Wednesday, June 3, 2020

Tips Salju Pertama di Belgia|Fashion Style

Desember 2014, newsfeed Facebook saya dibanjiri posting-an teman au pair Indonesia di Belgia yang begitu bahagianya bisa melihat dan merasakan langsung salju di musim dingin tahun kemarin. Bukan hanya mereka, tapi saya pun ikut bahagia dengan keceriaan musim dingin di penghujung tahun. Sebenarnya warga Belgia sendiri juga agak ragu apakah salju akan turun, mengingat suhu di musim gugur yang abnormal alias 'terlalu' panas dari suhu biasanya. Masuk awal-awal musim dingin pun, matahari sedang senangnya bersinar terik walau kadang disertai angin kencang saat tengah hari.

Natal tahun kemarin saya tidak ikut agenda host family liburan ski ke Austria. Cukup menyenangkan juga karena rumah sedang kosong dan jam kerja saya yang ikut ditiadakan. Walaupun tidak terlalu mengharapkan salju akan turun, tapi sepertinya tinggal di Eropa tidak terasa "empat musimnya" kalau belum bisa merasakan sendiri wujud si es halus alami itu.

Sehari sebelumnya, seorang teman mendengarkan berita di radio dan mengabarkan kalau besok akan turun salju. Agak tidak percaya juga karena di hari itu walaupun matahari tidak terik bersinar, tapi cerah-cerah saja. Tidak ada tanda-tanda besok akan turun salju yang katanya bisa jadi seharian.

Tapi, selamat datang di Belgia dimana cuacanya sangat labil dan sulit sekali ditebak! Hari ini bisa hujan, besok bisa sangat panas. Atau hari ini bisa jadi sangat cerah, besok-besoknya salju turun dengan sangat derasnya.

Dua hari setelah Natal, saya dan Alin, teman au pair asal Bogor yang kebetulan sedang menginap di Laarne, akhirnya kegirangan karena berita di radio ternyata benar! Hari itu tepat Sabtu, hari di saat semua au pair yang sedang menikmati day off akan bangun siang dan menikmati hari dengan bermalas-malasan ria. Saat saya dan Alin bangun dan sarapan, setengah jam kemudian ternyata salju benar-benar turun dengan lembut dan perlahan.

Sebelum keluar rumah dan foto-foto, kita masih menikmati salju yang terlihat sangat cantik dari dalam rumah.Thank God, I met my first snow! Alin juga senang sekali karena ternyata justru di tahun kedua inilah dia juga baru bisa melihat dan merasakan salju secara langsung. Alin pernah tinggal di Belanda sebagai au pair dua tahun lalu, tapi nyatanya musim dingin disana terlalu hangat.

Walaupun salju terus turun dari pagi sampai malam, tapi karena frekuensinya tidak terlalu deras, salju yang menumpuk di jalanan pun tidak terlalu tebal. Meskipun kita sebagai orang tropis merasa sangat bahagia dengan tumpukan salju yang sepertinya empuk sekali, namun tumpukan salju di jalan juga sangat membahayakan pengendara mobil. Seorang teman Belgia pernah mengatakan kalau salju deras yang terus-terusan turun sepanjang hari biasanya bisa sampai bersenti-senti meter tebalnya.

"Kalian yang belum pernah lihat salju atau anak-anak Belgia sendiri, memang akan sangat senang saat salju turun karena bisa membuat boneka salju. Tapi sekarang, saya sangat mengutuki salju yang turun karena bisa jadi sangat berbahaya dan merepotkan kalau sudah setebal betis," katanya.

Walaupun salju yang turun tidak terlalu banyak dan besoknya cuaca sudah cerah kembali, tapi setidaknya kami sudah berekspresi ria di hari itu. Meskipun juga boneka salju yang dibuat tidak bisa sekeren yang ada difilm-movie kartun, tapi saya juga tidak bisa membayangkan harus berperang melawan hujan salju setiap hari. Suhu -10 yang kami rasakan saat itu cukup sukses membuat tangan membeku tiap kali mengambil foto. Salju yang turun juga membuat malas untuk keluar rumah lebih jauh karena nyatanya foto yang diambil hanya sekitar pekarangan saja.

It was a super winter for me! I noticed snow, made a snowman (Alin's handmade absolutely), and melted in my noodle afterwards!

Tuesday, June 2, 2020

Tips Rencana Eks-Au Pair Setelah Au Pairing|Fashion Style

Satu atau dua tahun bukanlah waktu yang lama jika masa au pairing mu sangat menyenangkan. Terlebih lagi biasanya beberapa bulan sebelum kepulangan ke Indonesia, kita sudah punya banyak teman akrab atau someone special yang rasanya sedih sekali untuk ditinggal. Tapi tiket pulang sudah di tangan dan waktu kepulangan ke Indonesia tinggal sebentar lagi.

Lalu apa yang akan dilakukan eks-au pair ini setelah masa au pairing mereka di Eropa? Beberapa teman au pair biasanya sudah memiliki beberapa rencana yang akan mereka lakukan selepas belajar dan bertukar budaya selama setahun disana.

1. Kembali ke Indonesia dan melanjutkan kuliah yang tertunda

Beberapa eks-au pair yang tujuannya mendalami bahasa asing, biasanya sengaja stop out dulu dari kuliah demi jadi au pair. Selepas masa au pair mereka selama satu tahun di Eropa, tentunya sudah berbekal pengalaman dan juga kemampuan bahasa asing yang lebih baik. Hal ini pastinya akan dilakukan para eks-au pair yang masih berstatus mahasiswa.

2. Kembali ke Indonesia dan mencari pekerjaan di tanah air

Au pair merupakan salah satu kesempatan yang luar biasa menyenangkan karena bisa tinggal di luar negeri dan bertukar budaya dengan keluarga angkat. Pengalaman berharga yang dirasakan akan terus membuka pikiran kita untuk berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Namun cukup untuk satu atau dua tahun menjadi au pair, beberapa eks-au pair memutuskan untuk mencari pekerjaan di Indonesia saja. Berbekal bahasa asing selain bahasa Inggris, skill ini dapat mereka 'jual' ke perusahaan atau masyarakat nantinya. Banyak juga eks-au pair yang bahkan menjadi guru les bahasa asing atau membuka usaha bisnis sendiri bermodalkan tabungan sewaktu menjadi au pair.

Three. Kembali ke Indonesia dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi

Saya banyak bertemu dengan teman-teman au pair yang mulai mendapatkan residence atau work permit pertama mereka tepat setelah lulus sekolah menengah. Ada juga teman au pair yang sudah sempat bekerja di Indonesia, namun belum menyandang gelar sarjana. Semangat teman-teman eks-au pair ini untuk sekolah lagi patut diacungi jempol karena biasanya mereka akan menabung selama di Eropa untuk bekal melanjutkan S1 atau S2 di Indonesia.

4. Kembali ke Indonesia untuk mengurus berkas-berkas sekolah di luar negeri

Beberapa teman saya yang dulunya juga pernah jadi au pair di Belanda, memang sengaja jadi au pair lagi di Belgia untuk sekolah disana. Ada juga eks-au pair yang pindah negara dari Jerman ke Austria karena memang berkeinginan melanjutkan kuliah di salah satu negara tersebut setelah masa au pair mereka. Hal ini biasanya akan direncanakan oleh beberapa eks-au pair yang sudah pernah jadi au pair lebih dari satu kali.

Sekilas info, biaya kuliah S1 di KU Leuven (Belgia) untuk kelas bahasa Belanda hanya €800-1900 pertahun. Sementara untuk universitas lain di Belgia biayanya ada yang lebih mahal. Teman saya yang akan melanjutkan sekolah di Belgia tahun ini, memang juga mengatakan kalau dibandingkan Belanda, biaya kuliah di Belgia jauh lebih murah. Karena kelas bahasa lokal biaya kuliahnya memang lebih murah, kemampuan bahasa Belanda level B2 (upper-intermediate) harus sudah dikuasai. Seorang teman yang baru tahun kemarin jadi au pair, akhirnya masuk kelas bahasa Belanda intensif agar cepat naik level. Sementara untuk kelas pengantar bahasa Inggris sendiri harganya bisa €3500 pertahun.

Sama halnya juga dengan biaya kuliah di Jerman yang terkenal murah se-Eropa Barat. Teman saya ini sengaja mati-matian belajar bahasa Jerman agar bisa melanjutkan studi S2-nya disana. Namun semua teman eks-au pair ini memang bukan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya. Mereka harus membayar sendiri semua biaya selama mereka berada disana. Salah satu syarat merepotkan bagi siswa internasional yaitu mereka harus memiliki jaminan sekitar ?8600 pertahun yang akan diendapkan sebagai deposit. Deposit ini untuk memastikan bahwa mereka bisa tinggal, menyewa kamar, dan makan selama masa studi mereka.

Uang deposit ini bisa dihilangkan dari salah satu syarat mendaftar kalau ada sponsor yang bersedia menjamin kita selama disana. Seorang eks-au pair pernah mendapatkan sponsor dari keluarga angkatnya di Denmark untuk melanjutkan studi S2-nya. Teman-teman saya lainnya juga pernah mencoba 'merayu' keluarga angkat mereka untuk memberikan surat sponsor ini. Namun sayangnya hal tersebut tidak mudah karena sangat sedikit sekali keluarga yang mau direpotkan soal surat jaminan ini.

Four. Kembali ke Indonesia dan mengurus visa baru ke negara lain

Saya pernah bertemu dengan dua orang au pair asal Filipina yang ternyata ini adalah tahun keempat mereka menjadi au pair. Sebelumnya mereka pernah menjadi pengasuh anak di Belanda selama setahun, dua tahun berikutnya di Denmark, lalu tahun ini di Belgia. Bahkan mereka juga berkeinginan jadi au pair lagi di Norwegia, Perancis, bahkan Amerika nantinya!

Lalu apa yang benar-benar mereka cari selama proses au pairing ini sendiri? Kenapa begitu seringnya berpindah-pindah tempat demi jadi au pair? Bukankah itu sama saja 'merendahkan' konteks au pair itu sendiri ya?

Namun berbeda dengan para TKW dari Indonesia yang kebanyakan sekolah menengah, biasanya au pair dari Filipina ini justru lulusan S1 bahkan S2 lho! Intinya mereka adalah orang-orang yang well educated. Lalu apa motivasi mereka datang jauh-jauh ke Eropa hanya jadi tukang bersih-bersih? Yang saya tahu, mereka sangat sadar negara mereka masih berkembang dan kesempatan bekerja dengan gaji yang layak sangatlah terbatas. Untuk itulah mereka datang ke negara-negara maju untuk mengubah nasib, walaupun itu hanya sebagai tukang bersih-bersih atau pengasuh anak. Dilihat dari sini, tentu saja alasan mereka adalah uang.

Bukannya ingin menjelek-jelekkan salah satu bangsa, namun faktanya orang Filipina yang jadi au pair memang merupakan orang yang sangat giat bekerja. Dibandingkan orang Indonesia yang lebih suka menghabiskan days off berkumpul bersama teman atau belanja-belanja cantik di chain stores, para au pair Filipina biasanya tetap bekerja di tempat lain saat hari libur walaupun sudah tahu hal itu ilegal. Oh ya, para au pair ini pun hampir sama dengan orang Indonesia yang akan mengirimkan uang hasil kerja keras mereka ke kampung halaman. Walau sudah melanggar konteks au pair sebenarnya, namun au pair yang pindah-pindah negara ini tujuannya memang untuk membantu perekonomian keluarga di rumah.

Lalu bagaimana dengan au pair dari Indonesia sendiri? Seperti yang saya jelaskan di atas, au pair dari Indonesia yang memutuskan untuk jadi au pair lagi biasanya memiliki keinginan untuk mendalami bahasa asing demi meneruskan studinya di negara tersebut. Atau bisa jadi memang salah satu tujuannya adalah making money dan belajar. Kehadiran someone special juga bisa jadi salah satu faktor mengapa setahun dirasa belum cukup sehingga tetap harus kembali mengejar cinta. Hasseekkk..

5. Memperbarui visa living together

Tanpa pulang ke Indonesia, biasanya eks-au pair akan mengupayakan memperbarui visa ini di negara au pairing mereka. Mereka yang akan mengupayakan mendapatkan visa living together biasanya dibarengi dengan hadirnya seorang pacar berkewarganegaraan negara tersebut. Saya mengenal dua orang eks-au pair yang berhasil mendapatkan visa living together sehingga bisa tinggal lebih lama di Eropa. Tentunya syarat utamanya adalah kalian punya pacar berkebangsaan negara tersebut, sudah kenal cukup lama (minimal 2 tahun), dan tentunya berkeinginan tinggal bersama di satu atap tanpa ikatan pernikahan (visa yang diperbarui akan berbeda jika tujuannya menikah). Mendapatkan visa ini juga tidak mudah, karena seorang teman asli Belgia pernah mengaku kalau permohonan visa si pacar sempat ditolak.

Itulah rencana-rencana yang biasanya eks-au pair akan lakukan selepas masa au pairing mereka. Walaupun kampung halaman menyimpan sejuta kenangan dan lapangan pekerjaan, keinginan untuk sekolah atau menetap luar negeri merupakan salah satu keinginan terbesar eks-au pair setelah berhasil menginjakkan kaki di Eropa. Masalah di Indonesia yang cukup pelik, moda transportasi yang belum semaju negara-negara di Eropa, bahkan bagusnya kurikulum perkuliahan di Eropa merupakan salah satu alasan-alasan klasik mengapa biasanya eks-au pair belum bisa meninggalkan benua biru ini.

Namun banyak juga eks-au pair yang cukup yakin dengan tanah air sehingga lebih memilih pulang dan berkarya di Indonesia. Pengalaman berharga selama di Eropa tentunya akan menjadi salah satu pelajaran terbaik yang dapat mengembangkan potensi serta memperkuat intellectual mereka untuk terjun di masyarakat.

Tips Repotnya Buka Akun Bank di Norwegia|Fashion Style

Akhirnya saya sampai juga disini! Setelah drama akun financial institution berakhir, saya bisa bernapas ordinary layaknya imigran yang sudah lama tinggal di Norwegia.

Baru sekali ini saya mengalami kendala punya akun bank di Eropa. Di Belgia, saya hanya perlu datang ke bank dua kali lalu seminggu kemudian langsung dapat kartu ATM. Begitu pula saat di Denmark, Louise hanya menelpon pihak Bank Nykredit, lalu saya dikirimkan berkas-berkas yang perlu ditandatangani dan dikirim ulang. Et voila.. sekitar 3 minggu kemudian, saya sudah punya kartu debit plus NemID.

Di Norwegia, jangan harap mendapatkan kemudahan sebagai pendatang. Norwegia memang sangat ketat mengawasi aliran dana penduduk aslinya, apalagi imigran. Sebagai pendatang yang ingin memiliki akun bank, pemerintah sedikit mempersulit dengan cara meminta banyak dokumen sebelum dianalisa keabsahannya. Dua bulan lalu, dua orang ekspatriat yang tinggal di Norwegia bahkan membuat riset sederhana di Facebook tentang sulitnya membuka akun financial institution disini.

Episode datang ke financial institution

Berawal dari postingan sebelumnya tentang Minggu-minggu Awal di Norwegia , saya tertarik membuka akun bank di Danske dan KLP karena dua bank ini gratis biaya administrasi tahunan. Iseng-iseng daftar di situs mereka, sekitar beberapa hari kemudian dua SMS masuk mengatakan kalau saya harus mengambil surat notifikasi dari Danske dan KLP di kantor pos.

Tidak tahu isi suratnya apa, tapi penerima wajib datang ke kantor pos membawa paspor. Iya, paspor. Bahkan sampai harus membawa paspor untuk menerima surat dari financial institution. Fungsinya sebagai identitas imigran, katanya.

Sepuluh kaliscanning, petugas kantor pos tampaknya kelelahan karena paspor saya ternyata tidak bisa dibaca. Sayangnya mereka tidak bisa memberikan saya surat tersebut tanpa scanned paspor di sistem, meskipun saya sudah punya residence permit. Dang! Saya akhirnya disuruh datang sendiri ke Danske Bank untuk pengecekan data.

Kantor Danske Bank di Oslo ada dua, satu di Majorstuen dan satu lagi di Aker Brygge.  Karena kantor cabang di Majorstuen lebih dekat dengan rumah, saya memilih kesini. Saat datang, saya disambut jutek oleh petugasnya. Tidak seperti di Indonesia yang ada mbak-mbak cantik rapih di meja customer service, disini saya hanya dilayani oleh mas-mas berwajah asimetris di meja resepsionis. Sialnya lagi, karena lupa membawa satu dokumen penting, saya terpaksa pulang.

Malas dengan muka jutek si mas-mas tadi, di hari yang sama saya mengambil dokumen dan memilih menuju kantor pusat di Aker Brygge. Untungnya saat datang, kantor lagi sepi. Saya langsung ditangani oleh customer service yang tua dan ternyata tidak ramah juga.

Sama halnya dengan petugas kantor pos, si ibu customer service berusaha scanning paspor saya berulang kali di mesin, tapi nihil. Beliau berkali-kali mengelap dan memperbaiki sisi depan halaman identitas paspor, namun tetap saja error.

"Maybe it is too glossy," katanya.

Duhh, Bu, lipgloss kali ahh glossy.

Si ibu akhirnya menyerah juga dan menyalahkan paspor saya. Katanya, karena paspor saya bukan e-paspor makanya mesin mereka tidak bisa membaca. Lha?!

"You know what, jalan satu-satunya adalah kamu ganti ke e-paspor. Semuanya akan mudah kalau kamu sudah ganti," tambah si ibu lagi.

Iya, mudah, kalau saya tinggal di samping kantor imigrasi yang menerbitkan e-paspor. Masalahnya, e-paspor baru diterbitkan di Jakarta saja. Ya masa, Bu, saya harus mahal-mahal kembali ke Indonesia demi e-paspor 600 ribu rupiah?

"I cannot. E-paspor itu versi baru, Bu. Bahkan KBRI sini pun masih mengeluarkan paspor biasa. So, what else you can do?"

Karena saya tidak bisa mengubah keadaan, si ibu akhirnya sepakat menerima aplikasi permohonan, lalu saya disuruh menunggu hingga aplikasi disetujui. Kabarnya, kartu debit akan dikirimkan sekitar 1 minggu kemudian, namun kenyataannya sampai sekarang saya belum juga menerima.

Ngomong-ngomong, karena bukan e-paspor, si ibu juga mengatakan kalau saya tidak bisa mengakses online banking. Untuk mengakses Nettbank, diperlukan BankID atau token atau kode yang memperbolehkan user masuk ke akun bank. Tanpa online banking, artinya saya tidak bisa mengecek saldo, riwayat transaksi, atau kirim uang. Rese kan?!

Saat di Danske Bank, saya juga sebenarnya bersebelahan dengan satu customer dari Pakistan. Sama seperti saya, si ibu customer service satu lagi juga menjelaskan ke doi kalau dia tidak bisa mengakses online banking karena paspornya tidak ada chip (e-paspor).

Oke, saya tinggalkan dulu kisah si Danske yang menyebalkan. Saran saya, jangan buka akun di Danske! Jangan!

Episode e-paspor

Karena penasaran dengan "e-paspor dan BankID" ini, saya hubungi pihak KLP Bank untuk mendapatkan konfirmasi. Mungkin saja gagal di Danske, tapi berhasil di KLP. Saya bicara via telepon dengan customer service-nya yang ternyata lebih ramah dan mau membantu.

"Oh no, that is actually true. Kamu harus punya e-paspor baru bisa dapat BankID."

"Lho, peraturan sejak kapan itu? Kenapa orang-orang sebelum saya bisa dapat BankID?"

"Iya, ini BankID-nya sendiri yang bekerja sama dengan beberapa financial institution untuk membuat regulasi baru seperti ini. Saya rasa peraturan ini pun masih sangat baru, sekitar 2 bulan lalu kalo tidak salah. Maaf ya, kami hanya financial institution berbasis on line, jadi kamu memang harus punya BankID untuk membuka akun di tempat kami."

"What do you think about other banks? Apa semua bank tidak bisa menerima paspor biasa? Apa mereka tidak bisa scanning semua paspor tanpa chip?"

"Saya juga kurang tahu, tapi coba kamu hubungi bank-bank besar yang customers-nya kebanyakan imigran seperti DNB. Situs mereka pun pakai bahasa Inggris, jadi mungkin mereka bisa memproses BankID kalau kamu buka akun disana."

Oke, terima kasih.Done, Norway!

Di rumah, saya jelaskan ke Ida tentang pengalaman hari itu. Ida hanya geleng-geleng kepala dengan kelakuan petugas Danske Bank yang menurut dia kurang profesional dan tidak ramah. Tahu saya kesulitan dengan sistem perbankan di Norwegia, Ida langsung menghubungi pihak Danske Bank dan meminta konfirmasi tentang kasus saya.

"They cannot say to you like that!" kata Ida geram, saat saya katakan kalau si ibu di Danske tidak bisa memberikan BankID hanya karena saya tidak punya e-paspor.

Setelah menghubungi pihak Danske Bank dan kecewa dengan jawaban petugasnya, Ida langsung menawarkan opsi jika saya mau buka akun di Nordea. Duh, Nordea paling mahal biaya tahunannya! Tapi karena keluarga ini memang semuanya pakai Nordea, saya akhirnya menyerah dengan Nordea dan berharap mereka bisa menawarkan solusi.

Asal kalian tahu, bank di Norwegia berbeda dengan bank di Indonesia yang kebanyakan hanya cari customer. Di Norwegia, buka akun bank bagi pendatang tidak gampang dan bahkan harus mengantri. Jadi aplikasi kita masuk, lalu harus mengantri lagi untuk disetujui. Waktu mengantri ini tentunya tergantung berapa banyak pemohon yang sudah mendahului kita. Normalnya bisa sampai 2 hingga 4 bulanan. Crazy, huh?!

Saya akui, Ida benar-benar tipe host mom yang sangat cekatan dan betul-betul ingin menolong. Karena termasuk elite customer di Nordea, Ida sampai memiliki konsultan keuangan pribadi di bank ini. Penasaran apakah kasus saya bisa ditangani, Ida langsung menelpon konsultan pribadinya dan meminta mereka memberikan solusi.

"They will help you, Nin. It is NOT necessary to have a chip in a passport just to get the BankID! Kamu daftar saja di Nordea. Nanti konsultan saya akan berusaha menaikkan aplikasi kamu ke paling atas agar kamu cepat bisa dapat kartu bank," kata Ida mantap.

Betul saja, karena jasa dan status sebagai "elite customer" Ida, saya langsung mendapatkan konfirmasi dari Nordea satu hari setelah mendaftar. Saya hanya perlu datang ke kantor pusat dan membawa dokumen seperti paspor, residence permit, surat konfirmasi personal number dari UDI, serta kontrak au pair.

Info lagi, buka akun bank di Nordea juga tidak gampang dan lama. Sebelum konfirmasi dari pihak bank, pemohon harus membuat janji temu dulu dengan bank consultant. Setelah membuat janji temu, pemohon juga harus sabar menunggu hingga aplikasi mereka disetujui. Saya, satu minggu setelah mendaftar langsung dapat kartu debit! Sekali lagi, atas jasa nama besar dan status Ida di Nordea memang.

Episode BankID

Tapi jangan salah, drama baru juga berlanjut. Setelah menyerahkan semua dokumen penting ke kantor Nordea, saya diminta datang kembali karena ada masalah pada scanned paspor. Duh!

Betul, paspor saya lagi-lagi tidak bisa di-scan oleh staf Nordea yang muda dan cantik jelita itu. Anyway, para staf wanita di Nordea kantor pusat sungguh berbeda dengan di Danske. Di Nordea, beberapa mbak-mbaknya masih muda, aktif, cantik, plus ramah-ramah.

Karena bingung juga kenapa paspor saya susah dibaca, si mbak ini sampai meminta KTP Indonesia saya untuk di-scan. Padahal si mbak tau KTP saya masih edisi lama.

Lalu.... Lagi-lagi gagal!

Sama halnya dengan Danske, mbak Nordea ini juga menyarankan saya untuk ganti e-paspor agar mempermudah proses mendapatkan BankID. Tapi tentu saja, dengan nada yang lebih ramah.

Kembali ke rumah, saya mengadu lagi ke Ida. Sumpah, saya bukannya manja. Tapi saya sudah sangat kesal dengan sistem perbankan di Norwegia yang mengharuskan saya mondar-mandir tanpa kejelasan. Sama seperti saya, Ida yang juga memantau case ini dibuat super geram. Beliau lagi-lagi menghubungi konsultan pribadinya dan sedikit mengadu.

Beberapa hari kemudian, saya menerima email dari mbak Nordea yang mengatakan kalau mereka bisa membuatkan BankID. Nah!! Syaratnya, saya harus melampirkan surat keterangan dari Kedutaan Besar Indonesia di Norwegia tentang error production dan legalized copy paspor saya.

Ya sudah, saya turuti. Sekalian foremost ke kedubes dan lapor diri, saya minta surat keterangan tersebut dengan petugas KBRI Oslo. Enaknya, KBRI Oslo hanya 13 menit jalan kaki dari rumah. Jadi setelah surat selesai, saya bisa langsung datang kembali ke Nordea dan menyerahkan dokumen tersebut.

Empat hari kemudian, mbak Nordea yang dari awal melayani pembuatan akun saya mengirimkan electronic mail lain berisi notifikasi yang mengatakan kalau akhirnya BankID saya sudah aktif. Hoooore!!!

Intinya BankID menjadi hal yang superb penting karena sifatnya sangat private dan rahasia. Tahu token bank yang seperti kalkulator? Iya, token bank pin rahasia kita = BankID.

Cara mengakses online banking di Norwegia pun sedikit ribet. Di  Indonesia, Belgia, atau Denmark, saya hanya perlu username dan password saja. Di Norwegia, saya butuh personal ID, kode dari token (pincode untuk token), serta password pribadi Nettbank. Pfft!

Saya paham mengapa BankID fungsinya sangat penting di Norwegia. Ibarat tanda tangan, BankID adalah digital signature yang digunakan untuk mengakses jenis transaksi apapun berhubungan dengan keuangan kita di bank.

Yang saya tahu, pemohon tanpa e-paspor tahun-tahun sebelumnya tidak pernah punya masalah seperti ini. Mereka dengan sukses mendapatkan kartu debit dan BankID meskipun harus menunggu lama. Tapi tentu saja saya mendengar cerita buruk lain dari para imigran yang juga merasa dipersulit untuk mendapatkan BankID ini.

This is Norway 2018. Welcome!

Tips 10 Tipe Host Family yang Mesti Kamu Pertimbangkan Kembali|Fashion Style

Cari host family yang baik dan sesuai harapan itu tidak mudah. Saya mencari hingga 5 bulan baru akhirnya dipertemukan dengan keluarga Belgia keturunan Maroko via agensi. But, bad thing happened. Belum full satu tahun kontrak, saya sudah angkat kaki dari rumah keluarga tersebut.

Saya tahu, tidak ada keluarga yang sempurna memang. Begitu pula dengan kita, belum tentu sesuai dengan ekspektasi si keluarga angkat. Namun, tetaplah waspada dan pintar saat mencari keluarga. Saya paham, kamu juga senaif saya dulu yang ingin sesegera mungkin merasakan udara sejuk Eropa. Ingin secepatnya jalan-jalan ke negara tetangga dan ingin secepatnya juga meninggalkan Indonesia. Karena muak mungkin?

Namun tetaplah realistis dan hati-hati. Meskipun tidak pernah berharap akan terjadi, tapi kadang ada saja yang membuat kita tidak cocok dengan keluarga angkat. Jadi daripada kamu bermasalah di negara orang nantinya, sebaiknya baca tipe-tipe keluarga yang menurut saya red flag dan mesti kamu pertimbangkan dulu sebelum buru-buru terima tawaran mereka.

1. Tidak mau rugi

Host family seperti ini biasanya hanya akan memberikan fasilitas standar seperti kamar dan uang saku minimum. Beberapa keluarga ada yang jujur dari awal agar kamu tidak pakai listrik dengan boros, hemat air, tidak makan apa yang bukan milik kamu, tiket disuruh bayar sendiri, ataupun mereka yang tidak menganjurkan kamu untuk ikut kursus bahasa. Seriously, tanpa pikir panjang, sebaiknya kamu tolak saja offer dari keluarga begini!

Mereka mengundang kamu bukan untuk diperlakukan sebagai keluarga, tapi personal assistant semata. Untuk apa jauh-jauh ke Eropa kalau kerja kita hanya stay di rumah dan jaga anak?! Sudah hampir semuanya kita yang bayar, mereka juga lebih peduli dengan hasil kerja ketimbang kenyamanan kita.

2. Anak banyak

Bagi saya, anak 3 biji itu paling maksimal. Pun begitu, saya berharap tidak disuruh mengasuh dan mengawasi semuanya. Apalagi kalau mereka semua masih kecil-kecil.

Kalau ini pengalaman kamu pertama kali jadi au pair, saya sarankan hanya memilih keluarga yang anaknya paling banyak 2. Jangan percaya dengan iming-iming keluarga yang akan saling menolong mengasuh anak, karena faktanya kamu bisa kena jebakan. Teman saya harus mengasuh 5 orang anak tanpa bantuan sedikit pun dari host family-nya. Sudah mengasuh anak, ditambah kerjaan rumah yang setiap hari tidak pernah beres. Minusnya lagi, ibu angkatnya super pelit soal makanan dan hobi pinjam duit ke au pair!

Sanggup kamu?

Three. Mantan Filipina

Yes, saya memang sangat skeptis dengan populasi au pair Filipina di Eropa. Menurut saya, keluarga angkat yang pernah punya au pair Filipina sebelumnya akan memperlakukan au pair selanjutnya sama.

Au pair Filipina kebanyakan yes-maam saja karena takut berkonfrontasi dan mengeluarkan pendapat. Tidak sedikit keluarga yang bermasalah dengan au pair Filipina karena miskomunikasi. Kalau pun tidak bermasalah, kamu juga mesti sedikit aware karena au pair Filipina kebanyakan pintar cleaning dan penurut. Makanya banyak keluarga Eropa di utara lebih memilih au pair dari Filipina ketimbang negara lain. No wonder, hampir semua au pair Filipina yang ada di Skandinavia adalah mantan pembantu di Singapura atau Hong Kong.

So, kalau eks au pair si keluarga adalah cewek Filipina , bisa dipastikan ekspektasi keluarga tentang cleaning akan sedikit mirip dengan pekerjaan si mantan. Sialnya, kalau si Filipina mau saja disuruh banyak hal, kamu juga mesti melakukan hal yang sama!

Four. Rumahnya di desa

Saya pernah tinggal di desa saat jadi au pair di Belgia. Awalnya memang bahagia karena jauh dari keramaian dan dekat dengan alam. Lama-lama, saya bosan! Beruntung, tempat saya tinggal saat itu hanya sekitar 40 menit naik bus ke Ghent. Masih lumayanlah kalau ingin rehat saat akhir pekan.

Tapi tidak semua desa dekat dengan kota besar. Belum lagi, biasanya transportasi umum di pedesaan horor alias tidak beroperasi sampai tengah malam dan bisa datang dua jam sekali. Saya sering kali jalan kaki tengah malam dari stasiun terdekat hanya karena ketinggalan bus terakhir.

Travelling ke negara tetangga pun jadi mahal kalau memang harus pergi via bandara yang tiket murahnya justru berada di ibukota. Cari teman juga susah karena kebanyakan tetangga adalah pasangan tua ataupun keluarga yang super sibuk. Makanya sebelum memutuskan deal, sebaiknya kamu cek dulu di peta seberapa jauh desa tersebut dari kota besar. Cek juga halte bus dan stasiun kereta terdekat.

Sejujurnya, saya kapok tinggal di desa! Kita masih muda, masih butuh kehidupan sosial,having fun, danexploring.

5. Cari cleaning lady

Pertama kali kenalan dengan keluarga Denmark, Louise, host mom saya sudah menjelaskan dan jujur kalau sebenarnya mereka lebih butuh housekeeper ketimbang babysitter yang hanya fokus ke anak. Lalu yang terjadi memang benar, pekerjaan saya di Denmark super varitif. Mulai dari mengurus bayi, laundry, beres-beres rumah, masak, loading dishwasher, hingga belanja ke supermarket setiap minggu.

FYI, keluarga di Eropa Utara terkenal "memanfaatkan" au pair hanya untuk mencari cleaning lady murah. Banyak sekali cerita buruk au pair di Skandinavia yang harus bekerja overtime. Menyewa tukang bersih-bersih di Skandinavia memang mahal sekali dan hanya keluarga super kaya yang mampu membayar jasa mereka. Makanya au pair adalah opsi termurah dan all-in; jaga anak iya, masak iya, cleaning lady iya, kadang juga mengurus peliharaan pun iya. Hebat kan tugas au pair di Skandinavia?!

Saran saya, kalau profil keluarga tersebut memang sudah menerangkan urusan rumah tangga akan lebih banyak dari urusan anak, sebaiknya tanya dan diajak diskusi kembali. Kadang ada juga keluarga yang malah ingin kamu ikut gardening. Bahh! Lebih susah menolaknya kalau sudah terlanjur tinggal bersama.

6. Keluarga imigran

Saya sudah pernah membahas tentang keluarga imigran di postingan tentang keluarga Arab . Walaupun lahir, tinggal, dan besar di lingkungan Barat, after all they are still immigrants in heart.

Pengalaman buruk saya dengan keluarga Maroko di Belgia mengajarkan untuk tidak akan pernah mau tinggal lagi dengan keluarga pendatang. Tidak hanya saya, hampir semua teman yang keluarganya imigran juga merasa tidak nyaman dengan treatment dari keluarga tersebut. Mulai dari sifat mereka yang tidak mau rugi, kurang komunikasi, susah diajak diskusi, kurang open-minded,hingga harus kerja berlebihan. Skip deh, meskipun embel-embelnya seagama!

7. Anaknya sudah abege

Di Belgia dan Denmark, batas umur anak terkecil untuk punya au pair hanyalah sampai 12 tahun. Herannya, keluarga angkat biasanya masih manja dan tetap ingin punya au pair meskipun anak-anak mereka sudah mandiri.

Seorang kenalan terpaksa harus merapihkan kamar si anak tertua berumur 18 tahun setiap minggu, meskipun tidak ada dalam kontrak. Hal ini terpaksa dia lakukan karena seperti jebakan Batman, terlanjur pasrah tanpa bisa menolak. Si anak terkecil pun sudah berumur 8 tahun yang notabene mampu mengurus perut dan dirinya sendiri.

Kesimpulan saya, tipe keluarga seperti ini hanya mau dimanja dan sudah ketagihan jasa au pair. Kalau pun tidak disuruh jaga anak, ada juga yang tetap butuh au pair menjaga anjing saat si keluarga liburan. Apa peran au pair kalau semua anak sudah mandiri? Baca poin kelima!

8. Bitchy face

Betul, jangan menilai seseorang cuma dari foto saja. You never know until you get to know them better. Betul itu.

Tapi entah mengapa, sudah 3 orang teman saya bermasalah dengan host mom-nya yang super perhitungan dan rude. Anehnya, para ibu angkat mereka memiliki garis muka yang mirip; muka jutek! Mungkin muka-muka jutek host mom ini ikut berpengaruh ke karakternya di rumah. Kalau kamu bingung seperti apa bitchy face itu, lihat contoh ini;

Intinya muka tante-tante yang fake smiling, kebanyakan gaya, muka angkuh, muka sok cantik, dan muka jutek kayak mau ditonjok. Hah! Just trust me!

9. Track record buruk

Tidak semua tipe keluarga yang sudah saya sebutkan di atas semuanya mean dan rude. Sekali lagi, tidak ada yang bisa menilai sifat manusia sebelum kita bertemu dan kenalan langsung. Tapi kalau kamu punya kesempatan mengobrol dengan mantan au pair mereka, take that chance!

Eks au pair keluarga saya yang sekarang sebetulnya orang Filipina. Jujur saja, keluarga ini juga sempat jadi red alert buat saya. Tapi setelah bicara panjang lebar dengan si eks au pair, saya bisa melihat kalau si Filipina bahagia tinggal dengan keluarga ini. Tidak ada yang ditutup-tutupi dan semuanya terkesan apa adanya.

Au pair adalah kunci untuk tahu jelek baiknya host family saat di rumah. Jangan malas untuk mengulik sedikit tentang kebiasaan host family yang belum kamu tahu.

BUT! Please jangan kebanyakan kepo sampai terlalu banyak bertanya masalah hadiah dan fasilitas yang keluarga akan berikan ke au pair pengganti. Kenyataan akan berbeda, pun begitu dengan treatment keluarga antara au pair pertama dan kedua. Jadikan pengalaman si mantan au pair sebagai pelajaran awal kamu mengenal calon keluarga lebih baik.

10. Tinggal di Britania Raya/Spanyol/Italia

Sudah pernah saya bahas juga di postingan Guide Au Pair , kalau pemegang paspor Indonesia tidak bisa mendapatkan izin tinggal di Inggris atau Spanyol pakai visa au pair.

Kalau kamu memang nekad dan sangat tertarik tinggal di negara tersebut, coba gunakan visa pelajar. Tentu saja, persyaratan dokumennya lebih komplet ketimbang visa au pair. Selain bukti finansial, kamu juga harus melampirkan flight booking, dan LoA dari tempat belajar di negara tersebut. Baca postingan saya tentang au pair ke Irlandia, Spanyol, dan Italia kalau kamu tertarik kesana!

Anyway, kenapa harus jadi au pair disana sih? Kenapa tidak coba apply di negara Eropa lain yang lebih possible, lalu travelling saja ke Inggris atau Italia? Psstt.. pocket money di Spanyol juga kecil kok ðŸ˜›

Sekali lagi, tidak ada yang bisa menjamin nasib kita setelah tiba di Eropa. Bad things could happen dan kenyataan akan sungguh berbeda dari apa yang kita harapkan sebelumnya. Tapi siapa juga yang mau punya pengalaman buruk kan? Tentu saja chemistry berpengaruh saat kamu berdiskusi dengan calon host family. Namun jangan juga kena jebakan Batman hanya karena sifat gegabah yang ingin cepat-cepat ke Eropa tapi melupakan red alert dari calon keluarga.

Good success, ladies!

Monday, June 1, 2020

Tips Gaji Au Pair, Sepadan kah?|Fashion Style

Dikarenakan perlakuan host family yang suka semena-mena terhadap au pair, banyak gadis muda asing terpaksa harus bekerja overtime. Sayangnya, sifat mean keluarga angkat ini membuat au pair bekerja lebih lama dari kontrak, tapi tetap dibayar denganpocket money minimum. Unfair?

Iya. Pergeseran makna au pair yang disamaratakan dengan pembantu internasional murah, tentunya membuat banyak pihak merasa program pertukaran budaya ini tak lain hanyalah perbudakan. Kerja berjam-jam namun hanya dibayar 450 Euro, misalnya.

Tapi tunggu dulu, tidak semua host family memperlakukan au pair dengan tidak adil. Banyak keluarga yang sangat patuh terhadap regulasi dan mau menghadiahi au pair mereka dengan pengalaman berharga. Makanya sebelum bicara soal gaji kecil atau cheap labour, mari kita bahas lagi program au pair ini.

Apa itu au pair?

Au pair adalah gadis muda internasional berusia 18-30 tahun yang datang ke negara asing, tinggal bersama keluarga angkat, dan "bekerja" sebagai domestic helper atau asisten rumah tangga. Tujuan utama program ini sebenarnya pertukaran budaya selama au pair tinggal dengan host family. Sebagai ganti akomodasi dan makan "gratis", au pair membantu pekerjaan rumah tangga ringan dan mengasuh anak keluarga tersebut selama 4-6 jam per hari.

Pertukaran budaya seperti apa?

Seorang au pair mengeluh ke saya karena pekerjaan rumah tangga dia lebih banyak ketimbang exchange culture-nya. Saya tanya, pertukaran budaya seperti apa yang dia inginkan? Dia bingung.

Bagi saya, pertukaran budaya itu sama dengan integrasi dan transisi ke kehidupan modern Eropa. Selama tinggal dengan host family, kita diajak untuk mengenal kebiasaan keluarga lokal, makan makanan khas lokal, melihat parenting style mereka, serta ikut merayakan tradisi Natal yang berbeda-beda di tiap negara.

Satu lagi, kalau host family bersedia membayari saya kursus bahasa lokal, artinya mereka sudah berupaya mengenalkan bahasa mereka agar saya secepatnya bisa berintergrasi dengan negara tersebut.

Yang saya tahu, pertukaran budaya memang begitulah sifatnya. Kalau kamu ikut program exchange culture di salah satu tempat kursus di Indonesia, untuk mendapatkan pengalaman seperti ini tidak gratis. Justru kitalah yang harus membayar ke penyelenggara tersebut agar dicarikan host family dan bisa tinggal untuk jangka waktu maksimum 3 bulan.

Kewajiban au pair

Karena host family sudah menyediakan tempat tinggal, makan, uang kursus, serta beberapa fasilitas lainnya secara gratis, au pair wajib membantu pekerjaan rumah tangga yang sifatnya ringan seperti vakum lantai, mengepel, lap debu, ganti sprei, bersih-bersih WC, cuci piring (di mesin), cuci baju (di mesin), masak, mengasuh anak, antar-jemput anak, dan pekerjaanbasiclainnya.

Host family yang baik tidak akan memanfaatkan au pair mereka dengan mudah hanya karena sudah membayar mahal. Di beberapa negara, contohnya Denmark, au pair dianggap bukanlah sebuah pekerjaan melainkan program pertukaran budaya ataustudy-internship. Karena sifatnya tidakfull time dan fleksibel, au pair bisa disamakan dengan pelajar yang bekerja paruh waktu selama 20-35 jam per minggu.

Gaji au pair kecil

Karena banyak negara yang tidak menganggap au pair sebagai pekerjaan, maka uang yang diberikan host family pun bukan dinamakan gaji, tapi uang saku atau uang jajan bulanan. Uang saku ini memang terlihat kecil, tapi sejujurnya cukup dan sudah disesuaikan dengan biaya hidup di negara tersebut.

Di Belgia, saya menerima 450 Euro perbulan. Di Denmark tahun 2015, 4000 DKK (sebelum pajak). Sementara di Norwegia, saya menerima 5600 NOK (sebelum pajak).

What?! Hanya 4000 DKK per bulan? Memangnya cukup?

Orang awam harus tahu, 4000 DKK (2015) bagi au pair di Denmark sejujurnya cukup! Di Skandinavia, au pair juga diwajibkan membayar pajak yang akan dipotong dari uang saku bulanan. Karena harus bayar pajak pula, saya hanya mendapatkan sekitar 3400 DKK per bulan. Tahun lalu, teman saya menerima 4150 DKK bersih tanpa potong pajak karena sudah ditanggung pihak keluarga.

Hanya 3400 DKK per bulan lalu kerja selama 6 jam?! Kamu cheap labour! Harusnya pekerjaan dihitung per jam.

All-in

Orang awam tahunya au pair di Denmark hanya menerima uang saku 4250 DKK per bulan (2018). Bagi mereka, uang saku tersebut jauuuuh dari kata cukup karena harusnya host family membayar lebih.

Oke, sekarang begini, mari kita lihat lagi syarat jadi au pair. Perlu gelar kah? Perlu skill yang mumpuni kah? Perlu bahasa asing berlevel advanced kah? Tidak kan?

Bisa dikatakan, au pair itu pekerjaan part-time yang statusnya kita samakan dengan unskilled job. Karena saya pernah tinggal di Belgia, saya contohkan dari negara ini. Au pair disini menerima 450 Euro per bulan tanpa pajak.

Di Belgia, pekerjaan uneducated seperti cleaning, babysitting, pelayan, atau bartender biasanya dibayar 10 Euro per jam. Peraturan di Belgia memperbolehkan au pair bekerja selama 20 jam per minggu atau sama dengan 80 jam per bulan. Karena kadang mestiovertime, katakan saja 90 - 100 jam. Artinya, au pair "harusnya" dibayar 900 - 1200 Euro per bulan atau setara dengan gajiunskilled job lainnya di atas.

Tapi, kita harus ingat, pekerjaan seperti cleaning lady atau pelayan kafe itu live-out alias mereka tidak tinggal dengan host family. Artinya, dari gaji 900 - 1200 Euro per bulan itu mereka tetap harus sewa apartemen, beli bahan makanan, bayar transportasi, tabungan untuk jalan-jalan, hingga harus bayar pajak sendiri.

Di Belgia, untuk menyewa satu kamar kecil saja sangat sulit dan tidak murah. Kalau kamu pelajar, satu kamar di student housing tanpa kamar mandi dalam paling murah disewakan sekitar 450 Euro per bulan. Sementara kamar dengan kamar mandi pribadi disewakan > 650 Euro per bulan. Tentu saja student housing ini disediakan dengan fasilitas basic dan berukuran kecil. Banyak pelajar asing di Eropa harus mengirit uang jajan hanya untuk makan, jalan-jalan, dan biaya hidup lainnya.

Au pair di Belgia; bebas dari akomodasi, makan, plus pajak. Enaknya lagi, host family saya dulu bersedia membayari tiket bulanan angkutan umum plus tagihan telepon. Jadi 450 Euro per bulan itu murni untuk saya sepenuhnya tanpa harus berpikir ingin makan apa malam nanti. Host family saya dulu kebetulan tidak pelit soal makanan, jadi saya bisa seenaknya ambil roti, cokelat, susu, daging, atau salmon di kulkas.

Jadi kalau kamu berpikir uang saku au pair itu super kecil, sebaiknya pikir lagi. Karena sesungguhnya uang saku tersebut bersih untuk memenuhi kebutuhan pribadi kita seperti belanja pakaian,travelling, eat out, nonton, atau tabungan. Jangan lupa juga untuk menambahi fasilitas lain yang diberikan host family seperti phone bills, monthly ticket, atau uang kursus yang tidak perlu kita bayar tiap bulan. Kadang saya berpikir, kehidupan au pair di Eropa itu lebih mewah ketimbang para pelajar asing.

Then again, semuanya kembali ke gaya hidup.

Di Denmark, gajinya terlihat besar, namun akan sakit hati juga kalau tiap bulan selalu potong pajak. Biaya hidup juga mempengaruhi uang saku au pair di tiap negara. Contohnya Jerman yang hanya 270 Euro according to bulan, tapi Norwegia bisa dua kali lipatnya. Tentu saja, karena hidup di Norwegia apa-apa mahal.

Seorang kenalan saya, pekerja paruh waktu di Denmark, bergaji sekitar 15.000 DKK consistent with bulan (sebelum pajak). Mungkin kita melihatnya besar, 30 juta! Tapi ternyata sisa duit doi hanya sekitar 2500 - 4000 DKK saja per bulan setelah potong sana-sini. Belum lagi doi harus mengirit untuk tidak makan yang mahal-mahal dan biasanya harus membeli bahan makanan diskonan.

Sama dengan pocket money au pair kan, uang saku pribadi yang tersisa?

Tapi kenapa di Australia gaji au pair lebih besar? Dibayarnya in keeping with minggu pula!

Well, visa yang dipakai ke Australia itu berlaku untuk semua orang, mau pekerjaannya au pair atau pemetik buah. Orang Indonesia bisa pakai Working Holiday Visa (WHV) ke Australia tanpa jadi au pair sekali pun. Karena tidak ada peraturan khusus untuk au pair, gaji mingguan bagi pemegang WHV dipatok sekitar 200-250 AUD per minggu atau 650 AUD (live-out) tergantung sektor pekerjannya.

Live comfortably

Jadi au pair itu sebetulnya membosankan, tapi super nyaman. Kamar disediakan dengan fasilitas bagus; ranjang besar, kamar luas, tv, dan kamar mandi pribadi. Belum lagi kalau mendapatkan host family super baik yang mau membayari tiket, pajak, dan tagihan bulanan. Kurang nyaman apalagi?

Hidup dengan orang itu tidak nyaman!

Tentu saja! Tapi apa kamu kira host family nyaman dengan adanya orang asing di rumah mereka? Tentu saja tidak. Mereka juga harus berdamai dengan ego sendiri yang membiarkan orang lain tinggal dan mondar-mandir di rumah, mengambil makanan apapun dari kulkas, hingga mengundang banyak teman untuk masak bersama. Host family mesti menanggalkan privasi mereka, namun di sisi lain tetap harus menghargai privasi au pair.

Banyak juga para pelajar atau anak muda lain yang harus menyewa kamar kecil di satu apartemen dan tinggal dengan orang lain. Tentu saja mereka tetap harus menanamkan rasarespect saat memakai kamar mandi atau dapur bersama.

Mari kita sisihkan sejenak beberapahost family gila yang hanya butuh tukang bersih-bersih semata. Kalau kamu memang lucky mendapatkan keluarga baik yang bersedia memberikan fasilitas mewah dan uang tambahan saat kamu harus bekerja overtime, cherish them! Au pair itu bukan cheap labour atau pembantu murahan ya. We earn a lot of experience and so little money. Tapi kita juga bisa bersenang-senang dan jalan-jalan keliling Eropa tanpa duit orang tua.

So, what do you think? Apa uang saku au pair masih terdengar sangat kecil bagi kamu?

Tips Mengatur Keuangan Au Pair|Fashion Style

Jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Satu, kembali lagi ke gaya hidup. Dua, tergantung seberapa konsistennya kamu mengelola pocket money. Sudah pernah saya bahas, kalau uang saku au pair sebenarnya cukup untuk memenuhi personal expenses kita selama tinggal di Eropa. Tiap negara sudah mengatur berapa besar uang saku yang harus diberikan ke au pair berdasarkan living cost di negara tersebut.

Tapi, tentu saja tergantung seberapa modest atau borosnya kamu terhadap pengeluaran. Mau gaji sebesar apapun, kalau ingin menuruti gaya hidup glamor dan mewah, sudah pasti tidak akan pernah cukup. Kalau kamu juga tidak pandai mengatur keuangan, menyimpan 200 atau 300 Krona per bulan saja akan terasa sangat sulit.

Sejujurnya, saya juga termasuk kalap saat menerima gaji pertama au pair. Ingat betul saat di Belgia, uang saku saya hilang tak bersisa setiap bulan. Boro-boro menabung, kadang saya sendiri bingung uangnya dipakai kemana. Pulang ke Indonesia, saya hanya membawa sisa gaji sekitar 2,five juta. Ibu saya sampai menyayangkan jeleknya gaya hidup saya di Eropa.

"Kalau setiap bulan bisa menyisihkan one hundred Euro saja, sudah dapat 1200 Euro pulang-pulang," katanya saat itu.

Susah. Dengan uang saku 450 Euro di Belgia, saya pun belum mampu menyisihkan 50 Euro saja per bulannya.

Hidup jadi au pair itu banyak enaknya . Kalau dapat keluarga baik, kita tidak perlu pusing ingin makan apa malam ini. Kadang ikut keluarga makan, kadang kita sendiri bisa masak dari bahan makanan di kulkas. Tidak perlu bingung lagi ingin beli salmon mahal, karena bisa join kartu kredit keluarga saat belanja ke supermarket.

Tempat tinggal pun sudah jelas, tidak perlu bayar tagihan per bulan. Kamar besar, ranjang empuk, dilengkapi dengan kamar mandi pribadi, tv, atau perabotan yang cozy. Belum lagi kalau dapat keluarga maha baik yang mau menghadiahi au pair mereka pakaian atau tiket nonton, misalnya. Teman saya sampai dapat laptop dari keluarga angkatnya saat Natal! Ada juga keluarga yang berbaik hati mengganti iPhone teman saya yang hilang saat nonton konser. Hilangnya iPhone 5s, dapatnya iPhone 6s.

Tapi meskipun tempat tinggal dan makan sudah ditanggung keluarga angkat, jangan heran kalau masih banyak juga au pair yang kesulitan mengatur uang.

Prioritas tiap au pair memang berbeda-beda. Ada yang hobi belanja dan beli alat make up. Ada lagi yang fokusnya hanya travelling keliling Eropa. Ada juga yang serius mengumpulkan uang, demi misi cari kerja di Australia pakai Working Holiday Visa (WHV) untuk melengkapi syarat jaminan 5000 AUD di rekening pribadi.

Saran saya, kalau ingin banyak menabung dan mengirimkan uang ke Indonesia, bergurulah dengan cewek Filipina di Eropa . Yang saya perhatikan, gaya hidup au pair Indonesia sungguh berbeda dengan gaya hidup geng Filipina. Kalau saat weekend au pair Indonesia hobinya nongkrong di kota dan belanja, au pair Filipina memilih stay di rumah teman lalu masak bersama. Ajang belanja pun dipangkas hanya setahun sekali di H&M, toko sekelas itu, atau pasar loak.

Jarang sekali saya perhatikan ada geng Filipina brunch di kafe oke atau sekedar minum cocktails di bar fancy. Berbeda halnya dengan geng Indonesia yang sangat royal dan lebih suka mencoba hal baru.

Bagi au pair Filipina, berhemat itu perlu karena uang saku yang didapat harus disisihkan untuk keluarga di kampung. Bayangkan, dari uang saku 4000 DKK per bulan, mereka bisa mengirim 1500-3000 DKK untuk keluarga! Fakta yang saya dengar, keluarga mereka sampai bisa membangun rumah dari kumpulan uang saku itu.

Setelah tiga tahun hidup di Eropa dan puas menghamburkan uang demi shopping atau travelling, saya sekarang mengerem keluar doku untuk hal yang tidak perlu. Kalau pun ingin beli baju atau sepatu baru, yang lama harus dibuang dulu. Ingin travelling, tidak semaruk dulu yang tiap bulan selalu keluar Denmark. Senangnya, keluarga saya yang sekarang gila travelling. Meskipun harus 'business trip' ikut mereka, tapi setidaknya saya bisa dibawa ke tempat-tempat cantiklesser-known di sudut kecil Eropa. Gratis!

Saya juga lagi malas nongkrong di kafe atau restoran di Oslo. Kualitas makanan disini biasa saja, menurut saya. There is no point wasting money for bad quality food. Tidak seperti di Kopenhagen yang dulunya harus mencoba tempat baru setiap akhir pekan. Pernah saya singgung juga kan, kalau Kopenhagen itu memang tempatnya anak nongkrong dan buang duit!

Oh, meskipun uang saku di Norwegia dan Denmark terlihat besar, namun jangan berharap uang tersebut mampu menutupi jaminan visa pelajar. Tahu kan, kalau kita niat lanjut sekolah di Eropa, kita harus menyertakan bukti finansial sekitar 8000-12000 Euro pertahun sebagai syarat administrasi. Tanpa bantuan finansial dari keluarga atau sponsor, uang saku au pair tidak akan mampu menutupi besarnya biaya tersebut.

Sekali lagi, uang saku mu adalah hak kamu. Mau digunakan untuk apa ya terserah. Toh sudah kerja berat ini juga merawat rumah dan anak orang, boleh-boleh saja memanjakan kaki travelling ke tempat baru atau sekedar beli scarf lucu untuk musim gugur . We deserve it indeed! Tapi, tidak ada salahnya juga belajar mengatur dan merencanakan keuangan selagi masih muda. Untuk modal usaha atau investasi di Indonesia mungkin? 😊

Kalian sendiri bagaimana, ada tip mengelola keuangan saat masih 20-an?

Tips Haruskah Bule?|Fashion Style

Minggu lalu seorang teman au pair cerita ke saya tentang teman-teman Indonesianya yang super nosy. Intinya mereka iri karena si teman saya ini punya pacar bule, bisa ke Eropa karena program au pair, dan Instagramnya dipenuhi foto-foto keren di banyak negara. Pokoknya tipe-tipe sohib bermuka dua yang iri saat temannya sukses lebih dulu.

Kalau ingat cerita si teman au pair ini, saya jadi bersyukur karena teman-teman saya di Palembang tidak ada satu pun yang nosy begitu. Mereka rata-rata sudah menikah tak lama dari lulus kuliah dan fokus dengan kehidupan sendiri-sendiri. Pun yang belum menikah, kebanyakan sudah punya pacar. Apa yang mesti dicemburui dari saya yang bisa berkencan dengan cowok bule , misalnya?

Ngomong-ngomong soal bule, saya sama sekali tidak pernah merasa lucky juga bisa berkencan dengan para cowok kulit putih ini. I have no option, but I have a chance. That's all!

Kalau mau bicara tipe—tsaahh—saya sebetulnya masih suka dengan cowok bermuka oriental. Saya lahir di tahun 90-an saat era Jimmy Lin, Aaron Kwok, atau Andy Lau lagi hits. Ya ala-ala cowok berambut halus berbelah tengah dan bermuka kyut yang selalu menghiasi layar kaca dari siang sampai malam.

Karena juga tinggal di kawasan pecinan, saya merasa selalu diikuti bayang-bayang para artis tersebut. Ke tukang salon, ada poster Jimmy Lin. Ke pasar, di dindingnya ada gambar Andy Lau. Lewat depan rumah Om Apeng, lagunya siapa entahlah berbahasa Mandarin selalu dipasang.

Masuk tahun 2000-an, Meteor Garden tiba-tibabooming dan semua cewek sepertinya mengidolakan F4. Tak terkecuali saya dan teman-teman SD yang mulai genit. Idola saya saat itu si Koko Hua Zhe Lei yang pendiam dan misterius. Muka-muka F4 pun ada dimana-mana saking terkenalnya. Ke rumah sepupu, poster Jerry Yan sebesar pintu kamar terpajang. Ke sekolah, tukang jualan belakang SD semarak berjualan pernak-pernik F4. Ke toko, lagu-lagu Meteor Garden dan F4 berulang kali diputar. Duh!

Saat SMP, technology-generation manga dan dorama Jepang mulai mengimbangi drama Taiwan. Saya pun ikut membayangkan cowok-cowok ganteng di dalam komik yang mukanya hanya hitam putih. Tak lama kemudian, muncul juga Takashi Kashiwabara dan Hideaki Takizawa yang memberikan ide betapa kyutnya para cowok Jepang di dunia nyata.

Tahun 2005, teman-teman SMA saya mulai seru membahas drama Korea dengan aktor-aktor bermata sipit berwujud pangeran. Sebut saja Rain, Jae Hee, Ju Ji-hoon atau yang terakhir kali Super Junior. Setelah masuk kuliah, saya mulai meninggalkan para pangeran karena demam Korea mewabah dan sudah terlalu mainstream. Saya sampai bosan sendiri mendengar K-Pop dimana-mana. Plus, selera cewek-cewek Indonesia mulai tidak realistis berkiblat ke para cowok kaya, romantis, dan nan tampan yang ada di drama Korea.

Tidak ada nama Westlife, Zac Efron, Justin Timberlake, apalagi Justin Bieber yang pernah saya kagumi. Nope. No white guys. Bahkan saat zamannya telenovela Amigos x siempre (2000), saya absen mengidolakan si Pedro a.k.a Martin Ricca yang sering jadi imajinasi teman-teman sebaya saya.

Jujur saja, tipe cowok saya dulu memang mengikuti tren para aktor Asia yang saling berganti masa menghiasi tv. Kalau mau dirunut pun, gebetan dan mantan pacar saya juga mukanya rata-rata oriental dengan karakter misterius.

Lalu kenapa sekarang gebetannya bule semua?

Lha, karena saya tinggal di Eropa! Kanan kiri warnanya putih, bermata biru, berambut kuning. Ingin cari yang mukanya oriental, di Skandinavia ini kok susah ya? Apalagi yang mukanya totok Indonesia. Sekalinya ada, kalau bukan bapak orang, ya suami orang. Kalaupun ada yang sepantaran, sudah punya pacar atau tidak cocok saja.

Jadi kalau kamu tanya kenapa rata-rata au pair Indonesia di Eropa bisa punya pacar bule , sebetulnya hanya karena mereka punya kesempatan bertemu. Bisa tahu juga mana yang benaran tampan dan mana yang biasa saja. Tak seperti di Indonesia yang semua bule dipukul rata ganteng semua. Si bule itu pun harusnya lucky bisa mendapatkan cewek Indonesia yang pinter masak, independent, jenaka, dan soft-spoken!

Saya tidak punya pilihan kalau mau bicara tipe. Meskipun, kadang rindu juga cowok-cowok Asia yangmanner-nya masih sama dengan Indonesia. Kencan terbaik saya di Eropa pun sebetulnya bersama cowok Korea-Amerika yang saat itu sedangbusiness trip di Kopenhagen. Dari humor sampai basa-basi super nyambung.

Ya kembali lagi, terserah kamu inginnya punya pacar asli Indonesia, Korea, Uzbekistan, Swedia, atau Kanada. Hanya saja, don't worship white guys that much! They're not exclusive at all. Mereka juga banyak yang miskin, kampungan, bodoh, bau badan, dan sombong. Tinggalkan juga kesan negatif kalau yang pacaran dengan bule hanya melihat visa dan harta. Some do. But most of them are just falling in love!