Thursday, June 11, 2020

Tips Book Review: Haram Keliling Dunia|Fashion Style

3 "F"antastic ways to reach your dream fabulously: Focus, Fun, Fascinating - NFW

Itulah salah satu motivation quote milik penulis, Nur Febriani Wardi, dalam bukunya Haram Keliling Dunia. Apa yang kamu lakukan saat kamu punya mimpi yang besar tapi terhalang oleh kehendak orang tua? Menuruti kehendak orang tua lalu menyisihkan mimpi besarmu demi mereka, atau berani mengambil resiko meraih mimpi yang kamu tuju hingga harus kerja keras demi membuktikan sebuah prestasi ke orang tua?

Nur Febriani Wardi, gadis berzodiak Aquarius yang lahir di Kalimantan ini, awalnya memiliki cita-cita menjadi seorang insinyur saat kecil. Sang ayah, awalnya menginginkan anaknya menjadi seorang PNS. Namun, Febri yakin kalau PNS bukanlah satu-satunya pekerjaan yang akan membuat hidupnya bahagia. Ia tak mau terkungkung di belakang meja PNS yang dapat mematikan kreativitasnya. Namun ada harapan lain dan keyakinan penuh dalam diri yang membuatnya selalu berusaha mewujudkan mimpinya hingga bertahan melawan keinginan orang tua, yaitu pergi keliling dunia.

Kaver kuning yang cheerful
Berawal dari Tanah Haram, kegiatan sukarelawan, hingga akhirnya sukses mendapatkan beasiswa S2 dari pemerintahan Belanda, merupakan gerbang awal perjalanannya keliling dunia. Dari mulai menjadi Cinderella di Kapal Henry Dunant, nekad mengunjungi Grotta Azzura yang konon kabarnya merupakan air terbiru di dunia, di-PHP-in cowok India di Berlin, hingga menceritakan sungguh tidak enaknya sakit di luar negeri. Tidak hanya disuguhkan cantiknya benua Eropa, tapi pembaca juga diajak belajar sejarah seperti tragisnya kematian seorang putri kerajaan di Austria atau mengenal kota tua yang sempat hilang dan terlupakan 1700 tahun lamanya.

Cerita perjalanan Febri ke benua Eropa, dituliskan secara ringan dan cocok untuk bacaan anak muda. Gaya bahasa yang kocak dan jujur kerap mengundang senyum serta iri tentang pengalaman yang dialami penulis. Tidak hanya berbagi kisah kepada para penyuka travelling, lebih dari itu, penulis ingin buku ini bisa menginspirasi pemuda-pemudi Indonesia untuk berani bermimpi dan pantang menyerah mengejar mimpi-mimpi itu. Bukan dengan maksud melawan orang tua demi mimpi, namun selama kita masih punya hati dan otak, yakinlah bahwa kita mampu mengalahkan segala keterbatasan yang ada.

Wednesday, June 10, 2020

Tips Visa Bekerja dan Berlibur Australia|Fashion Style

Beberapa hari belakangan ini saya sedang sibuk-sibuknya mencari info mendapatkan visa subclass 462 Australia. Satu keluarga di Orange, NSW, tertarik memperkerjakan saya sebagai au pair untuk mengasuh anak-anak mereka selama satu tahun.

Dengan akomodasi, makan, dan biaya telepon ditanggung, tentunya tawaran ini tidak saya tolak dong. Makanya saya langsung cari-cari informasi mengenai visa ini di internet. Namun sayangnya, karena persyaratan visa yang agak rewel, saya batalkan tawaran dengan mereka.

Sebelum membahas syarat-syarat mendapatkan visa ini, saya bahas dulu apa yang bisa lakukan kalau seandainya visa kita granted dari pihak kedutaan.

1. Masuk ke Australia setiap saat (multiple entry) dalam waktu 12 bulan dari tanggal pemberian visa.

2. Kita bisa tinggal selama 12 bulan dihitung dari tanggal pertama kali kita masuk Australia.

3. Hanya boleh bekerja selama 6 bulan pada satu perusahaan/majikan.

4. Belajar sampai dengan 4 bulan.

Nah, orang Indonesia yang tertarik bekerja di Australia bisa mengajukan aplikasi visa ini. Kerja apa dong? Ya kerja apa saja. Bisa bekerja part time atau kasual, seperti retail atau menjual makanan.

Kita juga boleh mengajukan aplikasi visa ini tanpa harus dapat tawaran pekerjaan dulu saat di Indonesia. Ada banyak lowongan pekerjaan yang bisa kita dapatkan saat tiba di Australia. Namun sebaiknya kita sudah mempunyai tawaran pekerjaan sebelum tiba di Australia karena untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan tentunya gampang-gampang susah.

Saya sudah mendapatkan tawaran pekerjaan sebagai pengasuh bayi dengan akomodasi dan makan ditanggung keluarga sebelum masuk ke Australia. Namun karena menurut saya persyaratan untuk mengajukan aplikasi visa ini tergolong ribet, makanya saya batalkan menerima pekerjaan itu. Apalagi saya tinggal di Palembang yang notabene harus bolak-balik Jakarta untuk mengurus visa, tentunya banyak biaya yang harus dikeluarkan.

Sebelum mengajukan visa di kedutaan, kita harus melampirkan Letter of Recommendation dari ke imigrasi dulu. Jadi hal pertama yang kita lakukan adalah mengajukan aplikasi untuk meminta surat dukungan yang informasinya bisa didapat melalui http://www.imigrasi.go.id

Berkas persyaratan yang harus dilampirkan:

1. Form identitas yang bisa di-download di sini

2. KTP

3. Akte Kelahiran

4. Paspor yang masih berlaku minimal 12 bulan

5. Ijazah perguruan tinggi minimal Diploma III, atau Surat Keterangan sebagai mahasiswa aktif setidaknya 2 tahun, dilengkapi Kartu Mahasiwa (KTM) dari perguruan tinggi bersangkutan.

Visa ini tidak berlaku untuk kamu yang cuma tamatan SMA. Jadi setidaknya, harus menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi selama 2 tahun (4 semester) dulu.

6. Memiliki sertifikat kemampuan berbahasa Inggris IELTS dengan minimal score 4.5 /atau TOEFL Paper Based Test 450 /atauTOEFL Computer Based Test 133 /atauTOEFL Internet Based Test 46 /atauTOEIC 405 dari lembaga yang berwenang /atau lulusan perguruan tinggi yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.

IELTS yang digunakan adalah General Training bukan Academic. Bedanya apa? Kalau GT dikhususkan untuk keperluan imigrasi, sementara Academic untuk keperluan belajar/sekolah. Sertifikat yang digunakan adalah sertifikat internasional dengan masa berlaku 2 tahun.

7. Surat keterangan/Jaminan Bank atas kepemilikan dana sejumlah AUD$5000 (atau setara 50juta Rupiah).

Saya sarankan untuk 'mempercantik' buku tabungan kamu 3 bulan sebelum mengajukan aplikasi. Surat keterangan yang digunakan biasanya adalah surat dari bank yang mengindikasikan nominal tabungan sejak 3 bulan terakhir. Jadi 3 bulan itu usahakan dana yang tersimpan harus setara dengan 50juta rupiah, harus seimbang, dan stabil.

Sayangnya dana tersebut tidak boleh dari pihak sponsor. Kita benar-benar harus meyakinkan pihak kedutaan Australia kalau kita bisa hidup setidaknya 3 bulan pertama di Australia dengan dana tabungan tersebut atas nama pribadi. Pemerintah Australia agak strict terhadap para migran yang akan datang ke negaranya. Mereka tidak mau menanggung gelandangan yang cuma datang ke negaranya tanpa modal apapun. Makanya modal bahasa Inggris dan dana yang cukup bisa menjadi jaminan kita saat disana.

Banyak juga yang mengakali dengan cara mengendapkan uang orang tua, teman, atau keluarga dulu hanya untuk mengajukan aplikasi. Tapi cara ini bisa dilakukan kalau kamu yakin sudah/langsung mendapatkan pekerjaan saat tiba di Australia. Kalau belum jelas mau kerja apa, saya sarankan memang tiap orang harus mampu menjamin hidupnya dengan AUD$5000 itu.

8. Pas foto terakhir berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 1 lembar, latar belakang putih.

Setelah semua berkas lengkap, kamu tinggal registrasi online di website http://www.imigrasi.go.id lalu akan ada pengumuman kapan kamu harus datang ke Gedung Rektorat Imigrasi untuk menyerahkan berkas asli dan fotokopi. Menurut informasi yang saya didapat, antara penyerahan berkas lalu proses wawancara dan verifikasi data itu terpisah memakan waktu 5-14 hari kerja. Jadi kita mesti datang ke tempat ini dua kali. Setelah itu kita bisa menunggu pengumumannya di rumah.

Kalau berkas-berkas kita lengkap, tidak ada alasan imigrasi untuk tidak memberikan kita surat rekomendasi. Surat ini nantinya akan dikirimkan melalui email dan dilampirkan saat pengajuan aplikasi visa. Surat ini hanya berlaku satu bulan saat dikeluarkan. Informasi terbaru, per tanggal 1 Juli 2013, pemerintah Australia meningkatkan jumlah kuota penerima visa sebanyak 1000 dari kuota lama yang cuma 100 orang per tahun. Kalau dulu surat rekomendasi ini cuma bisa diajukan tiap tanggal  1 Juli, sekarang kapanpun bisa mengajukan aplikasi visa.

Untuk menyerahkan berkas aplikasi visa, kita tidak perlu datang langsung ke kedutaan. Tapi dapat dikirim melalui pos yang diperantarai oleh AVAC (Australia Visa Application Center) yang informasi lengkapnya bisa langsung dilihat disini . Kita bisa menggunakan layanan antar-jemput berkas yang terpercaya. Ada biaya layanan, logistik, dan biaya visa yang harus kita lampirkan di dalam berkas. Harga visa terbaru adalah US$325 (mulai 1 Juli 2013).

Berkas-berkas yang harus dilampirkan untuk mengajukan visa:

1. Formulir aplikasi (Formulir 1208). Harap dilengkapi dan ditanda tangan

2. Biaya aplikasi visa (Bukti Cek/Giro)

3. Fotokopi dari paspor (halaman biodata, perubahan/tambahan-jika ada, halaman visa dan

cap imigrasi) yang masih berlaku paling tidak 12 bulan dan pasport lama (jika ada)

4. 1 lembar foto anda ukuran foto paspor yang terbaru.

5. Surat dari dukungan dari Direktorat Jenderal Imigrasi

6. Bukti keuangan yang cukup untuk memberikan dukungan untuk anda-biasanya paling tidak AUD $5000 untuk memberikan dukungan awal dari liburan. (Bukti yang dapat kamu lampirkan adalah rekening koran 3 bulan terakhir yang sudah di legalisir.)

7. Bukti mempunyai kualifikasi perguruan tinggi, atau sudah menyelesaikan paling tidak 2 tahun dari pendidikan universitas (bisa dibuktikan dengan fotokopi ijazah/surat keterangan dari kampus).

8. Bukti mempunyai Bahasa Inggris yang baik yang dinilai dari tes Bahasa Inggris dan setidaknya harus mendapatkan nilai ”fungsionil" (bisa dibuktikan dengan fotokopi sertifikat internasional).

9. Melakukan test rontgen di salah satu panel radiologist. Mereka akan mengirimkan hasilnya langsung ke bagian kedutaan. Daftar radiologis yang ditunjuk pihak kedutaan Australia bisa dilihat disini.

(Sebelum mengajukan aplikasi visa, sebaiknya kita mendatangi salah satu rumah sakit yang ditunjuk untuk tes rontgen. Biasanya tes-nya hanya rontgen dada yang biayanya bervariari dari 350-750ribu. Nanti pihak rumah sakit akan mengirimkan hasilnya langsung ke kedutaan dan kita hanya perlu melampirkan (mungkin sejenis) kuitansi pembayaran tes saja.)

Setelah jadi, visa ini tidak akan menempel seperti stiker di paspor kita. Tapi hanya sebuah surat yang nantinya kita bawa saat masuk imigrasi Australia di bandara. Kedutaan Australia sudah mengganti stiker visa dengan e-visa yang cukup diproses melalui komputer pihak imigrasi Australia.

Syarat lain untuk keperluan visa subclass 462 bisa kamu lihat di website -nya. Salah satu yang harus kita beli adalah asuransi perjalanan/kesehatan selama satu tahun (tidak dilampirkan saat pengajuan visa). Asuransi ini bisa kita beli di Indonesia atau saat tiba di Australia. Tentunya kalau akan membeli dari Indonesia, kita harus melihat apakah asuransi tersebut dapat digunakan di Australia dan nilai pertanggungan jiwa yang sesuai. Biaya pengobatan di Australia sangat mahal, sehingga setiap migran yang datang harus bisa menanggung biaya rumah sakit sendiri. Sebagai gambaran, untuk asuransi perjalanan selama satu tahun di Australia bisa kita beli seharga kurang lebih AUD$318 saat tiba di Australia.

Bagaimana, tertarik bekerja di Australia dan mendapatkan gaji $5-30 per jam? Oh ya, gaji ini nantinya juga akan dikenakan pajak mingguan. Di luar pajak, bagi kamu yang tertarik mendapatkan pengalaman bekerja di luar negeri, visa ini dapat membantu menuju gerbang ke negeri kangguru.

Tips Mabuk Servis di Phnom Penh (2)|Fashion Style

Siang ini kami saya dan dua orang travel mate akan meninggalkan Phnom Penh menuju Siem Reap. Dari Siem Reap rencananya kami akan meneruskan perjalanan ke Ho Chi Minh City dan menghabiskan 5 hari disana lalu kembali lagi ke Phnom Penh karena pesawat kami ke Kuala Lumpur akan terbang dari sana.

Jam 7 pagi Mai dan Dina sudah menunggu di lobi. Dengan motornya, mereka mengajak kami ke salah satu restoran di dekat guesthouse. Lalu lintas di Phnom Penh agak kacau, jadinya pagi itu kami naik motor agak ekstrim. Apalagi saya, Mbak Lia, naik motor Dina bonceng tiga. Dina ini orangnya cuek dan sangat tomboy, naik motornya ngebut dan malas pakai helm.

Sekitar sepuluh menit kemudian kami sampai di sebuah restoran yang tidak terlalu kelihatan kalau itu sebenarnya tempat makan. Karena sebelumnya kami sudah mengatakan tidak bisa makan babi, mereka sudah paham dan berakhir di sebuah restoran yang semua bahan dasarnya terbuat dari jamur. Dina sudah meyakinkan kami kalau restoran itu tidak ada menu daging-dagingan sama sekali. Untunglah..

Karena tidak tahu mau makan apa, akhirnya kami menyerahkan semuanya ke Dina. Dia memilihkan kami makanan yang menurut saya porsinya besar sekali untuk sarapan.

Sayangnya saya benar-benar tidak selera makan dan menghabiskan tidak sampai setengahnya. Padahal saya sangat suka mie, tapi sepertinya bumbu makanan ini tidak cocok di lidah saya. Tapi tidak untuk Dwi dan Mbak Lia. Mereka enteng saja tuh menghabiskan Teppanyaki dan jamur goreng yang rasanya sedikit mirip daging itu. Tidak enak juga sih makan tidak habis begitu apalagi ini kan ditraktir, tapi ya gimana saya tidak selera begini.

Selesai sarapan, kami diantar lagi ke Central Market-nya Phnom Penh yang saya lupa apa namanya. Hahaha.. Saya kebiasaan tidak mencatat nama tempat sih. Pasar tradisional ini interior bangunannya mirip-mirip peninggalan zaman dulu. Yang dalam gedung kebanyakan jual aksesoris giok atau batu-batuan, sementara bagian luar menjual suvenir khas Kamboja, perabotan rumah tangga, ataupun makanan. Kalau tertarik membeli kain-kain dengan motif cantik, pasar ini bisa dijadikan alternatif.

Karena ada latihan, Mai akhirnya pamit duluan dan tidak bisa mengobrol dengan kami lebih lama. Akhirnya Dina berbaik hati menemani kami di guesthouse sekalian menunggu bis ke Siem Reap menjemput. Sebenarnya kami tidak tega menyuruh Dina menunggu lebih lama apalagi langit sudah mendung. Tapi dia keukeh mau menemani kami. Kagetnya, dia malah masih mau mentraktir kami makan siang. Doohh..padahal kami sudah kenyang dan tidak niat makan lagi. Tapi dia mengingatkan kalau perjalanan ke Siem Reap akan lama dan pastinya kami tidak sempat makan siang nantinya. Yasudah, kami menurut saja. Kan ditraktir juga. Hahaa..

Dan mimpi buruk pun dimulai. Nyatanya tidak ada makanan yang tidak enak di dunia ini. Semuanya enak namun sangat subjektif dan tergantung lidah masing-masing. Tapi untuk sesi makan siang ini, kami bertiga (kecuali Dina) sepertinya memiliki selera yang sama.

Karena sudah cukup makan berat sarapan tadi, kami memutuskan untuk memesan roti isi dan spring roll saja. Bodohnya, memesan spring roll ini adalah ide saya. Saya tidak mengira kalau spring roll Kamboja berbeda dengan yang di Thailand. Saya sudah pernah makan yang di Thailand dan rasanya lumayan enak, mirip lumpia goreng atau rebus.

Nah yang di Kamboja ini, rasanya 'menyiksa'. Ternyata spring roll-nya dimakan mentah-mentah. Isi spring roll adalah dedaunan segar, wortel mentah, dan daging ayam rebus yang hambar. Sementara kulitnya sendiri sepertinya masih basah. Baru gigitan pertama, lidah saya sudah dikagetkan dengan rasa dedaunan yang membuat saya mual. Hingga akhirnya saya keluarkan daun itu dari mulut dan membedah isi spring roll-nya. Saya juga tidak tahu itu daun apa tapi yang jelas rasanya mirip daun sirih. Pedas dan enek. Tidak saya saja, Dwi dan Mbak Lia juga begitu. Bahkan Mbak Lia seperti menahan tangis saat menghabiskan gigitan pertamanya.

Selanjutnya adalah ide Dina untuk memesan sup mie daging. Sebelumnya Dina berulang kali menawari kami untuk makan nasi, tapi kami menolak gara-gara alasan kenyang. Dia mengerti dan memesan sup daging yang ada isi mie-nya saja sebagai pengganti nasi. Sayangnya karena sudah enek dan mual, kami tidak sanggup lagi menghabiskan sup itu. Bahkan menggigit bakso daging sapinya saja kami tidak sanggup karena sepertinya restoran pilihan Dina tidak halal dan masih terdapat menu babi. Jadinya makan siang sekali itu tidak kami nikmati sama sekali.

Tips Mabuk Servis di Phnom Penh (3)|Fashion Style

Karena permintaan dari Dina dan Mai yang menyuruh kami untuk pulang lebih awal dari Ho Chi Minh City, akhirnya saya dan dua orang travel mate sampai di Phnom Penh satu hari lebih cepat. Rasanya baru jam 5 pagi melihat Sunrise di Mui Ne, Vietnam, tengah malamnya kami sudah harus pulang ke Phnom Penh melalui Ho Chi Minh City. Seperti kata Dwi, "kita ini traveling seperti dikejar tikus. Lebih-lebih dari artis schedule-nya." Hahaa..

Sekitar jam 10 pagi kami akhirnya tiba juga di penginapan yang berbeda kawasannya dengan yang pertama kali kami inapi. Tempatnya baru saja direnovasi. Masih baru, super wangi dan bersih, serta resepsionis yang ramah dan fasih Bahasa Inggris. Padahal menurut sopir tuk-tuk, kawasan kami yang di Chamkar Mon ini jauh dari pusat kota. Tapi tak apalah, lagian WiFi disini lebih kencang dari guesthouse yang sebelumnya kami tempati.

Jam 7 malam, Mai menelepon Dwi untuk mengajak makan malam (lagi). Karena Dina sedang makan malam dengan pelatihnya, jadinya Mai sendirian yang menemani (baca: mentraktir) kami malam itu. Duuhh.. Habis jadi gembel di Vietnam, akhirnya di Phnom Penh perbaikan gizi lagi. Hohoho.. Untuk makan malam sekali ini, Mai sepertinya agak kebingungan mau pilih tempat yang mana. Dia sampai memutar mobilnya dua kali untuk menemukan tempat makan. Padahal kami sih oke-oke aja, kan ditraktir. *bawa-bawa nama traktiran lagi*

Akhirnya kami merapat ke tempat makan open air yang mirip dengan tempat makan hari pertama. Tapi tempat makan sekali ini kurang romantis sih. Ini dia makanan yang Mai pesan malam itu. Saya pengen lagi makan pizza jagung yang super duper crunchy dan manis itu.

Di akhir makan malam, Mai ditelepon ibunya. Kirain bakal disuruh pulang, tapi ternyata tidak! Ibunya Mai sekarang ada di sebuah KTV bersama teman-temannya dan mengajak kami untuk gabung. Oooooww...Marilah kalau begitu!

Orang Kamboja biasanya paling senang berkumpul di KTV sambil minum bir atau makan bersama keluarga atau teman-temannya. Berbeda sekali dengan kita yang suka nongkrong-nongkrong di mall sekalian nonton atau makan di kafe. Di Phnom Penh sendiri justru kafe kurang laku. Kafe fungsinya cuma tempat makan, CUMA tempat makan ya.

Jam 11 malam, empat anak perempuan masih kelayapan di luar. Nongkrong di KTV pula! Oh tunggu dulu, ternyata KTV ini tidak seseram yang saya kira. Selain ada live music, tempatnya juga lumayan asik. Si pelayan yang kebanyakan Mbak-mbak ini juga sibuk bolak-balik mengecek tiap meja untuk menambahkan bir atau es batu ke dalam gelas. Saya tidak berhenti bolak-balik toilet gara-gara kebanyakan meneguk kola.

Ibunya Mai ini ternyata orang yang ramah dan asik sekali diajak mengobrol. Sayangnya saya tidak terlalu asik mengobrol dengan beliau karena bangku yang agak jauh. Ibu Mai kebetulan membawa tiga orang temannya yang sebenarnya sudah om-om semua sih. Ada satu om-om berperawakan kurus tinggi yang super lucu. Bahasa Inggrisnya parah sekali tapi kerennya dia tetap usaha mengobrol dengan kami. Pakai acara menunjukkan trik sulap segala. Gokil! Walaupun kebanyakan nge-blank-nya, tapi kami hargai usaha dia untuk bersikap terbuka dengan orang asing.

Disela-sela obrolan, si om kurus yang namanya juga saya lupakan itu naik ke atas panggung dan mulai sing songs. Asli roaming, lagu yang dia nyanyikan belum pernah masuk playlist saya. Lalu beberapa saat kemudian tiba giliran saya dan Mbak Lia menyumbangkan sebuah lagu berbahasa Inggris, Home - Michael Buble. Bukan karena cocok dengan suasana traveling sih, tapi nyatanya di buku lagu cuma itu yang kami hapal melodinya. Terharunya lagi, rombongan tamu di meja depan yang semuanya cowok-cowok ikutan nyanyi dan berdiri sambil cheers gelas bir mereka saat lirik "Let me go hoooooommeeeeee...."

Ohh so candy....!

Tuesday, June 9, 2020

Tips Mabuk Servis di Phnom Penh (4)|Fashion Style

Pagi-pagi kami seperti dikejar anjing dan mesti buru-buru gara-gara salah jadwal. Karena kelelahan semalam, kami sampai bangun kesiangan. Jam 7 pagi ponsel Dwi sudah berdering karena panggilan Mai. Masih dengan mata tertutup dan setengah sadar, saya mendengar, "Yes, what? Okay. Eleven? Okay." Klik.

Kembali hening....

Sialnya beberapa menit kemudian kami bertiga bangun layaknya zombie, langsung berebutan masuk kamar mandi dan Dwi buru-buru nampol bedak kesana-kemari. "Duuh..Kirain jam 11, jadinya aku tidur lagi. Eh ini dia barusan nelepon katanya jam 7. SEVEN jadinya bukan ELEVEN," kata Dwi. Parahnya lagi saat Mai nelepon, ternyata dia sudah di lobi. Aaarrghh..

"I'm sorry, Mai, we're late," akhirnya saya dan Mbak Lia yang datang 30 menit kemudian jadi tidak keenakan dengan Mai. Hari ini Mai bilang kalau dia sedang tidak sehat tapi karena sudah janji ingin mengantar kami keliling Phnom Penh akhirnya dia malah yang tidak enak kalau sampai telat. Lho, Mai...

Saat itu Mai tidak sendiri, tapi ditemani adik pacarnya yang masih berumur 19 tahun. Saya lupa nih siapa nama adik itu. Iiisshh.. Dari hostel, kami menjemput Dina dulu di rumahnya. Karena semalam tidak bisa ikut gabung, akhirnya dia ingin join hari ini. Seperti biasa, lagi-lagi kami diservis dengan sangat memuaskan! Selain (lagi-lagi) ditraktir sarapan, kami diajak keliling Phnom Penh sekalian foto-foto. Mai bilang, kalau kami tinggal lebih lama di Phnom Penh dia akan mengajak kami ke Sihanouk.

"How long that place from Phnom Penh?" tanya Dwi.

"It's about 4 hours from here," jawab Mai.

"How to go to there?" tanya saya.

"By car."

"Who's the driver then?" tanya saya lagi.

"Me. I'll take you there and we'll play in the sea or BBQ-ing."

Ohhh...Mai sudah kelewatan baik nih kayaknya. Dari hari pertama sampai hari keempat kami di Phnom Penh tidak henti-hentinya dia memanjakan kami. Ya mungkin lebih tepatnya tidak berhenti mentraktir makan 3 kali sehari. Sehabis sarapan, kami diajak mengunjungi Royal Palace-nya Kamboja yang jadi salah satu landmark kota. Sayangnya saat kami kesana, Royal Palace sedang tutup dan istirahat. Yasudahlah, main-main di teras istana lumayan juga.

Karena Mai sedang ada kerjaan, jadinya dia nyuruh kami tinggal di rumah Dina dulu sampai makan siang. Dina juga tidak segan dan sepertinya dia happy sekali saat kami main di rumahnya. Di rumahnya, kami kenalan sama ibu Dina yang kata Dina, beliau salut sekali dengan kami, keliling dua negara, tanpa keluarga atau sanak saudara. Pemberani! Backpacking gitu lho...

Cuaca Phnom Penh siang itu memang sedang bersahabat sepertinya. Hujan deras mengguyur kota sepanjang siang. Dina sepertinya mengerti kalau kami kecapekan dan mempersilakan kami untuk tidur siang di kamarnya selagi menunggu Mai. Awalnya sih kami tidak mau, takut merepotkan. Tapi nyatanya, semua mendarat di kasur dengan selamat. Hahaa..

Jam three sore, saat hujan sudah reda, Dina membangunkan kami untuk cari makan siang. Apalagi nih? Perasaan kami belum terlalu lapar. Tapi Dina bilang jam makan siang sudah lewat dan dia sudah kelaparan. Baiklah.. Mari kita makan!!

Sekitar satu jam kemudian Mai datang dengan adik pacarnya ke restoran. Setelah makan siang ini mereka akan mengajak kami karaokean! Yaaayy... Dengan 2 motor, yang masing-masing dinaiki 3 orang, kami akhirnya sampai juga di sebuah tempat karaoke yang sebenarnya mirip dengan tempat karaoke di Indonesia. Tapi baru setengah jam bernyanyi, Mai dan Dina komplain ke Mbak resepsionis (tidak tahu bicara apa) lalu mengajak kami pindah lokasi. Lho?

"The place isn't really good," jawab Dina singkat saat kami tanya kenapa sampai harus pindah lokasi. Padahal menurut kami tempatnya lumayan juga sih. Tidak ada yang salah. Tapi ya mau bagaimana lagi, cuma mereka yang tahu alasannya. Hingga akhirnya mereka memilih KTV ini! Wohooo...

Sekitar 2 jam bernyanyi tidak jelas, jam 8 malam Mai ditelepon seseorang yang mengatakan kalau ibunya sekarang masuk rumah sakit gara-gara kebanyakan minum. Semalam saat di KTV ibu Mai memang tidak berhenti minum bir. Saat pulang pun saya melihat gelagatnya yang sudah seperti orang mabuk. Ternyata kami juga baru tahu ibu Mai minum bir lagi setelah pulang dari KTV itu. Oh my God! Padahal Mai bilang ingin bernyanyi bersama kami hingga tengah malam. Rencananya dia akan mengajak pacarnya bergabung.Tapi saat dihubungi, pacarnya sedang kuliah dan baru bisa gabung jam 9 malam. Bakalan semalaman suntuk di KTV pasti ceritanya nanti.

Kami akhirnya sudah kembali ke hostel jam 9 malam. Ada untungnya juga sih. Ini malam terakhir kami di Phnom Penh, artinya kami masih punya waktu untuk istirahat lebih lama dan unpacking. Tapi Dina menguntit hingga ke kamar. Awalnya dia seperti 'tidak tega' melihat kami hanya menghabiskan waktu di kamar saat malam terakhir di Phnom Penh. Kalau kami mau, sebenarnya dia akan menghubungi teman-temannya agar bisa menemani kami keliling Phnom Penh malam itu. Sungguh jamuan yang memuaskan memang. Namun sepertinya Dina mulai mabuk karena dia sampai tergeletak lama di kasur kami. Tuh kan, untuk tawaran dia kami tolak. Lha orangnya saja sudah mabuk begitu.'

"Okay, we'll be meet again at 7 AM tomorrow. Don't forget ya..!" katanya mengakhiri obrolan saat kami mengantarnya ke lift malam itu.

Tips Pencarian Keluarga Angkat Au Pair Tanpa Lelah|Fashion Style

Ini sudah bulan keberapa sejak saya memutuskan untuk menolak tawaran keluarga Australia yang akan menjadikan saya sebagai Au Pair mereka. Masih dengan menggunakan website yang sama dan recommended ( AuPair World ) saya terus berusaha mencari keluarga angkat yang cocok. Tapi gara-gara keseringan ditolak disana, akhirnya perjuangan saya tidak berhenti sampai di AuPair World saja. Saya juga mencari keluarga angkat di beberapa website yang banyak ditemukan di internet. Ketawan banget ya niatnya? Ya namanya juga usaha. No deal with A, let's move to B!

Karena punya keinginan yang besar untuk melihat alam Eropa Utara yang masih natural, saya juga iseng-iseng mendaftar ke website Au Pair Skandinavia atau Energy Au Pair. Selain karena merasa tidak terlalu banyak persyaratan yang diajukan; contohnya sertifikat bahasa, tinggal di negara termahal dunia sepertinya akan menjadi pengalaman seru di masa mendatang.

Selain Belanda, mungkin Belgia adalah satu-satunya negara di Eropa Barat yang tidak memerlukan sertifikat bahasa asing untuk pengajuan visa. Karena sejujurnya saya juga malas bolak-balik Jakarta demi sebuah sertifikat yang kemungkinan belum tentu juga lulus. Jadilah saya juga mendaftar ke salah satu agensi Au Pair Belgia yang menurut saya adminnya sangat bersahabat, dan halaman website mereka yang sangat simpel ( AuPair Support Belgium ).

Berbeda dengan AuPair World ataupun AuPair Skandinavia, di website ini terdapat 3 step pendaftaran (isi biodata, kirim foto, minta surat rekomendasi, dan tanda tangan surat pernyataan). Namun step yang harus saya lakukan cukup sampai 2. Step ke 3 akan lanjut kalau ada keluarga angkat yang tertarik pada profil saya. Jadinya selama kurang dari satu bulan saya cuma menunggu selagi terus apply ke keluarga angkat di website lain.

Dari mulai daftar jadi calon Au Pair di bulan Mei sampai Agustus 2013, sepertinya belum ada juga keluarga yang tertarik. Padahal saya sudah membuat profil yang 'saya banget' dan mungkin juga sangat jujur. Karena yang banyak saya temui, alasan 'kepercayaan (saya muslim)' adalah hal yang belum bisa sepenuhnya diterima oleh keluarga yang saya apply. Persoalan menjalankan kewajiban seperti sholat dan puasa, hingga tidak makan babi dan minum alkohol, menjadi hal yang masih belum bisa diterima akal mereka.

But, I still believe, kejujuran akan membawa kita ke tempat yang benar. Dan benar saja, sebuah email di bulan September membuat malam saya menjadi lebih berwarna. Email dari agensi Belgia mengatakan kalau ada keluarga yang tertarik pada profil saya.

Sebuah email berbarengan pun muncul dari pihak keluarga angkat yang langsung menyatakan ketertarikannya pada (kejujuran) profil saya. Tuh kan! Ternyata keluarga ini punya background Maroko yang juga muslim. Si ibu memang mencari au pair muslim agar senilai dengan ajaran anaknya di rumah.

Dari bincang-bincang yang cuma lewat email ini, saya akhirnya mendapati kalau si keluarga mau membiayai embel-embel di luar pembuatan visa. Baik, tunggu, bincang-bincang lewat electronic mail? Iya, cuma lewat e mail! Si keluarga tidak pernah mengajak mengobrol via Skype ataupun telepon.

Padahal kalau si keluarga memang benar-benar niat mencari seorang kakak tertua untuk anaknya di rumah, setidaknya harus mencari au pair yang benar-benar jelas asal-usulnya. Karena hal yang paling riskan untuk si keluarga adalah mengundang orang asing ke rumah mereka. Lha ini, saya cuma perlu mengirim foto dan cerita singkat tentang keluarga dan kehidupan saya, si keluarga langsung oke-oke tanpa banyak tanya tentang pengalaman saya mengasuh anak-anak sebelumnya.

Sebenarnya saya juga bingung kenapa si keluarga begitu percayanya dengan saya tanpa babibu atau face to face dulu via Skype. Padahal dari pengalaman atau saran yang ada, setidaknya keluarga dan calon au pair mesti berbincang-bincang ria sekedar membahas tentang kesepakatan yang ada via Skype/video call lainnya.

Setelah e-mail-emailan selama sebulan, akhirnya naik pangkat juga tukar nomor ponsel lewat WhatsApp. Jadi intinya, saya sudah diterima jadi au pair mereka dan tinggal mempersiapkan dokumen yang ada.

Sempat juga ditakut-takuti kalau bisa jadi keluarga angkat saya ini cuma menipu dan tidak mau menunjukkan identitas asli dengan mengobrol dulu di Skype. Saya juga sempat berpikiran begitu, tapi mengarah ke obrolan chat selama ini, lalu melihat foto-foto liburan mereka yang sempat dikirim ke saya, rasanya mustahil kalau mereka 'palsu'.

Si ibu yang selalu chat sama saya juga terbuka dan fast response. Lagipula selama ini mereka juga tidak pernah meminta saya kirim-kirim uang, bahkan mereka sendiri bersedia membayari saya tiket berangkat ke Belgia.

Iseng-iseng, saya googling nama si ibu, dan..ehh, si ibu cukup terkenal hingga namanya mudah dikenali Google. Bahkan di YouTube pun ada video wawancaranya dengan sebuah majalah. Setelah tanya-tanya kenapa beliau mau menjadikan saya au pair tanpa Skype-an (seperti keluarga lain) lebih dulu, saya akhirnya dapat jawabannya.

Katanya si ibu sudah tahu 'kapasitas' dan kepribadian saya tanpa mesti Skype-an/wawancara dulu. Intinya, dia percaya kalau saya cewek baik-baik. Lagipula dia sudah tertarik dengan saya dan tidak ingin cari kandidat lain.

Begitulah pengalaman saya mencari keluarga angkat yang setidaknya mau membayari tiket dan kursus bahasa. Teman-teman yang juga sudah punya niat pengen au pairing, apalagi yang muslim, tidak perlu takut mengakui kalau kita muslim dan membatasi makanan yang menurut kita dilarang. Kita mesti jujur tentang diri kita dan motivasi ingin au pairing itu kenapa.

Kalaupun si keluarga menghargai dan tertarik dengan profil kita, akan selalu ada win win solution. Syukur-syukur dapat keluarga yang seiman, jadinya menjalani hari-hari di rumahnya tidak terlalu banyak masalah gara-gara beda keyakinan.

Yang pasti, di luar si keluarga mengajak Skype-an atau tidak (seperti cerita saya), pastikan dulu apakah kesepakatan yang ditawarkan keluarga akan menguntungkan untuk kita. Begitupun juga sebaliknya. Jangan sampai gara-gara ingin segera keluar negeri, kita asal terima keluarga angkat. Ingat,follow your gut and trust your instincts!

Oh ya, jangan juga menyerah kalau beberapa kali ditolak oleh keluarga angkat saat apply, segera cari keluarga baru di website lain (yang tentunya juga terpercaya dong)! Great things always take time.

More guidelines:

Guide untuk au pair

Tips pencarian au pair (2)

First time au pair, ke negara mana?

Tips Hari Terakhir di Phnom Penh|Fashion Style

Mai mengabari kalau pagi itu dia tidak bisa menemani kami jalan-jalan karena sakitnya kambuh. Poor Mai.

"If I could wake up from my bed, I will pick you up in the hotel at 8 AM," katanya di telepon.

Sebenarnya tidak enak juga sih, kemarin waktu menemani kami jalan-jalan sebenarnya Mai juga sedang dalam kondisi tidak sehat. Apalagi malamnya mendapati kabar ibunya masuk rumah sakit gara-gara terlalu banyak minum. Memang waktunya Mai istirahat.

"It's your last day in Cambodia. I don't want to miss our last opportunity. But I'll try my best to be stronger," katanya lagi.

Duh, beneran jadi terharu deh. Tapi akhirnya sampai jam setengah eight pagi Mai mengabari kalau dia tidak bisa menemani kami karena perutnya masih sakit.

"It's okay, Mai. You should take a rest. Thank you for a few days ago," Dwi jadi prihatin.

Dan jadilah hari terakhir di Phnom Penh diisi dengan kegiatan belanja dan kunjungan ke Tuol Sleng. Dina buru-buru minta maaf saat datang terlambat. Padahal telatnya cuma setengah jam doang. Lagian kalau dia datangnya on time terus kasihan di saya dong. Habisnya di antara teman gang, cuma saya yang bangun paling telat dan kebagian mandi paling akhir. Isshh..Curhat.

Dina beneran jadi time manager alias alarm yang baik banget buat kami. Pas ditraktir sarapan (lagi-lagi) kami selalu diingatkan untuk tidak terlalu lama menghabiskan makanan. Saat sesi jalan-jalan, dia terus-terusan mewanti-wanti kalau kami cuma waktu kurang dari dua jam buat berbelanja. Habisnya, kami harus menyisihkan waktu untuk check out dan kunjungan singkat ke Tuol Sleng. Dia tidak ingin kami terlambat sampai bandara dan ketinggalan pesawat. Uuuhh...totwit.

Jadi ceritanya, kami dibawa Dina balik lagi ke pasar sentral yang pertama kali kami datangi. Eh sebenarnya permintaan khusus dari kami juga sih. Pas kali pertama datang, saya dan Mbak Lia naksir berat dengan kain Kamboja yang warnanya cantik-cantik, jadinya sudah dijadwalkan bakal balik lagi kesini. Tapi ternyata pas balik lagi, kok tidak selera lagi ya dengan kain-kainnya? Aiihh bohong sih, sejujurnya dolar sudah mepet. Jadinya balik-balik jajan kaos sama suvenir doang. FYI, kaos-kaos Kamboja bahannya bagus-bagus banget! Sueerr... Harga per-bijinya cuma US$2 dengan bahan bagus dan motif sablon neon. Must buy deh ya kalau mampir ke pasar ini. Hohoho..

Entah mengapa saya mulai selera dengan menu makan siang kali ini. Bukan karena lagi-lagi free of charge ya, tapi jujur saja, kemarin-kemarin saya sempat dibuat eneg dengan seleranya orang Kamboja. Sialnya, setiap kali ingin pesan makanan, kami tidak pernah disuruh memilih menu sendiri. Jadi kebanyakan Dina atau Mai yang memesan. Pas makanannya datang pun, si Dina dengan 'baik hati' meracik bumbu makanan kami, baru memperbolehkan kami makan. Idihh..Sungguh tidak adil! Hehe.. Tapi rata-rata bumbu racikan Dina enak kok. *bohong*

Tahu makanan yang bikin saya selera? Kepala ikan goreng yang super crunchy! Hohoho.. Saya sampai lupa lho menawari Mbak Lia, Dwi, dan Dina saking serunya makan ikan sendirian. Eh sumpah, beberapa hari ini saya cuma disuguhkan mie, jamur, daging, ayam, atau kerang-kerangan. Bosan juga kali ah.. Makanya pas pesan menu, saya ngomong ke Dina kalau saya ingin ikan. Ikan apa saja deh. Lucky me, dibawain ikan goreng. Iya, ikan goreng doang. Rakus deh eke!

"She misses to eat fish. So, she likes fish," kata Dwi saat menyadari Dina memperhatikan saya makan ikan dengan lahapnya.

"Ohh, it's okay. Eat.. eat," kata Dina maklum sambil mengangguk-angguk.

Tapi bukan cuma saya lho yang lahap makan. Si Mbak Lia juga kok kayaknya tidak menoleh lagi ya dari mangkuk berisi ayam-mirip-soto-tapi-asam itu? Iiihhww..Ketawan! "Sambel sama kecap asinnya cocok joonn..," belanya. Dooh, alibi doang bilang aja laper.

Berikutnya adalah kunjungan ke Tuol Sleng. Dina mengingatkan lagi kami cuma punya waktu sekitar satu jam untuk keliling Tuol Sleng. Deehh...Lagian mau apa pula sih di Tuol Sleng lama-lama? Kan syerem.

Sebenarnya Tuol Sleng ini 'hanya' museum dengan bangunan yang dulunya adalah sekolah. Ta-piiiii...Museum ini adalah bangunan yang menjadi saksi bisu kekejaman Pol Pot zaman dulu. Dwi sampai mau nangis memohon untuk tidak masuk kesana. Tapi berkat 'rayuan' kami dan Dina, akhirnya dia mau juga tuh masuk ke Tuol Sleng.

Selain jadi alarm yang super on time, Dina juga berbaik hati menjadi guide kami selama di Tuol Sleng. Tuh kan, kurang servis apalagi coba kami ini? Jalan-jalan diantar pakai mobil, makan dibayarin tiga kali sehari, karaoke ditraktir, ini jadi guide gratisan pula! Padahal kalau mesti nyuruh guide menerangkan isi museum, mesti bayar lagi kan?! Lucky us! Hehe..

Jadi intinya museum ini akan menyuguhkan sejarah yang kelam bagi masyarakat Kamboja dan sungguh memilukan. Bayangkan, satu bangsa, satu tanah air, tapi nekad saling siksa. Begitu juga dengan sejarah Tuol Sleng ini, sungguh menyayat hati. Kekejaman Pol Pot ini mirip-mirip peristiwa G30S/PKI. Tapiiii..Menurut information yang saya dapat dari Dina, ternyata tentara Pol Pot ini adalah anak-anak muda yang umurnya dibawah 20 tahun! Katanya, sebelum menjadi pasukan Pol Pot, anak muda ini disuruh membunuh kedua orang tua mereka dulu. Karena, kalau mereka sudah berani membunuh orang tua sendiri, mereka tidak akan mungkin takut membunuh orang lain. Ya Tuhan, saya sampai merinding.

Ada banyak foto tentara Pol Pot dan korban-korban yang disiksa di museum ini. Sungguh memilukan, anak-anak muda yang nyatanya orang Kamboja juga nekad menyiksa hidup-hidup orang tua yang jelas-jelas satu bangsa. Saya saja sampai tidak ingin menceritakan kekejaman mereka lebih lanjut. Untungnya kunjungan kami hanya dibatasi Dina sampai jam setengah dua. Kacau juga kalau sampai sore kami disini. Habisnya Mbak Lia mengajak nonton video dokumenter yang akan ditayangkan jam 3 nanti. Gila, saya bisa-bisa tidak tidur nanti!

Saat menunggu taksi yang akan mengantar ke bandara, kami pamitan dulu dengan resepsionis hotel yang ramah sekali. Selain bahasa Inggrisnya bagus, kami juga tidak segan untuk komplain apapun dengan dia. Eh iya, saya ketemu sama cowok manis mirip Calvin Jeremy di hotel. Tumben-tumben kan nemu barang bagus di Kamboja. Bukan tamu lho, tapi bellboy-nya. Saya sih sebenarnya sudah ketemu dia dari kemarin, tapi pas mau check out kebetulan dianya stay di lobi terus. Jadinya sekalian pamitan deh. *Gak penting*

Bye bye, Phnom Penh

Well, this our last time in Cambodia. Sungguh senangnya hati ini, kemana-mana diantar, ditraktir makan pula. Enaknya ya menyombongkan pengalaman sama orang. Hahaa.. Tapi sumpah, sampai sekarang saya juga tidak menyangka bakal dapat teman yang super baik seperti mereka. Saya dan dua orang travel mate sampai sudah janjian bakal menjamu mereka dengan baik pula kalau mereka datang lagi ke Indonesia. Ngomong-ngomong, Dina lagi giat-giatnya latihan nih agar dikirim ke pertandingan petanque di Bali Oktober nanti. Semoga saja berhasil ya! Hoping you will go to your dreamland, Din!