Showing posts with label kuliah di eropa. Show all posts
Showing posts with label kuliah di eropa. Show all posts

Monday, July 6, 2020

Tips Guide Untuk Para Calon Au Pair|Fashion Style

Kepada para pembaca blog saya yang tertarik menjadi au pair, terima kasih!

Karena banyaknya surel dan pertanyaan tentang au pair, saya merasa perlu membuat satu postingan lain demi menjawab rasa penasaran pembaca. Mungkin juga kalian tertarik untuk membaca hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan jadi au pair ataupun tips seputar au pair ? Atau mungkin juga merasa tertantang untuk jadi au pair di usia 20an, baca juga cerita saya disini .

Saya tidak akan membahas apa itu au pair ataupun tugas-tugasnya, karena yang membaca postingan ini saya percaya sudah berminat menjadi au pair dan minimal tahu sedikit. Meskipun sudah ada minat keluar negeri dan menjadi au pair, banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana. Ada juga pertanyaan apakah mesti pakai agen atau tidak, hingga pertanyaan soal negara mana saja yang memungkinkan peluang kerja atau kuliah setelah masa au pair selesai.

Oke, tenang! Saya mencoba menjabarkan lagi hal yang saya tahu demi menjawab rasa penasaran para calon au pair Indonesia. I hope it could help you more!

1. Kak, saya sangat tertarik jadi au pair tapi bahasa Inggris saya pas-pasan. Apakah masih bisa?

Au pair berbeda dengan program pertukaran budaya dari penyelenggara kursus bahasa Inggris di Indonesia. Meskipun kebanyakan negara di Eropa tidak mengharuskan calon au pair memenuhi syarat IELTS/TOEFL, tapi kemampuan bahasa Inggris sangat wajib dikuasai oleh calon au pair.

Tenang saja, kamu tidak harus mendapatkan nilai IELTS 7.0 dulu untuk harus bisa jadi au pair. Tapi setidaknya kuasailah bahasa Inggris aktif. Artinya, mampu berbicara dengan baik saat mengutarakan pendapat.

Kesulitan berkomunikasi karena bahasa Inggris level rendah, membuat kita juga harus ekstra keras mengerti maksudnya keluarga asuh. Banyak juga au pair yang mengalami masalah komunikasi dengan keluarga asuh karena bahasa Inggris mereka masih terbata-bata. Anyway, you need to socialize though. Bahasa apalagi yang mesti kamu gunakan kalau bukan bahasa Inggris (dan bahasa setempat)?

2. Dimana mencari keluarga asuh? Apakah ada situs terpercaya?

Mencari keluarga asuh biasanya dimulai dengan membuat profil di beberapa situs pencarian au pair. Website yang direkomendasikan:

1. Au Pair World

Website yang paling banyak direkomendasikan karena memuat banyak profil keluarga asuh dari hampir semua negara di dunia. Silakan buat profil dan pasang foto semenarik mungkin, gratis!

2. Great Au Pair

Selain pencarian au pair, situs ini juga memuat banyak profil keluarga asuh yang memerlukan au pair hingga pekerja paruh waktu.

3. Au Pair Support Belgium

Sejenis agensi au pair dari Belgia yang membantu keluarga asuh mencari au pair dari beberapa negara seleksi. Agensi ini juga yang saya pakai saat menjadi au pair di Belgia dulu. Prosesnya tanpa ribet dan gratis.

4. Energy Au Pair

Kalau memang tertarik menjadi au pair di Denmark dan Norwegia, cobalah mendaftar disini. Tapi hati-hati, karena banyaknya saingan dari Filipina, biasanya sulit juga menemukan keluarga asuh yang cocok. Profil kita kadang tenggelam oleh kandidat dari negara sepupu.

5. Scandinavian Au Pair

Meskipun labelnya Skandinavia, tapi sebenarnya mereka lebih banyak memuat profil keluarga asuh dari Swedia. You want to try?

6. Smiling Face

Agensi berbayar yang biasanya banyak dipakai oleh calon au pair Thailand dan Indonesia untuk mencari keluarga di Belanda.

7. AuPair.com

Situs pencarian au pair berikut juga bisa kamu coba kalau memang situs di atas kurang menarik. Asiknya, AuPair.com juga memberikan sertifikat setelah masa au pair berlangsung, lho!

8. Au Pair Belgium

Solusi untuk kamu yang tertarik ke Belgia dan bisa submit aplikasi dengan mudah via situs mereka. Just give it a try!

9. Double Dutch

Meskipun judulnya versi Belanda, tapi agensi ini menawarkan booklet dan pencarian keluarga ke banyak tempat. Kalau kamu tertarik ke Belgia, Belanda, Islandia, atau Prancis, sila daftar ke situs mereka. Gratis!

10. Aufini

Situs pencarian keluarga angkat berbayar jika kamu ingin menikmati semua feature-nya. Kebanyakan keluarga di Belanda atau Denmark menggunakan situs ini untuk mencari calon au pair.

11. Grup Facebook Au Pair

Beberapa au pair ada yang berhasil menemukan keluarga asuh dari postingan di grup Facebook. Keluarga ini biasanya mencari langsung kandidat via akun Facebook mereka. Tidak jarang, banyak juga au pair yang bersedia mencarikan pengganti mereka sebelum masa kontrak berakhir lewat grup au pair.

3. Sebaiknya pakai agen atau tidak ya?

Tergantung. Kalau kamu dan keluarga asuh ketemu di salah satu website non-agen, urusan kelengkapan dokumen harus diurus sendiri. Biasanya dari pihak keluarga asuh harus menanyakan urusan dokumen ke balai kota dan bagian imigrasi di negara mereka. Komunikasi pun harus lebih jelas karena tidak ada pihak ketiga yang menangani.

Kalau kamu dan keluarga asuh bertemu lewat website agensi pencarian au pair, keluarga asuh harus membayar jasa agen untuk mengurus kelengkapan dokumen. Karena ada pihak ketiga, urusan dokumen biasanya lebih mudah dan ada pihak ketiga yang menengahi bila terjadi masalah.

Meskipun keluarga asuh sudah membayar jasa agen, namun tidak semua agensi memihak ke keluarga asuh kok. Banyak juga agensi yang bersikap netral, terbuka, dan sigap menangani masalah yang menimpa au pair.

Pakai atau tidak pakai agen, urusan kelengkapan dokumen di Indonesia dan mengurus visa, masih kita juga yang turun tangan. Keluarga asuh yang mau membayar agensi biasanya hanya tidak mau direpotkan oleh banyaknya dokumen yang harus disiapkan. Baca postingan saya tentang plus minus pakai agen kalau masih bingung juga!

4. Saya sudah membuat profil dan bicara dengan banyak keluarga asuh. Tapi mengapa selalu ditolak?

Namanya juga cari kerja, pasti selain skill, juga mengandalkan peruntungan dong? Sama halnya mencari keluarga asuh. Tidak semua calon au pair yang pernah jadi au pair sebelumnya, lebih mudah mendapat keluarga. Bahkan ada juga calon au pair yang belum pernah sama sekali ke luar negeri, gampang saja dapat keluarga asuh.

Intinya, tetap sabar dan usaha. Saya sendiri harus menunggu selama 5 bulan sebelum berangkat ke Belgia. Saat jadi au pair di tahun kedua pun, harus ditolak 7 kali dulu oleh beberapa keluarga asuh, sebelum akhirnya telentang cantik di kasur keluarga Denmark ini.

Cobalah beberapa situs pencarian au pair daripada stuck hanya di satu situs. Tetap kerjakan kesibukan lain di luar masa menunggu keluarga asuh. Yang mencari au pair banyak, tapi yang ingin jadi au pair lebih banyak lagi. Tetap semangat!

5. Negara mana saja yang direkomendasikan untuk pemegang paspor Indonesia?

Oke, angan-angan ke luar negeri dengan cara menjadi au pair sudah ada di ubun-ubun, profil juga sudah dibuat, langkah selanjutnya adalah memilih negara. Karena kebingungan dan terlaluexcited, nyaris semua negara dipilih. Eiits, tunggu dulu!

Tidak semua negara memperbolehkan pemegang paspor Indonesia menjadi au pair. Ada juga negara-negara dengan regulasi tertentu yang mengharuskan calon au pair menguasai bahasa lokal hingga membatasi umur.

Di postingan sebelumnya, saya sudah merekomendasikan daftar negara yang memungkinkan serta plus minusnya bagi para calon au pair Indonesia. Kali ini, saya coba mengurutkan negara-negara dengan membandingkan proses visa, uang saku, hingga atmosfir yang cukup menjanjikan bagi au pair. You still have a choice! (*Diperbarui April 2019*)

1. Austria

Mengurus visa: Mudah

Level bahasa: Bahasa Jerman level A1.

Uang saku: €446.81

Jam kerja: Maksimum 18 jam per minggu.

Jatah libur: Biasanya au pair hanya mendapat satu hari libur per minggu danfull weekendper bulan. Au pair mendapat libur berbayar 30 hari selama setahun.

Sekolah bahasa: Biaya ditanggung setengah-setengah.

Tiket pesawat: Normalnya, dibayar setengah-setengah.

Batasan umur: 28 tahun

Masa tinggal: Maksimum 12 bulan.

Lowongan: Cukup banyak

2. Belgia

Mengurus visa: Ribet. Mesti legalisasi kesana kemari. Proses menunggu visa hanya 2 hari kerja.

Level bahasa: Tidak diperlukan.

Uang saku: €450

Jam kerja: Maksimum 20 jam per minggu.

Jatah libur: Biasanya au pair hanya mendapat satu hari libur per minggu dan full weekend per bulan. Au pair mendapat libur berbayar 14 hari selama setahun.

Sekolah bahasa: Biaya ditanggung keluarga asuh.

Tiket pesawat: Normalnya, dibayar setengah-setengah.

Batasan umur: 25 tahun

Masa tinggal: Maksimum 12 bulan.

Lowongan: Cukup banyak

3. Belanda

Mengurus visa: Sedikit ribet. Wajib pakai bantuan agensi dan legalisasi kesana kemari.

Level bahasa: Tidak diperlukan

Uang saku: €300 - €340

Jam kerja: Maksimum 30 jam per minggu atau tidak lebih dari 8 jam per hari.

Jatah libur: Tidak lebih dari 5 hari kerja atau mendapatkanfull weekend setiap minggu. Au pair mendapat libur berbayar 14 hari selama setahun.

Sekolah bahasa: Biaya ditanggung keluarga asuh.

Tiket pesawat: Biasanya keluarga asuh bersedia membayari tiket pesawat penuh.

Batasan umur: 30 tahun

Masa tinggal: Maksimum 12 bulan.

Lowongan: Banyak

4. Denmark dan Norwegia

Mengurus visa: Mudah. Proses menunggu 3-4 bulan.

Level bahasa: Tidak diperlukan.

Uang saku: Selalu naik per tahun, tapi mesti membayar pajak. Tahun 2019, uang saku di Denmark sebelum pajak 4350 DKK, sementara di Norwegia 5900 NOK (Tiap satu/dua tahun sekali, uang saku di dua negara ini selalu naik)

Jam kerja: Maksimum 30 jam per minggu.

Jatah libur: Au pair yang bekerja 5 hari per minggu mendapat jatah libur 25 hari, sementara bagi yang bekerja 6 hari per minggu mendapat jatah libur 30 hari per tahun. It's fully paid!

Sekolah bahasa: Biaya ditanggung keluarga asuh

Tiket pesawat: Ditanggung penuh keluarga asuh, kecuali Norwegia yang biasanya hanya setengah-setengah.

Batasan umur: 29 tahun

Masa tinggal: Maksimum 24 bulan.

Lowongan: Mulai sedikit dikarenakan banyak keluarga yang hanya ingin merekrut au pair yang sudah tinggal di Eropa

5. Prancis

Mengurus visa: Cukup mudah.

Level bahasa: Minimal level A1/A2

Uang saku: €270 - €321 (biasanya ada keluarga asuh yang bersedia membayar €400/bulan)

Jam kerja: Maksimum 25 jam per minggu.

Jatah libur: Sesuai kesepakatan. Biasanya au pair hanya mendapat satu hari libur per minggu danfull weekendper bulan. Au pair mendapat libur berbayar 28 hari selama setahun.

Sekolah bahasa: Ditanggung sendiri.

Tiket pesawat: Dibayar setengah-setengah.

Batasan umur: 30 tahun

Masa tinggal: Diberikan 12 bulan, tapi bisa diperpanjang sampai maksimal 24 bulan.

Lowongan: Lumayan banyak

6. Jerman

Mengurus visa: Cukup mudah.

Level bahasa: Bahasa Jerman level A1.

Uang saku: €260 - €300

Jam kerja: Maksimum 30 jam per minggu.

Jatah libur: Biasanya au pair hanya mendapat satu hari libur per minggu danfull weekendper bulan. Au pair mendapat libur berbayar 28 hari selama setahun.

Sekolah bahasa: Ditanggung keluarga asuh.

Tiket pesawat: Dibayar setengah-setengah.

Batasan umur: 26 tahun

Masa tinggal: Maksimum 12 bulan.

Lowongan: Banyak

7. Australia

Mengurus visa: Karena visa yang digunakan Working Holiday Visa, syarat yang harus dipenuhi pun banyak i.e. deposito tabungan di rekening 5000 AUD atau minimum semester 5 di bangku kuliah.

Level bahasa: Bahasa Inggris umum, minimum IELTS 4.5

Uang saku: 200-250 AUD selama 30 jam per minggu.

Jam kerja: Maksimum 40 jam per minggu.

Jatah libur: Sesuai kesepakatan. Biasanya au pair hanya mendapat satu hari libur per minggu danfull weekendper bulan. Au pair mendapat libur berbayar 28 hari selama setahun.

Sekolah bahasa: Ditanggung sendiri jika ingin mengambil kelas Bahasa Inggris.

Tiket pesawat: Ditanggung penuh sendiri, kecuali keluarga asuh bersedia membayari tiket pulang.

Batasan umur: 30 tahun

Masa tinggal: Maksimum 12 bulan.

Lowongan: Banyak

8. Luksemburg

Mengurus visa: Dokumennya mudah, tapi mesti menunggu maksimum 3 bulan

Level bahasa: Tidak diperlukan.

Uang saku: €409

Jam kerja: 25 jam per minggu.

Jatah libur: Sesuai kesepakatan. Normalnya au pair mendapatkan libur satu hari dan tiga kalioff di sore hari dalam satu minggu. Au pair mendapat libur berbayar 2 hari per bulan.

Sekolah bahasa: Biaya ditanggung keluarga asuh.

Tiket pesawat: Normalnya, dibayar setengah-setengah.

Batasan umur: 30 tahun

Masa tinggal: Maksimum 12 bulan.

Lowongan: Sangat rendah

9. Swedia

Mengurus visa: Mudah namun masa tunggu visa 3-7 bulan.

Level bahasa: Tidak diperlukan.

Uang saku: 3500 SEK (sebelum pajak)

Jam kerja: Maksimum 25 jam per minggu.

Jatah libur: Sesuai kesepakatan dengan keluarga. Biasanya au pair hanya mendapat satu hari libur per minggu danfull weekendper bulan.

Sekolah bahasa: Biaya ditanggung balai kota.

Tiket pesawat: Normalnya bayar setengah-setengah.

Batasan umur: 30 tahun

Masa tinggal: Maksimum 12 bulan. Calon au pair yang pernah menjadi au pair di negara lain akan sedikit riskan, karena kemungkinan visa-nyagrantedsemakin kecil.

Lowongan: Tidak terlalu banyak dan harus bersaing dengan kandidat Filipina.

10. Finlandia

Mengurus visa: Cukup mudah tapi waktu tunggu hingga 4 bulan

Level bahasa: Tidak diperlukan, namun mesti menunjukkan ketertarikan dengan budaya/bahasa mereka.

Uang saku: Minimum €280 (sebelum pajak)

Jam kerja: Maksimum 30 jam per minggu.

Jatah libur: Sesuai kesepakatan. Biasanya au pair hanya mendapat satu hari libur per minggu danfull weekendper bulan. Au pair mendapat libur berbayar 28 hari selama setahun.

Sekolah bahasa: Ditanggung sendiri.

Tiket pesawat: Dibayar setengah-setengah.

Batasan umur: 30 tahun

Masa tinggal: Maksimum 12 bulan. Finlandia menolak calon au pair yang pernah menjadi au pair di negara lain sebelumnya.

Lowongan: Sangat rendah

11. Islandia

Mengurus visa: Mudah

Level bahasa: Tidak diperlukan.

Uang saku: 10.000 ISK per minggu

Jam kerja: Maksimum 30 jam per minggu.

Jatah libur: Au pair mendapat libur minimum 2 hari per minggu dan libur berbayar 14  hari selama setahun.

Sekolah bahasa: Ditanggung sendiri.

Tiket pesawat: Dibayar setengah-setengah.

Batasan umur: 25 tahun

Masa tinggal: Maksimum 12 bulan

Lowongan: Sangat rendah

6. Saya mendapat banyak respon positif dari keluarga di United Kingdom, Amerika, Kanada, atau Selandia Baru. Tapi sayangnya pemegang paspor Indonesia tidak bisa jadi au pair di negara tersebut, benarkah?

Iya, benar. Sebaiknya kamu pendam saja keinginan menuju negara-negara tersebut karena pemegang paspor Indonesia memang tidak bisa menjadi au pair kesana.

Saya sempat mendengar ada au pair Indonesia yang pernah ke Amerika. Tapi tahun lalu, sepertinya kesempatan calon au pair Indonesia kesana sangat kecil. Untuk mendapatkan visa J-1, calon au pair dan keluarga asuh harus menunjuk satu agensi yang akan mengurus kelengkapan dokumen. Sayangnya, banyak agensi Amerika ini tidak memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara seleksi mereka.

Tertarik jadi au pair ke Amerika? Baca serba-serbinya di postingan saya yang ini !

Ingin juga ke Italia, Spanyol, atau Irlandia, ada kesempatannya kok! Cek postingan saya disini!

7. Saya sudah bertemu keluarga asuh yang sepertinya cocok. Hal apa saja yang harus ditanyakan?

Banyak!

Selain menanyakan tentang jadwal kerja, tugas, dan uang saku, jangan takut juga menanyakan banyak hal untuk mendapatkan kejelasan. Jangan sampai nantinya kita merasa dibohongi gara-gara segan menanyakan hal yang dianggap tidak penting, tapi sebenarnya salah kita dari awal.

Tidak perlu takut dan segan soal pertanyaan yang menyangkut uang ataupun hari libur. Kalau perlu, semua pertanyaan dan jawaban dikopi lagi dalam satu kertas sebagai "bukti" kalau nantinya ada miskomunikasi dengan keluarga asuh. Contoh pertanyaan lainnya:

Bagaimana masalah tiket pesawat, apakah kalian bersedia membayar penuh ataukah setengah-setengah?

Yang saya tahu, au pair di negara X mendapat jatah libur X hari per tahun (kalau perlu cantumkan juga website sumber), apakah kalian setuju dengan hal ini?

Di tempat kalian tinggal, berapa lama menuju stasiun atau halte terdekat? (Pertanyaan ini sangat penting karena sebagai calon au pair, kita harus tahu dimana kita tinggal . Apakah calon au pair akan merasa nyaman jika harus tinggal di pedesaan, pinggir kota, atau pusat kota?)

Apakah kalian juga membayari tiket transportasi per bulan? (Jika salah satu tugas au pair adalah antar-jemput anak menggunakan transportasi umum, biasanya keluarga asuh tidak keberatan membayari tiket bulanan. Tanyakanlah jika keluarga asuh belum membicarakan hal ini.)

Apakah kalian punya jam malam?

Adakah kemungkinan saya boleh membawa teman ke rumah dan menginap?

Apakah au pair juga libur saat Public Holiday di negara X?

Saat liburan keluarga, apakah au pair harus ikut serta? Jika ya, adakah kemungkinan au pair mendapatkan uang tambahan untuk mengurus anak?

Saya seorang umat beragama, ada masalah kah jika saya beribadah pada waktu tertentu?

Saya seorang muslim, apakah ada masalah jika saya tidak makan babi di rumah?

Apakah saya boleh meminta kontak au pair sebelumnya untuk mengobrol dan tahu lebih lanjut soal keluarga kalian?

8. Saya memiliki tekad untuk lanjut sekolah lagi selepas masa au pair. Apakah memungkinkan?

Yup!

Untuk lanjut kuliah di Eropa, biasanya kamu bisa mencari beasiswa, sponsor, ataupun dengan biaya sendiri. Banyak juga au pair yang "merayu" keluarga asuh mereka untuk dijadikan sponsor sebagai syarat administrasi kuliah.

9. Negara mana saja yang direkomendasikan untuk melanjutkan kuliah setelah jadi au pair?

Yang paling populer adalah Jerman dan Belgia. Biaya kuliah di kedua negara ini bisa sangat murah bahkan nyaris gratis kalau kita mengambil kelas bahasa lokal.  Banyak juga eks au pair yang lanjut kuliah kesini lewat bantuan sponsor dan biaya pribadi. Coba saja cari sponsor yang bersedia "menjaminkan" buku tabungannya sebagai syarat administrasi mendaftar kuliah.

Salah satu syarat administrasi kuliah di Eropa adalah mampu menyiapkan deposito kuliah sejumlah 8000€ per tahun. Uang ini tidak harus ada di rekening kita asalkan ada jaminan dari pihak sponsor; bisa keluarga asuh, keluarga kandung, ataupun perusahaan tempat kita bekerja.

Negara lainnya adalah Prancis dan Austria. Hampir sama dengan kedua negara di atas, Prancis dan Austria juga menyediakan kampus dengan biaya rendah jika kita mengambil kelas bahasa Prancis dan Jerman. Untuk masuk ke kelas bahasa lokal ini pun, level bahasa yang dibutuhkan berbeda dengan level kelas bahasa umum yang biasa au pair datangi. You need to pass the (higher) language test.

Kalau malas mengambil kelas bahasa lokal (yang murah), coba juga cek kelas berbahasa Inggris. Selain lulus syarat IELTS/TOEFL, biaya kuliah untuk kelas bahasa Inggris biasanya juga lebih mahal.

Tertarik kuliah di Eropa Utara gratis? Ayo ke Norwegia! Sampai sekarang, Norwegia masih membebaskan uang kuliah bagi mahasiswa lokal dan internasional di kelas bahasa lokal maupun bahasa Inggris. Syarat administrasi bagi mahasiswa internasional pun hampir sama dengan seperti kampus lainnya di Eropa; bukti kemampuan finansial sejumlah 103,950NOK atau 12000€ dan sertifikat kemampuan berbahasa Inggris.

Memang tidak semua kampus dan jurusan kuliah di Norwegia gratis. Beberapa jurusan kuliah, seperti kedokteran, memerlukan biaya kuliah tambahan. Mahasiswa pun biasanya harus membayar biaya administrasi kuliah sejumlah 600-800NOK per semester.

10. Adakah kesempatan mendapatkan pekerjaan setelah jadi au pair?

Tergantung. Ya dan tidak.

Pekerjaan apa dulu yang kalian cari? Tukang bersih-bersih, jurnalis, perawat, karyawan, atau apa? Jenis pekerjaan berketerampilan tinggi tentunya tidak mudah dicari. Mencari pekerjaan secara mandiri di negara orang lebih sulit ketimbang mencari di Indonesia.

Meskipun kita memiliki keterampilan yang dicari perusahaan, tapi kita juga harus bersaing dengan orang lokal dan orang asing lainnya. Menguasai bahasa lokal pun belum cukup menjamin eks au pair mendapatkan pekerjaan.

Saya sendiri belum pernah mendengar ada au pair yang langsung bekerja setelah masa kontraknya selesai. Kalau yang lanjut kuliah dan bekerja paruh waktu sih banyak.

Tapi bukan tidak mungkin lho, ya. Kalau si au pair memiliki networking yang luas dan berketerampilan, siapa tahu saja memang mendarat menjadi karyawan selepas masa kontrak berakhir.

Asalkan ada perusahaan yang mau menjamin, kita bisa mencari tempat tinggal dengan cepat, biasanya pihak balai kota akan menyetujui perpanjangan residence permit. But anyway, it's a long and hard thought.

OKAY! So, that's a wrap! Kalau calon au pair dan pembaca blog saya masih ada yang belum jelas, silakan tinggalkan komen di bawah ataupun bisa kirim surel kesini ya. Semoga membantu!

More tips:

Guide Au Pair: Mulai dari Mana?

Sunday, June 21, 2020

Tips Kuliah S2? Nanti Dulu!|Fashion Style

Saya sebenarnya salut dengan para mantan au pair Indonesia yang meneruskan kuliah di Eropa selepas masa au pair mereka berakhir. Fakta memang, bahwa au pair bisa dijadikan batu loncatan untuk tinggal di Eropa lebih lama. Antusiasme teman-teman au pair itu pun sebenarnya layak diacungi jempol karena kebanyakan dari mereka kuliah dengan uang pribadi.

Meskipun embel-embelnya kuliah di luar negeri dan memakai uang sendiri, namun jangan salah, banyak juga dari mereka yang bukanlah dari keluarga golongan kaya. Kemauan mereka yang gigih serta tekad yang kuat untuk tetap tinggal di Eropa, membuat mereka rela sekolah sekalian kerja banting tulang mencukupi kehidupan sehari-hari. Berat memang. Namun banyak juga yang beruntung mendapatkan dukungan ethical dan finansial luar biasa dari keluarga di Indonesia.

Lalu saya sendiri, apa tidak niat meneruskan kuliah Master di Eropa?

Sejujurnya, sangat niat. Dulu, sebelum kenal au pair, tinggal dan menempuh pendidikan di luar negeri adalah impian saya sejak lama. Saat masih berumur eleven tahun, saya bahkan sudah bermimpi untuk SMA ataupun kuliah di Jepang.

Setelah lulus dari Universitas Sriwijaya, saya pun kembali mencari cara bagaimana bisa keluar negeri sekalian studi. Tapi karena IPK pas-pasan dan bahasa Inggris masih berantakan, akhirnya saya batalkan rencana tersebut. Niatnya saat itu memang mencari beasiswa. Tapi sudahlah, saya tahu diri karena saingannya lebih hebat-hebat.

Pindah ke Eropa dan tinggal selama beberapa tahun, membuat saya tahu bahwa kuliah di luar negeri sangat possible meskipun IPK dan bahasa Inggris pas-pasan. Banyak kampus di Eropa yang menawarkan uang kuliah yang murah hingga gratis. Syaratnya, kita mesti ikut kelas berbahasa lokal seperti yang ada di Belgia, Belanda, Prancis, Jerman, ataupun Finlandia.

Banyak teman-teman au pair yang malas pulang ke Indonesia, akhirnya lanjut kuliah di Eropa karena memang kesempatannya sangat terbuka dan ada. Lalu, apakah saya tidak tergiur untuk kuliah juga dan stay di Eropa lebih lama?

Sayangnya, tidak. Ada beberapa alasan yang akhirnya membuat saya mengurungkan dulu niat melanjutkan Master meskipun kesempatannya terlihat ada.

1. Kuliah itu melelahkan

Saya tidak pernah bosan belajar, bahkan selalu terbuka dengan ilmu-ilmu baru. Tapi saya sempat mengalami naik turun saat S1 dulu karena salah jurusan. Kuliah itu full teori. Belum lagi S2, semakin mendalami teori. Kalau harus melanjutkan kuliah hanya karena ingin tinggal di Eropa lebih lama, saya rasa akan buang-buang waktu saja. Kecuali saya kuliah untuk mendalami bidang tertentu yang berhubungan dengan profesi, why not?

Lagipula, bukankah tujuan akhir dari kuliah itu juga ujung-ujungnya mencari pekerjaan? Enak, kalau dia kuliah memang ingin mendalami bidang tertentu yang menunjang profesi yang sudah dimiliki atau akan dimilikinya. Just go for it!Lha, kalau masih meraba-raba seperti saya?

Saat berkencan dengan Bunny , seorang cowok Denmark, saya ada di posisi ketika dia sedang sibuk mengerjakan tesis. Selesai tesis, doi pun harus berada lagi di masa-masa mencari pekerjaan, membuat cv dan cover letter yang berbeda, mencari lowongan, lalu mengirimkan surat lamaran. "That's the most boring process!" katanya.

Belum lagi persiapan wawancara, ditolak sana-sini, hingga akhirnya tetap terus berusaha mencari. Doi sudah dapat pekerjaan sekarang, meskipun bukan pekerjaan yang sesungguhnya dia harapkan.

Jadi intinya, kuliah itu capek. Belum lagi lulusnya, masih stres harus cepat dapat pekerjaan.

2. Saya sudah berniat independen

Ibu saya sebenarnya sudah berniat menyekolahkan saya lagi sampai S2 di Indonesia. Namun saya katakan tidak. Bagi saya, kewajiban beliau menyekolahkan cukuplah hanya sampai S1 saja. Terima kasih banyak. Terlalu banyak beban yang beliau sudah tanggung di rumah. Saya ini belum bisa menghasilkan apa-apa, masa iya ingin minta duit disekolahkan lagi.

Makanya saat wisuda S1, saya katakan ke ibu, kalaupun harus lanjut S2 lagi, saya tidak ingin pakai uang sendiri atau merepotkan orang lain. Setidaknya harus beasiswa, agar saya bisa fokus belajar tanpa stres mencari uang kesana kemari. Sudah tidak fokus, kecapekan, yang ada belajar tidak maksimal. Belajar itu tidak mudah dan fokusnya bukan foremost, lho.

Three. Tujuan S2 itu untuk apa?

Jujur, kalau saya S2 hanya untuk menambahkan gelar atau takut pengangguran, saya tidak usah capek-capek mengejar gelar tersebut. Bagi saya, kuliah S2 akan dirasa penting jika memang profesi impian membutuhkan ilmu yang tinggi, contohnya menjadi dosen ataupun hakim. Lagipula, kebanyakan tempat kerja sebenarnya lebih mempedulikan pengalaman kerja ketimbang titel yang sudah disahkan di selembar kertas.

Banyak juga teman-teman saya yang dapat posisi bagus di Google, Momondo, ataupun Bjarke Ingels Group (BIG) karena pengalaman kerja mereka yang oke. Kebanyakan dari mereka juga hanya sekolah hingga S1 saja.

Di Eropa, banyak juga lapangan pekerjaan yang mencari orang-orang dengan skill dan pengalaman kerja tinggi tanpa harus memenuhi kualifikasi Master dulu. Anak-anak muda di Denmark pun baru mulai kuliah S1 saat mereka berumur 25 atau 27 tahun, tapi hebatnya sudah pernah magang dan kerja dimana-mana selepas SMA.

Lagi-lagi, saya belum melihat apa guna tujuan melanjutkan S2 untuk saya ke depannya.

Four. Pendidikan yang tinggi akan membuka banyak kesempatan pekerjaan

Tentu saja! Tapi tunggu dulu, di Indonesia itu ada banyak sekali lulusan S2, apalagi di luar negeri. Teman saya, Ieva, sudah hampir 9 tahun tinggal di Denmark lalu menyelesaikan kuliahnya hingga S2. Karena jurusannya terlalu mainstream, Internasional Business, jadi doski pun mesti saingan dengan para orang lokal ataupun orang asing pencari kerja lainnya. Padahal doski lancar bicara 3 bahasa asing, lho. Sempat stres tidak kunjung dapat pekerjaan yang oke, akhirnya Ieva memilih pulang ke negara asalnya di Latvia.

Semakin tinggi gelar, biasanya akan tinggi juga ekspektasi terhadap posisi dan gaji. Boleh memang. Tapi kalau cuma lulus saja sih gampang. Yang sulit itu, bagaimana menjadi lulusan S2 yang berkompeten, pandai dan cerdik menghadapi pasar, lalu bisa menyumbangkan ide dan kontribusinya ke tempat kerja.

5. Mending jadi pelajar ketimbang au pair

Oke, jadi pelajar di Eropa statusnya jelas, "pelajar". Bisa dapat diskon pelajar kemana-mana. Kalau ditanya sedang apa di Eropa, jawabnya enak dan dipandang keren, "sedang studi". Ruang lingkup pertemanan pun luas dan intelektual. Meskipun harus dikejar deadline tugas dan ujian, namun student life sebenarnya sangat "aman" dan seru. Menjadi pelajar di Eropa juga membuka kemungkinan jika setelahnya lulus, bisa bekerja disana atau negara maju lainnya. Meskipun sih, peluang ini juga tidak besar.

Tapi bagi saya, tidak ada yang salah juga dengan rencana orang untuk memutuskan jadi au pair. Au pair itu santai. Makan dan tempat tinggal gratis. Hari libur dan waktu senggang banyak. Dikejar deadline? No. Uang saku, tiap bulan dikasih. Sekolah, tetap. Au pair juga punya ujian, tugas, dan ruang lingkup pertemanan di sekolah dan komunitas—bagi yang berjiwa sosial. Au pair pun memiliki kesempatan saat free time untuk travelling, bersosial, ataupun sekedar leye-leye sehabis mengurus rumah. Tetap seru juga kan?

Saya sebenarnya sudah pernah mencoba mengirimkan berkas beasiswa ke salah satu kampus di Cina jurusan Media & Komunikasi—bukan Eropa malah. Kuliahnya hanya satu tahun, berbahasa Inggris, kampus internasional, dan lokasinya di Suzhou. Saya diterima bersyarat, karena nilai IELTS saya belum memenuhi kualifikasi jurusan. Mereka memberikan batas waktu apakah saya ingin tes IELTS lagi atau ikut kursus intensif disana.

Semakin dipikir, dipikir, dipikir lagi, ternyata saya menemukan jawaban bahwa tujuan saya selanjutnya bukan untuk studi. Ketimbang menghabiskan waktu di bangku kuliah, saya lebih prefer mencari lapangan pekerjaan atau dream job yang sesuai passion. Saya juga percaya diri kalau sebenarnya saya mampu menemukan pekerjaan di Indonesia tanpa memiliki gelar pendidikan yang selevel S2.

Impian saya pun tidak neko-neko lagi. Tuhan sudah mengabulkan mimpi saya untuk tinggal dan belajar di luar negeri. Jadi, kalau memang tidak ada kesempatan tinggal lebih lama, saya tidak takut untuk pulang ke Indonesia.

Kalaupun ingin stay di Eropa lebih lama, saya tidak ingin kuliah tapi bekerja. Kalaupun harus kuliah lagi, saya sudah berniat untuk mengambil fakultas desain hanya untuk menambah ilmu saja. Eh tapi, ilmu desain juga tidak harus dipelajari lewat bangku formal. Banyak sekali desainer yang belajar otodidak lewat komputer mereka. So, memang tidak ada alasan kuat kan mengapa saya harus lanjut S2? (;

Saturday, May 30, 2020

Tips Cari Kerja di Eropa |Fashion Style

Sudah 3,5 tahun saya bekerja sebagai au pair dan tinggal di 3 negara berbeda di Eropa. Menyenangkan? Iya. Saya bisa hijrah ke luar negeri, dapat uang saku, jalan-jalan, bertemu teman internasional , dan mempelajari budaya lokal.

Tapi au pair bukanlah pekerjaan menjanjikan. Kontraknya pun hanya berkisar 12-24 bulan saja. Setelahnya, kita harus pulang ke Indonesia atau lanjut ke negara lain jika masih berniat mengasuh anak orang. Selain sifatnya antara paruh pekerja dan paruh pelajar, umur pun jadi kendala. Ya wajar, karena au pair sebetulnya bukan ajang cari uang dan jenjang karir, tapi pengalaman. Batas maksimum umum au pair hanya 30 tahun—di beberapa negara bahkan hanya sampai 26 tahun, karena memang pekerjaan ini diperuntukkan untuk anak muda.

Meskipun setelah selesai kontrak di Norwegia usia saya masih di bawah 30 tahun, namun saya enggan jadi au pair lagi di negara lain.That's enough! Lima tahun sudah,please! Kalau pun masih ingin tinggal di Eropa lebih lama, saya berharap mendapatkan pekerjaan lain dengan tingkatchallenging yang berbeda.

Banyak gadis-gadis au pair dari Filipina yang enggan kembali ke negaranya, rela lompat-lompat negara di Eropa karena melihat au pair sebagai easy market mencari uang. Tentu saja, karena urusan visanya mudah dan biayanya tidak terlalu mahal. Peluang visa dikabulkan pun hampir 100%.

Jauh sebelum kenal au pair, saya memang sudah lama ingin tinggal dan bekerja di luar negeri. Saking niatnya, saya sampai membeli buku panduan tinggal dan bekerja di beberapa negara. Banyak artikel tentang topik serupa sudah saya cari dan baca dengan seksama. Intinya, cari kerja dimana pun tidak mudah. Apalagi di Eropa, saat status kita bukanlah warga Uni Eropa.

Lalu apakah gampang mencari kerja di Eropa selepas masa au pair? Tentu saja tidak! Kalau mudah, semua au pair Filipina pasti sudah punya 10 keturunan di Eropa. Belum lagi saingan kita tidak hanya orang lokal, tapi juga warga pendatang Uni Eropa lain dengan keahlian lebih mumpuni.

Berikut gambaran bagaimana melihat celah kerja di Eropa. Harap diperhatikan ya, saya tidak memberikan info dimana dan bagaimana mendapatkan pekerjaan. Saya hanya menunjukkan peluangnya saja.

1. Be a skilled worker

Sebagai orang Indonesia yang ingin bekerja di Eropa, status kita harus legal dulu di salah satu negaranya. Untuk menjadi legal ini pun tidak mudah karena setidaknya kita sudah mengantongi satu surat sponsor atau kontrak kerja dari perusahaan. Imigrasi di banyak negara Eropa tidak akan memberikan izin tinggal bagi pendatang yang hanya akan bekerja sebagai babysitter atau tukang jaga kios rokok. Kalau itu sih, orang lokal juga bisa.

Syarat pertama untuk mendapatkan working permit, kita harus memiliki kualifikasi dulu sebagai skilled worker yang benar-benar dibutuhkan perusahaan. Entah itu insinyur, jurnalis, teknisi, pekerja di kedutaan, atau koki.

Karakteristik pekerjaan on demand pun tidak serta merta mudah didapat, apalagi kalau kita sebar cv dari Indonesia. Salah satu cara agar keahlian kita diakui oleh perusahaan asing adalah dengan bekerja di perusahaan multinasional di Indonesia. Tapi seorang yang bekerja di perusahaan multinasional juga harus pandai melihat jenjang karir secara global, karena persaingan akan sangat tinggi dan akan ada peluang pekerja dipindahkan ke berbagai negara lainnya.

2. Take a higher education

Cara terbaik bagi anak muda yang tertarik bekerja di Eropa adalah dengan menjadi pelajar di salah satu kampus di benua tersebut dulu. Dengan memahami sistem edukasi di satu negara, lulusannya diharapkan lebih cepat berintegrasi dengan budaya lokal dan working ethic selama masa magang.

Tapi tentu saja tidak semua lulusan luar negeri bisa langsung bekerja di negara dimana dia kuliah. Persaingan yang kompetitif membuat kita harus lebih cekatan dalam melihat peluang. Menurut saya, jurusan terbaik dengan market kerja yang luas sampai 10 tahun ke depan masih ditempati bidang teknik, IT, dan desain digital. Jadi kalau kamu tertarik lanjut kuliah di Eropa dan kebetulan background S1 mendukung, lanjutkan saja sekolah ke jurusan yang ada hubungannya dengan tiga sektor tersebut.

Seorang teman lulusan Literatur Universitas Indonesia, terpaksa harus kuliah S1 lagi dari awal di Belgia dan banting setir ke desain digital. Dia paham, jurusan Literaturnya tidak memiliki level karir mana pun di Belgia. So, she is totally okay to start from the scratch.

Banyak au pair Indonesia yang juga menjadikan pendidikan di Eropa sebagai batu loncatan untuk tinggal lebih lama disini. Dengan belajar langsung di negaranya, ada harapan besar akan mendapatkan karir lebih baik selepas wisuda. Apalagi kalau sudah fasih berbahasa lokal, sayang sekali jika tidak lanjut kuliah di negara setempat.

Negara dengan biaya hidup dan biaya kuliah terjangkau masih ditempati Jerman, Belgia, dan Belanda. Apalagi Jerman yang sangat welcome dengan para pendatang, memberikan banyak kesempatan bagi para lulusan kampus Jerman untuk mencari pekerjaan selesai masa studi.

3. Speak the language

Lagi-lagi, meskipun sudah kuliah di Eropa dan merasa jurusan yang diambil tepat, belum tentu peluang kerja langsung memihak ke kita. Lulusan lokal yang lebih cekatan dan paham budaya kerja, tentu saja lebih diprioritaskan. Lalu bagaimana agar peluang kita dan orang lokal setidaknya sama? Pelajari bahasa mereka!

Sejujurnya pekerjaan di sektor IT tidak mengutamakan orang-orang menguasai bahasa lokal, cukup berbahasa Inggris. Tapi, kalau bisa bahasa lokal plus lulusan dari salah satu kampus di negara tersebut, kesempatan kita lebih besar besar ketimbang dengan lulusan yang hanya bisa berbahasa Inggris. Banyak perusahaan startup menjamur di Eropa dan membutuhkan anak muda kreatif mengisi lowongan. Though, the salary won't be good in the beginning.

4. Be a 'nekad' traveller

Kalau kamu merasa punya banyak uang dan mampu surviving dari kenekadan, silakan membuat visa turis jangka panjang ke Eropa. Sampai sini, kamu bisa cari black job sebagai tukang bersih-bersih tanpa bantuan agensi. Kembali ke poin pertama, kalau kamu yakin mempunyaiskill yang akan dibutuhkan perusahaan di Eropa, jangan takut untuk sebar cv selagi singgah disini. Kedengaran sedikit impossible memang, apalagi kita tidak diperkenankan mencari pekerjaan memakai visa kunjungan wisata.

Seorang kenalan datang ke Denmark memakai visa kunjungan pacar selama 3 bulan. Alih-alih hanya kunjungan, dia mencari peruntungan untuk bekerja sebagai au pair dan langsung dapathost family kurang dari satu bulan saja. Si kenalan ini pun baru mengurus semua aplikasinya sewaktu di Kopenhagen. Dikira permohonan aplikasi akan ditolak, ternyata izin tinggal au pair-nya dikabulkan. Tricky memang!

5. Married or living together

Cara lain yang menurut saya terlalu naif. Saya mengenal beberapa cewek yang super desperate ingin tinggal di Eropa, lalu mencari cowok lokal untuk dijadikan pacar atau suami yang akan memberikan "jaminan" izin tinggal. Tentu saja tidak semua cewek Indonesia memiliki konsep mencari pasangan bule hanya untuk dapat visa dan tinggal di Eropa. Yang ingin saya katakan, dari permit tinggal bersama atau menikah ini, kita bisa sebebasnya melanglang Eropa sekalian cari kerja di negara asal si pasangan.

Pekerjaan seperti pelayan, tukang bersih-bersih, atau babysitter lepas bisa dicoba sebagai awal, kalau belum menguasai bahasa lokal. Tapi jika memang berniat mendapatkan pekerjaan lebih baik, ikuti poin nomor 2 dan 3. Study more, speak the language, and do not be a stupid Asian partner! Kalau kita memiliki keahlian yang oke, tak jarang lho, pacar atau suami bisa menawarkan kita pekerjaan di perusahaan tempat mereka bekerja.

Ada juga cewek Indonesia yang saya kenal, bekerja di butik ternama di Belanda setelah menikah dengan pasangan Belandanya. Tentu saja langkah awalnya bekerja di butik tersebut karena memang sudah legal dan memiliki izin tinggal (karena menikah). Tapi si kenalan ini juga lulusan Lasalle Singapura. So, the luck is hers.

Ngomong-ngomong, luck juga berperan penting saat mencari kerja di Eropa, lho. Teman dekat saya orang Latvia, sudah hampir 9 tahun di Denmark, dan dua gelar sarjananya didapat dari sana. Sangat fasih berbahasa Rusia, Inggris, dan Denmark. Namun apa daya, berkali-kali melamar pekerjaan, tetap saja gagal. Akhirnya teman saya kembali ke negara asalnya dan beruntungnya, mendapatkan pekerjaan di perusahaan Denmark juga.

Lucunya, teman sebangsa dia yang datang ke Denmark, hanya bermodalkan pengalaman kerja di Latvia dan basic Danish, langsung bisa dapat kerja.Well, again, luck speaks. Kadang perusahaan tidak hanya butuh skill, tapi persona. Satu lagi, networking!

Saya tentu saja berharap bisa tinggal lebih lama di Skandinavia.I am tired of being an au pair. Tapi kalau pun harus bekerja menjaga anak lagi, setidaknya dikombinasikan dengan studi lanjutan. Setelah lama tidak berpikir kritis, otak saya jadi kangen buku-buku akademis. Tapi saya juga mesti realistis, kalau memang tidak ada kesempatan, Indonesia always calls me back!

Kalian sendiri bagaimana, ada niat kah cari kerja di Eropa? Jika iya, di negara mana?How about starting from being an au pair, serius belajar bahasa, lalu lanjut sekolah?

Sunday, May 24, 2020

Tips 4 Alasan Saya Lanjut Kuliah Master di Norwegia|Fashion Style

" Kuliah S2? Nanti dulu! " kata saya dua tahun lalu.

Di postingan tersebut juga dituliskan beberapa alasan yang mendasari saya belum ingin lanjut kuliah lagi. Salah satunya adalah karena kuliah itu melelahkan. Tahun depan sudah pas 5 tahun saya menjajakan kaki di Eropa dan tinggal di rumah keluarga angkat sebagai au pair. Tapi semakin lama jadi au pair, saya merasa mengalami brain dead karena salah satu hal yang saya rindukan selama ini adalah berpikir kritis ala mahasiswa.

Meskipun masih terus rutin datang ke kelas bahasa, namun materi pelajarannya tidaklah seintensitas pembelajaran akademik di kampus. Lagipula, kelas bahasa tersebut hanya 2-3 kali seminggu. Awalnya sangat termotivasi, tapi lama-lama bosan juga karena tantangannya sebatasdaily life talking yang masih sering bernego dengan English.

Lanjut kuliah di luar negeri juga bukan cita-cita baru kemarin sore. Saya memang berniat ingin kuliah lagi, namun selalu terkendala urusan biaya dan kemampuan bahasa Inggris. Peluang mengatasi biaya salah satunya memang harus ikut program beasiswa. Tapi sayangnya saya sudah minder duluan karena merasa tidak terlalu kompetitif menghadapi pesaing lain. Bahasa lainnya; tidak cukup pintar.

Setelah berhasil mengantongi sertifikat IELTS yang nilainya memenuhi syarat pendaftaran, kesempatan daftar ke universitas asing makin luas. Sampai akhirnya saya mantap ingin lanjut kuliah lagi di Norwegia. Pertanyaannya, mengapa Norwegia?

1. Bebas biaya kuliah

Di Eropa, setahu saya hanya ada 3 negara yang menggratiskan biaya kuliah bagi mahasiswa internasional, yaitu Jerman, Norwegia, dan Finlandia. Saya dulunya sangat berharap bisa lanjut kuliah di Aalto University. Namun sayangnya, Finlandia tidak lagi menggratiskan biaya kuliah untuk mahasiswa non-Eropa sejak musim gugur 2017 lalu.

Saya juga tidak berniat lanjut belajar di Jerman karena mungkin sudah terlalu sering mendengar cerita pelajar disana. Lalu pilihan terakhirnya memang Norwegia karena kebetulan saya masih tinggal disini.

Meskipun biaya kuliah di Norwegia digratiskan di semua universitas negeri, namun mahasiswa tetap harus membayar uang semester sebesar 600-850 NOK.

*10 NOK = 1 Euro

2. Kuliah sekalian kerja

Alasan lainnya mengapa saya memilih Norwegia adalah karena berniat kuliah di sisa akhir kontrak au pair. Jadi daripada mesti pulang dulu ke Indonesia, saya meminta izin kehost family jika boleh studi sekalian kerja di sisa 5 bulan akhir kontrak. Ternyata host mom menyambut baik ide ini meskipun sedikit skeptis apakah saya masih bisa sefleksibel sekarang kalau sudah fokus kuliah.

"That is still a great plan anyway, Nin! You have to go for it!" kata host mom saya bersemangat.

Karena keluarga angkat saya tinggal di Oslo, artinya saya hanya bisa daftar ke kampus yang ada di sekitaran Oslo saja. Tapi sebetulnya tidak masalah juga karena tinggal di ibukota lebih memudahkan akses kemana pun.

Three. Ada jalan

Di Norwegia juga ada kelonggaran batas waktu pendaftaran bagi pendaftar asing yang memiliki izin tinggal disini. Syaratnya, izin tinggal tersebut bersifat permanen atau dapat diperbarui. Kalau mahasiswa internasional biasanya hanya memiliki deadline di bulan Desember atau Januari, penduduk Norwegia bisa mendaftar sampai pertengahan April untuk perkuliahan semester musim gugur.

Kebetulan saat ini saya sudah memiliki residence permit au pair sampai 2020. Setelah menghubungi pihak UDI yang mengurusi imigrasi, mereka mengatakan kalau saya boleh kuliah sekalian au pairing memakai permit yang sama. Kalau au pairpermit yang sekarang hampir habis, saya harus segera mengajukan student permit 2-3 bulan sebelumnya.

Pertanyaan lainnya tentu saja masalah biaya hidup sehari-hari. Biaya kuliah boleh gratis, tapi biaya hidup di Norwegia  terkenal sangat tinggi. Gambaran kasarnya, mahasiswa asing sedikitnya harus mengantongi 10.000 NOK atau sekitar 17 juta rupiah per bulan. Pihak imigrasi UDI juga menekankan bahwa untuk mendapatkan student permit, mahasiswa asing harus memiliki dana minimal 116.369 (sampai Juni 2019) NOK di rekening atas nama pribadi, tidak boleh disponsori kecuali beasiswa.

Beruntungnya, biaya ini tidak harus serta merta berupa tabungan tapi boleh juga kombinasi dana pinjaman dari pemerintah atau surat kontrak kerja paruh waktu. FYI, mahasiswa asing di Norwegia diizinkan bekerja paruh waktu 20 jam per minggu. Contohnya saya hanya punya dana 35.000 NOK di tabungan, tapi sudah mengantongi surat kontrak kerja yang gajinya selama 1 tahun adalah 90.000 NOK, artinya saya bisa mengajukan study permit karena total biaya hidup sudah tertutupi sampai setahun ke depan.

Masalah biaya ini juga sudah saya diskusikan dengan host family dan mereka mau membantu untuk memberikan saya pekerjaan paruh waktu. Karena mereka berpikir untuk tetap menyewa nanny, sepertinya saya masih boleh bekerja disini sampai setahun berikutnya. Bagaimana kalau mereka berubah pikiran?

Artinya saya tetap harus menunjukkan bukti ke UDI bahwa saya mampu membiayai kehidupan sehari-hari. Saya masih berusaha menabung sebanyak-banyak mungkin sekarang ini. Entah berapa pun itu, rencananya ingin pinjam uang ibu saya dulu untuk menutupi sisanya saja. Lolos dapat study permit, baru saya kembalikan lagi uangnya dan mencoba mencari pekerjaan paruh waktu lain di luar. Tapi sejujurnya, saya tidak yakin memilih jalan ini karena paham soal keterbatasan finansial sang ibu juga.

Kalau kalian berniat kuliah di Norwegia pakai biaya sendiri, silakan baca informasi detailnya di situs UDI . Di situs tersebut juga disebutkan bahwa mahasiswa asing harus memiliki tempat tinggal di Norwegia yang dibuktikan dengan surat kontrak atau pernyataan dari pemilik kos. Karena tahun depan kamar saya akan dirombak jadi kantor baru, makanya saya tidak bisa tinggal lebih lama dengan keluarga yang sekarang. Lagipula saya butuh privasi lebih karena bukan au pair mereka lagi. Perihal ini juga sempat saya bicarakan ke teman yang tinggal di Oslo dan doi sepakat untuksharing costapartemen kalau memang saya bisa studi disini.

4. Belajar bahasa lebih lama

Kalau ada negara di Eropa yang saya ingin tinggali lebih lama, itu adalah Denmark atau Norwegia. Mengapa, karena dua negara ini adalah negara terlama di Eropa yang pernah saya tinggali dan paling saya kenali bahasa dan kebudayaannya. Kuliah di Denmark sangat mahal, makanya saya belum mampu lanjut kesana. Sayang juga, karena sebetulnya saya masih sangat ingin belajar bahasa Denmark .

Opsi studi di Norwegia tentu saja menjadi sangat rasional dan masuk akal. Saya berpikir, kalau berkesempatan studi Master selama 2 tahun, artinya total saya tinggal disini menjadi 4 tahun. I just wonder, am I still (this) bad at talking Norwegian after 4 years? Mungkin saja saya makin bersemangat ingin lancar bahasa lokal karena bisa jadi modal untuk mencari pekerjaan selepas lulus kuliah.

So, ini planning saya di awal tahun ini! Apapun keputusannya, saya berharap yang terbaik saja. Kalau memang jalan ini belum mulus, I would move to Plan B because it could be back home.

Langkah berikutnya:

Daftar kuliah di kampus Norwegia

Saturday, May 23, 2020

Tips Au Pair: Tukang Masak Keluarga|Fashion Style

Banyak teman saya yang sejak hijrah ke Eropa jadi sukahang out di dapur dan pintar memasak. Ada satu teman yang sengaja memajang banyak hasil olahannya dan memamerkan kepandaiannya memasak demi menyenangkan perut si pacar. Karena mungkin sudah banyak mendapatkan respon positif dari keluarga si pacar dan teman terdekatnya, teman saya ini langsung percaya diri membuka katering pribadi yang sudah punya laman khusus di Facebook.

Lini masa Facebook dan Twitter saya pun sering kali dipenuhi postingan teman Asia yang menunjukkan makanan hasil buatannya. Kadang sekalian kumpul-kumpul, ada saja yang dimasak. Lalu jangan lupa, difoto dulu. Saking banyaknya masakan yang sering dibuat, ada album khususnya sendiri!

Hebatnya, teman-teman ini tidak hanya masak makanan khas dari negaranya, tapi juga belajar masakan daerah lain. Dari yang coba-coba membuat pastry Prancis, tapas khas Meksiko, hingga sushi. Foto yang dibagikan pun terlihat menarik karena makanannya kelihatan enak.

Lalu, saya sendiri?

Datang ke Eropa dan selalu kangen masakan Indonesia, tidak serta merta juga membuat saya suka masak. Dari dulu, dibandingkan memasak, saya lebih suka menyulam atau menjahit baju.

Oke, sejujurnya, saya bisa masak. Sejak ayah meninggal dan sang ibu kehilangan nafsu masaknya, saya ini lah yang jadi koki keluarga. Paham masakan yang sering dimakan keluarga itu-itu saja, saya juga terbiasa hanya memasak makanan tersebut. Percuma mencoba ide-ide baru, karena tidak ada yang makan. Keluarga saya memang sedikit picky untuk urusan makanan atau cenderung ambil aman.

Jadi au pair di tahun pertama, saya disuruh masak untuk keluarga Belgia 2-3 kali seminggu. Sama seperti keluarga saya di Indonesia, anak-anak keluarga ini super picky juga soal makanan. Mereka tidak suka sayuran, tapi dipaksa orang tuanya untuk selalu menyiapkan sayuran di sisi piring. Pernah suatu kali, saya mencoba menu masakan baru, yang makan hanya orang tua mereka. Para anak ini malah menghina masakan saya dan ujung-ujungnya makan roti. Padahal menurut si orang tua, menu tersebut luar biasa enaknya.

Malas juga mendengar hinaan dan tahu anak-anak ini terbiasa makan apa yang mereka suka saja, di hari berikutnya saya hanya menghidangkan menu favorit mereka dan wortel sebagai sayuran. Selang-seling saja dari daging olahan goreng, Spaghetti Bolegnaise, lalu daging goreng lagi, Spaghetti Bolegnaise lagi. Begitu saja setiap hari. Keseringan diberi wortel terus-terusan, saya pernah ditegur karena tidak berusaha inovatif.

"Nin, we could be red if you give us carrots every day," kata si Bapak.

Didn't you believe you studied I even have attempted my fine however none of your kids devour my innovation (meals)?!

Lanjut au pair di Denmark, tahun pertama saya super sibuk. Selain mengurus rumah dan bayi, saya harus menyiapkan makan malam untuk seluruh anggota keluarga setiap hari! Saya yang memotong sayuran, saya yang masak, saya yang merapikan meja, saya juga yang membersihkan piring kotor. Lengkap! Keluarga Denmark memang luar biasa!

Di keluarga ini pengalaman masak saya pun tidak berkembang. Sering kali masakan saya (lagi-lagi) dihina duluan sebelum dimakan. Si bapak memang pintar masak dan memiliki standar yang terlalu tinggi terhadap makanan. Yang saya heran, kalau memang si bapak pintar memasak, mengapa harus saya juga yang bertugas menyiapkan makanan?

Pernah saya masak Lasagna, dinilai tidak sempurna karena terlalu kering. Sekali lagi masak mie daging, mereka tidak makan sama sekali karena rasanya aneh dan warnanya tidak menarik. Padahal saya sudah berusaha mencontek semua resep dari internet.

Saya benci sekali urusan memasak! Tugas ini tidak mudah karena saya harus berpikir keras, kira-kira menu apa yang cocok untuk dimakan segala usia. Satu lagi, anak pertama keluarga Denmark ini juga picky bukan main soal makanan. Belum lagi persoalan rasa, apakah cocok dengan lidah mereka atau tidak. Not too spicy, not too strong, not too bland, blablabla..

Sadar sepertinya selalu gagal dan habis ide, si bapak memberikan saya hadiah Natal berupa 2 buku tebal berisi resep masakan Denmark yang ternyata niat utamanya malah menyinggung.

Tapi meskipun suka menyidir, ada satu pelajaran yang saya dapat dari host dad ini, "yang paling utama itu adalah soal penyajian, terutama urusan warna. Usahakan minimal ada 2 warna segar seperti hijau dan kuning atau hijau dan merah sebagai pemikat makanan. Hijau bisa diambil dari salad segar atau brokoli dan merah bisa menggunakan cabai atau paprika."

Noted!

Tinggal dengan keluarga Norwegia  hidup saya lebih santai. Tugas memasak hanya 1-2 kali dalam sebulan. Itu juga sudah diwanti-wanti untuk masak makanan yang super sederhana saja. Host family saya ini tipe orang yang easy dan sadar kalau saya memang bukan koki handal. Masakan saya pun sering dipuji dan habis.

"This is the best chicken we have ever eaten!" kata si Bapak saat mencicipi Ayam Bakar Madu yang saya buat.

Anak mereka yang berumur 2 tahun juga bisa diajak bernegosiasi karena sudah diajari tidak pemilih dengan makanan. Jadi meskipun saya masak makanan berat-berat seperti mie atau ayam, si anak ini tetap disuruh mencicipi dan mau makan. Senangnya!

Pindah ke negara orang memang mengajarkan kemandirian. Ada yang mendadak suka dan tambah pintar memasak, tapi ada juga yang stage masaknya standar saja seperti saya. Mungkin karena sering dihina juga, makanya saya malas masak untuk orang banyak. Bukankah masakan paling enak itu sesungguhnya adalah makanan yang dibuat oleh orang lain?

Saturday, May 16, 2020

Tips Pengumuman Penerimaan Mahasiswa di Norwegia|Fashion Style

Bulan Juli adalah waktu yang saya tunggu sehubungan dengan pengumuman penerimaan mahasiswa baru semester musim gugur tahun ini. Jujur saja, dari awal daftar kuliah sebetulnya ada perasaan pesimis apakah saya berhasil masuk di kampus yang saya tuju. Apalagi saya anaknya cukup tahu diri bahwa IPK pun tak sampai 3 dan nilai IELTS juga pas-pasan. Belum lagi banyak kampus di Norwegia punya passing grade yang tinggi terhadap calon mahasiswanya.

Tahun lalu, saya sempat mengobrol dengan seorang cewek Moldova yang sedikit skeptis dengan peluang saya diterima di kampus Norwegia. Saat tahu usia saya sudah late 20s, dia membuat saya down dengan isu yang katanya 50% calon mahasiswa yang diterima kuliah Master usianya masih di bawah 25.

"What?? Am I not young enough to continue my Master’s?!" tanya saya penasaran.

"Kamu tidak tahu kan kalau disini ada praktek diam-diam dari komisi penerimaan mahasiswa baru, bahwa prioritas lebih ditujukan ke calon mahasiswa di bawah 25 tahun? Lagipula orang-orang disini well-educated semua. Jadi wajar saja kalau usia 23 sudah lulus S1 lalu langsung lanjut S2," katanya.

Setelah cerita panjang lebar, ternyata si cewek Moldova ini merasa kecewa mengapa dia tidak diterima di satu pun kampus Norwegia meskipun nilainya diyakini sangat baik. Ceritanya ingin lanjut kuliah Arsitektur, sudah mendaftar ke hampir semua universitas di Norwegia, sudah legalisasi dokumen juga ke NOKUT, tapi tidak ada yang diterima. Mungkin karena kekecewaan ini, adanya pikiran negatif bahwa orang lain bisa lulus pun seperti mustahil.

Saya sempat menanyakan langsung ke pihak kampus apakah isu yang dikatakan si cewek Moldova benar, yang akhirnya dibantah oleh kampus tersebut. Selagi kita berkualifikasi, umur tak jadi masalah, apalagi untuk kuliah S2.

Ngomong-ngomong, karena hasil pengumuman sudah keluar, saya tak sabar ingin berbagi berita; baik atau buruk.FYI, saya ikut pendaftaran gelombang ketiga karena tinggal di Norwegia dan mempunyai residence permit yang masih berlaku. Untuk gelombang ketiga ini, pendaftaran dimulai dari Februari-April, lalu pengumumannya di bulan Juli. Gelombang ini juga hanya diperuntukkan bagi orang-orang Nordik serta non-Eropa yang bermukim di Norwegia. Artinya, saya berkompetisi dengan penduduk Nordik lainnya untuk mendapatakan satu kursi di kampus Norwegia.

1. Oslo Metropolitan University (OsloMet)

Untuk kampus yang ini, sebetulnya gelombang pendaftaran untuk mahasiswa asing hanya dijadwalkan dari Oktober-Desember saja. Saya juga sudah mendapatkan hasilnya awal Maret lalu. Kalau kalian sempat baca cerita saya saat mendaftar kuliah , sebetulnya tidak ada program studi di kampus ini yang cocok dengan background S1 saya. Tapi karena daftarnya juga gratis, jadinya iseng saja memasukkan aplikasi ke program yang 'mungkin' bisa dikait-kaitkan dengan pendidikan terakhir. Program studi yang dipilih adalah International Education Development dengan spesialisasi tentang Education, Culture and Sustainable Development dan Inequality, Power and Change.

Hasil: Tidak berkualifikasi - "You were lack of a relevant specialization to the programs you have applied for."

2. University of Oslo (UiO)

Karena harus lanjut au pair sampai habis kontrak tahun depan, saya memang lebih fokus memilih kampus yang ada di Oslo saja. UiO adalah kampus tertua di Norwegia yang memiliki program studi kuliah lebih variatif serta relevan dengan pendidikan saya dulu. Dari awal memang niatnya sudah ingin kuliah disini saja, sampai menghabiskan waktu 1,5 bulan untuk menulis motivation letters yang ditujukan ke tiga program yang saya pilih, yaituEntrepreneurship, Assessment and Evaluation, dan Higher Education. Dari situs resmi UiO, tertulis juga bahwa ketiga program ini persaingan jumlah peminat dan kursi yang disediakan sangat kompetitif.

Hasil: Diterima - Entrepreneurship

3. University of Bergen (UiB)

Daftar ke kampus ini sebetulnya modal iseng karena deadline pendaftarannya juga di bulan April. Program studi yang tersedia kebanyakan tentang ilmu eksak yang kajiannya lebih mendalam. Banyak program yang tidak tersedia bagi mahasiswa asing, namun hanya bagi penduduk Norwegia saja. Selain karena beberapa mata kuliah memakai bahasa lokal, beberapa kajian di program tersebut memang lebih menyesuaikan letak geografis dan SDA Norwegia sebagai lahan minyak dan tambang. Program yang saya pilih adalah Fisika dengan spesialisasi di bidang Medical Physics and Technology dan Measurement Science.

Hasil: Tidak berkualifikasi - “Your academic background was insufficient to be eligible for admission.”

Dari ketiga kampus dan program studi yang saya daftar di atas, bisa dikatakan UiO memang paling banyak peluangnya. Selain melihat dari mata kuliah yang kita ampu saat S1, ada juga syarat tambahan untuk melengkapi dokumen dengan menyertakan CV dan surat motivasi. Mungkin bisa jadi, saya diterima di UiO karena komisi penerimaan mahasiswa juga mempertimbangkan isi surat motivasi saya. Karena kalau ingin dilihat secara keseluruhan, justru pendidikan terakhir saya kemarin lebih memenuhi syarat masuk ke UiB. Nyatanya, keputusan penerimaan sekali lagi kembali ke kampus masing-masing.

Bagi kalian yang tertarik mendaftar kuliah ke Norwegia dan penasaran berapa banyak peminat dan jumlah kursi yang ditawarkan di masing-masing program, silakan buka statistik tahunannya disini (bahasa Norwegia). Kalau syarat dokumen terpenuhi, nilai mencukupi, serta pendidikan atau pengalaman kerja terakhir selaras dengan bidang yang akan kita pelajari, masuk kampus Norwegia tidaklah mustahil. Bahkan kabar yang saya dengar, sebetulnya banyak juga pendaftar yang sudah tahu dari awal tidak berkualifikasi, tapi nekad mendaftar. Tipe pendaftar seperti ini sebetulnya bukan pesaing berat dan akan tersingkirkan dengan sendirinya.

Friday, May 15, 2020

Tips (Jadinya) Kuliah S-2 di Universitas Oslo|Fashion Style

Kalau mengikuti cerita saya saat mendaftar kuliah di Norwegia sampai pengumuman dari kampus , kalian akan tahu bahwa saya memang berniat kuliah di Oslo. Selain karena masih harus menyelesaikan kontrak au pair yang tinggal beberapa bulan lagi, saya memang lebih nyaman hidup di ibukota dengan segala akses kemudahan informasi dan transportasi.

Pun begitu, selain mendaftar di University of Oslo (UiO), saya juga mencoba memasukkan aplikasi ke Oslo Metropolitan University (OsloMet) dan University of Bergen (UiB). Iseng saja, karena toh pendaftarannya gratis juga.

Bulan Juli adalah bulan yang saya tunggu dari tahun lalu, karena bulan inilah yang akan jadi penentu nasib saya ke depannya. Harus pulang kah setelah 5 tahun au pair di Eropa, masih harus jadi au pair lagi kah (BIG NO!), ataukah ada kesempatan untuk lanjut kuliah S-2 disini? Saya juga sebetulnya sudah menyiapkan banyak rencana jika memang harus pulang. Pulang pun tak masalah karena ide bisnis di otak saya rasanya juga sudah meluap. Apalagi berulang kali saya dan adik ipar membahas soal peluang bisnis yang kemungkinan akan kami jalani kalau saya pulang ke Palembang. Intinya, apapun hasil dari kampus, saya terima.

Pengumuman hasil diumumkan paling lambat tanggal 6 Juli. Untuk UiO, saya mendapatkan email jawaban di tanggal 4 Juli sekitar pukul 5.28 sore. Lagi di Prancis, lagi santai-santai duduk di bawah pohon, tiba-tiba email dari UiO muncul. Saya deg-degan bukan main sampai emailnya tidak ingin saya buka dulu karena masih takut membaca hasilnya. Tanpa babibu, saya langsung menghubungi adik saya di Cina yang ikut nervous dengan isi email tersebut. Meskipun katanya sudah siap dengan apapun isi email tersebut, tapi tetap saja, ujung penantian ini malah membuat saya semakin gugup. Setelah diyakinkan oleh adik, beberapa menit kemudian barulah saya siap.

Baiklah, whatever kan?!

1... 2... Three...

Saya buka email-nya dan membaca cepat untuk mencari kata-kata “unfortunately”, “regret”, “rejected”, yang ternyata tidak ada! Selintas saya hanya menemukan kata “offer” disana! Sekali lagi, isi surat tersebut saya baca secara teliti dari atas.

Whoaaaa!!! Saya diterima jadi mahasiswi Master di UiO untuk program studi yang memang jadi top priority! Senangnya bukan main, tapi nervous-nya juga belum usai. Adik saya yang saya kabari ternyata ikut gemetaran dan masih belum percaya juga dengan hasilnya.

Lebay? Dramatis? Mungkin. It’s not Harvard or Stanford, is it?

Iya, memang bukan! Tapi segala penantian, keputusasaan, serta ketidakpastian dari tahun lalu akhirnya memberikan jawaban manis. FYI, satu malam sebelum pengumuman ini, saya sebetulnya juga bermimpi bahwa nama saya tertulis di program studi Entrepreneurship. Kebetulan? Entahlah, tapi ternyata mimpi saya benar-benar jadi kenyataan.

Walaupun katanya masuk kampus Eropa tidak terlalu susah asal memenuhi syarat, tapi masih ada perasaan pesimis yang selalu menghantui. Apalagi UiO adalah kampus top di Norwegia yang banyak peminatnya. Dari data statistik tahunan yang saya baca disini (bahasa Norwegia),program studi Entrepreneurship ini hampir menerima 700 aplikasi tahun kemarin. Sementara yang berkualifikasi hanya 15% saja dan slot yang tersedia kurang lebih 5% dari total aplikasi setiap tahun. Cukup beralasan kan mengapa saya sangat pesimis tak diterima disini? Lihat saja, buktinya aplikasi saya ditolak di OsloMet dan UiB!

Anyway, time has answered! Akhir tahun ini akan banyak cerita baru yang dimulai di Norwegia sebagai seorang pelajar. Meskipun saya sudah diterima kuliah di UiO, tapi justru tantangan terberat adalah saat menjalani perkuliahan dan bertahan hidup di Oslo selama 2 tahun ke depan. Be with me, because I want to tell you more! ☺️

Wednesday, May 13, 2020

Tips Kuliah Biaya Sendiri: Uang Dari Mana?|Fashion Style

Meskipun niat saya di awal tidak berminat lanjut kuliah lagi, nyatanya saya pun berbelok arah untuk mencoba peruntungan daftar kuliah S-2 di beberapa kampus di Norwegia. Alasan utama saya memilih Norwegia tentu saja karena negara ini masih membebaskan uang kuliah bagi mahasiswa lokal dan internasional. Kesempatan ini tentu saja saya manfaatkan sebelum regulasi tersebut diubah menjadi 'berbayar' seperti halnya Finlandia per Autumn semester 2017 lalu. Tapi meskipun biaya kuliah gratis, mahasiswa tetap harus membayar iuran semester sebesar NOK 680-840 (€68-84).

Luckily, saya diterima di program studi Entrepreneurship di Universitas Oslo semester musim gugur tahun ini. Karena biaya kuliahnya sudah gratis, artinya saya hanya perlu menyiapkan biaya hidup untuk 2 tahun ke depan. Saya tidak pakai beasiswa, tidak minta support dari keluarga, ataupun berhutang ke pemerintah Norwegia. Biaya hidup ini murni saya akan tanggung sendiri.

Saat tahu saya akan kuliah dengan biaya sendiri, tanggapan orang tentunya tak sama. Kalau mungkin saya dapat beasiswa, mungkin mereka akan berpikir bahwa saya murid pandai yang sangat beruntung. Tahu bayar sendiri, tak elak saya dapat rentetan pertanyaan lain. “Lho, memangnya ada uangnya? Ada orang yang bantu? Memangnya tidak mahal kuliah disana? Siapa yang mau menjamin deposito? Bukankah uang segitu (deposito) terlalu besar ya untuk mahasiswa internasional?” Hellllooooo... mentang-mentang saya bukan anak menteri dan jurangan sawit, tidak berarti kuliah ke luar negeri jadi mustahil! Selain uang, ada juga namanya usaha dan mental yang membuat kita bisa bertahan di negeri orang. Lagipula au pair yang langsung bisa kuliah dengan biaya sendiri juga banyak!

FYI,dulu saya pun juga bersumpah untuk tidak akan pernah mau lanjut kuliah kalau masih harus bayar sendiri. Kuliah saja sudah melelahkan, apalagi harus cari uang dulu demi menutupi biaya hidup. Makanya saya berpikir untuk cari beasiswa agar bisa fokus kuliah saja. Nyatanya, saya minder cari dana beasiswa karena sadar IPK pas-pasan dan malas minta surat rekomendasi dari kampus. Sssttt.. saya pernah di-PHP dosen soalnya. Di sisi lain, saya dengar bahwa pengelola dana beasiswa sangat strict dengan penerima hibah untuk harus mempertahankan prestasi akademik dan dilarang bekerja sambilan selagi kuliah. Padahal mood belajar seseorang bisa naik turun dan minta dana beasiswa—apalagi yang berasal dari uang rakyat, pastinya punya tanggung jawab yang besar.

Sementara di Indonesia, saya hanya punya seorang ibu yang finansialnya tidak akan cukup membiayai semua kebutuhan saya selama belajar di luar negeri. Yang ada, saya merasa sangat malu jika harus minta dikirimi uang setiap bulan, mengingat selama jadi au pair 5 tahun ini juga saya tidak pernah minta apapun lagi ke beliau. "Sudah, Ma. Cukuplah sampai S-1 ini. Let me pay the rest!" kata saya saat itu. Saya juga tidak punya satu pun keluarga yang tinggal di Eropa sekiranya kepepet ingin pinjam uang. In the end, saya akhirnya berpikir untuk tidak ingin berhutang budi pada dana beasiswa ataupun duit keluarga yang membuat saya semakin terikat oleh beban moral.

Jadi bagaimana saya menyokong kehidupan disini hingga 2 tahun ke depan?

Rencananya saya akan bekerja sampingan. Selama jadi mahasiswa internasional, kita diperbolehkan bekerja 20 jam per minggu dan full time (37-40 jam) saat hari libur. Untuk semester ini, saya masih bekerja sebagai au pair dan tinggal di rumah host family. Soal makan dan akomodasi sudah ditanggung dan saya juga menerima uang saku sekitar NOK 6000 per bulan. Uang ini tentu saja lebih dari cukup untuk beli perlengkapan kuliah, ongkos transportasi umum, dan secangkir dua cangkir kopi di kafe. Pemerintah Norwegia sebetulnya juga menaksir biaya hidup pelajar di sini setidaknya NOK 11-12.000 per bulan.

Lalu, bagaimana di semester-semester selanjutnya?

Kontrak au pair saya berakhir Desember tahun ini, makanya harus mencari tempat tinggal dan pekerjaan baru secepatnya. To be honest, I can't wait to have my own life! Tidak perlu lagi tinggal di rumah orang dengan segala peraturan kaku, serta bebas mengundang siapa pun teman yang saya mau. Saya juga sangat tertarik bekerja di tempat lain semisal kafe, toko, atau restoran, yang tentu saja terbebas dari tangisan dan popok bayi! Di sisi lain, saya merasa beruntung sudah curi startduluan tinggal di Norwegia dan belajar bahasa, sehingga bicara bahasa lokal lumayan bisa. It's not gonna be easy to find a job with broken Norwegian, but I am pretty sure I'll learn more and more!

Pengalaman soal cari tempat tinggal dan pekerjaan baru ini tentu saja akan saya bahas di postingan lainnya. But, now you know bagaimana saya bisa menyokong kehidupan sendiri tanpa beasiswa dan dana orang tua!

Friday, May 8, 2020

Tips Exam!!|Fashion Style

Karena dari dulu saya sangat tertarik lanjut kuliah di luar negeri, rasanya begitu terinspirasi dan terhibur tiap kali membaca atau mendengar cerita orang Indonesia yang bisa lanjut kuliah di Eropa. Kali ini gantian, saya yang ingin cerita bagaimana sistem ujian di kampus saya di Universitas Oslo, setelah kemarin-kemarin lebih banyak cerita soal sistem kuliah di kelas .

Yang pasti setiap program studi dan kampus di Norwegia punya sistem yang beda-beda. Akhir tahun jadi masa paling sibuk bagi para mahasiswa karena semester musim gugur akan segera berakhir yang artinya, ujian sudah di depan mata! Perpustakaan biasanya jadi tempat nongkrong paling sering dikunjungi di kampus dan selalu penuh. Jam operasional akan ditambah menjadi setiap hari dan beberapa kantin kampus ikut buka lebih lama demi menemani masa-masa ujian para mahasiswa. Hampir semua kantin kampus juga memberikan diskon sampai 50% di minggu-minggu ujian untuk jenis makanan buffet.

Kembali ke program studi saya di Entrepreneurship & Innovation Management, dari awal semester sebetulnya saya sudah sangat disibukkan dengan banyaknya tugas kelompok.Literally, BANYAK! Di 3 mata kuliah semester ini, profesor saya sudah mulai mengadakan ujian individual bahkan dari satu bulan pertama kami belajar. Satu mata kuliah ada 3 ujian individu, ditambah tugas dan ujian kelompok. Belum lagi kami masih ada 2 mata kuliah lainnya yang sama-sama punya tugas dan ujian sendiri. Saya tak mengerti bagaimana para elit program studi ini mengatur jadwal sedemikian rupa sampai seintensif ini. Ternyata kuliah S-2 begini amat yakk!

Di sisi lain, ada mata kuliah tambahan (elective course)sebesar 10 ECTS yang menurut saya, sama sekali tak berguna. Salahnya mungkin juga ada pada saya yang salah mengambil mata kuliah. Ujiannya lisan dan bidang studinya juga sebetulnya tak terlalu saya minati, meskipun lumayan menarik; Renewable Energy & Technology System. Padahal ternyata ada beberapa mata kuliah general lain yang ujiannya dikerjakan di rumah alias home exam!

Untuk sistem nilai, di sini pakai huruf A-F atau pass/fail grading. F dinyatakan gagal dan nilai terendah untuk lulus adalah E. Pengajar di kampus ada yang memberikan nilai A, A/B, B, B/C, C, C/D, D, D/E, dan E dibandingkan berbentuk angka, meskipun hasil akhirnya hanya A-E saja. Jangan khawatir juga dapat C, karena di sini C diartikan "Good" atau sama seperti "B-" di Indonesia. Untuk dapat nilai A juga sebetulnya tak terlalu sulit asal tugas yang kita kerjakan sesempurna maunya pengajar dan ujian kompetensinya bisa dijawab dengan cukup baik. FYI, kalau memang ada niat lanjut S-3 atau sampai Ph.D, nilai jadi sangat penting.

Saya sebetulnya sudah cukup lelah dengan banyaknya tugas dan ujian yang harus dikerjakan semester ini. Dari 4 bulanan kuliah, rasanya hanya 2-3 minggu free tanpa tugas dan ujian. Namun ada baiknya, program studi ini lebih banyak menekankanhands-on experience ketimbang hanya mendengarkan teori dari dosen di kelas. Kalau memang tak terlalu baik di ujian individu, nilai kita bisa tertolong dengan nilai tugas dan ujian kelompok yang porsinya bisa sampai 60% dari total keseluruhan. Karena isi ujiannya juga tak ada di buku, kami sekelas juga tak perlu repot-repot nongkrong di perpustakaan saat masa ujian. Profesor saya cukup adil dan hanya mengambil soal-soal dari apa yang sudah diajarkan, meskipun ujiannya lebih mirip ujian anak SD yang 100% hapalan!

(Anyway, kampus di sini sangat terbuka menerima kritikan dan masukan dari para mahasiswa setelah semester berakhir untuk meningkatkan mutu program studi. Jadinya kalau memang dirasa banyak sistem yang kurang berhasil dan tak memuaskan, well, you are so welcome to file the feedback. Yes, I am ready!)

Oke, saya lelah, namun bukan berarti juga menyerah. I just wanted to brag since December is going to be the busiest month ever! Karena selain ujian dan tugas yang never ending, saya juga mesti siap-siap pindahan ke Swiss dan segera mengakhiri masa au pair ini! Tired, happy, but also a little bit of scared of what might happen next year.