Friday, June 5, 2020

Tips Keluarga Baru, Masalah Baru|Fashion Style

Melanjutkan dari kisah au pairing saya yang bermasalah dengan keluarga lama, akhirnya saya sekarang sudah pindah ke rumah keluarga baru di Laarne, sebuah desa kecil dekat Ghent, sejak awal September lalu. Banyak lika-liku sebelum akhirnya bisa pindah kesini. Dari yang mulai sempat ada selisih paham dengan host mom lama, uang saya yang sampai sekarang tidak dibayar oleh host mom, sampai rasa kecewa dengan keluarga baru ini.

Sejujurnya, kisah saya sampai ganti family ini juga agak up and down. Awalnya sih saya bahagia sekali bisa pindah keluarga, apalagi dari hasil diskusi sebelumnya dengan host parents ini, membuat saya merasa keluarga yang sekarang benar-benar ideal dan jauuuuh lebih baik dari keluarga sebelumnya.

Namun, tentu saja tidak ada keluarga yang benar-benar sempurna. Walaupun saya awalnya merasa keluarga ini jauh lebih baik, tetap saja saya merasa dikecewakan.  Memang sih, rasa kecewa itu sekarang sudah saya pendam dalam-dalam dan berlapang hati saja, tapi bukan tidak mungkin ganti keluarga bisa membuat kita lebih bahagia.

Setidaknya itu yang pernah saya alami sejak pindah kesini. Sejujurnya, keluarga saya yang sekarang 70% lebih baik dari segi komunikasi dan pekerjaan ketimbang keluarga lama. Keluarga yang sekarang adalah sepasang suami istri yang punya perusahaan di Ghent dan bergerak di bidang student housing (estate). Mereka berdua adalah pasangan businessman/woman muda yang sangat sangat sibuk sehingga jarang sekali di rumah.

Anak-anak mereka, Tijl, Staf, dan Keet, menurut saya adalah pribadi yang menyenangkan dan sangat welcome dengan orang baru. Ketiganya juga sudah fasih bahasa Inggris dan diajarkan untuk selalu well behaved. Walaupun ya, kadang masih agak "liar" mengingat usia mereka yang memang lagi aktif-aktifnya. Keluarga ini sudah pernah meng-hire lima au pair sebelum saya sejak 5 tahun terakhir. Bahkan au pair pertama mereka yang dari Cina, melanjutkan sekolah master-nya di Universitas Ghent, dan karena dia punya kamar sendiri disini, biasanya setiap akhir pekan balik ke Laarne.

Walaupun tergolong keluarga yang cukup kaya, tapi keluarga saya ini cenderung masih down to earth. Rumah mereka yang di Laarne dibeli dari seorang petani dan direnovasi lagi. Renovasinya pun tidak sepenuhnya karena mereka juga masih mempertahankan bentuk asli rumah petani ala Eropa yang berdinding bata dan banyak properti kayu.

Disini saya tidak hanya mendapatkan kamar, tapi juga satu rumah dan isi-isinya yang bisa digunakan. Jadi mereka punya dua rumah berdampingan di satu lokasi. Saat tidak ada pekerjaan, saya bisa leha-leha di 'rumah pribadi' au pair, masak, atau sekedar bubble bath. Kalau lagi kerja dan babysit, saya stay di rumah mereka untuk mengontrol para bocah.

Si bapak dan emaknya juga sangat open minded dan senang cerita, tapi sikap mereka agak berubah ketika saya memutuskan untuk menarik diri dan cenderung pendiam. Sikap saya ini saya tunjukkan karena kecewa dengan mereka. Bayangkan saja, kekecewaan ini membuat saya jadi pribadi yang tertutup, tidak terlalu tertarik dengan urusan keluarga mereka, bahkan memutuskan bolos kursus bahasa! Karena kecewa ini juga, saya bahkan berpikir untuk kembali lagi ke keluarga lama. Jlebb..

Rasa kecewa saya ada dua sebab. Yang pertama adalah karena pengakuan telat mantan au pair mereka dan yang kedua, ada satu kesepakatan yang sudah saya dan host parents setujui bersama sedari awal malah dilanggar sendiri oleh mereka. Kesalnya bukan main dan saya merasa mereka tidak fair.

Soal pengakuan telat mantan au pair mereka ini juga sempat membuat saya ilfil dengan keluarga yang sekarang. Saya juga kesal setengah mati dengan mantan au pair ini yang tidak seratus persen jujur. Dari awal, dia memberikan respon 100% positif tentang keluarga ini kepada saya. Kenyataannya, ada suatu hal yang membuat dia juga pernah dikecewakan!

Jadi ceritanya, au pair kelima mereka ini cuma kerja 3 bulan. Pengakuan dari host parents saya, karena si au pair ini city life person, makanya dia tidak betah hidup di lingkungan yang sekarang saya tempati.

Awal-awal minta referensi, si au pair ini terlihat enggan menceritakan hal sebenarnya yang membuat dia ingin resign. Dia cuma mengatakan kalau keputusannya jadi au pair di Belgia adalah keputusan terburuk dalam hidupnya. Sebalnya, setelah sehari saya pindah, si au pair ini baru cerita kalau ada perlakuan host dad yang menurut dia keterlaluan dan omongannya sangat kasar. Makanya si au pair ini memutuskan untuk secepatnya pulang ke kampung halaman.

Yang kedua adalah tentang kesepakatan kursus seni yang rencananya akan saya ikuti. Pertama kali datang ke keluarga ini, saya sudah bicarakan dengan host parents bahwa saya berkeinginan mengikuti salah satu kursus gambar yang diadakan tiap Kamis malam. Mereka sih oke-oke saja, jadi saya anggap mereka setuju. Tahunya, seminggu di awal kepindahan saya disini mereka mengatakan kalau hal itu tidak mungkin terjadi dan mau tidak mau harus saya batalkan.

Mengingat jam kerja mereka yang agak gila, jadinya mereka berharap saya mengerti hal ini. Sumpah, saya rasanya kesal sekali! Rasanya sangat tidak fair dan terlalu mempedulikan urusan mereka sendiri. Setidaknya kalaupun dari awal mereka pikir itu impossible, janganlah memberikan saya harapan palsu. Untung saja, saya belum sempat membayar kursus itu. Karena kalau tidak jelas apa sebab pembatalan, pihak kursus tidak mau mengembalikan uang yang sudah dibayar.

Memang saya tidak berhak memaksakan kehendak karena di regulasi au pair sendiri, cuma kursus bahasa yang menjadi keharusan. Namun saya seperti kehilangan kesempatan untuk belajar hal baru dan ketemu orang yang satu hobi. Semenjak di Londerzeel, saya memang sudah mengincar kursus ini. Namun karena kejauhan, saya batalkan. Makanya saya sangat senang saat tahu mereka menyetujui rencana saya mengikuti kursus seni di Ghent. Tahunya..

Jam kerja keluarga saya yang sekarang kacau sekali. Mereka baru pulang jam 8 malam, tapi bisa saja pergi lagi jam 10 malam dan baru pulang jam 1 pagi-nya. Mau tidak mau nyaris setiap hari saya mesti babysit dan menunggu mereka pulang.

Kasus ini langsung saya ceritakan dengan ibu saya di Palembang. Saya cerita ke beliau karena saya merasa omongan orang tua itu adalah yang sebenar-benarnya. Saya jelaskan ke ibu kalau saya ada niat ganti family LAGI! Jelas-jelas ibu saya tidak setuju karena belum tentu keluarga yang baru bisa lebih baik dari yang sekarang. Ibu saya juga kesal dengan saya yang terlalu sering ganti keluarga angkat. Tidak nyaman disini, pindah. Tidak nyaman disana, pindah.

Karena kecewa, saya mati-matian menerangkan ke ibu kalau keputusan saya pindah keluarga sudah bulat. Namun ibu saya mengarahkan coba untuk bicara ke host family lama siapa tahu bisa balik lagi kesana. Lagipula saya sudah tahu sifat keluarga lama, jadi tidak perlu adaptasi lagi.

Memang, saat itu entah kenapa saya merasa malah cara pikir dan perlakuan keluarga lama  membuat saya lebih nyaman ketimbang di keluarga baru ini. Saya merasa benar-benar menyesal pindah ke Laarne dan mengurung diri saja di rumah. Saya juga sering kali merasa bahwa Londerzeel, tempat saya tinggal dulu, justru lebih baik dari lingkungan yang sekarang.

Saya pun sempat menghubungi host mom lama dan menceritakan hal yang sebenarnya. Tapi saya tidak bertanya apakah dia masih mau menerima saya atau tidak. Saya hanya cerita dan minta pendapat tentang apa yang sedang saya alami ini. Dengan diplomatisnya, tentu saja dia menasehati untuk tetap bertahan di keluarga yang sekarang. Nasehatnya sangat bagus sih dan membuat saya berpikir untuk lebih hati-hati dalam bertindak.

Saya juga curhat dengan satu teman au pair yang paling tahu cerita saya di Belgia bagaimana, dari yang paling sedih sampai sangat menyedihkan. Teman saya ini jelas menentang saya habis-habisan kalau ingin kembali ke keluarga lama. Dia sangat tahu apa yang menyebabkan saya ingin keluar dan pindah, dan hal itulah yang dia tanyakan lagi ke saya. Dia menegaskan jangan pernah kembali lagi ke orang yang sudah benar-benar membuat kita sakit hati dan kecewa.

Belum puas juga, akhirnya permasalahan ini saya bawa ke agensi Au Pair Support Belgium. Saya menerangkan kalau saya bermasalah lagi dengan keluarga yang sekarang dan menanyakan apa saja kesempatan yang masih ada untuk saya saat itu. Karena regulasi menerangkan kesempatan ganti keluarga hanyalah sekali dalam kurun waktu setahun atau mau tidak mau saya harus pulang ke negara asal.

Untungnya, karena saya baru seminggu pindah, dokumen pergantian work permit belum diserahkan ke authority bureau, jadinya masih ada kesempatan untuk ganti keluarga baru lagi. Saya juga curhat ke agensi dan meminta pendapat mereka tentang hal ini. Alhamdulillah kali ini agensi tidak hanya memihak ke host family, karena berkali-kali curhat ke mereka, selalu di balas panjang oleh asistennya. Agensi juga sudah siap saja mencarikan keluarga baru, asal saya sudah benar-benar membicarakan hal ini dengan keluarga yang sekarang. Padahal kasus tentang ganti keluarga ini baru keputusan saya saja dan sama sekali belum saya singgung ke host parents.

Yun Shu, au pair pertama mereka dari Cina, yang juga setiap weekend pulang kesini, sering kali juga saya mintai pendapat. Jie jie, biasa dia saya panggil, sebenarnya sedih juga mengetahui saya tidak nyaman tinggal di Laarne. Walaupun sempat jadi au pair keluarga ini sekitar 4 tahun yang lalu, tapi dia juga sebal dengan perlakuan si keluarga yang membuat saya kecewa.

Jie jie juga mendukung keputusan saya kalau ingin ganti family maupun tetap tinggal disini. Sarannya, kalau ingin ganti keluarga, lakukanlah secepatnya dan carilah yang mungkin bisa lebih baik. Begitupun kalau saya ingin tetap tinggal, sebisa mungkin carilah cara agar saya bisa lebih bahagia dan produktif.

Jie jie juga sangat menyayangkan kegiatan saya yang cuma tinggal di rumah setiap hari karena bolos kursus bahasa. Dia sebenarnya mengerti kenapa saya bolos dan dia juga tidak menyalahkan. Tapi katanya akan lebih baik kalau saya tetap mencari kegiatan di luar agar bisa ketemu orang baru dan bicara.

Akhirnya setelah sebulan bergulat dengan rasa kekecewaan, bolos kursus bahasa, kesepian yang menderu gara-gara keseringan di rumah, awal Oktober saya memutuskan untuk tetap tinggal dengan keluarga yang sekarang. Pola pikir saya mulai diubah untuk lebih bijaksana dalam bertindak dan melihat masalah.

Walaupun sudah sempat kecewa, tapi saya berpikir waktu di Eropa sudah tinggal 6 bulan lagi. Kalau saya cuma memendam rasa kecewa dan tinggal di rumah saja, kapan saya bisa eksplorasi dan ketemu orang barunya? Lagipula untuk apa saya jauh-jauh kesini kalau tidak bahagia?

Kejelekan-kejelekan keluarga baru yang sempat membutakan, saya buang jauh-jauh. Saya mulai semangat lagi keluar rumah sekedar cari tempat baru untuk dieksplor. Walaupun tidak ikut kursus bahasa, saya tetap datang ke perpustakaan untuk belajar sendiri. Memang kebanyakan bosannya sih, tapi lebih baik ketimbang ilmu saya tidak berkembang.

Well, ini keputusan yang saya buat, dan saya tidak pernah kecewa atas apa yang sudah putuskan. Saya melihatnya sebagai pembelajaran bahwa ternyata kita tidak bisa selamanya hidup di zona nyaman. Bagi saya tinggal di keluarga yang sekarang adalah di luar zona nyaman saya. Memang agak sulit mengikuti habit dan daily life keluarga baru ini, tapi setidaknya, mereka lebih terbuka dan mau diajak komunikasi. Lagipula saya bersyukur keluarga ini mau menerima saya apa adanya, walaupun sih mereka juga sepertinya agak sungkan saat tahu  saya agak menarik diri dari keluarga mereka.

Tips Ketika Au Pair Bermasalah dengan Keluarga Angkat|Fashion Style

Au pair mana yang ingin punya masalah dengan keluarga angkat mereka? Terlebih lagi setelah lama kenalan dan bicara via Skype, mereka merasa sudah kenal satu sama lain dengan lebih baik. Namun ekspektasi sebelum berangkat tak jarang selalu berbeda dengan realita. Mendengar cerita dari teman-teman au pair yang lain, banyak dari mereka mendapati kenyataan yang berbeda dengan kontrak tertulis yang sudah dibuat bersama.

Bukan hanya seorang au pair, banyak keluarga angkat yang merasa surprise juga mendapati au pair yang ternyata berbeda dari yang mereka kenal selama ini. Bisa jadi seleksi host family - au pair ini sebuah perjudian.

Sebenarnya au pair, terlebih yang dari Indonesia, tidak pernah meminta aneh-aneh juga dari host family. Setidaknya, host family harus lebih menghargai kontrak kerja, jujur, dan jangan terlalu mean. Kebanyakan yang tertulis di kertas hanyalah formalitas belaka. Host family juga kadang tidak jujur dengan apa yang ditulis disana. Padahal yang menguatkan au pair hanyalah kontrak kerja tersebut.

Namun tak jarang, ada juga host family yang sangat menghargai apa yang sudah mereka sepakati bersama. Regulasi au pair hanya boleh bekerja selama 4 jam, ya mereka tetap membatasi pekerjaan au pair segitu. Atau saat au pair kerja ekstra, mereka sanggup bayar lebih.

Tapi ketemu keluarga yang begini susah sekali. Walaupun host family sudah pernah meng-hire au pair sebelumnya, kadang masih juga belum bisa menghargai apa yang tertulis di kontrak. Ujung-ujungnya au pair jadi kecewa dan mulai berpikir untuk mengakhiri kontrak dengan keluarga tersebut. Bagaimana kalau sudah begini?

1. Jangan takut

Saat kita merasa sudah tidak nyaman dengan kondisi di rumah, cobalah untuk tetap bersikap tenang dan be positive. Sebelum memutuskan untuk mulai mencari keluarga baru, kita tetap harus berpikir apa yang membuat kita tidak nyaman disana.

Seorang teman saya, merasa harus kerja rodi nyaris setiap hari. Namun perlakuan host family-nya yang sangat baik dan care, membuat dia berpikir ulang untuk pindah keluarga baru. Walaupun mesti kerja rodi, pada dasarnya dia sendiri tidak pernah disuruh-suruh melakukan sesuatu. Pekerjaan itu dia lakukan karena memang merasa tidak enakan dengan keluarganya yang baik itu. Coba pertimbangkan lagi apa yang membuat kita masih harus bertahan, atau hal tak termaafkan apa saja yang membuat kita memang harus keluar.

2. Segera hubungi agensi atau teman-teman au pair lainnya

Posisi agensi disini adalah sebagai penengah antara kita dan host family. Sejauh ini, saya memang sering menghubungi agensi untuk mediasi atau sekedar bertanya hal-hal yang membuat saya kalut. Agensi juga tidak selamanya memihak ke host family kok, mereka juga kadang memberikan saran yang meringankan au pair.

Bagi yang bekerja tanpa bantuan agensi, coba hubungi teman-teman au pair lainnya untuk minta saran. Karena biasanya pengalaman dan saran mereka bisa dipertimbangkan untuk langkah kita selanjutnya.

3. Mulailah berkomunikasi tentang apa yang kita rasakan ke host family

Hal ini sebenarnya tidak mudah, karena saya pun termasuk orang yang sangat sulit mengutarakan apa yang saya rasakan ke orang lain. Namun karena benar-benar harus jujur, saya berani bicara ke host mom tentang kekecewaan saya. Walaupun sempat berdebat dan akhirnya malah saya yang banyak diam, namun setidaknya host mom mengerti apa yang membuat saya kecewa.

Memang tidak 100% saya jelaskan semuanya ke dia, karena jujur saja, saya juga takut bicara dengan orang yang gampang emosian dan mau menang sendiri. Agar omongan lebih terarah, coba tulis dulu hal-hal apa saja yang membuat kita merasa tidak nyaman lagi bersama mereka. Dengan begini, kita bisa lebih jelas mengutarakan maksud kita ke host family.

4. Kalau memang jalan satu-satunya hanyalah dengan ganti family baru, segeralah hubungi agensi untuk minta dicarikan host family lain yang sedang urgent butuh au pair.

Sembari menunggu berita agensi, ada baiknya juga kita mencari sendiri lewat internet. Harus diperhatikan juga waktu kita mencari host family baru hanyalah 2 minggu setelah putus kontrak dengan family lama.

Kalau family-nya sudah benar-benar kecewa, bisa jadi belum 2 minggu, kita sudah diusir dari rumah mereka. Atau ada juga host family yang bersedia memberikan kita waktu beberapa bulan mencari family baru, karena sebenarnya mereka juga masih butuh bantuan. Jika sampai waktu yang diberikan kita juga belum dapat family baru, mau tidak mau kita harus pulang ke Indonesia. Namun kita harus tetap tenang, karena agensi biasanya akan memberikan opsi lain yang membuat kita masih bisa bertahan tanpa harus pulang lebih awal.

5. Bekerjalah lebih baik selama pencarian

Walaupun kita merasa sudah malas-malasan dan tidak nyaman tinggal, tapi kita harus tetap bekerja dengan lebih baik di rumah host family yang sekarang. Anggap saja itu upah karena mereka masih memberikan kita kesempatan tinggal selama mencari keluarga baru.

6. Tinggalkan kesan baik pada host family lama

Sekecewa-kecewanya saya, sesakit-sakit hatinya saya, tapi saya merasa tetap harus berterimakasih dengan host family yang dulu. Walau bagaimanapun, mereka yang sudah membawa saya ke Eropa. Mereka juga sudah mengeluarkan uang yang tidak sedikit mengundang seorang gadis asing untuk mengurus anaknya.

Tapi memang pada dasarnya host family saya ini baik, makanya juga saya tidak mau ada "perang" lagi ketika pindah dari rumah mereka. Saya tetap ingin menjaga komunikasi dan meninggalkan kesan baik dengan semua keluarga disana. Namun ada juga teman saya yang merasa host family-nya tidak perlu dikasih hati lagi karena sudah sangat keterlaluan. Kalau kasus yang begini, memang sebaiknya tinggalkan saja!

Sekali lagi, tidak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi. Saya pun menilai, pekerjaan-pekerjaan tak terduga di luar kontrak kerja bisa diberikan karena host family sendiri tidak ingin rugi. Namun kalaupun memang terjadi masalah, be brave!

Kita jangan takut kalau memang benar. Jangan sampai waktu setahun di Eropa jadi kelam dan kelabu hanya karena masalah ganti family ini. Kalau memang jalan satu-satunya harus ganti family dan memulai hidup baru, face it!

Thursday, June 4, 2020

Tips Menjalin Hubungan Baik dengan Keluarga Angkat|Fashion Style

Tiap keluarga angkat atau host family memang tidak sama. Ada yang sangat bersahabat, ada yang penuh aturan, ada yang cerewet, atau ada juga yang terlalu perfeksionis dan mengekang. Meski kita tidak tahu bagaimana sifat asli host family sebelum berangkat, namun sejatinya tidak ada host family yang sempurna.Host family adalah keluarga baru sekaligus ibarat perusahaan untuk kita. Tidak ada salahnya menjalin hubungan baik dengan mereka selama kita tinggal di rumahnya.

Tinggal di rumah orang lain memang tidak bisa secuek di rumah sendiri. Selalu ingat, kita adalah au pair yang bertukar pengalaman tempat tinggal untuk membantu melakukan beberapa pekerjaan dasar di rumah mereka. Ada baiknya kita tetap selalu bersikap baik di rumah keluarga angkat dan berusaha menjalin hubungan baik dengan mereka.

What to do?

Dare to talk!

Ini permasalahan utama mengapa saya sering miskomunikasi dengan keluarga yang sekarang. Dari yang malu, banyak pikir, atau malah malas bicara, akhirnya saya tidak bisa mengutarakan apa yang harusnya dikatakan.

Sebenarnya bukan soal si au pair yang pemalu atau introvert, tapi sejauh yang saya temui, rata-rata au pair dari Asia memang tipikal orang yang suka menyimpan perasaan dan lebih baik diam. Padahal komunikasi dengan host family menjadi hal yang sangat vital.

Awalnya memang sering kaku lidah, namun kalau sudah terbiasa, sebenarnya para keluarga bule itu juga open dan pikiran mereka kadang tidak sama dengan apa yang kita pikirkan. So, harus berani mengutarakan dulu apa yang kita rasakan! Harus berani! Harus!

Banyak sapa dan tanyakan kabar mereka

Apa yang membuat kamu dan teman atau gebetan lama berbetah-betah duduk di kafe?Pastinya ada topik seru untuk dibahas kan? Karena kita tinggal dengan host family yang dianggap keluarga juga, sebaiknya kita juga harus selalu menjaga komunikasi dan percakapan agar suasana tidak kaku.

Tidak harus menjadi seorang yang cerewet dan segala hal harus diceritakan, karena ada waktunya kita juga malas bicara dan memilih diam. Cobalah untuk ikut membaca koran atau berita tentang negara yang sedang kita tinggali. Hal ini bisa jadi topik seru untuk jadi topik dengan host family. Selain itu, host family pun bisa jadi akan sedikit terkesan karena kita mau lebih mengenal negara mereka.

Kebiasaan lainnya adalah menyapa di pagi hari dan sebelum tidur, berbincang tentang cuaca, atau menanyakan kabar harian. Yang keluarga saya lakukan saat semua anggota keluarga sudah pulang ke rumah adalah menanyakan tentang berita mereka hari itu. Walaupun kadang skenarionya cuma jadi begini;

"Hello, Nin. How was your day?"

"Good. Good. And how was Ghent, also hard rain?"

"Yes, also windy. How was the kids? Everything is okay?"

"Yes, everything is okay."

tapi setidaknya kita berusaha mengakrabkan diri dengan host parents dan ingin tahu apa yang terjadi di luar. Kedengarannya sih basa-basi, namun sebenernya mereka benar-benar ingin tahu apa saja hal yang sudah kita lakukan di negara mereka. Jika ada hal menarik yang terjadi, kita bisa menemukan satu topik untuk membuat percakapan lebih panjang.

Hal yang sama juga harus kita lakukan ke host kid(s). Walaupun seringnya cuma mendapatkan jawaban "good", "no", "yes", atau bahkan tidak ada jawaban sama sekali, saya tetap berusaha untuk selalu berkomunikasi dengan mereka. Yang sering ditanyakan biasanya tentang sekolah, pekerjaan rumah, teman, atau pertandingan basket mereka. Ssstt..pertanyaan seperti ini sebenarnya bukan kepo lho, tapi bagian dari perhatian.

Makan bersama

Sejak tinggal di keluarga yang sekarang, setiap pagi dan malam biasanya saya berkumpul di meja dan makan bersama. Walaupun beberapa kali absen ikut sarapan dan dinner, tapi biasanya saya menyempatkan untuk duduk dan mendengarkan cerita para bocah dan orang tuanya.

Beberapa teman au pair ada juga yang malas melakukan hal ini karena canggung. Tapi sebenarnya, hal inilah yang membuat kita benar-benar dianggap jadi bagian keluarga mereka. Duduk, makan bersama, dan cerita tentang apa saja yang sudah dilakukan hari itu. Jujur saja, saya juga kadang malas karena tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. Tapi saya juga menyukai bagian dimana para anggota keluarga berkumpul dan berbincang. Bukankah hal ini sudah sangat jarang dilakukan saat kita sudah besar?

Mari memasak!

Hal menyenangkan selama tinggal di Belgia adalahsaya bisa sekalian belajar memasak dan mencicipi makanan khas sana yang cenderung berkuah dan bersaus. Baru sekalinya ini saya merasa makan udang dan wortel mentah itu enak. Atau juga, baru sekalinya ini saya merasa roti yang dilumuri minyak olive bisa senikmat saat di Belgia.

Keluarga saya yang dulu dan sekarang dua-duanya suka memasak. Bedanya, keluarga yang dulu suka masakan seafood yang segar, sementara yang sekarang sukanya daging-dagingan yang berlemak. Walaupun saya lebih suka masakan keluarga yang dulu, tapi dari keluarga yang sekarang, saya diajari resep spaghetti dan saus bolognese paprika khas keluarga mereka yang enak.

Bagi saya, inilah namanya pertukaran budaya. Selain kita bisa mencicipi masakan khas dari host country, kita juga sesekali bisa menghidangkan makanan khas Indonesia di meja mereka. Walaupun sering ada ketakutan bakal tidak cocok dengan lidah mereka, namun makanan cukup familiar seperti nasi goreng atau bakso masih cukup bisa diterima. Bisa juga sesekali membuat muffin sederhana atau tiramisu untuk dimakan bersama. Setidaksukanya kamu memasak, atau setidaksukanya mereka dengan makanan Asia, tapi tidak ada salahnya mengenalkan satuuuu saja masakan karya kita di meja mereka.

Let's play together and be enthusiastic

Karena host kids saya sudah besar dan cukup mandiri, saya tidak perlu terlalu aware dengan mereka. Kalau lapar, mereka bisa makan sendiri. Kalau mandi, mereka juga bisa mandi sendiri. Bahkan kalau bosan, mereka juga bisa memilih main atau nonton tv. Karena kemandirian tersebut, saya benar-benar jadi kakak yang kadang hanya bertugas mengingatkan tentang jadwal tidur atau menegur kalau ada salah. Namun ada kalanya tugas au pair tidak hanya bersih-bersih dan mengontrol, tapi juga ikut main dan melakukan aktifitas bersama anak.

Tidak perlu jadi seorang guru TK yang harus menggiring essential atau harus punya banyak ide untuk mengisi hari-hari kosong mereka, karena sejujurnya kita bukan seorang penghibur anak-anak! Yang harus kita tunjukkan adalah rasa antusias saat bermain atau berkumpul bersama. Meski saya punya sedikit masalah bercakap-cakap ria dengan anak-anak, namun saya selalu berusaha ikut nonton tv bersama atau essential trampolin di luar walaupun malas sekali.

Kalau sedang good mood, saya biasanya mengajak si gadis kecil, Keet, menggambar sesuatu yang memang adalah hobinya. Hal yang selalu membuat dia penasaran adalah saat saya dengan baiknya menggambar seorang gadis berkepang lengkap dengan badan-badannya.

Lucu sekali saat melihat dia antusias menggambar hal yang sama dengan yang saya lakukan. Host kid saya yang satu ini memang punya hobi yang sama dengan saya. Berbeda dengan kakak-kakaknya yang aktif di olahraga, sebenarnya melakukan sesuatu dengan Keet bisa jadi lebih seru. Namun kadang saya juga tidak in good mood dan akhirnya meninggalkan dia bermain dengan iPad-nya.

Aktifitas lain yang bisa dilakukan dengan anak-anak yang sudah lebih besar sebenarnya cukup mudah. Mainan klasik seperti UNO, Monopoly, atau board game juga seru. Aktifitas olahraga seperti renang dan bersepeda bisa juga dipilih kalau memang cuaca sedang bagus.

Voor jou, van mij

Arti dari kalimat di atas "untuk mu, dari aku". Walaupun tidak wajib, tapi sebaiknya berikanlah hadiah kecil pada host kids saat mereka berulang tahun, menang perlombaan, atau dapat juara kelas. Dengan gaji au pair yang pas-pasan kita juga tidak harus membelikan mereka sepatu basket atau mainan super canggih. Cukup belikan mug bergambar lucu, bando-bando imut, atau hadiah buatan tangan bisa jadi kenangan sendiri untuk mereka. Yang suka memasak, bisa juga membuatkan mereka cake cokelat favorit. Jangankan anak-anak, kita sendiri juga senang kan diberi kado? :)

Be bendy but attainable

Jadi au pair menuntut fleksibilitas yang tinggi. Meski sudah jelas jam kerja cuma enam jam per hari, namun kadang host family masih butuh kita babysit di Sabtu malam atau saat kita libur. Apapun agenda kita saat libur baiknya didiskusikan dengan host parents dari jauh hari. Hal ini untuk menghindari kesalahpahaman dan jadwal yang berbenturan. Tanyakan juga tentang rencana host family saat akhir pekan untuk mengatur agenda kita.

Saya sempat ditegur host parents gara-gara ingin libur dari Jumat malam secara mendadak. Padahal Jumat malam itu saya masih kerja dan ternyata mereka butuh saya babysit. Untuk menghindari kesalahpahaman seperti ini, saya sekarang lebih aware dan mengalah dengan jadwal padat mereka. But fortunately, rata-rata host family tidak akan membebani au pair untuk babysit di tiap Sabtu malam kok.

Beritahukan teman dan rencana mu

Apa tanggapan kalian ketika ada anggota keluarga baru tinggal di rumah, namun pergi dan pulang tidak ada kabar? Atau bagaimana tanggapan kalian saat teman anggota keluarga baru datang, tapi kita tidak tahu bentuk mukanya, siapa, dan apa saja pekerjaan mereka di kamar?

Well, mungkin kita bisa saja cuek kalau yang dimaksudkan adalah kakak atau adik kandung sendiri. Tapi coba kamu bayangkan seandainya ada gadis asing datang dari tempat jauh yang sudah kita anggap sebagai keluarga, tiba-tiba tidak pulang ke rumah tanpa memberi kabar? Bukankah kita juga ikutan khawatir kemana dia dan apa yang terjadi?

Host family di rumah juga merasakan hal yang sama dengan kita. Dengan tidak menanyakan kabar kita, bukan berarti mereka tidak ingin tahu dan cuek. Mereka hanya menghargai privasi kita dengan tidak menanyakan macam-macam tentang hal yang kita lakukan.

Namun ada baiknya kita memberi kabar kemana kita akan pergi, di rumah siapa kita akan menginap, atau apakah kita akan pulang atau tidak. Sebenarnya host family lah yang bertanggungjawab atas kita di negara asing ini. Dengan memberi tahu siapa teman dan kemana kita akan pergi, menjelaskan kalau kita menghargai mereka.

Di lain sisi, jikalaupun ada sesuatu terjadi pada kita, mereka tahu akan mencari kemana. Tuliskan juga beberapa nomor telepon dan alamat teman-teman terdekat di kertas dan tempelkan di kamar kita untuk mengantisipasi seandainya host parents mencari beberapa kontak teman terdekat yang bisa dihubungi.

Be socializing

Ada kalanya, host family punya acara dinner di rumah dan mengundang teman-teman mereka. Sejauh ini, kalaupun ada dinner di rumah, host family saya selalu mengajak untuk makan bersama di satu meja. Tapi ada juga beberapa keluarga yang hanya ingin menikmati acara dinner dengan teman-teman mereka tanpa diganggu anak atau au pair. Kalau kondisi ini terjadi, kita tidak perlu kecewa dan cukup biarkan host parents berkumpul bersama teman-temannya.

Yang ingin saya gambarkan disini bukan soal acara dinnernya, tapi ada masa dimana host family menawarkan au pair ikut acara mereka atau mengajak ke suatu tempat. Seringkali host parents saya menawari untuk datang ke acaramereka di hostel atau student housing. Meski saya tahu disana saya pasti akan sendirian dan tidak ada teman bicara, tapi ikut acara seperti ini membuat saya bisa lebih tahu pekerjaan host parents dan apa yang membuat mereka sangat sibuk setiap hari.

Seandainya host family memang menawari ikut ke sebuah acara, sesekali boleh saja kita terima ajakan mereka. Jangan terlalu sering menolak tawaran ini karena menandakan kita terlalu menjaga jarak dan tidak ingin terlalu ikut campur. Saat di acara itu pun, jangan cuma sibuk dengan ponsel dan menyendiri di pojokan. Cobalah untuk mencari teman bicara atau cukup sok-sok memperhatikan apa yang terjadi. Karena nyatanya acara orang barat memang tidak seakrab acaranya orang Asia.

Jadi au pair yang menyenangkan memang tidak mudah. Kita juga tidak harus berpura-pura untuk menjadi orang yang sok easy going untuk membuat keluarga angkat senang. Cukup jadi sendiri, jaga sikap, jujur, dan bertanggungjawab terhadap pekerjaan dan anak-anak mereka itu saja kadang sudah cukup kok.

Tips Bertahan dari Dinginnya Eropa|Fashion Style

Bagi yang sudah pernah tinggal di negara empat musim sebelumnya, tentu tahu bagaimana rasanya suhu 7 derajat Celcius saat musim gugur atau -five derajat saat musim dingin. Panas untuk bule hampir sama dengan dingin untuk orang-orang tropis seperti kita. Bagi para bule, suhu 25 derajat dengan matahari yang terik sudah cukup membuat mereka nyaris telanjang. Begitu pula dengan kita, suhu 7 derajat dengan kondisi mendung dan berangin, sudah pasti membuat kita nyaris menutup seluruh anggota tubuh karena kedinginan.

Pertama kali mempersiapkan diri akan tinggal di Eropa, saya sempat melihat prakiraan cuaca jika saya tiba disini. Saat itu baru masuk musim semi yang katanya mulai hangat dengan suhu maksimum 7 derajat di siang hari. Karena belum tahu dinginnya 7 derajat itu seperti apa, jadinya saya hanya menyiapkan mantel tebal dan pakaian ala kadarnya. Sempat juga mencari tahu gaya berpakaian orang saat musim semi yang kelihatannya santai dan sudah bisa pakai flat shoes kemana-mana. Faktanya, saya harus disambut dinginnya musim semi yang saat itu masih bertemperatur minus.

Memang tidak ada yang bisa memprediksi cuaca tiap tahunnya. Kalau pada tahun itu musim dingin bisa mencapai -10 derajat Celcius, bisa jadi awal musim semi akan sangat bersalju dan dingin. Suhu di beberapa bagian Eropa juga akan berbeda di tiap tempatnya. Eropa utara dan timur menjadi wilayah yang sangat dingin saat akhir tahun karena lebih dekat dengan kutub. Eropa barat dan tengah cenderung bertemperatur "regular" atau bisa bersalju. Sementara di bagian selatan Eropa sendiri bisa lebih hangat dengan curah hujan yang tinggi.

Agar tubuh tetap hangat dan tidak salah kostum, namun tetap stylish saat bepergian, berikut beberapa tips saya berikan sesuai pengalaman saya di tahun ini!

Rambut dan telinga

Saya sempat mengalami masalah kulit kepala kering pertama kali menginjakkan kaki di Eropa. Kulit kepala saya yang biasanya berminyak saat musim panas mendadak kering karena perubahan cuaca. Untuk menghindari hal ini ada baiknya tidak terlalu sering mencuci rambut saat musim dingin. Yang saya lakukan biasanya cukup dua hari sekali dengan air hangat untuk membuka pori-pori dan diakhiri dengan air dingin untuk membuat batang rambut tetap lembut. Air hangat tidak cukup baik untuk rambut karena bisa membuat kulit kepala makin kering, batang rambut menipis, dan akhirnya rambut bisa rontok.

Baiknya juga melapisi batang rambut dengan leave-in conditioner atau minyak argan untuk memberikan proteksi lebih. Topi semacam beanie bisa dijadikan opsi untuk menutupi kulit kepala dan telinga dari kedinginan saat bepergian keluar. Atau kalau malas pakai beanie hat karena membuat rambut lepek, bisa juga gunakan earmuff untuk menahan angin dan hawa dingin yang bisa membuat telinga menjadi kaku dan sakit.

Muka

Bagian ini tentunya paling vital karena paling sering terkena dinginnya angin. Perawatan yang dilakukan pun mesti lebihintens mengingat kulit muka juga mesti beradaptasi dengan perubahan suhu. Sama halnya dengan kulit kepala, krim yang saya gunakan di Indonesia juga tidak berfungsi dengan baik saat musim dingin. Yang ada kulit saya makin kering karena memang krim muka yang saya gunakan tidak mengandung air.

Saat musim dingin, sebaiknya pilih krim muka dengan bahan dasar air dan tidak mengandung alkohol. Pelembab di Eropa rata-rata tidak mengandung SPF, sehingga saya juga harus melapisi kulit dengan sunblock ber-SPF tinggi. Pernyataan kalau saat musim dingin tidak butuh sunblock itu justru salah besar! Walaupun cuaca sedang mendung, SPF tetap sangat penting digunakan untuk melindungi kulit muka dari pengaruh buruk sinar matahari yang malah lebih berbahaya saat musim dingin.

Kalau masih nyaman menggunakan krim dari Indonesia yang biasanya sudah cocok dengan kulit tanpa membuatnya makin kering, coba saja mengoleskan minyak almon, argan, atau zaitun sebelum mengaplikasikan krim muka untuk menjaga kelembabannya.

Berhubung kantung mata saya sudah turun dan kelihatan seperti orang capek terus, saya juga mengoleskan krim mata saat siang dan sebelum tidur untuk menjaga kelembaban di daerah tersebut. Pernah kejadian kulit di sekitar mata saya jadi kering dan menghasilkan garis-garis halus yang membuat muka kelihatan tua! Hiiiih..

Bibir

Suhu yang rendah dan kering membuat kulit bibir mudah terkelupas bahkan luka. Tahu kenapa orang Rusia dikatakan bangsa yang tidak ramah karena jarang senyum? Karena mereka harus bertahan di temperatur yang nyaris selalu di bawah -five derajat Celcius selama beberapa bulan! Suhu rendah mudah membuat bibir kering dan sekalinya senyum, bisa-bisa kulit ikut merenggang dan menyakitkan. Bahkan di keadaan yang sangat dingin, bibir bisa berdarah karena luka.

Pelembab bibir wajib digunakan setiap hari untuk membuatnya tetap lembab. Membersihkan kulit mati di bibir juga mesti sering dilakukan untuk membuatnya tetap lembut. Hal sederhana yang sering saya lakukan saat mandi adalah mengelupasi sel-sel kulit mati di bibir. Air hangat membuat kulit bibir melembut dan cukup mudah dikelupas. Bisa juga menggunakan scrub khusus bibir buatan sendiri dari gula dan minyak zaitun.

Tubuh

Karena sering tertutup oleh pakaian, daerah sekitar tangan dan badan biasanya lebih hangat dari bagian tubuh manapun. Memilih pakaian juga tidak boleh sembarangan agar tetap merasa hangat. Gaya berpakaian layering atau bertumpuk memang cukup ampuh. Namun kalau bahan pakaiannya menghangatkan, hanya beberapa lapis saja sudah cukup tanpa harus menumpuk banyak jaket tebal.

Untuk mantel, ada banyak pilihan yang bisa digunakan. Saya pribadi, saat suhu masih di atas 2 sampai 8 derajat Celcius, mantel berbahan campuran wool ampuh menghangatkan tubuh sekaligus memberikan kesan neat dan classy.

Mantel berbahan campuran wool yang tetap stylish saat cuaca dingin

Kalau sudah di bawah 2 derajat, saya biasanya memilih anorak andalan yang cukup tebal dan anti angin. Anorak yang saya beli di pasar loak (mirip dengan gambar di bawah) cuma 45ribu saja dan sangat menghangatkan di bawah suhu 0 derajat Celcius!

Image 2 of WATERPROOF COMBINED PARKA from Zara
Anorak ZARA yang tidak tembus air

Menyambut musim gugur atau di akhir musim semi, biasanya suhu masih 10 derajat di siang hari dengan sinar matahari yang hangat. Walaupun sudah cukup nyaman untuk bepergian, namun jangan lupakan parka, padded jacket, trench coat, jaket kulit, atau cardigan tebal berbahan wool untuk melindungi tubuh dari hawa dingin.

Image 4 of COTTON PARKA from Zara
Parka ZARA berbahan katun khas musim gugur

Agar tidak terlalu banyak menumpuk pakaian di dalam mantel, cobalah untuk memakai pakaian berbahan kashmir atau wool yang lembut namun sangat menghangatkan. Saya pribadi, biasanya menggunakan empat lapis pakaian saat cuaca sedang dingin-dinginnya. Pakaian thermal di lapis pertama, kaos atau kemeja katun di lapis kedua, pullover di lapis ketiga, dan anorak setelahnya. Bahkan saya bisa saja menggunakan tank top sebagai dalaman, kaus katun tangan panjang, dan anorak saat bepergian.

Pakaian thermal bisa juga diganti dengan dua lapis kaus katun agak mengetat di badan, atau dalaman tangan panjang berbahan dasar spandex. Pakaian yang mengetat ini cukup menghangatkan tubuh dan bisa berfungsi sebagai dalaman thermal saat musim dingin. Saya juga suka mengoleksi kemeja flanel yang dibeli dari pasar loak di Indonesia sebagai koleksi pakaian hangat. Cukup pakaian thermal, kemeja flanel, dan anorak, you can go, girl!

Bagian tubuh yang sering kena angin dingin lainnya adalah leher. Kadang mantel kita tidak cukup tinggi menutupi bagian tubuh yang ini. Solusinya dengan memakai scarf, syal tebal, atau sweater berleher tinggi untuk menghangatkannya.

Selain pakaian yang menghangatkan, kita juga harus aware dengan kesehatan kulit tubuh saat musim dingin. Mandi dan berendam dengan air hangat saat cuaca dingin memang sangat nyaman dan menyegarkan. Namun kalau lebih dari 5 menit, justru akan membuat kulit tambah kering. Jika terus dibiarkan, kulit bisa menjadi bersisik, luka, dan parahnya bisa kena eczema.

Meskipun dingin bisa membuat kita malas membasuh tubuh dengan air, namun saya selalu berusaha menjaga kebersihan tubuh dengan mandi sekali sehari saat cuaca dingin. Hindari terlalu lama berendam dan mandi dengan air hangat. Sebisa mungkin basuh tubuh dengan air yang lebih dingin sehabis mandi untuk membuat pori-porinya tertutup. Mengoleskan pelembab tubuh yang creamy seperti body butter juga sangat penting. Saya pribadi juga mengoleskan pelembab tubuh yang berbeda di tiap musim. Body milk atau body lotion dengan formula ringan biasanya cocok digunakan saat musim panas, sementara body cream atau body butter yang cukup rich untuk musim dingin. Jangan lupa juga untuk rajin menghilangkan sel-sel kulit mati dengan scrub agar pelembab tubuh lebih cepat menyerap.

Tangan dan jari

Jari-jari tangan yang lentik akan sangat tidak cantik kalau terlihat kering dan bersisik. Hal yang sangat saya sebalkan adalah ketika merasakan jari-jari tangan saya kedinginan karena bisa membuatnya mengkerut dan kering. Hindari membasuh tangan dengan air yang terlalu dingin atau terlalu hangat, karena keduanya juga bisa membuat kulit kering. Sabun cuci tangan dengan kandungan sabun yang keras juga bisa membuat kulit kesat dan semakin kering. Gunakan krim tangan dan krim kuku sehabis mencuci tangan. Saat bepergian, sebelum menggunakan sarung tangan, selalu oleskan juga krim tangan untuk membuatnya tetap lembut.

Kaki

Jeans sebenarnya sangat tidak disarankan karena menyerap dingin. Tapi saya juga sangat suka memakai denims karena memang celana jenis ini yang paling nyaman digunakan kapan pun. Saya biasanya memakai celana ketat berbahan spandex sebelum menggunakan denims untuk memberikan efek thermal. Bisa juga memakai celana berbahan wool atau stocking tebal untuk menutupi kaki. Untuk stocking sendiri, saya harus menggunakan dua lapis agar kaki tetap hangat. Lapis pertama stocking 400D, sementara lapis kedua stocking wool 1200D.

Bungkus jemari-jemari kaki dengan kaus kaki berbahan wool sehabis mengoleskan krim kaki. Kadang saya juga menggunakan dua lapis kaus kaki dengan bahan yang berbeda, lapis pertama katun biasa, lalu dilapisi lagi kaus kaki berbahan wool. Saat cuaca sedang memburuk, bisa juga melapisi lagi betis dengan leg warmer ataukaus kaki selutut.

Hati-hati juga dengan pemilihan sepatu saat musim dingin! Sama seperti mantel, sepatu juga menjadi sangat important untuk membungkus jari-jari agar tetap lemas saat berjalan. Jangan sampai karena salah pilih sepatu, kaki jadi terasa beku dan mati rasa. Hal ini juga pernah saya alami pertama kali datang ke Eropa di suhu musim semi yang masih -three derajat Celcius! Saya tidak bisa merasakan jemari kaki lagi karena sangat beku dan rasanya digigit-gigit.

Saat bersalju, jalanan akan menjadi licin dan berbahaya. Kalau saljunya masih sebatas beberapa sentimeter seperti yang saya rasakan tahun ini, tidak terlalu bermasalah. Namun kalau saljunya sudah mencapai beberapa puluh sentimeter dan menjadi es, jalan pun harus hati-hati karena sangat licin. Sepatu boot tinggi dengan sol karet dan dalaman fur adalah pilihan terbaik saat kondisi ini.

http://normalizer.liveclicker.com/thumb/7/1883974359_1_Flv_512x288_thumb_1.jpg/women-keen-hoodoo-high-lace-snow-boots-1.jpg
Boot bersol karet cocok untuk menahan licinnya salju

Walaupun terlihat youthful dan sangat nyaman digunakan, tapi saya sangat sangat sangat tidak menyarakan sepatu baseball semacam Converse digunakan saat suhu di bawah 0 derajat Celcius! Apalagi kebanyakan sepatu jenis ini berbahan katun yang tidak bisa menghangatkan jemari kaki meskipun sudah memakai kaus kaki dobel. Saat cuaca tidak bersalju namun minus, sepatu berbahan kulit adalah yang paling sangat dianjurkan.

Saya juga sebenarnya suka sneakers bertali yang membuat penampilan lebih casual dan muda. Namun demi kenyamanan, saya hanya menggunakan sepatu jenis ini saat cuaca di atas 5 derajat. Itupun dengan syarat bahan sepatu tersebut bukan katun dan punya dalaman yang bisa menghangatkan.

Untuk mengantisipasi pemakaian kaus kaki dobel dan membengkaknya jari-jari saat dingin, belilah sepatu satu nomor lebih besar dari ukuran normal. Jika budget memungkinkan, pilihlah sepatu berbahan kulit asli yang lebih lembut dan nyaman di kaki.

Selain menutupi tubuh dengan pakaian hangat, jangan lupakan juga kesehatan kulit dengan melakukan perawatan rutin. Makanan kaya serat dan air putih yang cukup juga membantu kulit agar tetap lembab saat musim dingin. Ready to chill out in windchill??

Tips Saat-saat Terdepresi Au Pair: Packing Time!|Fashion Style

Berkemas ria menjelang keberangkatan atau kepulangan dari tempat jauh adalah satu dari beberapa kegiatan yang saya benci. Rasanya kalau membayangkan packing dan menyusun barang dalam koper, saya bisa berpikir dua kali untuk pergi ataupun pulang. Malas sekali memisahkan barang-barang penting yang akan dibawa dan memeriksanya kembali untuk memastikan tak ada yang tertinggal.

Selama jadi au pair, saya sudah tiga kali packing; sewaktu di Indonesia, saat kepindahan ke Laarne dari Londerzeel, dan yang sekali ini menjelang kepulangan ke Indonesia. Mengingat koper saya muatannya tidak terlalu banyak, saya memindahkan barang-barang lainnya ke backpack 40L yang saya bawa dari Indonesia.

Sewaktu pindah dari Londerzeel, saya bahkan harus memindahkan beberapa barang duluan ke Laarne yang beratnya saja sudah bisa sampai 20kg. Karena emak asuh hanya bisa mengantar sampai stasiun kereta, mana mungkin saya bisa mengangkat banyak sekali bawaan dalam sekali waktu ke Ghent sendirian pula. Makanya saya tahan ke Laarne dua hari sebelum kepindahan membawa backpack berat isi baju dan dua kantong besar yang isinya peralatan gambar yang membuat lengan saya mendadak kaku. Di saat hari kepindahan pun, saya masih menyisakan satu koper plus dua kantong besar nan berat berisi sepatu dan buku-buku. Saking beratnya, saya bahkan meninggalkan banyak pakaian warisan emak di lemari yang sebenarnya masih layak pakai.

Voila... Akhirnya sudah lebih dari tujuh bulan saya tinggal di Laarne dan tinggal menunggu hari pulang kampung yang tinggal seminggu lagi. Sejujurnya bukan persoalan akan pulang kampungnya yang saya malas, tapi membayangkan akan membersihkan satu rumah dan juga barang-barang untuk dikemas dalam koper. Kali ini saya akan pulang dengan pesawat kebanggaan dalam negeri, Garuda Indonesia. Alhamdulillah Garuda Indonesia memberikan bagasi gratis hingga 30kg. Saya tidak bisa membayangkan teman saya yang naik Lufthansa dan hanya diberi bagasi gratis sampai 23kg saja. Makanya dia cerita sampai harus membagi-bagi tempat untuk barang pribadi dan oleh-oleh keluarga.

Seminggu sebelum hari kepulangan, si emak sudah mengingatkan untuk membersihkan rumah dari jauh-jauh hari. Tapi nyatanya, rumah dan perkakas baru dibersihkan hari Jumat padahal Minggu pagi saya harus sudah angkat kaki dari Laarne. Rumah dua lantai itu pun mesti saya bersihkan bolak-balik dari lantai atas sampai bawah. Tapi yang paling lama pasti membersihkan perkakas pribadi di kamar yang 70 persennya adalah pakaian dan buku-buku yang sudah berserakan kemana-mana.

Agar tidak kebingungan, malas, dan ujung-ujungnya keteteran, berikut saya berikan beberapa tips packing kembali ke kampung halaman:

1. Kapasitas bagasi gratis

Cek dulu kapasitas maksimum bagasi dari maskapai yang akan kita gunakan. Beberapa pesawat timur tengah biasanya memberikan kapasitas bagasi hingga 30kg. Sementara pesawat Eropa seperti Lufthansa atau KLM hanya memberikan kapasitas hingga 23kg. Jika tidak keberatan menambah uang ekstra untuk kelebihan bagasi, tidak akan menjadi masalah. Namun jika mentok sampai 23kg, artinya banyak barang yang harus benar-benar kita seleksi mana yang sebaiknya dibawa mana yang dibuang. Iya, dibuang. Oh iya, jangan khawatir jika kelebihan 1-2kg, hal ini masih bisa ditolerir oleh kebanyakan maskapai.

2. Suvenir

Oleh-oleh biasanya hal pertama yang tidak boleh lupa diangkut ke Indonesia. Sebaiknya bagi beberapa oleh-oleh agar tidak terlalu makan tempat. Boleh saja menyisihkan uang oleh-oleh untuk keluarga kandung seperti orang tua, kakak, atau adik, dengan lebih spesifik seperti baju, kosmetik, atau parfum yang cukup langka (baca: mahal) di Indonesia. Baju-baju di Belgia sendiri sebenarnya tidak terlalu worth it untuk dijadikan oleh-oleh menurut saya. Selama tidak keberatan membeli produk Made in Asia, merek-merek komersil seperti H&M, ZARA, Mango, atau POLO memberikan diskon lumayan saat summer atau winter sale. Jika berniat membelikan kakak atau adik pakaian dari merek tersebut, sisihkan uang dan waktu untuk mencari selagi sale. Saya membelikan adik beberapa potong baju ukuran besar dan sepasang sepatu Extra Wide di NEXT seharga €18 karena kakinya lebar dan cukup kesusahan mencari sepatu yang pas di Indonesia.

Untuk teman dekat yang hanya beberapa biji bisa dicarikan gelang atau kalung lucu yang harganya €6-10 (coba cek showroomprive.be untuk diskon terbaru). Sementara untuk keluarga besar dan teman-teman lain bisa dibelikan beberapa boks cokelat, wafel kering, atau cuberdon, permen khas Belgia.

Untuk cokelat sendiri, merek-merek asli Belgia seperti Neuhaus, Godiva, atau Leonidas biasanya dijual €12-30 per boks sedang. Untuk alternatif cokelat murah meriah yang harganya hanya €1-3 per boks bisa dicari di Action atau Kruidvat. Cokelat-cokelat ini memang bukan asli buatan Belgia, tapi buatan negara tetangga seperti Belanda, Jerman, atau Italia. Untuk wafel kering sendiri bisa dicari di Del Haize dengan banyak pilihan merek dan harga. Untuk wafel lembut merek Lotus dijual €3-5 per kantung. Kalau ingin menambahkan beberapa magnet kulkas, postcard, atau patung porselain, bisa dicari di kios-kios kecil di Brussels untuk lebih banyak pilihan.

Oleh-oleh ini saja beratnya sudah bisa mencapai 5 hingga 10kg. Agar tidak tercecer, saya memasukkan oleh-oleh ini ke satu kotak sedang untuk dikemas. Kecuali pakaian atau sepatu yang bisa dipaksa masuk ke koper, makanan seperti cokelat atau biskuit lebih aman jika dijadikan satu saja.

3. Pakaian

Sekarang pasti kebingungan menyeleksi pakaian pribadi yang akan diangkut ke Indonesia. Walaupun sudah bawa pakaian dari Indonesia, biasanya kita pasti akan belanja lagi mengikuti pergantian musim. Baju-baju musim dingin yang tebal-tebal tidak akan mungkin dibawa pulang semuanya karena tidak akan terpakai juga.

Sejujurnya, saya mesti "membuang" 60 persen baju-baju lama ke tong baju dan sepatu bekas. Tong baju dan sepatu bekas ini biasanya berwarna merah atau hijau yang tersebar di seluruh Belgia. Kalau memang harus "membuang", cobalah untuk membuangnya ke tong ini saja karena nantinya baju-baju bekas ini juga akan disumbangkan ke orang yang tidak mampu.

Untuk menghemat tempat di koper, masukkan pakaian ke dalam space saver travel bag yang bisa dikempiskan dengan bantuan vacuum cleaner. Ada cerita lucu dari orang-orang yang bepergian dari negara musim dingin, mereka harus menggunakan baju berlapis-lapis untuk menghemat tempat di koper dan terhindar dari kelebihan bagasi. Coat tebal khas winter memang tidak seharusnya dibawa ke Indonesia, namun kalau memang harganya mahal dan modelnya klasik, sayang juga dibuang kan?

4. Sepatu

Setelah baju, biasanya ada sepatu. Biasanya sepatu au pair tidak hanya boot tinggi atau flat shoes, tapi bisa saja ada tambahan heels, sneakers, ankle boot, dan sandal summer baru. Kalau semuanya dibawa ke Indonesia, dipastikan akan menambah bobot bagasi. Coba seleksi lagi mana sepatu yang benar-benar bisa dipakai lagi di Indonesia dan mana yang hanya keren dipakai saat musim dingin. Sekali lagi, kalau memang sepatu tersebut berdaya tahan tinggi, mahal, dan cukup langka di Indonesia, no more excuse! Masuk koper! Saya juga sampai harus membuang empat buah sepatu lama dan hanya membawa sepasang flat shoes saja saat mendarat ke Indonesia karena awet dan nyaman.

5. Buku-buku kursus

Bagi yang cukup serius belajar bahasa dan mendalami hobi, biasanya akan direpotkan juga dengan perkakas berat lainnya seperti buku dan alat-alat penunjang hobi; seperti saya yang suka gambar, kertas warna-warni dan pewarna saja sudah memakan satu kantong besar!

Buku-buku tebal yang saya anggap berguna dan akan dibaca lagi di Indonesia terpaksa saya masukkan tas tangan dan dibawa ke kabin. Sementara kertas dan peralatan gambar lainnya mesti saya bungkus rapi dan tinggalkan dulu di sudut rumah Laarne.

6. Kirim langsung ke Indonesia

Untuk baju dan pakaian yang biasanya memakan tempat paling banyak, seleksi lagi mana yang sudah out of date dan mana yang cukup keren untuk dibawa kembali ke Indonesia. Kalau memang masih banyak baju lama yang tersisa, coba jajalkan dulu ke website barang sekon untuk dijual, berikan ke pengelola barang bekas seperti Oxfam, sumbangkan ke teman yang masih tinggal di negara tersebut, atau "buang" saja ke tong baju bekas untuk diteruskan ke orang yang tidak mampu. Atau bisa juga mengepak barang-barang tersebut ke dalam kontainer dan dikirimkan lewat pos ke Indonesia. Biaya kirim paket via pos dari Belgia ke Indonesia 1-5kg seharga €60 (belum termasuk biaya kontainer). Untuk yang lebih aman, coba gunakan DHL atau Fedex yang pastinya dengan harga lebih mahal.

Setelah buang pakaian dan sepatu sana sini, minus buku-buku dan perkakas gambar yang berat, beginilah penampakan bagasi saya yang ternyata totalnya 33kg! Berat total bagasi ini termasuk kotak berisi oleh-oleh yang sudah dipisahkan duluan. Saya harus bongkar ulang backpack di bandara sebelum pemeriksaan dan membawa beberapa baju ke kabin hingga berat akhirnya 31kg.

Jangan lupa juga untuk mengemas laptop (jika ada) di tas terpisah untuk dibawa ke dalam kabin. Sempat ditaksir, barang yang saya bawa ke kabin termasuk laptop, buku-buku berat, dan beberapa boks cokelat saja sudah lebih dari 7kg. Wajar saja saat tiba di Cengkareng, tangan saya masih kram walaupun sudah sempat diajak bobok manis di atas Garuda Indonesia selama 14 jam! Pfftt..

This is why I despise packing!

Wednesday, June 3, 2020

Tips Saatnya Au Pair Travelling!|Fashion Style

Dalam satu tahun, seorang au pair akan mendapatkan liburan yang masanya dari dua minggu hingga satu bulan tergantung regulasi negara atau tawar-menawar dengan keluarga angkat. Liburan ini sifatnya pribadi dan gaji kita tetap akan dibayar penuh walau mengambil masa 'cuti' hingga satu bulan. Masa-masa ini biasanya digunakan seorang au pair untuk travelling ke tempat baru di negara yang sama, ataupun hijrah ke luar negeri.

Biasanya dari Indonesia kita sudah punya beberapa tempat yang akan dikunjungi, alias dream places atau wishlist, kalau sudah sampai Eropa. Apalagi negara-negara Eropa begitu banyak jumlahnya untuk dikunjungi dan yang pasti setiap tempat memiliki kecantikannya sendiri. Beberapa au pair ada yang sengaja menyempatkan travelling di akhir pekan ke negara tetangga yang cukup dekat, lalu ke negara-negara yang agak jauh saat liburan panjang.

Sama seperti teman-teman au pair lainnya, saya juga sempat menuliskan beberapa tempat dan kota-kota rekomendasi yang sepertinya akan saya kunjungi saat di Eropa. Namun, karena keterbatasan waktu, uang, dan banyak rencana-rencana baru, akhirnya banyak kota yang harus saya coret dahulu. Di Belgia, masa liburan pribadi untuk au pair adalah 2 minggu dalam satu tahun. Sayangnya karena saya sempat pindah keluarga, akhirnya liburan ini baru bisa saya lakukan sebulan sebelum kepulangan saya ke Indonesia dan tentunya totalnya tidak lagi 14 hari.

Karena Belgia adalah sentralnya Eropa, jalan-jalan ke kota besar seperti Paris dan Amsterdam bisa dilakukan saat akhir pekan saja. Jarak Brussels-Paris tidak terlalu jauh dan hanya berkisar sekitar 4 atau five jam dengan naik bus, atau 1.5 jam dengan naik kereta cepat.

Sementara untuk Amsterdam sendiri, bisa dicapai dengan naik kereta cepat atau mobil yang hanya 2.5 jam saja. Kesempatan untuk travelling akan jauh lebih murah jika moda transportasi kesana kebetulan sedang mengadakan promo. Suatu kali, Megabus pernah mengadakan promo hanya €1 untuk jurusan Brussels-Paris (one way). Lumayan kan?

Setelah tawar-menawar dengan keluarga angkat yang baru, akhirnya sudah ditetapkan jatah liburan saya adalah nine hari. Negara mana yang harus saya kunjungi selama nine hari ini? Bagaimana keuangan saya saat itu? Mesti tinggal dimanakah saya? Bagaimana saya bisa kesana, naik transportasi darat atau udara kah?

Awalnya, saya ingin pergi travelling sendiri ke negara-negara lain. Namun karena teman dekat saya, Anggi, yang juga seorang au pair ingin ikut serta, saya justru sangat welcome. Karena ada dua orang disini, tentunya ada dua pendapat yang berbeda dalam memilih tempat liburan.

Semenjak dari Indonesia saya memang ingin sekali ke Turki demi menuntaskan salah satu daftar "what should I do before I die", yaitu naik balon udara di Cappadocia. Selain Turki, negara selanjutnya adalah Rusia atau Swiss. Namun Anggi ingin sekali ke negara mahal seperti Norwegia demi melihat Aurora Borealis yang memang cuma bisa dilihat saat winter. Kebetulan saat itu bulan Februari dan masih puncak musim dingin di Eropa.

Pertimbangan seperti ini biasanya memang akan mempengaruhi rencana travelling kita. Saya dan Anggi akhirnya bisa mengatasi masalah ini dengan beberapa cara. Cara berikut bisa kalian jadikan referensi untuk merencanakan liburan au pair kalian nantinya.

1. Pergi sendirian lebih bebas, namun pergi bersama teman justru lebih seru!

Saya yakin, kebanyakan au pair akan memilih pergi liburan bersama teman au pair lainnya. Pergi untuk jangka waktu sehari hingga empat hari mungkin masih bisa kita atasi sendirian, namun kalau sudah dua minggu, saya rasa bepergian bersama teman malah lebih seru. Kita bisa saling gantian memotret atau bisa juga jadi partner of crime yang dapat diandalkan saat ragu dalam memilih keputusan. Tapi pastikan memilih teman jalan yang benar-benar bisa diandalkan, tidak suka borong belanjaan, dan yang pasti tidak suka mengeluh!

2. Pilih-pilih tempat tujuan lalu berdiskusilah dengan bijak bersama teman seperjalanan

Bagi yang berencana pergi sendiri dari hari pertama sampai hari terakhir, tidak akan ada masalah dalam memilih tempat tujuan karena biasanya mereka akan pergi berdasarkan apa yang sudah mereka tetapkan tanpa ada yang interupsi. Berbeda halnya dengan teman seperjalanan yang juga punya keinginan mengunjungi negara lain di Eropa.

Saya dan Anggi yang tadinya memiliki keinginan mengunjungi negara yang berbeda-beda tentunya sempat berdebat kecil. Saya tadinya tetap nekad ingin ke Turki, si Anggi juga bersikeras ke Norwegia. Saat RyanAir sedang promo (winter sale), akhirnya saya langsung memesan tiket pulang jurusan Athena-Brussels. Iya, hanya tiket pulang. Sementara untuk tiket perginya sendiri saya dan Anggi masih menunggu promo lainnya. Kenapa Athena, karena menurut saya negara ini sudah bertetangga dengan Turki dan tinggal mencari alternatif bagaimana rutenya nanti.

Sebenarnya saya dan Anggi berencana pergi ke tempat-tempat awal yang memang ingin kami kunjungi, lalu bertemu di Athena saja. Namun karena tiket dari Brussel ke Turki saat itu sudah melambung tinggi, saya batalkan dulu niat kesana. Sementara untuk Anggi sendiri, terhalang masalah dana karena biaya hidup di Norwegia yang sama tingginya. Padahal saat itu tiket one way dari Brussels ke Oslo Rygge hanya €22 saja.

Akhirnya, kita sama-sama membatalkan untuk pergi ke Turki dan Norwegia hingga memutuskan ke Italia. Berangkat dari Brussels ke Pisa-Florence-Roma, lalu Athena sebagai kota terakhir yang akan kami kunjungi. Memilih Italia ketimbang negara lainnya pun juga penuh pertimbangan. Kenapa harus Italia, kenapa bukan Spanyol atau Jerman? Kenapa tidak ke negara-negara Eropa lainnya yang lebih murah kalau memang terhambat dana?

Well, memilih negara yang akan dikunjungi dalam waktu 9 hari tentunya membuat saya cukup pusing. Apalagi awalnya saya sudah mengatur jadwal perjalanan ke Turki dengan sedemikian rupa. Namun akhirnya saya memilih ke Italia atas rekomendasi seorang teman. Lagipula menurut saya Italia dan Yunani itu memiliki keunikan sendiri.

Kali ini saya memang cenderung memilih tempat yang kalau di foto, sudah terkenal tanpa perlu orang menebak dimana saya berada. Sama halnya dengan Menara Eiffel yang semua orang pasti tahu ada di Paris tanpa perlu bertanya dulu ke saya. Lagipula saya menilai, Italia dan Yunani tidak "terlalu mainstream Eropa" yang artinya tiap tempat di negara tersebut tidak sama dengan negara-negara Eropa lainnya. Contohnya saja bangunan kuno di Italia seperti Menara Pisa, Vatikan, dan Colosseum, atau Acropolis dan pelabuhan cantik dengan rumah bersusun di Athena.

Intinya, saya memilih tempat dengan acuan "seandainya saya tidak akan kembali ke Eropa lagi". Nah itulah mengapa menurut saya Italia dan Yunani sudah mewakili Eropa sebenarnya. Lagipula waktu itu tiket paling murah dari Brussels di akhir pekan adalah ke Pisa. Lalu saya juga berasumsi, biaya akomodasi dan makan di kedua negara tersebut masih sehitungan dengan isi tabungan kami.

3. Faktor yang sangat krusial tentunya adalah masalah keuangan

Menentukan negara tujuan baiknya juga diawali dengan seberapa siapnya keuangan seorang au pair ke negara tersebut. Beberapa teman saya memilih mengunjungi ibukota negara-negara Eropa Timur seperti Budapest, Praha, atau Wina yang tidak hanya terkenal cantik namun juga biaya hidupnya yang murah. Biaya travelling kali ini, karena saya dan Anggi tidak punya uang tabungan khusus untuk jalan-jalan, jadinya kita terpaksa mengambil dari uang gaji bulan itu.

Untuk moda transportasi sendiri, kita lebih sering menggunakan pesawat terbang dan bus saat di dalam kota. Teman-teman saya yang mengunjungi Eropa Timur, memadukan pesawat terbang, Blablacar, hitchhiking, dan bus di dalam kota. Untuk pesawat terbang, kami sering mengecek website-nya maskapai low cost carrier seperti RyanAir atau EasyJet. Kedua maskapai tersebut biasanya akan memberikan promo sangat lumayan yang harganya lebih murah ketimbang bus dan kereta.

Sementara Blablacar, saya menggunakannya saat menempuh perjalanan dari Florence ke Roma. Mengingat harga tiket kereta yang sangat mahal di Italia, melalui Blablacar kami hanya membayar ?15/orang dibandingkan kereta yang saat itu ?Fifty four sekali jalan.

Blablacar ini adalah sebuah aplikasi yang bisa di-download lewat Android atau iOS yang fungsinya sebagai wadah untuk sharing a ride. Karena mahalnya bensin dan biasanya si sopir hanya pergi sendirian ke suatu tempat, untuk itulah mereka menawarkan kursi-kursi kosong di mobil untuk ditawarkan ke orang yang akan pergi ke tempat yang sama.

Dengan aplikasi ini, kita bisa mengecek apakah ada pengendara yang akan pergi ke tempat yang akan kita kunjungi. Berbeda dengan hitchhiking yang konsepnya menumpang gratisan, pengendara mobil biasanya akan mengepos tarif Blablacar mereka berdasarkan waktu keberangkatan.

Blablacar bisa jadi alternatif transportasi darat yang bisa kita gunakan untuk menghemat biaya. Namun perlu juga diperhatikan, kadang menggunakan bus atau kereta justru lebih murah ketimbang naik Blablacar sendiri. Enaknya sih naik Blablacar yang pengendaranya muda, ganteng, mobilnya bagus, musiknya asik, penghangat atau AC-nya kenceng, ramah, dan senang mengobrol. Waahh serasa roadtrip dan flirting bareng kan ya? Hihihi.. :p

Selain transportasi, selanjutnya adalah akomodasi. Di Eropa Utara tentunya harga penginapan sangat mahal dibandingkan Eropa Timur. Teman saya menginap di salah satu hostel di Budapest dengan tarif hanya €7/malam sudah termasuk sarapan, teh atau kopi gratis, dan acara party bersama. Teman saya ini juga sempat couchsurfing di Praha untuk menghemat pengeluaran selama disana.

Berbeda dengan saya dan Anggi yang kurang nyaman tinggal di rumah orang, kami lebih memilih tinggal di hostel yang harganya masih lumayan di kantong dan tempatnya strategis. Kami tahu hostel-hostel di Italia memang masih mahal dibandingkan di Hungaria atau Republik Ceko, namun hostel yang kami tempati Alhamdulillah semuanya tidak mengecewakan dan sangat bersih. Apalagi hostel-hostel di Athena kebanyakan berdekatan dengan Acropolis yang saat malam hari bisa terlihat sangat cantik dari lantai atas.

Selanjutnya adalah soal makanan yang juga masuk hitungan kesiapan finansial saat travelling. Di Italia sendiri saya dan Anggi memang sangat tidak pelit untuk urusan perut. Bahkan kami tidak pernah berpikir dua kali untuk fine dining di tiap kota yang kami kunjungi. Makan malam terkeren kami adalah sewaktu di Athena, di salah satu restoran cantik di bukit Acropolis. Kerennya lagi karena makan malam ini gratis.

Seorang teman sekamar kami, McKenzie, memang sudah niat membayari saat tahu kami sedang bokek. Sementara di Italia, banyak jebakan maut yang membuat kami harus membayar sangat mahal untuk satu gelas coke raksasa yang harganya €9! Gelato atau es krim yang normalnya hanya €5 untuk 4 rasa, kami harus membayar €8 hanya untuk 3 rasa. Pfffttt..

Pertimbangan-pertimbangan di atas biasanya akan mempengaruhi keuangan au pair. Apalagi biasanya tabungan au pair tidak jelas setiap bulannya. Ada baiknya memang memiliki manajemen keuangan dengan sangat baik. Apalagi mengingat liburan ini ada yang satu bulan lamanya. Wah, dipuas-puasin tuh keliling Eropa on (au pair) budget!

Oh ya, pemilihan musim saat travelling juga mesti diperhatikan. Harga penginapan dan transportasi udara biasanya akan lebih murah di pertengahan dan akhir musim dingin. Namun suhu yang masih cukup ekstrim biasanya sangat tidak nyaman untuk berjalan kaki. Banyak juga tempat-tempat wisata yang tidak dibuka di musim ini. Untungnya saat saya dan Anggi ke Italia dan Yunani, suhu musim dingin disana lebih hangat, sekitar 15-18 derajat, dibandingkan Belgia sendiri yang masih 3-7 derajat Celcius di siang hari.

Sementara saat summer, tempat-tempat wisata akan sangat ramai oleh turis karena memang sedang masa liburan. Harga akomodasi dan transportasi akan melambung saat peak season. Namun karena matahari lebih panjang bersinar, waktu untuk mengeksplorasi tempat baru atau sekedar minum coke di bangku-bangku taman akan sangat mengasyikkan.

Menurut orang Eropa sendiri, awal-awal musim gugur (September-Oktober) dan pertengahan musim semi (April-Mei) adalah waktu terbaik mengunjungi tempat-tempat cantik di Eropa bagian manapun. Selain curah hujan yang tidak terlalu banyak, biasanya suhu 9-12 derajat Celcius masih cukup nyaman untuk berjalan kaki di siang hari saat musim ini. Selain itu harga pesawat dan akomodasi cenderung stabil dan masih cukup affordable.

Tips Pencarian Keluarga Angkat Au Pair Tahun Kedua|Fashion Style

Empat bulan sebelum masa kontrak kerja di Belgia habis, saya memang 70% sudah yakin akan mencari keluarga baru di negara lain lagi. Setelah Belgia, saya sudah berniat sekali melanjutkan program au pair ke Prancis di tahun kedua. Bahkan saya juga sudah menghubungi keluarga di Indonesia untuk segera mengirimkan ijazah dan akte kelahiran ke Belgia karena rencananya saya tidak akan pulang dulu ke Indonesia.

Walaupun 70% sudah yakin akan jadi au pair lagi, namun sejujurnya saya belum yakin apakah akan langsung pindah dari Belgia, ataukah pulang dulu ke Indonesia lalu mengurus visa baru disana. Yang saya malas kalau pulang dulu ke Indonesia, tentunya proses mengurus visa yang agak bertele-tele karena mesti ke Jakarta dulu dari Palembang.

Berbeda halnya jika saya mengurus visa langsung dari Belgia yang jarak kota ke kotanya tidaklah terlalu jauh dan lama. Tinggal naik kereta dan metro yang hanya menghabiskan ongkos ?15, saya sudah sampai di Brussels untuk mengantarkan aplikasi dan pulang di hari yang sama. Sementara dari Palembang, paling murah tentunya dengan naik bus ke Jakarta yang waktu di jalannya sangat panjang. Belum lagi mesti menginap karena saya juga akan mengurus beberapa berkas lagi di Jakarta. Wahh..Makan waktu dan biaya.

Singkat cerita, setelah akhirnya mendengar saran dari teman, keluarga, dan kata hati, akhirnya saya memutuskan untuk tetap pulang ke Indonesia dulu baru lanjut au pairing lagi. Sambil menunggu waktu pulang, tentunya saya semakin gencar mencari keluarga angkat baru karena siapa tahu saya bisa langsung mengurus visa di Belgia saja jika memang sudah ada keluarga yang deal.

Dan petualangan mencari keluarga baru (lagi) akhirnya dimulai....

Go go pass French!

Sebelum memutuskan mencari keluarga ke Prancis, teman-teman au pair lainnya sempat menyarankan saya mencoba au pairing di Belanda. Berdasarkan pengalaman mereka yang pernah jadi au pair disana, Belanda lebih hidup dan seru dibandingkan Belgia. Orang-orangnya juga lebih bersahabat dan terbuka. Selain itu, tidak ada perbedaan bahasa karena walaupun punya aksen yang berbeda, namun level bahasa Belanda saya bisa naik kalau belajar lagi disana.

Namun karena sejak awal saya sudah terlalu sering mendengar cerita buruk soal keluarga angkat Belanda yang suka semena-mena dengan au pair Indonesia, saya akhirnya sama sekali tidak berminat kesana. Lagipula saya lebih cenderung ingin mempelajari bahasa Prancis ketimbang bahasa Belanda. Walaupun sudah terkenal orang Prancis banyak yang tidak bisa bahasa Inggris dan sangat sombong dengan bahasa mereka, namun karena saya juga suka seni dan desain, akhirnya semua terasa matching dan yakin Prancis sudah sepaket dengan hal yang saya suka.

Saya mengaktifkan kembali profil pencarian keluarga angkat di AuPair World, Aupairnet24, Great Aupair, dan Energy Au Pair. Oh ya, website terakhir sebenarnya adalah agensi sekitar negara Skandinavia saja. Namun saya tidak menutup kemungkinan untuk mencari keluarga angkat dari negara-negara tersebut.

Selain itu, saya juga menghubungi agensi au pair di Swiss untuk dicarikan keluarga angkat yang bicara bahasa Prancis ketimbang bahasa Jerman. Namun karena pemerintah Swiss sedang menekan angka au pair non-EU di banyak kanton, saya pasrah saja aplikasi permohonan saya ke Swiss ditunda dulu. Saya juga berupaya mengirimkan aplikasi au pair ke beberapa keluarga di Luksemburg yang juga menggunakan bahasa Perancis di rumah. Well, it's all about French!

Sekali lagi saya mengalami masa-masa krisis menemukan keluarga angkat yang sesuai dengan ekspektasi. Walaupun sudah beberapa kali mengirimkan aplikasi, tetap saja saya ujung-ujungnya digantung atau ditolak. Berpengalaman jadi au pair sebelumnya memang belum jadi jaminan apakah si keluarga mau menerima kita jadi au pair mereka atau tidak.

Namun memang, kalau kita sudah pernah jadi au pair di negara Eropa lainnya, aplikasi kita ke mereka cukup diperhitungkan. Apalagi di Prancis sendiri kebanyakan keluarga mau menerima au pair yang bukan hanya menguasai bahasa Prancis dasar (baca: bahasa bayi) saja, namun setidaknya mampu berkomunikasi dengan si anak dengan cukup baik. Tuh, proses cari keluarga hampir sama sulitnya dengan seleksi beasiswa studi keluar negeri atau melamar kerja yang oke kan?

Setelah beberapa kali dapat email balasan dari keluarga, kita juga belum bisa senang karena mereka tetap akan mewawancarai kita terlebih dulu through Skype. Empat bulan proses pencarian, saya sudah 7 kali diwawancarai oleh para keluarga. Walaupun tidak seketat wawancara seleksi beasiswa atau panggilan kerja, namun tetap saja kadang ada keluarga yang menanyakan kesiapan kita soal tugas-tugas au pair nantinya. Seperti; apakah kita mampu mengatasi keributan anak-anak di rumah? Lalu, bagaimana sikap kita saat ada dua anak yang bertengkar, dua-duanya menangis minta perhatian, dan sama-sama ingin dibela? Waduh! Lalu bagaimana hasil wawancara Skype saya tersebut? Sayangnya semuanya ditolak!

Sebenarnya saya sudah mempunyai calon keluarga angkat yang lumayan cocok dan mereka juga menyatakan ketertarikannya dengan profil saya. Yang satu, orang Maroko (lagi!) yang tinggal di Denmark. Si ibu adalah guru bahasa Prancis dan kelihatannya sangat welcome di beberapa kali obrolan. Namun beberapa minggu kemudian si ibu mengirimkan saya email untuk membatalkan proses pencarian au pair karena mereka lebih memilih babysitter saja. Keluarga ini mengirimkan saya email melalui Great Aupair.

Sementara yang kedua adalah keluarga asli Perancis yang mengirimkan email ketertarikannya pada saya melalui Aupairnet24. Dari awal sampai akhir, si ibu yang namanya Sabrine ini hanya bicara bahasa Prancis sampai saya harus bolak-balik copy-paste omongannya ke Google Translate. Selain email, kita juga sempat SMSan beberapa kali sampai akhirnya si ibu langsung meminta dokumen saya seperti terjemahan ijazah dan akte kelahiran untuk segera dibuatkan surat keterangan au pair di Prancis.

Agak aneh juga karena saya tidak pernah melihat muka si ibu dan anaknya, hanya berdiskusi beberapa kali, si ibu langsung main terima saya begitu saja. Untungnya si ibu punya WhatsApp yang memajang fotonya saat naik mobil sport. Ternyata Sabrine adalah ibu muda yang sangat cantik dan French-looks sekali! Saya malah sudah sempat berpikir kalau keluarga ini palsu dan tidak jelas maunya apa.

Keluarga Prancis ini sebenarnya sudah cukup memenuhi ekspektasi saya; bersedia membayar asuransi, kursus bahasa Prancis, dan uang saku ?Four hundred per bulan. Padahal untuk tahun ini, uang saku au pair di Prancis paling tinggi hanya ?315 per bulan. Karena saya sudah terlanjur membeli tiket pulang ke Indonesia, saya bertanya apakah si ibu bersedia juga menanggung ongkos pesawat dari Indonesia ke Perancis. Namun si ibu hanya bisa menanggung ?One hundred fifty dari semua overall biaya pesawat. Walaupun sudah dibujuk dan dirayu tetap saja si ibu belum bisa menanggung semua biaya transportasi dari Indonesia ke Perancis.

Sebenarnya saat berdiskusi dengan keluarga ini, saya masih di Belgia dan memang sudah terlanjur membeli tiket pulang ke Indonesia. Saya sudah sempat berpikir untuk menunda jadwal kepulangan saya dan langsung berangkat ke Prancis saja. Namun karena saya membatalkan kiriman ijazah dan akte kelahiran asli dari Indonesia, akhirnya saya berpikir dua kali untuk membuat visa au pair di Belgia. Selain itu, saya juga belum mempunyai bukti bahwa saya PERNAH belajar bahasa Prancis.

Saat ini, pengurusan aplikasi visa au pair ke Prancis tidak lagi melalui Campus France di Jakarta. Si pemohon bisa langsung menyerahkan aplikasi visanya ke Kedutaan Prancis langsung. Selain itu, kalau dulu kita harus menyertakan sertifikat keahlian bahasa Prancis minimal level A2 sebagai syarat, sekarang sudah tidak perlu lagi. Walaupun kita belum memiliki sertifikat sampai level A2, namun kita tetap bisa menyerahkan bukti bahwa pernah belajar bahasa Prancis sebelumnya. Bukti tersebut bisa berupa daftar hadir di kelas (jika dulu pernah belajar bahasa Prancis di sekolah atau kuliah).

Sayangnya saya tidak memiliki bukti kuat kalau saya pernah hadir di kelas bahasa Prancis sebelumnya. Padahal hal ini sangat penting sebagai salah satu syarat pengajuan aplikasi visa. Selama ini saya hanya belajar bahasa Prancis otodidak atau belajar langsung dari keluarga Maroko di Londerzeel. Namun semenjak saya pindah ke Laarne, saya tidak bisa mengikuti kursus bahasa Prancis yang kebanyakan diadakan sore hari.

Di Laarne saya juga bicara bahasa Inggris setiap hari ketimbang bahasa Belandanya sendiri. Cukup menyesal juga tidak mengambil kursus bahasa Prancis super intensif di Ghent University yang biayanya saat itu €250. Mahal memang, namun demi ilmu, sebenarnya harga segitu masih cukup affordable bagi saya.

Walaupun ragu untuk tetap melanjutkan mencari keluarga di Prancis, tapi saya masih berdiskusi dengan beberapa keluarga Prancis lain selain Sabrine. Sayangnya beberapa dari mereka tidak mau menanggung biaya kursus atau pesawat, dan uang sakunya juga mengikuti batas maksimum dari regulasi. Karena yakin uang yang nanti saya bawa pulang ke Indonesia hanya cukup untuk bertahan hidup sebulan, pastinya saya mencari keluarga yang bersedia membiayai tiket pesawat. Setelah pertimbangan ini itu, akhirnya saya batalkan tawar-menawar dari keluarga Prancis tersebut. Saya juga akhirnya mencoret Prancis dari daftar pertama.

Always look for the chance everywhere!

Keinginan kuat tinggal sebagai au pair di Prancis sepertinya harus saya hilangkan dan fokus untuk pulang dulu ke Indonesia. Saya juga sudah mulai banyak berekspektasi mencari keluarga baru di negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia lewat Energy Au Pair.

Sempat juga saya berdiskusi dengan satu keluarga yang cukup oke di Swedia, namun lagi-lagi regulasinya membuat saya mundur perlahan. Calon au pair yang sudah pernah menjadi au pair di negara lain sebelumnya, kemungkinan kesempatan dapat visa Swedia-nya kecil. Tahun kedua menjadi au pair di Swedia dianggap bukan lagi sebagai kesempatan pertukaran budaya dan belajar bahasa, namun lebih ke making money. Kabar terakhir yang saya dengar, permohonan visa au pair ke Swedia membutuhkan waktu yang sangat lama, dari 3 hingga 5 bulan.

Sejujurnya, saya juga sedikit skeptis dengan Denmark dan Norwegia. Bahkan Alin, teman au pair dari Bogor, juga sempat bercanda jangan pernah ke Denmark atau Norwegia sebagai au pair karena negara itu sudah jadi lapaknya orang Filipina. Memang benar, sekitar 70-80% au pair yang datang ke kedua negara tersebut memang berasal dari Filipina.

Sayangnya, para gadis Filipina ini sengaja datang ke Eropa bukan untuk belajar atau pertukaran budaya seperti konteks au pair sebenarnya. Mereka benar-benar datang untuk bekerja dan mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk dikirimkan ke keluarga di kampung halaman. Attitude gadis Filipina ini akhirnya membuat pola pikir keluarga di Denmark ikut berubah sejak tahun 60an. Mereka berpikir dengan mempekerjakan gadis-gadis dari Filipina, mereka bisa "untung" dengan membayar uang saku au pair sesuai regulasi, namun bisa tetap menyuruh mereka bekerja fleksibel hingga berjam-jam perhari.

Gadis Filipina yang kalem dan malas berkonfrontasi, mau saja dipekerjakan keluarga sampai 10 jam sehari. Mereka juga rela bekerja di hari libur demi mendapatkan uang lebih untuk dikirim walaupun hal itu ilegal. Hal inilah yang membuat kebanyakan au pair dari Filipina diperlakukan tidak baik karena menurut beberapa keluarga di Skandinavia, para gadis-gadis ini datang ke Eropa hanyalah untuk bekerja dan mengumpulkan uang.

Bahkan sempat juga ada cerita bahwa gadis-gadis ini sangat menjatuhkan diri mereka walau jadi tukang bersih-bersih asal dibayar lebih. Mereka juga bisa melakukan apa saja agar mendapatkan kesempatan tinggal yang lama di Eropa, salah satunya dengan cara menikahi lelaki WNA.

Cerita-cerita buruk soal au pair di Skandinavia ini sebenarnya sangat mengusik niat saya kesana. Sama halnya dengan cerita buruk au pair Indonesia di Belanda, pengalaman tidak mengenakkan yang dialami au pair di negara Skandinavia pun membuat saya down. Nyaris 95% profil keluarga angkat di Energy Au Pair memang mencari gadis-gadis Filipina yang sangat terkenal di negara mereka sebagai pekerja keras demi membantu perekonomian keluarga. Hal ini sebenarnya cukup memberikan implikasi yang sangat buruk bagi gadis Asia lainnya karena pola pikir keluarga Skandinavia yang menganggap gadis-gadis Asia semuanya memiliki attitude seperti gadis Filipina.

Tapi meskipun begitu, saya memilih beberapa keluarga angkat di Denmark atau Norwegia yang profilnya cukup oke untuk diajak diskusi. Berbeda dengan website lainnya, di Energy Au Pair kita bisa memilih keluarga angkat hanya dengan mengklik tombol "I'm interested" atau "I'm not interested" di profil mereka.

Jika kita tertarik pada profil mereka, secara otomatis Energy Au Pair akan mengirimkan profil kita ke keluarga tersebut. Kalau keluarga tersebut juga tertarik dengan kita, mereka akan menghubungi kita dan biasanya juga mengajak mengobrol through Skype. Setiap satu atau dua kali seminggu biasanya Energy Au Pair akan memberikan notifikasi lewat email kalau ada profil keluarga baru yang cocok dengan ekspektasi kita.

Sialnya, karena saya sudah sering menolak banyak keluarga angkat dalam kurun waktu 2 bulan terakhir, entah kenapa pihak Energy Au Pair tidak pernah lagi mengirimkan saya profil keluarga baru. Sudah ditunggu 3 minggu, tetap saja daftar keluarga baru di profil saya kosong. Sedikit patah semangat, iseng-iseng saya juga mencari keluarga baru di Belanda via AuPair World. Walaupun negara di Skandinavia dan Belanda sudah sama-sama punya reputasi buruk di mata saya, tetap saja ujung-ujungnya cari blessing in hatred.

Dua minggu setelah pulang ke Indonesia, Alhamdulillah ada beberapa keluarga angkat di Belanda yang tertarik pada saya.Ada juga satu keluarga di Denmark yang mengirimkan saya email untuk wawancara Skype. Keluarga di Denmark ini adalah keluarga terakhir yang pernah saya "like" profil-nya lewat Energy Au Pair sebelum akhirnya tidak ada notifikasi keluarga baru lagi dari pihak agensi. Bisa dikatakan, mereka adalah keluarga harapan terakhir saya dalam proses pencarian lewat Energy Au Pair.

Ada juga satu keluarga di Belanda yang benar-benar sudah menyatakan rasa ketertarikannya pada saya. Karena saat itu saya sudah pulang ke Indonesia, mereka mengusulkan untuk berdiskusi via Skype saja. Padahal kalau saya masih di Belgia, datang ke Belanda untuk bertemu langsung dengan keluarga tersebut bukanlah hal yang sulit. Si ibu juga sangat positif, fast reply, dan sepertinya benar-benar tipikal easy going person. Si ibu ini keturunan Italia dan si bapak keturunan Namibia. Sejujurnya, sedikit narrow minded juga dengan si bapak yang keturunan kulit hitam. Tapi saya buang perasaan itu jauh-jauh dan mencoba berdiskusi dulu dengan si keluarga di Denmark.

Louise, si ibu Denmark yang saya ajak mengobrol saat itu mengatakan kalau ini adalah pengalaman pertama mereka punya au pair. Mereka punya satu anak cewek umur four tahun dan sekarang si ibu juga sedang mengandung anak kembar yang akan lahir awal bulan Juni ini. Kita juga membahas tentang tugas-tugas di rumah dan apa saja ekspektasi saya di tahun kedua. Louise sepertinya tipikal orang yang sangat berhati-hati dalam berdiskusi namun ekspresinya jelas sekali menunjukkan kalau ia cukup yakin dengan saya. Di hari berikutnya, Louise mengirimkan e-mail tentang daftar tugas utama dan biaya-biaya yang bersedia mereka tanggung.

Di hari yang sama, satu keluarga lain dari Belanda juga mengirimkan email yang cukup oke untuk berdiskusi dengan saya. Si ibu ini keturunan asli Indonesia, namun tidak terlalu fasih bicara bahasa Indonesia. Si bapak keturunan asli Belanda dan mereka punya 3 orang anak cowok yang sangat aktif. Mereka juga sudah berpengalaman memiliki au pair sebelumnya dan cenderung mencari calon au pair baru yang bisa bahasa Belanda. Dari beberapa kali bertukar email, si ibu memang sangat terbuka dan bersahabat. Dia juga sebenarnya bisa sangat senang kalau punya au pair orang Indonesia yang cukup bisa bahasa Belanda, bisa sekalian ngerumpi katanya.

Sekian kalinya saya ditolak setelah wawancara through Skype, akhirnya ketiga keluarga di atas berhasil menemukan faktor X di profil saya yang membuat mereka sangat tertarik dan yakin. Lucunya saya malah mendapatkan banyak tawaran jadi au pair yang negaranya malah ingin dihindari. Kalau sudah begini, saya cenderung lebih mengikuti kata hati dan apa tujuan awal saya jadi au pair di tahun kedua.