Sunday, May 24, 2020

Tips Mengurus Anak Lebih Mudah Ketimbang Mengurus Tanaman|Fashion Style

Beberapa waktu yang lalu saya melihat Instagram Story seorang teman berkata bodoh, ?Kelihatannya lebih mudah mengurus tanaman ya daripada mengurus anak?. Saya menahan napas sejenak. Lalu rasanya ingin saya kuncit mulut doi dan jambak rambutnya.

Segitunya saya, karena si teman ini guru TK dan mantan au pair juga. Yang saya tahu, anak-anak yang pernah diurusnya berusia 4-6 tahunan. Mungkin karena host kids-nya sudah cukup mandiri, makanya doi anteng saja mengajak main, mendadani, atau memberi makan. Beres.

Saya sudah tiga kali jadi au pair dan anak-anak yang saya urus usianya beragam, mulai dari three minggu sampai 12 tahun. Jam terbang saya tentu saja lebih tinggi karena pengalaman mengasuh anak lebih banyak, terutama bayi. Sebagai informasi juga, saya pernah jadi guru TK selama lebih dari setahun setengah. Kalau disuruh memilih antara mengurus tanaman atau anak, tentu saja saya ingin menjerit lebih baik mengurus tanaman. Si tanaman tidak perlu kalian gendong, suapi, mandikan, ataupun ajak bermain. Si tanaman juga tidak akan menangis di tengah malam ataupun berisik minta dibelikan jajanan saat di jalan.

Saya tidak perlu punya keturunan lebih dahulu untuk tahu betapa lelah dan stressnya mengasuh anak. Mungkin akan ada yang berkomentar, “mengasuh anak sendiri berbeda dengan mengasuh anak orang”. No, peeps. It’s totally the same!Jangan mentang-mentang para host kids tidak lahir dari rahim saya, lalu bisa diperlakukan ala kadarnya. Tentu saja tidak. Saya tetap berperan layaknya orang tua ketiga yang ikut mengasuh dan menyayangi mereka. Pola asuh yang sering orang tuanya terapkan pun selalu saya aplikasikan juga ke anak-anaknya. Apalagi selain dibayar, saya mendapat kepercayaan penuh dari si orang tua langsung.

Sama seperti halnya hewan peliharaan yang masuk menjadi bagian anggota keluarga. Meskipun hewan tersebut bukan dari kandungan kita, mustahil kita bisa memperlakukan mereka seenaknya. Ada rasa tanggung jawab, kasih sayang, dan peduli yang kita curahkan. Dipeluk, diberi kandang yang layak dan makanan yang sehat, serta dibawa ke dokter kalau sakit. Bedanya, hewan peliharaan tidak akan seberisik anak-anak. Hewan peliharaan juga tidak perlu ditimang ataupun diganti popoknya setiap waktu.

Lalu mungkin ada lagi yang berkomentar, “alah.. situ kan cuma babysitter yang jaga bayi sebentar-sebentar, tidak 24 jam. Mana tahu seninya mengurus anak.” Kalau masalah pengalaman, jam terbang saya lagi-lagi lebih lama dari para ibu muda yang ada di luar sana. Saya pernah 'dikarunia' tugas mengasuh dua anak berusia di bawah 3 tahun plus satu anjing selama 4 hari 3 malam saat orang tua mereka liburan ke Inggris. Ini yang babysitting-nya non stop 4 hari. Belum lagi babysitting lain yang harus juga saya tangani. Saking fokusnya dan harus membagi atensi ke semua anak, saya sampai tidak punya waktu untuk mandi dan mengurus laundry. Lelah sekali. Saat mengajak anjing jalan pun, dua anak lainnya mesti diajak. Ya jadilah stroller penuh membawa para asuhan. Belum kali kalau si bayi teriak lapar, si kakak minta tambahkan susu, sementara perut saya pun sudah merongrong minta makan. Aaaargghh!

Si teman saya tadi mungkin belum pernah berurusan dengan popok kotoran, jeritan bayi di pagi hari, intervensi saat tidur, ataupun lelahnya raga saat harus mengurus para anak ketika tantrum menyerang. Di pikirannya mungkin punya anak itu selalu menyenangkan ataupun menggemaskan. There.. there.. the truth is far from that! Main dulu yang jauh, bertemanlah dengan para ibu muda yang sering juga mengeluh saat mengurus anak. Kalau perlu, latihan dulu mengasuh anak orang di bawah usia 5 tahun selama satu minggu penuh agar tahu mana tanaman, mana anak-anak.

Children are nightmares and uneasy creatures. Jangan pernah samakan mereka dengan tanaman. Ada pikiran, tenaga, waktu, dan materi yang dikorbankan untuk mereka. Bahkan ada yang mengatakan, mengurus dan mendidik anak perempuan lebih sulit ketimbang mengurus 10 ekor kerbau. Jadi kalau disuruh pilih mengurus anak, hewan peliharaan, atau tanaman, saya mencoret opsi pertama ☺

Tips 4 Alasan Saya Lanjut Kuliah Master di Norwegia|Fashion Style

" Kuliah S2? Nanti dulu! " kata saya dua tahun lalu.

Di postingan tersebut juga dituliskan beberapa alasan yang mendasari saya belum ingin lanjut kuliah lagi. Salah satunya adalah karena kuliah itu melelahkan. Tahun depan sudah pas 5 tahun saya menjajakan kaki di Eropa dan tinggal di rumah keluarga angkat sebagai au pair. Tapi semakin lama jadi au pair, saya merasa mengalami brain dead karena salah satu hal yang saya rindukan selama ini adalah berpikir kritis ala mahasiswa.

Meskipun masih terus rutin datang ke kelas bahasa, namun materi pelajarannya tidaklah seintensitas pembelajaran akademik di kampus. Lagipula, kelas bahasa tersebut hanya 2-3 kali seminggu. Awalnya sangat termotivasi, tapi lama-lama bosan juga karena tantangannya sebatasdaily life talking yang masih sering bernego dengan English.

Lanjut kuliah di luar negeri juga bukan cita-cita baru kemarin sore. Saya memang berniat ingin kuliah lagi, namun selalu terkendala urusan biaya dan kemampuan bahasa Inggris. Peluang mengatasi biaya salah satunya memang harus ikut program beasiswa. Tapi sayangnya saya sudah minder duluan karena merasa tidak terlalu kompetitif menghadapi pesaing lain. Bahasa lainnya; tidak cukup pintar.

Setelah berhasil mengantongi sertifikat IELTS yang nilainya memenuhi syarat pendaftaran, kesempatan daftar ke universitas asing makin luas. Sampai akhirnya saya mantap ingin lanjut kuliah lagi di Norwegia. Pertanyaannya, mengapa Norwegia?

1. Bebas biaya kuliah

Di Eropa, setahu saya hanya ada 3 negara yang menggratiskan biaya kuliah bagi mahasiswa internasional, yaitu Jerman, Norwegia, dan Finlandia. Saya dulunya sangat berharap bisa lanjut kuliah di Aalto University. Namun sayangnya, Finlandia tidak lagi menggratiskan biaya kuliah untuk mahasiswa non-Eropa sejak musim gugur 2017 lalu.

Saya juga tidak berniat lanjut belajar di Jerman karena mungkin sudah terlalu sering mendengar cerita pelajar disana. Lalu pilihan terakhirnya memang Norwegia karena kebetulan saya masih tinggal disini.

Meskipun biaya kuliah di Norwegia digratiskan di semua universitas negeri, namun mahasiswa tetap harus membayar uang semester sebesar 600-850 NOK.

*10 NOK = 1 Euro

2. Kuliah sekalian kerja

Alasan lainnya mengapa saya memilih Norwegia adalah karena berniat kuliah di sisa akhir kontrak au pair. Jadi daripada mesti pulang dulu ke Indonesia, saya meminta izin kehost family jika boleh studi sekalian kerja di sisa 5 bulan akhir kontrak. Ternyata host mom menyambut baik ide ini meskipun sedikit skeptis apakah saya masih bisa sefleksibel sekarang kalau sudah fokus kuliah.

"That is still a great plan anyway, Nin! You have to go for it!" kata host mom saya bersemangat.

Karena keluarga angkat saya tinggal di Oslo, artinya saya hanya bisa daftar ke kampus yang ada di sekitaran Oslo saja. Tapi sebetulnya tidak masalah juga karena tinggal di ibukota lebih memudahkan akses kemana pun.

Three. Ada jalan

Di Norwegia juga ada kelonggaran batas waktu pendaftaran bagi pendaftar asing yang memiliki izin tinggal disini. Syaratnya, izin tinggal tersebut bersifat permanen atau dapat diperbarui. Kalau mahasiswa internasional biasanya hanya memiliki deadline di bulan Desember atau Januari, penduduk Norwegia bisa mendaftar sampai pertengahan April untuk perkuliahan semester musim gugur.

Kebetulan saat ini saya sudah memiliki residence permit au pair sampai 2020. Setelah menghubungi pihak UDI yang mengurusi imigrasi, mereka mengatakan kalau saya boleh kuliah sekalian au pairing memakai permit yang sama. Kalau au pairpermit yang sekarang hampir habis, saya harus segera mengajukan student permit 2-3 bulan sebelumnya.

Pertanyaan lainnya tentu saja masalah biaya hidup sehari-hari. Biaya kuliah boleh gratis, tapi biaya hidup di Norwegia  terkenal sangat tinggi. Gambaran kasarnya, mahasiswa asing sedikitnya harus mengantongi 10.000 NOK atau sekitar 17 juta rupiah per bulan. Pihak imigrasi UDI juga menekankan bahwa untuk mendapatkan student permit, mahasiswa asing harus memiliki dana minimal 116.369 (sampai Juni 2019) NOK di rekening atas nama pribadi, tidak boleh disponsori kecuali beasiswa.

Beruntungnya, biaya ini tidak harus serta merta berupa tabungan tapi boleh juga kombinasi dana pinjaman dari pemerintah atau surat kontrak kerja paruh waktu. FYI, mahasiswa asing di Norwegia diizinkan bekerja paruh waktu 20 jam per minggu. Contohnya saya hanya punya dana 35.000 NOK di tabungan, tapi sudah mengantongi surat kontrak kerja yang gajinya selama 1 tahun adalah 90.000 NOK, artinya saya bisa mengajukan study permit karena total biaya hidup sudah tertutupi sampai setahun ke depan.

Masalah biaya ini juga sudah saya diskusikan dengan host family dan mereka mau membantu untuk memberikan saya pekerjaan paruh waktu. Karena mereka berpikir untuk tetap menyewa nanny, sepertinya saya masih boleh bekerja disini sampai setahun berikutnya. Bagaimana kalau mereka berubah pikiran?

Artinya saya tetap harus menunjukkan bukti ke UDI bahwa saya mampu membiayai kehidupan sehari-hari. Saya masih berusaha menabung sebanyak-banyak mungkin sekarang ini. Entah berapa pun itu, rencananya ingin pinjam uang ibu saya dulu untuk menutupi sisanya saja. Lolos dapat study permit, baru saya kembalikan lagi uangnya dan mencoba mencari pekerjaan paruh waktu lain di luar. Tapi sejujurnya, saya tidak yakin memilih jalan ini karena paham soal keterbatasan finansial sang ibu juga.

Kalau kalian berniat kuliah di Norwegia pakai biaya sendiri, silakan baca informasi detailnya di situs UDI . Di situs tersebut juga disebutkan bahwa mahasiswa asing harus memiliki tempat tinggal di Norwegia yang dibuktikan dengan surat kontrak atau pernyataan dari pemilik kos. Karena tahun depan kamar saya akan dirombak jadi kantor baru, makanya saya tidak bisa tinggal lebih lama dengan keluarga yang sekarang. Lagipula saya butuh privasi lebih karena bukan au pair mereka lagi. Perihal ini juga sempat saya bicarakan ke teman yang tinggal di Oslo dan doi sepakat untuksharing costapartemen kalau memang saya bisa studi disini.

4. Belajar bahasa lebih lama

Kalau ada negara di Eropa yang saya ingin tinggali lebih lama, itu adalah Denmark atau Norwegia. Mengapa, karena dua negara ini adalah negara terlama di Eropa yang pernah saya tinggali dan paling saya kenali bahasa dan kebudayaannya. Kuliah di Denmark sangat mahal, makanya saya belum mampu lanjut kesana. Sayang juga, karena sebetulnya saya masih sangat ingin belajar bahasa Denmark .

Opsi studi di Norwegia tentu saja menjadi sangat rasional dan masuk akal. Saya berpikir, kalau berkesempatan studi Master selama 2 tahun, artinya total saya tinggal disini menjadi 4 tahun. I just wonder, am I still (this) bad at talking Norwegian after 4 years? Mungkin saja saya makin bersemangat ingin lancar bahasa lokal karena bisa jadi modal untuk mencari pekerjaan selepas lulus kuliah.

So, ini planning saya di awal tahun ini! Apapun keputusannya, saya berharap yang terbaik saja. Kalau memang jalan ini belum mulus, I would move to Plan B because it could be back home.

Langkah berikutnya:

Daftar kuliah di kampus Norwegia

Saturday, May 23, 2020

Tips Pengalaman Tes IELTS Kedua di IALF Palembang|Fashion Style

Kalau kalian perhatikan, blog saya miskin postingan sejak bulan lalu. Percayalah, saya juga merasa bersalah kalau absen mengisi blog setiap minggunya. Tapi fokus saya teralihkan karena harus belajar IELTS lagi untuk tes di awal Januari. Hampir dua tahun lalu saya pernah ikut tes di Kopenhagen, tapi nilainya belum memenuhi syarat minimum penerimaan kuliah Master. Iya, saya memang berencana lanjut kuliah di Eropa selepas au pair ini.

Karena di pertengahan Januari saya akan pulang dulu ke Palembang, saya berharap bahwa jadwal tes akan sama dengan jadwal kepulangan kesana. Kalau tidak, opsi lainnya saya harus ke Surabaya, Denpasar, atau Jakarta yang jadwalnya lebih sering. Tapi lumayan, bisa menghemat biaya ketimbang harus tes di Oslo yang harganya nyaris 5 juta rupiah!

Di Palembang sendiri tes IELTS diselenggarakan oleh IDP dan IALF yang jadwalnya kadang hanya sekali atau dua kali consistent with bulan. Biaya tesnya sebesar 2,nine juta rupiah dan hampir sama di seluruh Indonesia. Tapi kalau mesti tes di luar kota, artinya saya mesti keluar uang lebih dari 1 jutaan lagi. Makanya dari jauh-jauh hari saya berharap kalau jadwal tes di Palembang benar-benar bisa tepat dengan waktu saya disana.

Beruntungnya, tanggal tes dari IALF memungkinkan saya join ketimbang jadwal IDP yang seminggu lebih cepat. Untuk IALF, tes diadakan di Fotrust Education Service Palembang. Sedangkan tes oleh IDP diselenggarakan di Central International Education yang sebetulnya hanya selemparan batu dengan Fortrust.

Karena tidak ingin buang-buang uang kalau harus ikut tes lagi dan lagi, saya cukup serius belajar sekitar 1,5 bulan sebelum jadwal tes. Fokus utama saya adalah menaikkan skor Reading dan Writing yang di tes sebelumnya hanya mendapatkan 5.5. Saya tidak memiliki kiat khusus belajar, karena yang saya lakukan hanya latihan menjawab contoh soal setiap hari. Sumber latihan saya pun hanya satu, yaitu IELTS Exam Library . Tapi lumayan juga, berkali-kali mencoba contoh soal, saya bisa meningkatkan teknik screening dan scanning jawaban lebih cepat.

Sementara untuk Writing, saya mempelajari pola esai dari IELTS Advantage . Saya suka penjelasan dan teknik menulis esai disini. Dibandingkan Reading, saya sebetulnya latihan Writing kurang dari seminggu saja. Meskipun bahasa Inggris saya secara tertulis sangat pas-pasan, tapi mempelajari struktur esai yang diminta menjadi fokus utama. Seperti yang dikatakan si penulis, you just have to give what they want.

Saya juga tidak punya ekspektasi menaikkan skor general sampai harus 7 atau 8, karena syarat minimum kampus hanya 6.5. Lagipula saya sadar level bahasa Inggris saya sangat standar ditambah malasnya belajar. Makanya latihan dari satu atau dua sumber, mencari tahu trik menjawab soal, dan mengatur waktu dengan baik, adalah hal yang saya pelajari dan lakukan.

Speaking Test

Jadwal tes Speaking dilaksanakan satu hari lebih awal. Saya dikabari sekitar 10 hari sebelumnya bahwa jadwal tes saya jam 2 siang. Pihak pelaksana tidak banyak omong tentang harus membawa apa, kapan harus datang, namun intinya jangan telat.

Tiga puluh menit lebih awal, saya datang ke lokasi dan sudah ada dua orang peserta lainnya. Tidak seperti di Kopenhagen yang sangaton time, ternyata tes di Palembang super ngaret. Katanya saya akan tes jam 2 siang, ternyata pengujinya pun baru datang jam segitu. Belum lagi mereka ngerumpi dulu dan mesti menyiapkan ini itu. Setelah harus menunggu 20 menit lebih lama, saya baru memasuki ruangan tes.

Sama seperti tes terdahulu, saya cukup nervous di awal. Si pengujinya bapak-bapak tua yang berasal dari Amerika. Beliau cukup ramah tapi serius. Berikut pertanyaan yang diajukan ke saya;

Part 1:

. Do you figure or examine?

. Is it an amazing vicinity to study?

. If you would really like to exchange from your place of job, what it might be?

. Did you visit the cinema while you had been a child? Why?

. Is your favorite movie changing from time to time?

. Do you want going to the cinema now? Why?

. How often do you visit the cinema now? Why?

. Do you want consuming water from a bottle or faucet? Why?

. Do you observed buying bottled water is steeply-priced in your region? Why?

. Have you ever skilled when you had been thirsty however had not anything to drink? Why?

Part 2: A some distance away location

Let?S communicate approximately a place wherein is some distance away but you may visit inside the destiny;

. Where is it

. How could you pass there

. Why would you cross there

. Explain what might you do there

Part 3: Travel & Tourism

. Is it common for young people in your country to take a gap year after high school to go for travelling abroad?

. Do you think it is important for young people to travel? Why?

. Is it travelling abroad cheaper than travelling within Indonesia?

. Do you think tourism in your area brings a positive impact? Why?

Listening, Reading, dan Writing Test

Esoknya, dikabarkan bahwa tes akan dimulai jam 8 pagi dan setiap peserta harus datang 30 menit lebih awal untuk registrasi biometrik. Lucunya lagi, biometrik pun baru dimulai jam 8.30. Peserta tes hanya ada 9 orang. Tempat tesnya di ruangan kecil yang juga merupakan kelas kursus bahasa Inggris di Fortrust. Pengawas tes saat itu ibu-ibu yang sepertinya dosen bahasa Inggris. Setelah membacakan tata tertib sebelum masuk ke ruangan dan membagikan alat tulis, akhirnya tes pun baru dimulai jam 9!

Saat bagian Listening, audio speaker-nya cukup bersih dan bagus namun menurut saya lebih left-centered. Saya harus betul-betul fokus ke kuping kiri saat menjawab soal. Sedikit pesimis di bagian Listening ini karena saya merasa banyak jawaban yang asal tembak di Section 2 dan 3. Fokus saya hilang saat ada satu atau dua soal yang kelewatan.

Di bagian Reading, saya hampir kehilangan banyak waktu karena fokus di Section 1 dan 2 saja. Sementara Section 3 terlihat lebih sulit hingga akhirnya saya pun asal tembak lagi di 10 soal terakhir. Saya tahu, bagian terakhir pastilah yang tersulit. Tapi kali ini benar-benar bingung, sudah di-scan berkali-kali, saya merasa tidak menemukan jawaban.

Sementara tes Writing, Part 1 berupa 2 pie charts tentang kegiatan sukarelawan di berbagai sektor dan Section 2 berupa discussion essay yang topiknya tentang Berita; lebih mudah mempelajari isi berita lewat media cetak seperti koran atau via media digital seperti media sosial. Meskipun berusaha mengingat susunan paragraf yang sempat dipelajari, ternyata saya lupa membuat overview  secara umum. Tulisan saya juga tidak terlalu bagus, terkesan datar, namun setidaknya lebih dari minimum kata yang diminta.

Setelah selesai tes, saya sebetulnya cukup was-was juga. Merasa tidak yakin dengan skor akhir, sampai berusaha mengira-ngira sendiri berapa skor yang akan saya dapatkan. Kalau skor kali ini tidak memenuhi syarat universitas, artinya saya harus tes ulang di Eropa dengan biaya yang lebih mahal. Tapi saya pun yakin, skor 6.5 setidaknya sudah ditangan. I have tried my best though.

Tiga belas hari sesudah tanggal tes, saya sudah bisa mengecek skor via online di website ini . Deg-degan juga karena kalau gagal, uang pun melayang lagi. But... I PASSED IT! Skor saya betul-betul pas memenuhi syarat masuk universitas. Nilai Listening yang saya kira akan kecil, ternyata jadi yang paling besar. Sementara Reading saya yang kemarin hanya 5.5 lumayan naik jadi 6.5 meskipun dari hasil tembak-tembakan jawaban. Lalu Writing, hanya dapat 6.0 meskipun naik sedikit dari tes sebelumnya.

Overall, saya sangat bersyukur bisa tembus 6.5. Artinya, saya bisa absen belajar IELTS sampai beberapa tahun ke depan dan siap mendaftar ke kampus-kampus di Eropa. Hope me for the best!

Tips Au Pair: Tukang Masak Keluarga|Fashion Style

Banyak teman saya yang sejak hijrah ke Eropa jadi sukahang out di dapur dan pintar memasak. Ada satu teman yang sengaja memajang banyak hasil olahannya dan memamerkan kepandaiannya memasak demi menyenangkan perut si pacar. Karena mungkin sudah banyak mendapatkan respon positif dari keluarga si pacar dan teman terdekatnya, teman saya ini langsung percaya diri membuka katering pribadi yang sudah punya laman khusus di Facebook.

Lini masa Facebook dan Twitter saya pun sering kali dipenuhi postingan teman Asia yang menunjukkan makanan hasil buatannya. Kadang sekalian kumpul-kumpul, ada saja yang dimasak. Lalu jangan lupa, difoto dulu. Saking banyaknya masakan yang sering dibuat, ada album khususnya sendiri!

Hebatnya, teman-teman ini tidak hanya masak makanan khas dari negaranya, tapi juga belajar masakan daerah lain. Dari yang coba-coba membuat pastry Prancis, tapas khas Meksiko, hingga sushi. Foto yang dibagikan pun terlihat menarik karena makanannya kelihatan enak.

Lalu, saya sendiri?

Datang ke Eropa dan selalu kangen masakan Indonesia, tidak serta merta juga membuat saya suka masak. Dari dulu, dibandingkan memasak, saya lebih suka menyulam atau menjahit baju.

Oke, sejujurnya, saya bisa masak. Sejak ayah meninggal dan sang ibu kehilangan nafsu masaknya, saya ini lah yang jadi koki keluarga. Paham masakan yang sering dimakan keluarga itu-itu saja, saya juga terbiasa hanya memasak makanan tersebut. Percuma mencoba ide-ide baru, karena tidak ada yang makan. Keluarga saya memang sedikit picky untuk urusan makanan atau cenderung ambil aman.

Jadi au pair di tahun pertama, saya disuruh masak untuk keluarga Belgia 2-3 kali seminggu. Sama seperti keluarga saya di Indonesia, anak-anak keluarga ini super picky juga soal makanan. Mereka tidak suka sayuran, tapi dipaksa orang tuanya untuk selalu menyiapkan sayuran di sisi piring. Pernah suatu kali, saya mencoba menu masakan baru, yang makan hanya orang tua mereka. Para anak ini malah menghina masakan saya dan ujung-ujungnya makan roti. Padahal menurut si orang tua, menu tersebut luar biasa enaknya.

Malas juga mendengar hinaan dan tahu anak-anak ini terbiasa makan apa yang mereka suka saja, di hari berikutnya saya hanya menghidangkan menu favorit mereka dan wortel sebagai sayuran. Selang-seling saja dari daging olahan goreng, Spaghetti Bolegnaise, lalu daging goreng lagi, Spaghetti Bolegnaise lagi. Begitu saja setiap hari. Keseringan diberi wortel terus-terusan, saya pernah ditegur karena tidak berusaha inovatif.

"Nin, we could be red if you give us carrots every day," kata si Bapak.

Didn't you believe you studied I even have attempted my fine however none of your kids devour my innovation (meals)?!

Lanjut au pair di Denmark, tahun pertama saya super sibuk. Selain mengurus rumah dan bayi, saya harus menyiapkan makan malam untuk seluruh anggota keluarga setiap hari! Saya yang memotong sayuran, saya yang masak, saya yang merapikan meja, saya juga yang membersihkan piring kotor. Lengkap! Keluarga Denmark memang luar biasa!

Di keluarga ini pengalaman masak saya pun tidak berkembang. Sering kali masakan saya (lagi-lagi) dihina duluan sebelum dimakan. Si bapak memang pintar masak dan memiliki standar yang terlalu tinggi terhadap makanan. Yang saya heran, kalau memang si bapak pintar memasak, mengapa harus saya juga yang bertugas menyiapkan makanan?

Pernah saya masak Lasagna, dinilai tidak sempurna karena terlalu kering. Sekali lagi masak mie daging, mereka tidak makan sama sekali karena rasanya aneh dan warnanya tidak menarik. Padahal saya sudah berusaha mencontek semua resep dari internet.

Saya benci sekali urusan memasak! Tugas ini tidak mudah karena saya harus berpikir keras, kira-kira menu apa yang cocok untuk dimakan segala usia. Satu lagi, anak pertama keluarga Denmark ini juga picky bukan main soal makanan. Belum lagi persoalan rasa, apakah cocok dengan lidah mereka atau tidak. Not too spicy, not too strong, not too bland, blablabla..

Sadar sepertinya selalu gagal dan habis ide, si bapak memberikan saya hadiah Natal berupa 2 buku tebal berisi resep masakan Denmark yang ternyata niat utamanya malah menyinggung.

Tapi meskipun suka menyidir, ada satu pelajaran yang saya dapat dari host dad ini, "yang paling utama itu adalah soal penyajian, terutama urusan warna. Usahakan minimal ada 2 warna segar seperti hijau dan kuning atau hijau dan merah sebagai pemikat makanan. Hijau bisa diambil dari salad segar atau brokoli dan merah bisa menggunakan cabai atau paprika."

Noted!

Tinggal dengan keluarga Norwegia  hidup saya lebih santai. Tugas memasak hanya 1-2 kali dalam sebulan. Itu juga sudah diwanti-wanti untuk masak makanan yang super sederhana saja. Host family saya ini tipe orang yang easy dan sadar kalau saya memang bukan koki handal. Masakan saya pun sering dipuji dan habis.

"This is the best chicken we have ever eaten!" kata si Bapak saat mencicipi Ayam Bakar Madu yang saya buat.

Anak mereka yang berumur 2 tahun juga bisa diajak bernegosiasi karena sudah diajari tidak pemilih dengan makanan. Jadi meskipun saya masak makanan berat-berat seperti mie atau ayam, si anak ini tetap disuruh mencicipi dan mau makan. Senangnya!

Pindah ke negara orang memang mengajarkan kemandirian. Ada yang mendadak suka dan tambah pintar memasak, tapi ada juga yang stage masaknya standar saja seperti saya. Mungkin karena sering dihina juga, makanya saya malas masak untuk orang banyak. Bukankah masakan paling enak itu sesungguhnya adalah makanan yang dibuat oleh orang lain?

Tips Malasnya 'Business Trip' dengan Host Family|Fashion Style

Salah satu perks of being an au pair itu adalah bisa jalan-jalan gratis alias "dinas" atau "business trip" ke luar dan dalam negeri dengan keluarga angkat. Pengalamannya tentu saja banyak, bisa diajak melihat tempat-tempat anti mainstream yang mungkin tidak akan pernah kita singgahi kalau harus travelling sendiri, tiket PP gratis, serta ikut kecipratan fasilitas hotel mewah kalau memang beruntung mendapatkan keluarga Eropa yang kaya raya. Kadang kalau keluarganya baik, uang saku saat liburan pun ikut ditambah.

Contohnya saja Vicky, eks au pair Denmark, yang sempat dibawa "dinas" ke Dubai selama 7 hari menemani host family. Kegiatan sehari-harinya hanya berjemur seksi di pantai atau hotel berbintang karena mengikuti gaya liburan keluarganya yang santai.

Ada lagi Anggi, eks au pair Belgia, yang beruntung tinggal bersama keluarga Belanda kaya raya yang sering diajak travelling menggunakan jet pribadi. Dari penginapan dan makan sehari-hari di restoran semuanya ditanggung tanpa takut kelaparan. Tidak suka makanan restoran, boleh pesan menu di hotel yang juga masuk ke bill keluarga. Kegiatan dinas juga tidak hanya menemani host kids di pantai Spanyol, tapi juga ber-ski di Austria. Lucky? Iya.

Dari dulu sebetulnya saya paling tidak berminat diajak liburan oleh keluarga angkat. Daripada liburan masih harus bertemu mereka, saya lebih memilih doing nothing at home atau hang out di kota dengan teman dekat. Di Norwegia, entah harus bersyukur atau terus mengeluh karena dinas keluar Oslo sudah jadi jadwal saya setiap bulan. Yep, you read it right! Setiap bulan jalan-jalan dan tidak pernah mantap di Oslo!

Selain host family saya  punya 3 rumah di Norwegia yang harus didatangi tiap akhir pekan, mereka juga memiliki pulau pribadi dan villa di Prancis yang rutin dikunjungi setiap tahun. Karena keluarga saya ini juga experienced skiers yang harus selalu naik gunung untuk berski ria, mau tidak mau saya selalu diajak kerja pindah-pindah.

BUT!! Tidak semua perjalanan dinas ke tempat-tempat jaw-dropping selalu menyenangkan. None of these (lucky) au pairs told you exactly how did they feel!

1. Working more

Meskipun mungkin terhindar dari rutinitas harian semisal laundry dan memasak karena semuanya jadi servis hotel, namun tidak untuk babysitting. Kebanyakan orang tua biasanya hanya ingin menikmati liburan tanpa harus 24/7 bersama anak, makanya au pair ikut dibawa. Tak heran, kadang au pair sampai harus tidur sekamar dengan balita hanya karena orang tuanya masih sibuk clubbing.

2. No holiday for you

Judulnya memang "liburan", tapi itu sebetulnya liburan host family. Bagi sebagian au pair, liburan dengan host family bisa berarti kerja rodi! Keluarga yang masih punya anak kecil biasanya paling butuh bantuan ekstra saat liburan. Makanya agenda kita ikut mereka pun bukanlah berfoto-foto ria memakai outfit ceria hanya untuk dipamerkan di sosial media, tapi tetap harus dorong stroller dan ganti popok balita. Tentu saja ada kalanya si keluarga ini memberikan kita waktu luang menikmati kota dan jalan sebentar ke taman, tapi sesungguhnya rutinitas kita tidaklah berbeda dari tugas harian yang hanya pindah tempat saja. This is how "business trip" works, bukan?

3. Terbatasnya privasi

Namanya juga "sudah dianggap seperti keluarga sendiri", jadi kadang tidak ada lagi batas privasi antara kita dan keluarga. Kembali ke poin pertama, kadang au pair harus tidur sekamar bersama host kids hanya karena orang tua mereka ingin punya kamar sendiri dan child-free saat liburan. Ada lagi au pair yang merasa canggung karena harus ikut makan 3 kali sehari dengan host family di restoran, padahal kadang inginnya lari ke Mekdi.

Four. Susah keluar

Enak kalau diajak dinas ke daerah tak jauh dari keramaian ataupun akses ke transportasi umumnya gampang. Setidaknya kita bisa melarikan diri sebentar ke pusat kota hanya untuk cuci mata ataupun ngopi santai tanpa harus selalu berkutat dengan host kids. Faktanya, tidak semua keluarga kaya raya suka dengan kota-kota besar seperti Paris dan Barcelona.

Keluarga saya termasuk tipe orang yang menyukai daerah tenang, pinggiran, dan sangat dekat dengan alam. Bagi mereka memang menyenangkan karena tak harus berdesakkan dengan turis, namun bagi saya, seperti penjara. Saya sering kali diajak ke villa pribadi mereka di atas perbukitan Prancis Selatan yang luar biasa megah, otentik, serta punya kolam renang dan lapangan tenis sendiri. Kanan kiri hanya hutan dan bukit yang sungguh cantik. Tempat ini juga jadi venue resepsi pernikahan host parents saya yang mengundang hampir 80 orang. Awalnya saya tidak berhenti mengagumi tempat ini, lama-lama muak juga.

Ingin ke pusat kota, harus jalan kaki turun bukit sekitar satu jam dulu atau mau tidak mau harus menggunakan kendaraan pribadi. Miskin hiburan untuk anak muda. Belum lagi transportasi umumnya sangat jarang dan membutuhkan waktu 40 menit lagi untuk sampai ke kota yang lebih besar. Saya suka hiking, tapi kalau harus selalu menjelajah tempat ini sendiri, saya bosan.

Five. Menunggu pulang

Keluarga Eropa yang kaya raya itu liburannya tidak sebentar karena mereka memang menikmati semaksimal mungkin atmosfir daerah yang berbeda jauh dari kota asal. Paling cepat semingguan, paling lama bisa satu bulanan. Hari pertama sampai ketiga mungkin para au pair ini masih semangat selfie, foto kanan kiri, dan penasaran ingin menjajakkan kaki kesana-sini. Esok-esoknya, hari terasa sangat lama karena mulai merindukan teman atau pacar.

Mau bagaimana lagi, yang liburan memang si keluarga dan kita hanya kecipratan asiknya saja. In the end, kita hanyalah sendiri menikmati fasilitas mewah dan kecantikan kota yang tersajikan di depan mata. Kalau sudah seperti ini, yang ditunggu hanyalah hari kepulangan.

Bagi kalian para au pair, kalau memang ditawari host family liburan bersama, coba saja tanyakan dulu prosedur kerjanya bagaimana sebelum mengiyakan. Apakah ini murni liburan gratis, berbayar, ataukah kita masih perlu kerja disana? Tidak semua keluarga akan menyewa hotel berbintang, karena beberapa juga lebih memilih villa atau rumah tinggal.

Menurut saya, liburan atau dinas dengan keluaga yang anaknya sudah cukup besar akan lebih menguntungkan. Kegiatan kita bukan babysitting, tapi lebih beraktifitas bersama. Seperti contohnya teman saya, Mira, au pair Denmark, yang beruntung diajak ber-ski ke Norwegia sampai dihadiahi pakaian ski lengkap oleh keluarga angkatnya. Seru memang! Tapi sayangnya, perasaan kesepian seperti orang asing tidak akan sepenuhnya bisa hilang meskipun kita sedang telentang cantik di Amalfi ataupun menyesap kopi hangat di Rio de Janeiro.

Friday, May 22, 2020

Tips Pacaran, Siapa yang Bayar?|Fashion Style

Saya cukup jengah mendengar beberapa komplain dari para au pair pencari cinta yang saya temui di Eropa. Urusan cinta mereka memang bukan urusan saya. Terserah mereka ingin mencari cowok dari belahan dunia mana pun. Tapi please, be independent, Girls!

Siang ini saya lagi-lagi mendengar keluhan yang sama dari seorang teman yang membandingkan pacarnya dengan pacar au pair Filipina . Entah kenapa, si teman ini merasa gadis Filipina yang dikenalnya selalu beruntung dan bisa dengan mudah saja mendapatkan pacar. Tak hanya sampai disitu, si au pair Filipina ini juga bisa membujuk pacarnya untuk menikahi doi sebelum masa kontrak berakhir. Betul-betul cerdik memanfaatkan kesempatan untuk menjamin permit tinggal tanpa harus pulang dulu ke negaranya.

Satu lagi yang membuat teman saya ini iri, pacar si Filipina tersebut dengan royalnya juga menggelontorkan sejumlah uang untuk membiayai semua biayatravelling ke negara asal si cewek. Lalu nasib si teman saya ini, boro-boro dibayari urusan travelling dan diajak nikah, ditraktir makan di restoran pun jarang.

"Kok mereka itu beruntung sekali ya? Sudah ketemu cowoknya mudah, langsung diajak nikah, dibayari ini itu pula!" keluh teman saya ini.

Sebetulnya tidak hanya au pair Filipina saja yang menurut saya punya karakteristik seeking a (established) white guy for a better life.Satu orang teman au pair Indonesia bahkan punya seleranya sendiri terhadap cowok asing yang akan dia kencani atau pacari. Yang pasti bukan pelajar dan umurnya harus di atas 35 karena dinilai sudah mapan. Tapi ya betul saja, doi memang bisa jalan-jalan gratis ke Swiss dan beberapa negara di Eropa karena si pacar yang membayari. Kamu iri? Jangan!

Ini Eropa, bukan Asia. Cowok Eropa tentu saja berbeda dengan cowok Asia yang selalu dituntut untuk terus-terusan punya modal saat berkencan. Tidak juga semua cowok Eropa berusia matang punya modal yang sama layaknya pacar teman saya tersebut.

Okelah, cowok Selatan dan Timur Eropa mungkin tipikal cowok dominan yang sedikit konservatif dan biasanya merekalah yang selalu membayari. Tapi kalau kamu ke Utara dan Barat Eropa, jangan harap akan menemukan kultur yang sama. Saya pernah membahas tentang budaya kencan di Skandinavia yang sering kali membuat para cewek asing syok, terutama soal siapa yang bayar saat berkencan. Dua orang teman mengatakan kalau opini saya salah karena beberapa cowok membayari mereka habis-habisan saat kencan. Bahasa lainnya; tidak perhitungan dan tidak pelit.

Girls, tunggu sampai kalian pacaran! The table now turns!

Cowok Eropa itu tidak semuanya kaya raya dan mau membagi uangnya hanya untuk kebutuhan mu. Mereka lebih menyukai cewek-cewek independen yang setidaknya bisa berbagi pengeluaran meskipun sedikit. Contohnya, kalau si pacar sudah membayari makan malam yang harganya ?70, bolehlah kita membayari minum setelahnya meskipun hanya ?30.

Urusan sharing bills ini bisa juga berganti-ganti. Mungkin weekend ini si pacar yang mentraktir kita makan, lalu minggu depannya kita gantian membayari tiket nonton. Trust me, he would appreciate that!

Sebetulnya tidak semua au pair yang saya kenal manja dan terlalu bergantung dengan pacar bulenya. Ada juga yang sedikit feminis dan gengsi kalau si cowok terus-terusan membayari. Saya berteman dengan mantan au pair yang cerita kalau dia dulunya sering membayari makan saat pacaran dan pernah mengeluarkan kocek ?One hundred fifty untuk taksi pulang karena si pacar belum gajian.

Si teman ini juga tidak masalah membayar kamar lodge sebesar ?100 per malam, meskipun si pacar hanya bisa membayari tiket bus seharga ?20 saja saat mereka liburan ke Paris. Padahal si pacar ini punya pekerjaan yang cukup oke di perusahaan telekomunikasi. Tapi karena saat itu momennya memang si pacar belum ada uang, tapi teman saya memaksa jalan, makanya mau tidak mau teman saya yang menanggung.

Teman-teman au pair lain juga mengaku akan berbagi pengeluaran dengan pacar, terutama saat liburan. Seorang teman pernah cerita punya mantan pacar Belgia yang perhitungannya minta ampun, sampai harus pas 50:50. Padahal teman saya ini dulunya masih pelajar dan si pacar sudah bekerja. Ingin bernego 70:30 saja rasanya tidak mau.

Saya sendiri, kencan di awal-awal keseringan cowoklah yang membayari. Tapi kalau memang sedang punya uang atau baru gajian, ya apa salahnya juga gantian mentraktir. Apalagi kalau sudah pacaran dan tinggal bersama, menurut saya sharing bills is a must! Percayalah, para cowok Eropa ini sebetulnya sangat hepi kalau kita ingin berbagi. Most of themunderstand how limited our pocket money is and I believe every penny helps.

Lagipula, kalau memang ingin cari yang mapan dan langsung menerima kita apa adanya, silakan lirik saja abah-abah atau aki-aki kesepian yang siap menikahi mu bulan depan! Bermimpi punya pacar muda, kaya raya, tampan, royal terhadap uang jajan, mau membantu mengurus anak atau rumah, dan siap mencintai mu apa adanya? Tentu saja tidak mudah, Girls!

Tips (Akhirnya) Saya Punya Instagram!|Fashion Style

Per 2 April 2019, Google resmi menutup jejaring sosial Google+ yang diluncurkan 8 tahun lalu. Saya sebetulnya tidak terlalu aktif menggunakan akun tersebut karena tidak paham fungsinya bagaimana. Namun sejak memiliki blog sendiri, saya gunakan saja media tersebut untuk sharing konten agar postingan saya terlacak Google dan muncul di laman pencarian.

Saya ini sebetulnya tipe orang yang paling tidak bisa promosi, termasuk menjual tulisan sendiri. Punya sosial media pun hanya Twitter (2009) dan Facebook yang baru dibuat tahun 2015 karena ingin main Tinder. Teman-teman saya di dua akun tersebut juga bukan pangsa pasar untuk sharing konten tentang au pair, makanya saya promosikan saja via Google+ yang jumlah pengikutnya pun kurang dari 50.

Dari dulu pembaca blog ini banyak yang bertanya juga apa saya punya akun Instagram. Belum ada, karena saya malas bikin dan malas pula foto-foto lalu ditaruh di sosial media. Tapi karena bahan promosi saya, si Google+, harus tutup bulan depan, mau tidak mau saya harus pindah lapak baru. So, here it is my brand new Instagram account; @artochlingua .

Silakan bagi yang berminat follow saya disana dan update tulisan terbaru saya. Mungkin kalau ada kesempatan, saya juga ingin sharing foto dari sini yang tidak sempat saya tampilkan lewat blog. Kalau miskin Story, maafkan ya, saya memang tidak terlalu getol main sosial media. Hoho.