Friday, May 15, 2020

Tips Pindah ke Swiss|Fashion Style

"Nin, do you need to transport with us to Switzerland?"

Menurut saya, kekayaan itu adalah salah satu privilege yang bisa mendekatkan kita pada impian. Sama halnya dengan host family saya ini. Awal tahun lalu saya dibuat kaget dengan kabar besar yang mereka sampaikan, "we are going to move to Swizerland!" kata host mom saya sumringah.

Hah???!!! Rencana dari kapan? Kapan pindahnya?

Tiba-tiba. Iya, rencana pindahnya tiba-tiba, tapi impian pindahnya sudah lama. Dari sejak host mom dan host dad saya bertemu, mereka ternyata sama-sama punya impian untuk tinggal di Pegunungan Alpen. Tadinya ingin menunggu anak-anak mereka remaja, tapi setelah berdiskusi panjang lebar, mereka memutuskan untuk pindah akhir tahun ini ke Zermatt, Swiss.

"It's easier for kids when they're young. Jadinya mereka nanti bisa belajar 3 bahasa baru secara cepat; Jerman, Prancis, dan Inggris," tambah host mom.

Zermatt, desa kecil di atas Pegunungan Alpen yang berdekatan dengan Italia, adalah tempat favorit mereka ber-ski saat musim dingin. Katanya dulu mereka hampir mengadakan pesta pernikahan disana, hingga diubah ke Prancis Selatan. Tapi tak heran mengapa yang dipilih Swiss. Selain sama-sama negara mahal, pajak di Swiss malah lebih rendah dari Norwegia meskipun biaya hidupnya tinggi. Tak rugilah jika harus pindah dari negara sekaya Norwegia.

Proses kepindahan ini pun berjalan dengan sangat cepat. Maret lalu, mereka sudah deal membeli rumah di Zermatt yang harganya hampir 8 juta Franc atau lebih dari Rp100 miliar. Mungkin "tak seberapa", mengingat di Indonesia harga rumah seharga itu juga ada. Tapi yang berbeda, rumah di Pegunungan Alpen tentu saja lebih high-end ketimbang yang ada di perkotaan besar di Indonesia.

Awal tahun lalu pun, saya beruntung diajak 'dinas' ke Zermatt. Mendengar namanya saja sudah asing bagitraveler musiman seperti saya ini. Di Swiss saya tahunya hanya Luzern, Zürich, Bern, atau Interlaken. Tapi setelah diajak ke Zermatt, seriously saying, this IS the real Switzerland yang selama ini memang ada di otak saya. Zürich? Jauuuhh! Luzern? Masih kalah! Interlaken? Mainstream!

Bagi yang belum pernah mendengar Zermatt, pasti akan kenal kalau saya menyebut cokelat Toblerone. Gambar yang ada di kemasan cokelat sebetulnya adalah Gunung Matterhoorn di Zermatt, sementara gambar beruang di sampingnya adalah coat of army Bern, kota dimana produk tersebut berasal.

Saya juga mengerti mengapa host family saya memilih tempat ini sebagai rumah baru mereka karena Zermatt is a special place! Desa ini terletak di kaki Gunung Matterhoorn yang memang terkenal di kalangan beberapa turis untuk olahraga ski. Tempatnya suuuper bersih dan hampir tidak ada polusi. Bagaimana tidak, di desa ini penduduknya tidak boleh mempunyai mobil pribadi, kecuali para pemilik toko. Mobil yang ada pun berukuran kecil bermesin elektrik karena semua tempat sebetulnya bisa diakses dengan berjalan kaki ataupun sepeda.

FYI, dari kecil, saya memang fans berat Swiss gara-gara sering nonton iklan Alpenliebe. Jingle iklannya pun sampai sekarang masih terngiang di kepala saya. Bahkan sepenggal kata-katanya, ".... terciptalah.... dari Pegunungan Alpen..." dan gambaran Pegunungan Alpen berumput hijau serta sapi-sapinya yang menge-moo. Padahal permen Alpenliebe sendiri produknya Italia, lho! Mungkin Pegunungan Alpen yang waktu itu ada di iklan memang ada di Italia, ya. Saya memang datang kesini saat musim dingin, tapi gambaran Zermatt di musim semi yang gambarnya ditunjukkan host dad adalah wujud nyata imajinasi saya tentang Swiss selama ini.

Ngomong-ngomong, meskipun datang kesini bukan untuk ber-ski, tapi saya punya kesempatan langka naik cable car tertinggi di Eropa yang mencapai ketinggian 3883 meter di atas permukaan laut. Menariknya lagi, cable car ini berteknologi 3S dengan empat sisi kaca berlapis kristal Swarovski. Saya bisa melihat hamparan salju menyelimuti Pegunungan Alpen sampai 360°!

Anyway, kembali lagi, karena Swiss adalah negara mahal, pindah kesini pasti butuh persiapan finansial ekstra. Selain harus menjual 2 rumah di Norwegia, host family saya juga harus give up dengan semua pekerjaan yang mereka miliki di sini. Yang saya tahu, mereka juga sudah siap membangun bisnis properti baru yang akan dijalani di Zermatt. Again, kalau tidak punya banyak uang, mana mungkin berani berencana secara spontan seperti ini.

Apalagi keluarga angkat saya merasa pindahan kali ini hanya sebagai trial seberapa betah mereka dengan kehidupan baru. Lima tahun adalah waktu yang akan mereka coba. “Ya kalau tidak betah, kami bisa pindah lagi ke Norwegia dan beli rumah baru di Oslo,” kata host mom santai.

Ohh, kalimat pembuka saya di postingan ini sebetulnya sempat ditanyakan host mom secara basa-basi. Untungnya, saat itu mereka tahu kalau saya berencana kuliah lagi di Norwegia . Lagipula Swiss sudah menutup kemungkinan orang Asia bisa jadi au pair disana. Yang paling penting, I am fed up of being au pair!

If you may stay anywhere within the international, where could you stay?

Tips Finding My Thor|Fashion Style

"Nin, have you found your Thor?" tanya Michi kepo beberapa waktu lalu.

Thor, dalam mitologi Nordik kuno adalah seorang Dewa Petir, anak dari Dewa Odin dan Raksasa Jord. Di dalam Marvel Comics, Thor disebut berasal dari Asgard yang merupakan wilayah bagian Troms di Norwegia Utara. Karena saat itu sedang hebohnya film trilogi Thor di bioskop, Michi mungkin ingin mengaitkan dengan progresskisah percintaan saya di Norwegia.

Sebetulnya saya lagi malas membahas soal personal, apalagi yang berhubungan dengan lelaki. Tapi karena berulang kali menyebut namanya di postingan terdahulu , tak ada salahnya saya perkenalkan cowok Norwegia yang saya panggil Mumu ini. Kalau di Denmark saya pernah cerita soal Bunny , cerita saya di Norwegia mungkin tak akan pernah lepas dari Mumu.

Mumu adalah cowok yang saya kenal Desember 2018 lalu via Tinder. Yayaya.. online dating lagi. (Coba baca disini kenapa ujung-ujungnya bule lagi bule lagi!) Sebetulnya, saya juga sudah lelah dengan dating scene di Eropa dan lama berusaha menarik diri dari episode kencan lainnya. Satu hari, karena penasaran dengan karakter cowok Norwegiasekilas di dunia maya, saya unduh kembali lagi aplikasi ini sebagai riset singkat. Baru sehari dibuka, saya rasanya minder melihat profil cowok-cowok Oslo yang hampir semuanya out of my league.

Bukan apa, host family saya ini juga pasangan muda yang kehidupan sosialnya luar biasa luas. Banyak teman dekat mereka yang sering saya perhatikan punya gaya hampir sama; mapan, profesional, dan keren! Seragam ternyata dengan cowok-cowok asli Norwegia yang saya lihat di Tinder karena gaya hidupnya tak jauh dari alam dan olahraga mahal. Semua profil cowok-cowok muda Oslo ini pasti tak pernah absen dari foto-foto kegiatan luar ruangan yang memamerkan gaya hidup ala friluftsliv atau dekat dengan alam. Tak hanya cowok lokal, cowok asing pun seperti punya syarat yang sama untuk ikut pamer kegiatan outdoor kalau tak ingin dicap membosankan oleh cewek lokal.

Me, as a lazy Indonesian, boro-boro bisa ski, jalan kaki saja baru tahan kalau hanya terpaksa. Apalagi saya mendengar bahwa strata sosial di kota-kota besar di Norwegia ini begitu terasa. Cowok mapan nan sukses, pastinya juga mencari pendamping yang setidaknya punya hobi seragam atau pekerjaan bagus. Karena selain pendamping, orang-orang Norwegia juga berusaha mencari networking yang luas. Lha saya, dari hobi saja sudah tak sama, apalagi karir. Jadinya minder sendiri kan.

Hari ke-5 buka Tinder, keseragaman yang ada terasa membosankan. Hampir saja saya hapus aplikasi kencan ini, sampai akhirnya berlabuh ke profil cowok berfoto dua biji yang tak ada sisi-sisi Norwegianya sama sekali. Profilnya pakai bahasa lokal hanya tertulis "mencari keseriusan" dan dua foto selfie tanpa latar belakang lautan, gunung, atau Pegunungan Alpen. Penasaran juga apakah orang ini hanya imigran Eropa lain ataukah memang wujud dari sebuah ketidakseragaman yang sering saya lihat di Tinder.

Karena tidak ingin langsung swipe, saya tutup dulu aplikasi Tinder dan buka lagi besoknya. Eh, profil dia masih disana. Swipe left, but he seemed nice (yet nerd). Hmmm.. I am not a perfect woman either. Swipe right then!

Aaaaannnddd.... Here we are now!

Dia asli orang Norwegia. Setelah 8 bulan kenal, saya tak menyesal dengan ketidakseragamannya karena merasahe is the sweetest guy I have ever met in Europe!Doi bisa saja tiba-tiba membawakan bunga tanpa diminta, melakukan banyak hal atas inisiatif sendiri, serta membaca kode murahan saya yang kebanyakan cowok tak peka.

Doi memang bukan tipikal the real Norwegian yang tergila-gila dengan olahraga mahal. Sure, dia bisa ski, karena memang itu bakat alami orang Norwegia. Tapi Mumu tidak seperti teman-teman host family saya yang hampir semua olahraga dilakoni; mulai dari berlayar sampai main golf. Doi cowok kampung yang gaya hidupnya malah lebih mirip orang Denmark; santai dan lebih menikmati quality time bersama orang terdekat. Ketimbang menekuni olahraga tertentu, Mumu lebih tertarik dengan sejarah dan penemuan tua. Tak heran mengapa doi tak keberatan diajak ke museum sampai membeli metal detector demi hobinya menemukan koin-koin tua di bawah tanah. Karena kesederhanaannya inilah, saya merasa tak terdoktrin untuk jadi sporty dan aktif layaknya orang-orang lokal demi menemukan pasangan lewat media daring.

Seperti cowok-cowok Norwegia juga pada umumnya, Mumu adalah family man yang sangat memprioritaskan keluarga di atas segalanya. Doi juga pecinta binatang yang tidak akan berani membunuh lebah sekali pun. Saya lagi-lagi serasa bertemu the softest guy ever! Satu lagi, Mumu ini sangat pintar bersih-bersih. Seperti punya OCD, bisa dibilang! Cara menyusun dishwasher ada tekniknya. Cara melipat baju ada seninya. Cara mengelap debu pun harus ada etikanya. He's better than all of us, I bet!

Saya tahu Mumu menjadi spesial karena saya sudah malas mengenal cowok lain dan menghapus Tinder beberapa minggu setelahnya. He's more than a special one, karena dia juga adalah teman di waktu senggang.

Thursday, May 14, 2020

Tips Berapa Usia yang Tepat Mulai Au Pair?|Fashion Style

Lima tahun lalu, saya memulai petualangan pertama di Eropa dengan menjadi au pair di Belgia . Dulu masih banyak yang belum tahu program pertukaran budaya ini. Kalau pun tahu, biasanya informasi lebih cepat menyebar di kota-kota besar di Indonesia. Sementara saya, anak daerah, tidak pernah tahu apa itu au pair sebelum menemukan situs Au Pair World tanpa sengaja.

Saat itu usia saya 22 tahun dan masih berstatus mahasiswi semester akhir di Universitas Sriwijaya. Bisa dikatakan, karena au pair ini juga saya makin semangat mengerjakan skripsi dan ingin segera wisuda. Kontrak au pair pertama saya dimulai Maret 2014 dan saya mengejar wisuda di bulan Januari di tahun yang sama. Terima kasih teman-teman almamater atas dukungannya!

I was so lucky knowing au pair program in a perfect time! Saat itu saya memang belum ingin cari kerja dan muak dengan bangku kuliah. Makanya program ini seperti membuka lembaran dan tantangan baru dalam hidup saya dalam mengisi gap year setelah lulus. Sekarang, setelah 5 tahun tinggal di Eropa dan statusnya masih jadi au pair, saya tidak pernah menyesal pernah memulainya di usia yang tepat.

Menurut pendapat saya, jenjang usia yang paling tepat jadi au pair pertama kali adalah 20-24 tahun. Meskipun syarat umur au pair antara 18-30 tahun (tergantung negara masing-masing), namun memulai au pair di usia late 20s juga cukup riskan. Mengapa, karena kalau kita ada masalah dengan host family dan harus ganti keluarga saat sudah overaged, aplikasi kita akan ditolak dan mau tidak harus segera angkat kaki dari negara tersebut.

Alasan saya yang lain, di usia 20-24 tahun ini kebanyakan dari kita sudah lulus kuliah atau SMA dan memiliki pengalaman kerja. Yang saya tahu, banyak keluarga Eropa lebih mempertimbangkan au pairearly to mid 20s dibandingkan anak-anak baru lulus SMA. Selain tidak ada pengalaman yang signifikan, abege tua biasanya dianggap lebih emosian dan labil.

Sementara bagi host family yang punya anak bayi, kebanyakan mencari calon au pair >24 tahun yang dianggap cukup dewasa jadi orang tua ketiga dan mampu menghadapi ketidakstabilan emosi anak kecil. Saya merasa, di jenjang usia 20-24 tahun ini juga, kita bisa lebih matang memikirkan strategi ke depannya seperti apa. Ingin lanjut au pair beberapa kali lagi kah, ingin lanjut kuliah, atau ingin pulang ke Indonesia untuk cari kerja.

Beberapa teman saya yang baru mulai jadi au pair di usia late 20s kebanyakan merasa menyesal mengapa baru tahu au pair di usia segitu. Selain kesempatan jadi au pair di banyak negara semakin kecil, planning yang direncanakan setelahnya pun kurang matang. Mengapa, karena kebanyakan au pair tidak hanya cukup setahun tinggal di Eropa. Ada perasaan "ketagihan" ingin coba jadi au pair lagi di negara lain.

Tapi, tidak ada kata terlambat. Apalagi informasi umum tentang au pair ini memang tidak mudah didapat kecuali kalian digging sendiri. Belum lagi alasan terbesar lain adalah terhambatnya izin orang tua . Kalau baru tahu au pair saat usia 28 dan kebetulan memang ada host family yang tertarik, just go for it!You ARE still young anyway! Baca juga postingan saya ini mengapa kamu harus coba jadi au pair di usia 20-an!

Saran saya, bagi yang tertarik jadi au pair setelah lulus SMA, coba tahan dulu untuk cari kerja selama 2-3 tahun di Indonesia. Lumayan, pengalaman ini bisa memperbagus CV dan membuktikan ke calon host family bahwa kamu adalah orang yang independen dan bertanggungjawab. Kalau belum dapat pekerjaan, coba juga sekalian kursus bahasa baru yang negaranya ingin kamu kunjungi. Siapa tahu, selepas au pair kamu bisa cari kerja atau lanjut kuliah S1 di Eropa.

Yang sudah punya karir bagus di Indonesia, jangan juga sampai salah langkah. Foto-foto traveling keren ala au pair yang kalian lihat di media sosial itu hanyalah kamuflase belaka. Kenyataannya, au pair itu harus bisa jadi cewek serba bisa dan fleksibel mulai dari jemput anak sampai ngosek WC yang tidak mungkin ditampilkan di media sosial. Yakinlah, au pair is not a fairytale. Cerita buruk di dalamnya juga banyak, apalagi kalau sial dapat keluarga angkat yang jahat. Kalau penasaran ingin tinggal di luar negeri, mungkin bisa pilih homestay ketimbang jadi au pair. Takutnya, sudah melepaskan karir yang bagus tapi baru merasa kalau au pair bukanlah hal yang kamu cari. Please do A LOT of research before starting!

Bagi yang baru tahu au pair belakangan ini dan hampir mendekati usia 30 tahun, that's totally okay to start looking for your potential host families! Ada banyak negara yang masih membuka kesempatan au pair sampai usia 30 tahun, yang penting belum menikah dan punya anak. Bingung ingin kemana? Coba baca referensi saya disini ! Baca juga 7 tips ini agar profil kamu dilirik calon keluarga!

Being an au pair is (definitely) the easiest way to fly you to Europe, yet the hardest way to figure out what to do next !

Tips Mencoba Hyttetur: Rekreasi Tradisional ke Kabin A la Orang Norwegia |Fashion Style

Yang saya suka tinggal di Norwegia, meskipun negaranya sudah modern dan kaya raya, namun orang lokalnya tak pernah melupakan sisi tradisional mereka. Gaya hidupfriluftsliv yang berarti outdoor life atau menyatu dengan alam, membuat orang Norwegia sangat mencintai, merawat, serta menikmati alam mereka yang luar biasa indah dengan semaksimal mungkin.

Salah satu kebiasaan alami orang Norwegia adalah melakukan hyttetur atau cabin tour sepanjang tahun. Kalau orang lain biasanya ingin menghabiskan akhir pekan di mol atau keluar negeri demi weekend break, orang Norwegia justru melipir dari hiruk pikuk kota menuju hutan atau gunung yang tenang bersama keluarga atau handai taulan. Di tempat yang jauh dari kebisingan ini, mereka akan tinggal di kabin kayu sederhana hanya untuk rehat dari modernisasi sekalian bercengkrama dengan alam. Kalau di Indonesia, hyttetur mirip perjalanan dari Jakarta atau Bandung menuju villa di puncak. Bedanya di Norwegia, kegiatan ini tak hanya milik orang Oslo, tapi sudah jadi kultur lokal.

FYI, orang-orang yang memiliki finansial berlebih biasanya menjadikan kabin sebagai rumah kedua. Tak heran mengapa memiliki kabin sendiri di Norwegia ibarat mimpi bagi sebagian orang. Apalagi membangun kabin from the scratch butuh persiapan keuangan yang matang mengingat harga tanah di Norwegia semakin mahal. Makanya kebanyakan keluarga yang memiliki kabin in the middle of nowhere dan jauh dari kota besar memang keluarga menengah ke atas.

Sebetulnya saya sudah sering ikut host family hyttetur ke kabin di Hemsedal . Tapi karena judulnya 'dinas', saya kurang menikmati semua aktifitas disana. Suatu hari, seorang kenalan Indonesia yang juga au pair di Islandia, Tirta, berniat datang ke Norwegia hanya untuk mengunjungi saya. (Aduh, serasa artis!) Tirta sudah bosan dengan vegetasi alam Islandia yang flat dan tak berhutan. "Aku kangen ingin lihat hutan dan pohon!" katanya saat itu.

Jadi, daripada saya hanya mengajak Tirta jalan-jalan di sekitar Oslo (yang membosankan ini), saya ajukan ide nge-trip ke kabin ala orang Norwegia bersama Mumu yang ternyata disetujui dengan excited! Rencananya kami akan pakai mobil Mumu, doi juga yang menyetir, lalu nanti semua pengeluaran dibagi bersama. Saya juga akhirnya diberi kabar bahwa Tirta datang tak sendirian, tapi bersama Smári, si pacar. More people merrier, makanya saya ajukan usulan trip ini ke teman lainnya. Dari yang tadinya ada 5 orang yang juga excited diajak, ending-nya (tetap saja), hanya saya, Mumu, Tirta, dan Smári yang berangkat.

Mencari kabin sepenjuru Norwegia sebetulnya tak terlalu sulit karena selain milik pribadi, banyak juga kabin yang disewakan untuk umum. Tapi, mencari kabin tradisional yang sering digunakan orang Norwegia untuk hyttetur punya syarat tertentu. Umumnya kabin yang disewakan terletak di pegunungan, hutan, dekat laut, atau pinggir jalan, nyaris in the middle of nowhere. Kabin ini juga tidak termasuk bangunan temporary yang disewakan di area camping site.

Untuk merasakan atmosfir cozy dan dekat dengan alam, saya sarankan menyewa kabin dari situs inatur atau DNT yang menyediakan banyak opsi untuk satu atau dua malam. Yang saya suka juga, kedua situs ini menyediakan banyak kabin tradisional di daerah hidden gems yang tak terlalu populer dan memang cocok untuk hyttetur.

Perlu dilihat juga detail setiap kabin karena banyak kabin di Norwegia disewakan dengan harga murah, namun tanpa listrik, air, dan toilet. Zaman dahulu orang-orang lokal hanya menggunakan penerangan dari lilin, air dari hasil lelehan salju, dan toilet kompos yang berada di luar atau disebut utedo. Sampai sekarang jenis kabin seperti ini masih banyak jumlahnya meskipun beberapa pemilik juga merenovasi ulang agar lebih modern.

Karena malas dengan segala aspek tradisionalitas yang masih eksis, saya dan Mumu sepakat untuk menyewa satu kabin selama 2 malam yang memiliki kamar mandi, toilet air, dan listrik. Mencarinya pun lumayan sulit karena kami juga tak mau bepergian terlampau jauh lebih dari 3 jam. Untuk yang akan berangkat dari Oslo, coba cari kabin di sekitar daerah Buskerud, Akershus, Østfold, atau Telemark, agar tak terlalu lama menyetir.

Selain itu, pencarian makin menyempit karena kami juga mencari kabin yang bisa check-out lebih siang. We just didn't want to wake up early on Sunday morning for checking-out. That's all! Banyak maunya memang.

Setelah proses pencarian, saya menemukan satu kabin lengkap yang bisa check-out sampai jam 3 sore! Letaknya di Nissedal, sekitar 3 jam-an naik mobil dari Oslo. Harganya NOK 990 per malam dan bisa sharing kalau kebetulan bawa teman banyak. Fasilitasnya lengkap seperti rumah biasa. Dapurnya sudah tersedia semua peralatan masak dan makan, kompor, dan oven.

Kabin ini adalah model nyaris sempurna yang masih menerapkan sisi tradisional Norwegia tanpa perlu membuat kami repot harus menimba atau bawa air dari luar dulu. Asiknya lagi, letaknya tepat di sisi danau yang memang jadi preferensi saya sejak awal! Perahu kecil juga disediakan bagi tamu yang ingin mengarungi danau dengan cara mendayung. Isn't it romantic and intimate? Kami berempat mencoba perahu sampai ke tengah danau dan mendapati tak ada bunyi sedikit pun disana. Oohh, our souls, tenteramnya.

Selain punya 2 kamar tidur yang muat sampai 6 orang di kabin utama, ada juga annex atau kabin kecil tambahan berisi tempat tidur yang muat 4 orang. Tambah seru kalau kebetulan bawa teman banyak dan ingin sharing cost! Apalagi kabinnya juga sederhana, tanpa tv, dan Wi-Fi. Tempat ini sesungguhnya adalah tempat ideal untuk menarik diri dari dunia maya dan hiruk pikuk dunia luar karena sering kali memang hilang sinyal. Asik kan bisa leluasa mengobrol tanpa gangguan ponsel?!

Yang perlu diingat, hyttetur bagi orang Norwegia adalah kesempatan me-recharge kebersamaan dengan orang terdekat sambil bertukar cerita. Setiap hari hanya makan tidur di kabin pasti akan membosankan. Makanya jangan lupa membawa kartu main, wine atau bir untuk teman mengobrol, dan memanfaatkan alam yang ada di sekitar kabin. Bersiap juga kalau ternyata sedang hujan dan tak banyak yang bisa dilakukan di luar!

Pilihlah kabin di sekitar pegunungan jika tertarik hiking dan berburu, atau kabin di dekat perairan jika ingin memancing di musim panas. Di musim dingin, orang-orang Norwegia lari ke ski resort atau kabin di daerah pegunungan untuk main ski, atau menyepi sebentar ke hutan kalau ingin cross country skiing. Manfaatkan juga fasilitas kabin yang tersedia seperti kapal atau alat pancing karena biasanya disediakan juga oleh pemilik kabin. Yang pasti, sepanjang tahun adalah waktu yang tepat mencoba hyttetur karena atmosfir yang terasa sama epiknya.

"Woke up like this" - Tirta

Karena sudah sering mondar-mandir hyttetur dengan orang Norwegianya asli, saya sangat menyarankan trip ke kabin ini bagi kalian yang sedang tinggal atau ingin ke Norwegia! Seriously saying, you won't get 'anything' by visiting Oslo only. Norwegia tak hanya fjord dan desa nelayannya, tapi juga hutan yang rindang serta gunungnya yang picturesque!

Kalau mampir ke Norwegia dalam waktu sedikit panjang, coba sekalian kombinasikan perjalanan dengan trip ke kabin. Tapi, perjalanan ini juga butuh persiapan karena kabin bukanlah sekedar tempat persinggahan. Rencanakan dari jauh hari, ingin mencoba aktifitas apa selain menginap di kabin, serta preferensi kabin seperti apa yang diinginkan. Kunci nge-trip di Norwegia; more people merrier, karena sesungguhnya tak ada trip yang murah tanpa sharing cost!

Tips lain dari saya:

  1. Pilihlah kabin yang sesuai dengan budget dan preferensi! Baca semua detail dengan teliti dan cek apakah kabin tersebut punya toilet di luar (utedo) atau di dalam (WC). Toilet di luar bisa jadi letaknya sekitar 20-50 meter dari kabin dan hanya 'dibilas' dengan serbuk kayu. Beberapa kabin juga tak punya listrik sehingga satu-satunya penerangan hanya berupa lilin atau pemanas dari tenaga matahari. Satu lagi, kebanyakan kabin juga tak punya air sehingga kita harus membawa air minum sendiri dari luar, ambil di danau, pompa sungai, atau air lelehan salju.
  2. Selalu cek prakiraan cuaca sebelum mulai perjalanan! Cuaca di Norwegia sering kali berubah dan tak menentu. Selalu siap baju hangat, sepatu yang nyaman, serta jaket hujan meskipun matahari di luar terang benderang.
  3. Jaga kebersihan kabin dengan memvakum lantai sebelum check-out serta membersihkan toilet jika masih ada noda. Cabin is not a hotel where you could litter and somebody picks it up! Buang segala sampah yang kita tinggalkan dan jangan merokok di area berkayu!

Tertarik mencoba hyttetur di Norwegia? You should, because it's worth to try!

Tips Tentang Jurusan Kuliah dan Mengapa|Fashion Style

Selain berstatus sebagai au pair di Norwegia, saya baru saja tercatat sebagai mahasiswi S-2 di Universitas Oslo untuk program studi Entrepreneurship. Bagi yang terpikir dengan program studi ini, pasti mengira saya kuliah bisnis, padahal S-1 saya kemarin dari Fisika.

Di Universitas Oslo, Entrepreneurship justru bukan masuk Departemen Ekonomi dan Bisnis, melainkan Departemen Informatika, di bawah naungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Program studi ini unik karena menjembatani ilmu pengetahuan alam dan bisnis yang diharapkan mahasiswanya bisa berinovasi memulai dan mengembangkanstartup baru yang berhubungan dengan sains dan teknologi. Makanya tak heran kalau saingan masuk program ini cukup banyak karena pendaftar yang diterima mencakup semua lulusan sains, dari ilmu kedokteran sampai ilmu teknik.

Saya beruntung diterima di program studi ini karena memang sangat tertarik dengan kurikulum kuliahnya. Selain teori, mahasiswa juga diwajibkan untuk lebih banyak kerja kelompok sebagai nilai tambah dan mengikuti program magang di tahun kedua. Bagi saya yang suka kerja di dalam tim, berpikir ide baru, tertarik dengan teknologi, serta bosan dengan kuliah yang hanya bersifat teori, program ini seperti wadah yang memang saya cari. Apalagi sebetulnya saya memang sudah terpikir untuk membuka bisnis di Palembang, lama sebelum saya diterima masuk di kampus ini. Hanya saja, saya sadar bahwa bakat marketing saya sangatlah tidak bagus, mirip seperti ibu saya yang maju mundur kalau berdagang.

Melihat latar belakang keluarga saya, sebetulnya kami bukanlah keluarga pebisnis. Dari semua anggota keluarga, hanya saya yang sampai kuliah masuk ke jurusan IPA. Semua saudara saya mengambil jurusan Hukum dengan niat mengikuti jejak mendiang ayah sebagai praktisi hukum. Hingga akhirnya adik saya mendapatkan beasiswa ke Cina dan pindah ke jurusan Hotel Management.

Darah pedagang sebetulnya datang dari keluarga ibu. Sudah lama nenek dan kakek saya berurbanisasi ke Palembang, membeli tanah, membuka lahan untuk ditanami sayuran, lalu hasil panennya dititipkan ke warung-warung kecil. Karena ketertarikan dengan transaksi jual beli inilah, dari umur 11 tahun saya sudah “punya” warung sendiri yang dimodali orang tua. Barang dagangan pun hingga saat itu berubah-ubah dari jualan makanan, hiasan rambut kupu-kupu, stiker, isi kertas binder, kerajin tangan dari kain flanel yang saya buat sendiri, kosmetik, hingga baju bekas. Sayangnya, tak ada yang bertahan lama karena saya tak bisa promosi dan ogah-ogahan.

Kalau mau jujur, sebetulnya sampai sekarang saya masih bermimpi ingin masuk sekolah desain dan jadi desainer. Bakat seni ini lahirnya dari keluarga ayah saya. Sewaktu tinggal di Denmark, saya seperti menemukan tempat sempurna karena berada di surganya para desainer ternama. Tak banyak yang tahu kan kalau Denmark sangat terkenal dengan desain perabotnya yang berkarakteristik, minimalis, dan elegan serta arsitektur bangunannya yang keren? Coba google daftar karya Bjarke Ingels atau Finn Juhl! Dari sini, saya mulai sering datang ke Meetup para desainer, ikut kelas desain , dan terinspirasi belajar desain UX (User Experience) karena pekerjaan jadi desainer UX lagi hot di era digital ini. Banyak pengalaman dan motivasi yang saya dapatkan sampai terpikir untuk belajar UX secara otodidak. Sayangnya, saya bukan tipikal orang yang bisa belajar sendiri tanpa bantuan mentor dan teman sekelas. I'd lose the conservative atmosphere, makanya sampai sekarang belum berani bayar kursus online.

Pindah ke Norwegia, saya sadar betul bahwa tempat ini bukanlah lapak yang bagus bagi para desainer. Napas industri Norwegia masih dikendalikan secara penuh oleh minyak, gas bumi, dan perikanan. Tapi sejak tahun 2015, Norwegia perlahan ingin menumbuhkan citra baru sebagai negara maju yang melek teknologi dan inovasi dalam bisnis. Tak heran mengapa negara ini sangat optimis untuk menjadi pasarfintech terbesar sedunia beberapa tahun ke depan. Meskipun belum banyak perusahaan startup yang menjamur, tapi para investor semakin loyal mengucurkan dana bagi para perusahaan startup ternama untuk mengembangkan bisnisnya. Menariknya lagi, Norwegia juga terus menumbuhkan awareness terhadap kesehatan bumi untuk selalu berinovasi menelurkan produk yang ramah lingkungan.

Dari situlah makanya saya berpikir untuk mengambil program studi yang berkorelasi dengan perkembangan industri di sini. Dulu saya sempat disarankan oleh seorang cewek Moldova untuk jauh-jauh dari program studi ini karena lulusannya sudah membludak. "Too many people took Entrepeneurship program sampai tidak ada lapak pekerjaannya," katanya. I was just like, "seriously?!" Ngomong-ngomong, cewek Moldova ini juga yang dulunya sedikit skeptis dengan peluang saya diterima di kampus Norwegia .

Padahal untuk diterima kuliah Master di program ini pendaftar harus menyertakan CV dan surat motivasi sebagai syarat tambahan. Saya yang 5 tahun absen dari Indonesia dan hanya "bekerja" sebagai au pair di Eropa, dibuat bingung apa yang harus ditulis. What have I done?! Belum lagi surat motivasi ini harus memaparkan prestasi dan pengalaman saya saat bekerja di dalam tim. Komisi penerimaan mahasiswa baru ingin melihat prestasi kita saat harus bekerja dengan banyak orang yang berbeda sudut pandang karena memang nantinya kita lebih banyak kerja kelompok di luar kelas.

Untungnya waktu kuliah saya aktif terlibat organisasi mahasiswa yang dilimpahkan tugas sebagai kepala divisi dan ketua penyelenggara acara. Selain itu, saya juga menjelaskan bahwa program au pair yang sedang saya jalani ini berguna sekali membuka peluang masuk ke dunia internasional—yang mana sangat dibutuhkan dalam industri bisnis. Karena kesempatan ini juga, saya bisa sekalian ikut kegiatan sukarelawan di beragam festival internasional yang diharuskan bekerja dalam tim untuk menyukseskan acara.

Dari segi akademik dan nilai, saya memang mahasiswi pas-pasan karena dulunya merasa salah jurusan. Tapi karena banyaknya kegiatan non-akademik yang saya ikuti, hal ini bisa jadi poin plus yang berguna untuk mendukung isi CV dan surat motivasi. Untuk kalian yang sekarang masih terpaku jadi mahasiswa atau au pair “biasa”, sebaiknya perbanyak pengalaman dan ilmu di luar rutinitas untuk menambah poin pengembangan diri . Karena buktinya, kampus di Eropa pun menyukai pelajar yang well-rounded tak cukup hanya dari nilai akademik.

Wednesday, May 13, 2020

Tips Minggu-minggu Awal Kuliah di Universitas Oslo|Fashion Style

Setelah membayar uang semester dan registrasi ulang lewat Studentweb, saya 100% resmi menjadi mahasiswi S-2 di Universitas Oslo .Untuk kalian yang belum tahu, tidak ada biaya kuliah yang dibebankan bagi mahasiswa lokal dan internasional di Norwegia, kecuali kampus swasta. Mahasiswa hanya diwajibkan membayar uang semesteran yang besarannya tergantung kampus masing-masing.

Untuk Universitas Oslo (UiO), biaya yang saya bayar tiap semester sebesar NOK six hundred plus uang fotokopi application studi NOK 2 hundred. Ada juga biaya organisasi sebesar NOK 40 yang tidak diwajibkan. Kalau mau dikonversi, total persemester yang saya bayar hanya sekitar Rp1,3 juta atau ?84. Jumlah ini tentu saja berbeda tiap kampusnya, bahkan ada yang lebih murah.

Untuk musim gugur 2019, semester dimulai di minggu ketiga bulan Agustus dengan menghadiri Welcome Ceremony di pelataran universitas di Karl Johans gate. Perayaan tradisional ini sudah dimulai sejak tahun 1929 untuk menandai dimulainya semester baru. Acaranya juga tidak lama karena prosesi intinya hanya berupa pidato dari petinggi kampus untuk menyambut mahasiswa baru diselingi dengan nyanyian tradisional oleh grup paduan suara kampus.

Cerita sedikit soal Universitas Oslo, kampus ini adalah kampus tertua di Norwegia yang dibangun tahun 1811 dengan nama Royal Frederick University. Kalau kaliangooglingUniversitas Oslo, gambar yang muncul pasti pelataran universitas dengan 3 Domus. Sebetulnya itu adalah bangunan Fakultas Hukum UiO karena bangunan intinya berada di Blindern, sekitar 4 km dari letak pelataran tersebut berada. Pelataran universitas atau Universitetsplassen yang kita lihat di internet dibangun tahun 1911 dan dulunya memuat semua fakultas yang ada di universitas tersebut. Hingga akhirnya di tahun 1936 universitas ini diubah namanya menjadi University of Oslo dan semua bagian Universitetsplassen dialihkan menjadi lokasi Fakultas Hukum sepenuhnya.

Introduction Week

Sebagai proses pengenalan di awal, di Universitas Oslo tak ada acara ospek sebagai kamuflase sistem perpeloncoan senior ke junior. Sebelum mulai perkuliahan, tiap departemen dan application studi menyelenggarakan ?Introduction Weeks? Yang wajib dihadiri mahasiswa baru. Minggu perkenalan ini banyak memberikan kita informasi tentang kampus, perpustakaan, kesempatan magang dan bekerja, judul tesis, serta kuliah umum.

Minggu pengenalan berjalan selama 2 minggu yang mana minggu pertama diselenggarakan oleh Departemen Informatika, lalu minggu selanjutnya oleh Program Studi Entrepreneurship. Sebetulnya bagi mahasiswa internasional yang baru saja tiba di Oslo, panitia mengadakan welcome party yang cukup seru untuk dihadiri sekalian mengobrol dengan mahasiswa baru lainnya. Tapi karena bukan orang baru di Oslo, saya skip.

Untuk Introduction Week dari pihak departemen, semua mahasiswa baru hanya dikumpulkan di aula untuk mendengarkan paparan informasi serta kuliah umum. Ada juga student party di akhir acara bertujuan mencari networking dan berkenalan dengan orang baru di kampus. Introduction Week dari pihak departemen ini berlangsung selama 3 hari yang mana menurut saya sedikit bertele-tele, karena bisa saja selesai dalam waktu satu hari.

Kick-off Week

Sebagai langkah awal mengenal teman satu kelas, minggu ini menjadi amat penting karena kami diberikan kesempatan satu hari penuh untuk mengobrol mengenai latar belakang pendidikan dan pekerjaan seebelumnya. Dari 38 mahasiswa yang diterima di program studi Entrepreneurship, yang showed up hanya 17 orang. Uniknya, 70 persennya adalah orang Asia, terutama didominasi dari Asia Barat, dan hanya 1 orang saja yang asli Norwegia.

Latar belakang teman sekelas saya juga tak sama. Ada yang sudah pernah bekerja secara profesional, banyak juga yang sudah pernah mengambil Master (bahkan ada yang sedang Post-Doctoral!) di Norwegia,  atau pun seperti saya ini, mencari ilmu baru lewat Master pertama kami.

Karena memang program studi ini sifatnya hands-on, dihari kedua kami sudah dibentuk ke dalam beberapa tim dan diberikan fun exercise mencari ide bisnis start-up yang tertarik kami kembangkan dalam waktu 3 hari saja. Bayangkan, baru masuk langsung diberikan tugas kelompok yang harus juga dipresentasikan diakhir Kick-off Week!

Singkat cerita, saya sekelompok dengan 3 cowok yang punya latar belakang dari Teknologi Makanan, Teknik Medis, dan Teknik Komputer. Diskusi menjadi sangat panjang karena kami ingin membangun start-up baru yang belum ada pendirinya. Karena sudah lama juga tak punya pengalaman profesional, saya sedikit minder juga sekelompok dengan cowok-cowok hebat ini. In the end, tim kami menang "Best Start-up Idea" karena ide membuat platform yang mempertemukan perusahaan makanan dan food tester.

Lectures

Setelah melewati proses registrasi, administrasi, dan minggu pengenalan, perkuliahan dimulai di minggu akhir Agustus. Untuk semester ini, jadwal saya cukup padat karena harus datang sebelum pukul 9.15 pagi selama 4 kali seminggu. Kelas sebetulnya tak lama, hanya sampai pukul 12 saja. Tapi tak bisa titip absen karena persyaratan minimumnya harus 80% hadir. Program studi ini sangat hands-on, tugas kelompok selalu diberikan setiap minggu yang jika satu orang saja tidak hadir, akan mempengaruhi kerja tim tersebut.

Di sisi lain, wajib juga ambil kelas tambahan yang ada hubungannya dengan Ilmu Sains dan saya mengambil kelas Renewable Energy di kampus Kjeller. Kjeller ini kota kecil yang berada sekitar 24 km dari Oslo. Untuk menuju kesana, pihak kampus memberikan layanan free shuttle bus dua kali perhari. Jadi selain Fakultas Hukum yang tak berada di kampus utama, Departemen Sistem Teknologi juga letaknya memisah dari Oslo. Asiknya, kampus Kjeller ini adalah satu-satunya kampus di Universitas Oslo yang menyediakan dapur, kopi dan teh gratis!

Untuk para pengajar, tak ada sisi sangar atau sungkan sama sekali karena suasana terasa lebih rileks dan kasual. Pengajarnya justru sangat aktif memberikan materi perkuliahan, bahkan lebih vokal ketimbang mahasiswanya sendiri. Yang saya suka, kelas saya ini ada break-nya 10-15 menit dan kalau memang slide sudah habis, kelas selesai. Berbeda waktu kuliah S-1 dulu yang harus lelah menguap mendengarkan dosen menerangkan slide sampai 3 jam nonstop!

Begitulah pengalaman saya satu bulan jadi mahasiswa lagi di Universitas Oslo. Senang, karena kembali aktif belajar dan berpikir kritis. Asik, karena jadi pelajar yang punya banyak diskonan. Tapi awalnya minder juga karena sudah 5 tahun lulus S-1, pengalaman "profesional" hanya jadi au pair saja. Untuk kalian yang sekarang jadi au pair dan punya niat kuliah lagi, don't take it longer! Jangan jadi au pair terlalu lama seperti saya. Hah!

Tips Kuliah Biaya Sendiri: Uang Dari Mana?|Fashion Style

Meskipun niat saya di awal tidak berminat lanjut kuliah lagi, nyatanya saya pun berbelok arah untuk mencoba peruntungan daftar kuliah S-2 di beberapa kampus di Norwegia. Alasan utama saya memilih Norwegia tentu saja karena negara ini masih membebaskan uang kuliah bagi mahasiswa lokal dan internasional. Kesempatan ini tentu saja saya manfaatkan sebelum regulasi tersebut diubah menjadi 'berbayar' seperti halnya Finlandia per Autumn semester 2017 lalu. Tapi meskipun biaya kuliah gratis, mahasiswa tetap harus membayar iuran semester sebesar NOK 680-840 (€68-84).

Luckily, saya diterima di program studi Entrepreneurship di Universitas Oslo semester musim gugur tahun ini. Karena biaya kuliahnya sudah gratis, artinya saya hanya perlu menyiapkan biaya hidup untuk 2 tahun ke depan. Saya tidak pakai beasiswa, tidak minta support dari keluarga, ataupun berhutang ke pemerintah Norwegia. Biaya hidup ini murni saya akan tanggung sendiri.

Saat tahu saya akan kuliah dengan biaya sendiri, tanggapan orang tentunya tak sama. Kalau mungkin saya dapat beasiswa, mungkin mereka akan berpikir bahwa saya murid pandai yang sangat beruntung. Tahu bayar sendiri, tak elak saya dapat rentetan pertanyaan lain. “Lho, memangnya ada uangnya? Ada orang yang bantu? Memangnya tidak mahal kuliah disana? Siapa yang mau menjamin deposito? Bukankah uang segitu (deposito) terlalu besar ya untuk mahasiswa internasional?” Hellllooooo... mentang-mentang saya bukan anak menteri dan jurangan sawit, tidak berarti kuliah ke luar negeri jadi mustahil! Selain uang, ada juga namanya usaha dan mental yang membuat kita bisa bertahan di negeri orang. Lagipula au pair yang langsung bisa kuliah dengan biaya sendiri juga banyak!

FYI,dulu saya pun juga bersumpah untuk tidak akan pernah mau lanjut kuliah kalau masih harus bayar sendiri. Kuliah saja sudah melelahkan, apalagi harus cari uang dulu demi menutupi biaya hidup. Makanya saya berpikir untuk cari beasiswa agar bisa fokus kuliah saja. Nyatanya, saya minder cari dana beasiswa karena sadar IPK pas-pasan dan malas minta surat rekomendasi dari kampus. Sssttt.. saya pernah di-PHP dosen soalnya. Di sisi lain, saya dengar bahwa pengelola dana beasiswa sangat strict dengan penerima hibah untuk harus mempertahankan prestasi akademik dan dilarang bekerja sambilan selagi kuliah. Padahal mood belajar seseorang bisa naik turun dan minta dana beasiswa—apalagi yang berasal dari uang rakyat, pastinya punya tanggung jawab yang besar.

Sementara di Indonesia, saya hanya punya seorang ibu yang finansialnya tidak akan cukup membiayai semua kebutuhan saya selama belajar di luar negeri. Yang ada, saya merasa sangat malu jika harus minta dikirimi uang setiap bulan, mengingat selama jadi au pair 5 tahun ini juga saya tidak pernah minta apapun lagi ke beliau. "Sudah, Ma. Cukuplah sampai S-1 ini. Let me pay the rest!" kata saya saat itu. Saya juga tidak punya satu pun keluarga yang tinggal di Eropa sekiranya kepepet ingin pinjam uang. In the end, saya akhirnya berpikir untuk tidak ingin berhutang budi pada dana beasiswa ataupun duit keluarga yang membuat saya semakin terikat oleh beban moral.

Jadi bagaimana saya menyokong kehidupan disini hingga 2 tahun ke depan?

Rencananya saya akan bekerja sampingan. Selama jadi mahasiswa internasional, kita diperbolehkan bekerja 20 jam per minggu dan full time (37-40 jam) saat hari libur. Untuk semester ini, saya masih bekerja sebagai au pair dan tinggal di rumah host family. Soal makan dan akomodasi sudah ditanggung dan saya juga menerima uang saku sekitar NOK 6000 per bulan. Uang ini tentu saja lebih dari cukup untuk beli perlengkapan kuliah, ongkos transportasi umum, dan secangkir dua cangkir kopi di kafe. Pemerintah Norwegia sebetulnya juga menaksir biaya hidup pelajar di sini setidaknya NOK 11-12.000 per bulan.

Lalu, bagaimana di semester-semester selanjutnya?

Kontrak au pair saya berakhir Desember tahun ini, makanya harus mencari tempat tinggal dan pekerjaan baru secepatnya. To be honest, I can't wait to have my own life! Tidak perlu lagi tinggal di rumah orang dengan segala peraturan kaku, serta bebas mengundang siapa pun teman yang saya mau. Saya juga sangat tertarik bekerja di tempat lain semisal kafe, toko, atau restoran, yang tentu saja terbebas dari tangisan dan popok bayi! Di sisi lain, saya merasa beruntung sudah curi startduluan tinggal di Norwegia dan belajar bahasa, sehingga bicara bahasa lokal lumayan bisa. It's not gonna be easy to find a job with broken Norwegian, but I am pretty sure I'll learn more and more!

Pengalaman soal cari tempat tinggal dan pekerjaan baru ini tentu saja akan saya bahas di postingan lainnya. But, now you know bagaimana saya bisa menyokong kehidupan sendiri tanpa beasiswa dan dana orang tua!