Monday, May 4, 2020

Tips 5 Tanda Kamu Ketagihan Au Pair|Fashion Style

Tinggal di luar negeri, bebas berbikini, serunya berkencan dengan cowok Kaukasian, hingga tak lagi pusing memikirkan betapa idiotnya tingkah beberapa oknum di kampung halaman, membuat kebanyakan au pair Indonesia merasa betah hidup di Eropa. Walaupun ujungnya mereka akan menambahi fakta bahwa hidup di luar negeri itu tidak seindah yang semua orang pikirkan, tapi tetap saja mereka memilih untuk stay.

Meninggalkan zona nyaman lalu hijrah ke negara orang demi jadi au pair itu adalah salah satu langkah terbesar yang ada dalam hidup mu. Banyak hal yang akan kamu pelajari dengan tinggal di negara baru, dengan mulai memahami diri sendiri hingga berusaha beradaptasi dengan budaya yang tak selalu membuat nyaman. But that's an amazing life story and you should be grateful to have it! Bersyukur karena tak semua orang Indonesia punya kesempatan tinggal di luar negeri - dengan kategori permit sebagai au pair.

Meskipun awalnya au pair hanya dikenal oleh para mahasiswa sastra yang tertarik belajar bahasa di Prancis dan Jerman, semakin ke sini, au pair lebih dikenal sebagai batu loncatan. Bukan hanya untuk mengasah bahasa asing, tapi untuk mendekatkan mimpi mu agar lebih nyata. Mulai dari kuliah dan bekerja di luar negeri, sampai menikahi cowok Kaukasian yang selama ini menjadi idaman.

No matter what your purpose is, jangan sampai keasikan jadi au pair hingga lupa memikirkan rencana ke depannya! Kenapa, karena kehidupan au pair yang nyaman dengan tempat tinggal gratisan, bisa membuat mu ketagihan! Berikut 5 tanda kamu mulai ketagihan jadi au pair!

1. Malas pulang ke Indonesia setelah au pair pertama

Sebagai au pair junior yang memulai kisah au pair pertama di tahun 2014, bisa dikatakan saya cukup membuka telinga terhadap semua masukan para teman-au pair senior. Ketika memutuskan untuk langsung lanjut au pair di negara lain tanpa pulang dulu ke Indonesia, seorang teman-senior malah menasehati saya sebaliknya. Baginya, pulang ke Indonesia setelah 1 tahun jadi au pair itu bisa jadi terapi sebelum memulai petualangan selanjutnya.

"Trust me, you are gonna be so happy ketemu abang bakso lagi, makan sate pinggir jalan, hingga merasakanunlimited sunlight setiap harinya! Eropa begini-begini saja, Nin. Kamu ke sini 5 tahun dari sekarang pun masih akan seperti ini saja. Take your chance to go home and say hi to your relatives!" katanya saat itu.

Saya memang malas pulang ke Indonesia. Malas membuat visa dari awal, malas packing, lalu malas juga kalau harus terbang lagi PP Indonesia-Eropa. Tapi karena pulang ke Indonesia saat itu dibayari host family setengahnya, saran teman tersebut pun saya dengarkan. Memang benar, pulang sebentar ke Indonesia demi memanjakan lidah dan berkumpul bersama keluarga tanpa harus mendengar teriakan anak balita di rumah bisa jadi terapi tersendiri.

2. Tak ada tujuan di Indonesia

Kamu sudah jadi au pair, lalu pulang ke Indonesia for good, namun sempat terpikir untuk jadi au pair lagi karena merasa muak atau tak ada tujuan di Indonesia. Yang seperti ini, banyak! Ada perasaan rindu suasana Eropa, rindu minum-minum di bar, rindu pulang malam tanpa ancaman begal, rindu swiping dengan para bule-bule kece, hingga rindu suasana Natal yang syahdu di Benua Biru.

Di saat seperti ini, memang hanya au pair yang bisa dengan mudah menerbangkan mu kembali ke Eropa dan menikmati kebebasan yang terbatasi di Indonesia. Tapi apa kamu yakin ingin kembali jadi au pair hanya merasa tak ada tujuan di Indonesia, bukan karena kemarin belum puas menikmati kehidupan di negara orang?

3. Travelling 'murah' masih ada dalam wishlist mu

It was me when I started my journey back to Denmark! Pengalaman au pair saya di Belgia betul-betul up and down and I swore to myself to be an au pair again! Di Belgia, saya hanya punya 10 hari libur untuk jalan-jalan yang saat itu ending-nya pergi ke Italia dan Yunani. Masih ada banyak sekali daftar negara yang ada dalam wishlist dan saya sadar bahwa sekembalinya ke Indonesia, melihat Eropa dari peta saja sudah sangat jauh. Belum lagi masalah ongkos dan visanya! Manusia kere macam saya ini rasanya harus kembali bermimpi.

Saya tahu bahwa dengan jadi au pair lagi, resolusi saya travelling ke banyak tempat jauh dari kata impossible. Kenyataannya benar, uang saku saya selama 2 tahun di Denmark memang hanya habis untuk jalan-jalan. Hampir setiap bulan saya bisa travelling dengan (lebih) murah dan mudah ke banyak negara Eropa, dari Islandia sampai Turki, hingga kesampaian mengunjungi adik saya di Cina.

I know it is not only me, since most of au pairs who love travelling also would do the same; niat jadi au pair lagi demi keliling dunia!

4. Post-au pair crisis

Pertanyaan "setelah ini ingin kemana?" adalah momok yang real bagi para au pair. Sudah malas pulang ke Indonesia, tak niat lanjut kuliah, si pacar belum ingin menikahi, ya ujung-ujungnya lanjut au pair lagi! Mau bagaimana lagi, iya kan?

Hidup jadi au pair di Eropa itu cukup nyaman. Dapat kamar gratisan, makan tinggal buka kulkas, jalan-jalan murah, belum lagi banyaknya fasilitas mewah lainnya yang host family berikan. Sebelum menyentuh usia 30, berkelana ke banyak tempat untuk jadi au pair pun rasanya tak masalah. Tapi semakin kamu bingung ingin kemana selepas au pair, semakin kamu akan menyadari bahwa ternyata 1 tahun di negara orang itu bisa berlalu dengan sangat cepat! Hayo, ingin kemana lagi selepas ini?

Five. Belum selesai satu, sudah berniat ke negara selanjutnya

Kamu baru beberapa bulan di satu negara, tapi karena menyadari enaknya jadi pair, sudah memiliki rencana untuk langsung mencari host family sebelum permit habis. Hal ini dilakukan agar tak harus pulang dulu ke Indonesia dan apply visa lagi. Now you understand, how 'easy' it is handling the papers in Europe than in Indonesia!

Tapi sebelum memutuskan ingin jadi au pair lagi, kamu harus berencana lebih jelas apa tujuan au pair kesekian ini. Kehidupan au pair yang nyaman akan berakhir ketika menyentuh usia 29 atau 30 tahun. Jadi sebelum buang-buang waktu dan menua karena bingung "setelah ini ingin kemana?", perhaps you might challenge yourself to stop living comfortably (as an au pair)?

Being an au pair is so addictive, Teman-teman! Sesampainya di sini, ada kemungkinan kamu akan menyetir ulang jalan untuk pulang dan berpikir untuk menetap. Seperti yang saya katakan di atas, au pair bisa menjadi batu loncatan menggapai mimpi dengan mencari ilmu, karir, atau jodoh di luar negeri. Tapi sebelum ketagihan dan terlalu lama menjadi au pair, membuat rencana yang matang sebagai jawaban dari "setelah ini ingin kemana?" ituharus, karena kehidupan au pair di satu tempat itu tidak lama, hanya 12 sampai 24 bulan saja.

Saya jadi au pair sampai 5 tahun lamanya juga bukan karena kebetulan. Bahkan kalau harus mengulang dari awal, saya mungkin akan mencoret Denmark dan langsung ke Norwegia untuk menjadi au pair dan meneruskan hidup sebagai mahasiswa. I would save 2 years of precious time in my life! Atau kemungkinan saya akan menyudahi petualangan di Denmark, mencoret Norwegia, lalu stay di Indonesia untuk bekerja di perusahaan multinasional.

Jangan takut untuk pulang dan meneruskan hidup di Indonesia jika Eropa memang bukan jalan yang tepat untuk meraih mimpi mu! In the end, hanya Indonesia yang masih mau menerima kembali jika Eropa tak lagi mengizinkan mu tinggal selama-lamanya (kuncinya, well-planned kalau memang ingin stay longer di negara impian since your "jalani saja" would bring you nowhere!).

Tips I Don't Need Friends, But Money! (COVID-19 Status)|Fashion Style

I left my blog previous for extra than 2 weeks!

Sebetulnya saya kurang berminat membahas status Corona di Norwegia karena berita soal pandemik ini sudah tersiar dimana-mana. Tapi karena memang belakangan ini sedang gelisah, mungkin tak salah menulis apa yang saya alami di sini lewat cerita lebih panjang. Beberapa kali saya berusaha bercerita via Instagram Story hanya demi menyalurkan kegelisahan dan berharap ada yang mengerti. Tapi dari sana saya sadar, bahwa yang paling banyak memberi support bukanlah teman-teman terdekat (yang sempat membaca Story tersebut), melainkan para blog readers yang saya tak kenal!

Hiks, terima kasih untuk kalian semua yang bersedia membaca cerita kegalauan saya hidup di Norwegia di tengah wabah Corona ini! Saya tahu ini memang bukan hanya masalah Norwegia, tapi seluruh dunia. Tapi karena ada beberapa orang yang merasa saya hanya pamer cerita sedih di Instagram, saya terusik untuk menguraikan mengapa kegalauan ini sampai terjadi!

Bagi yang sering baca blog ini, pasti setidaknya kalian tahu bahwa Desember 2019 adalah bulan terakhir saya menjadi au pair di Norwegia . Tidak pulang ke Indonesia, tapi saya meneruskan hidup di negara dingin ini dengan berganti status menjadi pelajar . Jadi pelajar di luar negeri dengan dana pribadi tentu bukanlah perkara mudah! Saya tidak hidup dengan dana orang tua, saya juga tidak pandai menabung dan hanya menyisakan beberapa persen dari semua total gaji au pair. Mulai tahun ini , saya harus berdiri di kaki sendiri dan harus mencari pekerjaan baru yang sifatnya paruh waktu.

Cari kerja paruh waktu di Oslo itu bukan main sulitnya! Jangan kira bekerja sebagai pelayan restoran, asisten toko, atau barista itu peluangnya mudah. Ada banyak sekali pelajar lokal dan asing di Oslo yang berminat mencari uang dari student job yang tentu saja semakin menambah persaingan. No wonder, job market di Norwegia itu sangat kecil dan banyak perusahaan setempat tentu lebih tertarik mempekerjakan orang-orang yang bisa lancar berkomunikasi bahasa lokal.

Hampir 2 bulan saya struggling cari kerja , 50 lamaran dikirimkan, penuh penolakan, hingga akhirnya dapat kerja di dua tempat berbeda; restoran India dan intern di perusahaan startup. I was on cloud nine! Finally bisa meneruskan hidup kembali di Norwegia dengan bekerja dan menunggu gaji setiap bulan. Saya bahkan sudah bertekad untuk membantu membiayai adik saya kuliah karena doi sudah bebas beasiswa di tahun terakhirnya di Cina.

...and then, this hard time hit the world!

Saya yang baru kerja 1 bulan 10 hari, terpaksa harus diistirahatkan sementara oleh pemilik restoran karena memang pemerintah setempat menghimbau hampir semua restoran tutup. Restoran tempat saya bekerja ini sendiri tidak tutup, karena masih beroperasi melayani makanan pesan-antar. Tapi bagi saya sebagai pelayan, kasus Corona ini harus menumbuhkan lagi krisis finansial yang entah berakhir kapan. Hal paling menyebalkan selanjutnya, pemilik restoran baru membayar gaji saya setengahnya dikarenakan masalah teknis dari akuntan mereka. Aaargh!

Pertengahan Maret, pemerintah Norwegia menggelontorkan dana miliaran rupiah (dagpenger) untuk membantu para pekerja yang terpaksa harus diistirahatkan sementara waktu. Sampai detik ini, ada sekitar 160.000 pegawai yang sudah mendaftar ke NAV (bagian ketenagakerjaan) untuk mendapatkan hak dagpenger. Namun cerita mirisnya, dana ini tidak berlaku bagi para pelajar, lokal maupun asing, yang harus laid-off. Alasannya hanya karena status kami sebagai pelajar! Lucunya lagi, seseorang di bagian pemerintahan merasa para pelajar adalah kaum yang paling boros dan tidak termasuk dari hak pekerja yang mendapatkan dagpenger.

Kasus ini semakin naik setiap hari karena banyak pelajar lokal dan internasional yang merasa kebijakan pemerintah setempat tak adil. Sebagai pekerja paruh waktu, kami juga berkontribusi ke negara dengan membayar pajak. Lalu mengapa nasib kami malah tak sama dengan para pegawai lain yang statusnya bukan pelajar?

Bagi pelajar lokal, kebijakan yang terus dibuat pemerintah dari waktu ke waktu juga semakin tak menguntungkan. Ketimbang memberikan bantuan finansial, pelajar lokal diberikan 'kesempatan' berhutang ke negara sebanyak sixty five% yang sisanya 35% bisa dikonversi ke hibah lewat L?Nekassen. Jadi bukannya dibantu, tapi mereka terus ditumpuk hutang hanya demi menutupi biaya bulanan. Banyak dari pelajar lokal ini harus meninggalkan kosan mereka, lalu pulang ke rumah orang tua karena tak kuat lagi membayar biaya akomodasi bulanan.

Senasib, pelajar internasional juga harus menjerit dan memutar otak bagaimana harus membayar kosan dan mencukupi hidup hingga setidaknya 2 bulan ke depan. Setiap hari kami berdiskusi via Facebook Group bagaimana caranya agar suara kami didengar. Selama ini pemerintah hanya berdalih bahwa pelajar asing bukanlah tanggung jawab mereka, karena pada dasarnya kami di sini harus bisa menanggung biaya pribadi dari jaminan NOK 122.000 yang sudah ditunjukkan ke imigrasi saat apply student permit . Yang mereka lupa, uang jaminan ini tidak harus ditunjukkan dengan tabungan bulat di bank, tapi bisa dari dana hibah, beasiswa, dan juga kontrak kerja paruh waktu! Saya pakai cara terakhir saat apply student permit di sini.

Sudah hilang pekerjaan, bantuan tak dapat, tetap harus membayar kosan, tagihan telpon, dan beli makanan pula. Belum lagi kalau odol atau pelembab badan habis, bisa jadi pikiran lain! Ibu saya yang tahu kondisi ini, berulang kali menyuruh saya pulang karena apa gunanya juga kuliah di negara orang tapi keuangan sedang terpuruk. Toh kuliahnya juga online dan tak perlu datang ke tempat kerja.

At the same time, saya sering menerima keluh kesah para au pair yang harus kerja dobel ketika host family ada di rumah. Hey kalian! Di saat seperti ini yang paling tepat hanyalah WFH alias kerja di rumah tapi gaji tetap ditransfer setiap bulan. Tugas memang tak jelas dan anak-anak mungkin bisa membuat mood lebih kacau, tapi setidaknya kalian tak perlu memikirkan bagaimana membayar tagihan kosan bulan depan, serta apa yang akan dimakan besok. This is the perk of being an au pair! In this crisis, it is better trying to do something and get paid. Ketimbang tetap sekolah, mengerjakan tugas, dan bekerja di rumah, tapi get nothing - seperti saya sekarang.

Ada yang tanya, apa saya masih punya tabungan dari gaji au pair dulu. Sejujurnya, tidak ada lagi. Percaya atau tidak, di akhir tahun lalu saya memberikan semua tabungan demi melunasi hutang kerabat terdekat. Dijanjikan akan dibayar Januari kemarin, tapi (tipikal) janji tersebut hanyalah omong kosong. Yeah, I know I was so stupid! Perasaan saya pedih dan sakit sekali tersadar semua uang jerih payah selama ini hilang bagai debu demi melunasi hutang orang. Lalu saya belajar, bahwa you don't have to be good to all people, but yourself first!

Lalu ada yang menyarankan untuk minta bantuan ke keluarga saya di Palembang, yang mana sama saja akan menyiksa mereka jika harus kirim uang jutaan rupiah di krisis seperti ini. Kuliah di Norwegia adalah pilihan pribadi dan sayalah yang harus bertanggungjawab terhadap diri sendiri, meskipun jalannya tertatih-tatih. Sudah jauh dari keluarga, jauh dari teman pula karena tak banyak yang tahu cerita saya di sini. But in the end, I am still happy because I can still talk to them digitally, yet the real thing I need now is money.

Last confession, bagaimana saya bisa bertahan hingga saat ini? Memanfaatkan sisa tabungan dari gaji bulan lalu, mengorek receh lewat mengisi survey berbayar di internet, serta menunggu pengembalian pajak di bulan Mei! Semoga ada berita baik dari pemerintah setempat ke depannya bagi mahasiswa internasional yang akan menghabiskan masa kuliah semester ini di rumah.

Stay healthy and live domestic, all of us!

Sunday, May 3, 2020

Tips 7 Alasan Mengapa Kamu Harus Digital Detox di Hutan Norwegia|Fashion Style

Setelah 3 minggu harus duduk manis di depan layar demi mengikuti kuliah dan meeting daring, liburan Paskah tahun ini rasanya hanya ingin meliburkan diri juga dari laptop dan ponsel. Apa daya, tak memungkinkan. Di krisis Corona seperti sekarang, tak banyak yang bisa dilakukan kecuali patuh pada peraturan pemerintah setempat untuk berdiam di rumah. Hiburan pun ujung-ujungnya serba digital, dari membaca berita online, menonton film favorit via online channel, ataupun berkomunikasi lewat media sosial.

Ketika Norwegia sedang dalam masa lockdown, orang-orang dipaksa harus meliburkan diri juga dari hyttetur (tur ke kabin) dan menjauhi sementara waktu tempat yang ramai. I think, Easter this year is quiet odd. Look at the sun outside! Air is getting warmer and icy water is cracking lately. Yet, we are trapped (mostly) at home.

Meskipun harus menjaga jarak dan membatasi interaksi fisik dengan banyak orang, tapi keluar sebentar demi menghirup udara segar itu tetap a must!Staying at home for 3 weeks makes my brain frozen! Lari sebentar ke alam liar dekat rumah adalah salah satu privilege di Norwegia yang lebih dari 60% wilayahnya adalah pegunungan dan hutan pinus. Kabar baiknya, hutan di Norwegia ini bisa jadi terapi di kala stres. Inilah 4 alasan mengapa digital detox di hutan Norwegia bisa memperbaiki mood jelek mu!

1. It's loose

Dengan hanya 5 juta penduduk jiwa, alam Norwegia masih sangat virgin dengan 37% total wilayahnya adalah hutan pinus yang rindang. Ingin tinggal di ibukota ataupun pedesaan, kita bisa langsung menjajakkan kaki dengan mudah ke beberapa spot terbaik untuk menikmati alam. Kamu tak perlu baju bagus dan makeup tebal hanya untuk berpetualang di hutan, karena yang dibutuhkan hanya pakaian yang nyaman dan sepatu olahraga yang tepat untuk perjalanan panjang. Baiknya lagi, kamu tak perlu keluar uang dan jadi konsumtif hanya untuk menghirup udara segar di hutan!

2. Bring back the reminiscence

Menapakki hutan di Norwegia membuat saya teringat dengan masa kecil ketika kampung saya masih banyak pepohonan. Hidup rasanya masih sangat menantang ketika bersentuhan langsung dengan alam liar. Kaki becek karena lumpur rawa, hide and seek di balik pepohonan, ngebolang mencari 'harta karun' di balik pohon tumbang, hingga mencicipi banyak buah liar yang manis. The landscape always brings back the good memory of my childhood in Indonesia.

Terakhir kali jalan-jalan dengan Mumu di hutan, doi terlihat sangat bersemangat dan being childish dengan menyapa setiap gundukan rumah semut yang kami temui sepanjang jalan. Kadang doi meniup-niup beberapa kawanan semut tersebut sambil berkata, "time to wake up and go to work, Guys!" Sounds so silly karena saat itu sudah jam 6 sore.

Three. Soothe our thoughts and frame

Foto di atas diambil minggu lalu, ketika perairan Viken (daerah sisi timur dari Oslo) masih tertutupi oleh es. Yang saya suka dari hutan di Norwegia, kita bisa menikmati pemandangan lain seperti danau atau sungai dangkal dari bukit di pinggiran hutan. Everything is so calm because all you hear is just the birds chipping or pine leaves dancing through the wind. Duduklah di sisi pinggir bukit sambil merasakan hangatnya sinar mentari menyentuh kulit, tutup mata sebentar, lalu rasakan suara alam sekitar.Ohh, it is so good than wandering your favourite shopping center!

Menurut penelitian, hanya dengan memandang hamparan hijaunya hutan selama 20 menit, kita bisa mengurangi kadar kortisol saliva sampai 13,4%. Kortisol adalah hormon stres yang dalam waktu lama dapat menekan sistem kekebalan tubuh, bersama dengan efek negatif lainnya. Bahkan terkadang, saya sampai terpikir untuk bawa tikar, goleran tidur siang, dan melupakan penatnya dunia digital di tengah krisis Corona.

4. Recreational spot

Dibandingkan negara kaya lainnya di Eropa, jumlah pusat perbelanjaan di Norwegia termasuk yang paling sedikit. Masyarakat lokal memang tak terbiasa refreshing ke mol setiap minggu atau jadi hedonis hanya untuk menghilangkan penat. Bahkan di banyak pusat perbelanjaan di Oslo, muka-muka imigran adalah yang paling sering ditemui saat akhir pekan dan liburan.

No wonder, karena orang lokalnya sendiri sering lari ke kabin sedari Jumat sore atau lebih banyak menghabiskan waktu di luar ruangan sekalian olahraga. Dari berski di hutan, hiking, trekking, camping, atau hanya mencari spot terbaik untuk barbeque sekalian berkumpul bersama orang-orang terdekat, adalah beberapa kegiatan yang akan kamu sering dengar dari orang lokal.Sounds demanding memang, karena kadang trek yang tersedia di hutan sangat panjang dan menyulitkan.

5. Safe and sound

Oke, saya tahu tak semua orang Indonesia mau berpetualang di hutan dikarenakan imajinasi liar soal bahayanya hewan buas serta adanya sisi mistis dan kriminal pelengkap horornya hutan di Indonesia. Tapi jangan terlalu paranoid, Teman-teman! Sebagian besar hutan yang ada di Norwegia dilindungi pemerintah dan sudah dikelola oleh DNT dan organisasi alam liar lainnya. Contohnya DNT ini, mereka adalah organisasi yang bertanggungjawab terhadap aktifitas luar ruangan di daerah Oslo dan sekitarnya. DNT ini juga yang bertugas membuat trek, memberikan papan rekomendasi arahan agar kita tak tersasar, serta mereka juga yang mengelola banyak kabin di hutan untuk disewa.

Karena hutan adalah tempat rekreasi terfavorit warga lokal, tak jarang kita akan berpapasan dengan orang lain di tengah perjalanan. Artinya, jikalau pun kamu tersesat, jatuh terpeleset, atau butuh pertolongan, shout out loud dan segera hubungi polisi via ponsel. Sebagian besar hutan di Norwegia bukanlah jenis hutan belantara tanpa sinyal yang harus membuat mu takut berpetualang.

6. Less chance

I am not gonna lie but bears, wolves, and snakes exist in Norway! Namun tidak seperti di Asia, keberadaan hewan liar ini justru tidak tersebar di semua tempat dan kesempatan untuk melihat mereka pun sangat langka. Kebanyakan populasi beruang dan serigala hidup di daerah utara, sementara populasi ular lebih banyak hidup di daerah perhutanan Norwegia Selatan.

Di sini, hanya ada 3 jenis ular dan hanya 1 diantaranya yang berbisa. Ular yang ada di gambar adalah jenis ular berbisa yang saya dan Mumu jumpai saat kami jalan-jalan di hutan. Ukurannya tidak besar, mungkin seukuran ular remaja yang sedang menikmati sunbathing time. Jenis ular ini juga sangat pasif dan hanya akan menggigit ketika sedang terancam. So, it's really important to wear good shoes and watch your steps! Moreover, no tigers or boars!

7. Sink the extravagance

Bagi yang belum tahu, sebelum Norwegia kaya seperti sekarang ini, mereka hanyalah bangsa jajahan yang berganti-ganti kepemimpinan oleh Kerajaan Denmark dan Swedia. Banyak perak dari negara ini dicuri dan dibawa lari ke Denmark dengan menelantarkan Norwegia dengan populasi pekerja yang kebanyakan petani dan pelaut. Hingga di tahun 1970, mereka menemukan sumber daya alam minyak bumi yang membuat bangsa ini kaya raya seperti sekarang.

Tapi sebelum menjadi bangsa modern, mereka hanyalah masyarakat lokal yang sering menghabiskan waktu di luar ruangan dengan menjadikan ski sebagai alat transportasi berpindah tempat di kala musim dingin. Tempat tinggal mereka juga hanya rumah kayu sederhana dengan keterbatasan toilet dan air. Makanya tak heran, hingga saat ini beberapa kabin yang dibangun di daerah hutan masih minim air dan toilet letaknya di luar. Kebiasaan ini pun lahir dari nenek moyang mereka sejak dulu dan masih menjadi budaya unik yang membuat Norwegia berbeda dari 2 negara Skandinavia lainnya. Jadi kalau kamu berencana ke Norwegia, jangan bayangkan nightlife di Stockholm atau Kopenhagen, karena yang kamu harus nikmati adalah sisi modest dan menyepi di kabin saat akhir pekan.

I enjoy every step in Norway since the enchanting and modest landscape always bring a good memory of my childhood! But w hat do you think about forest therapy in Norwegian woods? Where do you go for digital detox if friending with nature is not your option?

Tips Pendidikan di Negara Nordik: Jangan Kuliah Karena Gratis!|Fashion Style

Well, siapa yang tak ingin mendapatkan pendidikan gratis?! Apalagi kalau bisa belajar hingga ke luar negeri, tanpa perlu mengeluarkan kocek berlebih untuk menikmati fasilitas pendidikan kelas dunia. Tapi jangan sampai terlalu jujur kalau niat kamu kuliah hanya karena privilege 'gratisan' dari negara tertentu, setidaknya di Norwegia.

I am gonna tell you the truth; most local students are quite fed up listening to foreign students coming to their country just for free education! Bukan, saya bukan bicara tentang para mahasiswa internasional yang beruntung bisa kuliah di Norwegia karena dana hibah atau beasiswa. Tapi soal betapa jujurnya para mahasiswa asing yang hanya sekolah di Norwegia untuk menikmati fasilitas 'bebas uang kuliah' yang masih diberikan oleh pemerintah setempat.

Di negara Nordik, sampai sekarang hanya Norwegia yang masih membebaskan uang kuliah di kampus negeri bagi mahasiswa lokal dan internasional. Denmark (2006) dan Swedia (2011) sudah menutup peluang free tuition fee bagi mahasiswa internasional, selain warga Uni Eropa. Sementara Finlandia yang dulunya masih royal membebaskan uang kuliah bagi semua mahasiswa di penjuru dunia, di semester musim gugur 2017 ikut menutup kesempatan ini juga bagi semua warga di luar Uni Eropa & Swiss.

Tercatat, setelah hampir semua negara Nordik tak lagi membebaskan uang kuliah bagi mahasiswa di luar Uni Eropa, angka mahasiswa internasional yang datang untuk belajar pun turun secara drastis. Di Swedia, dua tahun setelah pemerintah menetapkan uang kuliah bagi warga non-Uni Eropa, jumlah mahasiswa asing turun sampai 80% ! Tak heran, seorang cowok Islandia yang saya temui di Denmark ironi berpendapat bahwa hanya ada 2 tipe orang Asia yang bisa belajar sampai Eropa Utara; kalau bukan super smart karena dapat beasiswa, pasti karena super rich karena keluarganya mampu menutupi biaya kuliah dan hidup yang mahal di Eropa Utara. What a rude statement, tapi faktanya memang benar! To be frankly honest, saya belum pernah ketemu mantan au pair yang memutuskan langsung kuliah di Denmark dengan biaya sendiri, kecuali didukung 'kantong besar' orang tua.

Kembali ke Norwegia, pemerintah setempat memutuskan untuk tidak ikut dalam penetapan uang kuliah bagi mahasiswa internasional (non-Uni Eropa). Norwegia menganggap bahwa penetapan uang kuliah ini bisa menimbulkan efek domino bagi mahasiswa lokal yang mungkin juga harus membayar uang kuliah ke depannya. Di samping itu, ketakutan akan penurunan angka mahasiswa asing di Norwegia juga menjadi faktor penting mengapa pemerintah setempat masih berusaha royal di bidang pendidikan. Prinsip mereka, memupuk keanekaragaman dan kualitas di tengah populasi mahasiswa asing menjadi hal yang penting di era globalisasi. Terlebih lagi, Norwegia tetap ingin memberikan kesempatan kepada semua warga negara yang ingin mendapatkan fasilitas pendidikan kelas dunia tanpa takut biaya mahal.

Di semua negara Nordik, kesetaraan (equality) merupakan landasan model kesejahteraan dalam hidup. Dalam dunia pendidikan, equality bisa diterjemahkan menjadi sebuah penawaran yang berlaku bagi semua warga negara di dunia. Semua negara Nordik juga memiliki kebijakan untuk mendorong terciptanya kesetaraan jenis kelamin dalam pendidikan serta berupaya mendukung para pelajar yang terlahir dari keluarga kurang mampu agar bisa meneruskan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Untuk level sekolah tinggi/universitas, selain tingkat pendaftaran yang sangat tinggi antara laki-laki dan perempuan, kesenjangan gender sekarang telah berbalik menjadikan perempuan dominan dalam dunia kerja (high-skilled). Di Norwegia, Swedia, dan Islandia , perbandingan perempuan yang mendaftar di universitas kira-kira 1.5:1 dari laki-laki, sementara di Finlandia dan Denmark, perempuan juga menempati posisi dominan pada tingkat universitas.

Melirik jumlah mahasiswa internasional di semester musim semi 2018, tercatat hampir 14 ribu mahasiswa sedang menempuh pendidikan di seluruh penjuru Norwegia. Tiga universitas negeri terfavorit ada di Oslo (University of Oslo), Trondheim/Gjøvik (NTNU), dan Bergen (University of Bergen). Tak ada yang namanya kampus terbaik, karena setiap universitas di Norwegia memiliki kelebihan dan fokus tersendiri di beberapa bidang. Meskipun, saat ini hanya University of Oslo sendiri yang masuk 100 besar kampus terbaik di dunia, dan salah satu alasan yang paling menarik untuk melanjutkan studi di Norwegia bagi mahasiswa internasional tentu saja karena penawaran free education fee.

Lalu kalau memang berusaha mendukung dunia ketiga, lantas mengapa banyak pelajar lokal yang muak mendengar para pelajar asing datang ke Norwegia untuk belajar gratis? Karena dana pendidikan di negara Nordik semuanya dibiayai oleh publik! Menurut data OECD di tahun 2014, dana investasi publik yang diberikan bagi dunia pendidikan di Norwegia besarnya hampir 96%. Selain itu, kehidupan tradisional yang berstandar tinggi di Norwegia juga disokong oleh aliran dana dari minyak bumi di Laut Utara (North Sea). Dengan lebih dari NOK 10 Triliun investasi dari minyak bumi dan USD 450 Triliun aset negara, Norwegia membangun perusahaan minyak negara dan menyalurkan petrodolarnya ke dana pensiun pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Bagi yang belum tahu, sebelum tahun 70-an Norwegia hanyalah negara miskin di antara 2 negara Skandinavia lainnya. Lalu saat mereka menemukan minyak bumi, hasil sumber daya alam inilah yang melumasi seluruh perekonomian di Norwegia hingga membuatnya menjadi salah satu negara paling kaya di dunia dan dijuluki "Arab Saudi dari Utara".

Selain karena kekayaan ini, Norwegia juga menetapkan keseimbangan antara pendapatan dan pajak yang tinggi, lalu dengan tepat menggunakan uang pajak tersebut untuk mendanai beberapa lembaga dan fasilitas bagi rakyatnya. Dana ini meliputi kesejahteraan, tunjangan pengangguran, layanan kesehatan universal, pendidikan gratis, bantuan hukum, serta banyak dana bermanfaat lainnya — yang betul-betul dimanfaatkan dengan sangat tepat di krisis Corona seperti ini. Artinya, pajak warga lokal yang dipotong 30-70% per bulan itu disisihkan salah satunya bagi dunia pendidikan. Tentu saja banyak yang menilai hal ini tak adil, karena orang Norwegia yang bayar pajak, tapi justru banyak mahasiswa asing yang menikmati social benefit tersebut.

Me, I am not going to lie. Alasan utama saya melanjutkan kuliah di Norwegia, selain karena rindu dunia akademik, tentu saja adalah soal biaya kuliah. Di banyak kampus lain di semua negara Nordik, mahasiswa non-Uni Eropa harus merogoh kocek €3000-8.000 per semester hanya untuk biaya kuliah — belum termasuk uang semester dan juga biaya hidup yang tinggi. Di Norwegia, saya hanya membayar NOK 840 (€84) per semester sebagai ganti biaya fotokopi serta angsuran organisasi kampus. Tentu saja kata-kata "kuliah gratis di Norwegia" itu salah, karena yang gratis hanya biaya kuliahnya namun mahasiswa tetap harus beli buku, bayar uang semesteran, dan membiayai hidup yang tak murah. Meskipun, sebetulnya biaya pendidikan di Eropa itu tergolong murah ketimbang Inggris dan Amerika Serikat.

Namun untuk ukuran negara kaya yang sangat royal memberikan pendidikan "cuma-cuma", Norwegia juga cukup adil dalam dunia kerja. Karena negaranya kecil dengan penduduk hanya 5 juta jiwa, job market di Norwegia tergolong tipis. Kecuali kalian menguasai bahasa Norwegia dengan sangat lancar dan mampu berintegrasi dengan budaya kerja di sini, kesempatan untuk mendapatkan high-skilled job di luar industri IT, sangatlah kecil. Bahkan kalau harus memilih acak dari semua warga negara di dunia ini, kebanyakan perusahaan di Norwegia cenderung tertarik merekrut tenaga kerja dari Amerika untuk bidang sains, serta India untuk bidang IT. Jadi ya silakan nikmati fasilitas pendidikan gratisnya, tapi jangan harap bisa bersaing dengan mudah di pencarian kerja — mungkin pikir orang lokal.

Jadi kalau kamu juga tertarik melanjutkan kuliah di sini dengan biaya sendiri, mulailah sugarcoating alasan apa yang sangat menarik dari Norwegia, selain karena bebas uang kuliah. Saya sering dapat pertanyaan seperti ini soalnya, "why did you end up in Norway?". Seperti kebanyakan warga lokal, mungkin kita juga sebal mendengar banyak turis kere datang ke Indonesia hanya karena alasannya "murah meriah". Are we that cheap?

Tips 8 Cara Menikmati Masa Au Pair Mu|Fashion Style

More than what you see on social media, jadi au pair itu berat! Bahkan Dilan pun tak sanggup, saya rasa :)

Selain jauh dari keluarga dan teman terdekat, kamu harus menggadaikan semua privasi dan kenyamanan demi merealisasikan salah satu mimpi; tinggal di luar negeri. Tidak sendirian, namun di satu atap dengan keluarga angkat yang juga merangkap sebagai employer a.k.a bos.

I have been on your feet; merasa kesepian, stres berat, hingga akhirnya berkali-kali bertanya ke diri sendiri, what am I doing here?!Ditambah lagi tak mudah percaya dengan orang, saya juga memilah-milih teman karena tidak semua yang kita kenal bisa cocok. Karena merasa berjuang sendiri di tanah orang, saya kadang lupa bagaimana caranya menikmati hidup. Tapi daripada merenungi nasib dan menyesal sudah mengambil langkah sejauh ini, lebih baik mengimbangi rasa kesendirian tersebut agar masa au pair kita yang hanya 12-24 bulan ini berlalu dengan penuh memori — bukan penyesalan dan sakit hati.

1. Go seize all you want (free of charge) on the grocery save

Lima tahun jadi au pair di empat keluarga berbeda, salah satu kewajiban mingguan saya adalah belanja ke supermarket. Tak usah tanya bagaimana capeknya naik sepeda (bahkan jalan kaki!) sambil menenteng kantong plastik kanan kiri plus backpack penuh bahan makanan. Kadang kalau banyak stok barang habis, saya mesti bolak-balik dua kali hanya demi belanja dan memenuhi kewajiban.

Sisi baiknya, saya gunakan kesempatan ini membeli toiletries pribadi atau bahan makanan yang saya suka di supermarket. Tapi tentu saja saya tahu diri dengan tidak terlalu membeli sesuatu berlebihan, karena takutnya jadi drawback di kemudian hari. Namun coba bayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan membeli fresh salmon,raw honey, atau ciki-cikian secara berkala jika tak sekalian dengan belanjaan host family?!

Bagian yang paling saya suka saat belanja ini, kamu tak perlu bandingkan harga dan ambil saja semua barang yang dibutuhkan tanpa harus lihat harganya dulu. Trust me, saat kamu jadi mahasiswa kere seperti saya sekarang dan harus belanja memakai uang pribadi , memilih barang paling murah dan membandingkan harga dengan toko sebelah adalah bahan pertimbangan paling utama. Jadi mumpung bisa belanja gratisan dan memilih makanan yang kamu suka, enjoy this small perk!

2. Just be for your room for your days off

Berbeda dengan para mahasiswa atau pekerja Indonesia yang harus membayar cukup mahal demi menempati satu kamar atau apartemen, sebagai au pair, kita bisa tinggal secara cuma-cuma ! Tidak hanya kamar yang berisi ranjang lengkap, beberapa au pair beruntung lainnya bahkan diberikan satu ruangan penuh dengan kamar mandi dan dapur pribadi.

Satu dua au pair yang pernah saya kenal, bahkan diberikan fasilitas kamar layaknya hotel bintang 5 yang super luas dengan pemandangan superb hijaunya pedesaan ditambah kamar mandi pribadi. Ada lagi yang disediakan satu apartemen (memisah dengan host family) yang tentu saja bisa kamu gunakan layaknya milik pribadi. Oke, tak sampai situ, host family yang kelebihan rumah juga pernah menyediakan satu rumah khusus (dua lantai!!!) hanya untuk au pair mereka.

Itu cerita baiknya, namun bagaimana kalau kamar yang disediakan hanya sepetak kecil? Just be happy karena setidaknya kamu tak perlu membayar hanya untuk menempati kamar tersebut! Saat malas keluar, manfaatkan space gratis yang diberikan host family — entah besar atau kecil — untuk lazy days, joget TikTok, nge-vlog, maraton nonton drama, make over diri sendiri, atau hanya tidur seharian. It’s yours now!

3. Take the ones weekends with the aid of inviting friends

Merasa kesepian dan malas keluar? Coba hosting pesta kecil-kecilan dengan teman terdekat! Sulap kamar menjadi lebih spacious dan bersih agar tamu yang diundang juga betah berlama-lama. Tak perlu pesta mabuk-mabukan sok gaya, cukup sediakan snack dan soda, serta ngerumpi soal cowok Tinder atau curhat soal gilanya host kids sampai pagi pun bisa jadi terapi tersendiri.

Kalau diberikan izin yang luas dari host family untuk mengundang banyak orang, kamu juga bisa hosting dinner girls’ date untuk acara potluck sekalian karaoke, movie night, atau pajamas party. It’s full of fun!! Apalagi kalau kamar mu juga tersedia dapur yang bisa digunakan untuk masak-masak, maraton menu masakan Indonesia biasanya sudah jadi tradisi au pair rantauan.

Salah satu au pair yang saya kenal, memang sudah betul-betul dianggap sebagai keluarga oleh host family-nya dan diperbolehkan menggunakan semua fasilitas yang ada di rumah. Selain boleh mengundang banyak teman setiap minggu, kenalan saya ini juga diizinkan menggunakan kolam renang saat pesta ulang tahunnya! Open your door to more people kalau kebetulan ketemu host family super baik seperti ini! The more the merrier.

Four. Bars aren't the simplest doorways opened

Kebanyakan au pair Indonesia yang baru datang ke Eropa merasa bar dan diskotek adalah tempat keramat yang wajib coba. Saking sukanya dengan atmosfir tempat ini, tak jarang mereka kerap datang dan tak takut menghabiskan uang hanya untuk party ala anak muda Eropa . But you know what?! Bar tentu saja bukanlah satu-satunya tempat yang bisa kamu datangi hanya untuk having fun.

Jangan takut untuk tak jadi anak gaul hanya karena kamu menghindari alkohol. Ada banyak sekali tempat yang bisa didatangi tanpa harus merasa jenuh di dalam bar.  Cobalah telusuri area-area cantik penuh sejarah di sekitar tempat tinggal mu, datangi museum, bioskop, art center, atau kafe-kafe lucu yang seru untuk nongkrong.

Bahkan kalau sedang tak punya uang sekalipun, berjalan-jalan di taman, hutan, pantai, atau baca buku di perpustakaan bisa jadi aktifitas lain yang bisa kamu coba. Tempat lainnya adalah pasar tradisional yang banyak dikunjungi orang lokal, kawasan pemakaman, atau bangunan-bangunan cantik adalah tiga dari banyak hal menarik yang bisa dimasukkan ke dalam list saat akhir pekan.

Five. Go to school and not using a rate

Di kebanyakan negara Eropa, host family berkewajiban membayar uang kursus bahasa serta material sekolah (bahkan ongkos angkot!) hingga jumlah maksimum yang ditentukan. Saat kamu bisa sekolah dengan gratis, jangan terlalu berpikir bahwa kamu harus datang karena merasa tak enak sudah dibayari. Tapi manfaatkan kesempatan ini untuk jalan-jalan, mendapatkan teman, plus menambah skill baru. Kapan lagi bisa tinggal mandiri di negara orang, sekalian dibayari sekolah bahasa pula?!

I knooooww... banyak au pair yang merasa sekolah bahasa serasa buang-buang waktu karena tak akan tinggal lama di negara tersebut. Beberapa au pair juga menilai bahwa untuk mengjangkau sekolah bahasa, mereka juga harus membayar ongkos transportasi yang tak murah. Tapi kalau kamu ingat lagi apa itu au pair, might be you’d remember bahwa program ini memang bertujuan sebagai pertukaran budaya; makanya kamu disarankan datang ke sekolah bahasa untuk belajar budaya dan bahasa setempat (for free!).

Lagipula, datang ke sekolah bahasa itu sebetulnya cukup seru, kok. Kamu bisa lari sebentar dari rutinitas, punya teman mengobrol di kelas, dan kalau memang serius, ada tambahan skill baru yang kamu kuasai selepas masa au pair. Saran saya, sebisa mungkin mendaftar ke sekolah bahasa bukan untuk au pair, agar teman sekelas mu berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

6. Buy what you want with cash you have earned

The laptop you really want, shoes you think too expensive, bunch of cheap H&M tees, high-end camera for your next shots, black dress you always fancy at the store, fine dining at Michelin restaurant, or a classic Chanel perfume, just GO for it! Remember, you’re far from home, lonely, tough, work hard for the past few months, so why not buying yourself presents?!

Perhaps you don’t believe it, tapi saat kuliah, uang saku yang diberikan orang tua saya setiap hari hanya 20 ribu Rupiah. Ongkos bolak-balik kampus ke rumah 10 ribu, lalu sisanya 10 ribu saya tabung sebagai modaltravelling ke Asia Tenggara. Karena minimnya uang saku ini, saya coba kerja freelance jadi guru privat Bahasa Inggris atau berjualan pakaian bekas dan pernak-pernik buatan sendiri. Pakaian saya kebanyakan dibeli dari secondhand market dan sepatu pun dibeli di toko harga 50 ribuan.

....but here I am now; earning money in Euro or Kroner! Ingat saat susah dulu, ada perasaan balas dendam untuk belanja barang-barang berkualitas karena saya enggan pelit dengan diri sendiri. Saya sudah lelah mengasuh anak orang setiap hari dan tentu saja layak menghadiahi diri sendiri dengan apapun yang saya mau. Jadi saat sedih di tanah rantau, coba cek lagi barang-barang yang ingin kamu beli, dan wujudkan saat gajian bulan depan!

Anyway, gaya belanja saya jadi cukup impulsif semenjak punya gaji Kroner. Tapi sekembalinya ke Indonesia, percayalah bahwa gaya belanja saya tak jauh-jauh dari melihat promo di Shopee :p

7. List the countries and hunt the (cheap) tickets

Selama jadi au pair, kamu berhak mendapatkan libur per tahun yang lamanya 2-4 minggu dan bisa digunakan  untuk jalan-jalan. Di Eropa, travelling bukanlah hal yang mewah lagi karena memang ada banyak cara menuju Roma. Be realistic juga bahwa mungkin ide mengelilingi Eropa selama masa au pair hampir mustahil. Namun, mengingat banyaknya transportasi yang dapat mengantarkan mu menuju banyak negara hanya dengan modal €10-an, jadi seasonal traveller adalah salah satu privilege au pair di Eropa.

Kamu akan menyesal jika tak berbaik hati menghadiahi diri sendiri tiket berpetualang ke tempat lain. Tempat-tempat ini pun tidak harus berada di luar negara, tapi bisa jadi di satu negara tempat kamu tinggal. Bagi yang tinggal di utara Belgia, mungkin bisa mencoba kayaking di Dinant, daerah berbahasa Prancis di selatan Belgia. Yang cuma tau Paris, bisa road trip atau mengunjungi daerah selatan Prancis yang orang-orangnya lebih hangat di kawasan Mediterania karena berdekatan dengan Italia. Yang dulunya cuma tahu Berlin, mungkin bisa memasukkan Regensburg di dalam wishlist.

Jadi daripada bosan dan kesepian, mungkin kamu bisa buka peta dan tunjuk satu tempat dengan mata tertutup. Setelahnya, cari informasi tempat tersebut, lalu kalau menarik, rencanakan datang ke sana saat liburan atau akhir pekan. I know might be you are in a financial crisis harus memilih antara menabung atau travelling , tapi kapan lagi bisa jalan-jalan murah karena kamunya sendiri sudah sangat dekat dari tempat impian.

8. Date 'the real' Caucasian guy(s)

Berkencan saat berada di luar negeri memang bukan tujuan semua orang. Tidak semua au pair Indonesia juga mengidam-idamkan pasangan bule. Tapi kalau kamu tertarik mengenal lebih jauh budaya kencan di host country , coba saja berkenalan dengan beberapa cowok lokal. Saya banyak mendapat testimonial dan pesan soal banyaknya cewek-cewek di Indonesia yang berkenalan dengan bule via online , tapi selalu zonk. Biasanya cowok-cowok ini otaknya mesum, banyak yang tidak serius, dan suka obral janji menikah. Saya paham juga bahwa tidak semua cowok bule yang kamu temui via online itu serius.

Namun kalau ketemu si bule langsung di negaranya, banyak sekali mitos yang bisa dipatahkan. Kamu akan tahu bahwa tidak semua cowok bule itu otaknya cuma selangkangan. Tidak semua bule juga kaya raya dan mapan. Tidak semua bule ganteng dan tidak semua dari mereka juga modal-modal pangeran berkuda putih yang sering kamu lihat di televisi!

Dengan cara dating dengan cowok ini di negaranya langsung, kamu punya lebih banyak 'pilihan' untuk menilai. Kamu mungkin bisa menilai juga bahwa banyak cowok-cowok Skandinavia dan Italia itu pada dasarnya lebih rajin dan tahu seluk-beluk dapur ketimbang kita. Kamu juga akan tahu bahwa banyak bule desperate yang akan bertekuk lutut di hadapan mu hanya karena they fancy you a lot! Atau mungkin, kamu juga lambat laun memahami bahwa pernikahan dan punya anak itu bukanlah satu-satunya gol dari sebuah hubungan. In the end, this dating scene would teach you not to be carried away just because he's hot like a melting pot!

Ketika mimpi dan kerja keras itu sudah membuahkan hasil, yakinlah bahwa di belakangnya ada banyak hal yang harus dikorbankan. Merasa bosan sendiri dan kesepian memang selalu dialami banyak perantau, entah sebanyak apapun teman mu di negara tujuan. Bahkan karena merasa tak betah, beberapa au pair juga sampai mengalami depresi lalu memutuskan untuk pulang for good.

Saya tahu bahwa tak semua teman baru juga bisa mengerti perasaan kita layaknya teman terdekat di Indonesia. Tapi daripada harus menyesali keadaan dan terus mempertanyakan mengapa kita mengambil keputusan ini, just train yourself to be tougher dan cobalah selalu melihat sisi baik dengan selalu menyukuri hal-hal kecil yang bisa kita dapatkan selama menjadi au pair.

Saturday, May 2, 2020

Tips 7 Tanda Mungkin Kamu Harus Ganti Host Family|Fashion Style

Tidak akan ada yang bisa menjamin apakah calon keluarga angkat yang kita temui di internet sesuai dengan ekspektasi atau tidak. Meskipun sudah bertukar pesan atau mengobrol lewat Skype beberapa kali sebelum bertemu, namun cara tersebut tidak akan pernah cukup untuk mengetahui karakter asli seseorang. Bahkan mengobrol dengan mantan au pair mereka sebelumnya pun belum tentu membuka semua aib dan kebaikan keluarga tersebut. Entah mereka baik,mean, atau mungkin pelit,you would never know.

Apalagi bagi para au pair baru yang mungkin sangat naif dan punya ekspektasi terlalu tinggi setibanya di negara tujuan. Pasti ada yang bertanya-tanya, apa benar kita harus bersih-bersih toilet setiap minggu, apa mengurus anak lebih dari 5 jam itu sudah termasuk overtime, lalu apakah tidak diajak makan malam setiap hari itu lumrah, serta pertanyaan ajaib lainnya. Ada kalanya au pair merasa emosional, hingga terpikir untuk mencari keluarga baru secepatnya. Atau mungkin sebaliknya, karena tak punya teman curhat dan belum mengerti peraturan, banyak juga au pair yang memutuskan terus tinggal meskipun setiap hari terbawa perasaan tak nyaman.

Tapi sebelum memutuskan untuk terus tinggal, coba cek tanda-tanda di bawah ini yang mungkin akan jadi alasan terbaik mu untuk segera hengkang dari keluarga tersebut!

1. Ketika pola weight loss plan kita mulai diatur

Saya tak pernah sepakat dengan perilaku keluarga yang membeda-bedakan makanan bagi mereka dan au pair. Menurut saya, persoalan pangan menjadi hal yang paling krusial karena menyangkut dengan ketahanan hidup manusia. Tahu kan bahwa au pair itu harusnya dianggap seperti keluarga sendiri, yang artinya makan pun kalau bisa semeja dan sepatutnya bebas makan apapun yang host family juga makan.

Kalau kamu saja tidak boleh makan ini, makan itu, dengan alasan barang tersebut mahal atau karena persediannya tinggal sedikit, this is a huuuge red flag! Saya juga tidak suka dengan ide melarang au pair makan bersama dengan host family, namun malah memberi au pair uang jajan untuk membeli makanan di luar. Parahnya lagi, ada au pair yang bahkan tak diberikan uang tambahan untuk membeli makan, malah disuruh beli makan sendiri pakai uang pribadi.

Intinya, kalau kamu tinggal bersama keluarga yang pelit soal makanan, jangan berpikir dua kali untuk lanjut kontrak dengan mereka!

2. Kamu merasa direndahkan

Ini sebetulnya sempat terjadi dengan saya di Belgia. Selain kasar, keluarga pertama saya dulu juga tidak memberikan kepercayaan sepenuhnya sehingga membuat saya kurang nyaman. Mendatangkan orang baru ke rumah dan langsung percaya sepenuhnya memang tidak mudah. Saat mereka berlibur, gerak-gerik saya tetap dimata-matai oleh adik host mom untuk bahan laporan. Ketika saya buru-buru harus kejar bus dan tidak sempat cuci piring, si adik siangnya datang ke rumah, memoto wastafel dapur lalu diberikan ke kakaknya sebagai bukti. Sukses, saya dimarahi habis-habisan karena meninggalkan rumah tanpa mencuci piring terlebih dahulu!

Si ibu juga sering kali mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat saya sedih, seperti "Pakai mata kalau kerja!", "Siapa yang ingin minum susu kalau sudah dibuka semua?! Susu bayi itu mahal!", "Kalau keluar mandi jangan lupa lampu dimatikan karena listrik di Belgia mahal!", serta berbagai omongan kasar lainnya.

Menurut saya, sebagai anak muda yang baru pertama kali tinggal di luar negeri, host family harusnya bisa sedikit memaklumiculture shock yang kita alami. Tidak usahlah merasa sok kaya dan paling berjasa hanya karena bisa mendatangkan au pair ke negara tersebut. Faktanya, keluarga yang lebih kaya pun masih ada yang menghargai au pair mereka. Lagipula siapa yang mau dimaki-maki dengan kata-kata kasar, meskipun statusnya hanya pembantu sekalipun?!

Three. Meragukan tugas mu

Sulit memang jadi au pair untuk tipe keluarga sok perfeksionis yang biasanya sangat menyebalkan kalau sudah berhubungan dengan tugas bersih-bersih. Kadang sampai harus dicek apakah debu masih menempel di atas meja atau sempat menanyakan "what have you done today?!" saat melihat standar kebersihan kita berbeda dengan mereka. Keluarga seperti ini tidak pernah puas!

Lucunya, mereka sendiri sebetulnya tidak serapi atau sebersih yang kita pikirkan. Kalau memang tidak puas dengan hasil kerja au pair, silakan kerjakan sendiri! Au pair bukanlah babu profesional yang dilatih untuk membersihkan sudut kamar mandi sebersih resort berbintang. Kalau pun ingin bersih, ya mari kerjakan bersama dan beri contoh ke au pair. Bukan hanya menyuruh begini begitu, namun ujungnya tetap saja tidak pernah puas dengan cara kerja kita.

Saya pernah dihakimi habis-habisan hanya karena sudah 3 kali menyikati kamar mandi, namun hasilnya tak seperti yang mereka inginkan. Lucunya, si host dad yang tukang suruh-suruh pun mengaku bahwa beliau sama sekali tak tahu apa yang diharus dilakukan. Ketimbang memberikan arahan yang benar, saya malah disuruh buka YouTube dan belajar sendiri via internet!

Four. Kerja berlebih

Banyak miskonsepsi tentang "working overtime" di kalangan au pair. Ada yang merasa sudah bekerja terlalubanyak, tapi sebetulnya hanya 5-6 jam saja. Ada juga yang merasa "diperbudak", namun faktanya justru banyak libur di kemudian hari. Lalu, mana yang sebetulnya benar?

Yang paling tahu tentu saja kamu. Menurut saya, kerja berlebih itu bisa berarti kerja dari pagi sampai malam non-prevent, dengan waktu istirahat hanya 2-three jam saja. Tapi kalau kamu masih bisa datang ke tempat kursus, masih punya waktu sendiri 4-five jam di siang hari, lalu masih bisa tidur nyenyak saat malam, berarti kamu masih bekerja normal.

Tentu saja setiap au pair memiliki jam kerja dan tugas yang tidak sama. Mungkin saja satu au pair menilai kamu overtime, tapi kamu sendiri merasa hal tersebut normal. Ada juga yang mungkin merasa kamu manja, padahal menurut mu kerjaan lebih dari apa yang disepakati di kontrak. Then just listen to your gut and body! Saat tubuh mulai lelah dan kita sering mengeluh tentang kerjaan hampir setiap hari, berarti memang ada yang salah dengan jadwal tersebut. Saran terbaik saya, ajak keluarga berdiskusi dan speak up dengan apa yang kamu rasakan. Tak ada perubahan setelah diskusi? Then it's time to find a new host family!

Five. Banyak ekspektasi

Sebelum berpikir untuk mengundang au pair datang ke rumah, tiap keluarga harusnya paham bahwa au pair bukanlah anak muda yang langsung punya gelar S3 Pendidikan Mengganti Popok Bayi dari Harvard ataupun S3 Kebersihan Rumah Tangga dari Oxford. Punya pengalaman babysitting sebelumnya dari Indonesia belum tentu membuat au pair paham bagaimana mengurusi anak bule yang kulturnya berbeda. Punya background khusus di dunia pendidikan atau pintar main alat musik, bukan berarti harus menjadikan au pair guru privat di rumah—kecuali sudah ada kesepakatan untuk membayar uang lebih.

Hanya karena sudah membayar ini itu untuk mengundang seorang au pair, bukan berarti juga au pair harus memenuhi semua ekspektasi yang keluarga inginkan. Saya sering mendengar cerita bahwa keluarga angkat menginginkan rumah dan rest room bersih ala bintang lima. Ada juga keluarga yang sebetulnya tidak bisa mengurus dan mendidik anak, namun melimpahkan semuanya ke au pair dengan harapan au pair bisa lebih baik mendidik anak-anak mereka. Lalu hanya karena au pair bisa bahasa Inggris, keluarga mengharapkan di rumah hanya boleh menggunakan bahasa Inggris untuk membentuk lingkungan internasional.

Kalau hanya didatangkan jauh-jauh untuk full-time mengasuh anak dan bersih-bersih rumah, kapan lagi au pair punya waktu untuk belajar dan berinteraksi dengan budaya lokal?!

6. Menyediakan fasilitas tidak layak

Meskipun harusnya au pair mendapatkan kamar tidur dan kamar mandi sendiri , tapi level kemewahan fasilitas yang didapat tidaklah sama. Mungkin au pair A lucky bisa mendapatkan kamar luas ala bintang lima dengan pemandangan langsung menghadap ke sawah, namun au pair B hanya mendapatkan kamar sepetak kecil dengan kamar mandi berbagi dengan anak. Daripada iri dengan au pair A dan ingin segera ganti keluarga, sebaiknya kamu tetap positive thinking dan banyak bersyukur karena untuk sewa kamar sendiri yang luasnya sepetak kecil pun tetap mahal di Eropa. Mungkin kamu memang tak puas dengan fasilitas yang didapatkan sekarang karena tidak sesuai ekspektasi. Namun saran saya, kalau memang kamar tersebut masih layak tinggal, cobalah tetap stay.

Jenis fasilitas tak layak yang saya maksud bisa jadi kamar kalian berada di bawah tanah dengan penerangan temaram dan tanpa jendela. Di Denmark, ada banyak sekali keluarga yang menaruh kamar au pair di bawah tanah dengan keadaan yang cukup gelap tanpa jendela. Kamar jenis ini seharusnya dilarang di Denmark karena akan membahayakan, apalagi jika ditinggali untuk waktu cukup lama. Mengapa, bayangkan jika tiba-tiba kebakaran dan kamu harus menyelamatkan diri, kemana larinya kalau tak ada jendela di sana? (Baca postingan saya tentang au pair Denmark yang rata-rata punya kamar di basement!)

Fasilitas lainnya yang menurut saya tak layak adalah masalah kenyamanan dan keamanan au pair. Untuk au pair Indonesia yang baru pindah ke Eropa, suhu 12 derajat di malam hari mungkin saja sudah luar biasa dinginnya. Au pair yang tidak beruntung, bisa saja mendapati kamar mereka tanpa heater sama sekali bahkan saat musim dingin! Saya pernah mendapat cerita au pair Indonesia yang satu tahun harus tidur di kamar tanpa penghangat! Ketika dilaporkan ke host family, mereka sama sekali tak mau memberikan heater hanya karena ingin hemat listrik! This is NONSENSE!!Kalau memang miskin, kenapa sok-sokan ingin punya au pair?!

Selain itu, kamu juga harusnya bisa minta kamar berkunci untuk diri mu sendiri, lho! We never know kan apa yang akan terjadi, entah karena privasi atau ingin bebas dari anak, kamu tetap bisa mengunci pintu dari dalam. Karena saya selalu ingat pesan dari bibi saya dulu, kunci pintu kamar adalah alat paling privasi yang harus kita dapatkan selama tinggal di rumah orang.

7. Bossy

Punya bos yang bossy itu sudah biasa dan kadang kita memang harus menerima begitulah apa adanya attitude kebanyakan atasan. Namun, host family yang ada di rumah meskipun statusnya memang atasan kita, namun secara kesetaraan, bukan. Oke, mereka yang memberi kita uang saku, mereka adalah penjamin kita selama tinggal di sana, mereka juga yang menyediakan kita fasilitas ini itu, tapi apa pantas mereka menganggap kita seorang pembantu hanya karena sudah memberikan semua hal tersebut?

Bagi saya, kerja dengan atasan yang bossy itu sungguh tak nyaman. Okelah kalau kerjanya di kantor yang mungkin hanya ketemu 8 jam saja per hari. Tapi kalau harus tinggal dengan host family bossy selama 24/7 dan >365 hari, apa nyaman?! Bossy ini pun menurut saya tidak sama untuk semua orang. Ada yang merasa host family jutek dan asal tunjuk ini itu masih normal. Ada lagi yang merasahost family saat memberi tugas dengan suara meninggi itu sudah termasuk bossy. Yang pasti, hanya kamu sendiri yang tahu apakah treatment yang kamu dapatkan lebih seperti bawahan atau keluarga. Meskipun status au pair itu ada di tengah-tengah antara profesional dan kekeluargaan, namun tetap saja tak etis menyuruh au pair ini itu dengan nada meninggi seolah-olah status gap di antara kita dan keluarga sangat luas.

Saat memutuskan pindah keluarga, 3 atau 4 tanda di atas adalah alarm penanda yang membuat saya merasa tak betah lagi tinggal bersama host family. Mungkin terkesan sangat idealis, namun tujuan saya datang ke Eropa memang bukan untuk jadi pembantu rumah tangga yang harus direndahkan! Persoalan kerja dan uang saku yang dibalut program pertukaran budaya ini menurut saya hanyalah win-win solution antara kita dan host family. Hanya karena sudah diberikan semua fasilitas dan uang saku, bukan berarti kita tak punya hak untuk tinggal dan bekerja dengan nyaman kan?

Tapi sekali lagi, meskipun keluarga kamu terlihat bossy atau banyak ekspektasi, saya tetap menyarankan untuk mencurahkan isi hati dan uneg-uneg kamu dulu ke au pair senior atau agensi. Kadang-kadang, saran dari mereka bukan menyuruh mu ganti keluarga tapi introspeksi diri. Bisa jadi, bukannya host family yang bermasalah dan terlalu banyak ekspektasi, namun sebaliknya, kita sendiri yang menaruh standar terlalu tinggi terhadap kehidupan au pair. (Baca postingan saya tentang kehidupan au pair yang tak hanya bertugas mengasuh anak!)

In the end, you're the one who know the real situation. Kamu yang paling tahu dan paling merasakan bagaimana rasanya tinggal bersama keluarga tersebut. Ikuti kata hati dan kalau perlu, tunggulah sampai 1 bulan, sebelum betul-betul memutuskan untuk mencari keluarga baru. Tapi bagi saya, kalau memang sudah tak betah, then nobody should tell you to keep staying. Better to move on and find a new host family ASAP!

Tips Ke Norwegia, Wajib Coba Menginap di Rorbu, Kabin Nelayan!|Fashion Style

Kalau selama ini kamu hanya tahu Norwegia karena keindahan alam di sisi Timur dan Baratnya yang luar biasa, cobalah sekalian mampir ke Norwegia Utara. Tidak sama seperti kawasan lain yang penuh pepohonan, fjord, dan taman nasional, kawasan di Utara lebih terkenal sebagai daerah perairan dan ladang-ladang kecil yang menawarkan pemandangan sama spektakulernya! Bahkan menurut saya, lebih indah dan 'hangat' dari Norwegia Selatan. I cannot tell you how much I miss to be back to the North, terutama ke Lofoten!

The modest feeling in Lofoten Island membuat saya dan Mumu selalu rindu ingin kembali. Selain karena kesederhaannya, ada pengalaman menarik lain yang bisa kamu coba selama mengunjungi desa nelayan ini; menginap di kabin nelayan! Rorbu atau kabin nelayan, berasal dari kata-kata "ro" yang berarti mendayung, dan "bu" berarti rumah kecil berhubungan erat dengan kata "bo" yang juga berarti tinggal. Dulunya, banyak nelayan yang mengjangkau sisi pantai hanya dengan memakai perahu dayung hingga akhirnya di abad ke-19 perahu bermotor pun mulai diperkenalkan.

Rorbu sendiri sebetulnya hanyalah kabin musiman yang dipakai oleh para nelayan selama musim panen ikan. Bangunan ini berupa rumah tinggal sementara yang berisi dua ruangan, satu sebagai tempat penyimpanan alat dan ikan hasil tangkapan serta satu ruangan lagi adalah ruang tamu merangkap ruang tidur. Rorbu dibangun dengan tiang-tiang kayu layaknya rumah panggung di pinggir laut, yang memungkinkan para nelayan menaruh perahu mereka tepat di samping bangunan.

Karena naiknya jumlah turis yang mengunjungi Pulau Lofoten setiap tahun, industri pariwisata di tempat ini pun menjadi salah satu komoditas lokal. Banyak desa di kawasan Lofoten disulap menjadi lebih 'modern' dengan rorbu dan bangunan pengolahan ikan, yang bercat warna merah mendominasi pulau. Kalau kalian bertanya-tanya mengapa banyak bangunan dicat dengan warna merah, itu dikarenakan dulunya cat merah dari minyak ikan inilah yang paling murah meriah. Sekarang, warna okre atau kuning tua pun semakin sering digunakan.

Banyak kabin dibangun masih berdekatan dengan rak-rak ikan kod yang dikeringkan sebagai bagian dari atmosfir alami, contohnya foto pembuka postingan. Sekarang, rorbu sudah menjadi penamaan yang digunakan ke seluruh jenis kabin atau rumah-rumah pinggir laut yang berada di luar Lofoten. Meskipun, sejarah otentik dari rorbu sendiri berhubungan erat dengan Lofoten. Beberapa bangunan di sini masih asli, meskipun interiornya sudah direnovasi sesuai dengan kenyamanan para turis.

Dulu, tak ada toilet di dalam bangunan karena kalau pun harus buang air, nelayan bisa langsung pergi ke perairan. Sekarang sudah banyak rorbu yang dibangun dengan fasilitas sangat nyaman dengan ukuran standar sederhana hingga high-end. Kamar mandi di dalam, dapur lengkap, ranjang yang nyaman, sampai koneksi WiFi.

Meski yang kita lihat hanya berupa bangunan kayu sederhana, namun menginap di rorbu juga tak murah! I know, this is Norway, tidak ada yang murah di tempat ini. But more for me, this is more than just "Norway". Karena menurut saya, yang mahal justru adalah pengalaman dan atmosfirnya yang tidak bisa kita temukan di tempat lain. Banyak rorbu bahkan sengaja dibangun di lokasi paling scenic demi menciptakan pemandangan mewah, berdekatan dengan restoran seafood yang enak, ataupun menambahkan fasilitas yang lebih mirip boutique hotel agar lebih elegan.

Sewaktu mengunjungi Lofoten, saya dan Mumu menyewa satu rorbu di kawasan Svolvær yang juga adalah salah satu rorbu paling direkomendasikan banyak orang, Svinøya Rorbuer . Fasilitasnya meliputi kamar mandi dalam, ruang tamu, dan dapur berperlengkapan lengkap. Tahun lalu harga yang kami bayar per malam sekitar NOK 1100 (€110), namun terakhir kali saya lihat harga termurah sekitar NOK 1600. Karena berada di daerah perkompleksan rorbu, jangan sedih jika terpaksa harus mendapat kabin di daerah daratan yang sedikit jauh dari perairan. Beberapa kabin memang sengaja disewakan dengan harga lebih mahal dengan fasilitas balkon yang langsung menghadap lautan.

Yang paling menarik dari rorbu ini menurut saya adalah restoran pribadi yang sekalian beroperasi di dekat kabin, Børsen Spiseri . Bukan iklan, tapi katanya ini adalah salah satu restoran terbaik di Lofoten! Saya dan Mumu awalnya tak tertarik, namun karena melihat menunya yang sangat menantang, paus dan pipi sapi, kami walk-in untuk mencoba. Sayangnya zonk, karena untuk mendapat satu meja di sini, kita harus booking dari jauh-jauh hari! Restoran cepat saji seperti burger dan pizza juga tersedia di sini, tapi bagi kami, datang jauh-jauh ke Lofoten tapi tetap makan pizza, useless!

Beberapa rorbu yang direkomendasikan lainnya di Lofoten:

  • Sakrisøy Rorbuer di daerah Reine, lebih dekat menuju pelabuhan ke Bodø. Harga terakhir yang saya lihat di akhir musim panas, paling murah sekitar NOK 1800 untuk 2 orang.
  • Eliassen Rorbuer yang juga masih di wilayah Reine,menawarkan harga paling murah di atas NOK 2500 akhir musim panas dengan letak kabin yang berada di sisi laut.
  • Maybua  dengan pemandangan langsung menghadap laut dan pegunungan, bisa kamu pilih jika ingin patungan karena harga satu kabin dengan kapasitas 4 orang sekitar NOK 3000.

Rorbu otentik lainnya di luar Lofoten:

  • Dønna Rorbuer di daerah Helgeland, yang berada di Norwegia Tengah, merupakan penginapan sederhana dengan konsep rorbu yang berisi banyak kamar. Harga paling murah adalah NOK 1200 untuk satu kamar berkapasitas 2 orang.
  • Rorbuferie i Bud berada di kawasan Møre og Romsdal yang ada di sisi barat Norwegia. Karena letaknya juga berada di desa nelayan, atmosfir otentik bisa kamu rasakan di sini.

Ngomong-ngomong, ada banyak sekali penyebutan nama dalam bahasa Norwegia untuk satu hal yang cukup identik. Contohnya rorbu ini, kadang sering bercampur dengan sjøhus (rumah di sisi laut), gjestehavn (penginapan di pelabuhan), dan hytte (kabin). Di Lofoten sendiri kadang turis sering dibuat bingung apa yang membedakan banyak bangunan bercat merah kalau semuanya sama-sama berada di sisi lautan.

Alright! Rorbu, seperti yang saja jelaskan di atas merupakan rumah kecil dengan fasilitas sangat sederhana. Biasanya hanya berupa kamar dan dapur, meskipun banyak yang sudah dilengkapi kamar mandi dalam. Rorbu dibangun di sisi perairan dengan tiang-tiang kayu layaknya rumah panggung. Sementara sjøhus yang sama-sama berada di pinggir laut biasanya punya fasilitas lebih lengkap layaknya rumah tinggal, lebih modern dan kadang dibangun dengan tambahan beton atau batu.

Lalu gjestehavn, tidak berupa kabin kecil namun bangunan penginapan lebih besar yang memiliki banyak kamar. Jadi yang disewa bukan bangunannya, tapi per kamar. Meskipun dibangun dari kayu dan sama-sama berada di sisi laut, namun karena cukup besar, bangunannya lebih menjorok ke daratan daripada perairan. Sementara hytte lebih berfungsi sebagai rumah liburan, walaupun catnya sama-sama merah. Jadi kalau kamu tertarik menyewa rorbu suatu hari, pastikan tempat yang kamu tuju bukanlah hytte biasa.

Sejujurnya saja, rorbu sendiri bukan pengalaman baru bagi saya yang berasal dari Palembang. Meskipun tinggal di sisi Ilir, namun di sisi Ulu kota ini terkenal dengan daerah para nelayan ikan yang tinggal di kawasan Sungai Musi dengan rumah panggung kayu. Banyak juga warga yang masih mengolah ikan secara manual sekalian mengeringkan ikan asin di atap-atap rumah. Rumah-rumah panggung ini juga seringkali jadi objek foto dan pemandangan bagi pengunjung di kawasan Benteng Kuto Besak. Tak kalah menarik, sampai sekarang pun kamar mandi masih nihil layaknya rorbu di Norwegia jaman dulu. Bedanya, rorbu di Norwegia bisa disulap jadi rumah penginapan dan daya tarik, sementara di Palembang rumah panggung ini masih digunakan sebagai tempat tinggal warga.

But again, if you have a chance to visit Northern Norway someday, be sure to book a fisherman's cabin! Ada pengalaman berbeda yang akan kalian dapatkan di sini karena semuanya begitu terasa sederhana dan hangat. You'd understand, before being this rich, Norway was just a poor country under Danish & Swedish kingdom, with populations of farmers and fishermen. (Yang penasaran soal pengalaman saya dan Mumu road trip sampai Norwegia Utara, buka postingan ini! )