dengan teriknya matahari, akhirnya kami cuma berleye-leye santai di pinggir sungai sembari memperhatikan kapal yang lewat membawa peserta tur.

Jam setengah 7 malam, matahari baru berlalu dari singgasananya. Menyisakan sinar oranye yang menjadi alarm bahwa kami harus kembali ke guesthouse. Tapi satu hal yang saya kurang suka dari kota ini, sepi! Gara-gara sepi ini, transportasi di kota juga lumayan susah. Di buku traveling yang saya baca, disebutkan kalau bisa naik bus panorama untuk menyusuri berbagai macam landmark di pusat kota. Tapi setelah ditunggu hampir satu jam, bus-nya malah tidak muncul-muncul.

Saya tidak bisa membayangkan kalau di kota ini tidak ada Jonker Street yang meriah, mungkin hari-hari lain akan berjalan biasa saja. Sepi, terlampau tenang, dan cukup membosankan, mungkin?

Tips Mabuk Servis di Phnom Penh (1)|Fashion Style

Juni 2013

Saya dan dua orang travel mate di awal kedatangan kami ke Kamboja untuk pertama kalinya sempat dibuat takjub dengan keramahan orang Kamboja. Awalnya kami mengira negara ini masih miskin dan masyarakatnya tidak terlalu terbuka dengan dunia luar. Namun, kenyataanya justru tidak seratus persen benar. Kami justru mendapatkan fakta bahwa orang Kamboja sangat menghargai orang asing dan berusaha menjamu dengan sebaik mungkin.

Dwi, salah seorang travel mate, pernah jadi LO (Liaison Officer) untuk atlet petanque kontingen Laos waktu kejuaraan SEA Games ASEAN yang diadakan di Palembang dulu. Dari pengalamannya itu, dia akhirnya punya teman atlet dari dua negara, Laos dan Kamboja. H-5 sebelum keberangkatan Dwi memang sudah intens bilang ke saya kalau dia mau ketemuan dengan temannya di Phnom Penh. Saya, Dwi, dan Mbak Lia, seorang travel mate lain, menyangka ini cuma ketemuan biasa atau ajang reunian semata sih. Namun nyatanya, kami tidak pernah menduga kalau pertemuan kami disambut dengan luar biasa!

Di malam pertama kedatangan kami ke Phnom Penh, Mai, seorang teman Dwi, sudah siap menjemput kami dengan mobil Mercy-nya. Mai mengajak kami makan malam di sebuah food court open air yang menurut saya cozy sekali. Agak kontras dengan imej kota Phnom Penh yang menurut saya masih kalah bagus dengan Palembang. Tempatnya bagus, dengan kursi-kursi putih dan meja bundar. Di tiang-tiang tenda, dipasangi lampion dan tambahan live music membuat suasana makin romantis. Sayangnya ini bukan tempat makan sepasang muda-mudi, tapi lebih diperuntukkan untuk keluarga atau teman.

Food court docket outside yang saya lupa namanya

Dari saat memarkirkan mobil, saya juga agak kaget dengan 'tukang parkir'-nya yang super ramah membukakan pintu mobil. Dia memakai kemeja biru muda dengan penampilan yang rapih dengan walkie talkie di tangannya. Wihh..'tukang parkir' profesional nih, pikir saya. Lalu dengan senyum ramah dia mengantarkan kami berempat ke meja kosong hingga memastikan kami nyaman di tempat itu baru dia pergi.

Mai memesan seafood dengan berbagai macam lauk dan sedikit nasi. Nasinya dikit sekali, saya sampai mikir beneran cukup nasi segitu untuk orang 4?

Cara makan orang Kamboja ini menganut adat China yang biasanya menghidangkan banyak makanan dengan sedikit nasi. Biasanya tuan rumah akan mengambilkan makanan untuk tamu dan mempersilakan tamu mencicipinya. Karena lauknya yang banyak, nasi cuma jadi selingan. Kalau ditanya kenyang atau tidak? Pasti! Bukan karena makanannya, tapi karena kebanyakan minum air.

Apapun makannya, minumnya Angkor beer

Orang Kamboja terkenal dengan kebiasaan minum bir yang berlebihan. Mereka tidak akan berhenti minum sebelum merasa mabuk. Karena saya tidak bisa minum alkohol, akhirnya saya cuma minum teh melon kalengan. Berulang kali seorang pelayan berkeliling ke meja-meja untuk memastikan gelas-gelas tamu tidak kosong dengan batu es. Saya yang tadinya tidak bisa minum es, akhirnya menyerah dengan servis orang Kamboja yang ramah. Seorang pelayan cowok berulang kali menghampiri meja kami untuk sekedar mengisi gelas-gelas dengan batu es. Mukanya lumayan sih, untuk ukuran orang Kamboja yang sebenarnya 'biasa' aja. Saya yakin dia sudah lelah sekali, tapi tidak ada raut kebosanan di mukanya untuk melayani tamu. Saat dia mengisikan es batu di gelas saya, saya tidak mendapatkan senyuman disana. Dasar memang si pelayannya cuek kali ya.. Jadinya saya isengin dia dan berkata, "smile.. pleaseee smile". Akhirnya dia tersenyum juga. Usil!

Di tengah acara makan kami, Mai menelepon teman dan kakaknya untuk bergabung dengan kami. Si kakak yang datang duluan, sampai menghabiskan bir hingga 8 botol. Karena bahasa Inggrisnya kurang bagus, jadinya saya cuma pakai bahasa Tarzan yang intinya ngomong, kamu tidak apa-apa minum banyak? Padahal kan nanti mau mengendarai motor. Si kakak bilang kalau dia baik-baik saja dan dia tahu kapan harus berhenti minum, apalagi dia juga mengendarai motor. Tapi saya tidak yakin tuh. Buktinya dia sudah ngelantur dan perutnya mulai membuncit.

Sekitar setengah jam sebelum pulang, Dina, seorang atlet petanque juga, datang bergabung dengan kami. Bahasa Inggrisnya lumayan fasih dan orangnya seru juga. Dina sempat tidak menyangka kalau kedatangan kami ke Kamboja adalah yang pertama. Karena besoknya kami harus buru-buru ke Siem Reap, akhirnya Dina menawari kami sarapan pagi bersama esoknya. Horeee... :p

Namun karena kebanyakan minum, saya cukup sering bolak-balik lavatory. Awalnya saya mengira toilet disini bakalan kotor dan tidak terlalu dirawat. Daann..Saya salah lagi! Justru toiletnya fantastic bersih dan wangi. Huehehehe.. Si penjaga bathroom, seorang bibi, juga selalu tersenyum ramah kepada orang-orang yang keluar masuk bathroom. Sehabis kami selesai menggunakan bathroom dan mencuci tangan, biasanya dia akan memberikan tisu untuk mengeringkan tangan. Saya dan Mbak Lia sempat salah tingkah juga nih kira-kira 'pelayanan' ini bayar atau tidak. Masih dengan senyuman ramah, saat saya tanya si bibi bilang kalau kami tidak perlu membayar toilet.

Tapi saya tidak tega juga untuk tidak memberikan dia uang, habisnya dia adalah penjaga bathroom yang paling ramah yang pernah saya temui. Dia juga ramah dan baik kepada semua orang, bukan hanya kepada turis. Justru dia tidak tahu sebelumnya kalau kami adalah orang asing. Saat menggunakan rest room kedua kalinya saya berikan sisa uang Riel (mata uang Kamboja) yang jumlahnya cuma 500. Duuh...Saya jadi merasa Phnom Penh adalah kota biasa dengan penduduk yang sebenarnya ramah dan hangat.

Wednesday, June 10, 2020

Tips Mabuk Servis di Phnom Penh (2)|Fashion Style

Siang ini kami saya dan dua orang travel mate akan meninggalkan Phnom Penh menuju Siem Reap. Dari Siem Reap rencananya kami akan meneruskan perjalanan ke Ho Chi Minh City dan menghabiskan 5 hari disana lalu kembali lagi ke Phnom Penh karena pesawat kami ke Kuala Lumpur akan terbang dari sana.

Jam 7 pagi Mai dan Dina sudah menunggu di lobi. Dengan motornya, mereka mengajak kami ke salah satu restoran di dekat guesthouse. Lalu lintas di Phnom Penh agak kacau, jadinya pagi itu kami naik motor agak ekstrim. Apalagi saya, Mbak Lia, naik motor Dina bonceng tiga. Dina ini orangnya cuek dan sangat tomboy, naik motornya ngebut dan malas pakai helm.

Sekitar sepuluh menit kemudian kami sampai di sebuah restoran yang tidak terlalu kelihatan kalau itu sebenarnya tempat makan. Karena sebelumnya kami sudah mengatakan tidak bisa makan babi, mereka sudah paham dan berakhir di sebuah restoran yang semua bahan dasarnya terbuat dari jamur. Dina sudah meyakinkan kami kalau restoran itu tidak ada menu daging-dagingan sama sekali. Untunglah..

Karena tidak tahu mau makan apa, akhirnya kami menyerahkan semuanya ke Dina. Dia memilihkan kami makanan yang menurut saya porsinya besar sekali untuk sarapan.

Sayangnya saya benar-benar tidak selera makan dan menghabiskan tidak sampai setengahnya. Padahal saya sangat suka mie, tapi sepertinya bumbu makanan ini tidak cocok di lidah saya. Tapi tidak untuk Dwi dan Mbak Lia. Mereka enteng saja tuh menghabiskan Teppanyaki dan jamur goreng yang rasanya sedikit mirip daging itu. Tidak enak juga sih makan tidak habis begitu apalagi ini kan ditraktir, tapi ya gimana saya tidak selera begini.

Selesai sarapan, kami diantar lagi ke Central Market-nya Phnom Penh yang saya lupa apa namanya. Hahaha.. Saya kebiasaan tidak mencatat nama tempat sih. Pasar tradisional ini interior bangunannya mirip-mirip peninggalan zaman dulu. Yang dalam gedung kebanyakan jual aksesoris giok atau batu-batuan, sementara bagian luar menjual suvenir khas Kamboja, perabotan rumah tangga, ataupun makanan. Kalau tertarik membeli kain-kain dengan motif cantik, pasar ini bisa dijadikan alternatif.

Karena ada latihan, Mai akhirnya pamit duluan dan tidak bisa mengobrol dengan kami lebih lama. Akhirnya Dina berbaik hati menemani kami di guesthouse sekalian menunggu bis ke Siem Reap menjemput. Sebenarnya kami tidak tega menyuruh Dina menunggu lebih lama apalagi langit sudah mendung. Tapi dia keukeh mau menemani kami. Kagetnya, dia malah masih mau mentraktir kami makan siang. Doohh..padahal kami sudah kenyang dan tidak niat makan lagi. Tapi dia mengingatkan kalau perjalanan ke Siem Reap akan lama dan pastinya kami tidak sempat makan siang nantinya. Yasudah, kami menurut saja. Kan ditraktir juga. Hahaa..

Dan mimpi buruk pun dimulai. Nyatanya tidak ada makanan yang tidak enak di dunia ini. Semuanya enak namun sangat subjektif dan tergantung lidah masing-masing. Tapi untuk sesi makan siang ini, kami bertiga (kecuali Dina) sepertinya memiliki selera yang sama.

Karena sudah cukup makan berat sarapan tadi, kami memutuskan untuk memesan roti isi dan spring roll saja. Bodohnya, memesan spring roll ini adalah ide saya. Saya tidak mengira kalau spring roll Kamboja berbeda dengan yang di Thailand. Saya sudah pernah makan yang di Thailand dan rasanya lumayan enak, mirip lumpia goreng atau rebus.

Nah yang di Kamboja ini, rasanya 'menyiksa'. Ternyata spring roll-nya dimakan mentah-mentah. Isi spring roll adalah dedaunan segar, wortel mentah, dan daging ayam rebus yang hambar. Sementara kulitnya sendiri sepertinya masih basah. Baru gigitan pertama, lidah saya sudah dikagetkan dengan rasa dedaunan yang membuat saya mual. Hingga akhirnya saya keluarkan daun itu dari mulut dan membedah isi spring roll-nya. Saya juga tidak tahu itu daun apa tapi yang jelas rasanya mirip daun sirih. Pedas dan enek. Tidak saya saja, Dwi dan Mbak Lia juga begitu. Bahkan Mbak Lia seperti menahan tangis saat menghabiskan gigitan pertamanya.

Selanjutnya adalah ide Dina untuk memesan sup mie daging. Sebelumnya Dina berulang kali menawari kami untuk makan nasi, tapi kami menolak gara-gara alasan kenyang. Dia mengerti dan memesan sup daging yang ada isi mie-nya saja sebagai pengganti nasi. Sayangnya karena sudah enek dan mual, kami tidak sanggup lagi menghabiskan sup itu. Bahkan menggigit bakso daging sapinya saja kami tidak sanggup karena sepertinya restoran pilihan Dina tidak halal dan masih terdapat menu babi. Jadinya makan siang sekali itu tidak kami nikmati sama sekali.

Tips Mabuk Servis di Phnom Penh (3)|Fashion Style

Karena permintaan dari Dina dan Mai yang menyuruh kami untuk pulang lebih awal dari Ho Chi Minh City, akhirnya saya dan dua orang travel mate sampai di Phnom Penh satu hari lebih cepat. Rasanya baru jam 5 pagi melihat Sunrise di Mui Ne, Vietnam, tengah malamnya kami sudah harus pulang ke Phnom Penh melalui Ho Chi Minh City. Seperti kata Dwi, "kita ini traveling seperti dikejar tikus. Lebih-lebih dari artis schedule-nya." Hahaa..

Sekitar jam 10 pagi kami akhirnya tiba juga di penginapan yang berbeda kawasannya dengan yang pertama kali kami inapi. Tempatnya baru saja direnovasi. Masih baru, super wangi dan bersih, serta resepsionis yang ramah dan fasih Bahasa Inggris. Padahal menurut sopir tuk-tuk, kawasan kami yang di Chamkar Mon ini jauh dari pusat kota. Tapi tak apalah, lagian WiFi disini lebih kencang dari guesthouse yang sebelumnya kami tempati.

Jam 7 malam, Mai menelepon Dwi untuk mengajak makan malam (lagi). Karena Dina sedang makan malam dengan pelatihnya, jadinya Mai sendirian yang menemani (baca: mentraktir) kami malam itu. Duuhh.. Habis jadi gembel di Vietnam, akhirnya di Phnom Penh perbaikan gizi lagi. Hohoho.. Untuk makan malam sekali ini, Mai sepertinya agak kebingungan mau pilih tempat yang mana. Dia sampai memutar mobilnya dua kali untuk menemukan tempat makan. Padahal kami sih oke-oke aja, kan ditraktir. *bawa-bawa nama traktiran lagi*

Akhirnya kami merapat ke tempat makan open air yang mirip dengan tempat makan hari pertama. Tapi tempat makan sekali ini kurang romantis sih. Ini dia makanan yang Mai pesan malam itu. Saya pengen lagi makan pizza jagung yang super duper crunchy dan manis itu.

Di akhir makan malam, Mai ditelepon ibunya. Kirain bakal disuruh pulang, tapi ternyata tidak! Ibunya Mai sekarang ada di sebuah KTV bersama teman-temannya dan mengajak kami untuk gabung. Oooooww...Marilah kalau begitu!

Orang Kamboja biasanya paling senang berkumpul di KTV sambil minum bir atau makan bersama keluarga atau teman-temannya. Berbeda sekali dengan kita yang suka nongkrong-nongkrong di mall sekalian nonton atau makan di kafe. Di Phnom Penh sendiri justru kafe kurang laku. Kafe fungsinya cuma tempat makan, CUMA tempat makan ya.

Jam 11 malam, empat anak perempuan masih kelayapan di luar. Nongkrong di KTV pula! Oh tunggu dulu, ternyata KTV ini tidak seseram yang saya kira. Selain ada live music, tempatnya juga lumayan asik. Si pelayan yang kebanyakan Mbak-mbak ini juga sibuk bolak-balik mengecek tiap meja untuk menambahkan bir atau es batu ke dalam gelas. Saya tidak berhenti bolak-balik toilet gara-gara kebanyakan meneguk kola.

Ibunya Mai ini ternyata orang yang ramah dan asik sekali diajak mengobrol. Sayangnya saya tidak terlalu asik mengobrol dengan beliau karena bangku yang agak jauh. Ibu Mai kebetulan membawa tiga orang temannya yang sebenarnya sudah om-om semua sih. Ada satu om-om berperawakan kurus tinggi yang super lucu. Bahasa Inggrisnya parah sekali tapi kerennya dia tetap usaha mengobrol dengan kami. Pakai acara menunjukkan trik sulap segala. Gokil! Walaupun kebanyakan nge-blank-nya, tapi kami hargai usaha dia untuk bersikap terbuka dengan orang asing.

Disela-sela obrolan, si om kurus yang namanya juga saya lupakan itu naik ke atas panggung dan mulai sing songs. Asli roaming, lagu yang dia nyanyikan belum pernah masuk playlist saya. Lalu beberapa saat kemudian tiba giliran saya dan Mbak Lia menyumbangkan sebuah lagu berbahasa Inggris, Home - Michael Buble. Bukan karena cocok dengan suasana traveling sih, tapi nyatanya di buku lagu cuma itu yang kami hapal melodinya. Terharunya lagi, rombongan tamu di meja depan yang semuanya cowok-cowok ikutan nyanyi dan berdiri sambil cheers gelas bir mereka saat lirik "Let me go hoooooommeeeeee...."

Ohh so candy....!

Tuesday, June 9, 2020

Tips Mabuk Servis di Phnom Penh (4)|Fashion Style

Pagi-pagi kami seperti dikejar anjing dan mesti buru-buru gara-gara salah jadwal. Karena kelelahan semalam, kami sampai bangun kesiangan. Jam 7 pagi ponsel Dwi sudah berdering karena panggilan Mai. Masih dengan mata tertutup dan setengah sadar, saya mendengar, "Yes, what? Okay. Eleven? Okay." Klik.

Kembali hening....

Sialnya beberapa menit kemudian kami bertiga bangun layaknya zombie, langsung berebutan masuk kamar mandi dan Dwi buru-buru nampol bedak kesana-kemari. "Duuh..Kirain jam 11, jadinya aku tidur lagi. Eh ini dia barusan nelepon katanya jam 7. SEVEN jadinya bukan ELEVEN," kata Dwi. Parahnya lagi saat Mai nelepon, ternyata dia sudah di lobi. Aaarrghh..

"I'm sorry, Mai, we're late," akhirnya saya dan Mbak Lia yang datang 30 menit kemudian jadi tidak keenakan dengan Mai. Hari ini Mai bilang kalau dia sedang tidak sehat tapi karena sudah janji ingin mengantar kami keliling Phnom Penh akhirnya dia malah yang tidak enak kalau sampai telat. Lho, Mai...

Saat itu Mai tidak sendiri, tapi ditemani adik pacarnya yang masih berumur 19 tahun. Saya lupa nih siapa nama adik itu. Iiisshh.. Dari hostel, kami menjemput Dina dulu di rumahnya. Karena semalam tidak bisa ikut gabung, akhirnya dia ingin join hari ini. Seperti biasa, lagi-lagi kami diservis dengan sangat memuaskan! Selain (lagi-lagi) ditraktir sarapan, kami diajak keliling Phnom Penh sekalian foto-foto. Mai bilang, kalau kami tinggal lebih lama di Phnom Penh dia akan mengajak kami ke Sihanouk.

"How long that place from Phnom Penh?" tanya Dwi.

"It's about 4 hours from here," jawab Mai.

"How to go to there?" tanya saya.

"By car."

"Who's the driver then?" tanya saya lagi.

"Me. I'll take you there and we'll play in the sea or BBQ-ing."

Ohhh...Mai sudah kelewatan baik nih kayaknya. Dari hari pertama sampai hari keempat kami di Phnom Penh tidak henti-hentinya dia memanjakan kami. Ya mungkin lebih tepatnya tidak berhenti mentraktir makan 3 kali sehari. Sehabis sarapan, kami diajak mengunjungi Royal Palace-nya Kamboja yang jadi salah satu landmark kota. Sayangnya saat kami kesana, Royal Palace sedang tutup dan istirahat. Yasudahlah, main-main di teras istana lumayan juga.

Karena Mai sedang ada kerjaan, jadinya dia nyuruh kami tinggal di rumah Dina dulu sampai makan siang. Dina juga tidak segan dan sepertinya dia happy sekali saat kami main di rumahnya. Di rumahnya, kami kenalan sama ibu Dina yang kata Dina, beliau salut sekali dengan kami, keliling dua negara, tanpa keluarga atau sanak saudara. Pemberani! Backpacking gitu lho...

Cuaca Phnom Penh siang itu memang sedang bersahabat sepertinya. Hujan deras mengguyur kota sepanjang siang. Dina sepertinya mengerti kalau kami kecapekan dan mempersilakan kami untuk tidur siang di kamarnya selagi menunggu Mai. Awalnya sih kami tidak mau, takut merepotkan. Tapi nyatanya, semua mendarat di kasur dengan selamat. Hahaa..

Jam three sore, saat hujan sudah reda, Dina membangunkan kami untuk cari makan siang. Apalagi nih? Perasaan kami belum terlalu lapar. Tapi Dina bilang jam makan siang sudah lewat dan dia sudah kelaparan. Baiklah.. Mari kita makan!!

Sekitar satu jam kemudian Mai datang dengan adik pacarnya ke restoran. Setelah makan siang ini mereka akan mengajak kami karaokean! Yaaayy... Dengan 2 motor, yang masing-masing dinaiki 3 orang, kami akhirnya sampai juga di sebuah tempat karaoke yang sebenarnya mirip dengan tempat karaoke di Indonesia. Tapi baru setengah jam bernyanyi, Mai dan Dina komplain ke Mbak resepsionis (tidak tahu bicara apa) lalu mengajak kami pindah lokasi. Lho?

"The place isn't really good," jawab Dina singkat saat kami tanya kenapa sampai harus pindah lokasi. Padahal menurut kami tempatnya lumayan juga sih. Tidak ada yang salah. Tapi ya mau bagaimana lagi, cuma mereka yang tahu alasannya. Hingga akhirnya mereka memilih KTV ini! Wohooo...

Sekitar 2 jam bernyanyi tidak jelas, jam 8 malam Mai ditelepon seseorang yang mengatakan kalau ibunya sekarang masuk rumah sakit gara-gara kebanyakan minum. Semalam saat di KTV ibu Mai memang tidak berhenti minum bir. Saat pulang pun saya melihat gelagatnya yang sudah seperti orang mabuk. Ternyata kami juga baru tahu ibu Mai minum bir lagi setelah pulang dari KTV itu. Oh my God! Padahal Mai bilang ingin bernyanyi bersama kami hingga tengah malam. Rencananya dia akan mengajak pacarnya bergabung.Tapi saat dihubungi, pacarnya sedang kuliah dan baru bisa gabung jam 9 malam. Bakalan semalaman suntuk di KTV pasti ceritanya nanti.

Kami akhirnya sudah kembali ke hostel jam 9 malam. Ada untungnya juga sih. Ini malam terakhir kami di Phnom Penh, artinya kami masih punya waktu untuk istirahat lebih lama dan unpacking. Tapi Dina menguntit hingga ke kamar. Awalnya dia seperti 'tidak tega' melihat kami hanya menghabiskan waktu di kamar saat malam terakhir di Phnom Penh. Kalau kami mau, sebenarnya dia akan menghubungi teman-temannya agar bisa menemani kami keliling Phnom Penh malam itu. Sungguh jamuan yang memuaskan memang. Namun sepertinya Dina mulai mabuk karena dia sampai tergeletak lama di kasur kami. Tuh kan, untuk tawaran dia kami tolak. Lha orangnya saja sudah mabuk begitu.'

"Okay, we'll be meet again at 7 AM tomorrow. Don't forget ya..!" katanya mengakhiri obrolan saat kami mengantarnya ke lift malam itu.

Tips Hari Terakhir di Phnom Penh|Fashion Style

Mai mengabari kalau pagi itu dia tidak bisa menemani kami jalan-jalan karena sakitnya kambuh. Poor Mai.

"If I could wake up from my bed, I will pick you up in the hotel at 8 AM," katanya di telepon.

Sebenarnya tidak enak juga sih, kemarin waktu menemani kami jalan-jalan sebenarnya Mai juga sedang dalam kondisi tidak sehat. Apalagi malamnya mendapati kabar ibunya masuk rumah sakit gara-gara terlalu banyak minum. Memang waktunya Mai istirahat.

"It's your last day in Cambodia. I don't want to miss our last opportunity. But I'll try my best to be stronger," katanya lagi.

Duh, beneran jadi terharu deh. Tapi akhirnya sampai jam setengah eight pagi Mai mengabari kalau dia tidak bisa menemani kami karena perutnya masih sakit.

"It's okay, Mai. You should take a rest. Thank you for a few days ago," Dwi jadi prihatin.

Dan jadilah hari terakhir di Phnom Penh diisi dengan kegiatan belanja dan kunjungan ke Tuol Sleng. Dina buru-buru minta maaf saat datang terlambat. Padahal telatnya cuma setengah jam doang. Lagian kalau dia datangnya on time terus kasihan di saya dong. Habisnya di antara teman gang, cuma saya yang bangun paling telat dan kebagian mandi paling akhir. Isshh..Curhat.

Dina beneran jadi time manager alias alarm yang baik banget buat kami. Pas ditraktir sarapan (lagi-lagi) kami selalu diingatkan untuk tidak terlalu lama menghabiskan makanan. Saat sesi jalan-jalan, dia terus-terusan mewanti-wanti kalau kami cuma waktu kurang dari dua jam buat berbelanja. Habisnya, kami harus menyisihkan waktu untuk check out dan kunjungan singkat ke Tuol Sleng. Dia tidak ingin kami terlambat sampai bandara dan ketinggalan pesawat. Uuuhh...totwit.

Jadi ceritanya, kami dibawa Dina balik lagi ke pasar sentral yang pertama kali kami datangi. Eh sebenarnya permintaan khusus dari kami juga sih. Pas kali pertama datang, saya dan Mbak Lia naksir berat dengan kain Kamboja yang warnanya cantik-cantik, jadinya sudah dijadwalkan bakal balik lagi kesini. Tapi ternyata pas balik lagi, kok tidak selera lagi ya dengan kain-kainnya? Aiihh bohong sih, sejujurnya dolar sudah mepet. Jadinya balik-balik jajan kaos sama suvenir doang. FYI, kaos-kaos Kamboja bahannya bagus-bagus banget! Sueerr... Harga per-bijinya cuma US$2 dengan bahan bagus dan motif sablon neon. Must buy deh ya kalau mampir ke pasar ini. Hohoho..

Entah mengapa saya mulai selera dengan menu makan siang kali ini. Bukan karena lagi-lagi free of charge ya, tapi jujur saja, kemarin-kemarin saya sempat dibuat eneg dengan seleranya orang Kamboja. Sialnya, setiap kali ingin pesan makanan, kami tidak pernah disuruh memilih menu sendiri. Jadi kebanyakan Dina atau Mai yang memesan. Pas makanannya datang pun, si Dina dengan 'baik hati' meracik bumbu makanan kami, baru memperbolehkan kami makan. Idihh..Sungguh tidak adil! Hehe.. Tapi rata-rata bumbu racikan Dina enak kok. *bohong*

Tahu makanan yang bikin saya selera? Kepala ikan goreng yang super crunchy! Hohoho.. Saya sampai lupa lho menawari Mbak Lia, Dwi, dan Dina saking serunya makan ikan sendirian. Eh sumpah, beberapa hari ini saya cuma disuguhkan mie, jamur, daging, ayam, atau kerang-kerangan. Bosan juga kali ah.. Makanya pas pesan menu, saya ngomong ke Dina kalau saya ingin ikan. Ikan apa saja deh. Lucky me, dibawain ikan goreng. Iya, ikan goreng doang. Rakus deh eke!

"She misses to eat fish. So, she likes fish," kata Dwi saat menyadari Dina memperhatikan saya makan ikan dengan lahapnya.

"Ohh, it's okay. Eat.. eat," kata Dina maklum sambil mengangguk-angguk.

Tapi bukan cuma saya lho yang lahap makan. Si Mbak Lia juga kok kayaknya tidak menoleh lagi ya dari mangkuk berisi ayam-mirip-soto-tapi-asam itu? Iiihhww..Ketawan! "Sambel sama kecap asinnya cocok joonn..," belanya. Dooh, alibi doang bilang aja laper.

Berikutnya adalah kunjungan ke Tuol Sleng. Dina mengingatkan lagi kami cuma punya waktu sekitar satu jam untuk keliling Tuol Sleng. Deehh...Lagian mau apa pula sih di Tuol Sleng lama-lama? Kan syerem.

Sebenarnya Tuol Sleng ini 'hanya' museum dengan bangunan yang dulunya adalah sekolah. Ta-piiiii...Museum ini adalah bangunan yang menjadi saksi bisu kekejaman Pol Pot zaman dulu. Dwi sampai mau nangis memohon untuk tidak masuk kesana. Tapi berkat 'rayuan' kami dan Dina, akhirnya dia mau juga tuh masuk ke Tuol Sleng.

Selain jadi alarm yang super on time, Dina juga berbaik hati menjadi guide kami selama di Tuol Sleng. Tuh kan, kurang servis apalagi coba kami ini? Jalan-jalan diantar pakai mobil, makan dibayarin tiga kali sehari, karaoke ditraktir, ini jadi guide gratisan pula! Padahal kalau mesti nyuruh guide menerangkan isi museum, mesti bayar lagi kan?! Lucky us! Hehe..

Jadi intinya museum ini akan menyuguhkan sejarah yang kelam bagi masyarakat Kamboja dan sungguh memilukan. Bayangkan, satu bangsa, satu tanah air, tapi nekad saling siksa. Begitu juga dengan sejarah Tuol Sleng ini, sungguh menyayat hati. Kekejaman Pol Pot ini mirip-mirip peristiwa G30S/PKI. Tapiiii..Menurut information yang saya dapat dari Dina, ternyata tentara Pol Pot ini adalah anak-anak muda yang umurnya dibawah 20 tahun! Katanya, sebelum menjadi pasukan Pol Pot, anak muda ini disuruh membunuh kedua orang tua mereka dulu. Karena, kalau mereka sudah berani membunuh orang tua sendiri, mereka tidak akan mungkin takut membunuh orang lain. Ya Tuhan, saya sampai merinding.

Ada banyak foto tentara Pol Pot dan korban-korban yang disiksa di museum ini. Sungguh memilukan, anak-anak muda yang nyatanya orang Kamboja juga nekad menyiksa hidup-hidup orang tua yang jelas-jelas satu bangsa. Saya saja sampai tidak ingin menceritakan kekejaman mereka lebih lanjut. Untungnya kunjungan kami hanya dibatasi Dina sampai jam setengah dua. Kacau juga kalau sampai sore kami disini. Habisnya Mbak Lia mengajak nonton video dokumenter yang akan ditayangkan jam 3 nanti. Gila, saya bisa-bisa tidak tidur nanti!

Saat menunggu taksi yang akan mengantar ke bandara, kami pamitan dulu dengan resepsionis hotel yang ramah sekali. Selain bahasa Inggrisnya bagus, kami juga tidak segan untuk komplain apapun dengan dia. Eh iya, saya ketemu sama cowok manis mirip Calvin Jeremy di hotel. Tumben-tumben kan nemu barang bagus di Kamboja. Bukan tamu lho, tapi bellboy-nya. Saya sih sebenarnya sudah ketemu dia dari kemarin, tapi pas mau check out kebetulan dianya stay di lobi terus. Jadinya sekalian pamitan deh. *Gak penting*

Bye bye, Phnom Penh

Well, this our last time in Cambodia. Sungguh senangnya hati ini, kemana-mana diantar, ditraktir makan pula. Enaknya ya menyombongkan pengalaman sama orang. Hahaa.. Tapi sumpah, sampai sekarang saya juga tidak menyangka bakal dapat teman yang super baik seperti mereka. Saya dan dua orang travel mate sampai sudah janjian bakal menjamu mereka dengan baik pula kalau mereka datang lagi ke Indonesia. Ngomong-ngomong, Dina lagi giat-giatnya latihan nih agar dikirim ke pertandingan petanque di Bali Oktober nanti. Semoga saja berhasil ya! Hoping you will go to your dreamland, Din!