Sunday, July 5, 2020

Tips 7 Pelajaran Fashion dari Gadis-gadis Eropa|Fashion Style

Dari sejak saya masuk SMP, ibu saya sudah mulai mengenalkan ke banyak majalah remaja seperti Gadis atau Kawanku yang isinya sebagian membahas tren fashion. Sungguh menyenangkan melihat gaya-gaya para model majalah yang menggunakan pakaian remaja khas tren anak muda zaman dulu, karena super inspiratif dan membuat saya belajar menemukan gaya saya sendiri. Dulu saya suka sekali memakai pakaianvintage atau model asimetris yang terkesan unik dan beda.

Setelah 10 tahun membaca majalah remaja Indonesia, saya sadar ternyata gaya-gaya yang ada di majalah kita lebih banyak dipengaruhi fashion Amerika. Dari yang tabrak motif sana sini, berani pakai warna terang, hingga make up bold. Belum lagi saat K-Pop mulai booming di Indonesia, banyak remaja ikut-ikutan fashion Korea yang lebih cute dan manis.

Hijrah ke Eropa dua tahun lalu, saya mulai meninggalkan kebiasaan membaca majalah fashion Amerika dan berhenti memperhatikan K-Pop. Saya begitu kagum ketika tahu orang-orang Eropa memiliki selera fashion yang berbeda dengan orang Amerika dan Asia. Bepergian ke banyak negara di Eropa juga membuka mata saya untuk melihat dan membandingkan gaya berpakaian gadis-gadis di Eropa Barat, Utara, Selatan, dan Timur. Bagi saya, gaya orang Eropa itu, simple yet elegant. Kalau pun ada yang nyeleneh, tetap terkesan edgy tanpa terlihat berlebihan.

Secara umum, orang-orang Eropa memiliki gaya fashion yang lebih elegan dan berkelas ketimbang Amerika. Saya sendiri lebih suka gaya orang Prancis dan Swedia dalam berpakaian karena mereka sukauniform dressing dan tetap bisa terlihat santai. Berikut pelajaran berbusana dari orang-orang Eropa yang membuat mereka menjadi bangsa paling well-dressed sedunia.

1. Cutting yang simpel dan pas

Untuk menampilkan kesan feminin, orang Eropa lebih suka memakai pakaian yang potongannya pas dengan tubuh. Tidak terlalu ketat hingga terkesan cheap, tapi tidak juga terlalu besar hingga membuat badan tenggelam. Kalau sedang jalan-jalan ke benua biru ini, coba saja masuk ke banyak toko baju yang memang berlabel asli Eropa. Baju-baju yang dijual terkesan simpel, namun tetap terlihat mahal dan elegan.

Tidak seperti gaya fashion Amerika yang cenderung ketat dan terlalu memamerkan keseksian tubuh, gadis-gadis Eropa justru sedikit konservatif soal pakaian. Bahkan saat musim panas pun, ketimbang memakai pakaian yang terlalu mini dan ketat, mereka memilih summer dress atau setelan dengan bahan yang nyaman. Saat musim dingin, tidak seperti kebanyakan orang Amerika yang terobsesi dengan oversized-thing, orang Eropa justru memilih sweater atau coat yang potongannya sesuai dengan ukuran tubuh mereka.

Sewaktu di Indonesia, saya tidak terlalu suka memakai pakaian terlalu simpel karena terkesan super sederhana dan biasa saja. Makanya kebanyakan pakaian saya dulu sedikit unik dengan potongan asimetris atau rumbai-rumbai. Padahal, di Eropa justru semakin simpel potongan pakaian, harganya juga semakin mahal. Quality matters.

2. Jika ragu, selalu pilih warna-warna herbal

Soal pemilihan warna, orang Eropa termasuk yang cukup membosankan hingga terlihat ambil aman. Berbeda dengan gaya-gaya orang Asia yang lebih menyukai warna terang dan pastel, orang Eropa sedikit berhati-hati terhadap warna pakaian mereka.

Orang-orang utara Eropa terkenal menyukai warna netral semisal hitam, putih,navy, atau beige. Di Italia atau Yunani, gadis-gadisnya cenderung lebih berani dengan pemilihan warna merah atau kuning. Sementara Republik Ceko atau Hungaria, terlihat lebih kasual yang tidak terlalu suka warna-warna terlalu terang.

Pemilihan warna sendiri sebenarnya juga tergantung dengan tempat dan musim. Di Indonesia, warna-warna gelap disimbolkan sebagai rasa duka. Sementara di Asia Timur, justru warna putih yang digunakan saat prosesi kematian. Warna-warna gelap juga tidak pas digunakan di negara tropis karena menyerap panas. Namun kebalikannya di utara Eropa, warna hitam adalah warna favorit hampir semua orang saat musim dingin.

Kalau suatu hari berkesempatan liburan atau tinggal di Eropa, bawalah pakaian atau aksesoris dari Indonesia dengan warna-warna netral. Orang Eropa suka motif, tapi itu pun mesti bernuansa monokrom dan tidak terlalu bold. Mereka tidak suka memakai pakaian yang tabrak warna atau motif dari atas sampai bawah karena terlalu menarik perhatian.

3. Skinny jeans is a must!

Meskipun tren celana harem sempat booming di Indonesia dan Amerika, tapi tidak di Eropa. Saya tidak pernah melihat gadis-gadis Eropa berjalan-jalan memakai celana ala Aladin. Ketimbang memakai mom jeans atau jogger, orang Eropa lebih nyaman menunjukkan kaki langsing dan jenjang mereka dengan skinny jeans.

Saat bosan memakai jeans, biasanya para gadis-gadis ini lebih memilih rok ataupun memakai stocking di musim dingin. Beberapa orang yang bosan memakai skinny jeans biasanya memilih celana panjang katun yang sedikit formal dengan potongan slim atau kulot di atas pergelangan kaki. Menurut pengakuan seorang kenalan, di Amerika boro-boro memakai skinny jeans setiap waktu, orang-orang sana malah tidak segan memakai piyama ataupun celana olahraga saat keluar rumah.

Four. Tetap modis di rumah

Berkesempatan tinggal dengan keluarga Eropa, membuat saya terkagum-kagum dengan gaya pakaian mereka di rumah. Saat akhir pekan dan tidak ada kegiatan apapun, keluarga asuh saya di Belgia tetap terlihat modis. Nele, host mom saya, selalu memakai jeans potongan cut bray lengkap dengan sepatu boot-nya di rumah. Sementara host dad saya, Koenrad, terlihat edgy dengan jeans marun atau hijaunya.

Di Denmark, saya tidak pernah melihat Louise memakai kaos walaupun di rumah. Louise selalu memakai blus feminin meskipun sedang mengasuh si kembar. Walaupun tidak berencana pergi kemanapun, Louise selalu mendandani anak-anaknya dengan pakaian kasual seperti jeans ataupun summer dress. Mereka tidak pernah berkeliaran rumah hanya dengan piyama ataupun daster ala kadarnya. Mereka selalu terlihat fresh, trendi, dan seperti siap pergi kemana pun tanpa harus mengganti baju.

Di Indonesia, saya bisa saja tidak mandi seharian sambil tetap memakai piyama. Tapi sejak tinggal di Eropa, meskipun hanya di rumah, saya jadi terbiasa memakai denims, blus, dan ballerina, lengkap dengan make up tipis dan parfum. Padahal di Indonesia, kalau saya berdandan seperti itu pasti akan ditanya ingin pergi kemana.

Five. Selalu pakai yang terbaik

Pernahkah kalian membeli pakaian, disimpan di lemari, lalu berharap pakaian tersebut bisa digunakan saat acara tertentu? Sampai acara tersebut tiba, pakaian baru biasanya hanya disimpan lalu kadang lupa digunakan.

Orang-orang Eropa selalu membeli pakaian yang cocok untuk acara apapun. Saya selalu memperhatikan Louise tampil modis ke kantor dari hanya memakai blus dan jeans, hingga elegan dengan dress hitamnya. Suatu kali, pernah juga saya berkunjung ke rumah seorang teman yang memang seorang Parisian dan tetap terlihat modis saat menyambut kami. Dia membalut t-shirt putihnya dengan kimono bermotif lucu ataupun tetap oke dengan setelan kemeja jeans dan rok mininya. Teman saya yang lain, Ieva, tidak hanya memakai dress mini saat pergi ke bar ataupun klub malam, tapi juga saat café date.

Orang-orang Eropa tidak pernah menyimpan pakaian terbaiknya hanya karena merasa belum pas digunakan di satu acara. Ketimbang menyimpan pakaian dan harus menunggu acara tertentu, mereka selalu mencari momen lain agar pakaian tersebut bisa dipakai. Mereka tidak ragu menggunakan dress berpotongan mini di siang hari, lalu dipadukan dengan cardigan dan stocking agar terlihat lebih "manis" dan kalem.

Saya yang tadinya hanya membeli dress karena ingin dipakai saat pesta saja, sekarang tidak terlalu peduli lagi soal kapan pesta tersebut tiba. Saya tetap memakai si dress meskipun hanya nongkrong di kafe. Saya juga tidak harus memakai kebaya saat kondangan, tapi tetap bisa modis memakainya sebagai pengganti cardigan.

6. Kualitas vs kuantitas

Saya kagum dengan ukuran lemari orang-orang Eropa yang tidak terlihat berlebihan. Berbeda dengan orang Amerika yang harus menyimpan sepatu mereka hingga three lemari, jumlah sepatu orang-orang Eropa bisa dihitung jumlahnya dan muat hanya dalam satu lemari.

Saya jadi ingat isi pakaian ibu saya di rumah yang disimpan hingga five lemari! Belum lagi lemari tas dan sepatunya yang sukses memenuhi kamar dan ruangan setrika. Awalnya saya tidak begitu peduli soal jumlah lemari dan koleksinya. Namun setelah tinggal di Eropa dan kembali ke Indonesia, saya sadar kalau kebiasaan menyimpan pakaian seperti ini sama saja buang-buang waktu dan uang. Belum lagi soal banyaknya barang yang harus dibenahi hingga membuat rumah sesak.

Bayangkan berapa lama waktu yang kita butuhkan tiap pagi hanya karena sibuk memilih-milih pakaian dan pernak-perniknya. Belum lagi saat kondangan, bongkar koleksi tas dan sepatu hanya untuk dipadu-padankan. Kalau sudah kebingungan begini, ujung-ujungnya tetap pakaian yang itu-itu saja yang digunakan.

Brian, host dad saya di Denmark, hanya membeli pakaian dengan kualitas terbaik dari merk ternama. Brian tidak pernah membeli dan menumpuk banyak pakaian hanya karena sedang diskon. Kalau kemejanya sudah kebanyakan, sebelum membeli yang baru, Brian selalu menyumbangkan pakaiannya terlebih dahulu.

Sama seperti istrinya, saya tidak mendapati Louise membeli banyak sepatu hanya sebagai koleksi. Jumlah sepatu Louise di lemari pun bisa dihitung dengan jari. Bukan karena tidak punya uang membeli banyak barang, justru sepatu-sepatu mereka dibeli dengan harga yang mahal demi mendapatkan kualitas terbaik.

Soal pakaian pun, Louise sama seperti suaminya. Sebelum membeli pakaian baru, Louise selalu membenahi isi lemarinya terlebih dahulu. Pakaian yang sudah tidak muat, sedikit longgar, ataupun tidak disukainya lagi, biasanya akan diberikan ke orang terdekat ataupun disumbangkan ke Red Cross.

Louise juga bukan tipe ibu-ibu rempong yang suka kredit tas kesana kemari dengan beragam warna. Daripada membeli banyak tas untuk dipadukan dengan banyak pakaian, Louise lebih suka menggunakanclutchmini berwarna hitam untuk acara kasual. Sementara saat kerja, dia membawa tas berukuran lebih besar berbahan kulit.

Bagi orang Asia dan Amerika, memakai pakaian yang sama terus-menerus bisa dianggap tidak modis, kurang pakaian, hingga seperti tidak punya uang membeli yang baru. Padahal bagi orang Eropa, tidak masalah memakai pakaian, tas, ataupun sepatu yang sama terus-menerus asalkan barang tersebut dibeli dengan kualitas terbaik (baca: no KW-KWan).

Cobalah tonton film-film Eropa asal Prancis seperti Amélie atau Call Me by Your Name yang mengambil setting-nya di Italia. Pakaian dan gaya yang digunakan pemerannya itu-itu saja setiap scene. Tidak seperti orang Amerika yang terkenal konsumtif dan membeli pakaian sesuai tren. Tonton saja kebanyakan film Hollywood yang para pemainnya selalu berganti gaya setiap adegan. Kesimpulannya, orang Eropa memiliki pakaian sedikit namun berkualitas tinggi, sementara orang Amerika kebalikannya.

7. Minim namun elegan

Saya tidak pernah bosan mengatakan kalau selera orang Eropa dalam berpakaian memang cenderung simpel dan elegan. Saat memilih pakaian yang mini, gadis-gadis Eropa tidak pernah memakai pakaian ketat dan seksi di jalan hanya untuk mendapatkan perhatian lawan jenis. Gaun-gaun mini berpotongan seksi biasanya hanya digunakan di klub malam dengan penerangan yang temaram dan membuat mereka lebih percaya diri.

Mereka juga tidak ingin dicap murahan hanya karena buka-bukaan dari atas sampai bawah. Kalaupun ingin menampilkan kesan seksi, mereka hanya menampilkannya di satu sisi. Kalau bagian atas sudah terlalu terbuka, mereka tetap terlihat seksi tanpa harus memamerkan kaki yang jenjang. Begitupun sebaliknya, saat ingin memamerkan kaki yang jenjang dan seksi, mereka lebih memilih atasan tertutup. Contohnya di klub malam, saya sering melihat gadis-gadis yang memilih pakaian dengan potongan dada rendah, namun membalut kaki mereka dengan stocking ataupun celana panjang.

Tips 5 Alasan Kenapa Musim Gugur Adalah Musim Terbaik|Fashion Style

Bulan Oktober hampir selesai, tapi masih ada satu bulan lagi sebelum musim gugur tergantikan magisnya musim dingin . Meskipun lahir di musim semi, tapi saya suka hembusan semilir angin dingin-dingin empuk dan dedaunan garing yang hanya ada di musim gugur. Berikut lima alasan mengapa saya menyukai musim gugur dan kamu juga harus menyukainya!

1. Musim paling berwarna sepanjang tahun

Walaupun negara terbaik menikmati musim gugur adalah Kanada, namun beberapa jenis pepohonan yang ada di Eropa juga mulai terlihat cantik berganti warna di pertengahan musim. Mata kita yang tadinya teduh dan sejuk melihat pepohonan hijau di musim panas, menjadi lebih syahdu dan hangat ketika melihat hijaunya daun tergantikan warna merah, kuning, dan cokelat, hingga akhirnya gugur dan memenuhi tanah. Makna epiknya, entah kenapa sesuatu yang mati justru terlihat indah. Musim gugur juga mengajarkan kita untuk merelakan sesuatu yang memang harusnya pergi hingga tergantikan lagi yang baru. Heart struck!

2. Halloween and pumpkin

Halloween memang bukan budaya Eropa, tapi lebih ke budaya Amerika. Namun jangan salah, karena sudah cukup teradaptasi, akhirnya orang-orang Eropa juga menggelar pesta Halloween di penghujung bulan Oktober. Meskipun tidak seheboh di Amerika, tapi biasanya pesta yang digelar lebih privat dan seru.

Tidak suka pesta Halloween? Tenang, ada ajang memetik apel untuk dibuat penganan, mencari jamur di hutan, hingga memahat labu. Sup labu yang manis dan creamy pun biasanya sudah jadi soup of the day selama musim gugur.

3. Waktu terbaik liburan di Eropa

Musim-musim di Eropa memang tidak bisa diprediksi. Musim panas bisa menjadi petaka karena terus-terusan diguyur hujan. Musim dingin bisa jadi magis sekaligus mati rasa karena suhu yang gila-gilaan. Musim semi yang nan cantik juga terkadang masih bersalju hingga belum nyaman berjalan-jalan ke kota.

Musim gugur di Eropa bisa sedikit basah alias hujan di awal masuk musim. Namun temperatur sekitar 8 hingga 14 derajat di siang hari, masih cukup nyaman berjalan dan mengitari kota. Orang-orang juga kebanyakan sudah kembali konservatif namun tetap modis dengan paduan coat dan warna-warna gelap yang mulai mendominasi. Akhir bulan September, sepanjang bulan Oktober, hingga minggu pertama bulan November adalah waktu yang pas menikmati kota-kota Eropa selagi musim gugur. Kabar baik lainnya, tiket pesawat dan hotel bisa lebih murah karena bukan hi-season.

4. Snuggling time!

Kapan lagi menikmati empuknya bantal dan hangatnya selimut kalau bukan saat temperatur sedang turun? Karena energi sudah banyak terpakai saat musim panas, orang-orang yang tinggal di negara empat musim biasanya mulai kembali malas-malasan ketika musim gugur datang. Agenda akhir pekan yang tadinya nongkrong di kota, biasanya akan tergantikan dengan piyama, selimut, dan television di rumah.

5. Longer cozy evening

Tidak seperti musim panas yang terus-terusan terang hingga pukul 10 malam, di musim gugur, matahari akan tenggelam sekitar pukul 6 lalu terbit kembali pukul 7.30 pagi. Edisi sore santai pun jadi lebih panjang dan cozy. Memasukkan agenda minum cocktail bersama teman pun boleh ditambahkan di akhir pekan berikutnya. Tidak minum alkohol? Tenang, banyak juga kedai kopi yang tetap buka hingga jam 10 malam di beberapa negara di Eropa.

Saturday, July 4, 2020

Tips 8 Ways How to be a Dane|Fashion Style

Danes are the happiest creatures on earth, people said. I know, the starter is so mainstream, but that's all that I can think right now. Living for a year and (still) more with Danish family opens my mind and eyes to know their culture better. In my opinion, Danes are happy because they know how to manage time between working and having fun at the same time. They are laid-back towards life, have a strong connection with their old friends, and enjoy the comfort of how Denmark gives them.

Danes love their usa so much! I understand, some Danes hate to be Danes and every now and then need to be judged as an global individual with the aid of foreigners. But don't get me incorrect, they still love the privileges of Denmark device that they're difficult to refuse (even dwelling a ways some distance away now).

If we're living in Denmark and thinking of being a local, the key point is learning Danish first. Trust me, even Danes would think we are part of them if we could say some phrases in their language. Even your face is so Asian, like me, normally they still speak Danish to you. Unless you excuse yourself to do not speak Danish, they keep asking and talking in Danish after your short attempt like "Ja, tak" or "Jeg skal ha' en kop chai latte".

Oh ya ya, you do not like Danish. It's an unpleasant language. It's hard to learn. Okay, I understand the ones such excuses. How about provide Danes the picture of us immersing their way of life in spite of no phrases of Danish outspoken?

1. Go biking

Danes realize that taking public transportation can break their bills every month. If you are living in or close to Copenhagen, it's better to buy or rent your own bike. Go biking around Copenhagen in good weather, bad weather, even when you have no intention to bike! Do not forget to equip the bike with a powerful lock. I know one of the girls (who isn't Danish), bought her bike with super cheap price but an expensive lock. She was tired of losing bike in the town, even the price itself not so expensive. So, it is all about the lock now.

What if I don't stay in Copenhagen? I advised you, pass cycling! That's how Danes do to reach the workplace, shops, or faculty within 5 to ten kilometers.

2. Down to earth

Another happiness secret of Danes is certainly being down to earth. Danes are rich, however they in no way call them so. Instead of "rich", they choose word "comfort". Danes recognize shopping for a car and purchasing the coverage can be freaking highly-priced, but they still afford it. They purchase a vehicle based on what they need. They do not clearly wreck themselves with the steeply-priced game motors if there is no factor to pressure them in the geographical region. Even though they have one, I actually have by no means visible Danes drive their motors fastly in town just to expose off. Of path, I've visible odd humans performed the tune so loud with home windows down. But the cars are so-so. Meh!

Not best about vehicles, Danes are also now not so thrifty buying expensive furnishings for his or her houses. They purchase the ones things, once more, no longer to expose off to their guests. But it's simply due to the fact, they know they have got cash, they can have enough money it, and they also recognize humans can manage to pay for it. So, why they ought to display off something which every other Danes can also purchase?

3. Wear too much black

I haven't any idea why this shade is on the top of any shades for Danes. I've found out that, to appearance highly-priced, pick black among any shades you could see. To appearance stylish, assume black once more. If you're unsure, just put on black. Heeey!

I can see Danes love black absolutely. It's now not the coloration for winter only, however they put on black all of the seasons. It's now not vital to wear black from head to toe to be a hardcore Dane. I've ever worn a black blazer with a white t-shirt, and one in every of my Romanian pals just spotted me really Dane due to my (uninteresting-yet-impartial) colour.

Four. Go to fitness center or and do exercising

Danes deal with their frame a lot. Fitness places are in each nook of Denmark and Danes don't thoughts to pay the subscription each month to be fit and nicely-shaped. In some places of work, they even offer the employers with fitness system.

Since my host dad is an proprietor of fitness system corporation, additionally they put a few luxurious styles of device at domestic for exercising. The humorous issue is, they're still difficult finding out the time to exercising independently at home. Afraid of missing motivation by means of exercising on my own, Louise, my host mom, subscribed herself in a gym about 2 weeks in the past.

It's hard scoring men in Denmark with weight problems. Okay, need to be there are some guys have beer-abs outside there. But nonetheless, younger guys and women are in most cases properly-formed with good abs. If now not, at the least, they are healthy and narrow. Not every Dane loves running out in the health club, although. Instead of constructing muscular tissues and hot frame within the health club location, they had alternatively do marathon or motorcycle loads. They run up to now and nevertheless do it on the decrease temperature.

Five. Meet meat

Even though Danes adore fitness center location or being sweat, they are now not so picky with meals. They respect the maximum pleasing meal are coming from red meat. It may be pork or red meat. I note, my host own family eats meat lots! It's hard suffering in Danish party on the grounds that they by no means serve any vegetarian meals for handiest one character who claims she is. Me.

Well, however it's smooth to discover vegan options on the town. Some Danes are also vegan or vegetarian. But once other Danes notice that we are following this strict religion, they'll be curious, how on the planet you can live with none meat to your menu? Meat is so rattling proper! It brings power and happiness in your mouth, they stated.

6. Drink a lot

Among different nationalities in Nordic nations, Danish have a popularity for being heavy drinkers. They're drunk often. Happiness is also coming from booze. Alcohol makes them open up to strangers whom they cannot approach or talk whilst they are sober. Although sounds not truly stylish, but this is how Danes are.

But, if we come to clubs and bars in Copenhagen, most of drunken Danes are virtually younger humans. It's rare seeing the drunken old guy hands a can of beer throwing up inside the nook of the road. I can provide the opinion that younger Danes revel in taking part in their young lives. They simply need to be loose,wild, and sometimes uncontrollable whilst they're younger.

I can see that antique or mature Danes are so duty about how lots booze pass right down to their our bodies. My host dad stopped consuming alcohol in his 30s. He doesn't like the flavor of beer or wine. If best he has to drink alcohol, he's so choosy to just drink champagne. In three hundred and sixty five days dwelling with them, I just noticed Brian drank alcohol as soon as in New Year's Eve. It changed into just because part of the lifestyle in Denmark to have fun New Year's Eve with champagne.

If you are younger, wild, beer lover, and love being under the influence of alcohol, just do it! If not, be a mature Dane with complete of duty and hold sober.

7. Clearance all the 12 months

If those matters don't bring any pleasure in your lifestyles, just get rid them off. This precept is carried out in part of Danish life. Once Danes don't sense or see any joy of getting something, they don't mind to throw it out. My wealthy host circle of relatives doesn't mind to shop for the whole lot they want after which throw it away after they feel no need to have it anymore.

Instead of storing loads of things in the garage, they'll do the cleansing, and put the things away in front of their gates. Normally, there may be a big truck involves pick up those vintage things. If no longer, occasionally there are buddies who sneak out to take a glance what humans have thrown away and take the matters with them to home.

Not best for matters that don't lead them to satisfied, Danes also problem and be cautious approximately what they devour. Vegetable or milk has to be clean all of the time. They don't genuinely care if ought to move for groceries greater than as soon as a week just to ensure all condiments they have are clean. Vegetables that appear now not so sparkling-however-for-me-they-are, aren't allowed staying longer within the fridge. Milk which the expired date is categorized perfectly on time has to be brushed off as well. Dear Danes, on occasion what you see, isn't what it honestly approach.

8. Be a part of layout enthusiasts

I have ever attended an exciting design trade display in Copenhagen two months again. It changed into all about Scandinavia's innovative furnishings and lifestyle. In this example, I don't need to be a Dane to revel in design aspect as part of joys. I'm not a dressmaker, now not even running in a creative enterprise, but I do love the layout. I by no means understand, living in Denmark brings a bliss for my ardour in layout and artwork.

Back to the alternate show, I came to one in every of retails who participated in that event. He talked loads approximately his products and the way he and his wife work together in their own corporation. One query from him, "for your united states of america, what human beings most invest in?". I mentioned food. He said, in France, people tend to spend their cash for right meals as properly. In Italy, humans spend their money to have fine time inside the satisfactory caf?. But in Denmark, Danes spend a lot of money on fashion designer furniture.

I even have ever had a danger to come into a few Danish homes earlier than. That's true. There should be Danish clothier products of their house, like quality porcelain cup from Royal Copenhagen. I understand, Danish design is easy but fashionable. Modern design is a part of the Danes' national identity and each day life. Many Danish merchandise have come to be archetypes or icons of 20th-century design.

Speaking approximately designer manufacturers, the goods aren't reasonably-priced. But as I stated above, Danes have cash and will come up with the money for everything they need. My host own family is not the fan of the layout, even knowing not anything approximately design. But they filled their house with furniture which approximately 70% come from Danish designers. Danes appreciate their very own design and that is enough.

Tips PRAHA: Liburan Dari Kafe ke Kafe|Fashion Style

Setelah memutuskan memilih negara-negara murah di Eropa tengah untuk liburan musim panas, saya sudah mewanti-wanti seorang teman untuk memasukkan Praha sebagai kota terlama yang akan kami kunjungi. Teman Belgia saya, Mittchie, juga setuju kalau kami memang wajib mengunjungi Praha lebih lama.

Praha, ahh little sister of Paris, katanya. Mulai dari distrik Letna yang kalem, trekking ke bukit hingga sampai di Metronome dan melihat keindahan Praha dari ketinggian, TV Tower, hingga banyaknya bangunan warna-warni didominasi warna oranye yang manis.

Tapi saya sebal kalau hanya menyusuri Praha dari Old Town saja. Sama seperti halnya Paris, turis di Praha juga selalu memenuhi daerah pusat kota. Saya bosan tiap jalan beberapa meter selalu saja menemui aktor dan aktris K-Pop KW 3. Seriusan, mereka ada dimana-mana!

Oke, karena saya dan Mittchie juga tidak terlalu suka sightseeing dan berkumpul dengan turis, akhirnya kami putuskan memasukkan agenda wisata kuliner di Praha. Ketimbang memilih tempat makan di area turistik, saya sedikit memaksa Mittchie untuk mengikuti saya mencari tempat makan hingga ke distrik luar pusat kota Praha.

Ngopi-ngopi lucu @ MŮJ ŠÁLEK KÁVY

Mittchie memang suka kopi, tapi saya tidak. Tiada satu hari tanpa minum kopi bagi teman saya ini. Dibandingkan minum kopi di salah satu cabang Starbucks, saya lebih suka memilih tempat khas lokal. Menurut saya, salah satu cara terbaik menikmati budaya suatu tempat adalah dengan mengunjungi tempat makan lokal dan mencicipi apa yang mereka buat.

Saat kami datang ke MSK, beberapa meja sudah penuh dan reserved. Untungnya kami masih punya waktu satu jam setengah untuk menempati salah satu meja yang sudah dipesan. Saya sudah jatuh cinta dengan tempat ini sesaat setelah kami sampai di tempat. "Nice place!", komentar Mittchie.

Uniknya, tidak seperti kebanyakan coffee shop lain, di MSK pelanggan justru tidak memesan kopi langsung melalui barista. Layaknya seperti restoran, pelanggan dipersilakan menempati kursi, lalu beberapa staf akan datang mengantarkan menu. Lihat nih ekspresi Mittchie saat kebingungan memilih kopi!

Pesanan saya: Jordi's hot chocolate with milk and 63% dark Ecuador cacao & banana cake

Pesanan Mittchie: Ethiopia layo tiraga coffee & almond cake

One stop break @ BISTRO 8

Hujan deras mengguyur Praha saat kami selesai menyusuri distrik Letna. Menemukan Bistro 8 pun sebenarnya tidak sengaja. Saya yang kala itu ingin melihat buku-buku desain di Page Five, akhirnya menemukan tempat ini sekalian berteduh. Page Five dan Bistro 8 pun hanya selemparan batu di satu jalan yang sama.

Sebenarnya Bistro 8 lebih tepat disebut tempat menikmati sarapan ataupun brunch karena pilihan makanan yang beragam dan cukup mengenyangkan. Tidak seperti banyaknya tempat makan yang dipenuhi turis, Bistro 8 justru terletak di kawasan permukiman orang Ceko. Banyaknya apartemen di kawasan ini, membuat Bistro 8 jadi salah satu tempat favorit menikmati sarapan ataupun makan siang. Beruntungnya, saya dan Mittchie tidak menemukan aktor atau aktris K-Pop di tempat ini.

Pesanan saya: Matcha latte

Pesanan Mittchie: Flat white coffee (harus pesan dua kali karena si Mittchie menambahkan garam yang dikira gula :p )

Makan Chlebicek ala Czechs @ SISTERS

You definitely have to go to this place if you're in Prague! Sisters terletak di Distrik 1 yang tidak jauh dari spot-spot turis di Praha. Tempatnya tidak terlalu besar, namun tetap bisa menikmati open sandwich khas Praha (chlebicek) di meja dan kursi yang disediakan.

Sebenarnya tidak ada yang spesial dari chlebicekdi Sisters. Di Denmark, makanan seperti ini juga bisa saya temukan di banyak tempat ataupun membuat sendiri di rumah. Bedanya, roti untuk sandwich di Praha lebih lembut dan toppingnya pun lebih simpel tapi tetap enak. Die die must try!

Selain harganya super murah, 29-45 CZK (di Denmark bisa 6 kali lipatnya!) untuk satu chlebicek, sup harian yang ditawarkan pun cukup menggugah selera. Jauhi kesalahan turis saat datang ke tempat ini! Orang-orang Ceko tidak makan chlebicek dengan sendok dan garpu, tapi langsung dengan tangan. Tidak juga seperti makan pizza, dilarang untuk melipat chlebicek agar mudah digigit. So, eat slowly and enjoy every bite!

Pesanan saya: Egg with watercress, Mackarel with wasabi mayonnaise, & Potato soup

Pesanan Mittchie: Ham and potato salad & Roast beef

Lunch di distrik lokal @ HOME KITCHEN

Saya dan Mittchie sepakat kalau Home Kitchen di Holesovice adalah tempat makan siang terbaik kami di Praha. Home Kitchen sebenarnya ada dua tempat, pusatnya di Distrik 1, lalu tempat terbaru ada di Distrik 7. Makanannya sama-sama enak, simpel, dan staf yang friendly. Bedanya, di Distrik 1 hanya muat dua meja, tapi tidak di Holesovice.

Ketika memutuskan keluar dari zona turis dan menuju tempat ini, saya dan Mittchie sedikit skeptis seperti apa Home Kitchen di Distrik 7. Yang kami lihat, kawasan yang dituju merupakan daerah perkantoran dan permukiman yang sepi.

Sekali lagi, saya dan Mittchie juga sama-sama sepakat untuk jatuh cinta dengan tempat ini. Makanannya memang simpel, tapi atmosfir yang ditawarkan sangat cozy. Selain makan di dalam, pelanggan juga bisa makan di luar dengan bagi perokok maupun non perokok. Karena kami tidak merokok, seorang pelayan menempatkan kami di luar dengan sisi apartemen Ceko yang segar.

Meskipun tempatnya berada di kawasan perkantoran dengan interior yang oke dan terlihat mahal, namun harga makanan di tempat ini far too good! Menu makanan orang Ceko memang tidak jauh-jauh dari sup krim. Serunya, pelanggan juga bisa menikmati roti homemade sebagai teman makan sup dengan pilihan deeping oil bawang putih, rosemary, cabe, ataupun original.

Pesanan saya: Semangkuk besar sup jagung dan sayuran - chilli oil

Pesanan Mittchie: Semangkuk kecil sup & menu harian (Chicken potato) - garlic oil

Brunch terakhir @ POLÉVKÁRNA

Sebelum packing dan menuju bandara, saya lagi-lagi memaksa Mittchie untuk menemani saya ke Karlin. Karena sudah keseringan makan sup seperti orang Ceko, brunch terakhir kali ini di Praha juga ingin ditutup dengan sup.

Jam 10 pagi, saya dan Mittchie akhirnya sepakat keluar rumah dan berjalan kaki menuju salah tempat makan sup murah di Karlin. Tidak seperti tempat makan beratmosfir Instagramic yang sudah kami singgahi, Polevkarna hanya berupa tempat makan sederhana. Beberapa tempat duduk juga disediakan di luar kafe bagi yang ingin menikmati mentari Praha.

Sup yang ditawarkan biasanya berbeda dari hari ke hari. Meskipun harganya murah, tapi makanannya pun cukup beragam, mengenyangkan, dan enak. Jangan lupakan juga side dish mereka seperti almond cake atau spinach pie.

Pesanan saya: Dua mangkuk kecil sup sayuran & sup jagung, plus sepotong pie beet root

Pesanan Mittchie: Semangkuk besar sup ayam sayuran

Tips Terbang Layaknya Bos dengan WOW Air|Fashion Style

Dua minggu sebelum ide ke Islandia muncul, Louise mengabarkan kalau keluarga mereka akan menghadiri ulang tahun seorang keponakan di Jumat malam. Artinya, mereka tidak akan ada di rumah setelah jam 5 sore dan tentunya saya bisa liburan. Hore!

Sejak saat itu, otak saya sudah mulai berpikir, "ayo kemana lagi ini, Nin? Kapan lagi bisa liburan dari Jumat? Menghabiskan akhir pekan selalu di Kopenhagen rasanya terlalu membosankan. Ujung-ujungnya juga nongkrong di bar, curhat soal cowok Denmark, atau mengeluh soal repetisi yang selalu dilakukan di Sabtu malam. Aduh, begitu saja terus!"

Iseng-iseng saya mengecek beberapa tiket keberangkatan termurah ke beberapa negara di akhir pekan. Jerman? No. Lithuania (lagi)? No. UK? Kan pake visa.Scrolling.. scrolling.. scrolling! Akhirnya saya putuskan menuju Reykjavík, ibukota Islandia, sebagai tujuan weekend getaway.

Hanya ada dua maskapai penerbangan dengan waktu terbang tercepat menuju Reykjav?Ok dari Kopenhagen, WOW Air dan IcelandAir. Harga tiket pulang pergi WOW Air saat itu 1058DKK ( sekitar one hundred twenty,78GBP atau ?142). Mahal gila! Emang!!

IcelandAir jangan ditanya. Karena ini maskapai kebanggaannya orang Islandia, harga yang dipatok pun dua kali lipat lebih mahal. Mana lagi saya booking tiketnya mepet begini. Skip!

Meskipun WOW Air adalah low-cost carrier asal Islandia, tapi maskapai ini juga mempertimbangkan sisi kenyamanan penumpang. Saya cukup tertarik dengan pilihan kursi XXL dan XL yang ditawarkan saat ingin membeli tiket lewat website mereka. Lucunya, kursi XXL ditawarkan dengan tagline "Fly like a boss. Extra extra legroom!" seperti oase bagi pemilik kaki jenjang dan pecandu Kelas Bisnis di low-cost carrier.

Sebenarnya badan saya tidak terlalu tinggi, kaki saya juga tidak jenjang, jadi pilihan kursi biasa memang tidak ada masalah. Tapi karena saya ini oon penasaran ingin mencicipi si kursi XXL, akhirnya saya belilah dua kursi XXL di bagian depan untuk pulang pergi. Harga yang ditawarkan untuk kursi ukuran XXL senilai 22,99 GBP (203 DKK atau €27).

Alasan saya membeli kursi ini, karena saya yakin saya butuh tidur. Apalagi pesawat kembali ke Kopenhagen sangat pagi dan saya yakin sekali akan begadang seharian. Tiga jam di atas pesawat, lumayan juga kan dimanfaatkan untuk tidur. I don't need entertainment after all.

Oh ya, karena ini maskapai low-cost carrier, pertimbangkan juga tas yang akan dibawa. Petugas bandara benar-benar akan mengecek penumpang yang tasnya terlalu besar dan tidak muat di boks pengukuran. Normalnya, setiap penumpang boleh membawa satu tas tangan dan tas kabin berukuran 40 sentimeteran.

Kalau ingin membawa ransel 40L ataupun koper ukuran 50 sentimeteran, beli saja tas kabin ekstra seharga 15,ninety nine GBP (sekitar one hundred forty DKK atau ?19). Karena saya hanya liburan akhir pekan, saya hanya menjinjing tas tangan yang biasa dipakai ke sekolah.

Akhirnya, waktu liburan saya tiba! Jam setengah 11 pagi saya sudah siap di bandara Kopenhagen. Tidak perlu repot menyiapkan print out tiket, karena WOW Air memberikan kemudahan bagi penumpang saat boarding. Selain bisa menggunakan boarding pass yang diunduh via email, penumpang juga bisa mencetak boarding pass langsung di bandara.

Dari Kopenhagen, saya sempat dibuat kecewa karena pesawatnya tidak memiliki kursi XL maupun XXL! Pesawat yang digunakan kali ini ternyata versi Airbus A320 yang hanya memiliki 174 kursi standar. Aaarrgghh!! Buang-buang duit kan?! Saya juga sudah komplain ke WOW Air perihal ini, tapi tetap saja customer service mereka seperti kesulitan memberikan jawaban memuaskan. Duh.

Saat penerbangan pulang dari Reykjavík barulah saya bisa menikmati kursi XXL di bagian depan. Finally!

Benar saja, you'll get what you pay. Kursi 2D yang saya pilih benar-benar luas dan nyaman untuk memanjangkan kaki. Dari review yang saya baca, kursi terbaik di WOW Air memang bagian 2DEF. Meskipun kursi XXL tidak bisa ditransformasi jadi tempat tidur, namun kaki saya sangat lapang dipanjangkan kesana kemari. Lega.

Selain kenyamanan ekstra, saya juga tidak berhenti mengagumi paras wanita Islandia dari para pramugari WOW Air. Walaupun dari bentuk tubuh tidak selangsing pramugari Asia (ada yang sedikit over dan tidak terlalu tinggi lho!), namun mata biru dan rambut blonde mereka sukses menyita perhatian saya. Saat ketahuan diambil fotonya pun, seorang pramugari hanya tersenyum genit dan ramah. Hehe.

Selain membeli kursi dan ekstra bagasi kabin, WOW Air juga menawarkan beberapa tur di area Reykjavík lewat website mereka. Pilihan lainnya, kita juga bisa mereservasi tiket bus pulang pergi dari/ke bandara Keflavik. They pack all the comfortness in one click.

Tiket pesawat ke Reykjav?K lewat Kopenhagen yang saya beli memang tidaklah murah. Belum lagi ada embel-embel ingin mencicipi kursi terbaik mereka. Namun, tidak ada salahnya mereservasi tiket jauh-jauh hari jika memang niat ke Islandia.

Pengalaman saya sejauh ini, pesawat mereka sangat nyaman meskipun hanya menempati kursi standar. Tidak seperti RyanAir yang sedikit sempit dan kusam, WOW Air sangat bersih dan luas. Saat take off dan mendarat pun dilakukan dengan mulus. They promise you that WOW feeling!

Friday, July 3, 2020

Tips WARSAWA: Menemukan Tempat Terbaik di Area Miskin Turis|Fashion Style

Setelah menghabiskan waktu seharian penuh bergumul dengan turis di area Old Town, akhirnya saya sepakat untuk selesai berpadat-padat ria di pusat kota di hari kedua. Teman Belgia saya, Mittchie, yang juga ikut travelling kali ini, juga sepakat mengikuti kemana arah langkah kaki saya saja.

Meskipun kebanyakan turis mendatangi Warsawa untuk menelusuri jejak perang dunia, saya dan Mittchie sepertinya tidak terlalu tertarik. Kami pun mencoret habis-habisan daftar museum sejarah saat berada di Warsawa. Saya termasuk yang tremendous lelet bangun menikmati keindahan kota, lebih sering berleye-leye di kafe, dan terlalu santai berjalan-jalan menikmati setiap element yang menarik perhatian.

Boleh jadi saya datang ke area pusat kota, mencicipi makanan khas lokal di restoran yang penuh turis, tapi tidak selamanya saya harus berpegang teguh dengan apa yang tercantum di Trip Advisor. Kecuali saya memang datang ke Polandia untuk belajar sejarah, then the case could be different.

Kalau kalian juga slow traveller seperti saya hingga terlalu sering melewatkan banyak museum penting, cobalah untuk melewatkan tourist traps dan berlabuh di tempat dimana orang lokal berkumpul. Trust me, there's no sin to skip the tourist traps and pretend to be like a local!

Sarapan di bawah pepayungan @ F30

Melewatkan sarapan di sekitar region hostel, saya mengajak Mittchie keluar dari Old Town menuju place lain di Saska K?Pa. Benar saja, daerahnya sungguh berbeda dari Old Town yang penuh turis. Kafe yang kami tuju, F30, hanya berjarak beberapa meter dengan berjalan kaki dari stasiun tram terdekat.

Saya begitu girang ketika melihat payung-payung yang meneduhi meja dan kursi di luar kafe. Gara-gara payung berwarna-warni ini, F30 adalah tempat yang paling mudah dikenali dan berwarna di Saska Kępa.

Meskipun katanya kafe ini selalu ramai saat musim panas, namun mungkin karena kami kesana di Minggu pagi, masih banyak kursi dan meja kosong yang bisa ditempati. Harga makanan dan minuman yang dijual memang cukup mahal dibandingkan kafe-kafe lainnya. Namun tetap saja, tempat ini jadi tempat favorit warga Warsawa menikmati kopi atau lemonade sekalian ngerumpi.

Karena letaknya di daerah permukiman penduduk yang hijau, saya bisa menikmati kehidupan warga Warsawa disini. Dari ibu-ibu yang membawa bayinya di kereta dorong, wanita paruh baya yang sedang mengajak jalan anjingnya di jalanan Francuska, ataupun sepasang muda-mudi cute yang sedang ngobrol dengan aksen Polandia yang juga kyut! Life is good here!

Special tip: Lemonade mereka die die must try! It's super fresh and colourful. Di samping F30 juga ada booth es krim yang sama enaknya.

Wadah kreatif & industri @ SOHO FACTORY

Sebenarnya Soho Factory termasuk area baru yang direkomendasikan sebagai salah satu tempat kultural di Warsawa. Tapi meskipun baru, area ini menjadi wajib kunjung saat datang ke Warsawa. Area inilah dimana kita bisa menemukan Neon Muzeum, restoran terbaik, hingga toko desainer lokal Polandia.

Saat datang kesini di akhir pekan, Soho Factory sangat sepi dan terkesan semuanya tutup. Saya sempat melihat beberapa toko desain yang masih buka, namun tidak terlalu tertarik untuk masuk. Karena sudah kesorean, saya dan Mittchie cepat-cepat saja masuk ke Neon Muzeum sebelum jam tutup tiba.

Meskipun jauh dari pusat kota, mendatangi Neon Muzeum menjadi agenda yang penting di Warsawa. Berbeda dengan museum sejarah lainnya, Neon Muzeum menampilkan sesuatu yang baru namun tetap menceritakan sejarah Polandia di masa komunis.

Special tip: Mengunjungi Soho Factory saat musim panas adalah waktu terbaik. Coba juga mengintip toko desainer khas lokal ataupun menikmati mentari Warsawa di bangku-bangku taman di area ini lebih lama.

Toilet umum tercantik @ Z Ł OTE TARASY

Membayangkan toilet umum, yang ada di pikiran kita pastilah toilet seadanya dengan fasilitas terbatas. Belum lagi kalau toilet tersebut berada di pusat perbelanjaan yang notabene selalu ramai oleh pengunjung. Sudah untung tisu toilet tersedia, jangan sampai deh ya menemukan benda-benda aneh di kloset.

Di Warsawa, saya dibuat speechless saat masuk ke toilet umum di salah satu pusat perbelanjaan. Datang ke pusat perbelanjaan ini dengan Mittchie pun sebenarnya hanya berniat melihat harga Macbook di satu toko.

Kalau memang sedang berjalan-jalan di sekitar area stasiun utama Warsawa, sempatkanlah mampir ke Zlote Tarasy. Salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Warsawa ini tidak hanya berisikan banyak tempat makan atau toko, tapi juga toilet umum tercantik yang pernah saya lihat seumur hidup!

Toilet umum yang baru saja direnovasi tahun 2015 ini menggunakan konsep geometri sebagai desain interiornya. Mulai dari langit-langit, wastafel, hingga dinding dibuat dengan konsep yang memikat. Selain desain geometri, toilet ini juga menggabungkan sisi segar hutan dengan menyelipkan dedaunan hijau di bagian dinding.

Tidak hanya cantik dan keren, toiletnya juga super bersih dan wangi. Saat masuk, hidung saya yang sudah disuguhi aroma segar nan manis. Lucunya, di sisi dinding dan belakang pintu toilet ditulisi sejarah Polandia dari Perang Dunia II hingga balon udara. Uber kreatif!

Special tip: It costs nothing!

Tips NOODLE STATION: Tempat Makan Terbaik di Mahalnya Reykjavík|Fashion Style

Untuk urusan perut saat travelling, saya cukup yang tidak ingin ambil aman. Saya tidak terburu-buru mencari Mekdi ataupun Subway terdekat hanya karena murah. Daripada menyerah dengan burger asal Amerika, saya malah ke supermarket mencari buah, yoghurt, ataupun mie instan kalau sedang kehabisan uang dan tidak bisa mencicipi makanan lokal. Don't get me wrong! I do love burger and fries, but show me the local ones please ;)

So, what I always do before travelling? Always study place to eat beforehand!

Di pusat kota Reykjavík, saya tidak menemukan makanan cepat saji semisal Mekdi, Subway, maupun rekan-rekannya. Bagus! Seputar area downtown Reykjavík, saya hanya melihat restoran lokal khas Islandia, masakan oriental, ataupun hotdog terenak yang kata orang sangat recommended!

Sebelum ke Islandia, saya memang sudah membaca reputasi bagus bar soup di daerah Laugavegur, Noodle Station . Beruntung sekali, hostel yang akan saya tempati hanya 2 menit jalan kaki dari tempat ini. Selain mendapatkan predikat "The Best Spot" untuk harga makanan termurah di Reykjavík, rasa sup mie-nya pun super enak!

Saat datang untuk makan malam, hampir seluruh meja penuh oleh pelanggan. Meskipun kebanyakan pelanggan berwajah Asia, tapi banyak juga pelanggan berkulit putih masuk dan keluar tempat ini.

Pelayan di kasir memang terkesan flat seperti tidak ramah, namun sebenarnya memang sepertilah tipikal orang Islandia (meskipun bermuka Asia). Tanpa pikir panjang, saya langsung saja memesan semangkuk sup mie daging seharga 1540 ISK (sekitar 96DKK atau €13). Sebelum berpindah tangan, pelayan juga menanyakan apakah mie kita ingin ditambah cabe atau tidak. Tentu sajaaa!

Dang! Di hirupan kuah pertama, saya sudah jatuh cinta dengan makanan ini. Supnya sangat segar dengan aroma koriander yang khas. Mirip-mirip kuah bakso atau tekwan khas Palembang. Dagingnya pun sangat lembut dan enak. Benar-benar kombinasi mie, sup, dan rasa daging yang pas. Saking senangnya menemukan tempat ini, saya nyaris nangis bahagia. Kalau memang kurang pedas ataupun gurih, di meja juga disediakan bubuk cabe, kacang halus sebagai topping, ataupun garam.

Di hari kedua, saya memaksakan diri kembali lagi ke tempat ini untuk makan malam. Padahal saya sudah reservasi meja di restoran lain, lho. Jadi sebelum datang ke restoran, akhirnya saya menyerah dan jalan kaki setengah jam ke Noodle Station. Saya pun memilih menu vegetarian yang lebih murah seharga 890ISK (sekitar 56DKK atau €7,5).

Meskipun sama-sama menyegarkan dan mengenyangkan, tapi entah kenapa saya lebih merekomendasikan beef noodle. Kombinasinya lebih pas dan menari-nari di mulut. Duh, ngiler lagi!

Selain menu daging dan vegetarian, mereka juga menyediakan menu ayam. Harga supnya pun hampir sama dengan menu daging. Saya tidak tahu kombinasinya seperti apa, tapi sepertinya saya harus kembali lagi ke tempat ini mencoba sendiri.

Kurang kenyang? Boleh tambah mie, tambah daging atau ayam, ataupun memesan sup dengan mangkuk yang lebih besar dengan ekstra biaya. Trust me, food in Reykjavík are so daaaamn expensive! Croissant ataupun roti cokelat yang biasanya saya beli di Denmark seharga 7-10DKK (sekitar €2), disini bisa 299ISK (sekitar 20DKK atau €2,7) per biji!

Makanya tempat ini serasa surga bagi pecinta makanan pedas atau fans mie kuah bercita rasa oriental. Ssst...bumbu sedap a la Noodle Station sebenarnya resep rahasia dari keluarga Thailand!

Die die must try! Highly recommended!