Wednesday, June 10, 2020

Tips Mabuk Servis di Phnom Penh (3)|Fashion Style

Karena permintaan dari Dina dan Mai yang menyuruh kami untuk pulang lebih awal dari Ho Chi Minh City, akhirnya saya dan dua orang travel mate sampai di Phnom Penh satu hari lebih cepat. Rasanya baru jam 5 pagi melihat Sunrise di Mui Ne, Vietnam, tengah malamnya kami sudah harus pulang ke Phnom Penh melalui Ho Chi Minh City. Seperti kata Dwi, "kita ini traveling seperti dikejar tikus. Lebih-lebih dari artis schedule-nya." Hahaa..

Sekitar jam 10 pagi kami akhirnya tiba juga di penginapan yang berbeda kawasannya dengan yang pertama kali kami inapi. Tempatnya baru saja direnovasi. Masih baru, super wangi dan bersih, serta resepsionis yang ramah dan fasih Bahasa Inggris. Padahal menurut sopir tuk-tuk, kawasan kami yang di Chamkar Mon ini jauh dari pusat kota. Tapi tak apalah, lagian WiFi disini lebih kencang dari guesthouse yang sebelumnya kami tempati.

Jam 7 malam, Mai menelepon Dwi untuk mengajak makan malam (lagi). Karena Dina sedang makan malam dengan pelatihnya, jadinya Mai sendirian yang menemani (baca: mentraktir) kami malam itu. Duuhh.. Habis jadi gembel di Vietnam, akhirnya di Phnom Penh perbaikan gizi lagi. Hohoho.. Untuk makan malam sekali ini, Mai sepertinya agak kebingungan mau pilih tempat yang mana. Dia sampai memutar mobilnya dua kali untuk menemukan tempat makan. Padahal kami sih oke-oke aja, kan ditraktir. *bawa-bawa nama traktiran lagi*

Akhirnya kami merapat ke tempat makan open air yang mirip dengan tempat makan hari pertama. Tapi tempat makan sekali ini kurang romantis sih. Ini dia makanan yang Mai pesan malam itu. Saya pengen lagi makan pizza jagung yang super duper crunchy dan manis itu.

Di akhir makan malam, Mai ditelepon ibunya. Kirain bakal disuruh pulang, tapi ternyata tidak! Ibunya Mai sekarang ada di sebuah KTV bersama teman-temannya dan mengajak kami untuk gabung. Oooooww...Marilah kalau begitu!

Orang Kamboja biasanya paling senang berkumpul di KTV sambil minum bir atau makan bersama keluarga atau teman-temannya. Berbeda sekali dengan kita yang suka nongkrong-nongkrong di mall sekalian nonton atau makan di kafe. Di Phnom Penh sendiri justru kafe kurang laku. Kafe fungsinya cuma tempat makan, CUMA tempat makan ya.

Jam 11 malam, empat anak perempuan masih kelayapan di luar. Nongkrong di KTV pula! Oh tunggu dulu, ternyata KTV ini tidak seseram yang saya kira. Selain ada live music, tempatnya juga lumayan asik. Si pelayan yang kebanyakan Mbak-mbak ini juga sibuk bolak-balik mengecek tiap meja untuk menambahkan bir atau es batu ke dalam gelas. Saya tidak berhenti bolak-balik toilet gara-gara kebanyakan meneguk kola.

Ibunya Mai ini ternyata orang yang ramah dan asik sekali diajak mengobrol. Sayangnya saya tidak terlalu asik mengobrol dengan beliau karena bangku yang agak jauh. Ibu Mai kebetulan membawa tiga orang temannya yang sebenarnya sudah om-om semua sih. Ada satu om-om berperawakan kurus tinggi yang super lucu. Bahasa Inggrisnya parah sekali tapi kerennya dia tetap usaha mengobrol dengan kami. Pakai acara menunjukkan trik sulap segala. Gokil! Walaupun kebanyakan nge-blank-nya, tapi kami hargai usaha dia untuk bersikap terbuka dengan orang asing.

Disela-sela obrolan, si om kurus yang namanya juga saya lupakan itu naik ke atas panggung dan mulai sing songs. Asli roaming, lagu yang dia nyanyikan belum pernah masuk playlist saya. Lalu beberapa saat kemudian tiba giliran saya dan Mbak Lia menyumbangkan sebuah lagu berbahasa Inggris, Home - Michael Buble. Bukan karena cocok dengan suasana traveling sih, tapi nyatanya di buku lagu cuma itu yang kami hapal melodinya. Terharunya lagi, rombongan tamu di meja depan yang semuanya cowok-cowok ikutan nyanyi dan berdiri sambil cheers gelas bir mereka saat lirik "Let me go hoooooommeeeeee...."

Ohh so candy....!

Tuesday, June 9, 2020

Tips Mabuk Servis di Phnom Penh (4)|Fashion Style

Pagi-pagi kami seperti dikejar anjing dan mesti buru-buru gara-gara salah jadwal. Karena kelelahan semalam, kami sampai bangun kesiangan. Jam 7 pagi ponsel Dwi sudah berdering karena panggilan Mai. Masih dengan mata tertutup dan setengah sadar, saya mendengar, "Yes, what? Okay. Eleven? Okay." Klik.

Kembali hening....

Sialnya beberapa menit kemudian kami bertiga bangun layaknya zombie, langsung berebutan masuk kamar mandi dan Dwi buru-buru nampol bedak kesana-kemari. "Duuh..Kirain jam 11, jadinya aku tidur lagi. Eh ini dia barusan nelepon katanya jam 7. SEVEN jadinya bukan ELEVEN," kata Dwi. Parahnya lagi saat Mai nelepon, ternyata dia sudah di lobi. Aaarrghh..

"I'm sorry, Mai, we're late," akhirnya saya dan Mbak Lia yang datang 30 menit kemudian jadi tidak keenakan dengan Mai. Hari ini Mai bilang kalau dia sedang tidak sehat tapi karena sudah janji ingin mengantar kami keliling Phnom Penh akhirnya dia malah yang tidak enak kalau sampai telat. Lho, Mai...

Saat itu Mai tidak sendiri, tapi ditemani adik pacarnya yang masih berumur 19 tahun. Saya lupa nih siapa nama adik itu. Iiisshh.. Dari hostel, kami menjemput Dina dulu di rumahnya. Karena semalam tidak bisa ikut gabung, akhirnya dia ingin join hari ini. Seperti biasa, lagi-lagi kami diservis dengan sangat memuaskan! Selain (lagi-lagi) ditraktir sarapan, kami diajak keliling Phnom Penh sekalian foto-foto. Mai bilang, kalau kami tinggal lebih lama di Phnom Penh dia akan mengajak kami ke Sihanouk.

"How long that place from Phnom Penh?" tanya Dwi.

"It's about 4 hours from here," jawab Mai.

"How to go to there?" tanya saya.

"By car."

"Who's the driver then?" tanya saya lagi.

"Me. I'll take you there and we'll play in the sea or BBQ-ing."

Ohhh...Mai sudah kelewatan baik nih kayaknya. Dari hari pertama sampai hari keempat kami di Phnom Penh tidak henti-hentinya dia memanjakan kami. Ya mungkin lebih tepatnya tidak berhenti mentraktir makan 3 kali sehari. Sehabis sarapan, kami diajak mengunjungi Royal Palace-nya Kamboja yang jadi salah satu landmark kota. Sayangnya saat kami kesana, Royal Palace sedang tutup dan istirahat. Yasudahlah, main-main di teras istana lumayan juga.

Karena Mai sedang ada kerjaan, jadinya dia nyuruh kami tinggal di rumah Dina dulu sampai makan siang. Dina juga tidak segan dan sepertinya dia happy sekali saat kami main di rumahnya. Di rumahnya, kami kenalan sama ibu Dina yang kata Dina, beliau salut sekali dengan kami, keliling dua negara, tanpa keluarga atau sanak saudara. Pemberani! Backpacking gitu lho...

Cuaca Phnom Penh siang itu memang sedang bersahabat sepertinya. Hujan deras mengguyur kota sepanjang siang. Dina sepertinya mengerti kalau kami kecapekan dan mempersilakan kami untuk tidur siang di kamarnya selagi menunggu Mai. Awalnya sih kami tidak mau, takut merepotkan. Tapi nyatanya, semua mendarat di kasur dengan selamat. Hahaa..

Jam three sore, saat hujan sudah reda, Dina membangunkan kami untuk cari makan siang. Apalagi nih? Perasaan kami belum terlalu lapar. Tapi Dina bilang jam makan siang sudah lewat dan dia sudah kelaparan. Baiklah.. Mari kita makan!!

Sekitar satu jam kemudian Mai datang dengan adik pacarnya ke restoran. Setelah makan siang ini mereka akan mengajak kami karaokean! Yaaayy... Dengan 2 motor, yang masing-masing dinaiki 3 orang, kami akhirnya sampai juga di sebuah tempat karaoke yang sebenarnya mirip dengan tempat karaoke di Indonesia. Tapi baru setengah jam bernyanyi, Mai dan Dina komplain ke Mbak resepsionis (tidak tahu bicara apa) lalu mengajak kami pindah lokasi. Lho?

"The place isn't really good," jawab Dina singkat saat kami tanya kenapa sampai harus pindah lokasi. Padahal menurut kami tempatnya lumayan juga sih. Tidak ada yang salah. Tapi ya mau bagaimana lagi, cuma mereka yang tahu alasannya. Hingga akhirnya mereka memilih KTV ini! Wohooo...

Sekitar 2 jam bernyanyi tidak jelas, jam 8 malam Mai ditelepon seseorang yang mengatakan kalau ibunya sekarang masuk rumah sakit gara-gara kebanyakan minum. Semalam saat di KTV ibu Mai memang tidak berhenti minum bir. Saat pulang pun saya melihat gelagatnya yang sudah seperti orang mabuk. Ternyata kami juga baru tahu ibu Mai minum bir lagi setelah pulang dari KTV itu. Oh my God! Padahal Mai bilang ingin bernyanyi bersama kami hingga tengah malam. Rencananya dia akan mengajak pacarnya bergabung.Tapi saat dihubungi, pacarnya sedang kuliah dan baru bisa gabung jam 9 malam. Bakalan semalaman suntuk di KTV pasti ceritanya nanti.

Kami akhirnya sudah kembali ke hostel jam 9 malam. Ada untungnya juga sih. Ini malam terakhir kami di Phnom Penh, artinya kami masih punya waktu untuk istirahat lebih lama dan unpacking. Tapi Dina menguntit hingga ke kamar. Awalnya dia seperti 'tidak tega' melihat kami hanya menghabiskan waktu di kamar saat malam terakhir di Phnom Penh. Kalau kami mau, sebenarnya dia akan menghubungi teman-temannya agar bisa menemani kami keliling Phnom Penh malam itu. Sungguh jamuan yang memuaskan memang. Namun sepertinya Dina mulai mabuk karena dia sampai tergeletak lama di kasur kami. Tuh kan, untuk tawaran dia kami tolak. Lha orangnya saja sudah mabuk begitu.'

"Okay, we'll be meet again at 7 AM tomorrow. Don't forget ya..!" katanya mengakhiri obrolan saat kami mengantarnya ke lift malam itu.

Tips Pencarian Keluarga Angkat Au Pair Tanpa Lelah|Fashion Style

Ini sudah bulan keberapa sejak saya memutuskan untuk menolak tawaran keluarga Australia yang akan menjadikan saya sebagai Au Pair mereka. Masih dengan menggunakan website yang sama dan recommended ( AuPair World ) saya terus berusaha mencari keluarga angkat yang cocok. Tapi gara-gara keseringan ditolak disana, akhirnya perjuangan saya tidak berhenti sampai di AuPair World saja. Saya juga mencari keluarga angkat di beberapa website yang banyak ditemukan di internet. Ketawan banget ya niatnya? Ya namanya juga usaha. No deal with A, let's move to B!

Karena punya keinginan yang besar untuk melihat alam Eropa Utara yang masih natural, saya juga iseng-iseng mendaftar ke website Au Pair Skandinavia atau Energy Au Pair. Selain karena merasa tidak terlalu banyak persyaratan yang diajukan; contohnya sertifikat bahasa, tinggal di negara termahal dunia sepertinya akan menjadi pengalaman seru di masa mendatang.

Selain Belanda, mungkin Belgia adalah satu-satunya negara di Eropa Barat yang tidak memerlukan sertifikat bahasa asing untuk pengajuan visa. Karena sejujurnya saya juga malas bolak-balik Jakarta demi sebuah sertifikat yang kemungkinan belum tentu juga lulus. Jadilah saya juga mendaftar ke salah satu agensi Au Pair Belgia yang menurut saya adminnya sangat bersahabat, dan halaman website mereka yang sangat simpel ( AuPair Support Belgium ).

Berbeda dengan AuPair World ataupun AuPair Skandinavia, di website ini terdapat 3 step pendaftaran (isi biodata, kirim foto, minta surat rekomendasi, dan tanda tangan surat pernyataan). Namun step yang harus saya lakukan cukup sampai 2. Step ke 3 akan lanjut kalau ada keluarga angkat yang tertarik pada profil saya. Jadinya selama kurang dari satu bulan saya cuma menunggu selagi terus apply ke keluarga angkat di website lain.

Dari mulai daftar jadi calon Au Pair di bulan Mei sampai Agustus 2013, sepertinya belum ada juga keluarga yang tertarik. Padahal saya sudah membuat profil yang 'saya banget' dan mungkin juga sangat jujur. Karena yang banyak saya temui, alasan 'kepercayaan (saya muslim)' adalah hal yang belum bisa sepenuhnya diterima oleh keluarga yang saya apply. Persoalan menjalankan kewajiban seperti sholat dan puasa, hingga tidak makan babi dan minum alkohol, menjadi hal yang masih belum bisa diterima akal mereka.

But, I still believe, kejujuran akan membawa kita ke tempat yang benar. Dan benar saja, sebuah email di bulan September membuat malam saya menjadi lebih berwarna. Email dari agensi Belgia mengatakan kalau ada keluarga yang tertarik pada profil saya.

Sebuah email berbarengan pun muncul dari pihak keluarga angkat yang langsung menyatakan ketertarikannya pada (kejujuran) profil saya. Tuh kan! Ternyata keluarga ini punya background Maroko yang juga muslim. Si ibu memang mencari au pair muslim agar senilai dengan ajaran anaknya di rumah.

Dari bincang-bincang yang cuma lewat email ini, saya akhirnya mendapati kalau si keluarga mau membiayai embel-embel di luar pembuatan visa. Baik, tunggu, bincang-bincang lewat electronic mail? Iya, cuma lewat e mail! Si keluarga tidak pernah mengajak mengobrol via Skype ataupun telepon.

Padahal kalau si keluarga memang benar-benar niat mencari seorang kakak tertua untuk anaknya di rumah, setidaknya harus mencari au pair yang benar-benar jelas asal-usulnya. Karena hal yang paling riskan untuk si keluarga adalah mengundang orang asing ke rumah mereka. Lha ini, saya cuma perlu mengirim foto dan cerita singkat tentang keluarga dan kehidupan saya, si keluarga langsung oke-oke tanpa banyak tanya tentang pengalaman saya mengasuh anak-anak sebelumnya.

Sebenarnya saya juga bingung kenapa si keluarga begitu percayanya dengan saya tanpa babibu atau face to face dulu via Skype. Padahal dari pengalaman atau saran yang ada, setidaknya keluarga dan calon au pair mesti berbincang-bincang ria sekedar membahas tentang kesepakatan yang ada via Skype/video call lainnya.

Setelah e-mail-emailan selama sebulan, akhirnya naik pangkat juga tukar nomor ponsel lewat WhatsApp. Jadi intinya, saya sudah diterima jadi au pair mereka dan tinggal mempersiapkan dokumen yang ada.

Sempat juga ditakut-takuti kalau bisa jadi keluarga angkat saya ini cuma menipu dan tidak mau menunjukkan identitas asli dengan mengobrol dulu di Skype. Saya juga sempat berpikiran begitu, tapi mengarah ke obrolan chat selama ini, lalu melihat foto-foto liburan mereka yang sempat dikirim ke saya, rasanya mustahil kalau mereka 'palsu'.

Si ibu yang selalu chat sama saya juga terbuka dan fast response. Lagipula selama ini mereka juga tidak pernah meminta saya kirim-kirim uang, bahkan mereka sendiri bersedia membayari saya tiket berangkat ke Belgia.

Iseng-iseng, saya googling nama si ibu, dan..ehh, si ibu cukup terkenal hingga namanya mudah dikenali Google. Bahkan di YouTube pun ada video wawancaranya dengan sebuah majalah. Setelah tanya-tanya kenapa beliau mau menjadikan saya au pair tanpa Skype-an (seperti keluarga lain) lebih dulu, saya akhirnya dapat jawabannya.

Katanya si ibu sudah tahu 'kapasitas' dan kepribadian saya tanpa mesti Skype-an/wawancara dulu. Intinya, dia percaya kalau saya cewek baik-baik. Lagipula dia sudah tertarik dengan saya dan tidak ingin cari kandidat lain.

Begitulah pengalaman saya mencari keluarga angkat yang setidaknya mau membayari tiket dan kursus bahasa. Teman-teman yang juga sudah punya niat pengen au pairing, apalagi yang muslim, tidak perlu takut mengakui kalau kita muslim dan membatasi makanan yang menurut kita dilarang. Kita mesti jujur tentang diri kita dan motivasi ingin au pairing itu kenapa.

Kalaupun si keluarga menghargai dan tertarik dengan profil kita, akan selalu ada win win solution. Syukur-syukur dapat keluarga yang seiman, jadinya menjalani hari-hari di rumahnya tidak terlalu banyak masalah gara-gara beda keyakinan.

Yang pasti, di luar si keluarga mengajak Skype-an atau tidak (seperti cerita saya), pastikan dulu apakah kesepakatan yang ditawarkan keluarga akan menguntungkan untuk kita. Begitupun juga sebaliknya. Jangan sampai gara-gara ingin segera keluar negeri, kita asal terima keluarga angkat. Ingat,follow your gut and trust your instincts!

Oh ya, jangan juga menyerah kalau beberapa kali ditolak oleh keluarga angkat saat apply, segera cari keluarga baru di website lain (yang tentunya juga terpercaya dong)! Great things always take time.

More guidelines:

Guide untuk au pair

Tips pencarian au pair (2)

First time au pair, ke negara mana?

Tips Hari Terakhir di Phnom Penh|Fashion Style

Mai mengabari kalau pagi itu dia tidak bisa menemani kami jalan-jalan karena sakitnya kambuh. Poor Mai.

"If I could wake up from my bed, I will pick you up in the hotel at 8 AM," katanya di telepon.

Sebenarnya tidak enak juga sih, kemarin waktu menemani kami jalan-jalan sebenarnya Mai juga sedang dalam kondisi tidak sehat. Apalagi malamnya mendapati kabar ibunya masuk rumah sakit gara-gara terlalu banyak minum. Memang waktunya Mai istirahat.

"It's your last day in Cambodia. I don't want to miss our last opportunity. But I'll try my best to be stronger," katanya lagi.

Duh, beneran jadi terharu deh. Tapi akhirnya sampai jam setengah eight pagi Mai mengabari kalau dia tidak bisa menemani kami karena perutnya masih sakit.

"It's okay, Mai. You should take a rest. Thank you for a few days ago," Dwi jadi prihatin.

Dan jadilah hari terakhir di Phnom Penh diisi dengan kegiatan belanja dan kunjungan ke Tuol Sleng. Dina buru-buru minta maaf saat datang terlambat. Padahal telatnya cuma setengah jam doang. Lagian kalau dia datangnya on time terus kasihan di saya dong. Habisnya di antara teman gang, cuma saya yang bangun paling telat dan kebagian mandi paling akhir. Isshh..Curhat.

Dina beneran jadi time manager alias alarm yang baik banget buat kami. Pas ditraktir sarapan (lagi-lagi) kami selalu diingatkan untuk tidak terlalu lama menghabiskan makanan. Saat sesi jalan-jalan, dia terus-terusan mewanti-wanti kalau kami cuma waktu kurang dari dua jam buat berbelanja. Habisnya, kami harus menyisihkan waktu untuk check out dan kunjungan singkat ke Tuol Sleng. Dia tidak ingin kami terlambat sampai bandara dan ketinggalan pesawat. Uuuhh...totwit.

Jadi ceritanya, kami dibawa Dina balik lagi ke pasar sentral yang pertama kali kami datangi. Eh sebenarnya permintaan khusus dari kami juga sih. Pas kali pertama datang, saya dan Mbak Lia naksir berat dengan kain Kamboja yang warnanya cantik-cantik, jadinya sudah dijadwalkan bakal balik lagi kesini. Tapi ternyata pas balik lagi, kok tidak selera lagi ya dengan kain-kainnya? Aiihh bohong sih, sejujurnya dolar sudah mepet. Jadinya balik-balik jajan kaos sama suvenir doang. FYI, kaos-kaos Kamboja bahannya bagus-bagus banget! Sueerr... Harga per-bijinya cuma US$2 dengan bahan bagus dan motif sablon neon. Must buy deh ya kalau mampir ke pasar ini. Hohoho..

Entah mengapa saya mulai selera dengan menu makan siang kali ini. Bukan karena lagi-lagi free of charge ya, tapi jujur saja, kemarin-kemarin saya sempat dibuat eneg dengan seleranya orang Kamboja. Sialnya, setiap kali ingin pesan makanan, kami tidak pernah disuruh memilih menu sendiri. Jadi kebanyakan Dina atau Mai yang memesan. Pas makanannya datang pun, si Dina dengan 'baik hati' meracik bumbu makanan kami, baru memperbolehkan kami makan. Idihh..Sungguh tidak adil! Hehe.. Tapi rata-rata bumbu racikan Dina enak kok. *bohong*

Tahu makanan yang bikin saya selera? Kepala ikan goreng yang super crunchy! Hohoho.. Saya sampai lupa lho menawari Mbak Lia, Dwi, dan Dina saking serunya makan ikan sendirian. Eh sumpah, beberapa hari ini saya cuma disuguhkan mie, jamur, daging, ayam, atau kerang-kerangan. Bosan juga kali ah.. Makanya pas pesan menu, saya ngomong ke Dina kalau saya ingin ikan. Ikan apa saja deh. Lucky me, dibawain ikan goreng. Iya, ikan goreng doang. Rakus deh eke!

"She misses to eat fish. So, she likes fish," kata Dwi saat menyadari Dina memperhatikan saya makan ikan dengan lahapnya.

"Ohh, it's okay. Eat.. eat," kata Dina maklum sambil mengangguk-angguk.

Tapi bukan cuma saya lho yang lahap makan. Si Mbak Lia juga kok kayaknya tidak menoleh lagi ya dari mangkuk berisi ayam-mirip-soto-tapi-asam itu? Iiihhww..Ketawan! "Sambel sama kecap asinnya cocok joonn..," belanya. Dooh, alibi doang bilang aja laper.

Berikutnya adalah kunjungan ke Tuol Sleng. Dina mengingatkan lagi kami cuma punya waktu sekitar satu jam untuk keliling Tuol Sleng. Deehh...Lagian mau apa pula sih di Tuol Sleng lama-lama? Kan syerem.

Sebenarnya Tuol Sleng ini 'hanya' museum dengan bangunan yang dulunya adalah sekolah. Ta-piiiii...Museum ini adalah bangunan yang menjadi saksi bisu kekejaman Pol Pot zaman dulu. Dwi sampai mau nangis memohon untuk tidak masuk kesana. Tapi berkat 'rayuan' kami dan Dina, akhirnya dia mau juga tuh masuk ke Tuol Sleng.

Selain jadi alarm yang super on time, Dina juga berbaik hati menjadi guide kami selama di Tuol Sleng. Tuh kan, kurang servis apalagi coba kami ini? Jalan-jalan diantar pakai mobil, makan dibayarin tiga kali sehari, karaoke ditraktir, ini jadi guide gratisan pula! Padahal kalau mesti nyuruh guide menerangkan isi museum, mesti bayar lagi kan?! Lucky us! Hehe..

Jadi intinya museum ini akan menyuguhkan sejarah yang kelam bagi masyarakat Kamboja dan sungguh memilukan. Bayangkan, satu bangsa, satu tanah air, tapi nekad saling siksa. Begitu juga dengan sejarah Tuol Sleng ini, sungguh menyayat hati. Kekejaman Pol Pot ini mirip-mirip peristiwa G30S/PKI. Tapiiii..Menurut information yang saya dapat dari Dina, ternyata tentara Pol Pot ini adalah anak-anak muda yang umurnya dibawah 20 tahun! Katanya, sebelum menjadi pasukan Pol Pot, anak muda ini disuruh membunuh kedua orang tua mereka dulu. Karena, kalau mereka sudah berani membunuh orang tua sendiri, mereka tidak akan mungkin takut membunuh orang lain. Ya Tuhan, saya sampai merinding.

Ada banyak foto tentara Pol Pot dan korban-korban yang disiksa di museum ini. Sungguh memilukan, anak-anak muda yang nyatanya orang Kamboja juga nekad menyiksa hidup-hidup orang tua yang jelas-jelas satu bangsa. Saya saja sampai tidak ingin menceritakan kekejaman mereka lebih lanjut. Untungnya kunjungan kami hanya dibatasi Dina sampai jam setengah dua. Kacau juga kalau sampai sore kami disini. Habisnya Mbak Lia mengajak nonton video dokumenter yang akan ditayangkan jam 3 nanti. Gila, saya bisa-bisa tidak tidur nanti!

Saat menunggu taksi yang akan mengantar ke bandara, kami pamitan dulu dengan resepsionis hotel yang ramah sekali. Selain bahasa Inggrisnya bagus, kami juga tidak segan untuk komplain apapun dengan dia. Eh iya, saya ketemu sama cowok manis mirip Calvin Jeremy di hotel. Tumben-tumben kan nemu barang bagus di Kamboja. Bukan tamu lho, tapi bellboy-nya. Saya sih sebenarnya sudah ketemu dia dari kemarin, tapi pas mau check out kebetulan dianya stay di lobi terus. Jadinya sekalian pamitan deh. *Gak penting*

Bye bye, Phnom Penh

Well, this our last time in Cambodia. Sungguh senangnya hati ini, kemana-mana diantar, ditraktir makan pula. Enaknya ya menyombongkan pengalaman sama orang. Hahaa.. Tapi sumpah, sampai sekarang saya juga tidak menyangka bakal dapat teman yang super baik seperti mereka. Saya dan dua orang travel mate sampai sudah janjian bakal menjamu mereka dengan baik pula kalau mereka datang lagi ke Indonesia. Ngomong-ngomong, Dina lagi giat-giatnya latihan nih agar dikirim ke pertandingan petanque di Bali Oktober nanti. Semoga saja berhasil ya! Hoping you will go to your dreamland, Din!

Monday, June 8, 2020

Tips Mendapatkan Surat Izin Kerja Au Pair Belgia|Fashion Style

Berlanjut dari pencarian keluarga angkat, sekarang saatnya menyiapkan berkas-berkas untuk di-apply sebagai syarat memperoleh izin kerja dari Belgia. Karena pihak agensi AuPair Support Belgium sangat membantu dan menjawab email saya dengan sangat responsif, akhirnya pengurusan izin kerja ini Alhamdulillah berjalan lancar. Perlu diketahui juga, agensi mereka tidak memungut satu persen biaya pun dari calon host family maupun au pair. Bahkan mereka sangat bertanggungjawab dalam mengurusi dokumen-dokumen yang diperlukan untuk aplikasi izin kerja dan visa.

Sebelumnya saya memang sudah googling dokumen apa saya yang mesti dibutuhkan. Belum sempat membayangkan prosesnya bagaimana, saya sudah dibuat panik dengan banyaknya prosedur yang harus dilalui. Karena saya tinggal di luar Jakarta dengan mobilitas yang terbatas, prosedur tersebut cukup merepotkan di awal.

Dari hasil googlingan dan tanya kesana-kemari, ada yang menyarankan untuk mencoba menghubungi biro jasa yang ditunjuk oleh Kedutaan Belgia. Berharap mendapatkan bantuan, yang ada saya mesti mengeruk finansial lebih dalam karena biaya yang dipatok sangat mahal. Sebagai bocoran, untuk mengurus dokumen tersebut memerlukan biaya paling murah 5 juta rupiah secara keseluruhan (terjemah dokumen ke bahasa Belanda, legalisasi, dan urus SKCK di Mabes). Waduh, saya yang masih anak kuliahan (yang pasti kere) mana berani minta langsung ke ortu duit segitu banyaknya.

Dokumen yang diperlukan untuk apply ini sempat saya tanyakan ke Eva, adminnya agensi AuPair Support Belgium. Tapi ternyata, Tuhan masih baik sama saya, hingga Eva mengatakan kalau dokumen yang dibutuhkan tidak sebanyak itu. Karena agensi yang akan mengurus izin kerjanya, jadi dokumen yang saya butuhkan hanya:

1. Sertifikat kesehatan yang ASLI dari dokter yang ditunjuk oleh pihak kedutaan.

Nama-nama dokter yang ditunjuk bisa dilihat di link  ini. Setelah tanya dengan teman di blog sebelah, saya memutuskan untuk medical chek-up ke dr. Ivy Kumentas di Medicare Clinic. Biayanya 690ribu untuk tes rontgen, tes urin dan feses, BB/TB, dan tes darah. Saya sarankan untuk medical check-up ke dokter ini kalau agak risih dengan dokter laki-laki. Bukannya apa sih, soalnya bakal ada pemeriksaan tanda-tanda kanker pada payudara, yang pastinya bakal kena raba-raba di bagian itu.

Saya medical check-up hari Jumat, lalu pihak kedutaan menghubungi saya pada hari Rabu untuk mengambil hasil tes kesehatan yang dikirim oleh klinik. Ada 2 buah sertifikat kesehatan, untuk visa dan work permit. Sertifikat kesehatan untuk work permit inilah yang nantinya saya kirim ke pihak agensi.

2. Fotokopi halaman identitas paspor dan halaman yang sudah ada cap dari negara lain.

Three. Fotokopi ijazah terakhir (yang membuktikan kalau saya sekolah sampai umur 18 tahun) dan harus diterjemahkan ke Bahasa Inggris atau Perancis terlebih dahulu.

Dari hasil googling saya menemukan bahwa ijazah ini harus dilegalisasi, diterjemahkan dulu ke Bahasa Belanda/Perancis (tergantung vicinity tempat kita tinggal nanti) lalu dilegalisasi lagi ke Depkumham, Menlu, dan Kedutaan Belgia agar legal. Tapi nyatanya, saat saya hubungi pihak agensi, Eva mengatakan kalau saya tidak perlu membuang uang untuk melegalisasi itu semua dan saya cukup mempercayakan urusan ini padanya karena mereka sudah sering berurusan dengan pihak balai kota.

Saya sih bahagia-bahagia saja kalau ternyata tidak perlu bolak-balik Jakarta demi mengurus itu semua. Karena ingin 'diakui' prison, akhirnya saya meminta penerjemah tersumpah untuk menerjemahkan ijazah SMA ke Bahasa Inggris. Ongkos yang saya keluarkan 50ribu/halaman (total 100ribu karena ijazah bolak-balik) dan sudah termasuk ongkir (saat itu penerjemahnya di Jakarta dan sedang membuka harga promo).

Four. Four lembar foto berukuran 3.5x4.5cm berlatar belakang putih.

5. Mengirimkan surat kontrak kerja di halaman 4 yang bertandatangan asli.

Surat kontrak kerja berbahasa Belanda ini juga sudah dikirimkan Eva ke email sehingga saya cukup mengeprint halaman 4 dan menandatanganinya.

Setelah semua beres, saya mengirimkan semua dokumen ke agensi mereka di Belgia. Karena finansial yang lagi terbatas, saya akhirnya menggunakan jasa PT. POS Indonesia untuk mengirimkan dokumen. Biaya pengiriman EMS ke Belgia dengan berat kurang dari 0,5kg adalah 276ribu dengan lama pengiriman four-5 hari kerja. Sialnya, gara-gara saya mengirim dokumen berdekatan dengan hari libur Natal, dokumen saya baru sampai 2 minggu kemudian.

Sempat was-was apakah izin kerja saya akan diterbitkan oleh pihak balai kota di Belgia, mengingat proses yang saya jalani berbeda dengan kebanyakan orang. Tapi akhirnya, Alhamdulillah, satu bulan kemudian, Eva mengirimkan email dan memberi kabar kalau izin kerja saya sudah sampai di kantornya dan akan segera dikirimkan ke Indonesia. Finally, I got my blue work permit!

>> Tahap selanjutnya adalah mengajukan aplikasi visa ke Kedubes Belgia di Jakarta

Tips Membuat SKCK untuk Au Pair ke Belgia|Fashion Style

Gara-gara salah perkiraan waktu, saya akhirnya terpaksa membuat SKCK di waktu-waktu mepet. Maklum, di bulan Desember dan Januari lalu saya masih sibuk mengurus ujian akhir skripsi, sampai cuma diberi waktu 5 hari untuk revisi, notulensi, jilid skripsi, dan daftar wisuda. Saya baru sempat mengurus SKCK di awal bulan Februari ini.

Syarat untuk mengajukan aplikasi visa, salah satunya harus menyertakan police record atau SKCK yang berbahasa Inggris. Beberapa kali mencari info di internet, banyak yang mengatakan kalau SKCK yang diterima adalah SKCK terbitan Mabes Polri Jakarta. Tapi ada beberapa yang punya pengalaman, SKCK terbitan Polda pun dapat diterima.

Sebelum itu, saya sempat ke Polres Kota Palembang untuk menanyakan hal ini. Saya bertanya ke petugas, apakah SKCK dari Polres bisa langsung diteruskan ke Mabes Polri, mengingat kalau SKCK yang berlaku adalah yang berbahasa Inggris. Si petugas mengatakan kalau sebenarnya SKCK terbitan Polres sekarang juga berbahasa Inggris. Namun kalau keperluannya untuk membuat visa, saya harus membuatnya di Polda Sumatera Selatan.

Setelah dapat data, saya langsung tancap fuel ke Polda Sumatera Selatan untuk membuat SKCK. Saat itu sudah jam thirteen.15, tapi herannya petugas yang melayani tidak ada di tempat. Padahal setahu saya loket bagian SKCK baru tutup jam 15.00.

Dokumen yang harus dibawa untuk membuat SKCK baru di Polda:

1. Pas foto ukuran 4x6 berwarna 2 lembar

2. Kartu sidik jari

3. Surat pengantar dari Polsek

4. Fotokopi KTP

5. Uang administrasi Rp. 10.000

Karena belum ada surat pengantar dari Polsek, saya langsung ke Polsek sambil terus berharap kalau proses disana akan lancar dan saya bisa langsung balik lagi ke Polda.

Dokumen yang harus dibawa untuk membuat SKCK di Polsek:

1. Pas foto ukuran 3x4 berwarna 2 lembar

2. Map kuning

three. Fotokopi KTP

4. Uang administrasi Rp. 10.000

Di Polsek, saya disuruh mengisi formulir yang berisi tentang information pribadi dan ciri-ciri fisik. Karena dari rumah buru-buru, saya tidak bawa map yang juga dibutuhkan saat pembuatan SKCK. Untungnya pak polisinya baik dan tidak memedulikan apakah saya bawa map atau tidak. Yang ada, dia yang malah mencarikan map kuning yang tidak terpakai di meja kerjanya untuk saya.

Setengah jam kemudian saya sudah memegang surat pengantar dari Polres untuk dibawa ke Polda. Tapi ternyata apa? Saat saya tiba disana, lagi-lagi petugas yang melayani tidak muncul-muncul juga, padahal saat itu baru jam 14.20. Akhirnya saya bertanya ke polwan disitu dan dia mengatakan kalau loket sudah tutup.

Besoknya sekitar jam 10 pagi, saya balik lagi ke Polda untuk menyerahkan dokumen yang diperlukan. Sebelumnya, saya diharuskan untuk sidik jari lebih dahulu dan membayar uang administrasi sebesar 10ribu. Setelah itu, saya serahkan dokumen lengkap ke petugas loket. Petugasnya memberikan saya form isian yang juga sama seperti form yang saya isi di Polsek.

Ketika petugasnya mengecek kembali dokumen yang saya berikan, dia mengatakan kalau untuk keperluan visa, dibutuhkan fotokopi paspor juga. Waduh, mana saya bawa paspor coba. Jadinya saya balik lagi ke rumah, langsung fotokopi, dan menyerahkan kembali ke mereka. Untungnya ini Palembang, bolak-balik Polda ke rumah bisa tembus 30 menit. Coba kalau di Jakarta? Waduuuhh.. Petugas akhirnya menyerahkan tanda terima agar besoknya saya kembali untuk mengambil SKCK.

Sebelum mengambil SKCK besoknya, saya coba menelepon kedutaan Belgia untuk kembali memastikan apakah SKCK terbitan Polda bisa diterima karena sudah bilingual. Pihak kedutaan mengatakan sebenarnya tidak ada masalah bagi mereka SKCK terbitan Polda ataukah Mabes Polri. Yang penting pihak Kemenlu dan Kemenkumham mau melegalisasinya. Jadi menurut saya, persoalannya bukan di kedutaan, tapi ada di kedua pihak itu, mau atau tidak melegalisasi SKCK terbitan Polda Sumatera Selatan nantinya. Soalnya kalau sudah dilegalisir Kemenlu dan Kemenkumham, pihak kedutaan sepertinya tidak ada masalah untuk melegalisasi.

Karena saya tidak punya waktu, lalu saya juga mesti ke Jakarta untuk mengurus legalisasi yang waktunya cukup lama, akhirnya saya memutuskan menggunakan biro jasa legalisasi dokumen yang ada di net saja. Setelah bertanya tentang tarif legalisasi ke beberapa biro, saya akhirnya menggunakan biro legalisasi dokumen JTC Indonesia yang kantornya ada di Pasar Minggu. Tapi satu, syaratnya SKCK harus terbitan Mabes Polri.

Ya sudah, saya tidak punya pilihan lain, daripada saya dibuat tambah repot, saya akhirnya minta bantuan teman yang tinggal di Jakarta untuk membuatkan saya SKCK di Mabes Polri. Selanjutnya, dia yang akan mengirimkan SKCK itu ke pihak JTC untuk kemudian dilegalisasi. Di hari yang sama saat mendapatkan SKCK, saya langsung mengirimkan ke alamat teman. Jumat saya kirim dokumen, Sabtunya sudah sampai.

Hari Seninnya, tiba-tiba teman saya menelepon dan mengatakan kalau pihak Mabes juga membutuhkan Kartu Keluarga (KK) yang memang tidak saya kirimkan ke dia. Saya memang sengaja tidak kirimkan, karena saat mencari information di net, KK tidak ada dalam dokumen yang dibutuhkan.

Teman saya mengatakan kalau fotokopi KK dapat di-email atau di-fax ke Mabes Polri, saat itu juga! Saya mendadak kebingungan, karena saat itu saya sedang di jalan dan kemana mesti mencari mesin fax. Untungnya mama membawa fotokopi KK dan langsung menuju ke kantor temannya terdekat untuk menumpang nge-fax. Sialnya lagi, nomor fax Mabes sibuk terus, jadinya dokumen itu belum bisa dikirim dan di kantor itu juga tidak ada mesin scan.

Setelah urusan di jalan selesai, kami buru-buru pulang dan scanning KK untuk segera dikirim ke email Mabes. Saat itu jam 14.40, saya konfirmasi ke teman saya bahwa fotokopi KK sudah dikirim ke email Mabes. Tapi sayangnya teman saya SMS kalau loketnya akan tutup dan bisa mengulang besoknya. Hahh, sial, saya rugi lagi 1 hari!

Di Mabes, teman saya juga disuruh mengisi shape yang sama seperti yang saya isi di Polsek/Polda. Sebelumnya saya juga melampirkan isian form ke dia, agar dia tidak kebingungan pas mengisi. Setelah semuanya lancar, besoknya dia disuruh kembali untuk mengambil SKCK baru selanjutnya untuk dikirimkan ke pihak biro legalisasi.

Dokumen yang harus dibawa untuk membuat SKCK di Mabes Polri:

1. Pas foto ukuran 4x6 berwarna four lembar

2. Fotokopi KTP

three. SKCK terbitan Polda fotokopinya 1 lembar

4. Fotokopi Kartu Keluarga (KK)

five. Fotokopi Akte Kelahiran

6. Uang administrasi Rp. 10.000

Begitulah prosedur saya memperoleh SKCK untuk keperluan mengajukan visa. Kalau informasi yang saya lihat di net membuat SKCK harus dimulai dari ada surat pengantar RT, RW, lurah, nyatanya saya tidak harus ke mereka dulu. Saya cukup ke Polsek, Polda, hingga langsung meneruskan ke Mabes. Namun tentunya setiap daerah memiliki prosedur yang berbeda sehingga sebaiknya ditanyakan ke pihak terkait lebih lanjut. Mengurus SKCK di Mabes sebenarnya tidak terlalu rumit, tapi karena saya di luar Jakarta, jadinya hal itu menjadi lumayan ribet. Sebelumnya ada juga biro yang menawarkan untuk membuatkan SKCK di Mabes dengan biaya 400ribu, tapi saya tolak karena lumayan mahal. Untung teman saya di Jakarta berbaik hati mengurusnya dan saya kasih ongkos setengah dari biaya biro saja.

Tips Hal yang Harus Diketahui Sebelum Memutuskan Jadi Au Pair|Fashion Style

Nyaris empat bulan saya disini, masih banyak saja tanggapan dan respon positif bahkan negatif dari orang terdekat saat tahu saya sedang di luar negeri. Ada yang menganggapnya wah sekali karena beruntung mendapatkan kesempatan ke luar negeri, ada juga yang menganggapnya biasa saja saat tahu pekerjaan saya sebagai au pair.

Au pair bukanlah pekerjaan yang berjenjang karir, tapi menurut saya program ini bisa memberikan pengalaman yang keren sekali (atau bahkan buruk sekali). Au pair memang bisa disamakan dengan homestay, sebuah program pertukaran budaya yang ditawarkan oleh beberapa yayasan dan beasiswa di Indonesia. Bedanya, kita juga bisa mencari uang dari keluarga tersebut dengan membantu mereka mengurus anak, bersih-bersih, atau melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Upahnya? Jangan dikurs ke rupiah ya. Memang upahnya tergolong tinggi saat dibawa ke Indonesia. Tapi, biaya hidup di Eropa yang juga sama tingginya, menegaskan kalau upah yang kita terima ini sebanding dengan uang saku yang tidak besar nominalnya. Dapat banyak Euro, ya keluarnya banyak juga.

Selain dapat uang saku, enaknya jadi au pair itu...

1. Yang paling utama tentunya adalah tinggal di luar negeri

Tidak semua orang di Indonesia bisa jalan-jalan atau bahkan tinggal di Eropa. Asiknya, kita tinggal dengan keluarga yang akan mensponsori kita ini itu.

Selain kamar pribadi, keluarga biasanya juga mau membiayai tiket pesawat, makanan, asuransi kesehatan, tiket transportasi dalam kota, atau bahkan meminjamkan mobil pribadi! Serunya, dengan tinggal di benua baru, artinya pengalaman yang didapat pun juga baru. Teman  baru, bahasa baru, kebiasaan baru, semuanya menuntut kita untuk lebih tolerir dengan perbedaan.

Pola pikir kita yang tadinya masih konservatif, biasanya akan mengarah lebih open minded. Saya tidak mengatakan kalau konservatif itu jelek ya. Namun, dengan berpikiran lebih terbuka biasanya membuat kita menilai sesuatu dari cara pandang yang lebih baik.

2. Belajar bahasa dan budaya lokal

Salah satu konsep au pairing yang saya suka tentunya kita bisa belajar bahasa dan budaya langsung dari negara asalnya. Saya jadi ingat kata guru saya waktu SMA dulu, untuk apa menghabiskan uang jutaan rupiah belajar bahasa Inggris di Indonesia tapi sehari-hari masih bicara bahasa Indonesia. Lebih baik uangnya dikumpulkan dan belajar langsung di negara dimana bahasa itu diucapkan. Saya setuju 60%!!

Dengan tinggal di negaranya langsung, mau tidak mau setiap hari kita harus bicara, mendengar, dan melihat siaran di TV dengan bahasa lokal. Au pair membuka jalan kita untuk lebih baik belajar bahasa dengan mengikuti kursus bahasa yang biasanya biaya akan ditanggung oleh host family. Baiknya, ini adalah sebuah keharusan untuk semua au pair.

Three. Tentunya bisa jalan-jalan keliling Eropa

Dengan uang yang dikumpulkan dari penghasilan perbulan, kita bisa jalan-jalan ke negara tetangga ala backpacker.

Four. Lebih mandiri dan bertanggungjawab

Mengatur keuangan pribadi, beres kamar, mengatur waktu kerja dan most important hari demi hari, semuanya akan membuat kita lebih mengenal diri sendiri.

Tapi jadi au pair tidak selamanya enak, karena kita juga harus siap menerima segala duka laranya. Karena tidak enaknya jadi au pair itu...

1. Kesepian

It must be right! Sebulan, dua bulan, tiga bulan, mungkin masih oke. Kita mungkin masih bisa happy-happy dan tidak percaya sedang berada di benua lain. Masih senang jalan-jalan, belanja di chain shops, atau update foto-foto keren di tempat wisata.

Tapi banyak juga au pair yang mulai merasa kesepian bahkan di minggu-minggu awal kedatangan. Jauh dari keluarga dan teman terdekat, tinggal di tempat baru, memulai kebiasaan baru, memang tidak mudah bagi banyak orang.

Hal ini juga berlaku walaupun kamu tipe orang yang supel dan easy going. Anak muda Eropa cenderung kaku dan cuek sekali. Jadi jangan harap kita bisa langsung masuk ke lingkungan mereka kalau sebelumnya tidak ada komunikasi.

2. Sendiri

Mungkin kita sudah punya teman dekat di Eropa, sering jalan, atau curhat-curhatan. Tapi ingat, mereka juga selamanya tidak bisa selalu ada untuk kita. Apalagi kalau teman kita juga seorang au pair yang tinggalnya di kota lain dan baru bisa ditemui hanya saat akhir pekan. Kita harus selalu siap untuk jalan-jalan atau merawat diri saat sakit sendirian.

3. Tidak selamanya host family akan memperlakukan kita sebagai keluarga mereka

Beberapa host family malah cenderung memperlakukan kita layaknya "gue udah bayar elo segala macem, jadi kerja yang bener!". Banyak au pair yang punya cerita buruk diperlakukan tidak layak oleh host parents-nya gara-gara mereka merasa sudah membiayai ini itu dan timbal baliknya au pair harus kerja rodi dari pagi ke malam.

Cerita buruk lainnya, host family membatasi makanan untuk au pair di rumah, bahkan menyediakan kamar yang tanpa penghangat. Bisa dibayangkan kan betapa dinginnya kamar itu saat musim dingin? Konsep au pair pada dasarnya tidak menyamakan kita dengan nanny atau housekeeper, tapi praktek yang ada di lapangan menerangkan au pair memang nanny atau housekeeper! Gara-gara ada aupair di rumah, biasanya host family jadi manja dan berpikir kalau apapun yang kotor dan berantakan, biar saja suruh au pair yang mengerjakan.

4. Bersiaplah dengan peraturan baru

Tinggal di rumah orang menyuruh kita untuk bisa lebih membawa diri dan mengorbankan sedikit privasi. Kita mesti adaptasi dengan gaya hidup host family, alat-alat rumah tangga yang modern, bahkan mungkin peraturan lainnya.

Saya mengenal seorang au pair yang mengatakan kalau dia tidak bisa lagi bersuara setelah jam 10 malam karena orang rumahnya termasuk yang sangat sensitif terhadap bunyi. Posisi kamar yang semuanya di lantai atas dan berdekatan membuat suara bisik-bisik pun terdengar dari kamar sebelah. Si keluarga butuh istirahat yang tenang dan au pair ini mau tidak mau harus menonton TV dengan mode mute setelah jam tidur itu.

Peraturan baru yang tidak enak membuat kita harus ekstra sabar dan sadar kalau rumah yang kita tempati adalah rumahnya host family. Biarpun kita dibayar, sekali lagi, itu rumahnya mereka. Mereka yang punya aturan dan bersiaplah diusir kalau kita melanggarnya. Ada cerita seorang au pair yang diusir host family-nya hari itu juga gara-gara selalu pulang di atas jam 1 pagi. Memang tidak baik sih, tapi imbasnya ya bisa diusir kalau berani melanggar.

Sudah sampai mana kamu? Lebih melihat au pair sebagai pekerjaan dengan pengalaman seru yang menantang, atau justru tidak lebih dari sekedar perbudakan?

Kalau menurut kamu au pair ini seru dan wajib kamu coba di usia muda, coba kamu cek dulu apa yang saya nyatakan di bawah ini. Au pair bisa jadi pekerjaan yang menantang karena bagi saya walaupun pekerjaan ini 'cukup' mudah, namun tidak cocok untuk semua anak muda. Kamu bisa mencoba jadi au pair kalau kamu...

1. Still maintain your dream on

Eropa itu bukan cuma tujuan, tapi juga mimpi banyak orang. Percayalah, au pair bisa membuat kamu living in your dream.

2. Open minded

Free sex, minum-minuman keras, living together, itu semua budaya Barat. Kalau kamu tidak siap berkomunikasi atau berteman dengan orang-orang yang melakukan hal itu, lupakan mimpi untuk tinggal di luar negeri. Bukan saya mengatakan bahwa kamu harus mengikuti gaya hidup dan budaya mereka, namun dengan berpikiran open minded, kita akan lebih santai menghadapi tiap perbedaan tanpa perlu lupa akar kita.

3. Punya skill bahasa Inggris yang baik

Menurut saya ini wajib! Walaupun tidak ada syarat mutlak mesti hitung angka TOEFL/IELTS (kecuali Australia), namun kita juga mesti speak up dengan keluarga dan anak asuh. Sudah bahasa lokal belum lancar, ditambah bahasa Inggris yang masih kacau, bagaimana kita bisa berkomunikasi dan mengutarakan maksud nantinya?

4. Mau usaha dan mau belajar

Pilih cari keluarga dengan agensi atau mandiri, it's your choice. Tapi kalau cuma berlandaskan "mau jalan-jalan ke luar negeri" saja tanpa ada usaha, sama saja bohong. Saya punya kenalan yang berkeinginan jadi au pair, namun untuk membuat profil/motivation letter masih minta bantuan orang lain. Apa-apa ditanyakan tanpa mau mengecek langsung apa saja regulasi di tiap negara. Padahal dia bisa coba untuk belajar membuat resume tentang dirinya sendiri dan membaca lebih jeli aturan au pair di tiap negara lewat internet.

5. Siap mandiri, bertanggung jawab, dan patuh peraturan

Jauh dari keluarga dan rumah, cuaca baru, lingkungan baru, makanan baru, sudah siap menghadapi semuanya? Lebih bisa bertanggungjawab terhadap pekerjaan, anak orang, tugas rumah tangga? Baiklah, saya juga benci peraturan apalagi hal itu bisa membatasi diri saya. Namun, tidak semua orang siap dengan peraturan baru yang membuatnya harus mengubah kebiasaan lama di negara asal. Yang paling penting adalah lebih bisa membawa diri dan adaptasi.

6. Suka anak-anak dan pekerjaan rumah tangga

Ya walaupun belum ada pengalaman jadi guru TK atau kerja di daycare, namun setidaknya kamu tidak anti dengan anak-anak. Walaupun nyatanya mereka tidak selamanya menggemaskan tapi suatu kali mereka bisa jadi sosok yang menjengkelkan. Anak-anak orang Barat cenderung well-behaved atau nakal bukan main. Mereka biasanya lebih pintar dari anak seusia mereka dan sangat aktif.

Di lain sisi, kita juga harus melakukan pekerjaan rumah yang bahkan ibu mereka pun tidak pernah mengerjakan. Karena sudah hidup dengan yang serba modern dan canggih, kebanyakan wanita Barat malas melakukan pekerjaan rumah. Pegang sapu atau vacuum cleaner pun kadang tidak pernah.

Nah, orang Asia yang di mata orang Barat rajin pun tidak semuanya rajin-rajin. Jadi intinya, kalau kamu tidak anti mengelap debu, menyetrika pakaian, atau belanja bahan makanan, I bet you can handle it!

Sekarang kamu sudah merasa yakin au pair bisa membuka jalan menuju mimpi mu dan siap mencari keluarga, atau justru baru mau melupakan pekerjaan ini? Think it! Namun kalau kamu masih merasa tertantang mengurus anak bule dan mendapatkan pengalaman baru, selanjutnya adalah usaha mencari host family. Namun ingat ya, kamu harus...

1. Bisa lebih realistis dan tidak berekspektasi tinggi

Punya pacar bule, minum-minum kopi di kafe dengan teman seru, bergaya ala model catwalk di jalanan Eropa, wah sungguh bayangan yang keren. Namun tinggal di luar negeri tidak selamanya sekeren di teenage dramas. Keluarga yang kamu nilai luar biasa baiknya sebelum ketemu, belum tentu sebaik aslinya.

Tempat tinggal di countryside yang diimajinasi kamu akan hidup tenang damai, bisa menunggang kuda saat musim panas, berpetualang di alam, sepertinya keren sekali, bisa jadi cuma di khayalan belaka kalau kamu tipikal orang yang suka city life. Karena sejujurnya, countryside bisa jadi tempat yang jauh dari keramaian dan membosankan.

Sama kasusnya seperti imajinasi punya pacar bule atau teman-teman seru, hal itu tidak bisa langsung kamu dapatkan setibanya disini. Semuanya butuh proses dan seperti yang saya bilang, anak muda Eropa banyak yang cuek dan masa bodoh. Yakinlah, sesuatu yang bagus-bagus tentang luar negeri belum tentu semuanya seperti yang ada di foto dan cerita novel. Nanti juga ketawan kok jeleknya luar negeri ketimbang Indonesia. Hoho..

2. Ukur kapasitas diri

Ini untuk calon anak asuh yang akan kita urus. Saya tekankan, mengurus 1 anak belum tentu lebih mudah dibandingkan mengurus 3 anak. Apalagi anak yang diurus itu masih bayi dan butuh atensi ekstra. Akan lebih baik kalau tidak mengurus anak di bawah usia 2 tahun, namun mengurus anak di atas usia itupun kemampuan bahasa kita akan diuji karena mereka sudah bisa bicara fasih. Ada baiknya belajar bahasa negara setempat dulu minimal three bulan sebelum keberangkatan.

3. Berkomunikasilah sesering mungkin dengan calon host family kita

Akan lebih baik kalau mereka sebelumnya pernah punya au pair. Kita bisa minta kontak mantan au pair mereka dan mengenal host family lebih baik. Dari sini juga bisa ketawan gaya hidupnya host family yang mungkin tidak diceritakan ke kita. Tanyakan juga setiap detail pekerjaan yang akan kita kerjakan.

Kebanyakan, apa yang dinyatakan di kontrak berbeda dengan kenyataan. Tugas akan lebih banyak dari hari ke hari. Tugas yang semula dikerjakan oleh host dad atau host mom biasanya akan digantikan oleh au pair. Hati-hati juga dengan janji manis host family yang akan turut menyertakan kamu saat jalan-jalan ke negara-negara tetangga. Yang ada, kamu malah disuruh babysit anak-anak mereka dengan jam kerja ekstra. Sebaiknya tanyakan apa pekerjaan kamu dengan pasti jika mereka liburan, lalu apakah mereka akan membayar lebih kalau kerja ekstra.

4. Before you go, remember it is definitely not a holiday!

So, put together yourself!

Semua cerita au pair tidak sama dan begitu pun setiap keluarga. Walaupun masih banyak keluarga yang menganggap au pair sama dengan nanny atau housekeeper, tapi banyak juga keluarga yang memperlakukan au pair mereka dengan sangat baik layaknya anak atau keponakan sendiri. Jadi jangan takut untuk mengenal pribadi keluarga dan anak yang akan tinggal dengan kita lebih baik sebelum keberangkatan.

Lagipula sejujurnya, tidak ada au pair yang ingin punya masalah dengan host family mereka. The last, if you think you're not rich enough to travel abroad, or you're not smart (and lucky) enough to get a scholarship, then au pair challenges you!

More pointers:

Guide untuk calon au pair

Guide Au Pair: Mulai dari Mana?