Showing posts with label kuliah di luar negeri. Show all posts
Showing posts with label kuliah di luar negeri. Show all posts

Sunday, June 21, 2020

Tips Kuliah S2? Nanti Dulu!|Fashion Style

Saya sebenarnya salut dengan para mantan au pair Indonesia yang meneruskan kuliah di Eropa selepas masa au pair mereka berakhir. Fakta memang, bahwa au pair bisa dijadikan batu loncatan untuk tinggal di Eropa lebih lama. Antusiasme teman-teman au pair itu pun sebenarnya layak diacungi jempol karena kebanyakan dari mereka kuliah dengan uang pribadi.

Meskipun embel-embelnya kuliah di luar negeri dan memakai uang sendiri, namun jangan salah, banyak juga dari mereka yang bukanlah dari keluarga golongan kaya. Kemauan mereka yang gigih serta tekad yang kuat untuk tetap tinggal di Eropa, membuat mereka rela sekolah sekalian kerja banting tulang mencukupi kehidupan sehari-hari. Berat memang. Namun banyak juga yang beruntung mendapatkan dukungan ethical dan finansial luar biasa dari keluarga di Indonesia.

Lalu saya sendiri, apa tidak niat meneruskan kuliah Master di Eropa?

Sejujurnya, sangat niat. Dulu, sebelum kenal au pair, tinggal dan menempuh pendidikan di luar negeri adalah impian saya sejak lama. Saat masih berumur eleven tahun, saya bahkan sudah bermimpi untuk SMA ataupun kuliah di Jepang.

Setelah lulus dari Universitas Sriwijaya, saya pun kembali mencari cara bagaimana bisa keluar negeri sekalian studi. Tapi karena IPK pas-pasan dan bahasa Inggris masih berantakan, akhirnya saya batalkan rencana tersebut. Niatnya saat itu memang mencari beasiswa. Tapi sudahlah, saya tahu diri karena saingannya lebih hebat-hebat.

Pindah ke Eropa dan tinggal selama beberapa tahun, membuat saya tahu bahwa kuliah di luar negeri sangat possible meskipun IPK dan bahasa Inggris pas-pasan. Banyak kampus di Eropa yang menawarkan uang kuliah yang murah hingga gratis. Syaratnya, kita mesti ikut kelas berbahasa lokal seperti yang ada di Belgia, Belanda, Prancis, Jerman, ataupun Finlandia.

Banyak teman-teman au pair yang malas pulang ke Indonesia, akhirnya lanjut kuliah di Eropa karena memang kesempatannya sangat terbuka dan ada. Lalu, apakah saya tidak tergiur untuk kuliah juga dan stay di Eropa lebih lama?

Sayangnya, tidak. Ada beberapa alasan yang akhirnya membuat saya mengurungkan dulu niat melanjutkan Master meskipun kesempatannya terlihat ada.

1. Kuliah itu melelahkan

Saya tidak pernah bosan belajar, bahkan selalu terbuka dengan ilmu-ilmu baru. Tapi saya sempat mengalami naik turun saat S1 dulu karena salah jurusan. Kuliah itu full teori. Belum lagi S2, semakin mendalami teori. Kalau harus melanjutkan kuliah hanya karena ingin tinggal di Eropa lebih lama, saya rasa akan buang-buang waktu saja. Kecuali saya kuliah untuk mendalami bidang tertentu yang berhubungan dengan profesi, why not?

Lagipula, bukankah tujuan akhir dari kuliah itu juga ujung-ujungnya mencari pekerjaan? Enak, kalau dia kuliah memang ingin mendalami bidang tertentu yang menunjang profesi yang sudah dimiliki atau akan dimilikinya. Just go for it!Lha, kalau masih meraba-raba seperti saya?

Saat berkencan dengan Bunny , seorang cowok Denmark, saya ada di posisi ketika dia sedang sibuk mengerjakan tesis. Selesai tesis, doi pun harus berada lagi di masa-masa mencari pekerjaan, membuat cv dan cover letter yang berbeda, mencari lowongan, lalu mengirimkan surat lamaran. "That's the most boring process!" katanya.

Belum lagi persiapan wawancara, ditolak sana-sini, hingga akhirnya tetap terus berusaha mencari. Doi sudah dapat pekerjaan sekarang, meskipun bukan pekerjaan yang sesungguhnya dia harapkan.

Jadi intinya, kuliah itu capek. Belum lagi lulusnya, masih stres harus cepat dapat pekerjaan.

2. Saya sudah berniat independen

Ibu saya sebenarnya sudah berniat menyekolahkan saya lagi sampai S2 di Indonesia. Namun saya katakan tidak. Bagi saya, kewajiban beliau menyekolahkan cukuplah hanya sampai S1 saja. Terima kasih banyak. Terlalu banyak beban yang beliau sudah tanggung di rumah. Saya ini belum bisa menghasilkan apa-apa, masa iya ingin minta duit disekolahkan lagi.

Makanya saat wisuda S1, saya katakan ke ibu, kalaupun harus lanjut S2 lagi, saya tidak ingin pakai uang sendiri atau merepotkan orang lain. Setidaknya harus beasiswa, agar saya bisa fokus belajar tanpa stres mencari uang kesana kemari. Sudah tidak fokus, kecapekan, yang ada belajar tidak maksimal. Belajar itu tidak mudah dan fokusnya bukan foremost, lho.

Three. Tujuan S2 itu untuk apa?

Jujur, kalau saya S2 hanya untuk menambahkan gelar atau takut pengangguran, saya tidak usah capek-capek mengejar gelar tersebut. Bagi saya, kuliah S2 akan dirasa penting jika memang profesi impian membutuhkan ilmu yang tinggi, contohnya menjadi dosen ataupun hakim. Lagipula, kebanyakan tempat kerja sebenarnya lebih mempedulikan pengalaman kerja ketimbang titel yang sudah disahkan di selembar kertas.

Banyak juga teman-teman saya yang dapat posisi bagus di Google, Momondo, ataupun Bjarke Ingels Group (BIG) karena pengalaman kerja mereka yang oke. Kebanyakan dari mereka juga hanya sekolah hingga S1 saja.

Di Eropa, banyak juga lapangan pekerjaan yang mencari orang-orang dengan skill dan pengalaman kerja tinggi tanpa harus memenuhi kualifikasi Master dulu. Anak-anak muda di Denmark pun baru mulai kuliah S1 saat mereka berumur 25 atau 27 tahun, tapi hebatnya sudah pernah magang dan kerja dimana-mana selepas SMA.

Lagi-lagi, saya belum melihat apa guna tujuan melanjutkan S2 untuk saya ke depannya.

Four. Pendidikan yang tinggi akan membuka banyak kesempatan pekerjaan

Tentu saja! Tapi tunggu dulu, di Indonesia itu ada banyak sekali lulusan S2, apalagi di luar negeri. Teman saya, Ieva, sudah hampir 9 tahun tinggal di Denmark lalu menyelesaikan kuliahnya hingga S2. Karena jurusannya terlalu mainstream, Internasional Business, jadi doski pun mesti saingan dengan para orang lokal ataupun orang asing pencari kerja lainnya. Padahal doski lancar bicara 3 bahasa asing, lho. Sempat stres tidak kunjung dapat pekerjaan yang oke, akhirnya Ieva memilih pulang ke negara asalnya di Latvia.

Semakin tinggi gelar, biasanya akan tinggi juga ekspektasi terhadap posisi dan gaji. Boleh memang. Tapi kalau cuma lulus saja sih gampang. Yang sulit itu, bagaimana menjadi lulusan S2 yang berkompeten, pandai dan cerdik menghadapi pasar, lalu bisa menyumbangkan ide dan kontribusinya ke tempat kerja.

5. Mending jadi pelajar ketimbang au pair

Oke, jadi pelajar di Eropa statusnya jelas, "pelajar". Bisa dapat diskon pelajar kemana-mana. Kalau ditanya sedang apa di Eropa, jawabnya enak dan dipandang keren, "sedang studi". Ruang lingkup pertemanan pun luas dan intelektual. Meskipun harus dikejar deadline tugas dan ujian, namun student life sebenarnya sangat "aman" dan seru. Menjadi pelajar di Eropa juga membuka kemungkinan jika setelahnya lulus, bisa bekerja disana atau negara maju lainnya. Meskipun sih, peluang ini juga tidak besar.

Tapi bagi saya, tidak ada yang salah juga dengan rencana orang untuk memutuskan jadi au pair. Au pair itu santai. Makan dan tempat tinggal gratis. Hari libur dan waktu senggang banyak. Dikejar deadline? No. Uang saku, tiap bulan dikasih. Sekolah, tetap. Au pair juga punya ujian, tugas, dan ruang lingkup pertemanan di sekolah dan komunitas—bagi yang berjiwa sosial. Au pair pun memiliki kesempatan saat free time untuk travelling, bersosial, ataupun sekedar leye-leye sehabis mengurus rumah. Tetap seru juga kan?

Saya sebenarnya sudah pernah mencoba mengirimkan berkas beasiswa ke salah satu kampus di Cina jurusan Media & Komunikasi—bukan Eropa malah. Kuliahnya hanya satu tahun, berbahasa Inggris, kampus internasional, dan lokasinya di Suzhou. Saya diterima bersyarat, karena nilai IELTS saya belum memenuhi kualifikasi jurusan. Mereka memberikan batas waktu apakah saya ingin tes IELTS lagi atau ikut kursus intensif disana.

Semakin dipikir, dipikir, dipikir lagi, ternyata saya menemukan jawaban bahwa tujuan saya selanjutnya bukan untuk studi. Ketimbang menghabiskan waktu di bangku kuliah, saya lebih prefer mencari lapangan pekerjaan atau dream job yang sesuai passion. Saya juga percaya diri kalau sebenarnya saya mampu menemukan pekerjaan di Indonesia tanpa memiliki gelar pendidikan yang selevel S2.

Impian saya pun tidak neko-neko lagi. Tuhan sudah mengabulkan mimpi saya untuk tinggal dan belajar di luar negeri. Jadi, kalau memang tidak ada kesempatan tinggal lebih lama, saya tidak takut untuk pulang ke Indonesia.

Kalaupun ingin stay di Eropa lebih lama, saya tidak ingin kuliah tapi bekerja. Kalaupun harus kuliah lagi, saya sudah berniat untuk mengambil fakultas desain hanya untuk menambah ilmu saja. Eh tapi, ilmu desain juga tidak harus dipelajari lewat bangku formal. Banyak sekali desainer yang belajar otodidak lewat komputer mereka. So, memang tidak ada alasan kuat kan mengapa saya harus lanjut S2? (;

Saturday, May 30, 2020

Tips Cari Kerja di Eropa |Fashion Style

Sudah 3,5 tahun saya bekerja sebagai au pair dan tinggal di 3 negara berbeda di Eropa. Menyenangkan? Iya. Saya bisa hijrah ke luar negeri, dapat uang saku, jalan-jalan, bertemu teman internasional , dan mempelajari budaya lokal.

Tapi au pair bukanlah pekerjaan menjanjikan. Kontraknya pun hanya berkisar 12-24 bulan saja. Setelahnya, kita harus pulang ke Indonesia atau lanjut ke negara lain jika masih berniat mengasuh anak orang. Selain sifatnya antara paruh pekerja dan paruh pelajar, umur pun jadi kendala. Ya wajar, karena au pair sebetulnya bukan ajang cari uang dan jenjang karir, tapi pengalaman. Batas maksimum umum au pair hanya 30 tahun—di beberapa negara bahkan hanya sampai 26 tahun, karena memang pekerjaan ini diperuntukkan untuk anak muda.

Meskipun setelah selesai kontrak di Norwegia usia saya masih di bawah 30 tahun, namun saya enggan jadi au pair lagi di negara lain.That's enough! Lima tahun sudah,please! Kalau pun masih ingin tinggal di Eropa lebih lama, saya berharap mendapatkan pekerjaan lain dengan tingkatchallenging yang berbeda.

Banyak gadis-gadis au pair dari Filipina yang enggan kembali ke negaranya, rela lompat-lompat negara di Eropa karena melihat au pair sebagai easy market mencari uang. Tentu saja, karena urusan visanya mudah dan biayanya tidak terlalu mahal. Peluang visa dikabulkan pun hampir 100%.

Jauh sebelum kenal au pair, saya memang sudah lama ingin tinggal dan bekerja di luar negeri. Saking niatnya, saya sampai membeli buku panduan tinggal dan bekerja di beberapa negara. Banyak artikel tentang topik serupa sudah saya cari dan baca dengan seksama. Intinya, cari kerja dimana pun tidak mudah. Apalagi di Eropa, saat status kita bukanlah warga Uni Eropa.

Lalu apakah gampang mencari kerja di Eropa selepas masa au pair? Tentu saja tidak! Kalau mudah, semua au pair Filipina pasti sudah punya 10 keturunan di Eropa. Belum lagi saingan kita tidak hanya orang lokal, tapi juga warga pendatang Uni Eropa lain dengan keahlian lebih mumpuni.

Berikut gambaran bagaimana melihat celah kerja di Eropa. Harap diperhatikan ya, saya tidak memberikan info dimana dan bagaimana mendapatkan pekerjaan. Saya hanya menunjukkan peluangnya saja.

1. Be a skilled worker

Sebagai orang Indonesia yang ingin bekerja di Eropa, status kita harus legal dulu di salah satu negaranya. Untuk menjadi legal ini pun tidak mudah karena setidaknya kita sudah mengantongi satu surat sponsor atau kontrak kerja dari perusahaan. Imigrasi di banyak negara Eropa tidak akan memberikan izin tinggal bagi pendatang yang hanya akan bekerja sebagai babysitter atau tukang jaga kios rokok. Kalau itu sih, orang lokal juga bisa.

Syarat pertama untuk mendapatkan working permit, kita harus memiliki kualifikasi dulu sebagai skilled worker yang benar-benar dibutuhkan perusahaan. Entah itu insinyur, jurnalis, teknisi, pekerja di kedutaan, atau koki.

Karakteristik pekerjaan on demand pun tidak serta merta mudah didapat, apalagi kalau kita sebar cv dari Indonesia. Salah satu cara agar keahlian kita diakui oleh perusahaan asing adalah dengan bekerja di perusahaan multinasional di Indonesia. Tapi seorang yang bekerja di perusahaan multinasional juga harus pandai melihat jenjang karir secara global, karena persaingan akan sangat tinggi dan akan ada peluang pekerja dipindahkan ke berbagai negara lainnya.

2. Take a higher education

Cara terbaik bagi anak muda yang tertarik bekerja di Eropa adalah dengan menjadi pelajar di salah satu kampus di benua tersebut dulu. Dengan memahami sistem edukasi di satu negara, lulusannya diharapkan lebih cepat berintegrasi dengan budaya lokal dan working ethic selama masa magang.

Tapi tentu saja tidak semua lulusan luar negeri bisa langsung bekerja di negara dimana dia kuliah. Persaingan yang kompetitif membuat kita harus lebih cekatan dalam melihat peluang. Menurut saya, jurusan terbaik dengan market kerja yang luas sampai 10 tahun ke depan masih ditempati bidang teknik, IT, dan desain digital. Jadi kalau kamu tertarik lanjut kuliah di Eropa dan kebetulan background S1 mendukung, lanjutkan saja sekolah ke jurusan yang ada hubungannya dengan tiga sektor tersebut.

Seorang teman lulusan Literatur Universitas Indonesia, terpaksa harus kuliah S1 lagi dari awal di Belgia dan banting setir ke desain digital. Dia paham, jurusan Literaturnya tidak memiliki level karir mana pun di Belgia. So, she is totally okay to start from the scratch.

Banyak au pair Indonesia yang juga menjadikan pendidikan di Eropa sebagai batu loncatan untuk tinggal lebih lama disini. Dengan belajar langsung di negaranya, ada harapan besar akan mendapatkan karir lebih baik selepas wisuda. Apalagi kalau sudah fasih berbahasa lokal, sayang sekali jika tidak lanjut kuliah di negara setempat.

Negara dengan biaya hidup dan biaya kuliah terjangkau masih ditempati Jerman, Belgia, dan Belanda. Apalagi Jerman yang sangat welcome dengan para pendatang, memberikan banyak kesempatan bagi para lulusan kampus Jerman untuk mencari pekerjaan selesai masa studi.

3. Speak the language

Lagi-lagi, meskipun sudah kuliah di Eropa dan merasa jurusan yang diambil tepat, belum tentu peluang kerja langsung memihak ke kita. Lulusan lokal yang lebih cekatan dan paham budaya kerja, tentu saja lebih diprioritaskan. Lalu bagaimana agar peluang kita dan orang lokal setidaknya sama? Pelajari bahasa mereka!

Sejujurnya pekerjaan di sektor IT tidak mengutamakan orang-orang menguasai bahasa lokal, cukup berbahasa Inggris. Tapi, kalau bisa bahasa lokal plus lulusan dari salah satu kampus di negara tersebut, kesempatan kita lebih besar besar ketimbang dengan lulusan yang hanya bisa berbahasa Inggris. Banyak perusahaan startup menjamur di Eropa dan membutuhkan anak muda kreatif mengisi lowongan. Though, the salary won't be good in the beginning.

4. Be a 'nekad' traveller

Kalau kamu merasa punya banyak uang dan mampu surviving dari kenekadan, silakan membuat visa turis jangka panjang ke Eropa. Sampai sini, kamu bisa cari black job sebagai tukang bersih-bersih tanpa bantuan agensi. Kembali ke poin pertama, kalau kamu yakin mempunyaiskill yang akan dibutuhkan perusahaan di Eropa, jangan takut untuk sebar cv selagi singgah disini. Kedengaran sedikit impossible memang, apalagi kita tidak diperkenankan mencari pekerjaan memakai visa kunjungan wisata.

Seorang kenalan datang ke Denmark memakai visa kunjungan pacar selama 3 bulan. Alih-alih hanya kunjungan, dia mencari peruntungan untuk bekerja sebagai au pair dan langsung dapathost family kurang dari satu bulan saja. Si kenalan ini pun baru mengurus semua aplikasinya sewaktu di Kopenhagen. Dikira permohonan aplikasi akan ditolak, ternyata izin tinggal au pair-nya dikabulkan. Tricky memang!

5. Married or living together

Cara lain yang menurut saya terlalu naif. Saya mengenal beberapa cewek yang super desperate ingin tinggal di Eropa, lalu mencari cowok lokal untuk dijadikan pacar atau suami yang akan memberikan "jaminan" izin tinggal. Tentu saja tidak semua cewek Indonesia memiliki konsep mencari pasangan bule hanya untuk dapat visa dan tinggal di Eropa. Yang ingin saya katakan, dari permit tinggal bersama atau menikah ini, kita bisa sebebasnya melanglang Eropa sekalian cari kerja di negara asal si pasangan.

Pekerjaan seperti pelayan, tukang bersih-bersih, atau babysitter lepas bisa dicoba sebagai awal, kalau belum menguasai bahasa lokal. Tapi jika memang berniat mendapatkan pekerjaan lebih baik, ikuti poin nomor 2 dan 3. Study more, speak the language, and do not be a stupid Asian partner! Kalau kita memiliki keahlian yang oke, tak jarang lho, pacar atau suami bisa menawarkan kita pekerjaan di perusahaan tempat mereka bekerja.

Ada juga cewek Indonesia yang saya kenal, bekerja di butik ternama di Belanda setelah menikah dengan pasangan Belandanya. Tentu saja langkah awalnya bekerja di butik tersebut karena memang sudah legal dan memiliki izin tinggal (karena menikah). Tapi si kenalan ini juga lulusan Lasalle Singapura. So, the luck is hers.

Ngomong-ngomong, luck juga berperan penting saat mencari kerja di Eropa, lho. Teman dekat saya orang Latvia, sudah hampir 9 tahun di Denmark, dan dua gelar sarjananya didapat dari sana. Sangat fasih berbahasa Rusia, Inggris, dan Denmark. Namun apa daya, berkali-kali melamar pekerjaan, tetap saja gagal. Akhirnya teman saya kembali ke negara asalnya dan beruntungnya, mendapatkan pekerjaan di perusahaan Denmark juga.

Lucunya, teman sebangsa dia yang datang ke Denmark, hanya bermodalkan pengalaman kerja di Latvia dan basic Danish, langsung bisa dapat kerja.Well, again, luck speaks. Kadang perusahaan tidak hanya butuh skill, tapi persona. Satu lagi, networking!

Saya tentu saja berharap bisa tinggal lebih lama di Skandinavia.I am tired of being an au pair. Tapi kalau pun harus bekerja menjaga anak lagi, setidaknya dikombinasikan dengan studi lanjutan. Setelah lama tidak berpikir kritis, otak saya jadi kangen buku-buku akademis. Tapi saya juga mesti realistis, kalau memang tidak ada kesempatan, Indonesia always calls me back!

Kalian sendiri bagaimana, ada niat kah cari kerja di Eropa? Jika iya, di negara mana?How about starting from being an au pair, serius belajar bahasa, lalu lanjut sekolah?

Saturday, May 23, 2020

Tips Au Pair: Tukang Masak Keluarga|Fashion Style

Banyak teman saya yang sejak hijrah ke Eropa jadi sukahang out di dapur dan pintar memasak. Ada satu teman yang sengaja memajang banyak hasil olahannya dan memamerkan kepandaiannya memasak demi menyenangkan perut si pacar. Karena mungkin sudah banyak mendapatkan respon positif dari keluarga si pacar dan teman terdekatnya, teman saya ini langsung percaya diri membuka katering pribadi yang sudah punya laman khusus di Facebook.

Lini masa Facebook dan Twitter saya pun sering kali dipenuhi postingan teman Asia yang menunjukkan makanan hasil buatannya. Kadang sekalian kumpul-kumpul, ada saja yang dimasak. Lalu jangan lupa, difoto dulu. Saking banyaknya masakan yang sering dibuat, ada album khususnya sendiri!

Hebatnya, teman-teman ini tidak hanya masak makanan khas dari negaranya, tapi juga belajar masakan daerah lain. Dari yang coba-coba membuat pastry Prancis, tapas khas Meksiko, hingga sushi. Foto yang dibagikan pun terlihat menarik karena makanannya kelihatan enak.

Lalu, saya sendiri?

Datang ke Eropa dan selalu kangen masakan Indonesia, tidak serta merta juga membuat saya suka masak. Dari dulu, dibandingkan memasak, saya lebih suka menyulam atau menjahit baju.

Oke, sejujurnya, saya bisa masak. Sejak ayah meninggal dan sang ibu kehilangan nafsu masaknya, saya ini lah yang jadi koki keluarga. Paham masakan yang sering dimakan keluarga itu-itu saja, saya juga terbiasa hanya memasak makanan tersebut. Percuma mencoba ide-ide baru, karena tidak ada yang makan. Keluarga saya memang sedikit picky untuk urusan makanan atau cenderung ambil aman.

Jadi au pair di tahun pertama, saya disuruh masak untuk keluarga Belgia 2-3 kali seminggu. Sama seperti keluarga saya di Indonesia, anak-anak keluarga ini super picky juga soal makanan. Mereka tidak suka sayuran, tapi dipaksa orang tuanya untuk selalu menyiapkan sayuran di sisi piring. Pernah suatu kali, saya mencoba menu masakan baru, yang makan hanya orang tua mereka. Para anak ini malah menghina masakan saya dan ujung-ujungnya makan roti. Padahal menurut si orang tua, menu tersebut luar biasa enaknya.

Malas juga mendengar hinaan dan tahu anak-anak ini terbiasa makan apa yang mereka suka saja, di hari berikutnya saya hanya menghidangkan menu favorit mereka dan wortel sebagai sayuran. Selang-seling saja dari daging olahan goreng, Spaghetti Bolegnaise, lalu daging goreng lagi, Spaghetti Bolegnaise lagi. Begitu saja setiap hari. Keseringan diberi wortel terus-terusan, saya pernah ditegur karena tidak berusaha inovatif.

"Nin, we could be red if you give us carrots every day," kata si Bapak.

Didn't you believe you studied I even have attempted my fine however none of your kids devour my innovation (meals)?!

Lanjut au pair di Denmark, tahun pertama saya super sibuk. Selain mengurus rumah dan bayi, saya harus menyiapkan makan malam untuk seluruh anggota keluarga setiap hari! Saya yang memotong sayuran, saya yang masak, saya yang merapikan meja, saya juga yang membersihkan piring kotor. Lengkap! Keluarga Denmark memang luar biasa!

Di keluarga ini pengalaman masak saya pun tidak berkembang. Sering kali masakan saya (lagi-lagi) dihina duluan sebelum dimakan. Si bapak memang pintar masak dan memiliki standar yang terlalu tinggi terhadap makanan. Yang saya heran, kalau memang si bapak pintar memasak, mengapa harus saya juga yang bertugas menyiapkan makanan?

Pernah saya masak Lasagna, dinilai tidak sempurna karena terlalu kering. Sekali lagi masak mie daging, mereka tidak makan sama sekali karena rasanya aneh dan warnanya tidak menarik. Padahal saya sudah berusaha mencontek semua resep dari internet.

Saya benci sekali urusan memasak! Tugas ini tidak mudah karena saya harus berpikir keras, kira-kira menu apa yang cocok untuk dimakan segala usia. Satu lagi, anak pertama keluarga Denmark ini juga picky bukan main soal makanan. Belum lagi persoalan rasa, apakah cocok dengan lidah mereka atau tidak. Not too spicy, not too strong, not too bland, blablabla..

Sadar sepertinya selalu gagal dan habis ide, si bapak memberikan saya hadiah Natal berupa 2 buku tebal berisi resep masakan Denmark yang ternyata niat utamanya malah menyinggung.

Tapi meskipun suka menyidir, ada satu pelajaran yang saya dapat dari host dad ini, "yang paling utama itu adalah soal penyajian, terutama urusan warna. Usahakan minimal ada 2 warna segar seperti hijau dan kuning atau hijau dan merah sebagai pemikat makanan. Hijau bisa diambil dari salad segar atau brokoli dan merah bisa menggunakan cabai atau paprika."

Noted!

Tinggal dengan keluarga Norwegia  hidup saya lebih santai. Tugas memasak hanya 1-2 kali dalam sebulan. Itu juga sudah diwanti-wanti untuk masak makanan yang super sederhana saja. Host family saya ini tipe orang yang easy dan sadar kalau saya memang bukan koki handal. Masakan saya pun sering dipuji dan habis.

"This is the best chicken we have ever eaten!" kata si Bapak saat mencicipi Ayam Bakar Madu yang saya buat.

Anak mereka yang berumur 2 tahun juga bisa diajak bernegosiasi karena sudah diajari tidak pemilih dengan makanan. Jadi meskipun saya masak makanan berat-berat seperti mie atau ayam, si anak ini tetap disuruh mencicipi dan mau makan. Senangnya!

Pindah ke negara orang memang mengajarkan kemandirian. Ada yang mendadak suka dan tambah pintar memasak, tapi ada juga yang stage masaknya standar saja seperti saya. Mungkin karena sering dihina juga, makanya saya malas masak untuk orang banyak. Bukankah masakan paling enak itu sesungguhnya adalah makanan yang dibuat oleh orang lain?

Wednesday, May 20, 2020

Tips Daftar Kuliah di Kampus Oslo|Fashion Style

Setelah akhirnya mantap memiliki beberapa alasan untuk lanjut kuliah di Norwegia , saya mulai mengajukan aplikasi untuk mendaftar ke kampus disini. Karena berencana menghabiskan kontrak au pair sekalian kuliah, saya hanya bisa mendaftar ke kampus yang ada di Oslo saja. Tapi karena jadwal deadline-nya masih panjang, saya juga iseng-iseng mendaftar ke University of Bergen (UiB) di Bergen.

Di Oslo sebetulnya tidak banyak tempat yang bisa dipilih mengacu ke pendidikan terakhir saya di Indonesia. Saya kemarin mengambil software studi fisika di bawah naungan Fakultas Pendidikan. Cukup bingung juga, karena application saya ini di tengah-tengah ilmu sosial dan ilmu eksak. Di Norwegia, fakultas pendidikan masuk ke ilmu sosial. Sementara di program studi saya kemarin, lebih dari 50 persen silabusnya belajar tentang fisika murni seperti Fisika Kuantum, Kalkulus, Optik, dan lainnya.

Sejujurnya, saya sudah tidak berminat mengambil kuliah yang fokus ke fisika murni. Kalau pun mesti belajar ilmu baru, saya malah ingin sekali mengambil jurusan desain. Sayangnya, pendidikan Strata 1 saya sangat jauh dari ilmu desain dan saya tidak memiliki portofolio ataupun pengalaman bekerja di bidang ini. Ingin masuk jurusan teknik pun ilmu fisika saya dinilai belum mampu memenuhi kualifikasi karena banyak materi perkuliahan teknik yang tidak saya pelajari saat kuliah kemarin.

Tapi daripada pusing-pusing tidak jadi daftar kuliah, akhirnya saya menyerah saja dengan opsi yang ada. Lagipula daftar kuliah di Norwegia itu sangat mudah dan gratis, berbeda halnya dengan kampus-kampus di negara lain yang harus membayar 75-100 Euro per aplikasi. Jadi coba saja mendaftar karenawon't hurt you anything.

1. Pilih tempat

Kalau ditanya kampus mana yang terbaik di Norwegia, jawabannya tidak ada. Kembali ke kita ingin kuliah jurusan apa dan fokusnya kemana. Contohnya Norwegian University of Science and Technology (NTNU) di Trodheim yang diperuntukkan bagi mahasiswa yang ingin mendalami ilmu teknik secara praktek, University of Svalbard (UNIS) di utara Norwegia bagi yang tertarik belajar atau mengadakan riset tentang Kutub Utara, atau ada juga S?Mi University of Applied Science (UArctic) di Kautokeino kalau kamu ingin belajar tentang budaya dan bahasa S?Mi. Jadi sebetulnya kampus-kampus di Norwegia ini dibuat memang berdasarkan spesialisasi berdasarkan minat dan bakat.

Di Oslo sendiri ada universitas terbesar dan tertua di Norwegia, University of Oslo, yang lebih mengacu ke ilmu sosial dan humaniora. Ada juga BI Norwegian Business School untuk ilmu Ekonomi, Norwegian School of Veterinary Science yang berminat jadi dokter hewan, Norwegian Academy of Music, Oslo Metropolitan University, Norwegian School of Theology, Religion, and Society (MF), dan masih banyak yang lainnya.

Berkaca dari pendidikan terakhir, hanya ada dua tempat di Oslo yang memungkinkan bagi saya, yaitu University of Oslo (UiO) dan Oslo Metropolitan University (OsloMet).

2. Perhatikan tenggat waktu

Kampus di Norwegia memiliki deadline aplikasi yang tidak sama setiap tempatnya. Setelah memilih kampus mana yang dituju, ada baiknya langsung mengecek batas akhir pendaftaran bagi mahasiswa internasional. Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa asing yang diterima untuk mengajukan visa dan student housing sebelum datang ke Norwegia.

Di beberapa kampus lain, contohnya UiO atau UiB, membagi pendaftar menjadi 3 kategori yang masing-masing berbeda batas waktu pendaftarannya. Untuk mahasiswa internasional deadline-nya di bulan Desember atau Januari, mahasiswa EU dan Swiss awal Maret, dan mahasiswa Nordik atau penduduk Norwegia di pertengahan April. Karena saya tinggal di Norwegia dan memegang residence permit yang berlaku, maka saya masuk ke grup ketiga bersama warga negara Nordik lainnya. Pendaftaran dibuka awal Februari dan ditutup pertengahan April. Kesempatan ini tentu saja saya manfaatkan untuk tes IELTS dulu sekalian memperbaiki nilai.

Sementara di OsloMet, pendaftar asing baik yang tinggal di/ataupun luar Norwegia memiliki waktu pembukaan dan penutupan pendaftaran yang sama, yaitu Desember.

3. Cek kemampuan bahasa

Kebanyakan kampus biasanya menargetkan skor total minimum 6.5 untuk IELTS, 90 untuk TOEFL iBT, dan sixty two untuk PTE Academic. Namun application studi tertentu memerlukan skor lebih tinggi sebagai syarat administrasi, seperti Literatur Inggris atau Media dan Komunikasi. University of Bergen menetapkan overall skor IELTS minimal 6.5 namun tidak kurang dari 6.0 di setiap bagiannya. Jadi sebelum yakin mendaftar, harap perhatikan juga minimal skor seperti apa yang kampus tersebut minta.

Di UiO, skor general minimal untuk IELTS adalah 6.Five. Sementara di OsloMet skor total minimumnya 6.0. Karena masih punya sertifikat IELTS dari dua tahun lalu yang memang nilainya hanya 6.Zero, saya gunakan untuk mendaftar kesana.

Four. Pilih jurusan

Karena pilihan kampusnya hanya dua, saya pun berusaha mencocokkan saja software studi mana yang ingin diambil dan cocok dengan minat serta bakat. Pilihan program studi Master di OsloMet sedikit sekali dan yang paling relevan adalah bidang Education Development-nya. Sayangnya, software ini lebih menitikberatkan kepada pendidikan di negara berkembang di Eropa Selatan. Agak jomplang memang karena programnya lebih ke ilmu sosial, hubungan internasional, dan humaniora.

Saya juga sempat menanyakan ke bagian administrasi kampus apakah program studi saya yang kemarin cocok dengan Education Development ini. Seperti yang saya bilang di awal, karena S1 saya berada di tengah-tengah ilmu sosial dan eksak, maka si admin kampus menegaskan kalau jurusan saya tidak relevan karena fisika lebih condong ke ilmu eksak.

Tertarik juga dengan Teknik Arsitektur-nya, saya iseng-iseng lagi bertanya apakah ilmu fisika saya memenuhi kualifikasi di program ini. Lalu tentu saja ditolak kembali. Alasannya karena ilmu fisika saya bukan ilmu Fisika Teknik. Blah!

Tapi daripada tidak mendaftar sama sekali, saya masukkan saja aplikasi ke dua spesialisasi di bidang Education Development karena application studi inilah yang paling mendekati.

Untungnya pilihan software studi di UiO lebih banyak dan bervariasi, serta cocok dengan minat. Saya baca dengan sangat teliti hampir semua persyaratan administrasi di banyak program studi, lalu akhirnya mantap dengan 1 pilihan di bidang Entrepreneurship dan 2 pilihan di Ilmu Pendidikan.

Di Norwegia juga tidak semua application studi diperuntukkan bagi mahasiswa asing. Beberapa jurusan perminyakan dan teknologi hanya dikhususkan bagi mahasiswa Nordik atau Eropa yang menguasai bahasa Norwegia saja.

Five. Persiapan dokumen

Daftar kuliah di Norwegia itu mudah sekali karena prosesnya hanya masuk ke portal universitas dan melengkapi persyaratan dokumen. Dokumen yang perlu dipersiapkan juga sangat standar misalnya scanned copy paspor, ijazah dan traskrip asli beserta terjemahannya, serta sertifikat bahasa Inggris. Yang membuat saya bersyukur lagi, hampir semua kampus di Norwegia tidak memerlukan surat rekomendasi dari atasan dan dosen, karena saya sempat di-PHP dosen pembimbing saat dimintai surat ini.

Meskipun syarat dokumennya sangat standar, namun ada beberapa tambahan dokumen yang harus diperhatikan seperti:

1. Bukti finansial

2. CV

3. Motivation letter

4. Course description

5. Portofolio

Untuk dua kampus yang saya tuju untungnya tidak ada persyaratan melampirkan bukti finansial saat pendaftaran. OsloMet baru mewajibkan mahasiswa asing untuk menyerahkan bukti finansial saat sudah diterima dan sedang proses mengajukan visa. Sementara UiO dan UiB tidak mewajibkan pendaftar asing yang tinggal di Norwegia melengkapi lampiran tersebut sebagai syarat pendaftaran. Baguslah, karena sejujurnya tabungan saya belum cukup memenuhi 116.369 NOK yang diwajibkan untuk mendapatkan study permit.

Lalu untuk kelengkapan CV dan motivation letter hanya diwajibkan di beberapa program saja, terutama di program studi yang ingin saya ambil. Karena penerimaan mahasiswa menggunakan sistem ranking, penilaian terhadap motivation letter bisa dijadikan nilai tambah jika jumlah pendaftar melebihi kuota.

Untuk tambahan dokumen poin ke-four inilah yang membuat saya cukup kewalahan. Saya tadinya ingin coba-coba mengambil application Materials Science di UiO yang salah satu syaratnya adalah menyertakan silabus pembelajaran fisika saat S1. Tim komite penerimaan mahasiswa tidak bisa menilai sistem kredit dan perkuliahan mahasiswa asing hanya dengan melihat transkrip saja. Makanya silabus pembelajaran dari kuliah terdahulu harus disertakan untuk melihat apakah mata kuliah yang sudah saya ambil berkualifikasi.

Saya mencari silabus khusus Fisika di kampus saya kemarin dan yang tersedia tentu saja hanya bahasa Indonesia. Satu mata kuliah bisa sampai 4 lembar penjabaran silabusnya. Sementara mata kuliah fisika sendiri lebih dari 20 macam. Artinya mau tidak mau saya harus menerjemahkan semua isi materi tersebut ke dalam bahasa Inggris yang jumlahnya bisa lebih dari 80 lembar! Aduh, skip!

Selesai! Pengumuman diterima atau tidaknya harus menunggu sampai awal Juli, sementara kuliah akan dimulai di akhir liburan musim panas. I just hope for the best!

Saturday, May 16, 2020

Tips Pengumuman Penerimaan Mahasiswa di Norwegia|Fashion Style

Bulan Juli adalah waktu yang saya tunggu sehubungan dengan pengumuman penerimaan mahasiswa baru semester musim gugur tahun ini. Jujur saja, dari awal daftar kuliah sebetulnya ada perasaan pesimis apakah saya berhasil masuk di kampus yang saya tuju. Apalagi saya anaknya cukup tahu diri bahwa IPK pun tak sampai 3 dan nilai IELTS juga pas-pasan. Belum lagi banyak kampus di Norwegia punya passing grade yang tinggi terhadap calon mahasiswanya.

Tahun lalu, saya sempat mengobrol dengan seorang cewek Moldova yang sedikit skeptis dengan peluang saya diterima di kampus Norwegia. Saat tahu usia saya sudah late 20s, dia membuat saya down dengan isu yang katanya 50% calon mahasiswa yang diterima kuliah Master usianya masih di bawah 25.

"What?? Am I not young enough to continue my Master’s?!" tanya saya penasaran.

"Kamu tidak tahu kan kalau disini ada praktek diam-diam dari komisi penerimaan mahasiswa baru, bahwa prioritas lebih ditujukan ke calon mahasiswa di bawah 25 tahun? Lagipula orang-orang disini well-educated semua. Jadi wajar saja kalau usia 23 sudah lulus S1 lalu langsung lanjut S2," katanya.

Setelah cerita panjang lebar, ternyata si cewek Moldova ini merasa kecewa mengapa dia tidak diterima di satu pun kampus Norwegia meskipun nilainya diyakini sangat baik. Ceritanya ingin lanjut kuliah Arsitektur, sudah mendaftar ke hampir semua universitas di Norwegia, sudah legalisasi dokumen juga ke NOKUT, tapi tidak ada yang diterima. Mungkin karena kekecewaan ini, adanya pikiran negatif bahwa orang lain bisa lulus pun seperti mustahil.

Saya sempat menanyakan langsung ke pihak kampus apakah isu yang dikatakan si cewek Moldova benar, yang akhirnya dibantah oleh kampus tersebut. Selagi kita berkualifikasi, umur tak jadi masalah, apalagi untuk kuliah S2.

Ngomong-ngomong, karena hasil pengumuman sudah keluar, saya tak sabar ingin berbagi berita; baik atau buruk.FYI, saya ikut pendaftaran gelombang ketiga karena tinggal di Norwegia dan mempunyai residence permit yang masih berlaku. Untuk gelombang ketiga ini, pendaftaran dimulai dari Februari-April, lalu pengumumannya di bulan Juli. Gelombang ini juga hanya diperuntukkan bagi orang-orang Nordik serta non-Eropa yang bermukim di Norwegia. Artinya, saya berkompetisi dengan penduduk Nordik lainnya untuk mendapatakan satu kursi di kampus Norwegia.

1. Oslo Metropolitan University (OsloMet)

Untuk kampus yang ini, sebetulnya gelombang pendaftaran untuk mahasiswa asing hanya dijadwalkan dari Oktober-Desember saja. Saya juga sudah mendapatkan hasilnya awal Maret lalu. Kalau kalian sempat baca cerita saya saat mendaftar kuliah , sebetulnya tidak ada program studi di kampus ini yang cocok dengan background S1 saya. Tapi karena daftarnya juga gratis, jadinya iseng saja memasukkan aplikasi ke program yang 'mungkin' bisa dikait-kaitkan dengan pendidikan terakhir. Program studi yang dipilih adalah International Education Development dengan spesialisasi tentang Education, Culture and Sustainable Development dan Inequality, Power and Change.

Hasil: Tidak berkualifikasi - "You were lack of a relevant specialization to the programs you have applied for."

2. University of Oslo (UiO)

Karena harus lanjut au pair sampai habis kontrak tahun depan, saya memang lebih fokus memilih kampus yang ada di Oslo saja. UiO adalah kampus tertua di Norwegia yang memiliki program studi kuliah lebih variatif serta relevan dengan pendidikan saya dulu. Dari awal memang niatnya sudah ingin kuliah disini saja, sampai menghabiskan waktu 1,5 bulan untuk menulis motivation letters yang ditujukan ke tiga program yang saya pilih, yaituEntrepreneurship, Assessment and Evaluation, dan Higher Education. Dari situs resmi UiO, tertulis juga bahwa ketiga program ini persaingan jumlah peminat dan kursi yang disediakan sangat kompetitif.

Hasil: Diterima - Entrepreneurship

3. University of Bergen (UiB)

Daftar ke kampus ini sebetulnya modal iseng karena deadline pendaftarannya juga di bulan April. Program studi yang tersedia kebanyakan tentang ilmu eksak yang kajiannya lebih mendalam. Banyak program yang tidak tersedia bagi mahasiswa asing, namun hanya bagi penduduk Norwegia saja. Selain karena beberapa mata kuliah memakai bahasa lokal, beberapa kajian di program tersebut memang lebih menyesuaikan letak geografis dan SDA Norwegia sebagai lahan minyak dan tambang. Program yang saya pilih adalah Fisika dengan spesialisasi di bidang Medical Physics and Technology dan Measurement Science.

Hasil: Tidak berkualifikasi - “Your academic background was insufficient to be eligible for admission.”

Dari ketiga kampus dan program studi yang saya daftar di atas, bisa dikatakan UiO memang paling banyak peluangnya. Selain melihat dari mata kuliah yang kita ampu saat S1, ada juga syarat tambahan untuk melengkapi dokumen dengan menyertakan CV dan surat motivasi. Mungkin bisa jadi, saya diterima di UiO karena komisi penerimaan mahasiswa juga mempertimbangkan isi surat motivasi saya. Karena kalau ingin dilihat secara keseluruhan, justru pendidikan terakhir saya kemarin lebih memenuhi syarat masuk ke UiB. Nyatanya, keputusan penerimaan sekali lagi kembali ke kampus masing-masing.

Bagi kalian yang tertarik mendaftar kuliah ke Norwegia dan penasaran berapa banyak peminat dan jumlah kursi yang ditawarkan di masing-masing program, silakan buka statistik tahunannya disini (bahasa Norwegia). Kalau syarat dokumen terpenuhi, nilai mencukupi, serta pendidikan atau pengalaman kerja terakhir selaras dengan bidang yang akan kita pelajari, masuk kampus Norwegia tidaklah mustahil. Bahkan kabar yang saya dengar, sebetulnya banyak juga pendaftar yang sudah tahu dari awal tidak berkualifikasi, tapi nekad mendaftar. Tipe pendaftar seperti ini sebetulnya bukan pesaing berat dan akan tersingkirkan dengan sendirinya.

Thursday, May 14, 2020

Tips Tentang Jurusan Kuliah dan Mengapa|Fashion Style

Selain berstatus sebagai au pair di Norwegia, saya baru saja tercatat sebagai mahasiswi S-2 di Universitas Oslo untuk program studi Entrepreneurship. Bagi yang terpikir dengan program studi ini, pasti mengira saya kuliah bisnis, padahal S-1 saya kemarin dari Fisika.

Di Universitas Oslo, Entrepreneurship justru bukan masuk Departemen Ekonomi dan Bisnis, melainkan Departemen Informatika, di bawah naungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Program studi ini unik karena menjembatani ilmu pengetahuan alam dan bisnis yang diharapkan mahasiswanya bisa berinovasi memulai dan mengembangkanstartup baru yang berhubungan dengan sains dan teknologi. Makanya tak heran kalau saingan masuk program ini cukup banyak karena pendaftar yang diterima mencakup semua lulusan sains, dari ilmu kedokteran sampai ilmu teknik.

Saya beruntung diterima di program studi ini karena memang sangat tertarik dengan kurikulum kuliahnya. Selain teori, mahasiswa juga diwajibkan untuk lebih banyak kerja kelompok sebagai nilai tambah dan mengikuti program magang di tahun kedua. Bagi saya yang suka kerja di dalam tim, berpikir ide baru, tertarik dengan teknologi, serta bosan dengan kuliah yang hanya bersifat teori, program ini seperti wadah yang memang saya cari. Apalagi sebetulnya saya memang sudah terpikir untuk membuka bisnis di Palembang, lama sebelum saya diterima masuk di kampus ini. Hanya saja, saya sadar bahwa bakat marketing saya sangatlah tidak bagus, mirip seperti ibu saya yang maju mundur kalau berdagang.

Melihat latar belakang keluarga saya, sebetulnya kami bukanlah keluarga pebisnis. Dari semua anggota keluarga, hanya saya yang sampai kuliah masuk ke jurusan IPA. Semua saudara saya mengambil jurusan Hukum dengan niat mengikuti jejak mendiang ayah sebagai praktisi hukum. Hingga akhirnya adik saya mendapatkan beasiswa ke Cina dan pindah ke jurusan Hotel Management.

Darah pedagang sebetulnya datang dari keluarga ibu. Sudah lama nenek dan kakek saya berurbanisasi ke Palembang, membeli tanah, membuka lahan untuk ditanami sayuran, lalu hasil panennya dititipkan ke warung-warung kecil. Karena ketertarikan dengan transaksi jual beli inilah, dari umur 11 tahun saya sudah “punya” warung sendiri yang dimodali orang tua. Barang dagangan pun hingga saat itu berubah-ubah dari jualan makanan, hiasan rambut kupu-kupu, stiker, isi kertas binder, kerajin tangan dari kain flanel yang saya buat sendiri, kosmetik, hingga baju bekas. Sayangnya, tak ada yang bertahan lama karena saya tak bisa promosi dan ogah-ogahan.

Kalau mau jujur, sebetulnya sampai sekarang saya masih bermimpi ingin masuk sekolah desain dan jadi desainer. Bakat seni ini lahirnya dari keluarga ayah saya. Sewaktu tinggal di Denmark, saya seperti menemukan tempat sempurna karena berada di surganya para desainer ternama. Tak banyak yang tahu kan kalau Denmark sangat terkenal dengan desain perabotnya yang berkarakteristik, minimalis, dan elegan serta arsitektur bangunannya yang keren? Coba google daftar karya Bjarke Ingels atau Finn Juhl! Dari sini, saya mulai sering datang ke Meetup para desainer, ikut kelas desain , dan terinspirasi belajar desain UX (User Experience) karena pekerjaan jadi desainer UX lagi hot di era digital ini. Banyak pengalaman dan motivasi yang saya dapatkan sampai terpikir untuk belajar UX secara otodidak. Sayangnya, saya bukan tipikal orang yang bisa belajar sendiri tanpa bantuan mentor dan teman sekelas. I'd lose the conservative atmosphere, makanya sampai sekarang belum berani bayar kursus online.

Pindah ke Norwegia, saya sadar betul bahwa tempat ini bukanlah lapak yang bagus bagi para desainer. Napas industri Norwegia masih dikendalikan secara penuh oleh minyak, gas bumi, dan perikanan. Tapi sejak tahun 2015, Norwegia perlahan ingin menumbuhkan citra baru sebagai negara maju yang melek teknologi dan inovasi dalam bisnis. Tak heran mengapa negara ini sangat optimis untuk menjadi pasarfintech terbesar sedunia beberapa tahun ke depan. Meskipun belum banyak perusahaan startup yang menjamur, tapi para investor semakin loyal mengucurkan dana bagi para perusahaan startup ternama untuk mengembangkan bisnisnya. Menariknya lagi, Norwegia juga terus menumbuhkan awareness terhadap kesehatan bumi untuk selalu berinovasi menelurkan produk yang ramah lingkungan.

Dari situlah makanya saya berpikir untuk mengambil program studi yang berkorelasi dengan perkembangan industri di sini. Dulu saya sempat disarankan oleh seorang cewek Moldova untuk jauh-jauh dari program studi ini karena lulusannya sudah membludak. "Too many people took Entrepeneurship program sampai tidak ada lapak pekerjaannya," katanya. I was just like, "seriously?!" Ngomong-ngomong, cewek Moldova ini juga yang dulunya sedikit skeptis dengan peluang saya diterima di kampus Norwegia .

Padahal untuk diterima kuliah Master di program ini pendaftar harus menyertakan CV dan surat motivasi sebagai syarat tambahan. Saya yang 5 tahun absen dari Indonesia dan hanya "bekerja" sebagai au pair di Eropa, dibuat bingung apa yang harus ditulis. What have I done?! Belum lagi surat motivasi ini harus memaparkan prestasi dan pengalaman saya saat bekerja di dalam tim. Komisi penerimaan mahasiswa baru ingin melihat prestasi kita saat harus bekerja dengan banyak orang yang berbeda sudut pandang karena memang nantinya kita lebih banyak kerja kelompok di luar kelas.

Untungnya waktu kuliah saya aktif terlibat organisasi mahasiswa yang dilimpahkan tugas sebagai kepala divisi dan ketua penyelenggara acara. Selain itu, saya juga menjelaskan bahwa program au pair yang sedang saya jalani ini berguna sekali membuka peluang masuk ke dunia internasional—yang mana sangat dibutuhkan dalam industri bisnis. Karena kesempatan ini juga, saya bisa sekalian ikut kegiatan sukarelawan di beragam festival internasional yang diharuskan bekerja dalam tim untuk menyukseskan acara.

Dari segi akademik dan nilai, saya memang mahasiswi pas-pasan karena dulunya merasa salah jurusan. Tapi karena banyaknya kegiatan non-akademik yang saya ikuti, hal ini bisa jadi poin plus yang berguna untuk mendukung isi CV dan surat motivasi. Untuk kalian yang sekarang masih terpaku jadi mahasiswa atau au pair “biasa”, sebaiknya perbanyak pengalaman dan ilmu di luar rutinitas untuk menambah poin pengembangan diri . Karena buktinya, kampus di Eropa pun menyukai pelajar yang well-rounded tak cukup hanya dari nilai akademik.

Wednesday, May 13, 2020

Tips Anak Daerah Mustahil ke Luar Negeri|Fashion Style

Saat liburan ke Finlandia dua tahun lalu, saya bertemu abang-abang dari Jakarta yang sudah 13 tahun tinggal di Helsinki dan punya bisnis disana. Di pertemuan singkat itu juga, saya diajak mampir ke apartemennya sekalian menyapa istri dan si anak. Sebetulnya abang ini baik dan ramah, tapi mungkin pertanyaannya terkesan nosy untuk saya.

Saat tahu saya asli Palembang, si abang ini menanyakan ulang keabsahan tempat asal saya.

?Serius Palembang? Palembang mananya? Palembang kota apa luarnya?? Tanyanya.

“Palembang kota. Di kota banget.

?Ini benaran terbang langsung dari Palembang ke Eropa kemaren??

?Iya, Bang. Memang asli Palembang dan keluarga juga tinggal disana.?

?Bukan kemaren pernah sekolah di Jawa apa Jakarta begitu? Pokoknya asli Palembang?? Pertanyaannya mulai aneh.

?Iya. Saya lulusan Universitas Sriwijaya. Tak pernah tinggal di Pulau Jawa, dan habis lulus langsung berangkat ke Belgia.?

Kenapa? Apa merasa tak percaya jika anak daerah seperti saya juga bisa menjajakan kaki sampai benua Eropa?!!!

Melihat background teman-teman au pair Indonesia yang ada di Eropa, saya lalu sadar bahwa hampir semua dari mereka memang berasal dari Pulau Jawa (terutama Jakarta) atau Provinsi Bali. Saya perhatikan juga, sejarah au pair Indonesia yang bisa sampai Eropa ini memang tak 100% “berasal dari daerah”. Contohnya;

  1. Memang tinggal di sekitaran Jakarta sehingga informasi soal au pair pun lebih mudah didapat.
  2. Meskipun berasal dari luar Jawa, ada kemungkinan au pair ini pernah tinggal atau studi di Pulau Jawa atau Bali yang memang provinsinya lebih internasional.
  3. Si au pair sudah pernah ke Eropa sebelumnya.
  4. Si au pair punya keluarga yang tinggal/pernah tinggal di negara kulit putih, jadinya imajinasi tentang "luar negeri" memang begitu dekat.
  5. Au pair ini punya pacar/sedang dekat dengan cowok Eropa.
  6. Si au pair memang sudah menguasai bahasa asing yang ada di Eropa dan ikut kursus di kota dimana dia tinggal.

Jadi pola yang terlihat seperti bisa ditebak; orang Indonesia yang bisa jadi au pair (atau tinggal di luar negeri) ini hampir semuanya mempunyai benang merah dengan Eropa dan cepat mendapatkan informasidi tempat dia tinggal.

Sementara saya, anak daerah yang sama sekali tak punya benang merah dari kedua ikatan tersebut karena dari lahir sampai lulus kuliah hanya tinggal di Palembang. Tak sempat juga kursus bahasa ini itu selain bahasa Inggris karena keterbatasan biaya dan tak banyak juga tempatnya di Palembang.

Beruntung, saya memang suka riset, baca, dan googling dari dulu. Semua informasi yang saya dapat tentang ‘au pair’ atau ‘tinggal di luar negeri’ ini juga hasil riset dan bacaan mandiri. Nobody ever told me what au pair is! I don’t enjoy watching people talking (on YouTube), makanya artikel-artikel soal pengalaman orang di internet dan buku menjadi bekal pembelajaran. Karena suka juga buku-buku yang ber-setting di luar negeri, dari dulu saya selalu kalap tiap kali melihat buku travelling atau novel bersinopsis menarik yang setting-nya ada di luar Indonesia.

Percayalah, saya awal-awal jadi au pair dulu bingung setengah mati harus mulai dari mana . Tak banyak au pair Indonesia yang jadi au pair ke Belgia. Sudah membaca informasi dari situs imigrasi Belgianya pun jadi tambah bingung karena banyak hyperlink sana sini. Informasi tunggal berbahasa Indonesia yang saya dapat hanyalah dari blog Alfi Yusrina , meskipun ada beberapa cara yang berbeda dikarenakan dia tinggal di ibukota. Karena keterbatasan informasi inilah akhirnya saya konsisten terus menulis blog berisi tata cara pengurusan dokumen dengan sudut pandang anak daerah.

Saya paham mengapa informasi memang lebih cepat menyebar di Pulau Jawa dan Bali, secara pusat pemerintahan, pariwisata, dan bisnis ada di sana. Saya juga tak menyangkal bahwa daerah di luar Pulau Jawa masih dianaktirikan karena pemerintah ingin mewujudkan wajah Indonesia lewat Pulau Jawa.

Taaapiii.. sebagai anak daerah, kita juga jangan manja! Sekarang ini informasi bukan lagi harus diterima lewat radio, koran dan majalah dinding, tapi tumpah ruah di internet. Baca! Baca! Baca! Anak kampung, anak daerah, anak gunung, semuanya punya kesempatan untuk menginjak Eropa. Seperti yang saya katakan di atas, saya banyak tahu tentang proses imigrasi dan regulasi negara juga karena rajin baca dan riset kecil-kecilan. It's not hard to find sebetulnya.

Makanya, stop asking, baca dulu! Kalau hampir mati rasa dan jenuh tak juga menemukan konklusi di pencarian bahasa Indonesia, ganti dengan bahasa Inggris. Tak dapat juga, coba ganti ke bahasa lokal lalu pakai Google Translate sebagai terjemahan. Sampai akhirnya tak juga menemukan hasil, baru contact the authority atau orang yang sudah punya pengalaman sebelumnya!

Yakinlah, semua orang bisa keluar negeri, tak hanya yang tinggal di Pulau Jawa dan Bali saja! I am here because I read. I write because I also read. Jangan malas baca ya! ;)

Sunday, May 10, 2020

Tips Rasanya Jadi Mahasiswa Lagi|Fashion Style

Tapi, apakah jadi mahasiswa lagi memang seberuntung itu? Makanya kali ini saya akan cerita pengalaman rasanya bisa kuliah lagi di Norwegia setelah 5 tahun jadi au pair. Perlu dicatat juga bahwa pengalaman ini murni personal dan tidak sama bagi setiap orang. Karena sedang kuliah Master program studi Entrepreneurship di Universitas Oslo (UiO), maka isi konten tidak berlaku bagi semua jurusan dan kampus yang ada di Norwegia.

So, bagaimana rasanya jadi mahasiswa lagi?

1. Trust me, it's hard!

Bayangkan, sehabis lulus kuliah S-1 saya langsung hijrah ke Eropa jadi au pair sampai five tahun lamanya. Tak ada pengalaman profesional lainnya, karena kehidupan saya sixty five% hanya jaga anak dan bersih-bersih rumah, lalu sisanya jalan-jalan, belajar bahasa asing, dan buang-buang uang di kafe. Tak pernah menyangka juga akan selama itu karena tadinya hanya berharap maksimal 2-3 tahun saja jadi au pair di Eropa.

Lalu setelah 5 tahun bosan dengan rutinitas kaku seperti ini, saya akhirnya mencoba mendaftarkan diri ke kampus di Norwegia dengan harapan siapa tahu bisa lanjut kuliah . Now I am living my dream! Diterima di Universitas Oslo , lalu meneruskan hidup di Norwegia selama 2 tahun ke depan menjadi mahasiswa S-2. Bahagia memang, namun faktanya, tantangan baru dimulai di hidup saya. Dari yang tadinya banyak waktu luang dan sering leha-leha di kamar, lalu bertransisi jadi mahasiswa yang datang ke kampus setiap hari itu, ternyata bukan perkara yang mudah.

Apalagi program studi yang saya pilih ini , Entrepreneurship, tidak ada hubungannya sama sekali dengan passion dan pengalaman  kerja atau pendidikan saya dulu. Otak saya seperti diajak berpikir dua kali lebih cepat untuk menyerap informasi dari penjelasan profesor di kelas. Lalu di sinilah saya mengerti mengapa sertifikat bahasa Inggris di level minimalupper-intermediate itu sangat diperlukan jika ingin kuliah di luar negeri. Ada yang namanya scanning teks, listening untuk menyerap dan mengerti pesan yang disampaikan, presentasi dan juga paraphrase kalimat yang sering kali dibutuhkan saat ujian tertulis.

Kalau ingin berkaca dari pengalaman kerja dan kuliah terdahulu, saya selalu merasa bahwa tahun pertama itu akan menjadi tahun terberat. Mulai dari adaptasi yang tak mudah, mengenal sistem kampus yang tak sama dengan kampus di Indonesia, hingga kadang ingin menyerah saja karena mungkin salah tujuan. Saran dari saya, kalau memang kamu sudah ada niat dan proyeksi melanjutkan sekolah di luar negeri setelah selesai au pair , jangan ditunda terlalu lama. Setahun dua tahun selesai, lanjut saja jika memang tak ada masalah lagi dari sisi waktu dan finansial.

2. Lebih produktif

Mungkin lebih tepatnya, less bored. Jadwal kuliah saya semester ini sebetulnya lebih mirip datang ke sekolah bahasa karena durasinya tidak lama, tapi nyaris setiap hari! Mulai dari jam 9.15 pagi sampai 12 siang, kecuali satu mata kuliah tambahan selesai sampai jam 4 sore. Sehabis kuliah di kelas, saya kadang harus stay dulu di kampus sekitar 2-3 jaman untuk mengerjakan tugas kelompok yang setiap minggu selalu menunggu deadline. Pulangnya, harus kembali kerja jadi au pair seperti biasa sampai host kids tertidur. Lalu, tetap harus kembali ke laptop demi menyelesaikan tugas kelompok ataupun belajar bahasa Norwegia otodidak lewat internet.

Untuk program studi saya ini, syarat lulus mata kuliah harus memenuhi absensi 80%. Yang artinya, satu mata kuliah hanya bisa bolos 2-3 kali saja. Kalau memang sakit, harus menyertakan surat pengantar dari dokter untuk dilaporkan ke pihak administrasi. Karena mata kuliahnya juga saling berkaitan, bolos satu mata kuliah bisa berakibat pada komitmen group work. Anggota lainnya harus mengerjakan tugas tambahan yang tak dimengerti satu orang yang absen tersebut.Stressed-detected, karena saya pikir kuliah Master itu banyak longgarnya dan sebebasnya datang-absen ke kelas!

Yang pasti, jadi mahasiswa lagi itu penuh tantangan karena tugas dan kewajibannya lebih banyak! Kuliah S-2 saya ini juga tak terlalu banyak teori karena memang kuliahnya sangat hands-on. Tugas per tugas langsung diarahkan untuk menganalisasi pasar bisnis lokal yang sering dilakukan investor atau para konsultan di dunia nyata. Tapi karena kasus bisnisnya lebih berfokus ke pasar Norwegia, mempunyai kemampuan bahasa Norwegia di level dasar akan menjadi poin plus.

Three. Pindah jurusan?

Kelas saya hanya berisi 14 orang yang 70% mahasiswanya berasal dari Asia. Dilihat dari latar belakang mereka, teman-teman sekelas saya ini kebanyakan sudah pernah S-2 sebelumnya di Norwegia, punya pengalaman kerja profesional bertahun-tahun, hingga ada yang sedang menyelesaikan post-doctoral di kampus yang sama. Artinya, mereka adalah orang-orang yang memang highly educated dengan latar belakang ilmu sains.

Belajar dikelilingi oleh orang-orang berpendidikan tinggi dengan setting luar negeri seperti ini, tentu saja menumbuhkan motivasi saya. Apalagi dari mereka juga saya banyak mendapatkan insights bagaimana berkuliah di Norwegia dan memenangkan job market di sini. Tapi lagi-lagi, tahun pertama itu adalah tahun paling berat yang selalu saya alami, baik di pekerjaan atau pendidikan. Saya selalu memikirkan proyeksi karir ke depannya akan seperti apa. Yakinkah akan belajar program studi ini sampai akhir, mengingat di awal-awal semester juga saya banyak lost-nya. Belum lagi job market di Norwegia ini sepertinya lebih terbuka lebar bagi para tech savvy.

Saat tugas kelompok pun, saya lebih tertarik mengerjakan slides untuk presentasi dan membuat prototype Business Model. Mengapa, karena bisa bermain dengan warna, desain, dan bentuk. Teman-teman sekelompok juga mengamini bahwa saya sepertinya salah masuk jurusan, karena lebih punya kemampuan sebagai desainer grafis. Saya memang harusnya lebih banyak belajar soal Finance atau Business Evaluation, tapi karena bidang ini sangat baru, cara saya belajar pun sedikit lambat. Belakangan, sempat juga terpikir untuk mencoba daftar kuliah lagi tahun depan di bidang desain. Tapi entahlah, belajar ilmu baru seperti Entrepreneurship ini juga menarik untuk didalami sebetulnya. Let’s see, because I can’t pressure myself in the future.

Four. Hidup penuh diskon

Inilah the real perk of being a student di Eropa; dapat diskon dimana-mana! Apalagi hidup di Norwegia yang mahal ini, punya student card yang sakti bisa mengurangi ongkos di banyak hal. Contoh yang paling utama tentu saja soal diskon tiket transportasi sampai 40% dan harga makanan di kantin yang lebih murah dari harga restoran di luar. Kantin-kantin kampus ini juga memberikan diskon setengah harga saat pembelian 1 jam sebelum closing, serta gratis sepiring makanan di pembelian ke-10.

Namun meskipun menurut saya cukup murah untuk ukuran pelajar, tapi banyak orang tetap menganggap harga makanan di kantin pelajar mahal. Untuk sekilo porsi menu buffet dipatok NOK 149. Saya biasanya tidak makan sampai 1 kilo, seperempat atau setengahnya saja. Cara lainnya kalau tidak ingin keluar uang demi makan siang, bisa bawa bekal sendiri dari rumah. Tapi karena saya cukup sibuk di pagi hari, beli makanan di kantin tetap jadi opsi paling tidak seminggu sekali.

Diskon lainnya tentu saja adalah tiket masuk festival ataupun museum. Saya sebetulnya sangat suka memasukkan jadwal ke museum sebagai salah satu alternatif mengisi akhir pekan. Namun tinggal di Oslo dua tahun ke belakang membuat saya menahan diri masuk museum karena tiket masuknya mahal. Sekarang, karena punya student card, saya tidak perlu membayar harga penuh. Jadi untuk masalah diskon ini, saya menganggap status pelajar memang lebih beruntung ketimbang au pair. Tapi kadang beberapa event atau sistem transportasi masih menambahkan syarat lain, contohnya 'pelajar dengan usia di bawah 30 tahun'.

Selain diskon makan dan transportasi, mahasiswa di Norwegia juga punya akses kuliah bahasa Norwegia intensif gratis yang diselenggarakan dari kampus. Mahasiswa asing yang terdaftar di universitas Norwegia bisa memasukkan Bahasa Norwegia sebagai mata kuliah tambahan setiap semester. Belajarnya memang bisa menguras waktu, tapi karena free of charge, kesempatan ini harusnya tak boleh disia-siakan. Di luar, kursus bahasa Norwegia intensif harganya sangat mahal, sekitar NOK 12.000.

Selain itu, tiap kampus juga menyediakan program Microsoft Office gratis yang bisa diunduh lewat akun pelajar kita. Jadi kalau baru beli laptop dan belum punya Office, unduh saja gratis lewat akun kampus ketimbang repot-repot membajak. Karena ada juga iuran fotokopi di awal semester, kita bisa mengkopi dan scanning dokumen dari mesin-mesin di tiap departemen secara gratis. Tapi kalo printing lain lagi, tetap berbayar dengan harga 8 øre per lembar.

Satu lagi yang penting, kita bisa membuka akun bank bebas biaya administrasi tahunan! Hampir semua bank di Norwegia ini punya sistem yang sama; prosesnya lama dan berbiaya tahunan sekitar NOK 270-300. Lumayan juga apalagi bagi yang berpenghasilan tak seberapa seperti para pelajar. Tapi bagi yang sedang menempuh pendidikan di sini, kita bisa membuka akun khusus pelajar yang punya keuntungan bebas biaya administrasi.

Oh ya, kalau ada yang penasaran apakah kuliah Master itu perlu punya buku? Tentu saja, PERLU! Tahu sendiri kan harga buku-buku kuliah itu betapa mahalnya?! Sebagai bocoran, satu buku kuliah Finance saya dipatok dengan harga lebih dari 1,8 juta rupiah! Tak hanya bagi mahasiswa asing, bagi mahasiswa lokal pun harganya terbilang sangat mahal. Di awal semester, toko buku kampus saya penuuuh oleh banyaknya mahasiswa baru yang mengantri membeli buku pelajaran baru. Saya melihat dua orang mahasiswa yang borong buku sampai sekeranjang penuh. Tanyalah harganya, meskipun sudah pakai student discount tetap saja bisa lebih dari belasan juta jika dikonversi.

Tapi untungnya, senior kampus saya berbaik hati memberikan soft copy buku dalam bentuk .pdf file. Cara ini sebetulnya termasuk 'ilegal' karena profesor saya di kampus betul-betul memaksa kami membeli buku fisik. Tapi apalah daya kantong kami tak ada yang mampu membeli semua buku yang direkomendasikan. Kalau memang terpaksa membeli buku fisik, saran lainnya bisa coba cari buku bekas di finn.no ataupun meminjam di perpustakaan yang antrian pinjamannya juga panjang.

5. No (hard) party because we are too old

Saya ingin menepis asumsi yang mengatakan bahwa pelajar di luar negeri doyan party dan hura-hura. Rata-rata yang suka party seperti ini adalah para mahasiswa yang baru memulai S-1 mereka dengan usia belasan atau awal 20-an. Untuk yang lanjut S-2, jangan harap semuanya memiliki gaya hidup yang sama. Karena jangankan party, diajak nongkrong saja banyak yang tak berminat.

Contohnya di kelas saya, semuanya sudah di atas 24 tahun, menikah dan punya anak, serta sangat serius belajar. Ketimbang party ala anak muda di diskotek, kami lebih suka datang ke pesta edukasi yang diselenggarakan oleh perusahaan, atau datang ke seminar yang selaras dengan program studi. Jadi asumsi bahwa semua pelajar luar negeri itu suka party, jelas saja salah!

Selain tak suka party, para mahasiswa S-2 ini juga bisa dibilang tak 'seasik' S-1 dulu. Saya ingat zaman kuliah S-1, saat saya betul-betul merasa menjadi bagian keluarga dengan teman sekelas. Bebas berekspresi dan saling terbuka satu sama lain. Di luar negeri, jangan harap bisa seterbuka itu meskipun dengan teman sekelas. Di kelas saya contohnya, orang-orang terlihat serius dan sangat jarang bercerita tentang masalah pribadi mereka. Bahkan untuk pertanyaan, "are you married or single?" pun dinilai terlalu personal. Makanya obrolan juga terkesan kaku dan hanya berkutat di masalah tugas dan ujian. Belum lagi beberapa kelompok orang merasa paling berkompeten dan menjadikan proses pembelajaran sebagai kompetisi mencapai nilai terbaik, bisa membuat suasana di dalam kelas layaknya olimpiade setiap hari.

Jadi kalau merasa kekurangan networking dan teman jalan, teman sekelas tak akan selalu bisa jadi prioritas di dalam daftar. Tak jarang para mahasiswa internasional lebih sering nongkrong dengan teman satu negara, cari networking lewat acara di MeetUp, ataupun sekedar cari teman kencan lewat online apps.

6. Less travelling

Ada untungnya juga jadi mahasiswa selepas kontrak au pair. Jalan-jalan yang dulunya jadi prioritas, sekarang bisa dikurangi untuk lebih fokus ke sekolah dan pekerjaan. Lima tahunan di Eropa, saya beruntung sudah menapakki lebih dari 20 negara (dengan gaji au pair!). Dulu masih enak karena hari libur bisa bernegosiasi dengan host family dan uang saku pun tiap bulan selalu muncul di rekening.

Sekarang, selain mesti berhemat, jadwal kuliah juga sangat tidak fleksibel. Di Norwegia, mahasiswa hanya mendapatkan jatah libur Natal &Tahun Baru serta Paskah, di luar hari libur publik lainnya. Tanggal-tanggal ini juga termasuk peak season yang harga tiketnya lebih mahal dari hari biasa. Satu-satunya kesempatan untuk libur lebih panjang memang harus menunggu summer lebih dahulu, dari pertengahan Juni sampai pertengahan Agustus. Kadang tak banyak juga mahasiswa yang aktif jalan-jalan karena sibuk cari summer job.

But anyway, menjauh sebentar dari kota tempat kita tinggal juga sangat perlu perlu sekurang-kurangnya setahun sekali. Yang namanya jadi pelajar, pasti ada masa pusingnya karena menumpuknya tugas kuliah dan ujian. Tapi saya selalu ingat kata-kata ibu di rumah, "Nak, sudah cukup ya jalan-jalan. Sekarang waktunya menabung dan fokus belajar, jangan keasikan jalan-jalan terus."

Paham, Mak!

Final verdict-nya, jadi mahasiswa lagi itu tidak mudah! Apalagi pengalaman profesional saya tidak banyak karena sudah terlalu lama jadi au pair. Semuanya sangat menantang karena selain program studinya sangat baru, lingkungan kampus dan teman sekelas yang sangat individual jangan sampai jadi keterbatasan dalam bergaul.

Well, that's a wrap and I really hope you enjoy this post!

Tips Au Pair di Norwegia Sekalian Kuliah S-2|Fashion Style

Di postingan sebelumnya , saya cerita bagaimana rasanya jadi mahasiswa lagi dan kuliah S-2 di kampus negeri di Norwegia. Faktanya, kuliah Master itu tidaklah sesantai yang para senior katakan! Kali ini, saya ingin menyambung cerita, bagaimana rasanya jadi au pair plus lanjut kuliah pula.

Dari banyaknya au pair yang saya kenal, saya belum pernah mendengar cerita au pair Indonesia di Eropa yang sekalian lanjut kuliah S-2. Yang lanjut kuliah setelah masa au pairnya selesai memang banyak. Bahkan karena sudah nyaman dengan keluarga tersebut, tak jarang mantan au pair ini masih tinggal dan bekerja di rumah host family. Jadi prioritasnya adalah kuliah, sekalian cari uang tambahan dari student job yang maksimalnya 15-20 jam per minggu.

Bedanya, status saya sekarang adalah au pair yang masih terikat kontrak penuh, tapi di sisa akhir kontrak memutuskan untuk lanjut kuliah di Norwegia. Prioritas saya disini tentu saja tidak hanya sekolah, tapi juga bekerja. Karena tidak ada kenalan au pair yang sekalian kuliah ini, saya tidak punya referensi soal pengalaman au pair plus kuliah full time di Eropa.

The worst component

Kalau ada yang tanya, susahkah membagi waktu antara au pair dan kuliah, sebetulnya kembali lagi ke host family masing-masing. Untuk kasus saya yang sudah 3 bulanan kuliah ini, ternyata menjalani keduanya sangat berat! Mengapa, karena ekspektasi host family saya yang masih menginginkan saya bekerja full time selama 30 jam per minggu - meskipun student job di Norwegia hanya diperbolehkan bekerja maksimal 20 jam per minggu.

Saya dan keluarga Norwegia ini tentu saja sudah duduk satu meja dan membahas masalah ini jauh sebelum saya diterima kuliah. Intinya saat itu, host family akan berusaha fleksibel dengan jadwal kuliah saya, tapi di sisi lain, saya juga tetap harus bisa sefleksibel dulu - saat belum kuliah. You have to know what is 'flexible' means in au pair term! Kata lainnya, harus siap bekerja 24/7 meskipun di suasana darurat. Poin minusnya lagi, sejak Oktober lalu, host dad saya sudah pindah duluan ke Swiss untuk merenovasi rumah baru. Working with a single mother has a big plus and minus, for sure!

Again, saya masih terikat kontrak penuh, makanya sepintar mungkin mesti mampu mengatur waktu agar semuanya bisa berjalan tanpa mengorbankan salah satunya. Pagi harus bangun dan menyiapkan sarapan sekeluarga, lalu siap-siap berangkat kuliah. Siangnya tanpa bisa nongkrong lebih lama di kampus, saya harus segera pulang dan menyelesaikan sisa tugas au pair. Imbasnya, saya sering kali kehilangan waktu bersosial dan selalu absen datang ke event seru karena waktunya overlapping dengan jadwal kerja.

Di sisi lain, saya juga harus siap-siap absen kuliah kalau ternyata salah satu anak tiba-tiba sakit atau host mom harus meeting dari pagi sampai sore. Host family saya juga sudah mewanti-wanti dari awal agar saya ikhlas absen kuliah karena saat ini memang tidak ada keluarga satu pun dari pihak ayah atau ibu yang bisa diminta tolong untuk menjaga anak di rumah.

Meskipun sadar di kontrak kerja sudah sepakat tugas saya setiap hari itu apa, tapi tetap saja ada momen yang membuat saya kesal dan lelah. Pagi-pagi, tanpa bisa leha-leha dulu di kasur dan sarapan dengan santai, saya mesti menyiapkan sarapan dan beres-beres rumah orang terlebih dahulu. Kadang kalau orang tuanya tak di rumah dan saya ditinggal sendiri dengan dua bocah, saya juga mesti bertugas layaknya orang tua mereka. Pagi-pagi selain menyiapkan sarapan, saya juga harus mengganti baju, dan mengantar mereka ke sekolah.

Bekerja dengan anak-anak tentu saja tidak mudah! Emosi dan energi saya terkuras luar biasanya, apalagi kalau anak-anak ini sulit sekali diajak kerja sama di pagi hari. Pernah suatu kali si adik popoknya mesti diganti karena poop, lalu gantian kakaknya yang ingin ditemani ke toilet untuk poop. Baru saja siap dan ingin keluar rumah, si adik poop lagi dan saya mau tidak mau harus kembali ke atas mengganti popoknya. Saat mengantar mereka ke TK, saya mengantur napas perlahan untuk menghilangkan rasa stres dan beban negatif ini. Rasanya ingin quit saat itu juga dan ganti pekerjaan lain yang tak harus dilakukan di pagi hari sebelum jadwal kuliah.

Oh well, saya juga tahu ada banyak pelajar asing yang rela bangun jam 3 fajar hanya untuk mengantarkan koran keliling rumah dengan kereta dorong. Tapi bekerja dengan benda mati tentu saja berbeda dengan bekerja dengan manusia. Working with kids has no negotiations! Mereka sakit, you have to leave an absence. They are slow, then you need to force them to move faster - yang mana buang-buang energi lebih banyak. God, I just want it to be over soon!

The high-quality element

Meskipun dirasa sangat sulit jadi au pair plus kuliah full time, tapi saya juga bersyukur sudah sampai di titik ini. Mengapa, karena jadi au pair duluan sebelum mulai kuliah di negara yang sama itu banyak juga hal positifnya.

Yang pertama, tentu saja karena kita sudah familiar dengan sistem. Lini masa Facebook saya di salah satu grup mahasiswa internasional selalu memuat status soal kebingungan mahasiswa asing yang baru saja tiba di Norwegia. Bingung soal mengurus residence permit , bingung bagaimana cara buka akun bank , bingung caranya beli tiket transportasi umum, bingung juga mengurus pajak, bahkan ada yang masih bingung menyalakan penghangat ruangan atau kompor listrik!

Sementara kita yang sudah duluan sampai ini, semua kebingungan tersebut sudah teratasi sejak awal. Ingin belanja, tinggal tap karena sudah punya kartu ATM. Ingin naik bus, tinggal pesan lewat aplikasi ponsel. Soal kompor listrik, I think all au pairs know it.

Yang kedua, tentu saja saya sudah familiar dengan kultur masyarakat setempat. Tak perlu lagi menyesuaikan diri dengan dinginnya musim dingin di Eropa Utara ataupun kaget dengan alam Norwegia yang tak ada jelek-jeleknya. Being an au pair lets us to be in the ecosystem immediately. Adaptasi jadi lebih mudah karena yang perlu saya pikirkan bukan lagi winter boots atau tempat beli sayuran murah, tapi jadwal kumpul tugas kuliah.

Yang ketiga, tentu saja soal bahasa. Bagi kalian au pair yang punya rencana lanjut kuliah di negara yang sama, saya sarankan belajar bahasa lokal semaksimal mungkin dari hari pertama kalian tiba di negara tersebut. Pick up some words and keep practicing! Hal ini tentu saja jadi nilai tambah di kehidupan sosial dan membuka lebih banyak kesempatan mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Karena menurut saya, belajar bahasa ini bisa jadi competitive advantage kita ketimbang pelajar asing lain yang baru tiba di Norwegia hanya untuk lanjut kuliah. Sebagai au pair yang diberikan kesempatan kursus bahasa - bahkan banyak yang dibayari host family, jangan sampai malas-malasan hanya karena excuse 'bahasa Inggris saja sudah cukup'.

In the end, saya sebetulnya tetap merasa bersyukur karena au pair ini bisa jadi penopang hidup saya di masa awal-awal kuliah. Saya tidak perlu lagi repot ingin tinggal dimana atau makan apa, karena sudah disediakan kamar dan makanan gratis di rumah host family. Selain itu, dari kerja jaga anak dan ini, saya juga mendapat uang saku sekitar NOK 6000 per bulan untuk membayar uang semester dan membeli tiket transportasi bulanan. Perjuangannya begitu terasa karena harus kerja demi mencukupi kehidupan hidup saat kuliah di negara orang!

Tapi sebetulnya, jadi au pair sekalian kuliah itu menyenangkan dan bisa membunuh waktu juga. Waktu saya terasa lebih cepat berlalu karena setiap hari tidak hanya memikirkan pekerjaan, tapi juga tugas kuliah yang tak ada habisnya. Waktu terasa semakin cepat berlalu, apalagi kalau sudah masuk hari Rabu. It's weekend soon, meskipun buntutnya masih ada tugas yang mesti dikumpul Seninnya.

Sekali lagi, cerita saya mungkin tak sama untuk setiap orang. Host family serta jam kerja saya juga pastinya tak berlaku bagi au pair yang lain. Yang pasti, jadi au pair plus lanjut kuliah di sisa akhir kontrak sangat doable, hanya saja mungkin lebih berat kalau kebetulan dapat host family yang tak mau rugi! Kuncinya adalah selalu komunikasi dengan host family tentang jadwal kuliah serta pandai mengatur waktu agar sebisa mungkin imbang keduanya.

Friday, May 8, 2020

Tips Exam!!|Fashion Style

Karena dari dulu saya sangat tertarik lanjut kuliah di luar negeri, rasanya begitu terinspirasi dan terhibur tiap kali membaca atau mendengar cerita orang Indonesia yang bisa lanjut kuliah di Eropa. Kali ini gantian, saya yang ingin cerita bagaimana sistem ujian di kampus saya di Universitas Oslo, setelah kemarin-kemarin lebih banyak cerita soal sistem kuliah di kelas .

Yang pasti setiap program studi dan kampus di Norwegia punya sistem yang beda-beda. Akhir tahun jadi masa paling sibuk bagi para mahasiswa karena semester musim gugur akan segera berakhir yang artinya, ujian sudah di depan mata! Perpustakaan biasanya jadi tempat nongkrong paling sering dikunjungi di kampus dan selalu penuh. Jam operasional akan ditambah menjadi setiap hari dan beberapa kantin kampus ikut buka lebih lama demi menemani masa-masa ujian para mahasiswa. Hampir semua kantin kampus juga memberikan diskon sampai 50% di minggu-minggu ujian untuk jenis makanan buffet.

Kembali ke program studi saya di Entrepreneurship & Innovation Management, dari awal semester sebetulnya saya sudah sangat disibukkan dengan banyaknya tugas kelompok.Literally, BANYAK! Di 3 mata kuliah semester ini, profesor saya sudah mulai mengadakan ujian individual bahkan dari satu bulan pertama kami belajar. Satu mata kuliah ada 3 ujian individu, ditambah tugas dan ujian kelompok. Belum lagi kami masih ada 2 mata kuliah lainnya yang sama-sama punya tugas dan ujian sendiri. Saya tak mengerti bagaimana para elit program studi ini mengatur jadwal sedemikian rupa sampai seintensif ini. Ternyata kuliah S-2 begini amat yakk!

Di sisi lain, ada mata kuliah tambahan (elective course)sebesar 10 ECTS yang menurut saya, sama sekali tak berguna. Salahnya mungkin juga ada pada saya yang salah mengambil mata kuliah. Ujiannya lisan dan bidang studinya juga sebetulnya tak terlalu saya minati, meskipun lumayan menarik; Renewable Energy & Technology System. Padahal ternyata ada beberapa mata kuliah general lain yang ujiannya dikerjakan di rumah alias home exam!

Untuk sistem nilai, di sini pakai huruf A-F atau pass/fail grading. F dinyatakan gagal dan nilai terendah untuk lulus adalah E. Pengajar di kampus ada yang memberikan nilai A, A/B, B, B/C, C, C/D, D, D/E, dan E dibandingkan berbentuk angka, meskipun hasil akhirnya hanya A-E saja. Jangan khawatir juga dapat C, karena di sini C diartikan "Good" atau sama seperti "B-" di Indonesia. Untuk dapat nilai A juga sebetulnya tak terlalu sulit asal tugas yang kita kerjakan sesempurna maunya pengajar dan ujian kompetensinya bisa dijawab dengan cukup baik. FYI, kalau memang ada niat lanjut S-3 atau sampai Ph.D, nilai jadi sangat penting.

Saya sebetulnya sudah cukup lelah dengan banyaknya tugas dan ujian yang harus dikerjakan semester ini. Dari 4 bulanan kuliah, rasanya hanya 2-3 minggu free tanpa tugas dan ujian. Namun ada baiknya, program studi ini lebih banyak menekankanhands-on experience ketimbang hanya mendengarkan teori dari dosen di kelas. Kalau memang tak terlalu baik di ujian individu, nilai kita bisa tertolong dengan nilai tugas dan ujian kelompok yang porsinya bisa sampai 60% dari total keseluruhan. Karena isi ujiannya juga tak ada di buku, kami sekelas juga tak perlu repot-repot nongkrong di perpustakaan saat masa ujian. Profesor saya cukup adil dan hanya mengambil soal-soal dari apa yang sudah diajarkan, meskipun ujiannya lebih mirip ujian anak SD yang 100% hapalan!

(Anyway, kampus di sini sangat terbuka menerima kritikan dan masukan dari para mahasiswa setelah semester berakhir untuk meningkatkan mutu program studi. Jadinya kalau memang dirasa banyak sistem yang kurang berhasil dan tak memuaskan, well, you are so welcome to file the feedback. Yes, I am ready!)

Oke, saya lelah, namun bukan berarti juga menyerah. I just wanted to brag since December is going to be the busiest month ever! Karena selain ujian dan tugas yang never ending, saya juga mesti siap-siap pindahan ke Swiss dan segera mengakhiri masa au pair ini! Tired, happy, but also a little bit of scared of what might happen next year.

Monday, May 4, 2020

Tips Membangun Perusahaan Startup di Norwegia|Fashion Style

Setelah sibuk beberapa minggu ke belakang, saya akan membuka postingan pertama di bulan Maret tentang progress perkuliahan semester ini. Kalau ada yang tanya bagaimana kehidupan akademis saya di Universitas Oslo, jawabannya sedang ups and down. Tidak seperti semester lalu yang lebih disibukkan dengan riset dan presentasi, tahun ini pengalamannya lebih hands-on karena kami betul-betul terjun ke lapangan membuat perusahaan startup.

Sebagai salah satu negara terkaya di dunia berdasarkan GDP in line with kapita, Norwegia akan menjadi tempat dimana perusahaan startup baru akan terus bermunculan. Jika kalian tinggal di sini dan punya ide bagus membuat perusahaan teknologi baru bersama tim yang berkompeten di atas rata-rata, kalian setidaknya mampu mengumpulkan 1-2M NOK (~1,five-3T Rupiah) pada fase pertama.

Ada kabar baik juga bagi para pelajar yang tertarik membangun perusahaan startup. Banyak free money berkucuran dari organisasi di Norwegia yang mau menyumbangkan banyak uang untuk mendukung ide kita menjadi real business. Meskipun saya merasa perkembangan industri startup di Norwegia belum se-booming negara tetangganya di Skandinavia, tapi ekosistem di negara ini cukup menjanjikan bagi para entrepreneur muda.

Kembali ke program studi saya, di semester ini kami sekelas yang tinggal berisikan 10 orang dibentuk menjadi 3 tim baru. Tiap tim diwajibkan mempunyai ide bisnis yang bisa diaplikasikan dalam waktu maksimal 4 bulan. Ide ini tak wajib diteruskan menjadi real business, tapi hanya sebagai latihan bagaimana membangun startup di fase awal sebelum launching produk. Meskipun, salah satu tim ada yang sangat berminat meneruskan ide mereka menjadi bisnis nyata di masa depan.

Tidak semua ide bisnis bisa berkualifikasi, lho! Akan ada 2 kali presentasi yang harus dipaparkan sebelum semua tim berkualifikasi bisa meneruskan dan menjalankan ide tersebut. Kadang ada yang harus ganti ide sampai 3 kali, ada juga cerita gagal tak berkualifikasi dari para senior hingga ending-nya magang di salah perusahaan terpilih.

Milestones dari ide bisnis juga bisa bermacam-macam. Karena hanya diberikan waktu 4 bulan atau sampai semester kedua selesai, kami boleh membuat MVP (Minimum Viable Product), fixed business model, atau beta-version product sebagai hasil akhir. Karena akan sulit sekali membuat produk nyata yang produksi dan risetnya bisa memakan waktu lama, semua tim akhirnya sepakat akan membuat produk yang termasuk dalam industri teknologi. Produk digital layaknya sebuah situs atau aplikasi ponsel dirasa lebih realistis dan achievable dalam waktu 4 bulanan.

Saya dan 2 rekan satu tim memutuskan untuk membuat situs dan aplikasi ponsel yang tujuannya memudahkan hidup para foreigners dan anak muda Oslo yang tertarik dengan harga diskonan. Sebagai negara yang harga makanannya sangat mahal, kami on going membuat platform servis yang menawarkan diskonan di beberapa restoran di Oslo bagi yang suka makan-makan tanpa takut kantong bolong.

Agar suasana semakin mirip para entrepreneur yang bekerja di kantor, kampus bekerja sama dengan salah satu ekosistem startup di Oslo Science Park, StartupLab, untuk menunjang workflow kami. Kantornya sangat modern karena bukan lagi macam bilik-bilik tertutup ala kantor model dulu, tapi open space yang memungkinkan tiap entrepreneurs bersosialisasi dengan lebih leluasa. Kami juga dibantu beberapa mentor yang kadang datang memberikan masukan bagaimana mengelola riset pasar dengan lebih baik.

Setelah terjun langsung menjadi co-founder perusahaan startup, saya banyak belajar bahwa membangun perusahaan baru itu tidak mudah dan bukan cuma soal ikut-ikutan tren. Bekerja sama dengan orang yang tak tepat akan mempengaruhi alur kerja, mood, dan perkembangan perusahaan ke depannya. Teman yang baik secara personal, belum tentu akan cocok menjadi rekan kerja yang profesional. Akan ada banyak silent treatment dalam hubungan internal sebuah tim hanya karena kami berusaha menghargai perasaan masing-masing. That's why my academic life this semester has so much ups and downs.

Ide yang baik belum tentu juga akan berkembang menjadi bisnis yang bagus. Jadi kalau kamu sekarang sedang tertarik punya perusahaan sendiri dan merasa punya ide brilian, saran saya, banyak-banyaklah riset tentang pasar yang akan kamu tuju. Banyak-banyaklah bicara dengan calon pelanggan dengan cara wawancara, survei, atau mendengar keluh kesah mereka. Riset menjadi sangat penting karena ide dan bisnis yang bagus, ketika tak ada permintaan besar yang besar, akan menjadi bisnis yang sia-sia.

Akan ada banyak operating cost yang harus kamu pikirkan sekiranya tertarik membuat produk nyata; contohnya tas, baju, atau makanan. Kalau memang sudah punya modal, why not. Tapi kalau merasa ide kita akan berjalan sangat baik di pasar yang kita tuju, sering-sering saja datang ke event startup atau kompetisi ide. Kompetisi ini hadiahnya cukup lumayan dan bisa saja jadi salah satu money resource penunjang ide bisnis kamu. Sementara event startup ini bisa jadi tempat belajar sangat baik bagi yang ingin belajar bagaimana pitching di hadapan investor, ataupun tempat mingling sekedar cari networking.

Satu hal lagi dari profesor saya di kampus, jangan angkuh dan besar kepala! Anak-anak muda yang jualan baju online, belum tentu bisa dianggap seorang wirausahawan. Jadi the true CEO dari sebuah perusahaan itu langkahnya sangat panjang dan mentality juga penentu apakah perusahaan yang kita bangun akan berkembang di masa depan. Until then, I am still learning how to be a good CEO for my next real business!