Thursday, June 18, 2020

Tips Permohonan Pinjam Paspor di Kedubes Norwegia|Fashion Style

Setelah 9 minggu menyerahkan aplikasi visa au pair di Konsulat Jenderal Norwegia di Denpasar, saya belum mendengar keputusan apapun dari kedubes di Jakarta. Padahal menurut website UDI, normalnya keputusan visa akan dikeluarkan setelah 8 minggu dokumen diserahkan.

Ada perasaan deg-degan menunggu karena sebenarnya saya sudah memiliki rencana travelling ke Cina sebelum menuju Oslo. Si paspor sudah harus saya kantongi guna mengurus visa Cina di awal tahun. Tiket sudah dibeli, semua dokumen sudah siap, hanya menunggu si paspor saja. Gawat juga kan kalau saya gagal berangkat ke Cina hanya karena menunggu keputusan visa Norwegia yang belumgranted.

Bingung harus bagaimana, saya hubungi pihak UDI di Norwegia, Konjen di Denpasar, serta kedubes di Jakarta.

Pertama, saya email pihak UDI untuk menanyakan kira-kira kapan keputusan visa saya keluar. Dua hari kemudian, email saya dibalas dengan menyatakan bahwa mereka tidak menjamin visa saya bisa keluar sebelum pertengahan Januari. Jadi kata mereka, aplikasi saya baru terdaftar di Jakarta 3 minggu setelah handed dokumen di Denpasar.

Bagian ini sempat membuat saya kesal. Jadi ternyata, dokumen saya baru benar-benar sampai di kedutaan 3 minggu setelah saya serahkan di Denpasar. Satu minggu di-pending karena hari libur Galungan, lalu 2 minggu pending karena katanya masih di kurir pengiriman. How could be that long?!

Oke, setelah dari UDI, saya email pihak konjen di Denpasar untuk menanyakan kira-kira paspor saya bisa dipinjam dulu kah selagi menunggu keputusan. Kata si petugas, hal tersebut harus saya tanyakan langsung ke kedutaan karena dokumen saya sudah berada disana.

Dari Denpasar, saya telpon kedubes di Jakarta untuk menanyakan peminjaman paspor ini. Lalu, tanpa memberi jawaban, saya dilempar ke VFS Global untuk menanyakan masalah tersebut. Sempat bingung, saya telpon juga VFS Global.

"Sebenarnya bisa. Mbak langsung buat surat permohonan pinjam paspor saja ke kedutaannya, karena semua tergantung di kedutaan berapa lama bisa meminjamkan paspornya," kata si mbak dari VFS ramah.

Karena tidak apply visa dari VFS, akhirnya lagi-lagi saya harus menelpon kedubes antara jam 2-4 siang tertuju ke bagian visa.

"Of course! Tentu saja boleh pinjam. Sebenarnya paspor tidak perlu di-keep sama kedutaan sih ya. Jadi tergantung Ibu apakah mau keep sendiri atau dititip disini selama proses. Soalnya kita melihat kalau sepertinya aplikasi Ibu memang belum ada jawaban dari Norwegia. Buat saja surat pinjam paspor atau kalau memang ingin diwakilkan, surat kuasa wajib dilampirkan ya," jelas si ibu bagian visa tegas dan ramah.

Thank God! Saya lega. Ternyata paspor memang boleh dipinjam dulu.

Dua hari kemudian, saya menerima telpon dari kedubes soal peminjaman paspor ini. Kata mereka, karena kemarin saya submit via Denpasar, harusnya paspor akan dikembalikan lagi kesana. Atau, saya juga boleh mengambil langsung ke kedutaan di jam kerja.

Karena saya tidak tinggal di Denpasar pun di Jakarta, akhirnya si mbak menjelaskan lagi kalau saya juga boleh menyuruh orang mengambilkan paspor disertai dengan surat kuasa berbahasa Inggris. Untuk waktu peminjaman paspor pun tidak dibatasi, sesuai dengan keperluan si pemilik saja. Setelah paspor selesai digunakan, paspor sila dikembalikan melalui konsulat jenderal atau langsung diantarkan ke kedutaan.

"Tapi saya tinggal di Palembang, Mbak. Memang domisili saya disini sih. Apa memungkinkan kalau saya kirim langsung saja ke Jakarta kalau sudah selesai pakai paspornya?"

"Sebenarnya kita tidak terima direct dari applicant sih. Memang seharusnya Ibu serahkan kembali ke Denpasar, tempat pas pertama kali submit. Tapi kalau memang domisilinya disana, ya sudah, tidak masalah juga."

Oke, done! Jadi kesimpulannya, pinjam paspor di kedutaan selama proses menunggu visa itu possible. Apalagi kalau waktu tunggunya lebih dari satu bulan. Namun tentu saja, kembali lagi ke kebijakan masing-masing kedutaan besar. Ada baiknya semua pertanyaan dan uneg-uneg ditanyakan langsung visa telpon ke kedutaan besar bersangkutan agar lebih jelas.

**UPDATE!!!!**

Per 1 Agustus 2019, semua aplikasi yang masuk (visa atau izin tinggal Norwegia) dari Indonesia, hanya bisa diantarkan lewat VFS Jakarta. Aplikasi akan diantarkan langsung ke Kedubes Norwegia di Bangkok untuk diteruskan ke UDI. Kalau butuh paspor disela-sela waktu tunggu, harap sertakan SURAT PERMOHONAN dirangkap ke dalam berkas aplikasi.

Wednesday, June 17, 2020

Tips Izin Tinggal Norwegia Saya Akhirnya Granted!|Fashion Style

February brings perennials after a long halt!

Sure, February brings the good news. Setelah akhirnya harus menunggu lebih dari 3 bulan, kabar mengenai izin tinggal Norwegia saya granted juga.

Dua kali mengurus aplikasi au pair di dua negara, baru sekalinya ini saya merasa was-was, deg-degan, plus mesti merepotkan banyak orang. Sayangnya, karena keputusan dari UDI baru diterima  awal Februari, saya dan keluarga di Oslo harus menunggu lebih lama lagi sebelum visa Norwegia betul-betul tertempel di paspor. Padahal kemarin harusnya awal Februari sudah harus ke Oslo.

Tips dari saya, tidak usah apply via Konsulat Jenderal Norwegia di Denpasar dan Medan. Demi menghemat waktu dan biaya, akan lebih baik kalau langsung apply saja via VFS Global di Jakarta. Karena tidak perlu syarat biometrik, dokumen bisa dikirimkan ke kantor mereka dan langsung bisa diproses.

Jujur saja, saya sangat menyesal harus mengurus dokumen di Denpasar dulu. Proses menunggunya panjang sekali. Belum lagi kantor disana hanya buka dua kali seminggu. Duh!

Begini proses dan catatan kecil saya hingga granted:

31 Oktober - Menyerahkan dokumen ke Denpasar

8 November - Katanya dokumen saya baru dikirimkan ke Jakarta

22 November - Dokumen saya baru diterima kedubes dan diregistrasi

29 November - Dapat email dari UDI kalau aplikasi saya sudah diterima dan sedang menunggu untuk diproses

22 Januari - Dapat email dari UDI kalau aplikasi saya belum selesai diproses

31 Januari - Residence permit saya granted

Dari penjelasan UDI, aplikasi saya baru terhitung "diterima" ketika Kedubes Norwegia meregistrasi di sistem mereka. Jadi 3 minggu sebelumnya dari saya menyerahkan di Denpasar is totally useless alias sama sekali tidak dihitung.

Kalau mau dihitung, dari kedubes di Jakarta menerima aplikasi saya hingga residence permit granted, memang memerlukan waktu 2 bulanan. Kata petugas UDI, aplikasi saya sebenarnya bisa selesai tepat waktu (22 Januari). Tapi karena dipotong hari libur Natal & Tahun Baru serta sempat kekurangan staf, makanya mereka butuh waktu satu minggu lebih lama.

Anyway, meskipun sudah granted, tapi visa saya belum bisa dicetak karena paspor belum dikembalikan ke kedubes setelah dipinjam dulu. Karena kedubes di Jakarta tidak mau bertanggungjawab atas kehilangan paspor, plus data saya terekam di Denpasar, saya tidak boleh direct post si paspor ke kedubes. Mereka menyarankan saya datang sendiri ke kedubes untuk mengembalikan paspor, atau sila kirim kembali ke Denpasar biar staf disana yang akan mengirim ke Jakarta.

To be perfectly honest, saya tidak percaya lagi dengan hitungan waktu kerja di Denpasar. Jam buka yang tidak fleksibel membuat saya ketar-ketir kalau harus berurusan lagi dengan mereka. Bisa-bisa visa baru sampai di tangan 2 minggu kemudian.

Mau tidak mau, saya merepotkan beberapa teman di Jakarta yang bersedia mengembalikan dan mengambil paspor saya kembali. Seriously, it takes much more time, effort, and money! Tapi mau bagaimana lagi, beginilah nasib anak Palembang yang apply di Denpasar, tapi semua tanggung jawab dan urusan ada di Jakarta.

Catatan:

Kalau ada yang tanya beda izin tinggal dan visa itu apa, begini penjelasannya! Jadi izin tinggal itu dikeluarkan oleh imigrasi Norwegia, sementara visa dikeluarkan oleh Kedubes Norwegia. Visa baru bisa dikeluarkan kalau kedubes menerima keputusan dari Norwegia bahwa izin tinggal sudah granted. Visa dicetak sebagai alat masuk Schengen Area, sementara keputusan izin tinggal dari UDI digunakan untuk membuat ID card setibanya di Norwegia.

Setelah izin tinggal disetujui oleh UDI, lalu kebetulan host family juga sudah membelikan tiket dan tahu kapan akan tiba di Norwegia, ada baiknya segera booking janji biometrik di kantor polisi terdekat. Normalnya, au pair bisa membuat janji temu maksimal 7 hari setelah tiba di Norwegia. Tapi karena kantor polisi sering penuh, booking in advance sangat dianjurkan agar kartu ID kita cepat selesai. Proses booking janji temu bisa dilakukan melalui aplikasi portal yang sebelumnya digunakan saat membuat aplikasi ( https://selfservice.udi.no/ ).

UPDATE!

Per tanggal 1 Januari 2018, biaya aplikasi izin tinggal jangka panjang ke Norwegia naik jadi 5300 NOK (>9 juta) yang sepenuhnya merupakan kewajiban au pair. Kalau memang ingin jadi au pair di Norwegia, coba tunggu hingga Oktober 2018. Setiap satu atau dua tahun sekali, biasanya pemerintah Norwegia akan menaikkan pocket money au pair sebanding dengan biaya aplikasi. Siapa tahu kan, akhir tahun ini duit saku au pair di Norwegia bisa naik jadi 7000 NOK (sebelum pajak).

Tips Hijrah ke Luar Negeri Itu Melelahkan|Fashion Style

Muncul perasaan sedih, haru, namun bercampur bahagia ketika pesawat Thai Airways yang saya tumpangi mendarat di Bandara Oslo-Gardermoen. Bahagia karena akhirnya perjalanan panjang nan melelahkan selesai juga. Haru karena bisa mendapat kesempatan kembali lagi ke Eropa. Tapi juga sedih karena lagi-lagi meninggalkan keluarga dan teman-teman terdekat di Indonesia.

Ini kali ketiganya saya pindah dan tinggal di Eropa. Setelah drama visa Norwegia dan paspor yang cukup menyita waktu, tenaga, dan biaya, akhirnya semua terbayarkan karena bisa mendapatkan izin tinggal selama 2 tahun di negara terbahagia di dunia ini (2017).

Dalam waktu three tahun terakhir, saya bersyukur bisa mendapat kesempatan tinggal di 3 negara Eropa plus jalan-jalan ke banyak tempat. Tapi dalam waktu 3 tahun juga, saya sudah 5 kali mengepak barang untuk pindah dan pulang. Kalau ada yang mengatakan saya beruntung, tentu saya harus lebih banyak bersyukur.

Namun kalau ada yang bertanya lebih jauh tentang perasaan saya, sejujurnya saya depresi. Moving abroad is stressful and tiring! Jangankan pindah negara, bayangkan saja kalian harus pindah sekolah selama 3 kali dalam kurun waktu 3 tahun. It's no fun anymore, isn't it?

Oke, tidak hanya saya au pair yang pindah ke banyak negara dalam waktu beberapa tahun. Banyak juga teman au pair yang selesai di Belanda, lalu pindah ke Belgia, tanpa pulang dulu ke Indonesia. Culture clash pasti ada, meskipun kedua negara tersebut sama-sama di Eropa. Tapi coba saja jika harus bolak-balik pindahan dulu dari Indonesia, the culture never stops shocking me!

Mengapa?

1. Belajar bahasa dan budaya baru lagi

Learning language is tough and needs a strong commitment. Saya tahu bahwa belajar bahasa apapun memang tidak akan pernah sia-sia. Tapi bagaimana kalau pembelajaran yang sedang ditekuni terpaksa terhenti hanya karena harus pulang?

Bisa dikatakan, sampai sekarang level bahasa saya nanggung, alias masih disitu-situ aja. Sempat belajar bahasa Prancis, tapi hanya baby talk atau frase paling dasar saja. Belajar bahasa Belanda, eh tahunya malah sedikit terpakai karena di rumah kebanyakan pakai bahasa Inggris.

Sampai di Denmark, belajar bahasa baru lagi. Saat saya sedang serius menekuni bahasa tersebut, akhirnya saya mesti puas saja stop di Modul 4 karena memang sudah habis kontrak dan harus pulang ke Indonesia.

Pindah lagi ke Norwegia, mesti ulang belajar bahasa baru karena memang perlu.Then, it starts again from the basic!Walaupun bahasa Denmark dan Norwegia sedikit mirip, tapi aksen dan pengucapannya super beda.

Banyak belajar, tapi skill nanggung. That's me.

2. Cari teman baru lagi

Mencari teman di Skandinavia lebih sulit ketimbang mencari teman di Eropa Barat. Contohnya, orang-orang Belgia cenderung lebih suka basa-basi dan terbuka ketimbang para penduduk Skandinavia. Teman asli Belgia saya memang tidak banyak, namun setidaknya mereka lebih mudah diajak ngobrol saat baru pertama kenal.

Tinggal dua tahun di Denmark, saya sudah cukup banyak berkenalan dengan orang baru dan akhirnya bisa dijadikan teman nongkrong saat akhir pekan. Mencari para teman ini pun tidak mudah. Saya harus aktif di banyak acara, volunteering, ikut meet up, ataupun sekedar memenuhi undangan dari kenalan lainnya dulu.

Bertemu dengan orang baru pun tidak secepatnya langsung menjadikan mereka teman. Ada banyak pengalaman yang membuat saya harus datang ke acara, haha hehe dengan orang baru, lalu pulangnya tetap sendiri tanpa menyambung silaturahim dengan mereka. Yah namanya juga cocok-cocokkan.

Lalu setelah mendapat teman yang nyaman di Denmark dan Belgia, saya harus kembali memulai frase mencari teman di Norwegia yang pastinya butuh waktu. Kadang, pindah-pindah tempat tinggal bukannya menambah teman, namun kehilangan yang sudah ada.

3. Keliling dan mengenal daerah baru lagi

Entah kenapa, setibanya di Oslo, akhir pekan saya berjalan sangat datar. Berbeda saat baru tiba di Brussels dan Kopenhagen, keinginan untuk menjelajah tempat baru rasanya begitu membuncah. Sepanjang jalan mengitari kota selalu membawa perasaan bahagia dan penasaran. Ada apa lagi ya di sudut sana? Kafe mana lagi ya yang oke untuk nongkrong? Tempat pemberhentian selanjutnya diman aya? Daftar kunjungan yang wajib saya datangi rasanya sudah panjang.

Akhir pekan lalu, saya hanya jalan-jalan 10 menit di kota lalu pulang. Everything still looks the same as two years back I was here. Nothing new.

Oslo memang tidak terlalu berbeda dengan banyak ibukota di Eropa. Turis, museum, kafe, bar, tempat selfie, dan salju. Oslo juga sebenarnya tidak baru, karena saya pernah important ke kota ini. Lama-lama main di sentral, eh kok, bosan juga ya?

4. Mempelajari sistem kependudukan dan transportasi publik lagi

Tiba di Oslo, tidak membuat saya serta merta langsung menjadi bagian penduduk Norwegia. Ada banyak sekali hal yang harus lakukan agar bisa mendapatkan hak yang sama dengan penduduk lokal.

Sebelum pindah ke tempat baru, biasanya saya lakukan riset mini dulu sebagai bahan perkenalan dengan negara yang akan saya tempati. Dari cara membeli tiket kereta, diskon untuk anak muda, kartu telepon, buka akun bank, hingga pajak, biasanya saya pelajari satu-satu. Hal ini rutin saya lakukan agar tidak kaget dan setidaknya mengerti sedikit tentang sistem di negara yang akan saya tempati.

Menjadi orang baru lagi tidak gampang. Kita harus dituntut untuk lebih banyak tahu dan belajar, bukan hanya having fun.

5. Berkencan dengan cowok baru lagi

Bagi yang masih jomblo, pindah ke negara baru bisa berarti tantangan baru. Cowok Belgia tentu saja berbeda dengan cowok Denmark. Pun begitu dengan cowok Norwegia yang katanya sangat suka alam dan kegiatan luar ruangan.

Tidak hanya cari teman baru yang melelahkan, namun juga berkencan . Saya yang bukan ekspert, tapi mantan serial dater ini, rasanya terlalu malas jika harus berkenalan dan berkencan dengan banyak cowok baru lagi.

Girls, modern dating is so overwhelming. Kamu kenalan lewat online, ketemuan, baper, berharap lebih, eh lalu si bule menghilang. Begitu saja terus sampai lelah atau akhirnya menemukan yang terbaik. Anyway, it always takes time to find the right one. But, I give up already.

Kata orang, sesuatu yang baru itu terlihat lebih menarik dan menyenangkan. Tapi entah mengapa, pindahan kali ini justru membuat saya sedikit menutup diri dan malas-malasan. Saat saya curhat hal ini ke adik, saya dibuat jleb dengan komentar singkat dia, "who've decided?"

Iya. Ini yang sudah saya putuskan. Inilah resiko yang harus saya hadapi ketika mulai nyaman di satu tempat, lalu harus pindah lagi ke tempat baru.

It's just started. It's only the beginning. Daripada saya mengeluh terus, lebih baik tetap berpikiran positif bahwa akan selalu ada kejutan menarik di setiap tempat yang pernah saya tinggali. Oslo might be boring, but my life could not be!

Yes. Welcome to Norway!

Tips Cupcake Kaos Kaki Untuk Bunny|Fashion Style

Saya sebenarnya sudah gatal memberikan Bunny kaos kaki. Beberapa kali, saya memergoki doi yang ternyata memakai kaos kaki berwarna gelap tapi tidak selaras. Yang kanan pakai hitam, yang kiri pakai biru dongker.

"Iya, saya sering kesulitan menemukan pasangannya karena hampir semua kaos kaki saya warnanya gelap. They are dark, but have different.. how do you call it? Tone? Jadi kalau penerangan sedang tidak bagus, saya asal ambil saja yang warnanya sama. Tapi pas sudah terang, baru ketahuan kalau mereka beda."

Hmm.

He is so Danish. Jarang sekali saya menemukan pakaian atau barang-barang Bunny di luar warna hitam, cokelat tua, atau biru tua. Kalaupun bermotif, warnanya pasti tidak ngejreng. Kebetulan masih summer sale, saya menemukan kaos kaki motif lucu-lucu dari Happy Socks yang masih gratis ongkir ke seluruh Eropa. Tanpa mengurangi rasa hormat saya ke so-Danish-an Bunny, saya memilih kaos kaki bermotif dengan warna pastel.

And it is time for crafting! Tidak ingin membungkus kaos kaki hanya dengan kertas kado, saya menemukan inspirasi wrapping gift di Chica Circleyang juga bisa dicoba untuk membungkus baju bayi ataupun handuk kecil.

Bahan yang disiapkan:

  • Kertas karton ukuran HVS
  • Kertas kado atau motif ukuran HVS
  • Papercup motif
  • Dua pasang kaos kaki; seukuran mata kaki dan panjang
  • Lem
  • Selotip

Cara membuat kaos kaki berbentuk cupcake ini pun sangat gampang dan bisa dilihat caranya di Cupcake Onesies Gift Idea .

Karena cupcake yang diberikan hanya dua biji, saya membuat sendiri kotak kecil sebagai wadah. Membuatnya pun sangat mudah hanya dengan bermodalkan kertas karton, kertas bermotif, lem, selotip, dan gunting. Lagipula saya berpikir, kalau kotaknya terlalu bagus dan harus beli, toh juga langsung dibuang oleh si Bunny. Tapi bagi yang tidak mau repot dan ingin memberikan cupcake lebih banyak, boleh cari kotak di pasaran yang bentuknya lebih cantik.

Anyway, sebenarnya papercup untuk muffin atau cupcake di rumah Louise cukup banyak, tapi yang jenis kertasnya tipis. Karena kaos kaki setelah digulung sedikit besar, papercup yang tipis tidak terlalu cantik "menggenggam" si kaos kaki. Jadinya saya memilih papercup yang kertasnya lebih tebal dan sudah berbentuk mangkuk.

Setelah semua selesai, kado tinggal dibungkus dengan plastik dan pita sebagai pemanis. Oh ya, karena di Denmark rata-rata pemberi hadiah harus menyertakan kartu ucapan, saya juga mengisi kartu ucapan yang akan diberikan ke Bunny. Ehh... voila!

"Thank you so much, Nin. Lucu sekali kaos kakinya. Ini bakalan jadi kaos kaki ter-colorful yang pernah saya punya. Additionally, they are also easier to find since I always miss the other pair (of the dark ones)," kata Bunny saat membuka kado.

Kalian sendiri bagaimana, pernah memberi hadiah unik ke pasangan? Or, do you enjoy crafting?

Tuesday, June 16, 2020

Tips Teman Internasional vs Teman Indonesia|Fashion Style

Hidup di luar negeri untuk sekolah atau bekerja adalah tantangan yang membuat kita harus berpikir realistis. Tidak semua orang lokal di negara tujuan akan bersikap ramah dan bersahabat. Pun begitu di Indonesia, banyak orang yang emosional dan acuh tak acuh. But that's cool too.

Tapi daripada menutup diri, boleh-boleh saja bertemu orang baru sekedar untuk menonton sport event ataupun minum-minum bersama di bar. Tidak semua orang yang kita temui harus dijadikan teman. Saya mengerti betapa sulitnya mencari teman baik di negeri orang. Bukan hanya dengan penduduk lokal, tapi juga orang Indonesia. Yah, namanya juga cocok-cocokkan.

Tiga tahun tinggal di Eropa, saya merasa bangga karena berhasil meninggalkan zona nyaman, memaksa diri keluar dan bergaul dengan orang baru. Saya sadar, saya seorang au pair yang lingkup kerja dan sosialnya sangat terbatas. Tidak mudah datang sendirian ke kafe, bioskop, acara potluck, ataupun restoran, demi interaksi dengan orang lain. Dibutuhkan rasa berani dan percaya diri yang tinggi.But, I did it!

Sering bertemu orang dengan latar belakang yang berbeda, saya bisa sedikit menggambarkan perbedaan karakteristik si teman Indonesia dan teman internasional yang akan kita temui di luar negeri.

Teman Indonesia

PROS.

1. Yang pasti soal komunikasi. Karena satu bahasa, obrolan terasa lebih lugas dan lancar tanpa peduli orang kanan kiri mengerti apa yang sedang kita bicarakan.

2. Feels like home. Mulai dari sering menginap bareng, masak makanan Indonesia, hingga saling lempar joke receh pun membuat kita merasa tidak sendiri di negeri orang.

Three. Satu keluarga. Karena sama-sama anak rantau, biasanya kita lebih menganggap si teman seperti keluarga sendiri. Ya curhat dengan mereka, ya mengadu sakit dengan mereka, ya kadang sampai pinjam duit pun dengan mereka.

4. Lebih humble karena satu nasib. Mereka tidak segan berbagi informasi dan membantu dalam banyak hal.

CONS.

1. Terkurung di zona nyaman karena merasa sudah cukup bersosialisasi dengan geng Indonesia, lalu malas berkenalan dengan orang asing lainnya.

2. Banyak drama. Yes, it is true. Jangan keseringan berkumpul dengan orang Indonesia di luar negeri. Meskipun tidak semua, tapi orang Indonesia di luar negeri tetap masih suka bergosip, iri hati, rebutan cowok, sampai menjatuhkan orang, lho!

3. Level bahasa kita mandet. Kembali ke fakta nomor satu, karena pergaulan hanya sebatas orang Indonesia saja, level bahasa lokal jadi tidak berkembang. Sudah malas bersosialisasi, malas pula belajar bahasa baru.

4. Kebanyakan omongan tentang lelaki. Yes, ini juga salah satu alasan saya kadang malas bergaul dengan cewek Indonesia di Eropa. Mereka kebanyakan curhat soal cowok! Chill, girls! Saya juga suka obrolan tentang cowok, tapi plis, jangan merasa yang paling laku di Eropa. Plus, jangan terlalu terbawa perasaan. After all, European guys ARE just guys! Tidak perlu dipamerkan apalagi sampai merasa yang paling beruntung.

Teman Internasional (Bule)

PROS.

1. Jaringan sosial kita meluas karena biasanya akan berkenalan dengan orang-orang first rate kece yang spesialisasinya berbeda dengan minat kita.

2. Obrolan terkesan lebih serius dengan pembahasan seputar isu worldwide ataupun sains. Orang-orang Barat cenderung lebih suka meneliti sesuatu dan berpikir mendalam tentang suatu masalah.

3. Lebih adventurous. Mulai dari mencoba minuman beralkohol tinggi, berenang di laut lepas saat musim dingin, hingga suka olahraga yang memacu adrenalin, membuat kita akan merasakan pengalaman yang serupa kalau dekat dengan teman seperti ini.

4. Mind their business. Mereka tidak akan tanya bagaimana cara kita beribadah, penghasilan kita berapa, atau kapan nikah.That's totally beyond their line. Tidak ada yang akan kepo dengan urusan pribadi kita.

CONS.

1. Perbedaan humor. Kadang saya tidak paham dengan selera humor para bule yang sedikit vulgar.

2. Pengambilan sudut pandang yang tidak pas dengan norma yang kita anut di Indonesia. Tanpa bermaksud etnosentris, hanya saja bergaul dengan bule yang free minded cenderung membuat beberapa orang Indonesia tidak nyaman. Ide untuk living together masih mengarah ke kepuasan seks semata bagi orang Indonesia, sementara untuk bule, hal tersebut lumrah tanpa harus terikat dengan janji pernikahan.

3. Straight forward. Mereka jujur, apa adanya, malas membual, dan membuat kita merasa mereka terlalu lancang. But, that's how they are. Bukannya tidak memikirkan perasaan kita sebelum bicara, hanya saja, mereka terlatih untuk terus terang tanpa kebanyakan basa-basi. Bagi orang Indonesia yang tidak terbiasa dengan karakter seperti ini, akan sering sakit hati.

4. Snobby! Serius, banyak bule yang otaknya juga sempit dan merasa paling super power!

Teman Internasional (Asia)

PROS.

1. Meskipun punya bahasa yang berbeda, saya merasa kalau selera humor dan pola pikir orang Asia itu hampir mirip. Beberapa hal yang kadang bule pikir itu offensive, justru terlihat lucu oleh orang Asia.

2. Suka mengobrol dan cerita. Teman Asia yang saya temui di Eropa biasanya terbuka dan tidak malu curhat tentang kehidupan pribadi mereka. Meskipun bahasa Inggris teman-teman ini kadang tidak terlalu lancar, tapi mereka berusaha menjelaskan dengan sangat mendetail dan rinci.

3. Rasa empati yang sama. Karena berasal dari tempat yang kulturnya hampir mirip, banyak orang Asia yang saya temui di Eropa lebih hangat dan sering tersenyum ramah. Mereka kadang tidak segan menawarkan bantuan, mengantar saya pulang kursus, hingga mentraktir makan.

4. Makan enak. Saya sering diundang datang ke acara makan-makan teman Filipina, Thailand, ataupun India. Kalau bosan mencicipi makanan khas Eropa, datang ke acara teman-teman ini bisa mengobati rasa rindu kita ke makanan Asia.

CONS.

1. The outsiders. Yes, after all, we are different. Pernah satu kali, saya datang ke farewell party au pair Filipina. Saat itu orang Indonesia yang tersisa tinggal saya saja. Duh, sepanjang acara si geng Filipina ini hanya stick to their own language. It's so depressing!

2. Pasif. Tipikal Asia sekali, kurang bisa berekspresi dan terlalu kalem. They're always behind the scene yang kadang selalu siap di-bully.

3. Susah diajak jalan. Kebanyakan orang Asia yang tinggal di Eropa biasanya pelajar atau sudah berkeluarga. Kedua tipe orang ini sama-sama susah diajak jalan entah karena sibuk kerja, sibuk belajar, atau mengurus anak. Sebenarnya banyak juga pelajar Asia yang suka party dan kerjanya hang out terus. But trust me, kalau lingkup sosial kalian sangat terbatas, kebanyakan orang Asia yang dikenal, kalau tidak au pair, ya teman sekolah yang kebanyakan sudah menikah.

4. Terlalu narsis dan kadang norak. Agree or disagree, level norak orang Asia kalau di Eropa hampir sama! Suka foto-foto, show off salju atau kegiatan lagi travelling, plus berasa jadi Instagram star yang mesti eksis setiap saat.

Sebenarnya, ingin berteman dengan yang satu negara atau beda negara kembali lagi ke kecocokkan masing-masing. Ada beberapa orang Indonesia yang lebih nyaman berteman dengan bukan yang sebangsanya. Ada yang lagi yang kurang bisa bersosialisasi hingga stuck dengan lingkup orang Indonesia saja. Well, preference matters.

Tapi selagi masih muda dan punya kesempatan bertemu dengan banyak orang baru yang umur dan latar belakangnya berbeda, ambil peluang tersebut untuk membangun network. Bertemanlah dengan siapa saja. Tidak dapat teman, ambil saja pengalaman dan ilmu baru yang bisa kita dapatkan dari mereka.

Kalian sendiri bagaimana, kira-kira lebih nyaman berteman dengan orang luar atau Indonesia saja?

Tips Cari Pacar atau Suami?|Fashion Style

Baru-baru ini saya (lagi-lagi) dicurhati masalah cowok. Seriously! Bolak-balik masalahnya hanya seputar si cowok ini atau si itu yang ketemu di Tinder.

"They're so overwhelming!" kata si cewek Indonesia.

Tentu saja sangat membingungkan, karena si cewek berkencan dengan 5 cowok sekaligus yang statusnya hanya teman jalan atau teman tapi mesra. Si cewek bingung dan bertanya ke saya, bagaimana tahu kalau si bule serius atau tidak. Mengapa sampai detik ini belum ada yang memutuskan jadian.

Why oh why?

Ya mana saya tahu. Saya kan bukan bule expert plus saya juga mana tahu isi hati si para gebetan itu. Saya merasa si cewek terlalu naif. There is no special thing about bule, girls! Mereka juga cowok biasa layaknya cowok-cowok di Indonesia.

Bedanya, mereka mengutarakan perasaan sayang dan suka dengan cara yang berbeda. Mereka melihat hubungan sebagai sesuatu yang serius, mengikat, dan butuh komitmen. Tidak heran banyak yang takut serius dan memutuskan untuk mencari partner seks semata. No strings attached,kan? Toh sama-sama suka juga.

Tapi ada baiknya, sebelum memutuskan untuk menggunakan online dating, tanya dulu dengan diri sendiri, "what am I  looking for?"

Beberapa poin berikut mungkin bisa dijadikan referensi mengenal si cowok lebih dekat. Sekali lagi, saya hanya bicara berdasarkan pengalaman dan tentu saja tidak semuanya bisa digeneralisasi.

1. Umur

Saran dari seorang teman, kalau memang ingin mencari yang serius dibawa ke pelaminan, sebisa mungkin jauhi umur-umur tanggung di bawah 30 tahun. Cowok-cowok usia 20-an biasanya masih suka having fun dan terlalu takut terikat komitmen semacam pernikahan. Kecuali kalian memang sudah pacaran dan kenal satu sama lain sebelumnya,otherwise, skip!

Having fun disini maksudnya masih terlalu labil, belum dewasa, masih suka party, ganja, dan mabuk-mabukan. Umur memang bukan jaminan, tapi biasanya cowok dewasa di atas 35 tahun (atau masuk 28 tahun) sudah tahu mabuk yang bertanggungjawab itu seperti apa.

2. Status

Kalau kamu Asian girl's minded yang berpikir cowok harus membayar semua bill saat jalan, sebaiknya jangan pacaran dengan pelajar ataupun pegawai baru. Girls, cowok bukanlah mesin ATM yang bisa kita harapkan uangnya setiap saat. Meskipun mereka berpenghasilan, tapi kontribusi kamu juga akan sangat dihargai.

Kebanyakan pria dewasa di atas 40 tahunan dengan pekerjaan mantap biasanya lebih stabil perekonomiannya. Tapi sekali pun kamu berharap cowok yang harusnya lebih banyak keluar uang, jangan pula jadi gold digger yang ingin si bule menanggung pengeluaran mu setiap saat. Be independent, please! Bule juga banyak yang pas-pasan.

3. Cari yang rela berkorban

Teman saya tanya, ciri-ciri bule baik dan tidak baik itu seperti apa. Yang tidak baik, hobinya hanya foya-foya, hobi jajan selangkangan, pake ganja, doyan mabuk-mabukan, dan memperlakukan kamu dengan kasar. So simple kan?

Kalau statusnya masih gebetan, kamu bisa nilai dari keseriusan dia meluangkan waktunya untuk kamu. Jangan terlalu terbawa perasaan dan kemakan omongan bule dulu. Mereka bisa saja membual.

Cowok baik dan serius (berapa pun umurnya), biasanya akan membalas pesan kamu dengan rajin. Cowok yang hanya ingin memanfaatkan, biasanya hanya membalas pesan di jam-jam horor saat doi horny atau butuh teman chatting saja. Cowok yang tidak serius, hanya menjadikan kamu "sampingan" yang bisa diajak jalan ataupun texting saat dia bosan.

You know the pattern! Cowok serius pasti akan lebih banyak berkorban karena doi tahu kamu patut untuk diperjuangkan. Berkorban ini bukan hanya dari segi material ya, tapi juga waktu dan moral. Satu lagi, mereka akan menghargai kamu dan tidak akan mengirim pesan aneh-aneh semacam naked pictures!

4. Ask!

Girls, jangan harapkan cowok bule memperlakukan kamu seperti halnya kamu ingin diperlakukan oleh cowok Indonesia.

Cowok Indonesia termasuk pribadi yang manis dan cute saat mendekati gebetan. Para cowok ini pun akan langsung mengatakan cinta dan sayang, kalau memang mengharapkan kamu jadi pacar.

Bagi bule, pacaran itu long process setelah kalian sudah nyaman dan saling kenal satu sama lain. Saking kasatnya kata-kata jadian ini, kita bahkan kesulitan menerka apakah kita dan doi sekarang pacaran atau sebatas teman tapi mesra.

Makanya, jangan takut untuk bertanya. Tanya saja ke doi tentang hubungan yang selama ini kalian jalani. Mereka tidak akan bertanya, "maukah kamu jadi pacar ku?", seperti yang kamu harapkan. Yang ada, kalau sudah saling nyaman, sering bertemu, ciuman, rasa sayang akan makin besar dan doi hanya mengatakan, "let it flow", yang bisa jadi tandanya sudah jadian.

Sama halnya kalau kamu ingin tahu apakah doi ada keinginan untuk menikah atau tidak, ya sebaiknya ditanyakan. Jangan sampai sudah pacaran lama, ternyata doi hanya berniat living together tanpa harus menikah.

Banyak juga pasangan di luar sana yang si cewek merasa sudah jadian, tapi dari pihak si cowok masih ragu. Entah kenapa, cowok bule adalah pihak yang selalu merasa belum yakin tentang suatu hubungan.

So, please, ASK! Communication is a key!

5. Be serious to your profile

Kalau kamu pajang foto-foto seksi di situs kencan, jangan harap ada cowok yang akan serius. Tahu kan, sekarang aplikasi kencan banyak berpindah peran jadi ladang mencari accomplice seks saja?

Makanya pasang foto berpakaian pantas, isi profil dengan lengkap, dan kalau perlu, tulis kata-kata "Looking for a serious relationship only!". Mungkin kamu memang tidak banyak mendapatkan Like, tapi setidaknya, kamu menghindari para bule yang hanya ingin having fun dan takut dengan komitmen. Just be straightforward dengan apa yang kamu cari.

Ngomong-ngomong, kamu tidak harus cari pacar atau suami via online dating kok. Banyak juga teman saya yang memanfaatkan aplikasi ini untuk mencari teman jalan saat merekatravelling. Then it works! But be aware, banyak juga cowok creepy yang hanya ingin selakangan!

Tips Mengintip Khasnya Kabin Keluarga Norwegia di Hemsedal|Fashion Style

Tapi daripada mengeluh terus-terusan, saya sebenarnya beruntung dan bersyukur bisa diajak jalan ke Hemsedal yang merupakan Scandinavian Alps-nya Eropa. Cerita sedikit tentang keluarga baru saya ini, mereka punya three tempat tinggal di Norwegia.

Satu rumah di Oslo, satu di Tjøme, dan satu kabin di Hemsedal. Bisa dikatakan, mereka jarang sekali menghabiskan akhir pekan di Oslo. What to do in Oslo? It's boring anyway.

Makanya kalau on duty, saya mesti ikut mereka pindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Hemsedal sangat terkenal dengan landaian ski dan pegunungannya yang jadi daya tarik turis se-Eropa. Tapi karena travelling kali ini dalam rangka kerja, jadinya saya belum bisa mencoba berseluncur di gunung.

Tidak semua orang Norwegia memiliki kabin. Apalagi kebanyakan kabin hanya ditempati saat liburan saja oleh si pemilik. Kata host dad saya, hanya sekitar 20% penduduk Norwegia yang memiliki summer atau winter cabin disini.

Keluarga saya yang sekarang super aktif dan sangat betah di luar rumah. Mereka bisa saja hanya menghabiskan waktu untuk berolahraga berjam-jam meskipun cuaca sedang dingin-dinginnya. Karena sama-sama suka ski, makanya punya satu kabin keluarga di Hemsedal merupakan hal wajib. Sebenarnya kabin ini punya host dad saya sebelum bertemu dengan si emak. Si emak juga punya kabin keluarga, tapi sudah dijual katanya.

Kabin yang sekarang sudah berusia 10 tahun dan dibangun sendiri oleh si bapak tanpa bantuan finansial dari keluarganya. Meskipun alam masih menyediakan lahan, tapi membangun dan memiliki properti sendiri di Norwegia tidak murah. Makanya si bapak betul-betul bangga selalu bisa singgah ke Hemsedal dan menginap di kabin pribadinya.

Yang menarik dari kabin ini, semua ruangan, interior, dan perabotan terlihat khas Norwegia sekali. Walaupun ukuran kabin tidak terlalu besar, tapi kesan nyaman langsung terasa saat masuk ke ruangan.

Saya juga suka dengan penambahan karpet bergaya vintage yang mempermanis ruangan. Bukannya terkesan membosankan, justru karpet ini menampilkan kesan energetik khas penduduk Norwegia yang tidak pernah bosan berada di luar ruangan.

Masuk ke ruangan utama sebenarnya membuat saya sedih karena banyaknya hewan liar yang berhasil diburu dan dijadikan pajangan. Selain kucing hutan, si bapak juga mengoleksi pajangan kepala rusa besar, beruang, kelinci, burung, serta kepala kijang.

Sebenarnya pas. Karena kabin ini letaknya di hutan, makanya hewan-hewan yang dijadikan pajangan pun rata-rata hewan liar hasil buruan. FYI, beruang yang dijadikan pajangan sebenarnya hasil perburuan kakak host dad saya yang memang seorang huntsman. Dapatnya bukan di Norwegia, tapi Kanada. Sengaja tidak saya abadikan karena kasihan melihat si beruang kecil.

Pun jangan berharap menemukan fake leather di kabin ini karena semuanya asli! Mulai dari selimut berbulu hewan, bantal,seat covers, sofa, jaket, kaos kaki, hingga sepatu, terbuat dari kulit hewan berkualitas tinggi.

Ini juga salah satu tipikal kabin di Norwegia, sangat suka mengoleksi bulu hewan yang sudah diawetkan. Hampir semua sofa dan tempat duduk di kabin biasanya dilapisi kulit dan bulu hewan untuk menambah kehangatan.

Dibandingkan dengan orang Indonesia yang lebih suka memakai perabotan plastik, kabin di Norwegia lebih banyak menggunakan perabotan masak kayu yang menambah kesan natural dan elegan. Plus, bunga segar sebagai pemanis di Paskah yang masih bersalju.

Satu lagi yang saya suka dengan orang Norwegia, mereka tidak sengaja melupakan sejarah keluarga. Banyak sekali foto, perabotan masak, buku, pajangan, atau alat ski di kabin ini yang sebenarnya hasil turun temurun dari keluarga si bapak. Sebenarnya barang-barang tersebut tidak terbuat dari bahan berharga, seperti emas atau perak. Namun karena selalu diturunkan dari nenek moyang, makanya sebisa mungkin dijaga dan tetap dipakai hingga generasi selanjutnya.

Senapan berburu yang pernah dipakai oleh kakek si bapak dulu pun masih dipajang apik di kabin ini. Ada lagi satu mangkuk turun temurun yang katanya berasal dari abad 18 juga masih tetap dipakai sampai sekarang.

Di Indonesia, barang seperti ini mungkin hanya akan masuk lemari kaca saja ya?

Sekali lagi, saya sangat bersyukur bisa diajak business trip ke Hemsedal dan melihat alam yang luar biasa cantiknya. Menghirup udara sejuk pegunungan, minum air gunung langsung dari keran, hingga melihat betapa indahnya 'musim semi' saat salju masih menutupi sebagian besar wilayah ini. Bayangkan kalau saya harus kesini sendiri, pun sepertinya tidak masuk dalam waiting list.

Oke, mungkin kali ini saya belum bisa mencoba olahraga ski di Hemsedal, tapi bersantai di teras rumah sambil menyeruput hangatnya cokelat panas selagi memandang jauh pegunungan bersalju bukanlah hal yang sia-sia.

Do you like this post? Semoga bisa menambah inspirasi untuk desain interior di rumah kalian ya!