Sunday, May 31, 2020

Tips Mengapa Saya Menulis Blog|Fashion Style

Ini blog header tahun 2014 saat masih di Belgia.

Belum ada rencana lanjut ke Denmark saat itu, tapi saya merasa sudah jatuh cinta dengan Eropa Utara.

Sebenarnya saya sudah mengenal blogging sejak tahun 2005. Namun blog pertama baru dibuat 5 tahun kemudian karena kewajiban tugas mata kuliah IT. Dulu yang saya tahu, blog hanya dijadikan tempat curhat menumpahkan isi hati dan pikiran. Tapi karena saya anaknya tidak terlalu suka curhat, miskin ide, dan tidak tahu apa yang harus ditulis, postingan blog pertama hanyalah berisi gambar-gambar artis Korea. Itu pun setelahnya terbengkalai karena mata kuliah IT kelar.

Beberapa tahun berikutnya, saya termotivasi menulis lagi dengan tema dan domain yang berbeda. Saat itu saya sedang giat-giatnya belajar bahasa asing dan bermimpi untuk keliling dunia. Makanya kalau kalian liat postingan awal blog ini, isinya sedikit random. Mulai dari tips belajar bahasa asing sampai sesuatu berbau luar negeri.

Pertama membuat nama pun harus berpikir panjang. Nama apa yang cocok menggambarkan isi tema blog dan terkesan unik. Lahirlah Art och Lingua dengan banyak hyphens sebagai domain. Maklum, saya dulu tidak paham SEO atau trafik. Pun tidak berniat menjadikan blog saya sebagai bahan bacaan harian untuk orang. Ingat sekali, dulu hanya 7 pembaca yang datang ke blog ini setiap bulan. Tidak peduli soal nama yang aneh dan sulit diingat, saya akhirnya stick to that name sampai sekarang.

Tahun 2014 saat berencana ke Belgia dan bingung harus mulai mengurus visa dari mana, tidak ada yang bisa dilakukan selain mencari informasi via internet. Dulu informasi di internet kurang jelas. Kebanyakan blogger hanya membahas pengalaman dan enaknya jadi au pair di Jerman, Prancis, dan Belanda saja. Tiga negara ini memang sangat populer bagi au pair Indonesia dari dulu.

Beruntung, saya menemukan satu-satunya informasi lewat blog milik Alfi Yusrina (sekarang jadi teman saya) yang membahas tentang pengurusan visa au pair ke Belgia. Bagai oase, saya merasa tulisan tersebut sangat membantu menemukan jalan sampai Belgia. Thanks a lot, Alfi!

Dari minimnya informasi di internet itulah, saya bertekad, kalau memang mendapatkan kesempatan ke Eropa, saya ingin menceritakan semua pengalaman lewat tulisan dari nol. Dari pengalaman bahagia sampai pengalaman terburuk sekali pun. Saya yakin, setiap hari ada puluhan bahkan ratusan orang Indonesia yang ingin tahu step-by-step menjadi au pair dan penasaran dengan kehidupan di luar negeri. Banyak juga yang masih bingung harus mulai dari mana, hingga tidak tahu kemana harus mengajukan visa.

Sampai Belgia, saya patahkan mitos-mitos keseruan jadi au pair yang selama ini diceritakan para blogger di internet. Au pair is not a fairy tale! Banyak suka duka dan pengalamannya tidak hanya sebatas jalan-jalan atau cultural exchange saja.

Saya tidak menyangka bahwa tulisan apa adanya tentang pengalaman jadi au pair membawa trafik yang tinggi dari tahun ke tahun. Yang dulu blog saya hanya dibaca oleh 7 orang in keeping with bulan, sekarang sudah menembus angka lebih dari 6.000 pengunjung. Luas biasa rasa ingin tahu orang Indonesia!

Mungkin orang berpikir, “ahh 6.000 pengunjung per bulan mah masih sedikit! Gampang!” Iya, bagi Anda. Namun bagi saya yang hanya menyajikan konten au pair tanpa promosi ini, angka tersebut luar biasa karena lebih dari setengahnya adalahorganic visitors!

Sejujurnya, saya paling payah soal marketing dan promosi. Saya jarang bahkan hampir tidak pernah promosi tulisan lewat sosial media selain Google+ . Hampir semua pengunjung blog ini pun datang sendiri via mesin pencari karena memang mencari konten yang dibutuhkan. Sebuah kebahagian karena ternyata blog posts saya bisa menjawab rasa ingin tahu mereka.

Tujuan saya menulis blog murni berniat ingin berbagi informasi untuk orang banyak. Saya pernah ada di posisi kebingungan dan miskin jalan keluar. Jadi kalau saya memiliki informasi yang dibutuhkan orang dan mampu menulis, kenapa tidak dibagikan lewat tulisan? Syukur-syukur tulisan tersebut membawa inspirasi dan manfaat bagi pembaca.

Bahkan, karena sudah terlalu nyaman blogging, saya tidak tertarik ikut tren vlogging yang lebih bisa mendeskripsikan luar negeri lewat video. Saya ingin orang Indonesia lebih mandiri dan mau membaca, tidak hanya nongkrong di Youtube. Saya juga tidak ingin terlalu haus views atau subscribers. Lagipula, video editing itu melelahkan. Apalagi saya termasuk orang yang perfeksionis dalam proses editing.

Meskipun tidak menghasilkan uang, tapi blog ini banyak mempertemukan saya denganblog readers yang ujung-ujungnya jadi teman. Dari yang penasaran tentang pengurusan visa, pengalaman au pair, hingga curhat soal kisah cintanya dengan cowok Eropa .It’s so wonderful, isn't it?

Terima kasih yang sudah mau menyempatkan mampir dan membaca cerita-cerita saya disini. Karena kalian, saya berusaha belajar coding sederhana agar tampilan blog ini lebih segar. Karena kalian juga lah, saya terus termotivasi menemukan ide kreatif untuk dituangkan menjadi cerita.

Cheers!

Tips The Norwegian Host Family|Fashion Style

This is the aim of being an au pair, cultural exchanging. Dari tinggal bersama keluarga lokal, kita banyak tahu bagaimana kebiasaan si keluarga tersebut mewakili stereotipe masyarakat di negaranya.

Orang Norwegia terkenaloutdoorsy alias pecinta alam. Tidak peduli hujan, mendung, panas, atau bersalju, mereka tetap tahu bagaimana menikmati aktifitas luar ruangan. Sama halnya seperti keluarga angkat saya yang sekarang, super aktif. Kalau ingin tahu bagaimana the real Norwegians, lihatlah keluarga saya!

Mulai dari olahraga ski, renang, mountain biking, jogging, sampai hiking, mereka jagonya. Saya kadang tidak habis pikir bagaimana nenek moyang orang Norwegia mengajarkan keturunan mereka untuk terus aktif. Mungkin karena beruntung tinggal di negara kaya dan cantik, makanya orang Norwegia tidak melewatkan kesempatan menikmati alam fantastis saat musim apapun.

Host mom saya yang sporty, Ida, lahir dari pasangan atlet ski. Beranjak remaja, Ida juga menjadi atlet berkuda yang sering ikut serta di kompetisi nasional. Tidak hanya sampai situ, host mom saya sudah diajak berburu memegang senapan saat usianya masih 16 tahun. Kalau kita hanya punya maksimal dua SIM, Ida punya SIM tambahan dari kapal sampai truk. Sekarang Ida terlihat lebih kalem dan meninggalkan semua olahraga beratnya sejak menikah dan punya anak.

Lasse, si host dad, pernah saya bahas sekali lewat bersama para host dad lainnya. Sama seperti si istri, host dad saya ini juga aktifnya bukan main. Tipikal orang yang tidak bisa hanya diam di rumah selain kerja. Hobinyahiking naik turun gunung, mountain biking, ski, hingga sering ikut marathon di Amerika.

Meskipun karakter host parents saya ibarat dua sisi mata uang, tapi mereka sama-sama punya hobi travelling! Bukan, bukan ke kota-kota besar dan selfie-selfie lucu. Tapi ke tempat non-mainsteam, kota kecil eksotis, dan jauh dari keramaian.

"Dibandingkan Dubai, saya lebih tertarik ke Oman. Dubai is artificial and extravagant, " ungkap host mom saya di pesawat kala itu.

Kegiatan travelling ini pun tetap berlanjut meskipun sudah punya anak dua. Jangan pikir kalau punya anak, semua kegiatan outdoor terpaksa absen dulu. Di Norwegia, anak-anak yang usianya baru 2 tahun sudah punya ski gear sendiri. Mereka sudah dibawa ke gunung dan diajari bagaimana caranya ber-ski. Tak heran mengapa anak-anak usia 6 tahunan sudah pintar berselancar di tebing rendah.

Kalau keluarga Denmarkweekend enaknya di rumah dan santai-santai, keluarga Norwegia justru out of the city dan tinggal sementara waktu di kabin atau summer house. Kalau kalian jalan-jalan ke daerah perumahan di Oslo saat musim panas, dijamin jalanan terlihat sepi. Mengapa, karena hampir setengah penduduk Oslo sedang berlibur ke pesisir pantai atau kabin mereka.

Keluarga saya sekarang juga termasuk orang kaya yang rumahnya dimana-mana. Si host dad, punya winter cabin sendiri di Hemsedal yang terkenal untuk skiing. Host mom saya, diwarisisummer house besar di Tjøme (baca: Syomma). Makanya setiap weekend keluarga saya ini jarang sekali ada di Oslo. Ya sepakat sih, there's nothing to do in Oslo after all.

Sebagai au pair mereka, saya cukup beruntung kecipratan rejeki travelling gratis sekalian business trip menemani keluarga ini. Tapi sejujurnya gaya hidup saya tidak cocok dengan gaya hidup aktif mereka. Bulan lalu, saat kami liburan musim panas di Prancis, saya diajak mengunjungi satu vila besar di atas bukit milik orang tua si host mom. Rumahnya otentik sekali dan sangat French. Kanan kiri hanya hutan, tapi fasilitas di dalamnya sangat lengkap. Mulai dari kolam berenang hingga lapangan tenis.

Tiga hari awal, saya sudah bosan tinggal disana. Tapi keluarga ini terlihat sangat menikmati liburan dan berjemur di tepi kolam berenang setiap hari. Kegiatan pagi diawali dengan mountain biking, jogging, atau yoga. Siangnya, saat matahari di atas kepala, mereka berenang dan berjemur santai sampai 4 jam. Sorenya pun tak kalah seru, main tenis juga!

Saya geleng-geleng kepala dengan kebiasaan sehat tersebut, karena berenang sedikit pun kaki saya sudah kram. Mengikuti mereka yang hobi jalan-jalan dan pindah lokasi ini sempat membuat saya kewalahan. Hari ini baru sampai Oslo dari penerbangan 3 jam, sudah harus packing lagi karena besok pindah ke rumah kedua di Tjøme. Tak pernah ada capeknya mereka!

Tanpa harus mengorbankan hobi, makanya mereka berani membayar mahal jasa au pair dan mengikutsertakan anak-anak yang masih mini-mini dalam penerbangan panjang. Untungnya host mom saya tipe ibu-ibu cekatan yang sabar dan banyak ide. Makanya travelling bersama si mini pun terasa lebih mudah.

Anyway, one thing I like about them, mereka sangat sederhana. Walaupun sadar kaya raya dan rumah besarnya dimana-mana, mereka tidak menjadikan hal tersebut sebagai suatu kebanggaan yang harus dipamerkan ke semua orang. Saat liburan, mereka fokus menikmati masa-masa istirahat dari kantor dan bermain bersama si anak, ketimbang update status di sosial media. Mereka tidak perlu pengakuan dari orang banyak kalau mereka keluarga berada dan sering jalan-jalan.

But as many Norwegians, mereka juga sangat tertutup dan tidak suka kehidupan pribadi dijadikan konsumsi publik. Bahkan bagi tamu saya sekali pun, tidak diizinkan mengakses lantai atas rumah karena dinilai mengganggu privasi. Hmm..

Fakta apa yang paling menarik dari keluarga angkat kalian?

Tips Bunny, Bukan Cowok Impresif|Fashion Style

Jumat malam, ceritanya saya sedang ngidam makan Kebab. Entah apa alasannya, saya terbayang-bayang daging domba empuk dan enak dibungkus dengan roti dan salad. Tahu Bunny hampir selalu available, saya menghubungi doi yang unsurprisingly memang sedang free. Friday night, jauh-jauh ke Kopenhagen cuma cari Kebab.

Karena rumahnya Bunny tak jauh dari Nørrebro, kami sepakat mencari kedai Kebab yang masih buka hingga tengah malam di sekitar situ. Banyak sebetulnya. Apalagi distrik ini termasuk daerah ghetto yang paling banyak imigran Muslim. Kedai Kebab dan supermarket halal dimana-mana. Tapi sekali ini saya minta tolong Bunny menemukan tempat terenak, bukan kedai 'abal-abal'.

Entah kalian ya, tapi menurut saya Kebab di Denmark paling enak. Apalagi kedai yang ada di Lyngby, legendaris sekali! Kenapa saya katakan enak, karena saya pernah mencoba yang 'asli' di Turki tapi hambar. Di Jerman, hanya menang besar tapi biasa aja. Di Oslo, apalagi! Mahal tapi mengecewakan.

Kebab di Denmark rasanya berbeda. Kalau kalian bisa memilih kedai terbaik, dagingnya lebih empuk dan berasa. Rotinya juga homemade dan saladnya selalu segar. Plus, tambahan yang tidak saya temukan dimana pun—bahkan di negara asalnya, sambal mangkok yang selalu tersedia di meja makan! Kalau tidak ada, tanyakan ke kasir karena biasanya disimpan di kulkas. Sambalnya merah dan berminyak, tapi lumayan pedas dan bisa menambah cita rasa si Kebab.

Pulang dari makan Kebab, saya mampir ke rumahnya Bunny menumpang tidur. Sengaja memang ingin menginap, karena besoknya juga libur.

Saat itu doi masih menyewa tempat di Bispebjerg. Hanya berupa studio mini yang super sederhana.  Tapi namanya juga lelaki ya, studionya berantakan minta ampun! Saat saya datang kesana, piring kotor masih di wastafel, baju kotor dan baju bersih tidak ada bedanya, lantainya berdebu, plus kasurnya acak-acakan.

Ini cowok gengsinya dimana?? Bersihkan dulu kek ini kamar sebelum saya mampir. Vakum dulu kek lantainya.

Meskipun terlihat berantakan, tapi Bunny sebetulnya tipe cowok yang rapih dalam berpakaian. Pertama kali ketemu saat kencan pertama pun, doi tetap memakai kemeja hitam panjang saat musim panas. Di beberapa kencan berikutnya, doi juga tidak pernah pakai pakaian jenis lain selain kemeja. Lalu saya baru tahu kalau hampir ninety% isi lemarinya memang kemeja.

Tidak seperti para cowok lainnya yang punya banyak jenis pakaian dari kaos oblong sampai jas, Bunny hanya punya kemeja. Titik. Sepuluh persen isi lemarinya juga hanya baju-baju musim dingin berwarna hitam. Those are what he likes. Tapi jangan salah, meskipun rumah si Bunny hanya studio sederhana, tapi doi kalau belanja memang beli kualitas. Isi lemarinya pun meskipun diskonan, harganya masih di atas 1000 DKK.

Jam 2 pagi, saya pamit tidur. Meskipun Bunny hanya punya satu ranjang ukuran dobel, tapi doi cukup respek tetap pakai kaos dan kolor saat saya disana.

"I am used to sleeping naked," katanya.

"Please not tonight. Ngomong-ngomong, kamu punya bantal lain tidak ya? Kenapa cuma satu?" tanya saya sambil celingak-celinguk mengecek tiap sudut ranjangnya.

"I only have one."

. . .

"So how could your ex sleep before, if you only have one pillow?!"

"Hmmm.. dulu mantan saya tidur di coat tebal itu sih," katanya sambil menunjuk mantel tebal tergantung di dekat pintu. "You can have that if you want. It's thick and useful as a pillow. I will take it for you."

What an initiative!Saya dikasih lipatan mantel. What a host and date! Bunny terlihat santai dan pede sekali hanya memberi si teman kencan mantel untuk dijadikan bantal. Bunny kok sengsara sekali ya? Itu mantan pacarnya cuma dikasih bantal saat tinggal bareng, kok ya betah-betah saja?

"Well, you can have mine," katanya setengah tidak ikhlas melihat saya yang tiba-tiba manyun.

To be honest, saya tidak tertarik tidur di bantal Bunny. Saya hargai sikap gentleman-nya yang mau meminjami saya si bantal kesayangan. Tapi bantalnya seperti tidak berbentuk lagi. Lembut-lembut minta dibuang yang kapuknya sudah mulai menyatu ke bagian kanan dan kiri saja.

Kesal dan tidak tahu harus bagaimana, akhirnya saya menyerah tidak tidur pakai bantal malam itu. Mantel tebal si Bunny tidak nyaman dijadikan bantal karena wol-nya bikin gatal.

Esok-esoknya, saya sampai harus beli bantal murahan sendiri di Netto kalau ingin menginap di tempat Bunny. Itu cowok ya, hidupnya apa adanya sekali. Why don't try to impress me once in his lifetime?!

Anyway, sekarang si Bunny sudah pindah ke tempat yang sedikiiiit lebih besar dari studio lamanya. Sedihnya, baru 5 bulan tinggal disitu doi seperti tidak bahagia karena si apartemen dekat sekali dengan jalan raya. Katanya dia sampai harus pasang earplugs dan masker mata sebelum tidur agar terhindar dari polusi suara setiap malam. Bunny is not a spoiled guy as long as it's quite cheap and close to his workplace. Karena dia tahu, cari apartemen di Kopenhagen susahnya bukan main apalagi di tengah kota.

Would you like to date this kind of Scandinavian guy , girls?

Saturday, May 30, 2020

Tips Bule Ketemu Online, Bisakah Serius?|Fashion Style

(PERHATIAN!!! SAYA BANYAK SEKALI MENERIMA TESTIMONIALS SOAL COWOK-COWOK DARI INGGRIS YANG MEMINTA ALAMAT SI CEWEK YANG DIKENAL VIA ONLINE. FYI, HAMPIR SEMUA MODUS PENIPUAN SEPERTI INI BERASAL DARI INGGRIS DAN AMERIKA! JANGAN PERNAH TERTIPU KEMASAN KULIT PUTIHNYA, KARENA BISA JADI YANG KALIAN AJAK CHATTING-AN ATAU VIDEO CALL-AN ITU ADALAH PENIPU!! JANGAN PERNAH BERI DATA DIRI SEPERTI NAMA LENGKAP, ALAMAT, SERTA NOMOR IDENTITAS ATAU KARTU KREDIT KE ORANG-ORANG ASING LEWAT DUNIA DIGITAL! BE SMART, BE AWARE, AND PLEASE JANGAN DULU BAPERAN KALO ADA YANG MENGAJAK NIKAH PADAHAL BARU SEMINGGU KENAL!!!)

Selain berniat jadi au pair, ternyata blog saya banyak dikunjungi oleh cewek-cewek Indonesia yang ingin pacaran atau sedang dekat dengan bule. Gara-gara tulisan tentang cowok Eropa dan cowok Skandinavia , banyak pembaca blog yang mengirim surel ke saya dan curhat masalah cintanya dengan si bule. Aduh, padahal saya jauh dari kata "ahli" masalah cinta-cintaan.

Saya sebetulnya hanya berkesempatan kencan beberapa kali dengan para cowok internasional saat tinggal di Eropa. Terutama di Denmark, saat saya jadi serial dater dan suka bersosialisasi karena tidak tahan hanya diam di rumah. Karena cowok-cowok yang tinggal di Kopenhagen sangat beragam, saya tidak hanya jalan dengan cowok lokal tapi juga dari negara lainnya.

Pengalaman saya berkencan dengan para cowok ini pun tidak hanya dimulai dari online dating, tapi kadang ketemu langsung di festival atau acara lain. Tentunya ada beda kalau kamu ketemu si cowok lewat aplikasi kencan versus in real life. Tapi online dating di Eropa itu hanya wadahnya saja, empat hari kemudian biasanya sudah ketemu.

Perlu dimaklumi juga kalau teman kencan saya kebanyakan cowok-cowok usia 20-30an. Paling tua yang pernah saya kencani berusia 31 tahun. Jadi kalau kamu tanya saya bagaimana karakter cowok bule di atas 40-an, jawaban saya abu-abu. Yang saya tahu, kebanyakan pria (bukan cowok lagi nih) di atas 40-an sudah cukup dewasa, mapan, dan siap untuk diajak serius. Anyway, serius disini tidak harus ke jenjang pernikahan ya. Bisa jadi dia siap membangun future bersama kamu dengan atau tanpa menikah, atau ingin atau tidak punya anak.

Sebagai gambaran, cowok yang saya kencani kebanyakan hanya teman jalan tanpa mencari keseriusan. Karena merasa masih muda dan finansialnya belum stabil, kebanyakan cowok di usia 20-an masih ingin having fun dan takut berkomitmen. Masuk usia 27 tahun biasanya si cowok mulai berpikir untuk menabung demi memiliki apartemen atau mobil pribadi. Tapi tetap, pikiran untuk menikah atau memiliki anak masih jauh. Meskipun, ada juga beberapa yang sudah siap membangun rumah tangga dan tidak sabar ingin punya anak.

Kembali ke pengalaman saya yang sering menerima surel dari pembaca, ternyata hampir semua cewek di Indonesia memulai perkenalan dengan para cowok Eropa lewat dunia maya. Ada juga yang ketemu di tempat kerja atau saat si bule liburan ke Indonesia. Saya sering kali ditanya, apakah si cowok worth-it diperjuangkan, bagaimana karakter si cowok dari negara ini-itu, kenapa si cowok tidak membalas pesan, atau apa saran yang harus diberikan.

Sejujurnya, saya tidak pernah berniat mencari pacar bule lewat dunia maya sewaktu di Indonesia. Saya memang pernah mengobrol dengan beberapa cowok bule, tapi itu juga ketemunya dari situs belajar bahasa. Malasnya dari situs seperti ini, bule-bulenya kadang sombong dan malah berpindah lapak jadi tempat mencari gebetan. Meh!

Satu lagi, dulu saya takut berkenalan dengan bule via online karena merasa semua bule otaknya mesum dan hanya pamer batang saja. Pernah suatu kali, saya iseng-iseng buka Omegle untuk cari teman memperlancar bahasa, yang dibahas ujung-ujungnya masalah seks. Buka Omegle video, yang keluar batang semua. Done!

Jadi untuk cewek-cewek Indonesia yang bertanya, "how to read this or that guy?", saya juga bingung. Saya bukan peramal yang bisa membaca status hubungan kalian seperti apa. Kamulah yang lebih tahu apakah hubungan tersebut bisa dibawa ke arah yang lebih serius atau tidak. Saya juga belum pernah ada di posisi kalian yang hanya berkomunikasi lewat teks selama beberapa minggu, lalu tiba-tiba memutuskan LDR tanpa bertemu orangnya langsung.

Tapi, berikut hal yang bisa saya sarankan bagi kalian yang kenalan lewat dunia maya tanpa kejelasan kapan bisa ketemuan.

1. Kamu tidak akan pernah tahu keseriusan seseorang hanya lewat texting. It's okay kalau kalian berdua sama-sama fun dan nyaman saling bertukar teks, gambar, atau suara. Tapi sekali lagi, semua itu bisa dibuat-buat hanya untuk kesenangan belaka. Kamu tidak akan pernah tahu apa si cowok itu sudah punya istri, pacar, atau hanya menjadikan kamu teman texting saja. Kamu juga pasti sulit menebak karakter asli si cowok meskipun sudah memantau kegiatannya sehari-hari via Snapchat. Sebelum terlalu jauh berkirim pesan, coba cek profilnya disitus kencan. Cowok yang serius mencari pasangan biasanya menuliskan deskripsi profil mereka lebih jelas, panjang, dan detail.

Oh ya, saya pernah mendengar  cerita dari satu cowok Eropa yang sengaja datang ke Asia Tenggara untuk liburan sekalian mencari teman tidur. Jadi doi sengaja membuat profil di situs kencan dan berpura-pura ingin kenalan dan ketemuan. Si cowok ini tahu, kalau mukanya sangat laku di Asia dan  mudah saja merayu cewek-cewek lugu. Tanpa harus dia yang maju duluan, pesan di profilnya sudah muncul ratusan. Tetap hati-hati kalau sampai diajak ketemuan oleh cowok model begini!

2. Don't get carried away! Bahasa Indonesianya, jangan baperan! Mau dia cowok Italia, Jerman, Estonia, atau Austria, kamu tidak harus terbang melayang dulu saat si cowok bilang suka. Suka itu maknanya luas sekali dan belum tentu artinya lagi nembak kamu. Cowok Eropa berbeda dengan cowok Indonesia yang harus pakai 'persetujuan' atau validasi dulu sebelum menjadikan kamu pacar. Mereka lebih suka meresmikan suatu hubungan lewat tindakan ketimbang omongan. Maksud 'suka'-nya disitu bisa jadi 'suka mengobrol dengan kamu', 'suka karakter kamu yang energik', 'suka selera humor kamu', atau suka apapun itu.

3. Don't treat them as your Indonesian guy! Cowok bule itu tidak pernah pakai modus, kode-kodean, atau basa-basi saat bicara dengan lawan jenis. Mereka tipikal orang yangstraight forward dan speak their minds. Jangan tanya hal tidak penting seperti, "lagi apa?", "sudah makan atau belum?", atau pertanyaan basi lainnya khas pasangan Indonesia. Seriously, mereka akan mengecap kamu sebagai cewek nosy yang lebih mirip ibu-ibu. Kamu juga harus tahu kalau cowok bule itu kurang nyaman dengan cewek yang trying too hard menjadi sosok ibu-ibu yang sok mengingatkan atau terlalu perhatian.

4. Please be aware! Selain kamu masih menerka tentang keseriusan seseorang di dunia maya, kamu juga tidak akan pernah tahu apakah cowok ini asli apa palsu. Zaman sekarang foto-foto bisa asal comot dari Google atau sosial media orang lain. Meskipun mukanya ganteng, tetap waspada kalau permintaannya sudah menjurus ke pinjam uang atau gambar-gambar telanjang.

The major reason they ask you to send them nudes is because it's thrilling! It's exciting, it's secretive, it's intimatewhat's not to love about nudes? Tapi, kalo kamu merasa ingin dihargai, kamu pantas bilang tidak! It’s up to you anyway. Seorang teman ada yang biasa saling bertukar nude pictures atau video yang bisa membuat keduanya terangsang. Si cowok ini dari Belanda dan keduanya belum pernah sama sekali ketemu. Mereka saling chat murni hanya karena kepuasan biologis semata. But, that’s how they are having fun. Ya, silakan saja!

5. Prepare yourself to be ghosted. Masalah utama dari online dating adalah banyak orang bisa menghilang secara tiba-tiba setelah kencan pertama, setelah satu sama lain nyaman, atau tanpa sebab apapun kita tidak pernah mendengar kabar mereka lagi. Menyebalkan sekali karena kita kadang sudah merasa klik dan cocok.

Well, semua orang bisa berubah pikiran dan tiba-tiba bosan. Cowok bule yang tadinya setiap hari chatting-an lalu menghilang, bisa jadi karena rasa ketertarikannya ke kamu mulai pudar. Mungkin juga karena doi bosan melihat layar ponsel setiap hari tanpa bisa merasakan eksistensi kamu. Bisa juga karena doi sibuk kerja, lambat laun lupa juga harus membalas pesan. Kalau sampai ini terjadi, sebaiknya langsung cut off dan lupakan saja. Move on, girls!

6. Yang terakhir adalah kamu harus mengundang dia ke Indonesia. Mungkin ceritanya kalian sudah lama kenal, sudah nyaman texting-an, sering telponan, saling tanya kabar dan aktifitas, lalu apalagi yang ditunggu kalau tidak segera ketemuan? Kalau si cowok ini betul-betul serius ingin mengenal kamu, doi pasti meluangkan waktunya untuk singgah ke Indonesia. Kecuali cowok ini statusnya masih pelajar yang uang sakunya tak seberapa ya.

Masalah ketemuan ini pun tidak semudah hanya mengundang dia datang. Ongkos pulang pergi dari Eropa ke Indonesia tentulah tidak murah. Belum lagi kalau si cowok ini susah mengambil jatah libur dari kantor. Tapi kalau memang menemukan cowok serius, uang dan waktu pasti bisa diatur. Saya punya teman asli Belgia yang rela pulang pergi Belgia-Indonesia 2 kali setahun hanya untuk bertemu dan mengenal lebih jauh si gebetan (sekarang pacar). Apalagi itu namanya kalau bukan pengorbanan, keseriusan, dan cinta?

Saran saya yang lain, kalau memang tertarik dengan si cowok, jangan lupa pelajari juga budaya orang-orang di negara mereka agar tidak kaget dengan kemisteriusan cowok Finlandia , misalnya. Atau coba juga untuk memahami karakteristik cowok-cowok Eropa Utara yang tidak agresif dan inginnya kamu duluan yang maju.

You can be falling in love with someone who you've never met indeed.Kamu boleh saja memutuskan untuk pacaran jarak jauh meskipun belum pernah ketemuan. Selagi sama-sama nyaman, ya silakan tetap berhubungan tanpa harus menaruh ekspektasi berlebih tentang masa depan. Berdoa saja suatu hari kalian bisa dipertemukan dan dialah pasangan yang kamu cari. (Baca juga postingan saya tentangonline dating yang menyebalkan!)

Tapi ngomong-ngomong, apa sih yang membuat kalian sebegitu niatnya cari pasangan orang asing?

Tips Cari Kerja di Eropa |Fashion Style

Sudah 3,5 tahun saya bekerja sebagai au pair dan tinggal di 3 negara berbeda di Eropa. Menyenangkan? Iya. Saya bisa hijrah ke luar negeri, dapat uang saku, jalan-jalan, bertemu teman internasional , dan mempelajari budaya lokal.

Tapi au pair bukanlah pekerjaan menjanjikan. Kontraknya pun hanya berkisar 12-24 bulan saja. Setelahnya, kita harus pulang ke Indonesia atau lanjut ke negara lain jika masih berniat mengasuh anak orang. Selain sifatnya antara paruh pekerja dan paruh pelajar, umur pun jadi kendala. Ya wajar, karena au pair sebetulnya bukan ajang cari uang dan jenjang karir, tapi pengalaman. Batas maksimum umum au pair hanya 30 tahun—di beberapa negara bahkan hanya sampai 26 tahun, karena memang pekerjaan ini diperuntukkan untuk anak muda.

Meskipun setelah selesai kontrak di Norwegia usia saya masih di bawah 30 tahun, namun saya enggan jadi au pair lagi di negara lain.That's enough! Lima tahun sudah,please! Kalau pun masih ingin tinggal di Eropa lebih lama, saya berharap mendapatkan pekerjaan lain dengan tingkatchallenging yang berbeda.

Banyak gadis-gadis au pair dari Filipina yang enggan kembali ke negaranya, rela lompat-lompat negara di Eropa karena melihat au pair sebagai easy market mencari uang. Tentu saja, karena urusan visanya mudah dan biayanya tidak terlalu mahal. Peluang visa dikabulkan pun hampir 100%.

Jauh sebelum kenal au pair, saya memang sudah lama ingin tinggal dan bekerja di luar negeri. Saking niatnya, saya sampai membeli buku panduan tinggal dan bekerja di beberapa negara. Banyak artikel tentang topik serupa sudah saya cari dan baca dengan seksama. Intinya, cari kerja dimana pun tidak mudah. Apalagi di Eropa, saat status kita bukanlah warga Uni Eropa.

Lalu apakah gampang mencari kerja di Eropa selepas masa au pair? Tentu saja tidak! Kalau mudah, semua au pair Filipina pasti sudah punya 10 keturunan di Eropa. Belum lagi saingan kita tidak hanya orang lokal, tapi juga warga pendatang Uni Eropa lain dengan keahlian lebih mumpuni.

Berikut gambaran bagaimana melihat celah kerja di Eropa. Harap diperhatikan ya, saya tidak memberikan info dimana dan bagaimana mendapatkan pekerjaan. Saya hanya menunjukkan peluangnya saja.

1. Be a skilled worker

Sebagai orang Indonesia yang ingin bekerja di Eropa, status kita harus legal dulu di salah satu negaranya. Untuk menjadi legal ini pun tidak mudah karena setidaknya kita sudah mengantongi satu surat sponsor atau kontrak kerja dari perusahaan. Imigrasi di banyak negara Eropa tidak akan memberikan izin tinggal bagi pendatang yang hanya akan bekerja sebagai babysitter atau tukang jaga kios rokok. Kalau itu sih, orang lokal juga bisa.

Syarat pertama untuk mendapatkan working permit, kita harus memiliki kualifikasi dulu sebagai skilled worker yang benar-benar dibutuhkan perusahaan. Entah itu insinyur, jurnalis, teknisi, pekerja di kedutaan, atau koki.

Karakteristik pekerjaan on demand pun tidak serta merta mudah didapat, apalagi kalau kita sebar cv dari Indonesia. Salah satu cara agar keahlian kita diakui oleh perusahaan asing adalah dengan bekerja di perusahaan multinasional di Indonesia. Tapi seorang yang bekerja di perusahaan multinasional juga harus pandai melihat jenjang karir secara global, karena persaingan akan sangat tinggi dan akan ada peluang pekerja dipindahkan ke berbagai negara lainnya.

2. Take a higher education

Cara terbaik bagi anak muda yang tertarik bekerja di Eropa adalah dengan menjadi pelajar di salah satu kampus di benua tersebut dulu. Dengan memahami sistem edukasi di satu negara, lulusannya diharapkan lebih cepat berintegrasi dengan budaya lokal dan working ethic selama masa magang.

Tapi tentu saja tidak semua lulusan luar negeri bisa langsung bekerja di negara dimana dia kuliah. Persaingan yang kompetitif membuat kita harus lebih cekatan dalam melihat peluang. Menurut saya, jurusan terbaik dengan market kerja yang luas sampai 10 tahun ke depan masih ditempati bidang teknik, IT, dan desain digital. Jadi kalau kamu tertarik lanjut kuliah di Eropa dan kebetulan background S1 mendukung, lanjutkan saja sekolah ke jurusan yang ada hubungannya dengan tiga sektor tersebut.

Seorang teman lulusan Literatur Universitas Indonesia, terpaksa harus kuliah S1 lagi dari awal di Belgia dan banting setir ke desain digital. Dia paham, jurusan Literaturnya tidak memiliki level karir mana pun di Belgia. So, she is totally okay to start from the scratch.

Banyak au pair Indonesia yang juga menjadikan pendidikan di Eropa sebagai batu loncatan untuk tinggal lebih lama disini. Dengan belajar langsung di negaranya, ada harapan besar akan mendapatkan karir lebih baik selepas wisuda. Apalagi kalau sudah fasih berbahasa lokal, sayang sekali jika tidak lanjut kuliah di negara setempat.

Negara dengan biaya hidup dan biaya kuliah terjangkau masih ditempati Jerman, Belgia, dan Belanda. Apalagi Jerman yang sangat welcome dengan para pendatang, memberikan banyak kesempatan bagi para lulusan kampus Jerman untuk mencari pekerjaan selesai masa studi.

3. Speak the language

Lagi-lagi, meskipun sudah kuliah di Eropa dan merasa jurusan yang diambil tepat, belum tentu peluang kerja langsung memihak ke kita. Lulusan lokal yang lebih cekatan dan paham budaya kerja, tentu saja lebih diprioritaskan. Lalu bagaimana agar peluang kita dan orang lokal setidaknya sama? Pelajari bahasa mereka!

Sejujurnya pekerjaan di sektor IT tidak mengutamakan orang-orang menguasai bahasa lokal, cukup berbahasa Inggris. Tapi, kalau bisa bahasa lokal plus lulusan dari salah satu kampus di negara tersebut, kesempatan kita lebih besar besar ketimbang dengan lulusan yang hanya bisa berbahasa Inggris. Banyak perusahaan startup menjamur di Eropa dan membutuhkan anak muda kreatif mengisi lowongan. Though, the salary won't be good in the beginning.

4. Be a 'nekad' traveller

Kalau kamu merasa punya banyak uang dan mampu surviving dari kenekadan, silakan membuat visa turis jangka panjang ke Eropa. Sampai sini, kamu bisa cari black job sebagai tukang bersih-bersih tanpa bantuan agensi. Kembali ke poin pertama, kalau kamu yakin mempunyaiskill yang akan dibutuhkan perusahaan di Eropa, jangan takut untuk sebar cv selagi singgah disini. Kedengaran sedikit impossible memang, apalagi kita tidak diperkenankan mencari pekerjaan memakai visa kunjungan wisata.

Seorang kenalan datang ke Denmark memakai visa kunjungan pacar selama 3 bulan. Alih-alih hanya kunjungan, dia mencari peruntungan untuk bekerja sebagai au pair dan langsung dapathost family kurang dari satu bulan saja. Si kenalan ini pun baru mengurus semua aplikasinya sewaktu di Kopenhagen. Dikira permohonan aplikasi akan ditolak, ternyata izin tinggal au pair-nya dikabulkan. Tricky memang!

5. Married or living together

Cara lain yang menurut saya terlalu naif. Saya mengenal beberapa cewek yang super desperate ingin tinggal di Eropa, lalu mencari cowok lokal untuk dijadikan pacar atau suami yang akan memberikan "jaminan" izin tinggal. Tentu saja tidak semua cewek Indonesia memiliki konsep mencari pasangan bule hanya untuk dapat visa dan tinggal di Eropa. Yang ingin saya katakan, dari permit tinggal bersama atau menikah ini, kita bisa sebebasnya melanglang Eropa sekalian cari kerja di negara asal si pasangan.

Pekerjaan seperti pelayan, tukang bersih-bersih, atau babysitter lepas bisa dicoba sebagai awal, kalau belum menguasai bahasa lokal. Tapi jika memang berniat mendapatkan pekerjaan lebih baik, ikuti poin nomor 2 dan 3. Study more, speak the language, and do not be a stupid Asian partner! Kalau kita memiliki keahlian yang oke, tak jarang lho, pacar atau suami bisa menawarkan kita pekerjaan di perusahaan tempat mereka bekerja.

Ada juga cewek Indonesia yang saya kenal, bekerja di butik ternama di Belanda setelah menikah dengan pasangan Belandanya. Tentu saja langkah awalnya bekerja di butik tersebut karena memang sudah legal dan memiliki izin tinggal (karena menikah). Tapi si kenalan ini juga lulusan Lasalle Singapura. So, the luck is hers.

Ngomong-ngomong, luck juga berperan penting saat mencari kerja di Eropa, lho. Teman dekat saya orang Latvia, sudah hampir 9 tahun di Denmark, dan dua gelar sarjananya didapat dari sana. Sangat fasih berbahasa Rusia, Inggris, dan Denmark. Namun apa daya, berkali-kali melamar pekerjaan, tetap saja gagal. Akhirnya teman saya kembali ke negara asalnya dan beruntungnya, mendapatkan pekerjaan di perusahaan Denmark juga.

Lucunya, teman sebangsa dia yang datang ke Denmark, hanya bermodalkan pengalaman kerja di Latvia dan basic Danish, langsung bisa dapat kerja.Well, again, luck speaks. Kadang perusahaan tidak hanya butuh skill, tapi persona. Satu lagi, networking!

Saya tentu saja berharap bisa tinggal lebih lama di Skandinavia.I am tired of being an au pair. Tapi kalau pun harus bekerja menjaga anak lagi, setidaknya dikombinasikan dengan studi lanjutan. Setelah lama tidak berpikir kritis, otak saya jadi kangen buku-buku akademis. Tapi saya juga mesti realistis, kalau memang tidak ada kesempatan, Indonesia always calls me back!

Kalian sendiri bagaimana, ada niat kah cari kerja di Eropa? Jika iya, di negara mana?How about starting from being an au pair, serius belajar bahasa, lalu lanjut sekolah?

Tips Belajar Bahasa Asing dengan Anak-anak|Fashion Style

Dari awal sebelum datang ke Belgia, saya memang sudah berasumsi bahwa au pair adalah pertukaran budaya antara kita dan keluarga angkat . Dalam ajang pertukaran budaya ini juga, au pair diberikan kesempatan belajar bahasa lokal untuk memudahkan komunikasi sehari-hari dengan host kids dan lingkungan sekitar. Apalagi di Prancis yang kebanyakan penduduknya tidak bisa bahasa Inggris.

Sadar akan tinggal dengan keluarga multibahasa, saya rela beli buku pelajaran bahasa Belanda dan Prancis dari Kesaint Blanc sebagai modal awal 6 bulan sebelum keberangkatan. Meskipun banyak orang Belgia Utara paham bahasa Inggris, tapi saya tidak ingin terperangkap di zona nyaman hanya karena bisa bahasa tersebut. Kalau bisa, saya ingin meminimalisir penggunaan bahasa Inggris di rumah, terutama dengan anak-anak.

Setiap hari saya pelajari buku-buku tersebut secara otodidak dan memutar CD materinya. Sangat menyenangkan, apalagi sebenarnya saya memang suka belajar bahasa asing . Enam bulan belajar tentu saja tidak membuat seseorang langsung fasih bicara bahasa asing, apalagi saya tidak memiliki teman berlatih.  Namun setidaknya saya sudah mengenal beberapa frase atau kata-kata sederhana yang bisa digunakan saat berbicara dengan host kids.

Keluarga saya yang pertama sehari-hari menggunakan bahasa Prancis, meskipun mereka tinggal di lingkungan yang semua orang menggunakan Flemish (bahasa Belanda versi Belgia). Saat saya datang, anak mereka yang pertama baru berusia 2 tahun dan belum terlalu lancar berbicara. Jadi enaknya, kami bisa sama-sama belajar. Banyak kosa kata baru justru saya dapatkan langsung dari si orang tua.

Beberapa kali seminggu saya tetap ikut kursus bahasa Belanda, walaupun sesampainya di rumah kembali menggunakan bahasa Prancis. Saya tidak pernah sedikit pun menggunakan bahasa Inggris ke anak-anak, kecuali saat bicara ke host parents.

Rayan, anak tiri host mom yang berumur 9 tahun, kadang menginap di rumah dan sering kali mengajak saya mengobrol. Walaupun tahu saya tidak bisa bahasa Prancis, si anak ini tetap saja asik bercerita tanpa harus saya respon. Tapi gara-gara sering mengobrol ini juga, saya lalu jadi tempat curhat Rayan. Kalau tidak paham satu frasa atau kosa kata baru, Rayan tidak segan menjelaskan ke saya kembali memakai bahasa tubuh.

Pelajaran bahasa Prancis saya pun berlanjut dengan cleaning lady keluarga ini, Zeza, yang tidak bisa baca tulis. Zeza kadang jadi partner of crime saya kalau harus making a story dengan si host mom. Maklum, Zeza juga tidak terlalu suka dengan sifat host mom yang terlalu bossy.

Pindah dari keluarga ini, saya tinggal dengan keluarga asli Belgia yang sehari-hari berbicara bahasa Belanda. Sayangnya ketiga anak mereka sudah sangat fasih berbahasa Inggris dan tidak membantu pelajaran bahasa saya sama sekali. Mereka lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris untuk menghindari miskomunikasi. Pelajaran bahasa Belanda yang saya pelajari di sekolah pun seperti tidak membekas karena selama 7 bulan full saya jarang praktik, selain di supermarket atau toko roti.

Datang ke Denmark, saya lagi-lagi paham kalau bahasa yang akan digunakan berbeda. Sama seperti persiapan di tahun pertama, saya tetap berusaha mempelajari sedikit bahasa lokal sebelum datang ke negara aslinya. Karena bahasa Denmark tidak terlalu ngetop di Indonesia, saya hanya mempelajari kosa kata sederhana lewat Duo Lingo. Lumayan sih, setidaknya saya tahu kalau kylling itu artinya ayam.

Dua tahun di Denmark, saya betul-betul absen menggunakan bahasa Inggris di rumah dengan para host kid. Umur si kakak saat itu masih 4 tahun dan dua adik kembarnya baru 4 bulan. Emilia, si kakak, awalnya kesal dan mengalami kesulitan berkomunikasi karena saya seperti bisu tuli. Setahun kemudian, malah saya yang paling sering mengejek-ejek dia dengan bahasa Denmark.

Saya bersyukur karena semua host parents tidak pernah memaksa saya menggunakan bahasa Inggris ke si anak. Host parents juga sangat senang saat tahu saya tertarik mempelajari bahasa lokal. Banyak kata-kata baru saya dapatkan langsung dari mereka, terutama di meja makan atau saat mereka menegur si anak. Kata-kata ini kadang saya gunakan kembali sebagai senjata saat si anak tidak mendengar omongan saya.

Satu hal yang saya suka belajar bahasa asing dengan parahost kid adalah mereka tidak pernah mengecap bahasa asing saya jelek. Mungkin awalnya si anak ini hanya "hah?" dengan raut aneh. Tapi setelahnya, mereka tidak ambil pusing dan kadang dengan baik hati membenari ejaan saya yang salah. Berbeda dengan para orang dewasa yang malas mendengar imigran berbicara salah-salah dan lebih menyarankan diganti ke Inggris saja.

Dari pengalaman ini, saya tahu, kalau kamu ingin dekat seperti teman dengan host kids, maka speak their language—meskipun patah-patah! Jangan paksa host kids untuk memahami apa yang kita inginkan. Jangan juga menyalahkan mereka yang tidak bisa berbahasa Inggris. This is our own responsibility to learn their culture and language. Katanya ingin exchange culture kan? Ya inilah saatnya untuk belajar bahasa baru.

Saya tahu, mungkin kita hanya akan tinggal selama setahun atau dua tahun di negara tersebut. Saya juga paham mungkin banyak au pair yang merasa tidak niat belajar bahasa lokal karena tidak tahu akan digunakan dimana. Tapi menurut saya, tidak ada pembelajaran yang sia-sia.

Saya sempat belajar bahasa Prancis 3 tahun lalu dan tidak tahu kapan akan menggunakannya kembali. Musim panas tahun ini, ternyata saya berkesempatan mengunjungi Prancis lagi bersama keluarga yang sekarang. Meskipun banyak kata-kata yang terlupa, tapi sedikit-sedikit saya masih bisa bertanya harga di pasar, mengeja angka, ataupun mengerti sedikit apa yang orang lokal katakan.

Sama halnya seperti bahasa Denmark yang katanya bahasa terjelek di Eropa. Saya tetap bangga mempelajarinya, meskipun dulu saya juga tidak tahu apa manfaatnya kalau harus pulang ke Indonesia. Ternyata, saya pun kembali ke Norwegia yang bahasanya mirip-mirip Danish. Satu lagi, saya juga merasa bangga bisa mengeja dan tahu sistem angkaDanish yang nobody in the North can understand, but Danes. Bahkan kalau ada kesempatan lagi, rasanya ingin meneruskan pelajaran bahasa Denmark yang terhenti sampai Modul 4 tahun lalu.

Jadi tidak salahnya mengisi waktu luang datang ke tempat kursus dan belajar bahasa baru, apalagi kalau host family bersedia membayari. Just take that chance! Lha, daripada hanya manyun dan bersih-bersih di rumah. Teman berlatih pun sudah ada, para host kid. Karena meskipun sudah belajar di sekolah, tapi saya tetap merasa kalau tutor terbaik saya selama di Eropa adalah host kids itu sendiri.

Percayalah, kamu akan bangga dengan diri mu sendiri kalau bisa menguasai bahasa asing lain selain Inggris. Plus, jadi modal juga mempercantik cv kerja. So, would you like to learn a new language when you are moving abroad?

Friday, May 29, 2020

Tips Weekend Trip to Southern France: Céret and Collioure|Fashion Style

Summer was coming and my Norwegian host family started to pack the bags again heading to their private mansion in France. It's been twice this year. But I don't want to talk about their marvelous mansion since it is private and they keep it unknown. It's located in Céret, a charming old town in the foothills of the Pyrenees Mountains in the south of France, just 25 km from the border of Spain. Therefore, cultural festivals celebrating the Catalan heritage of the region take place throughout the year.

I am lucky to be their au pair and travel for free to a place where I have never heard of and been before. Since I was new on their traveling routines, my host dad didn't stop dazzling me about Céret in our way to the mansion. They are so in love with this place and have thrown their wedding party here with an interfusion of French and Catalan culture. I have seen the wedding album when they wore traje de luces to associate with the annual bullfighting festival held in summer, Céret de Toros.

Céret represents the quintessential southern French town with an exquisite historic old town at its center, avenues of old trees lining its main throughway bordered by cafés, bistros, shops, and boutique whose table and wares are set out on the pavements in the summer. I love cherries and it made me more elated to know that Céret is also the cherries capital. Doesn't it sound lovely?

After a hard thought of how to spend the weekend off, finally I gave up to explore two small towns in Southern France, Céret and Collioure. They were actually suggested by my host dad who promoted me spending days off based on his preference towards small, authentic, intimate, and less-known towns. He also suggested me to bike around the mountain, but perhaps I was just too lazy. I preferred city breaks and never regretted so! It was also tiring to keep changing plans from Monaco, Marseille, finding lavender fields in Provence, to Montpellier, where the bus schedule never fit in.

Céret

Saturday morning, my host family and I drove down to experience Saturday market in Céret. The artisan market stalls filled the old town streets with wonderful arrays of locally produced fresh fruit and vegetables, olives, cheeses, herbs and spices, cured meats, wines and honey. It was definitely not a new experience for me because I have lived in Belgium before and the market had basically the same concept. But I think, everything in Céret seemed authentic and fresh. French people also tended to be more relaxed, warm and welcoming to the customers.

I was quite tempted to visit the Museum of Modern Art with works by Picasso after my host mom told me that he had lived in Céret while did his artworks in the early 20th century. I am not a big fan of Picasso, but sometimes the art or design museum is a considerable place to find some inspirations. The ticket price for adults is €8 and there is a discount for students.

If a museum is not your thing, strolling around in the small lanes in the center was also soothing. I am a sucker for multicolored building and Céret was a therapy! So many cafés and gift shops are tucked into the narrow lanes leading off the squares. The unique thing about the lanes, they are flowed by clean water along the old town. They reminded me of the worse version in Indonesia where dirty and smelly gutters exist for water flowing in residential areas.

Collioure

I was almost done in Céret and stopped by in Tourist Information Center to pick up some interesting flyers and get an information about the bus towards Collioure. There is no direct bus from Céret to Collioure, but there are two different ways to opt for. First, take bus 400 from Céret to Argeles-Sur-Mér and change to bus 401 to Collioure. Second, take bus 300 or 340 to Perpignan and change to bus 400. The first one is the fastest. The latter is the best if you want to include Perpignan on a trip.

Direct buses from Céret to Perpignan go more often every Monday to Saturday. The ticket price is €1, valid for 2 hours, and possible to be paid on board. Since Perpignan is a bigger city, you could also take a train to Collioure. The ride only takes 20 minutes and the ticket price is €6.80. Though costly, taking a train is the best option if you end up being in Collioure on Sunday where the bus is operated once a day. The train goes more often and don't forget to buy the ticket in advance or online because no train stations are opened on Sunday in the village.

The cheapest way is by Le Bus €1 and it takes around 45 minutes. You can find the timetable here . During summertime, be ready to have a bus full of young people on the weekend. They have the same destination as you; feeling the breeze on the coastline. Traveling by bus was quite boring in the beginning because I only saw the vineyard and mountain along the road. But, the spectacular view of the Mediterranean sea would be coming just when I got into Collioure.

A pearl of the Vermeille coast, Collioure is known as a fishing village. But for me, it is more than that. First, it seemed like a resort, as shown by some high-end shops. Second, it is one of the romantic villages in France, rendered perfect by an almost perpetually blue sky.

To be honest, I am not a beach baby who need vitamin-sea and crammed with vacationers when summer is coming. When I heard about Collioure from my host dad, he just told me that he loves its beach and the impression of being here. He never told me about the romanticism while you roam around in this tiny village!

Collioure is a colorful village with its ochre and pink facades, multicolored Catalan boats, and the bright blue sky and sea. I stepped my feet thoroughly in the small lanes and didn't stop wowing. I am falling in love in a sudden. The facades reminded me of Cartagena, a place where always be on my bucket list. But, I don't know, it seemed like I have to skip Cartagena at the moment because Collioure has brought off the colors enticingly.

I was a solo traveler, an au pair, and also planned to stay over for one night only. Finding a cheap accommodation in Collioure was complicated, especially if I had to bear all the cost on my own. I found a small and the cheapest hotel in Port Vendres, 2 km in the south from Collioure, where people said also well-worth visiting. I agree since it's very different and far less touristy than Collioure.

Le Swan was a place where I spent the night. Its location was quite good and only 6 minutes walking from the bus stop. The owner, Paul, is an artist. He was so friendly and tried to listen to what guests need. He also showed me a route to hike down from Le Swan to Collioure, which only took around 45 minutes. For the price €21 in one night in a female opened-bulk room, you pay what you get and I couldn't complain more to what I had. The cleanliness and privacy are almost zero. But it is cheap, close to Collioure, only me who slept in the female room, so what else I should have expected? The thing is, most solo travelers also chose this place to room for one or two nights.

There is also Wednesday and Sunday market in Collioure where you cand find the same items as any lively markets around France have. The market is held through the year from 8 AM to 1 PM beneath the shade of the trees on the little Place Général Leclerc and extends down along the length of Quai de l’Amirauté.

Tips Mitos dan Fakta Au Pair di Skandinavia|Fashion Style

Sebenarnya saya tidak berminat jadi au pair di Denmark sebelumnya. Tujuan kedua saya setelah Belgia adalah Prancis, negara kuliner, seni, dan budaya. Saya memang suka seni dan sempat belajar bahasa Prancis, makanya sayang sekali kalau kemampuan bahasa saya tidak sempat terasah.

Gagal di Prancis, saya mencoba peruntungan di negara Skandinavia. Waktu itu sebetulnya saya ingin ke Swedia, tapi malah mendapatkan keluarga angkat di Denmark . Jujur saja, saya tidak pernah tahu bagaimana membaca Copenhagendalam bahasa Inggris dengan benar sebelum mengajukan visa ke VFS Global di Jakarta.

Saat itu terpampang layar besar di depan meja customer service yang memperkenalkan kota Kopenhagen dan alam Denmark yang tidak pernah saya tahu sebelumnya. Saya juga baru tahu kalau Kopenhagen mirip Amsterdam yang terdapat kanal di tengah kota. Sebelum wawancara di kedubes pun, saya bingung apa trademark negara Denmark dan apa yang menarik dari tempat ini. Saya sampai harus searching dulu tentang Kopenhagen sebelum nanti ditanya, what do you know about Denmark?

Beberapa buku travelling yang saya baca juga tidak terlalu menonjolkan keindahan Denmark, kecuali Swedia dan Norwegia. Terbukti kan, kalau sebetulnya Denmark tidak terkenal di Indonesia. Banyak masyarakat yang malah menyamakan Denmark dengan Jerman saking tidak tahu letak negara ini dimana. Orang Indonesia yang datang kesana jadi au pair juga jumlahnya sangat sedikit ketimbang Jerman dan Belanda.

Hebatnya, sekarang malah banyak orang Indonesia semakin tahu Eropa Utara dan berminat jadi au pair di salah satu negaranya. Terutama negara di Skandinavia yang terdiri dari Denmark, Norwegia, dan Swedia. Tiga tahun lalu saat pertama kali ke Denmark, saya tidak banyak menemukan au pair Indonesia. Saya yakin pasti ada, tapi jumlahnya hanya beberapa dan pastinya tersebar di beberapa kota.

Sekarang, au pair Indonesia makin banyak yang ingin ke Skandinavia. Namun ada beberapa mitos yang saya dengar tentang Skandinavia dan membuat saya ingin mengoreksinya disini.

Mitos 1: Bisa menabung dari uang saku

Banyak! Banyak sekali anggapan tentang uang saku di Skandinavia lebih tinggi dari negara lainnya hingga membuat au pair di negara ini sangat beruntung. Gara-gara terbujuk uang saku yang dianggap besar, makanya banyak au pair lain yang ingin secepatnya mencari keluarga angkat dan tinggal di sini.

Girls, uang saku sudah diatur sesuai biaya hidup di negara tersebut. Mungkin kamu melihat uang saku di Norwegia sungguh besar, 5600 NOK (2018) per bulan atau sama dengan €580. Tapi jangan lupa juga, Norwegia adalah salah satu negara termahal di Eropa. Uang tersebut belum dipotong pajak yang bisa mencapai 800 NOK per bulan. Belum lagi transportasi bulanan sampai 750 NOK kalau mobilitas kamu cukup tinggi.

Negara di Skandinavia memang menawarkan uang saku yang kelihatan lumayan, tapi biaya hidupnya juga lebih besar ketimbang Eropa Barat. Kalau memang ingin menabung, silakan sebisa mungkin mengatur keuanganagar tidak terlalu boros setiap bulan. Uang saku au pair sangatlah standar dan jarang sekali akan bertambah, kecuali ada kesepakatan suplemen tambahan dari keluarga angkat atau black job. Kalau kamu berpikir uang saku au pair di Skandinavia bisa menutupi kuliah lanjutan dan biaya hidupmu di Eropa nanti, think! Think again!

Pernah saya katakan juga, belajarlah dari para cewek Filipina kalau ingin banyak menabung dengan cara yang hard core. Contohnya di Denmark, dari uang saku 4250 DKK per bulan, mereka menabung hingga 3500-4000 DKK di kampung halaman. Dari tabungan tersebut, mereka bisa sampai membangun rumah dan membiayai adik sekolah, lho!

Saran saya, kalau memang berniat menabung, tujuan utama justru bukan Denmark atau Norwegia. Berlabuhlah ke Belgia atau Luksemburg yang bebas pajak , uang saku tinggi, plus biaya hidupnya yang tidak semahal Skandinavia.

Mitos 2: Melihat aurora borealis

Saya tahu, salah satu mimpi terbesar au pair Indonesia yang ingin ke Eropa Utara adalah melihat aurora borealis, thenorthern lights, atau sang cahaya utara saat musim dingin. That's also one of my dreams indeed. Saya juga belum sempat melihat si aurora karena keduluan mabok laut saat di Islandia .

Tapi, melihat aurora itu butuh perjuangan dan mahal. Kalau kamu berencana tinggal di Kopenhagen, jangan harap bisa melihat secercah aurora saat musim dingin. Aurora hanya bisa dijumpai di langit cerah nan jauh di ujung utara Eropa. Untuk kesana tentunya tidak murah dan harus merencanakan datang di waktu yang tepat. Kecuali kamu tinggal di bagian ujung utara Swedia atau Norwegia, melihat aurora saat musim dingin bukanlah impian yang mudah.

Menabunglah, lalu persiapkan waktu yang tepat untuk memburu aurora. Dua orang teman saya sengaja datang jauh-jauh dan mahal ke Troms?, Norwegia, untuk melihat pemandangan nan magis ini. Dari waktu satu minggu disana, mereka hanya bisa melihat aurora satu hari saja.

Intinya, kamu tidak harus tinggal di Skandinavia dulu untuk melihat aurora borealis. Kalau pun ingin melihat pemandangan ini di sepanjang musim dingin, carilah keluarga angkat yang tinggal di pedesaan nan jauh di Eropa Utara. Resikonya, kamu harus merelakan jiwa sosial dan modern-day karena desa-desa di ujung utara Eropa biasanya masih konvensional.

Mitos 3: Batu loncatan kuliah

Banyak calon au pair Indonesia yang melihat Skandinavia sebagai peluang untuk lanjut sekolah ke negara impian. Alasannya, karena mengurus visa ke Skandinavia lebih mudah ketimbang harus ke Jerman atau Austria, misalnya. Dari Skandinavia, biasanya si au pair akan lanjut sekolah ke negara impian yang biaya kuliahnya lebih murah dari Eropa Utara.

Saya tidak tahu niat awal kalian bagaimana. Tapi menurut saya, kalau memang sudah berniat lanjut kuliah di Jerman, sebaiknya mulailah dari negara yang penduduknya berbahasa Jerman. Meskipun harus menunjukkan sertifikat bahasa, tapi setidaknya itulah modal awal yang memang harus kita miliki jika ingin kuliah murah.

Tidak memiliki sertifikat bahasa? Ya berlatih dan belajarlah lebih dulu. Jadi au pair di Skandinavia selama dua atau tiga tahun, lalu ke Jerman dan ujung-ujungnya ingin lanjut sekolah disana, bukankah akan buang-buang waktu?

Banyak teman saya yang golnya lanjut kuliah di Belgia, jadi negara pilihan pertama dia Belanda. Ada juga yang ingin kuliah di Austria, lalu negara utamanya Jerman. Terlihat lebih relevan, hemat waktu yang hanya 2 tahun, lalu straight melamar kuliah, kan?

Kalau kamu merasa ingin menghabiskan waktu di Skandinavia dulu, silakan saja. Setahu saya, jarang sekali ada au pair yang mandiri langsung lanjut kuliah di Swedia, Denmark, atau Norwegia, tanpa bantuan sponsor. Saran lain, boleh saja mengabaikan kursus bahasa Nordik, lalu memilih belajar bahasa Belanda atau Jerman di negara Skandinavia. Jatuhnya memang cheating karena kamu tidak belajar bahasa lokal , tapi kalau memang serius belajar bahasa lain, ya why not?

Terlepas dari mitos yang pernah saya dengar, sebaiknya kalian berpikir ulang untuk jadi au pair disini. Jadi au pair di Skandinavia itu abu-abu. Kamu kadang bingung membedakan batas antara 'ikhlas karena keluarga' dan 'profesional karena menerima bayaran'.

Fakta 1: Au pair = cleaning lady

Saya pernah cerita kalau au pair itu adalah gadis muda serba bisa . Kalau kamu tahunya au pair adalah culture exchanging, mata kamu akan terbuka lebar setelah datang ke Skandinavia.

Sudah jadi rahasia umum kalau au pair di Skandinavia itu tidak ada bedanya dengan tukang bersih-bersih. Yes, I speak the truth! Saya tahu keluarga mean itu ada dimana-mana, tidak hanya di Skandinavia. Tapi saya merasa, mindset keluarga di Denmark dan Norwegia lebih melihat praktik au pair ini sebagai pengganti nanny dan cleaning lady saja. Wajarlah, sewa cleaning lady di Denmark dan Norwegia memang mahal sekali.

Di Eropa Barat, kebanyakan keluarga angkat punya cleaning lady dan biasanya au pair hanya kebagian tugas dominan mengasuh anak saja. Saya memang sempat bermasalah dengan keluarga di Belgia, tapi dua keluarga saya disana semuanya mempunyai cleaning lady. Dua malah! Meskipun karakter mereka yang super bossy dan tidak adil, tapi saya tidak pernah disuruh mengganti sprei atau menyetrika pakaian segunung.

Di Skandinavia, jangan harap menemukan keluarga seroyal itu! Tugas menumpuk mulai dari jaga anak sampai membersihkan kaca. Belum lagi sifat sebagian orang-orang Skandinavia yang kadang close-minded dan menganggap Asia Tenggara hanyalah land of maids! Belum lagi di Swedia banyak keluarga imigran Arab atau India yang charming, tapi juga menyiapkan jadwal berlebih untuk kamu. Siap-siap kebagian tugas beraneka rupa dan bersiaplah pula untuk enggan mengatakan tidak.

Karena seringnya bekerja lembur dan banyak au pair yang diperlakukan tidak adil, di awal tahun 2018 sempat ada diskusi tentang pelarangan au pair non-EU untuk datang ke Denmark. Tidak seperti Swiss yang tegas untuk menghapus pemberian visa au pair pada gadis-gadis non-EU, Denmark menimbang kasus tersebut dan di awal bulan Juli memutuskan untuk tetap membuka kesempatan bagi au pair non-EU datang ke negara mereka.

Padahal saya berharap praktik au pair non-EU ini bisa segera dilaksanakan mengingat banyak keluarga Skandinavia yang tak henti-hentinya menindas au pair mereka. Memangnya mudah mengatakan 'tidak' ke keluarga angkat?! Belum apa-apa, kita malah langsung ditendang tanpa notifikasi dulu.

Fakta 2: Lapak Filipina

Saya sebetulnya sudah diwanti-wanti oleh seorang teman sewaktu di Belgia, "jangan datang ke Denmark, itu lapaknya orang Filipina!"

Kedengarannya lucu, tapi Denmark dan Norwegia memang rumah kedua orang Filipina! Gara-gara populasi mereka yang kebanyakan ini juga, saya sangat skeptis dengan bangsa mereka. Saya mengenal satu atau dua orang teman Filipina yang memang baik. Tapi kalau sudah berkumpul dengan komplotan mereka, tetap saja kembali ke orang Filipina yang kelakuannya norak dan nosy.

Saya mungkin terlalu rasis. Norak bagi saya belum tentu norak bagi mereka. Tapi kelakuan mereka yang norak itu juga membawa imej jelek terhadap au pair Asia di Skandinavia. Semua au pair non-Filipino juga tahu, imej 'au pair = pembantu' di Skandinavia itu sebetulnya didapatkan dari orang Filipina yang mau disuruh kerja apa saja asal dapat uang.

Niat utama mereka jadi au pair itu 90% hanya karena uang, bukan bagian pertukaran budaya. Kebanyakan au pair Filipina ini juga 'lulusan' pembantu profesional dari Singapura atau Hongkong. Makanya mereka ahli mengurus pekerjaan rumah dan sangat patuh dengan keluarga angkat.

Tujuan asli au pair yang harusnya pertukaran budaya pun akhirnya rusak oleh beberapa komplotan Filipina ini. Mereka sampai mengelabui syarat utama au pair yang tidak boleh memiliki anak dan menikah. Banyak sekali au pair Filipina yang saya kenal memang tidak menikah, tapi anaknya banyak!

Sebalnya, imej au pair Indonesia yang bermuka mirip mereka pun kena imbas. Tanpa harus bertanya lebih dulu, orang di Denmark dan Norwegia langsung saja menebak kalau gadis muda dengan muka melayu seperti kita, asalnya pasti dari Filipina dan bekerja sebagai au pair. Saya tidak malu dengan fame au pair-nya. Tapi saya sebal kalau dianggap gadis Asia miskin yang hanya datang ke Skandinavia untuk jadi pembantu dan memanfaatkan cowok lokal untuk dapat izin tinggal.

Satu cowok Islandia close-minded yang pernah saya temui sampai berkata, "orang Asia yang datang ke Eropa itu hanya ada dua, super kaya atau super pintar (karena beasiswa)."

Maksudnya, selain itu, pasti datang ke Eropa sebagai tukang bersih-bersih. Memang sialan!

Imej 'direndahkan' seperti ini herannya hanya saya dapat di Skandinavia. Di Belgia, hampir semua orang tidak tahu apa itu au pair. Saat tahu pun, mereka sangat terbuka dan tidak memandang rendah pekerjaan ini. Plusnya lagi, yang jadi au pair di Belgia tidak hanya dari Filipina, tapi merata dari semua negara non-EU.

Lalu akhirnya saya paham, orang Filipina memilih datang ke Skandinavia karena syarat visanya remarkable mudah dan agensinya dimana-mana. Berbeda dengan Belgia atau Jerman yang syaratnya bejibun plus kemungkinan dapat visa kecil. Jadi kalau kamu malas disangka orang Filipina yang berprofesi sebagai pembantu, datanglah ke negara bersyarat banyak seperti Jerman, Austria, Belgia, atau Prancis!

Fakta three: Malas belajar bahasa

Kecuali kamu tidak berniat tinggal lama di Skandinavia, belajar bahasa Nordik akan terkesan buang-buang waktu. Di Denmark, semua keluarga angkat diwajibkan membayar sejumlah uang muka untuk biaya kursus bahasa Denmark bagi para au pair. Dengan pembayaran di awal ini, diharapkan au pair akan serius belajar bahasa hingga 24 bulan ke depan. Sementara di Norwegia , keluarga angkat berkewajiban menyiapkan dana hingga 8400 NOK per tahun untuk biaya kursus dan suplemen belajar.

Di Swedia, biaya kursus bahasa bagi au pair gratis, namun hanya dikhususkan untuk au pair saja. Kalau ingin mengambil kelas bahasa di tempat yang lebih bonafit, au pair atau keluarga angkat harus membayar uang penuh. Sayangnya, meskipun gratis, namun banyak saja au pair yang tidak ingin belajar bahasa dan memilih berdiam diri di rumah. Meskipun keluarga angkat banyak yang bersedia mendukung para au pair untuk ikut kursus, mungkin tidak sampai 5% au pair di Skandinavia yang mau datang dan serius belajar hingga akhir masa au pair mereka. Kebanyakan hanya serius di awal dan puas sampai level A1 saja.

Saya tahu, tidak ada pembelajaran yang sia-sia memang. Apalagi kalau kita tekun dan berniat menguasai satu bahasa asing lain. Saya pribadi hanya menjadikan sekolah bahasa sebagai tempat mencari teman dan bertukar pikiran dengan para imigran lainnya. Belajar bahasa Denmark selama dua tahun belum tentu membuat saya langsung fasih dan mengerti bahasa Nordik lainnya. Meskipun bahasa Nordik mirip-mirip (kecuali Finlandia), tapi belajar juga butuh waktu.

Lain halnya dengan bahasa Belanda, Prancis, Jerman, atau Rusia yang bisa dipakai hampir di semua penjuru Eropa, tidak ada orang yang benar-benar berniat belajar bahasa Nordik kecuali akan tinggal lebih dari 2 tahun. Mengingat hampir semua angkatan di Skandinavia sangat lancar berbahasa Inggris, membuat banyak imigran jadi manja dan nyaman berkomunikasi tanpa harus belajar bahasa lokal.

Skandinavia memang indah. The crisp air, soothing forest, great public transportation service, or hot blond guys would definitely seduce you! Boleh saja mencicipi tinggal dan jalan-jalan di negara mahal ini, tapi tetaplah bersiap dengan semua pengalaman buruk yang bisa menghantui masa au pair mu. Scandinavian host families won't be easy.

Saran dari saya, kalau memang ini adalah pengalaman pertama mu jadi au pair, jangan pernah memilih Denmark atau Norwegia. I bet, you are still naive and afraid of facing a cross-cultural communication. Pilihlah Swedia yang masa au pairnya hanya satu tahun dan kebanyakan orang Swedia juga sudah terbuka dengan imigran. Atau, jadikanlah Denmark dan Norwegia sebagai negara kedua jika kamu memang ingin tinggal di Skandinavia. To be perfectly honest, I am so happy opted for Belgium as my first host country.

How about you? Are Scandinavian international locations your utopian dream?

Tips Mengasuh Anak-anak Keluarga Eropa|Fashion Style

If people think, I want to be an au pair (this long) because I love kids, that's totally wrong!

Though, I am so good at faking it.

Lasse, host dad Norwegia, menyapa saya dengan muka lelah di pagi yang cerah. Dia mengadu kalau si kakak tak henti-hentinya bangun dan menangis sejak jam 2 pagi. Tak jelas apa sebabnya, tapi si bapak ini harus bolak-balik menenangkan si anak.

"Too much work to do also. I am so tired," keluhnya sambil tetap tersenyum.

Tidak sekali ini saja si bapak mengeluh tentang gaya hidupnya yang berubah sejak punya anak. Lasse memang jujur dalam banyak hal dan tidak segan menceritakannya ke orang baru, seperti saya. Dari foto lamanya yang saya lihat, si bapak dulunya sangat menjaga bentuk badan dengan cara terus berolahraga.

"Now I even have no time to exercise," keluhnya lagi di waktu yang lain. "I am actually exhausted. I'd rather watch a movie, than run. But it's obligatory! Too much fatty food last weekend and I expect to get my well-shaped body again."

Siap punya anak berarti memang harus siap dengan resiko yang akan diterima. Siap bangun tengah malam, siap tidur kurang, siap punya rumah lebih besar, dan siap-siap juga kehilangan waktu untuk having fun. Makanya untuk mengurangi beban, keluarga di Eropa mau keluar uang tidak sedikit untuk menyewa jasa au pair.

Meskipun gaya parenting dan babysitting orang Eropa lebih 'easy' ketimbang di Indonesia, tapi jadi au pair mereka bisa sama stresnya. Kita dituntut untuk fleksibel dan diberi tanggung jawab sebagai pengganti orang tua saat mereka tidak di rumah. Apalagi saya yang sudah 3,5 tahun jadi au pair dan berpengalaman mengurusi anak dari usia 0-12 tahun, rasa bosan dan stresnya sudah diubun-ubun!

Tiap keluarga angkat punya cerita dan pola asuh yang berbeda-beda. Berikut pengalaman saya menjadi kakak dan babysitter bagi para host kids di Eropa. Tanpa bermaksud menjelek-jelekkan para keluarga, saya hanya memberikan gambaran bagaimana anak-anak Eropa diasuh dengan kultur yang berbeda dengan Indonesia. Trust me, karakter anak memang terbentuk seperti apa mereka dididik dari kecil!

Keluarga Belgia-Maroko

Tiba di Belgia, host mom saya sedang hamil tua dan tinggal menunggu waktu kelahiran anak keduanya. Dari awal sudah dijelaskan kalau saya hanya disuruh fokus menjaga si kakak yang baru berumur 2 tahun. Tugas saya sebetulnya tidak berat dan masih wajar, seperti antar-jemput si kakak, bermain bersama, masak makanan sederhana untuk dibawa ke TK, ataupun hanya hand washing baju anak-anak.

Pertama kali jadi au pair, saya kaget sekali memperhatikan pola asuh keluarga ini yang sangat suka membentak dan berteriak ke anak. Walaupun si kakak baru berumur 2 tahun, tapi seperti sudah diperlakukan layaknya anak umur 5 tahun. Si anak dipaksa untuk dewasa dan mandiri, padahal bicara pun belum lancar. Kalau salah sedikit, ditarik atau dimaki tepat di depan kupingnya. Saya sampai tidak tega hati.

Entah karena memang kebanyakan didikan keluarga Arab sangat keras, akibatnya si kakak jadi sangat keras kepala dan suka berteriak juga. Orang tuanya kadang berusaha untuk tegas dengan melarang ini itu, tapi yang saya lihat, mereka hanya modal memaki. Tujuannya berharap si anak takut, lalu menuruti apa kata orang tuanya. Padahal yang terjadi, si anak sering kali membantah dan merengek.

Saya sering kali dibuat jengkel oleh ulah si kakak yang suka berkata 'tidak' untuk semua hal. Si ibu juga sangat berharap kalau saya bisa jadi teman main si kakak dengan menciptakan banyak ide kreatif seperti melukis atau menggambar. No TV, no gadget. Tapi karena sulit sekali dijadikan teman, saya kewalahan juga mengurus anak ini.

Keluarga Belgia

Merasa tidak berbakat mengasuh anak kecil, saya meminta pihak agensi untuk dicarikan keluarga angkat yang anaknya sudah besar. Mungkin akan lebih mudah, pikir saya saat itu.

Hanya 3 hari berselang, pihak agensi menawarkan saya keluarga di Laarne yang anaknya berumur 7, 11, dan 12 tahun. Semua anak sangat baik, bersahabat, dan fasih berbahasa Inggris. Anak-anak ini sangat suka bercerita dan menganggap saya layaknya seorang kakak. Maklum, saya adalah au pair ke-7 mereka.

Ternyata memang benar, mengurus anak seusia mereka sangat easy. Saya tidak perlu mengganti popok, memandikan, sok-sok cari bahan permainan, ataupun lari-larian kesana kemari. Mereka sudah besar dan tahu apa yang ingin dilakukan. Tugas saya betul-betul seperti kakak tertua yang hanya menuntun ke sekolah naik sepeda, membuat makan malam, dan babysitting semalaman suntuk saat orang tuanya masih sibuk bekerja.

Kalau mau jujur, tugas saya disini betul-betul enak dan santai. Fokus saya hanya ke anak, masak untuk makan malam 4 kali seminggu, dan 2-3 kali sebulan saja vacuuming lantai dasar. Tidak tanggung-tanggung, saya diberikan satu rumah dua lantai sebagai tempat tinggal. FYI, rumah ini dulu memang punya mereka saat rumah utama sedang direnovasi. Karena tidak pernah ditinggali lagi, jadinya dialihkan sebagai akomodasi au pair.

Tidak enaknya mengasuh anak yang sudah besar-besar ini adalah mereka sangat mudah mengatur kita. Aturan orang tua yang tadinya sangat strict, tidak boleh ini, tidak boleh itu, akhirnya dengan mudah dilanggar saat orang tua mereka tidak di rumah. Mereka sangat sering mengajak negosiasi untuk nonton film atau main gadget lebih lama dan tidak jarang ada insiden berkelahi dulu sebelum tidur.

Keluarga Denmark

Saat wawancara pertama saya dengan si ibu, beliau mengatakan kalau sedang menunggu kelahiran dua bayi kembar beberapa bulan lagi. Selain menunggu si kembar, host parents saya juga memiliki anak pertama yang berusia 4 tahun. Tapi karena si bayi nantinya kembar, si ibu meminta saya fokus membantu mengurusi si bayi. Urusan si kakak adalah urusan orang tuanya.

Sampai di Denmark, si bayi sudah berumur 4 bulan and I fell in love in a sudden! Mereka sangat lucu dan mukanya tidak mirip. Yang satu mirip bapak, yang satu mirip ibu. Si kakak belum terlalu dekat dengan saya karena saat itu masih manja-manjanya dengan orang tuanya. Beberapa kali dia berusaha mengajak main, tapi saya sering bingung sendiri karena belum bisa bahasa Denmark .

Enaknya mengurus bayi itu, kita tidak perlu pusing-pusing memikirkan ingin main apa hari ini. Tidak juga capek harus kejar-kejaran hanya karena si anak terlalu aktif. Tapi kesalnya juga banyak! Si bayi tidak bisa ditinggal, harus siap mendengar rengekan, butuh perhatian ekstra, harus disuapi, plus kita mesti menggendong kesana kemari. Belum lagi kalau mereka eek berceceran atau muntahan yang harus segera dibersihkan. Sanggup kamu?

Beruntungnya, host mom saya tipe ibu yang supeeeer sabar dan tidak pernah mengeluh sedikit pun. Saya tahu mukanya lelah mengurus dua newborn babies plus satu anak lagi. Tapi mungkin karena sudah sangat siap punya anak, jadinya kedua orang tua ini lebih bertanggungjawab. Tugas jaga anak dibagi dua. Siang bagian saya dan si ibu, malamnya giliran si bapak yang membuat susu dan bangun kalau si kembar menangis.

Dari segi karakter, host parents saya ini ibarat dua sisi mata koin. Si bapak terlihat lebih arogan, mudah emosi, dan suka berteriak ke anak. Si ibu begitu lembut, jarang marah, dan suka memanjakan anak. Imbasnya, si kakak jadi ikut-ikutan si bapak yang punya temperamen tinggi dan suka berteriak kencang sekali. Sifat manjanya makin menjadi-jadi dengan bersikap bossy, minta perhatian dengan cara kasar, ataupun berteriak agar suaranya didengar.

Si kakak sebetulnya anak yang super manis kalau 'warasnya' keluar. Tapi sifat usil dan keras kepalanya memang bisa membuat semua orang kesal. Meskipun sudah dimarahi habis-habisan, herannya anak ini tidak pernah kapok dan balik memarahi orang tuanya.

Saya tak memungkiri bahwa tahun pertama di Denmark adalah tahun terberat saya dengan tugas yang super variatif. Mulai dari masak makan malam setiap hari, jaga bayi, laundry, lipat pakaian, sampai bersih-bersih rumah pun, saya semua yang mengerjakan.Kerja minimal baru selesai jam 8 malam. Tapi saat si bayi belum setahun, mereka harus ditimang-timang dulu sebelum tidur. Sudah tangan pegal, saya ikut mengantuk, kerja juga sering lembur sampai jam 9.30 malam.

Keluarga Norwegia

Berpengalaman mengasuh newborn babies sepertinya membuat keluarga Norwegia ini sangat tertarik dengan profil saya. Apalagi saat mereka tahu kalau saya sempat ditinggalkan bertiga saja dengan si kembar saat orang tuanya tidak ada di rumah.

"Lalu kalau mereka sama-sama menangis, bagaimana? Kamu gendong sekaligus?" tanya si bapak saat itu.

"Tidak. They have different characters. Yang satu memang sangat rewel, yang satu pendiam. Untungnya, mereka seperti mengerti satu sama lain. Kalau yang satu menangis, yang satunya diam. Malah pernah yang satu menangis sangat kencang, tapi yang satu lagi tidak terbangun dari tidur sama sekali."

Saat saya berkunjung ke Oslo, si ibu sedang mengandung anak kedua selama 4 bulan. Anak mereka yang pertama baru berumur 1 tahun 5 bulan. Menurut cerita dari au pair mereka sebelumnya, keluarga ini super easy dan tipe orang tua yang mau berbagi peran, tanpa sepenuhnya melimpahkan tugas anak ke au pair.

"Really? Kami dulu tidak pernah meninabobokkan si kakak saat masih bayi. Letakkan saja di kasur, lalu si kakak tidur dengan sendirinya," kata si bapak saat mendengar saya harus menimang-nimang si kembar dulu sebelum tidur.

Luar biasa! Kalau si kembar Denmark dulunya kami perlakukan seperti itu, yang ada mereka terus-terusan menangis dan tidak mau tidur.

Si adik yang baru berusia 3 minggu saat saya datang ke Oslo, akan jadi tanggung jawab terbesar saya. Dibandingkan dengan si adik, interaksi saya dengan kakaknya mungkin hanya 10% saja setiap hari. Saya tidak terlalu banyak diberi tugas mengawasi si kakak karena memang anaknya tidak manja dan rewel. Si adik ini sebetulnya yang paling membuat saya jengkel!! Tangisannya sangat nyaring, melengking, dan menusuk telinga. Rasanya ingin saya banting kalau tantrum-nya keluar.

Tapi sebetulnya mengurus si adik ini cukup mudah karena kita sudah tahu apa yang akan dilakukan. Si ibu super strict dalam mendisiplinkan anak-anaknya sejak usia 1 hari. Waktu makan dan tidur diatur sedemikian rupa agar anak-anaknya terbiasa dan mempermudah kita juga merawat mereka. Betul saja, jam 7 malam sudah tidak lagi suara anak kecil di rumah ini karena mereka dengan mudah bisa tidur sendiri dengan hanya dibaringkan di kasur. Tugas saya pun jadi lebih mudah karena jam 6 atau 6.30 malam sudah beres.

Pola asuh keluarga ini memang bisa dijadikan contoh. Meskipun si anak masih kecil, tapi orang tuanya sudah mengajarkan untuk bersikap lemah lembut dan sopan. Si kakak yang sekarang berusia 2,5 tahun adalah anak yang sangat manis, lembut, dan kalem. Si kakak tidak diperbolehkan berteriak kencang di dalam rumah, memukul, dan bermain dengan makanan.To be honest, saya tidak pernah menemukan sisa makanan si kakak yang berhamburan di bawah meja karena cara makannya yang bersih dan tertata.

"Kalau kamu sudah membiasakan sikap tegas dan disiplin ke anak sejak mereka bayi, hal itu akan membuat hidup mu lebih mudah," kata si host mom.

I agree!

Sebetulnya jadi au pair dan mengasuh anak keluarga Eropa itu bisa jadi edukasi dan latihan kalau nanti ingin punya anak. Memang tidak ada pola asuh yang benar-benar tepat, entah itu keluarga Eropa ataupun keluarga Indonesia. Apalagi karakter anak terbentuk dari didikan orang tua terlebih dahulu. Sayangnya, banyak sekali keluarga yang sok-sokan strict dengan anak tapi mereka sendiri yang kadang mengingkari. Ujung-ujungnya au pair atau pengasuh lagi yang disalahkan kalau anak mereka tidak mau menurut.

Saran saya, tetaplah berdiskusi dengan para orang tua kalau kamu mengalami kesulitan mengasuh anak-anak mereka. Coba bicarakan dengan cara santai tanpa terkesan mengeluh dengan kerjaan. Jangan lupa juga belajar bahasa lokal agar host kids lebih paham apa yang kamu katakan.

Satu lagi, kalau kamu belum pernah mengasuh bayi, please don't dare to do so! Mengutip film Dilan, "jangan mengasuh bayi. Ini berat. Kau tak akan kuat. Biar aku saja." 😄

Mengasuh anak orang saja sudah melelahkan dan stressful, apalagi anak sendiri. Saya belum sanggup harus kehilangan waktu tidur dan bersenang-senang. Terlalu lama jadi au pair malah membuat saya tidak ingin punya anak (dulu)!

Thursday, May 28, 2020

Tips Tinggal di Norwegia, Belajar Norsk|Fashion Style

Bahasa Norwegia (Norsk) adalah bahasa resmi yang dipakai di Norwegia dengan dua penulisan yang berbeda, Bokmål (Book language) dan Nynorsk (New Norwegian). Dua-duanya mirip secara linguistik namun pada dasarnya lebih dianggap sebagai "dialek dalam tulisan". Bokmål diajarkan dan dipakai oleh 90% populasi Norwegia, sementara Nynorsk hanya dipakai oleh 10% penduduk Norwegia di bagian barat.

Sebetulnya bahasa Norwegia bukan bahasa baru bagi saya. Layaknya bahasa Nordik yang mirip-mirip, pola tatabahasa dan penulisannya seragam dengan bahasa Denmark dan bahasa Swedia. Saya sempat belajar bahasa Denmark sampai Modul 4 dan beruntungnya hal tersebut cukup membantu saat awal berkenalan dengan host kids.

Tapi meskipun penulisan bahasa Denmark dan Norwegia sangat mirip, jangan bayangkan pelafalannya. Norsk terdengar lebih masuk akal dan cocok bagi lidah orang Indonesia. Kalau bahasa Swedia dan Norwegia intonasinya seperti orang bernyanyi, bahasa Denmark lebih terdengar seperti orang mengunyah kentang panas. Belum lagi sistem penomoran bahasa Denmark yang berbeda sendiri dan terkesan lebih tidak masuk akal, karena hanya mereka sendiri yang mengerti se-Skandinavia.

Contoh pelafalan:

Tager (Dansk) - Tar (Norsk) yang artinya mengambil, dibaca Taa' (Dansk) dan Tar (Norsk).

Haven (Dansk) - Hagen (Norsk) yang artinya kebun, dibaca Hewun (Dansk) dan Hagen (Norsk).

Toget (Dansk) - Toget (Norsk) yang artinya kereta, dibaca To' (Dansk) danToge (Norsk).

Hvorfor (Dansk) - Hvorfor (Norsk) yang artinya mengapa, dibaca Wo'foa (Dansk) dan Wurfur (Norsk)

67

Norsk : sekstisju

Svenska : sextiosju

Íslensku :sextíu og sjö

Dansk : syvogtres (tujuh dan enam puluh) - tres = 60

70

Norsk : sytti

Svenska : sjuttio

Íslensku : sjötíu

Dansk : halvfjerds (baca: helfias) ☹

Terlepas dari penulisan yang mirip dengan bahasa Denmark, saya tetap harus mulai lagi kursus Norskdari level paling dasar (A1). Sama halnya dengan bahasa Indonesia dan Malaysia, beberapa bahasa Skandinavia juga memiliki kata-kata berbeda yang memiliki makna sama. Contohnya anak perempuan, Pige (Dansk), Jente (Norsk), dan Flicka (Svenska). Meskipun memungkinkan untuk lompat level, tapi saya tetap butuh pedoman dasar untuk berlatih dengan host kids. Lagipula gol utama saya bukan untuk naik kelas saja, tapi juga belajar kosakata dan frasa paling sederhana hingga penekanan pada intonasinya.

Sistem edukasi bahasa di Norwegia bagi pendatang asing berbeda dengan Denmark. Di Denmark, keluarga angkat saya harus membayar uang muka sekitar 5400 DKK untuk biaya kursus. Setiap pendatang yang sudah mendapatkan Social Security Number sangat disarankan untuk mempelajari bahasa Denmark di berbagai sekolah bahasa, GRATIS! Hal tersebut menjadi wajib kalau pasangan kita warga negara Denmark, karena berhubungan dengan jaminan yang dibayar oleh pasangan di balai kota sebagai izin kita tinggal.

Dari suplemen belajar sampai buku pelajaran disediakan secara cuma-cuma untuk mendukung para pendatang mempelajari bahasa lokal. Sayangnya, banyak pendatang yang tidak serius belajar bahasa Denmark dan berhenti di tengah jalan. Kabar yang saya dengar, partai anti-imigran di Denmark mulai menghapuskan free Danish course tahun ini dan mewajibkan pendatang untuk membayar deposito penuh sebagai jaminan hingga tamat sampai Modul 5. Karena tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah lagi, beberapa sekolah bahasa swasta bahkan berencana tutup.

Kembali ke Norwegia, sekolah bahasa disini dikelola oleh swasta dan pribadi. Disini kita harus membayar 3000-6000 NOK per level dengan masa studi 1,5 bulan untuk kelas 2 kali per minggu. Belum lagi kita diwajibkan memiliki dua buku pengantar yang harga totalnya hampir 1000 NOK. Buku ini harus asli dan tidak boleh difotokopi.

Tapi, ada pengecualian untuk beberapa grup imigran tertentu yang bisa mendapatkan kursus dan training gratis selama 3 tahun. Salah satunya adalah pendatang yang memegang residence permit karena living together atau menikah dengan warga asli salah satu negara Nordik. Kursus ini memang lebih lama dibandingkan kursus di tempat lainnya karena tujuannya tidak hanya belajar bahasa, namun mempersiapkan para pendatang untuk tinggal lebih lama dan jadi warga negara tetap.

Sekolah bahasa di Norwegia tersebar di banyak tempat tergantung dengan kebutuhan kita. Ada kursus privat 1-1 untuk memperlancar komunikasi, ada juga institusi resmi yang memberikan sertifikat setelah masa pembelajaran. Bagusnya, hampir semua institusi dan kursus privat menerapkan kelas dengan grup kecil yang hanya membatasi 8-10 orang saja. Beberapa kenalan Filipina saya juga ada yang menyarankan ikut kursus daring gratis yang diselenggarakan oleh University of Oslosebagai pengenalan.

Khusus untuk au pair di Norwegia, keluarga angkat wajib menyubsidi iuran kursus hingga 8400 NOK per tahun. Tergantung kesepakatan apakah keluarga angkat bersedia membayar lebih atau tidak, karena seperti kasus teman saya yang hanya dibiayai satu level saja lalu keluarganya angkat tangan.

Menurut saya, sekolah bahasa di Norwegia betul-betul dijadikan lahan bisnis. Dari level A1 sampai C2 (total 600 jam) dipisah-pisah dan diberlakukan iuran khusus untuk tiap level. Selesai satu level, kita mendapatkan sertifikat yang menyatakan telah selesai mengikuti 36 jam pelajaran. Normalnya, kalau ingin mendapat permanent residence, pendatang hanya wajib menyelesaikan minimal 250 jam pelajaran atau lulus tes kecakapan oral dan tertulis minimal level A2.

Untuk tes kecakapan ini pun kita harus membayar lagi. Beberapa tempat kursus bahkan menawarkan tes prepatori yang harganya juga super mahal. Jadi ya, apa-apa diduitin hanya demi lulus tes. Selain memenuhi syarat sekolah bahasa atau lulus tes, bagi yang berminat jadi permanent residence juga diwajibkan mengambil kelas Social Studies (tentang Norwegia) sampai 50 jam atau lulus tes Social Studies dalam bahasa Norwegia.

Sebetulnya kalau hanya ingin mengejar syarat 250 jam tersebut, kita bisa mengambil kelas super intensif yang kurang dari dua tahun juga selesai. Kalau punya banyak waktu dan uang, boleh juga mengambil kelas mega intensif selama 750 jam yang sudah termasuk kelasSocial Studies. Harganya memang mencengangkan, 66.600 NOK! Tapi sudah selesai hanya dalam waktu satu tahun.

Saya sekarang sedang meneruskan level A1-2 di Alfaskolen , Oslo. Harga kursus per levelnya 4760 NOK. Saya tidak perlu membeli buku pengantar lagi karena sudah diwarisi oleh au pair sebelumnya. Tapi kalau memang ingin mencari yang murah, coba buka Finn.no , pusat jual beli barang second di Norwegia.

Untuk harga segitu, belajar di Alfaskolen termasuk mahal. Sudah untung tahun ini keluarga saya masih mau menanggung semua biaya A1 yang totalnya lebih dari 8400 NOK. Sebetulnya ada banyak tempat yang lebih murah di Oslo, seperti Caritas atau Language Champ yang sangat dekat dengan rumah. Sayangnya, jadwal yang cocok bagi saya dan keluarga hanya di Alfaskolen itu. Keluarga angkat saya juga sepertinya keberatan keluar uang lebih sampai tahun depan kalau saya ingin lanjut A2.

Saya masih sangat antusias belajar Norsk, tapi saya sendiri juga tidak tahu akan kemana setelah selesai kontrak. Kalau tidak berencana mencari kerja dan tinggal di Norwegia lebih lama, belajar bahasa lokal secara tekun sebetulnya hanya buang-buang waktu. Bahkan jika harus memilih, saya malah ingin lanjut belajar bahasa Denmark saja ketimbang Norsk. Daripada tahu banyak bahasa tapi sedikit-sedikit, lebih baik tahu sedikit tapi sangat fasih.

Sejujurnya, saya juga berpikir untuk menyerah belajar Norsk dan mengalihkan subsidi dari keluarga angkat ke hal lain saja. Di Kopenhagen, saya bisa dengan mudah menemukan kursus desain , keramik, hingga bahasa lain. Di Oslo, sudah di-googling kesana kemari, tetap tidak ada kursus kreatif yang menarik perhatian. Ada, Folkeuniversitetet dan Blank Space yang mengadakan. Tapi itupun tempatnya cukup jauh dan waktunya tidak tepat dengan jadwal host family saya .

"When you are about to give up, just try to keep doing it for fun," kata seorang teman.

Betul. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan , daripada hanya manyun di rumah, lebih baik datang ke tempat kursus sekalian cari angin segar, bertemu teman baru, dan juga melatih otak. Anyway, saya juga paham kalau sebetulnya tidak ada ilmu yang sia-sia.

Kalau kamu jadi saya, would you keep learning Norwegian just for fun?

Tips Dari Kencan Jadi Teman|Fashion Style

Kalau kamu berpikir fungsionline dating di Eropa hanya untuk cari pacar , gebetan, atau teman tidur, then think again. Seorang kenalan saya malah mendapatkan pekerjaan dari cowok yang dikenalnya lewat OK Cupid. Saya, ketimbang mencari pacar, malah lebih memanfaatkan online dating sebagai wadah mencari teman jalan.

Dari awal main OK Cupid dan Tinder, saya memang sudah tidak ada niat mencari pasangan. Mengapa, karena pertama kali menggunakan OK Cupid saat itu posisinya saya sedang di Belgia. Beberapa bulan kemudian, saya sadar harus pulang ke Indonesia. Jadi daripada capek-capek memikirkan para si bule Belgia itu dan memutuskan LDR, saya lebih memilih untuk mencari pengalaman jalan saja dengan mereka.

Cari teman via online dating sebetulnya mengkhinati tujuan utama online dating itu sendiri. But, actually it worked!

Adalah Michi (saya memanggilnya), cowok Belgia yang saya temui 4 tahun lalu di Tinder. Michi 100% bukan tipe saya. Tapi karena memang saat itu tidak berniat cari pacar, saya swipe right saja semua profil cowok yang ada 'bio'-nya. No bio? No swipe right! Saya tidak perlu yang ganteng, karena tujuannya memang hanya cari teman mengobrol. Ujungnya, saya juga yang kelelahan membalas pesan yang masuk.

FYI, cowok Belgia lebih gampang diajak cerita dan ketemuan. Mereka juga tipikal cowok easy going yang isi otaknya tidak melulu soal selangkangan. Kalau memang tujuan beberapa cowok hanya mencari teman tidur, biasanya di kencan pertama mereka sudah jujur ke kalian. Sisanya, cowok Belgia adalah tipe pemalu-tapi-pede yang selalu berusaha untuk mengenal mu lebih jauh. Cowok Belgia itu ibarat buah persik yang lunak di luar, keras di dalam. Artinya, mereka sangat mudah membuka diri dan berteman dengan siapa pun, tapi kamu akan sedikit kesulitan untuk memahami isi hati mereka.

Pertemuan pertama saya dan Michi jauh dari kata mainstream. Kami tidak bertemu di kafe, restoran, ataupun taman. Saya juga sedikit canggung menyebut pertemuan pertama ini "dating" karena faktanya, saya mengajak doi road tripping!

Entah kenapa saya percaya saja dengan cowok ini setelah mengobrol nonstop sekitar 4 harian lewat texting. Saya tidak menemukan gelagat Michi yang hanya cari teman tidur. Bahasanya pun sangat sopan dan grammar-nya bagus. Bosan di rumah sendirian dan malas dengan atmosfir Antwerp atau Ghent yang begitu-begitu saja, saya mengajak Michi jalan ke tempat lain yang ternyata diiyakan oleh dia. Saya usul ide road trip, Michi pun tak ragu mengiyakan lagi. Wahh, pas sekali!

Tujuan kami saat itu sebetulnya Belgia Selatan. Tapi setelah memikirkan ongkos bensin dan waktunya, akhirnya kami sepakat menuju Aachen, Jerman. Tak tanggung-tanggung, saya mengajak seorang teman, Alin, agar perjalanan kali ini ongkosnya bisa dibagi. Entahlah apa ini menyebutnya, yang jelas kami seperti butuh tumpangan dan sopir saja. It was definitely not a hitchhike because we paid for it.

Then, there we were! Saya, Michi, dan Alin jalan ke Aachen dan mengobrol santai di mobil. Tidak ada rasa canggung sedikit pun karena saya dan Alin merasa sudah mengenal lama cowok ini. Michi adalah cowok Kristen taat yang setiap minggu rajin datang ke gereja. Seperti para bule taat lainnya, Michi juga menghindari seks sebelum menikah, no hard party, dan sebisa mungkin mengurangi alkohol. Teman saya, Gita, sampai menjuluki Michi "Si Bule Soleh". Mungkin gara-gara hal ini juga, Michi sangat sulit menemukan pasangan di Belgia. Bahkan menurut pengakuannya, hampir 98% cewek yang Matched dengannya di Tinder hanyalah Bot iklan! Poor you, Michi!

Setelah pertemuan pertama kami ke Aachen, saya tetap in contact dengan Michi karena saya tahu, he is a good guy. Saya lupa kemana kami bertemu selanjutnya, tapi di satu pertemuan lain, Michi adalah seorang malaikat penolong.

Suatu hari, saya dan Anggi, teman au pair Indonesia, berniat travelling ke Italia. Penerbangan kami saat itu dari Bandara Charleroi yang letaknya 111 km dari Ghent. Maklum, bandara tempat pesawat murah memang lokasinya jauh di selatan Belgia. Karena pesawat akan berangkat jam 7 pagi, kami harus menumpang bus transfer dari Ghent sekitar jam setengah 4 pagi. Sialnya, saya dan Anggi salah tempat menunggu hingga kami ketinggalan bus!

Kami sebetulnya sangat kecewa. Apalagi saya merasa bersalah karena saya lah yang menuntun Anggi ke tempat menunggu yang salah. Kalau gagal ke bandara, artinya kami harus membatalkan jalan-jalan yang sudah direncanakan sejak lama ini.

Kami sudah bertanya ke pihak taksi Stasiun Ghent berapa tarif menuju Charleroi. Harganya mahal sekali, sekitar €100. Sudah ditawar mati-matian, si sopir bersedia dibayar €80 saja tapi pakai cash. Anggi sebetulnya mau-mau saja, tapi uang tunai yang dia punya tidak cukup.

Tidak kehilangan ide, Anggi berusaha menelpon pacarnya karena siapa tahu si pacar mau repot-repot datang, menjemput ke Ghent, dan mengantar ke Charleroi. Tapi ia batalkan karena ingat si pacar ini barusan mengantarnya ketemu saya dan paginya doi juga harus kerja. Kasihan juga kalau harus disuruh bolak-balik lagi.

"Nin, telpon gebetan kamu!" kata Anggi tiba-tiba.

"What?!"

* Jadi ceritanya, kami pernah ingin menghadiri shalat Idul Fitri bersama di KBRI Brussels. Karena bangun kesiangan, kami dipastikan akan telat datang kalau harus menggunakan bus. Belum lagi Belgia sedang diguyur hujan deras pagi itu. Ujung-ujungnya saya terpaksa menelpon Kenneth, bapak-bapak yang sempat flirting dengan saya di TK si host kid,untuk minta diantar! Dang, I felt like a whore! Saya sebetulnya tahu bapak itu sudah punya pacar dan anak, tapi Anggi tetap memaksa saya menelponnya karena siapa tahu si Kenneth mau. Ternyata betul, Kenneth bersedia mengantar kami pagi itu. Tak tanggung-tanggung, si anak juga dibawa di kursi belakang. *

"Iya, tapi siapa yang mau bangun dan mengangkat telpon jam 4 pagi begini?!" kata saya pesimis.

"Duh, coba saja! Siapa tahu ada yang mau," Anggi tetap optimis, meskipun mukanya juga sudah pasrah.

Oke, saya coba! Percobaan pertama adalah menghubungi Sibren, cowok cute yang saya kencani pertama kali di Belgia. Sebetulnya saya sudah ingin menghindari doi, tapi saat itu lagi urgent. Untungnya Sibren tidak mengangkat.

Selanjutnya adalah Ken, cowok yang pernah memainkan piano untuk saya di Laarne. Tidak aktif!

Steven...

"Duh, tapi si Steven ini yang waktu itu mau main sosor, lalu saya tolak mentah-mentah. Mana mau dia angkat telpon," batin saya saat itu.

Well, the last guy.... Michi!

...

Diangkaaaat!

"Michi!!!!! Finally you pick up my call!" kata saya heboh tanpa memikirkan Michi yang masih setengah sadar di seberang sana.

Saat itu saya dan Anggi bergantian mencoba memberi penjelasan ke Michi tentang kondisi kami. Michi tentu langsung menolak mentah-mentah dan menyuruh kami naik taksi saja ke bandara. Sudah kami jelaskan, mahal.

"Well, Nin, kamu kan tahu saya tinggal dimana. Kalau saya harus menjemput kalian ke Ghent dulu, akan memakan waktu sekitar 1 jam. Lalu dari Ghent ke Charleroi, makan waktu lebih dari 1 jam lagi. Kalau dihitung-hitung, kalian tidak akan sempat juga boarding."

Again, kami tidak berhenti memohon karena dia satu-satunya cowok yang mau mengangkat telpon di pagi buta. Kami tetap merasa kalau nasib travelling kami ada di tangan Michi. Tapi lagi-lagi ditolak! Meskipun kami sudah berusaha mati-matian menawarkan akan bayar ongkos bensin dobel, Michi tetap bergeming.

Kami tahu saat itu kami sangat egois. Membangunkan para gebetan Tinder jam 4 pagi hanya untuk dijemput dan minta antar ke bandara bukanlah ide yang jenius. But well, at least we have tried.

Jam setengah 5 pagi, kami sudah pasrah saja dan mulai membuat rencana baru kalau memang gagal jalan-jalan ke Italia. Lalu, tiba-tiba ponsel saya berdering...

"Nin, if there is nothing you can do, I am available now!"

Michi!! That was HIM!

"I will be ready in 10-15 minutes and pick you up in Ghent. I will try my best to be in Charleroi before 7," katanya lagi.

Michi, you were THE real hero! Michi betul-betul datang menjemput kami ke Ghent dan berlalu dengan mobilnya menuju Charleroi. Meskipun waktu kami sampai di bandara sangat mepet sekali, but we made it!

"Karena saat itu saya sudah wide awake gara-gara kalian menelpon. Mencoba tidur lagi tidak bisa. Jadi ya sudahlah, saya akhirnya berpikir untuk menelpon kamu lagi dan menanyakan keadaan," kata Michi saat ditanya alasannya mengapa ingin datang dan mengantar kami ke bandara.

Entahlah alasannya memang karena berniat baik ingin mengantar kami, atau hanya tergiur dengan uang bensin dobel yang akan diberikan. Tapi kalaupun karena uang, kami sebetulnya hanya membayar Michi €27 saat itu karena doi tidak mau dibayar lebih. Whatever the reason was, kami sangat berhutang budi dengan Michi karena sudah mengantarkan kami sampai Italia. Saya tak pernah tahu cowok mana lagi yang bersedia dibangunkan jam 4 pagi dan disuruh antar jemput kesana kemari. To be noted, Michi ini posisinya saat itu belum jadi teman dan masih gebetan ala-ala.

Sejak pertemuan itu, Michi sering kali saya ajak bertemu dan dikenalkan dengan teman saya lainnya di Belgia. Doi juga secara tak langsung menjadi teman kami semua. Kadang di-bully, kadang juga disayang. Though he is a bit weird, tapi ada banyak hal yang membuat saya tidak bisa melupakan Michi. Selain sudah jadi penolong, tapi doi juga cowok positif yang tidak akan bergosip di belakang mu, cowok genuine, mandiri, dan bisa diandalkan saat kamu butuh bantuan. Tapi, jangan sesekali membahas uang dengan Michi karena doi super perhitungan dan pelitnya bukan main!

We met on Tinder, however we ended up as accurate pals. By now.