Sunday, May 3, 2020

Tips Pendidikan di Negara Nordik: Jangan Kuliah Karena Gratis!|Fashion Style

Well, siapa yang tak ingin mendapatkan pendidikan gratis?! Apalagi kalau bisa belajar hingga ke luar negeri, tanpa perlu mengeluarkan kocek berlebih untuk menikmati fasilitas pendidikan kelas dunia. Tapi jangan sampai terlalu jujur kalau niat kamu kuliah hanya karena privilege 'gratisan' dari negara tertentu, setidaknya di Norwegia.

I am gonna tell you the truth; most local students are quite fed up listening to foreign students coming to their country just for free education! Bukan, saya bukan bicara tentang para mahasiswa internasional yang beruntung bisa kuliah di Norwegia karena dana hibah atau beasiswa. Tapi soal betapa jujurnya para mahasiswa asing yang hanya sekolah di Norwegia untuk menikmati fasilitas 'bebas uang kuliah' yang masih diberikan oleh pemerintah setempat.

Di negara Nordik, sampai sekarang hanya Norwegia yang masih membebaskan uang kuliah di kampus negeri bagi mahasiswa lokal dan internasional. Denmark (2006) dan Swedia (2011) sudah menutup peluang free tuition fee bagi mahasiswa internasional, selain warga Uni Eropa. Sementara Finlandia yang dulunya masih royal membebaskan uang kuliah bagi semua mahasiswa di penjuru dunia, di semester musim gugur 2017 ikut menutup kesempatan ini juga bagi semua warga di luar Uni Eropa & Swiss.

Tercatat, setelah hampir semua negara Nordik tak lagi membebaskan uang kuliah bagi mahasiswa di luar Uni Eropa, angka mahasiswa internasional yang datang untuk belajar pun turun secara drastis. Di Swedia, dua tahun setelah pemerintah menetapkan uang kuliah bagi warga non-Uni Eropa, jumlah mahasiswa asing turun sampai 80% ! Tak heran, seorang cowok Islandia yang saya temui di Denmark ironi berpendapat bahwa hanya ada 2 tipe orang Asia yang bisa belajar sampai Eropa Utara; kalau bukan super smart karena dapat beasiswa, pasti karena super rich karena keluarganya mampu menutupi biaya kuliah dan hidup yang mahal di Eropa Utara. What a rude statement, tapi faktanya memang benar! To be frankly honest, saya belum pernah ketemu mantan au pair yang memutuskan langsung kuliah di Denmark dengan biaya sendiri, kecuali didukung 'kantong besar' orang tua.

Kembali ke Norwegia, pemerintah setempat memutuskan untuk tidak ikut dalam penetapan uang kuliah bagi mahasiswa internasional (non-Uni Eropa). Norwegia menganggap bahwa penetapan uang kuliah ini bisa menimbulkan efek domino bagi mahasiswa lokal yang mungkin juga harus membayar uang kuliah ke depannya. Di samping itu, ketakutan akan penurunan angka mahasiswa asing di Norwegia juga menjadi faktor penting mengapa pemerintah setempat masih berusaha royal di bidang pendidikan. Prinsip mereka, memupuk keanekaragaman dan kualitas di tengah populasi mahasiswa asing menjadi hal yang penting di era globalisasi. Terlebih lagi, Norwegia tetap ingin memberikan kesempatan kepada semua warga negara yang ingin mendapatkan fasilitas pendidikan kelas dunia tanpa takut biaya mahal.

Di semua negara Nordik, kesetaraan (equality) merupakan landasan model kesejahteraan dalam hidup. Dalam dunia pendidikan, equality bisa diterjemahkan menjadi sebuah penawaran yang berlaku bagi semua warga negara di dunia. Semua negara Nordik juga memiliki kebijakan untuk mendorong terciptanya kesetaraan jenis kelamin dalam pendidikan serta berupaya mendukung para pelajar yang terlahir dari keluarga kurang mampu agar bisa meneruskan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Untuk level sekolah tinggi/universitas, selain tingkat pendaftaran yang sangat tinggi antara laki-laki dan perempuan, kesenjangan gender sekarang telah berbalik menjadikan perempuan dominan dalam dunia kerja (high-skilled). Di Norwegia, Swedia, dan Islandia , perbandingan perempuan yang mendaftar di universitas kira-kira 1.5:1 dari laki-laki, sementara di Finlandia dan Denmark, perempuan juga menempati posisi dominan pada tingkat universitas.

Melirik jumlah mahasiswa internasional di semester musim semi 2018, tercatat hampir 14 ribu mahasiswa sedang menempuh pendidikan di seluruh penjuru Norwegia. Tiga universitas negeri terfavorit ada di Oslo (University of Oslo), Trondheim/Gjøvik (NTNU), dan Bergen (University of Bergen). Tak ada yang namanya kampus terbaik, karena setiap universitas di Norwegia memiliki kelebihan dan fokus tersendiri di beberapa bidang. Meskipun, saat ini hanya University of Oslo sendiri yang masuk 100 besar kampus terbaik di dunia, dan salah satu alasan yang paling menarik untuk melanjutkan studi di Norwegia bagi mahasiswa internasional tentu saja karena penawaran free education fee.

Lalu kalau memang berusaha mendukung dunia ketiga, lantas mengapa banyak pelajar lokal yang muak mendengar para pelajar asing datang ke Norwegia untuk belajar gratis? Karena dana pendidikan di negara Nordik semuanya dibiayai oleh publik! Menurut data OECD di tahun 2014, dana investasi publik yang diberikan bagi dunia pendidikan di Norwegia besarnya hampir 96%. Selain itu, kehidupan tradisional yang berstandar tinggi di Norwegia juga disokong oleh aliran dana dari minyak bumi di Laut Utara (North Sea). Dengan lebih dari NOK 10 Triliun investasi dari minyak bumi dan USD 450 Triliun aset negara, Norwegia membangun perusahaan minyak negara dan menyalurkan petrodolarnya ke dana pensiun pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Bagi yang belum tahu, sebelum tahun 70-an Norwegia hanyalah negara miskin di antara 2 negara Skandinavia lainnya. Lalu saat mereka menemukan minyak bumi, hasil sumber daya alam inilah yang melumasi seluruh perekonomian di Norwegia hingga membuatnya menjadi salah satu negara paling kaya di dunia dan dijuluki "Arab Saudi dari Utara".

Selain karena kekayaan ini, Norwegia juga menetapkan keseimbangan antara pendapatan dan pajak yang tinggi, lalu dengan tepat menggunakan uang pajak tersebut untuk mendanai beberapa lembaga dan fasilitas bagi rakyatnya. Dana ini meliputi kesejahteraan, tunjangan pengangguran, layanan kesehatan universal, pendidikan gratis, bantuan hukum, serta banyak dana bermanfaat lainnya — yang betul-betul dimanfaatkan dengan sangat tepat di krisis Corona seperti ini. Artinya, pajak warga lokal yang dipotong 30-70% per bulan itu disisihkan salah satunya bagi dunia pendidikan. Tentu saja banyak yang menilai hal ini tak adil, karena orang Norwegia yang bayar pajak, tapi justru banyak mahasiswa asing yang menikmati social benefit tersebut.

Me, I am not going to lie. Alasan utama saya melanjutkan kuliah di Norwegia, selain karena rindu dunia akademik, tentu saja adalah soal biaya kuliah. Di banyak kampus lain di semua negara Nordik, mahasiswa non-Uni Eropa harus merogoh kocek €3000-8.000 per semester hanya untuk biaya kuliah — belum termasuk uang semester dan juga biaya hidup yang tinggi. Di Norwegia, saya hanya membayar NOK 840 (€84) per semester sebagai ganti biaya fotokopi serta angsuran organisasi kampus. Tentu saja kata-kata "kuliah gratis di Norwegia" itu salah, karena yang gratis hanya biaya kuliahnya namun mahasiswa tetap harus beli buku, bayar uang semesteran, dan membiayai hidup yang tak murah. Meskipun, sebetulnya biaya pendidikan di Eropa itu tergolong murah ketimbang Inggris dan Amerika Serikat.

Namun untuk ukuran negara kaya yang sangat royal memberikan pendidikan "cuma-cuma", Norwegia juga cukup adil dalam dunia kerja. Karena negaranya kecil dengan penduduk hanya 5 juta jiwa, job market di Norwegia tergolong tipis. Kecuali kalian menguasai bahasa Norwegia dengan sangat lancar dan mampu berintegrasi dengan budaya kerja di sini, kesempatan untuk mendapatkan high-skilled job di luar industri IT, sangatlah kecil. Bahkan kalau harus memilih acak dari semua warga negara di dunia ini, kebanyakan perusahaan di Norwegia cenderung tertarik merekrut tenaga kerja dari Amerika untuk bidang sains, serta India untuk bidang IT. Jadi ya silakan nikmati fasilitas pendidikan gratisnya, tapi jangan harap bisa bersaing dengan mudah di pencarian kerja — mungkin pikir orang lokal.

Jadi kalau kamu juga tertarik melanjutkan kuliah di sini dengan biaya sendiri, mulailah sugarcoating alasan apa yang sangat menarik dari Norwegia, selain karena bebas uang kuliah. Saya sering dapat pertanyaan seperti ini soalnya, "why did you end up in Norway?". Seperti kebanyakan warga lokal, mungkin kita juga sebal mendengar banyak turis kere datang ke Indonesia hanya karena alasannya "murah meriah". Are we that cheap?

Tips 8 Cara Menikmati Masa Au Pair Mu|Fashion Style

More than what you see on social media, jadi au pair itu berat! Bahkan Dilan pun tak sanggup, saya rasa :)

Selain jauh dari keluarga dan teman terdekat, kamu harus menggadaikan semua privasi dan kenyamanan demi merealisasikan salah satu mimpi; tinggal di luar negeri. Tidak sendirian, namun di satu atap dengan keluarga angkat yang juga merangkap sebagai employer a.k.a bos.

I have been on your feet; merasa kesepian, stres berat, hingga akhirnya berkali-kali bertanya ke diri sendiri, what am I doing here?!Ditambah lagi tak mudah percaya dengan orang, saya juga memilah-milih teman karena tidak semua yang kita kenal bisa cocok. Karena merasa berjuang sendiri di tanah orang, saya kadang lupa bagaimana caranya menikmati hidup. Tapi daripada merenungi nasib dan menyesal sudah mengambil langkah sejauh ini, lebih baik mengimbangi rasa kesendirian tersebut agar masa au pair kita yang hanya 12-24 bulan ini berlalu dengan penuh memori — bukan penyesalan dan sakit hati.

1. Go seize all you want (free of charge) on the grocery save

Lima tahun jadi au pair di empat keluarga berbeda, salah satu kewajiban mingguan saya adalah belanja ke supermarket. Tak usah tanya bagaimana capeknya naik sepeda (bahkan jalan kaki!) sambil menenteng kantong plastik kanan kiri plus backpack penuh bahan makanan. Kadang kalau banyak stok barang habis, saya mesti bolak-balik dua kali hanya demi belanja dan memenuhi kewajiban.

Sisi baiknya, saya gunakan kesempatan ini membeli toiletries pribadi atau bahan makanan yang saya suka di supermarket. Tapi tentu saja saya tahu diri dengan tidak terlalu membeli sesuatu berlebihan, karena takutnya jadi drawback di kemudian hari. Namun coba bayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan membeli fresh salmon,raw honey, atau ciki-cikian secara berkala jika tak sekalian dengan belanjaan host family?!

Bagian yang paling saya suka saat belanja ini, kamu tak perlu bandingkan harga dan ambil saja semua barang yang dibutuhkan tanpa harus lihat harganya dulu. Trust me, saat kamu jadi mahasiswa kere seperti saya sekarang dan harus belanja memakai uang pribadi , memilih barang paling murah dan membandingkan harga dengan toko sebelah adalah bahan pertimbangan paling utama. Jadi mumpung bisa belanja gratisan dan memilih makanan yang kamu suka, enjoy this small perk!

2. Just be for your room for your days off

Berbeda dengan para mahasiswa atau pekerja Indonesia yang harus membayar cukup mahal demi menempati satu kamar atau apartemen, sebagai au pair, kita bisa tinggal secara cuma-cuma ! Tidak hanya kamar yang berisi ranjang lengkap, beberapa au pair beruntung lainnya bahkan diberikan satu ruangan penuh dengan kamar mandi dan dapur pribadi.

Satu dua au pair yang pernah saya kenal, bahkan diberikan fasilitas kamar layaknya hotel bintang 5 yang super luas dengan pemandangan superb hijaunya pedesaan ditambah kamar mandi pribadi. Ada lagi yang disediakan satu apartemen (memisah dengan host family) yang tentu saja bisa kamu gunakan layaknya milik pribadi. Oke, tak sampai situ, host family yang kelebihan rumah juga pernah menyediakan satu rumah khusus (dua lantai!!!) hanya untuk au pair mereka.

Itu cerita baiknya, namun bagaimana kalau kamar yang disediakan hanya sepetak kecil? Just be happy karena setidaknya kamu tak perlu membayar hanya untuk menempati kamar tersebut! Saat malas keluar, manfaatkan space gratis yang diberikan host family — entah besar atau kecil — untuk lazy days, joget TikTok, nge-vlog, maraton nonton drama, make over diri sendiri, atau hanya tidur seharian. It’s yours now!

3. Take the ones weekends with the aid of inviting friends

Merasa kesepian dan malas keluar? Coba hosting pesta kecil-kecilan dengan teman terdekat! Sulap kamar menjadi lebih spacious dan bersih agar tamu yang diundang juga betah berlama-lama. Tak perlu pesta mabuk-mabukan sok gaya, cukup sediakan snack dan soda, serta ngerumpi soal cowok Tinder atau curhat soal gilanya host kids sampai pagi pun bisa jadi terapi tersendiri.

Kalau diberikan izin yang luas dari host family untuk mengundang banyak orang, kamu juga bisa hosting dinner girls’ date untuk acara potluck sekalian karaoke, movie night, atau pajamas party. It’s full of fun!! Apalagi kalau kamar mu juga tersedia dapur yang bisa digunakan untuk masak-masak, maraton menu masakan Indonesia biasanya sudah jadi tradisi au pair rantauan.

Salah satu au pair yang saya kenal, memang sudah betul-betul dianggap sebagai keluarga oleh host family-nya dan diperbolehkan menggunakan semua fasilitas yang ada di rumah. Selain boleh mengundang banyak teman setiap minggu, kenalan saya ini juga diizinkan menggunakan kolam renang saat pesta ulang tahunnya! Open your door to more people kalau kebetulan ketemu host family super baik seperti ini! The more the merrier.

Four. Bars aren't the simplest doorways opened

Kebanyakan au pair Indonesia yang baru datang ke Eropa merasa bar dan diskotek adalah tempat keramat yang wajib coba. Saking sukanya dengan atmosfir tempat ini, tak jarang mereka kerap datang dan tak takut menghabiskan uang hanya untuk party ala anak muda Eropa . But you know what?! Bar tentu saja bukanlah satu-satunya tempat yang bisa kamu datangi hanya untuk having fun.

Jangan takut untuk tak jadi anak gaul hanya karena kamu menghindari alkohol. Ada banyak sekali tempat yang bisa didatangi tanpa harus merasa jenuh di dalam bar.  Cobalah telusuri area-area cantik penuh sejarah di sekitar tempat tinggal mu, datangi museum, bioskop, art center, atau kafe-kafe lucu yang seru untuk nongkrong.

Bahkan kalau sedang tak punya uang sekalipun, berjalan-jalan di taman, hutan, pantai, atau baca buku di perpustakaan bisa jadi aktifitas lain yang bisa kamu coba. Tempat lainnya adalah pasar tradisional yang banyak dikunjungi orang lokal, kawasan pemakaman, atau bangunan-bangunan cantik adalah tiga dari banyak hal menarik yang bisa dimasukkan ke dalam list saat akhir pekan.

Five. Go to school and not using a rate

Di kebanyakan negara Eropa, host family berkewajiban membayar uang kursus bahasa serta material sekolah (bahkan ongkos angkot!) hingga jumlah maksimum yang ditentukan. Saat kamu bisa sekolah dengan gratis, jangan terlalu berpikir bahwa kamu harus datang karena merasa tak enak sudah dibayari. Tapi manfaatkan kesempatan ini untuk jalan-jalan, mendapatkan teman, plus menambah skill baru. Kapan lagi bisa tinggal mandiri di negara orang, sekalian dibayari sekolah bahasa pula?!

I knooooww... banyak au pair yang merasa sekolah bahasa serasa buang-buang waktu karena tak akan tinggal lama di negara tersebut. Beberapa au pair juga menilai bahwa untuk mengjangkau sekolah bahasa, mereka juga harus membayar ongkos transportasi yang tak murah. Tapi kalau kamu ingat lagi apa itu au pair, might be you’d remember bahwa program ini memang bertujuan sebagai pertukaran budaya; makanya kamu disarankan datang ke sekolah bahasa untuk belajar budaya dan bahasa setempat (for free!).

Lagipula, datang ke sekolah bahasa itu sebetulnya cukup seru, kok. Kamu bisa lari sebentar dari rutinitas, punya teman mengobrol di kelas, dan kalau memang serius, ada tambahan skill baru yang kamu kuasai selepas masa au pair. Saran saya, sebisa mungkin mendaftar ke sekolah bahasa bukan untuk au pair, agar teman sekelas mu berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

6. Buy what you want with cash you have earned

The laptop you really want, shoes you think too expensive, bunch of cheap H&M tees, high-end camera for your next shots, black dress you always fancy at the store, fine dining at Michelin restaurant, or a classic Chanel perfume, just GO for it! Remember, you’re far from home, lonely, tough, work hard for the past few months, so why not buying yourself presents?!

Perhaps you don’t believe it, tapi saat kuliah, uang saku yang diberikan orang tua saya setiap hari hanya 20 ribu Rupiah. Ongkos bolak-balik kampus ke rumah 10 ribu, lalu sisanya 10 ribu saya tabung sebagai modaltravelling ke Asia Tenggara. Karena minimnya uang saku ini, saya coba kerja freelance jadi guru privat Bahasa Inggris atau berjualan pakaian bekas dan pernak-pernik buatan sendiri. Pakaian saya kebanyakan dibeli dari secondhand market dan sepatu pun dibeli di toko harga 50 ribuan.

....but here I am now; earning money in Euro or Kroner! Ingat saat susah dulu, ada perasaan balas dendam untuk belanja barang-barang berkualitas karena saya enggan pelit dengan diri sendiri. Saya sudah lelah mengasuh anak orang setiap hari dan tentu saja layak menghadiahi diri sendiri dengan apapun yang saya mau. Jadi saat sedih di tanah rantau, coba cek lagi barang-barang yang ingin kamu beli, dan wujudkan saat gajian bulan depan!

Anyway, gaya belanja saya jadi cukup impulsif semenjak punya gaji Kroner. Tapi sekembalinya ke Indonesia, percayalah bahwa gaya belanja saya tak jauh-jauh dari melihat promo di Shopee :p

7. List the countries and hunt the (cheap) tickets

Selama jadi au pair, kamu berhak mendapatkan libur per tahun yang lamanya 2-4 minggu dan bisa digunakan  untuk jalan-jalan. Di Eropa, travelling bukanlah hal yang mewah lagi karena memang ada banyak cara menuju Roma. Be realistic juga bahwa mungkin ide mengelilingi Eropa selama masa au pair hampir mustahil. Namun, mengingat banyaknya transportasi yang dapat mengantarkan mu menuju banyak negara hanya dengan modal €10-an, jadi seasonal traveller adalah salah satu privilege au pair di Eropa.

Kamu akan menyesal jika tak berbaik hati menghadiahi diri sendiri tiket berpetualang ke tempat lain. Tempat-tempat ini pun tidak harus berada di luar negara, tapi bisa jadi di satu negara tempat kamu tinggal. Bagi yang tinggal di utara Belgia, mungkin bisa mencoba kayaking di Dinant, daerah berbahasa Prancis di selatan Belgia. Yang cuma tau Paris, bisa road trip atau mengunjungi daerah selatan Prancis yang orang-orangnya lebih hangat di kawasan Mediterania karena berdekatan dengan Italia. Yang dulunya cuma tahu Berlin, mungkin bisa memasukkan Regensburg di dalam wishlist.

Jadi daripada bosan dan kesepian, mungkin kamu bisa buka peta dan tunjuk satu tempat dengan mata tertutup. Setelahnya, cari informasi tempat tersebut, lalu kalau menarik, rencanakan datang ke sana saat liburan atau akhir pekan. I know might be you are in a financial crisis harus memilih antara menabung atau travelling , tapi kapan lagi bisa jalan-jalan murah karena kamunya sendiri sudah sangat dekat dari tempat impian.

8. Date 'the real' Caucasian guy(s)

Berkencan saat berada di luar negeri memang bukan tujuan semua orang. Tidak semua au pair Indonesia juga mengidam-idamkan pasangan bule. Tapi kalau kamu tertarik mengenal lebih jauh budaya kencan di host country , coba saja berkenalan dengan beberapa cowok lokal. Saya banyak mendapat testimonial dan pesan soal banyaknya cewek-cewek di Indonesia yang berkenalan dengan bule via online , tapi selalu zonk. Biasanya cowok-cowok ini otaknya mesum, banyak yang tidak serius, dan suka obral janji menikah. Saya paham juga bahwa tidak semua cowok bule yang kamu temui via online itu serius.

Namun kalau ketemu si bule langsung di negaranya, banyak sekali mitos yang bisa dipatahkan. Kamu akan tahu bahwa tidak semua cowok bule itu otaknya cuma selangkangan. Tidak semua bule juga kaya raya dan mapan. Tidak semua bule ganteng dan tidak semua dari mereka juga modal-modal pangeran berkuda putih yang sering kamu lihat di televisi!

Dengan cara dating dengan cowok ini di negaranya langsung, kamu punya lebih banyak 'pilihan' untuk menilai. Kamu mungkin bisa menilai juga bahwa banyak cowok-cowok Skandinavia dan Italia itu pada dasarnya lebih rajin dan tahu seluk-beluk dapur ketimbang kita. Kamu juga akan tahu bahwa banyak bule desperate yang akan bertekuk lutut di hadapan mu hanya karena they fancy you a lot! Atau mungkin, kamu juga lambat laun memahami bahwa pernikahan dan punya anak itu bukanlah satu-satunya gol dari sebuah hubungan. In the end, this dating scene would teach you not to be carried away just because he's hot like a melting pot!

Ketika mimpi dan kerja keras itu sudah membuahkan hasil, yakinlah bahwa di belakangnya ada banyak hal yang harus dikorbankan. Merasa bosan sendiri dan kesepian memang selalu dialami banyak perantau, entah sebanyak apapun teman mu di negara tujuan. Bahkan karena merasa tak betah, beberapa au pair juga sampai mengalami depresi lalu memutuskan untuk pulang for good.

Saya tahu bahwa tak semua teman baru juga bisa mengerti perasaan kita layaknya teman terdekat di Indonesia. Tapi daripada harus menyesali keadaan dan terus mempertanyakan mengapa kita mengambil keputusan ini, just train yourself to be tougher dan cobalah selalu melihat sisi baik dengan selalu menyukuri hal-hal kecil yang bisa kita dapatkan selama menjadi au pair.

Saturday, May 2, 2020

Tips 7 Tanda Mungkin Kamu Harus Ganti Host Family|Fashion Style

Tidak akan ada yang bisa menjamin apakah calon keluarga angkat yang kita temui di internet sesuai dengan ekspektasi atau tidak. Meskipun sudah bertukar pesan atau mengobrol lewat Skype beberapa kali sebelum bertemu, namun cara tersebut tidak akan pernah cukup untuk mengetahui karakter asli seseorang. Bahkan mengobrol dengan mantan au pair mereka sebelumnya pun belum tentu membuka semua aib dan kebaikan keluarga tersebut. Entah mereka baik,mean, atau mungkin pelit,you would never know.

Apalagi bagi para au pair baru yang mungkin sangat naif dan punya ekspektasi terlalu tinggi setibanya di negara tujuan. Pasti ada yang bertanya-tanya, apa benar kita harus bersih-bersih toilet setiap minggu, apa mengurus anak lebih dari 5 jam itu sudah termasuk overtime, lalu apakah tidak diajak makan malam setiap hari itu lumrah, serta pertanyaan ajaib lainnya. Ada kalanya au pair merasa emosional, hingga terpikir untuk mencari keluarga baru secepatnya. Atau mungkin sebaliknya, karena tak punya teman curhat dan belum mengerti peraturan, banyak juga au pair yang memutuskan terus tinggal meskipun setiap hari terbawa perasaan tak nyaman.

Tapi sebelum memutuskan untuk terus tinggal, coba cek tanda-tanda di bawah ini yang mungkin akan jadi alasan terbaik mu untuk segera hengkang dari keluarga tersebut!

1. Ketika pola weight loss plan kita mulai diatur

Saya tak pernah sepakat dengan perilaku keluarga yang membeda-bedakan makanan bagi mereka dan au pair. Menurut saya, persoalan pangan menjadi hal yang paling krusial karena menyangkut dengan ketahanan hidup manusia. Tahu kan bahwa au pair itu harusnya dianggap seperti keluarga sendiri, yang artinya makan pun kalau bisa semeja dan sepatutnya bebas makan apapun yang host family juga makan.

Kalau kamu saja tidak boleh makan ini, makan itu, dengan alasan barang tersebut mahal atau karena persediannya tinggal sedikit, this is a huuuge red flag! Saya juga tidak suka dengan ide melarang au pair makan bersama dengan host family, namun malah memberi au pair uang jajan untuk membeli makanan di luar. Parahnya lagi, ada au pair yang bahkan tak diberikan uang tambahan untuk membeli makan, malah disuruh beli makan sendiri pakai uang pribadi.

Intinya, kalau kamu tinggal bersama keluarga yang pelit soal makanan, jangan berpikir dua kali untuk lanjut kontrak dengan mereka!

2. Kamu merasa direndahkan

Ini sebetulnya sempat terjadi dengan saya di Belgia. Selain kasar, keluarga pertama saya dulu juga tidak memberikan kepercayaan sepenuhnya sehingga membuat saya kurang nyaman. Mendatangkan orang baru ke rumah dan langsung percaya sepenuhnya memang tidak mudah. Saat mereka berlibur, gerak-gerik saya tetap dimata-matai oleh adik host mom untuk bahan laporan. Ketika saya buru-buru harus kejar bus dan tidak sempat cuci piring, si adik siangnya datang ke rumah, memoto wastafel dapur lalu diberikan ke kakaknya sebagai bukti. Sukses, saya dimarahi habis-habisan karena meninggalkan rumah tanpa mencuci piring terlebih dahulu!

Si ibu juga sering kali mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat saya sedih, seperti "Pakai mata kalau kerja!", "Siapa yang ingin minum susu kalau sudah dibuka semua?! Susu bayi itu mahal!", "Kalau keluar mandi jangan lupa lampu dimatikan karena listrik di Belgia mahal!", serta berbagai omongan kasar lainnya.

Menurut saya, sebagai anak muda yang baru pertama kali tinggal di luar negeri, host family harusnya bisa sedikit memaklumiculture shock yang kita alami. Tidak usahlah merasa sok kaya dan paling berjasa hanya karena bisa mendatangkan au pair ke negara tersebut. Faktanya, keluarga yang lebih kaya pun masih ada yang menghargai au pair mereka. Lagipula siapa yang mau dimaki-maki dengan kata-kata kasar, meskipun statusnya hanya pembantu sekalipun?!

Three. Meragukan tugas mu

Sulit memang jadi au pair untuk tipe keluarga sok perfeksionis yang biasanya sangat menyebalkan kalau sudah berhubungan dengan tugas bersih-bersih. Kadang sampai harus dicek apakah debu masih menempel di atas meja atau sempat menanyakan "what have you done today?!" saat melihat standar kebersihan kita berbeda dengan mereka. Keluarga seperti ini tidak pernah puas!

Lucunya, mereka sendiri sebetulnya tidak serapi atau sebersih yang kita pikirkan. Kalau memang tidak puas dengan hasil kerja au pair, silakan kerjakan sendiri! Au pair bukanlah babu profesional yang dilatih untuk membersihkan sudut kamar mandi sebersih resort berbintang. Kalau pun ingin bersih, ya mari kerjakan bersama dan beri contoh ke au pair. Bukan hanya menyuruh begini begitu, namun ujungnya tetap saja tidak pernah puas dengan cara kerja kita.

Saya pernah dihakimi habis-habisan hanya karena sudah 3 kali menyikati kamar mandi, namun hasilnya tak seperti yang mereka inginkan. Lucunya, si host dad yang tukang suruh-suruh pun mengaku bahwa beliau sama sekali tak tahu apa yang diharus dilakukan. Ketimbang memberikan arahan yang benar, saya malah disuruh buka YouTube dan belajar sendiri via internet!

Four. Kerja berlebih

Banyak miskonsepsi tentang "working overtime" di kalangan au pair. Ada yang merasa sudah bekerja terlalubanyak, tapi sebetulnya hanya 5-6 jam saja. Ada juga yang merasa "diperbudak", namun faktanya justru banyak libur di kemudian hari. Lalu, mana yang sebetulnya benar?

Yang paling tahu tentu saja kamu. Menurut saya, kerja berlebih itu bisa berarti kerja dari pagi sampai malam non-prevent, dengan waktu istirahat hanya 2-three jam saja. Tapi kalau kamu masih bisa datang ke tempat kursus, masih punya waktu sendiri 4-five jam di siang hari, lalu masih bisa tidur nyenyak saat malam, berarti kamu masih bekerja normal.

Tentu saja setiap au pair memiliki jam kerja dan tugas yang tidak sama. Mungkin saja satu au pair menilai kamu overtime, tapi kamu sendiri merasa hal tersebut normal. Ada juga yang mungkin merasa kamu manja, padahal menurut mu kerjaan lebih dari apa yang disepakati di kontrak. Then just listen to your gut and body! Saat tubuh mulai lelah dan kita sering mengeluh tentang kerjaan hampir setiap hari, berarti memang ada yang salah dengan jadwal tersebut. Saran terbaik saya, ajak keluarga berdiskusi dan speak up dengan apa yang kamu rasakan. Tak ada perubahan setelah diskusi? Then it's time to find a new host family!

Five. Banyak ekspektasi

Sebelum berpikir untuk mengundang au pair datang ke rumah, tiap keluarga harusnya paham bahwa au pair bukanlah anak muda yang langsung punya gelar S3 Pendidikan Mengganti Popok Bayi dari Harvard ataupun S3 Kebersihan Rumah Tangga dari Oxford. Punya pengalaman babysitting sebelumnya dari Indonesia belum tentu membuat au pair paham bagaimana mengurusi anak bule yang kulturnya berbeda. Punya background khusus di dunia pendidikan atau pintar main alat musik, bukan berarti harus menjadikan au pair guru privat di rumah—kecuali sudah ada kesepakatan untuk membayar uang lebih.

Hanya karena sudah membayar ini itu untuk mengundang seorang au pair, bukan berarti juga au pair harus memenuhi semua ekspektasi yang keluarga inginkan. Saya sering mendengar cerita bahwa keluarga angkat menginginkan rumah dan rest room bersih ala bintang lima. Ada juga keluarga yang sebetulnya tidak bisa mengurus dan mendidik anak, namun melimpahkan semuanya ke au pair dengan harapan au pair bisa lebih baik mendidik anak-anak mereka. Lalu hanya karena au pair bisa bahasa Inggris, keluarga mengharapkan di rumah hanya boleh menggunakan bahasa Inggris untuk membentuk lingkungan internasional.

Kalau hanya didatangkan jauh-jauh untuk full-time mengasuh anak dan bersih-bersih rumah, kapan lagi au pair punya waktu untuk belajar dan berinteraksi dengan budaya lokal?!

6. Menyediakan fasilitas tidak layak

Meskipun harusnya au pair mendapatkan kamar tidur dan kamar mandi sendiri , tapi level kemewahan fasilitas yang didapat tidaklah sama. Mungkin au pair A lucky bisa mendapatkan kamar luas ala bintang lima dengan pemandangan langsung menghadap ke sawah, namun au pair B hanya mendapatkan kamar sepetak kecil dengan kamar mandi berbagi dengan anak. Daripada iri dengan au pair A dan ingin segera ganti keluarga, sebaiknya kamu tetap positive thinking dan banyak bersyukur karena untuk sewa kamar sendiri yang luasnya sepetak kecil pun tetap mahal di Eropa. Mungkin kamu memang tak puas dengan fasilitas yang didapatkan sekarang karena tidak sesuai ekspektasi. Namun saran saya, kalau memang kamar tersebut masih layak tinggal, cobalah tetap stay.

Jenis fasilitas tak layak yang saya maksud bisa jadi kamar kalian berada di bawah tanah dengan penerangan temaram dan tanpa jendela. Di Denmark, ada banyak sekali keluarga yang menaruh kamar au pair di bawah tanah dengan keadaan yang cukup gelap tanpa jendela. Kamar jenis ini seharusnya dilarang di Denmark karena akan membahayakan, apalagi jika ditinggali untuk waktu cukup lama. Mengapa, bayangkan jika tiba-tiba kebakaran dan kamu harus menyelamatkan diri, kemana larinya kalau tak ada jendela di sana? (Baca postingan saya tentang au pair Denmark yang rata-rata punya kamar di basement!)

Fasilitas lainnya yang menurut saya tak layak adalah masalah kenyamanan dan keamanan au pair. Untuk au pair Indonesia yang baru pindah ke Eropa, suhu 12 derajat di malam hari mungkin saja sudah luar biasa dinginnya. Au pair yang tidak beruntung, bisa saja mendapati kamar mereka tanpa heater sama sekali bahkan saat musim dingin! Saya pernah mendapat cerita au pair Indonesia yang satu tahun harus tidur di kamar tanpa penghangat! Ketika dilaporkan ke host family, mereka sama sekali tak mau memberikan heater hanya karena ingin hemat listrik! This is NONSENSE!!Kalau memang miskin, kenapa sok-sokan ingin punya au pair?!

Selain itu, kamu juga harusnya bisa minta kamar berkunci untuk diri mu sendiri, lho! We never know kan apa yang akan terjadi, entah karena privasi atau ingin bebas dari anak, kamu tetap bisa mengunci pintu dari dalam. Karena saya selalu ingat pesan dari bibi saya dulu, kunci pintu kamar adalah alat paling privasi yang harus kita dapatkan selama tinggal di rumah orang.

7. Bossy

Punya bos yang bossy itu sudah biasa dan kadang kita memang harus menerima begitulah apa adanya attitude kebanyakan atasan. Namun, host family yang ada di rumah meskipun statusnya memang atasan kita, namun secara kesetaraan, bukan. Oke, mereka yang memberi kita uang saku, mereka adalah penjamin kita selama tinggal di sana, mereka juga yang menyediakan kita fasilitas ini itu, tapi apa pantas mereka menganggap kita seorang pembantu hanya karena sudah memberikan semua hal tersebut?

Bagi saya, kerja dengan atasan yang bossy itu sungguh tak nyaman. Okelah kalau kerjanya di kantor yang mungkin hanya ketemu 8 jam saja per hari. Tapi kalau harus tinggal dengan host family bossy selama 24/7 dan >365 hari, apa nyaman?! Bossy ini pun menurut saya tidak sama untuk semua orang. Ada yang merasa host family jutek dan asal tunjuk ini itu masih normal. Ada lagi yang merasahost family saat memberi tugas dengan suara meninggi itu sudah termasuk bossy. Yang pasti, hanya kamu sendiri yang tahu apakah treatment yang kamu dapatkan lebih seperti bawahan atau keluarga. Meskipun status au pair itu ada di tengah-tengah antara profesional dan kekeluargaan, namun tetap saja tak etis menyuruh au pair ini itu dengan nada meninggi seolah-olah status gap di antara kita dan keluarga sangat luas.

Saat memutuskan pindah keluarga, 3 atau 4 tanda di atas adalah alarm penanda yang membuat saya merasa tak betah lagi tinggal bersama host family. Mungkin terkesan sangat idealis, namun tujuan saya datang ke Eropa memang bukan untuk jadi pembantu rumah tangga yang harus direndahkan! Persoalan kerja dan uang saku yang dibalut program pertukaran budaya ini menurut saya hanyalah win-win solution antara kita dan host family. Hanya karena sudah diberikan semua fasilitas dan uang saku, bukan berarti kita tak punya hak untuk tinggal dan bekerja dengan nyaman kan?

Tapi sekali lagi, meskipun keluarga kamu terlihat bossy atau banyak ekspektasi, saya tetap menyarankan untuk mencurahkan isi hati dan uneg-uneg kamu dulu ke au pair senior atau agensi. Kadang-kadang, saran dari mereka bukan menyuruh mu ganti keluarga tapi introspeksi diri. Bisa jadi, bukannya host family yang bermasalah dan terlalu banyak ekspektasi, namun sebaliknya, kita sendiri yang menaruh standar terlalu tinggi terhadap kehidupan au pair. (Baca postingan saya tentang kehidupan au pair yang tak hanya bertugas mengasuh anak!)

In the end, you're the one who know the real situation. Kamu yang paling tahu dan paling merasakan bagaimana rasanya tinggal bersama keluarga tersebut. Ikuti kata hati dan kalau perlu, tunggulah sampai 1 bulan, sebelum betul-betul memutuskan untuk mencari keluarga baru. Tapi bagi saya, kalau memang sudah tak betah, then nobody should tell you to keep staying. Better to move on and find a new host family ASAP!

Tips Ke Norwegia, Wajib Coba Menginap di Rorbu, Kabin Nelayan!|Fashion Style

Kalau selama ini kamu hanya tahu Norwegia karena keindahan alam di sisi Timur dan Baratnya yang luar biasa, cobalah sekalian mampir ke Norwegia Utara. Tidak sama seperti kawasan lain yang penuh pepohonan, fjord, dan taman nasional, kawasan di Utara lebih terkenal sebagai daerah perairan dan ladang-ladang kecil yang menawarkan pemandangan sama spektakulernya! Bahkan menurut saya, lebih indah dan 'hangat' dari Norwegia Selatan. I cannot tell you how much I miss to be back to the North, terutama ke Lofoten!

The modest feeling in Lofoten Island membuat saya dan Mumu selalu rindu ingin kembali. Selain karena kesederhaannya, ada pengalaman menarik lain yang bisa kamu coba selama mengunjungi desa nelayan ini; menginap di kabin nelayan! Rorbu atau kabin nelayan, berasal dari kata-kata "ro" yang berarti mendayung, dan "bu" berarti rumah kecil berhubungan erat dengan kata "bo" yang juga berarti tinggal. Dulunya, banyak nelayan yang mengjangkau sisi pantai hanya dengan memakai perahu dayung hingga akhirnya di abad ke-19 perahu bermotor pun mulai diperkenalkan.

Rorbu sendiri sebetulnya hanyalah kabin musiman yang dipakai oleh para nelayan selama musim panen ikan. Bangunan ini berupa rumah tinggal sementara yang berisi dua ruangan, satu sebagai tempat penyimpanan alat dan ikan hasil tangkapan serta satu ruangan lagi adalah ruang tamu merangkap ruang tidur. Rorbu dibangun dengan tiang-tiang kayu layaknya rumah panggung di pinggir laut, yang memungkinkan para nelayan menaruh perahu mereka tepat di samping bangunan.

Karena naiknya jumlah turis yang mengunjungi Pulau Lofoten setiap tahun, industri pariwisata di tempat ini pun menjadi salah satu komoditas lokal. Banyak desa di kawasan Lofoten disulap menjadi lebih 'modern' dengan rorbu dan bangunan pengolahan ikan, yang bercat warna merah mendominasi pulau. Kalau kalian bertanya-tanya mengapa banyak bangunan dicat dengan warna merah, itu dikarenakan dulunya cat merah dari minyak ikan inilah yang paling murah meriah. Sekarang, warna okre atau kuning tua pun semakin sering digunakan.

Banyak kabin dibangun masih berdekatan dengan rak-rak ikan kod yang dikeringkan sebagai bagian dari atmosfir alami, contohnya foto pembuka postingan. Sekarang, rorbu sudah menjadi penamaan yang digunakan ke seluruh jenis kabin atau rumah-rumah pinggir laut yang berada di luar Lofoten. Meskipun, sejarah otentik dari rorbu sendiri berhubungan erat dengan Lofoten. Beberapa bangunan di sini masih asli, meskipun interiornya sudah direnovasi sesuai dengan kenyamanan para turis.

Dulu, tak ada toilet di dalam bangunan karena kalau pun harus buang air, nelayan bisa langsung pergi ke perairan. Sekarang sudah banyak rorbu yang dibangun dengan fasilitas sangat nyaman dengan ukuran standar sederhana hingga high-end. Kamar mandi di dalam, dapur lengkap, ranjang yang nyaman, sampai koneksi WiFi.

Meski yang kita lihat hanya berupa bangunan kayu sederhana, namun menginap di rorbu juga tak murah! I know, this is Norway, tidak ada yang murah di tempat ini. But more for me, this is more than just "Norway". Karena menurut saya, yang mahal justru adalah pengalaman dan atmosfirnya yang tidak bisa kita temukan di tempat lain. Banyak rorbu bahkan sengaja dibangun di lokasi paling scenic demi menciptakan pemandangan mewah, berdekatan dengan restoran seafood yang enak, ataupun menambahkan fasilitas yang lebih mirip boutique hotel agar lebih elegan.

Sewaktu mengunjungi Lofoten, saya dan Mumu menyewa satu rorbu di kawasan Svolvær yang juga adalah salah satu rorbu paling direkomendasikan banyak orang, Svinøya Rorbuer . Fasilitasnya meliputi kamar mandi dalam, ruang tamu, dan dapur berperlengkapan lengkap. Tahun lalu harga yang kami bayar per malam sekitar NOK 1100 (€110), namun terakhir kali saya lihat harga termurah sekitar NOK 1600. Karena berada di daerah perkompleksan rorbu, jangan sedih jika terpaksa harus mendapat kabin di daerah daratan yang sedikit jauh dari perairan. Beberapa kabin memang sengaja disewakan dengan harga lebih mahal dengan fasilitas balkon yang langsung menghadap lautan.

Yang paling menarik dari rorbu ini menurut saya adalah restoran pribadi yang sekalian beroperasi di dekat kabin, Børsen Spiseri . Bukan iklan, tapi katanya ini adalah salah satu restoran terbaik di Lofoten! Saya dan Mumu awalnya tak tertarik, namun karena melihat menunya yang sangat menantang, paus dan pipi sapi, kami walk-in untuk mencoba. Sayangnya zonk, karena untuk mendapat satu meja di sini, kita harus booking dari jauh-jauh hari! Restoran cepat saji seperti burger dan pizza juga tersedia di sini, tapi bagi kami, datang jauh-jauh ke Lofoten tapi tetap makan pizza, useless!

Beberapa rorbu yang direkomendasikan lainnya di Lofoten:

  • Sakrisøy Rorbuer di daerah Reine, lebih dekat menuju pelabuhan ke Bodø. Harga terakhir yang saya lihat di akhir musim panas, paling murah sekitar NOK 1800 untuk 2 orang.
  • Eliassen Rorbuer yang juga masih di wilayah Reine,menawarkan harga paling murah di atas NOK 2500 akhir musim panas dengan letak kabin yang berada di sisi laut.
  • Maybua  dengan pemandangan langsung menghadap laut dan pegunungan, bisa kamu pilih jika ingin patungan karena harga satu kabin dengan kapasitas 4 orang sekitar NOK 3000.

Rorbu otentik lainnya di luar Lofoten:

  • Dønna Rorbuer di daerah Helgeland, yang berada di Norwegia Tengah, merupakan penginapan sederhana dengan konsep rorbu yang berisi banyak kamar. Harga paling murah adalah NOK 1200 untuk satu kamar berkapasitas 2 orang.
  • Rorbuferie i Bud berada di kawasan Møre og Romsdal yang ada di sisi barat Norwegia. Karena letaknya juga berada di desa nelayan, atmosfir otentik bisa kamu rasakan di sini.

Ngomong-ngomong, ada banyak sekali penyebutan nama dalam bahasa Norwegia untuk satu hal yang cukup identik. Contohnya rorbu ini, kadang sering bercampur dengan sjøhus (rumah di sisi laut), gjestehavn (penginapan di pelabuhan), dan hytte (kabin). Di Lofoten sendiri kadang turis sering dibuat bingung apa yang membedakan banyak bangunan bercat merah kalau semuanya sama-sama berada di sisi lautan.

Alright! Rorbu, seperti yang saja jelaskan di atas merupakan rumah kecil dengan fasilitas sangat sederhana. Biasanya hanya berupa kamar dan dapur, meskipun banyak yang sudah dilengkapi kamar mandi dalam. Rorbu dibangun di sisi perairan dengan tiang-tiang kayu layaknya rumah panggung. Sementara sjøhus yang sama-sama berada di pinggir laut biasanya punya fasilitas lebih lengkap layaknya rumah tinggal, lebih modern dan kadang dibangun dengan tambahan beton atau batu.

Lalu gjestehavn, tidak berupa kabin kecil namun bangunan penginapan lebih besar yang memiliki banyak kamar. Jadi yang disewa bukan bangunannya, tapi per kamar. Meskipun dibangun dari kayu dan sama-sama berada di sisi laut, namun karena cukup besar, bangunannya lebih menjorok ke daratan daripada perairan. Sementara hytte lebih berfungsi sebagai rumah liburan, walaupun catnya sama-sama merah. Jadi kalau kamu tertarik menyewa rorbu suatu hari, pastikan tempat yang kamu tuju bukanlah hytte biasa.

Sejujurnya saja, rorbu sendiri bukan pengalaman baru bagi saya yang berasal dari Palembang. Meskipun tinggal di sisi Ilir, namun di sisi Ulu kota ini terkenal dengan daerah para nelayan ikan yang tinggal di kawasan Sungai Musi dengan rumah panggung kayu. Banyak juga warga yang masih mengolah ikan secara manual sekalian mengeringkan ikan asin di atap-atap rumah. Rumah-rumah panggung ini juga seringkali jadi objek foto dan pemandangan bagi pengunjung di kawasan Benteng Kuto Besak. Tak kalah menarik, sampai sekarang pun kamar mandi masih nihil layaknya rorbu di Norwegia jaman dulu. Bedanya, rorbu di Norwegia bisa disulap jadi rumah penginapan dan daya tarik, sementara di Palembang rumah panggung ini masih digunakan sebagai tempat tinggal warga.

But again, if you have a chance to visit Northern Norway someday, be sure to book a fisherman's cabin! Ada pengalaman berbeda yang akan kalian dapatkan di sini karena semuanya begitu terasa sederhana dan hangat. You'd understand, before being this rich, Norway was just a poor country under Danish & Swedish kingdom, with populations of farmers and fishermen. (Yang penasaran soal pengalaman saya dan Mumu road trip sampai Norwegia Utara, buka postingan ini! )

Tips 7 Alasan Mengapa Sebaiknya Kamu Jadi Au Pair di Kawasan Eropa|Fashion Style

Sekitar 6 atau 7 tahun lalu saat saya pertama kali tahu au pair, negara paling populer bagi au pair Indonesia masih ditempati oleh Jerman, Belanda, dan Prancis. Negara terakhir biasanya dipilih karena banyak mahasiswa Sastra Prancis yang berniat mengasah bahasa asing mereka di negaranya langsung. Sementara Jerman populer hingga sekarang karena menawarkan kesempatan tinggal lebih luas dari negara lainnya ― meskipun uang sakunya kecil. Lalu Belanda, karena mungkin punya sejarah panjang dengan Indonesia dan populasi orang Indonesianya juga lebih banyak ketimbang kawasan lain di Eropa, makanya dipilih karena ingin tetap "feel at home".

Saat ini dengan semakin mudahnya informasi didapat, perlahan au pair juga tertarik ke negara lainnya selain 3 daftar negara mainstream di atas. Yang saya dengar, sekarang Denmark dan Belgia malah jadi negara favorit menggantikan Prancis! Bahkan saya juga banyak menerima pesan dari blog readers yang tertarik ke Jepang, Turki, atau Inggris untuk jadi au pair. Kalau kamu baru pertama kali au pair, coba buka postingan saya di sini  sebagai referensi negara mana yang saya rekomendasikan bagi first timer.

Namun dari semua negara yang memungkinkan, saya tetap merekomendasikan kawasan Eropa sebagai tempat terbaik bagi application au pair ini. Mengapa?

1. Regulasinya jelas

Au pair berasal dari bahasa Prancis "at par" atau "setara (equal to)", yang berarti adanya kesetaraan relasi bagi au pair untuk dianggap sebagai bagian dari keluarga, ketimbang pembantu. Di Eropa konsep au pair ini berbeda dengan Amerika Utara, apalagi Asia. Au pair di Amerika Utara dan Australia lebih condong sebagai pengasuh anak purna waktu, sementara di Eropa lebih sebagai pekerjaan paruh waktu yang memungkinkan au pair bisa sekolah bahasa sebagai bagian program pertukaran budaya.

Karena memang berasal dari Eropa, aturan untuk au pair ini pun sangat jelas di negara-negara kawasan Schengen seperti Swedia, Belanda, Prancis, Jerman, atau Austria. Meskipun tiap negara punya aturan yang berbeda soal jam kerja dan uang saku, namun adanya kejelasan aturan ini di keimigrasian membuat proses dokumentasi dan izin tinggal pun tak memusingkan. Kita bisa langsung buka situs imigrasi bersangkutan dan informasi soal au pair sudah tersedia dengan lengkap. Beberapa negara juga sudah menyediakan formulir khusus, kontrak kerja, dan tes tersendiri bagi host family yang berminat mengundang au pair ke rumah mereka.

2. Status mu dilindungi badan ketenagakerjaan

Karena status yang jelas ini, au pair pun masuk ke dalam skema tenaga kerja yang dilindungi oleh negara. Artinya, kalau ada masalah besar yang menimpa mu dan host family , kamu bisa melaporkan keluarga tersebut ke polisi atau badan ketenagakerjaan lokal. Status host family ini bisa sangat tidak menguntungkan dan kalau kasusnya memang dirasa berat, mereka bisa di-blacklist negara untuk tak boleh punya au pair 2 sampai 5 tahun berikutnya.

Setelah saya meninggalkan Belgia beberapa tahun lalu, kabar soal betapa banyaknya kasus bermasalah terhadap au pair semakin sering terdengar. Untuk mengantisipasi host family yang abusive, polisi sering kali menyamar sebagai orang asing dan melakukan razia ke rumah-rumah yang terlihat memiliki wajah-wajah gadis asing. Seorang teman saya bahkan pernah terazia hanya membantu host family-nya buang sampah ke luar, meskipun saat itu belum mengantungi izin kerja. Hal ini memang sangat dilarang karena ditakutkan host family hanya memanfaatkan tenaga kita sebelum keluarnya izin yang valid dari pemerintah. Ada banyak juga polisi yang siap membantu au pair jika memang dirasa perlu, karena sejatinya di Eropa juga banyak host family mean!

3. Less scammers

Sampai sekarang, saya belum pernah mendengar cerita ada keluarga palsu dari Eropa yang ending-nya minta uang. Kebanyakan keluarga palsu (scammers) berasal dari negara-negara berbahasa Inggris seperti Amerika Utara dan Britania Raya. Tujuannya simpel, pura-pura menjadi keluarga yang mencari au pair, bertukar kontak, lalu ujung-ujungnya minta uang untuk pengurusan dokumen di agensi ini itu. Masalah profil bisa dibuat-buat karena foto bisa dicomot dari internet, alamat bisa Googling sendiri pakai alamat orang, dan masalah agensi yang terlihat real itu hanyalah topeng palsu agar terlihat meyakinkan. Bahkan saya sempat menerima email dari orang tua calon au pair yang sampai menanyakan ke saya soal keabsahan kontrak kerja dari "host family" Inggris, yang jelas-jelas adalah scammer!

Di Eropa, keberadaan host family fiktif PASTI ada! Hanya saja, akan sangat mudah melacaknya karena tipe-tipe keluarga ini biasanya hanya akan menghubungi via Facebook. Seorang teman pernah dihubungi bapak-bapak di Facebook yang alasan awalnya cari au pair, namun ternyata malah cari istri baru.

Kembali ke para penipu bermodus uang tadi, selain harus bisa bahasa asing (yang mana para scammers hanya bisa bahasa Inggris), menyertakan dokumen berbahasa lokal akan sangat menyulitkan mereka karena sistem imigrasi di Eropa bagi au pair sudah sangat solid. Tak perlu was-was juga kalau ketemu host family dari situs pencarian au pair atau agensi terpercaya, karena hampir semua profil yang kamu temukan di situs tersebut memang betul-betul sedang mencari au pair. (Baca juga postingan saya di sini agar kamu lebih waspada terhadap penipuan !)

4. Agensi lebih mengerti ‘what to do

Karena status dan jenis visa yang sesuai regulasi, serta status kita dilindungi negara, agensi lokal yang berperan aktif dalam pengurusan dokumen pun tahu apa yang harus dilakukan. Tidak sama seperti agensi yang hanya butuh uang, banyak juga agensi gratis di kawasan Eropa mau menjadi mediator saat kita punya masalah dengan host family. Agensi ini juga sudah diberikan pengetahuan bagaimana mendamaikan konflik, informasi soal hari libur dan uang saku, serta seluk-beluk pertanyaan lain yang mungkin ada di benak kita.

Sudah berdedikasi mengurusi persoalan au pair, kamu juga bisa langsung minta tolong carikan host family baru lewat mereka karena banyak keluarga biasanya mendaftar lewat agensi yang sama. Di Belanda, peran agensi begitu penting karena merekalah yang akan mewawancara kita terlebih dahulu untuk tahu apakah motivasi kita jadi au pair sejalan dengan tujuan program tersebut. Bahkan banyak agensi yang juga bekerja sama dengan badan ketenagakerjaan lokal mengadakan workshop, aktifitas luar ruangan, dan merayakan Natal bersama au pair lainnya untuk menangkis kesepian saat di tanah rantau.

5. Tak perlu visa lagi keliling kawasan Schengen/Uni Eropa

Sebagai benua eksotis yang memikat banyak orang Asia dan Amerika untuk berkunjung, kepemilikan izin tinggal sementara yang sakti memungkinkan kita jalan-jalan keliling Eropa tanpa perlu daftar visa baru. Ketika mendapat kesempatan tinggal di Inggris atau Australia, kamu tetap harus daftar visa Schengen lebih dulu untuk berkunjung ke Eropa. Bahkan Turki yang three persennya masih masuk kawasan Eropa, tetap harus daftar visa baru karena bukan bagian kawasan Schengen atau Uni Eropa.

Keuntungan lainnya, pemegang izin tinggal Eropa juga punya kesempatan mengunjungi negara lain tanpa harus repot apply visa; contohnya Taiwan. Bahkan kalau kamu punya izin tinggal Denmark, mengunjungi Greenland juga tak mustahil tanpa perlu apply visa lagi! Tahu sendiri kan betapa repotnya apply visa Schengen dengan menyertakan bukti tabungan ini itu, sebelum akhirnya diperbolehkan masuk ke salah satu negara mereka.

6. Bahasa asingnya berlaku di banyak negara

Kalau tertarik belajar bahasa Inggris di level advanced, tentu saja negara terbaik yang bisa kamu pilih untuk homestay adalah negara-negara yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris. Meskipun, untuk jadi au pair di negara ini sendiri pun ada syarat minimum bahasa Inggris yang mesti kamu penuhi. Di Australia contohnya, karena au pair bukanlah sebuah program khusus, lebih seperti pekerjaan alternatif dibalik WHV (Working Holiday Visa), maka kamu setidaknya harus mengantongi minimum skor bahasa Inggris untuk level General lebih dulu. Jadinya, tak harus kursus bahasa Inggris di Australia pun tak masalah.

Di Eropa, banyak bahasa berasal dari akar yang sama dan keuntungannya, kamu bisa tetap memakai bahasa tersebut di negara lain. Contohnya, bahasa Prancis yang kamu pelajari di Prancis tetap bisa dipakai di Belgia, Luxembourg, dan Swiss. Sama halnya jika kamu fasih berbahasa Jerman, jangan takut untuk tak terpakai saat travelling ke Austria, Swiss, dan sisi selatan Belgia yang berdekatan langsung dengan Jerman. Bahkan untuk bahasa seaneh Finlandia pun, kamu tetap bisa gunakan sedikit-sedikit di Estonia, atau pelajari bahasa Swedia yang juga bahasa resmi kedua di negara tersebut. Yang pasti, ada skill baru yang mempercantik CV mu jika mampu menguasai salah satu bahasa asing lain selain Inggris.

7. Pindah negara lebih mudah

Hampir semua au pair Indonesia yang saya kenal merasa ketagihan jadi au pair dan punya keinginan untuk mencoba negara lain di tahun-tahun berikutnya. Saya juga yakin bahwa kenyamanan dan kebebasan di negara orang punya magnet tersendiri yang membuat banyak au pair malas kembali kempung halaman. Salah satu perk-nya tinggal di Eropa, kamu punya banyak kesempatan lompat-lompat negara tanpa perlu repot-repot lagi apply visa baru dari Indonesia. Banyak negara juga memungkinkan calon au pair untuk datang langsung ke negara tersebut sambil menunggu selesainya izin tinggal. Yang pasti, cara ini dinilai lebih mudah dan murah. (Cek disini bagi yang belum tahu apa beda 'visa' dan 'izin tinggal!')

Tambahan lainnya, karena punya au pair butuh biaya yang mahal, banyak sekali host family mencari au pair yang sudah berada di wilayah Eropa saja. Mengapa, biasanya mereka malas menunggu proses visa dan izin tinggal yang cukup lama dari Asia. Kedua, mereka enggan membayar uang tiket pesawat mu yang mahal itu (meskipun jatuhnya fifty:fifty). Yang ketiga, host family ini ada niat ketemu langsung terlebih dahulu sebelum tertarik mengundang mu jadi au pair di rumah mereka.

Satu hal lagi yang tak saya bahas di atas adalah program pertukaran budaya akan begitu terasa karena tiap negara di Eropa punya budaya dan tradisi yang berbeda. Meskipun Belgia dan Belanda adalah negara identik dengan bahasa yang sama, namun mereka punya kultur dan pola pikir yang cukup berbeda satu sama lain.

Tentu saja Inggris, Irlandia, Italia, dan Spanyol itu bagian kawasan Eropa (dan Schengen) yang juga memiliki kualifikasi au pair. Sayangnya, regulasinya untuk orang Indonesia tidak ada dan kita tak memungkinkan apply visa au pair ke sana, kecuali pakai visa pelajar. Di sini, tujuan kita utamanya adalah belajar, sementara au pair sendiri hanyalah pekerjaan sampingan. Bayangkan kalau kita tiba-tiba punya masalah dan ditendang dari rumah host family, kepada siapa kita harus laporan dan berapa banyak keluarga yang saat itu betul-betul butuh au pair sebagai pengganti?

Saya juga tidak melarang kalian ke Turki, Jepang, atau dimana pun negara Asianya. Hanya saja sama halnya dengan Inggris atau Italia, saya melihat tidak ada regulasi khusus soal au pair ini. Bahkan di Jepang, au pair ini sama halnya seperti Australia, hanya dibalut visa liburan dan bekerja yang jatuhnya seperti pekerjaan sampingan sekalian tinggal bersama host family. Tak sampai di situ, saya juga merasa bahwa kebanyakan orang Asia masih berpikir bahwa keberadaan au pair itu sama saja dengan pembantu rumah tangga. Jangankan di benua Asia, banyak imigran yang sudah tinggal dan besar lama di Eropa pun pikirannya kadang masih kolot dan manja sejak adanya au pair. (Baca postingan saya di sini tentang keluarga imigran yang harus kamu pertimbangkan kembali!)

Saran saya, kalau kalian tidak ada tujuan khusus untuk jadi au pair , maka carilah host family dari negara-negara di Eropa yang peraturan dan visanya jelas bagi pemegang paspor Indonesia. Kecuali memang ada niat spesifik untuk tinggal lama dan cari kesempatan kerja lebih realistis, mungkin bisa coba ke Amerika atau Australia yang job market-nya lebih luas. Yang ingin lebih dekat dengan Eropa, namun tetap ingin merasakan suasana Muslim, cobalah Turki yang memiliki masjid dan makanan halal dimana-mana. Lalu jika kamu memang nekad ingin ke Inggris, siapkan bukti tabungan finansial dan cobalah untuk berhati-hati karena banyak sekali penipu di internet. Minusnya memilih negara-negara ini, kamu tetap mesti siap-siap apply visa Schengen kalau berniat liburan ke Eropa ;)

Rekomendasi bacaan untuk kamu lainnya: Rangkuman jadi au pair from A-Z

I desire you an awesome luck for your choice!

Friday, May 1, 2020

Tips The Bunad Dreams|Fashion Style

Mei adalah bulan paling spesial dan bersejarah bagi warga Norwegia. Tujuh belas Mei atau dalam bahasa lokal disebut Syttende Mai, adalah Hari Nasional atau Hari Konsititusional yang dirayakan sebagai rasa kebanggaan dan nasionalis bangsa setelah lepas dari Kesatuan Swedia di tahun 1905. Bisa dibilang, Syttende Mai ini adalah perayaan terbesar tiap tahun selain Natal di Norwegia.

Sama halnya dengan 17 Agustus di Indonesia, 17 Mei juga dirayakan dengan suka cita. Meskipun di tahun ini euforianya tidaklah sama karena krisis Korona, namun esensi perayaan dibuat semaksimal mungkin meskipun setengah penduduk Norwegia merayakan dari rumah. Semua bersuka cita dengan menaikkan bendera dari beberapa hari sebelumnya, membeli buket bunga segar didominasi warna merah, masak makanan khas untuk lunch dan dinner, serta ikut membuat video kereta anak (barnetog) di sekolah meskipun harusnya parade kereta ini diadakan langsung di tengah kota.

Yang paling berkesan dan menarik saat perayaan adalah para warga Norwegia yang kompak berdandan secara tradisional menggunakan pakaian nasional mereka, Bunad. Ohh, I have a lot to tell you, tapi kekaguman tentang Bunad sampai membuat saya bermimpi punya Bunad sendiri suatu hari nanti! Bahkan saat presentasi di kelas Norwegia, saya memilih topik "Bunad" karena uniknya sejarah di balik pakaian nasional ini. Jadi sebetulnya apa yang menarik dari Bunad?

Iklan Bunad di salah satu toko terkenal dan mahal, Norsk Flid Husfliden

First of all, kekaguman saya dengan Bunad hampir sama dengan kekaguman saya terhadap orang Indonesia, Jepang, Cina, atau Korea yang di zaman modern ini masih terlihat konvensional dan kultural mengenakan pakaian tradisional mereka di acara tertentu. Tak sama dengan Asia yang memang kaya budaya dan adat, kuatnya budaya retro yang mengakar sampai sekarang ini belum pernah saya rasakan selama tinggal di Eropa. Hingga akhirnya, saya diperkenalkan oleh Bunad ketika tinggal dengan keluarga Norwegia.

Saat itu saya membantu host mom membereskan pakaian yang ada di loteng. Satu gantung pakaian cukup berat berbungkus plastik bening nampak sangat menarik, meskipun warnanya mulai lusuh. Saya iseng-iseng tanya ke host mom apa itu, karena warna dan motifnya lucu sekali, merah muda, kuning, hijau, seperti potongan rok.

"Oh, itu Bunad. Apa ya, mungkin gaunnya orang Norwegia. Itu dijahitkan nenek saya dulu," kata host mom.

That's all, sesingkat itu sampai saya lupa kemudian hari. Lalu ketika dibawa merayakan 17 Mei di pulau pribadi bersama para sahabatnya, saya paham masih senasionalis dan konvensional itu orang Norwegia! Satu keluarga sahabat host mom sampai membawa sendiri Bunad dari rumah untuk dikenakan saat 17 Mei. Mulai dari bapak, mamak, sampai dua anaknya juga berdandan cantik memakai perintilan perak yang melekat dari atas sampai bawah. Wow!

Dibandingkan dengan sejarah pakaian tradisional di Asia yang panjang, Bunad baru menjadi ide di akhir abad ke-17 karena warga mulai tertarik dengan citra pakaian tradisional yang melekat dengan tradisi rakyat kala itu. Hingga di pertengahan abad ke-18, kultur dan gaya hidup petani di Norwegia terlihat begitu menarik dan menjadi sorotan untuk diangkat menjadi sesuatu yang lebih estetik. Bunad yang kalian lihat di foto-foto di atas sebetulnya merupakan pakaian sehari-hari yang duluya dipakai oleh para petani di Norwegia. Hanya saja, banyak pengaruh dari beberapa orang di awal abad ke-19 untuk menciptakan Bunad yang ada hingga sekarang ini; kemeja putih, atasan dan bawahan berbahan wol, warna dan sulaman di atas kain yang berbeda, hingga perhiasan perak lainnya untuk menambah kesan elegan.

Foto di abad ke-18 menunjukkan keluarga petani yang pakaiannya jadi awal mula ide Bunad. Sumber: NDLA

Sama halnya Indonesia dengan keberagaman pakaian tradisional dari Sabang sampai Merauke, Bunad juga memiliki ciri khusus sesuai daerahnya masing-masing. Meskipun dari Utara sampai Selatan Norwegia punya bentuk Bunad yang sama; potongan rompi dan rok, namun perbedaannya sangat terlihat di warna, motif bahan yang dikenakan, serta sulaman bunga yang dibuat menggunakan tangan. Karena kerumitan inilah, Bunad biasanya dibuat dengan waktu yang cukup lama, 4-7 bulan.

Meskipun Bunad sebetulnya lebih menjadi tipikal para kaum hawa, tapi banyak juga kaum lelaki yang punya Bunad, kok. Hanya saja jumlahnya memang sangat sedikit karena untuk memakai Bunad ini termasuk ribet dan tak semua orang punya melihat harganya yang mahal.

Satu set Bunad dari atas ke bawah ditambah perintilan peraknya, bisa menghabiskan dana 70-100 juta Rupiah! Selain harus disulam satu per satu memakai tangan, bahan yang digunakan memang berasal dari wol tebal serta sutra terbaik dari Norwegia. Harga juga semakin mahal jika dibuat oleh orang Norwegia asli yang sangat tahu detail per Bunad. Makanya Bunad tak pernah dijual di pasaran dengan ukuran XS-XXL, tapi mesti dijahit langsung menggunakan ukuran yang pas dengan tubuh kita. Itulah mengapa Bunad juga sangat personal karena hanya dibuat untuk ukuran tubuh kita sendiri.

Di Norwegia, Bunad biasanya diberikan oleh nenek ke sang cucu perempuan saat Konfirmasjon atau pengukuhan ketika anak mulai beranjak dewasa di usia 16 tahun. Dari beberapa bulan sebelumnya, nenek yang menjahit dan menyulam Bunad tersebut untuk diberikan sebagai hadiah. Banyak juga orang yang menghibahkan Bunadnya ke anak atau cucu untuk bisa dijahit ulang agar cocok dengan ukuran tubuh. Makanya usia Bunad ada yang sampai puluhan atau ratusan tahun namun masih terlihat bagus.

Mungkin karena sifatnya yang personal inilah membuat Bunad menjadi istimewa di mata saya. Karena tidak dijual dan disewakan sembarangan, tidak semua orang juga memiliki kesempatan mencoba pakaian tersebut. Namun kalau tertarik, kita bisa menyewa Bunad untuk acara khusus lewat Finn.no dengan harga sekitar NOK 1500-3000 (2-4,5 juta Rupiah) per hari. Beberapa orang yang tak mau merogoh kocek mahal juga bisa melirik Bunad "bekas" yang biasanya baru dipakai beberapa kali dengan harga lumayan miring. Bunad yang dijual dengan tas kecilnya, bisa dicari mulai dari harga NOK 8-10.000 (11-15 juta Rupiah) tergantung kondisi. Untuk kemeja putihnya menurut saya bisa cari sendiri di luar dengan harga lebih murah, karena kemejanya bisa mencapai NOK 5000 (7 jutaan Rupiah)! Kenapa, karena tidak hanya Bunad yang bersifat personal, tapi sulaman di kemeja juga bisa dibuat motif sesuai yang kita mau. Semakin rumit motif sulaman, semakin mahal.

Cara lainnya kalau mau, kita bisa membeli satu set bahan jadi Bunad yang siap jahit dan sulam. Saya menemukan ada satu toko di internet yang menjual bahan jadi dari Oslo seharga NOK 10.000-an (sekitar >14 jutaan Rupiah) sudah termasuk bahan wol, pola sulaman, dan benang sulam. Seorang cewek pernah saya baca ceritanya lewat blog yang didedikasikan khusus tentang Bunad dan pengalamannya menjahit Bunad sendiri.

Namun kalau memang enggan repot-repot menjahit dan tak menemukan ukuran Bunad bekas yang pas, bisa juga beli Bunad di Norskbunader . Toko ini sangat terkenal menjual Bunad setengah harga dari Husfliden karena memang tidak menjahit dan menyulamnya di Norwegia, melainkan di Cina. Jadi bahan dan pola Bunadnya sendiri berasal dari Norwegia, namun pengerjaannya di Cina. Tidak 100% 'original' memang, namun bentuknya sendiri sebetulnya asli. Everything comes from Norway pasti mahal, tak terkecuali upah buruhnya.

Satu cara lain yang paling murah kalau memang ingin sekali punya Bunad untuk 17 Mei; beli festdrakt atau pakaian pesta yang bentuknya mirip Bunad! Jadi kalau Bunad asli punya motif dengan sejarah khusus, maka pakaian pesta ini hanya berupa replika yang menyerupai Bunad. Salah satu toko di Norwegia setiap tahun selalu merilis iklan di TV atau media cetak bagi keluarga yang tertarik membeli replika Bunad untuk perayaan. Harganya juga super miring dan bisa jadi opsi kalau ingin membeli untuk anak-anak atau hanya seru-seruan.

Bahkan kalau kamu tertarik membuat Bunad sendiri dari kain-kain khas Indonesia, bisa juga dicoba. Karena saya rasa, kain dari Indonesia punya motif yang lebih beragam dan cara tenun yang rumit pula. Namun, kalau tertarik mereplika Bunad menggunakan bahan kita sendiri dan menyisipkan sedikit budaya luar, pakaian ini hanya disebutfestdrakt biasa.

Tapi kalau dipikir-pikir, apakah worth-it beli Bunad mahal-mahal hanya dipakai satu kali setahun? Belum tentu juga saya bisa tinggal lama di Norwegia kan? I don't know, tapi saya benar-benar jatuh cinta dengan Bunad dari Lundeby ini! Bahkan kalau suatu hari nanti punya uang sisa lebih, inginnya beli yang setengah harga saja dari toko sebelah. Untuk persiapan wisuda tahun depan saja pun, saya sudah berpikir untuk menyewa Bunad ketimbang memakai kebaya ;) Mungkin bagi saya, worth-it saja kalau memang punya uangnya.

In the end, meskipun 17 Mei tahun ini harus dirayakan di rumah tanpa bisa menonton kereta anak (barnetog) di tengah kota, tapi saya sangat beruntung bisa memakai Bunad asli dari Lofoten, Nordland milik ibunya Mumu ! Meskipun sedikit kebesaran di bagian dada, tapi the chance of wearing an old and genuine Bunad adalah hal yang sangat langka. I was in cloud 9, for sure! Perayaan juga terasa syahdu karena kali ini dirayakan dengan keluarga Mumu di rumah orang tuanya. Sang kakak cewek dan pacarnya juga nampak sangat anggun kompakan memakai Bunad dari Lier dan Buskerud. Bagi yang tak punya atau tak mau memakai Bunad, biasanya hanya simpel memakai setelan jas atau kemeja berwarna putih.

Hal pertama yang saya rasakan, bahwa apapun yang ada di Bunad adalah genuine. Wol 100% asli punya Norwegia dan lumayan berat di pinggang, penutup tas kecil yang asli perak, tenun sutra bermotif lucu, plus sulaman cantik yang asli dibuat dengan tangan. Spesialnya lagi, Bunad yang saya gunakan saat itu adalah warisan dari bibinya ibu Mumu yang usianya sudah lebih dari 50 tahun. Isn't it cute, beli atau jahit satu Bunad mahal-mahal tapi dipakainya bisa puluhan tahun sampai bisa diwariskan ke keluarga?! What do you think?

Tips The Asian Drama Syndrome: Online Dating itu Menyebalkan!|Fashion Style

Karena semester tahun ini hampir berakhir dan sedikit cheating deadline tugas dari kantor, saya memutuskan untuk mengisi hari dengan menonton drama series di Netflix. Series are not my thing, sebetulnya. Kenapa, karena saya mudah bosan dan tidak betah berlama-lama menonton kelanjutan cerita. Tapi karena memang sedang suntuk, jadinya mulai lagi mengecek beberapa drama Korea yang paling direkomendasikan tahun ini.

Tahu sendiri kan drama seri buatan Asia itu kaya konflik mulai dari persahabatan, keluarga, hingga percintaan?! Makanya tak heran dari dulu film India, dorama Jepang, series vampir cantik atau percintaan dari Cina/Taiwan, dan drama Korea sukses ditonton banyak orang Indonesia sampai booming, karena memang cerita hidupnya sangat related dengan budaya kita sebagai orang Asia sehari-hari.

Hanya saja, karena biasanya sering terlarut saat nonton drama Asia, ada satu hal yang saya sangat rindukan back in the old days; the dating cultures! Oh man, I missed all those things about secret admirers, childhood love, dan semua proses perkenalan yang dimulai sebelum pacaran!! Gara-gara teringat semua cerita cinta saya dulu kala (hwekk..), saya dan Mumu sampai punya topik pembicaraan sendiri soal ini.

"Mu, kalau kamu bisa memilih antara bisa punya pacar lewat Tinder atau kenal dari koneksi, kamu lebih pilih yang mana?" tanya saya setelah menonton beberapa episode drama.

"Tentu saja bukan lewat app atau online dating!"

"Oh yeah, you know what.. I am so lucky having you by my side right now. But if I may be honest, I am not that so happy we knew each other through Tinder," kata saya.

Kasihan si Mumu,I am being too harsh on him 😟. Gara-gara obrolan ini juga, Mumu sampai menyangka kalau saya ingin putus dan berusaha mencari pacar lagi bukan lewat app. My wish!Here, in Scandinavian countries, ketika banyak orang terlalu sibuk sekolah & kerja, miskin koneksi, dan bukan budayanya untuk tiba-tiba menyapa orang asing, cara paling utama untuk mencari pasangan memang lewat online dating. (Baca postingan tentang karakter cowok-cowok Skandinavia !)

Online dating sucks!! Apalagi kamu adalah cewek asing yang harus pindah ke luar negeri, lalu berusaha mencari belahan hati. Ketemu cowok ala-ala drama Asia di taman, lalu tiba-tiba menyapa, minta nomor ponsel lalu jadian? Mimpi! Atau, kamu berharap ketemu cowok lucu yang lagi duduk sendirian di kafe, lirik-lirikan, lalu pura-pura salah tingkah sampai akhirnya si cowok menghampiri dan memulai obrolan? Girls, you are watching too much Hollywood things!

Kalau dulu kita tak akan bisa menjemput jodoh hanya dengan duduk di rumah, zaman sekarang sudah berbeda. Asal punya smartphone dan koneksi internet, lagi nongkrong di WC pun bisa saja tiba-tiba menemukan pasangan impian dari balik layar. Mari ambil contoh kehidupan para au pair, yang didominasi oleh cewek-cewek muda yang datang ke Eropa sekalian mencari cinta . Tinggal unduh atau daftar diri di salah satu online dating, geser kanan kiri, sama-sama matched, tukar pesan sehari dua hari, lalu kemudian hari bisa saja sudah jadian. Itu kalau memang cocok dan kebetulan berjodoh. Belum lagi ditambah drama lainnya. Drama si tukang pencari hiburan alias mencari teman tidur semata, ghosting, texting miscommunication, dan masih banyak hal lain yang membuat kita semakin mudah terbawa perasaan dengan orang baru lewat dunia maya.

Apalagi online dating sesungguhnya memang sangat menguntungkan bagi kaum Hawa karena sehari dapat 100 Likes dan 50 pesan pun mudah saja. Kadang saking populernya di situs kencan, kebanyakan cewek juga tak sempat lagi membalas semua pesan atau justru kerajinan sampai jari keriting membalasi semua pesan yang masuk. Makanya saya tak wow, menemukan profil seorang teman yang sudah matched dengan lebih dari >500 cowok di situs kencan, tapi kehidupan percintaannya di dunia nyata lempem saja.

Mencari jodoh memang semakin mudah karena bantuan situs atau app pencari teman kencan. Deretan profil dan foto-foto cowok ganteng atau cewek seksi terpampang jelas untuk didekati sesuai dengan tipe kita. Kalau dulu ada yang namanya mak comblang, sekarang dengan bantuan algoritma preferensi dan karakter, situs atau app kencan mudah saja menemukan calon-calon orang yang cocok dengan karakter tersebut. Oh, seems so obvious! Tapi, apa mencari cinta sejati memang semudah swipe kanan kiri? Definitely NOT!

Keseringan, kita harus jadi serial dater terlebih dahulu sebelum menemukan pasangan yang benar-benar tepat dan inilah fase paling melelahkannya. Kita tak hanya harus berkorban waktu dan usaha untuk satu orang saja, namun harus terlibat kencan dengan 2 atau bahkan 4 orang lainnya dalam satu waktu. Belum tentu semua orang ini cocok dan sesuai dengan isi profilnya. Lalu fase lingkaran kencan pun terus berputar, cari lagi, ketemu lagi, sampai akhirnya kita lelah sendiri terus-terusan memperkenalkan diri ke orang-orang baru saat pertama kali ketemu. Kenapa saya tahu, karena sayalah mantan serial dater itu! HAH!

Dulunya, proses kenalan dan pedekate tidaklah mudah. Contohnya sewaktu kuliah, saya sering melihat cowokberinisial F di halte bus saat ingin berangkat ke kampus. Hampir setiap hari saya selalu menyempatkan datang ke halte di jam-jam yang sama dengan doi hanya karena ingin melihat gaya doi hari itu. Tak tahu harus memulai dari mana, suatu hari saya kebetulan menemukan nomor ponselnya darimana entahlah, lalu berusaha SMS tak penting menanyakan soal tugas. Padahal kami lain fakultas!

Atau, proses saya kenalan dengan seorang cowok saat mengikuti kuliah umum. Saat itu saya seperti love at the first sight dengan si Y yang secara tiba-tiba lewat di depan kelas. Karena penasaran, dua minggu kemudian saya minta tolong teman sekelas secara basa-basi menanyakan identitas cowok ini. Padahal teman seangkatan saya ini juga tak kenal dengan doi. Tapi setelah dapat identitasnya, ternyata si Y satu SMA dengan teman baik saya! Eng.. ing.. eng.. Singkat cerita, saya akhirnya berkesempatan kenalan dengan doi dan jadi pengagum rahasia sampai beberapa bulan hingga sadar ternyata doi masih belum bisa move on dari mantannya.

There! There! Maksud saya jalan cerita ala kura-kura seperti ini yang saya rindukan! Saat kamu tiba-tiba dicomblangin teman, disorak ciye ciye padahal tak punya rasa, dapat salam ini itu, lirik-lirikan saat jam istirahat, atau jadi pengagum rahasia berbulan hingga bertahun-tahun sampai akhirnya berhasil mengungkapkan. Oldish tapi sangat natural! (Padahal saya dulu lebih banyak jadi pengagum rahasia saja 😁). Paham kan mengapa saya betul-betul rindu proses berkencan atau pedekate sebelum jadian setelah menonton drama Korea tersebut??

Dulu, kalau cewek-cewek sedang kumpul dan curhat soal cowok, yang dibicarakan biasanya hanya satu orang. Si A naksir si B. Done. Then here we are now, ketika kumpul-kumpul lalu yang diceritakan lebih dari satu orang. Kemarin si L ngedate dengan si X tapi gagal, sekarang lagi usaha dengan si C yang baru matched tadi siang. Minggu depan karena si C juga gagal, ada cerita baru tentang si cowok berinisial D. Bahkan karena merasa populer di online dating, tak jarang juga banyak cewek-cewek yang merasa hal ini jadi ajang kompetisi siapa yang paling banyak mendapatkan Likes. Girls.. Girls.. Girls.. Paham kan mengapa menemukan cowok serius lewat situs kencan  itu cukup sulit dan menguras waktu serta perasaan?!

"Sorry, bukannya saya menyesal kita kenal lewat Tinder. But it seems like we are missing the gold story to be told to our kids or family later on. Bayangkan, saat anak atau keluarga kita bertanya, kalian kemarin ketemu dimana? Lalu kita jawab, Tinder. Done. I know, orang-orang pasti tak peduli entah itu di Tinder, sekolah, atau manalah itu. Tapi kamu mengerti kan, that process-of-pedekate yang full-of-cenat-cenut bisa jadi bahan cerita itu, lho," kata saya berusaha mendamaikan perasaan Mumu.

Saya dan Mumu sempat sedikit berimajinasi; tanpa Tinder, berapa persen kah dan kira-kira dimana kesempatan kami bisa bertemu di dunia nyata. "Maybe at the park nearby your place since my parents and I like to be there quite often? Maybe when you babysit the kids with Pia (the dog), one of your host kids threw the ball towards me so it would strike the small talk between us? Then I might start the conversation and be interested to pet Pia? Maybe we were not going to exchange the numbers in a sudden, but had a chance to accidentally meet again in the National Theatre since it was close to my brother's place and yours? Might be." Ohh.. saya berharap itulah cerita sesungguhnya yang memang penuh kebetulan dan khayalan!

Tapi akhirnya saya mengerti, untuk budaya kolektif semacam Asia, menemukan pasangan bisa jadi bukan masalah besar. Koneksi kita tak hanya dari teman SD sampai lingkungan kerja, tapi juga keluarga. Tegur sapa dengan orang asing, lalu tukaran nomor telpon sampai akhirnya jadian, tidaklah mustahil. Namun sebagai pendatang di Eropa, apalagi bagian Utara, untuk bisa mendarat mulus di hati seseorang tanpa bantuan online dating rasanya sulit. Ibaratnya, online dating inilah yang bisa menjadi perantara kita mengenal calon pendamping tanpa harus gagu. Mengapa, karena di Eropa Utara, kebanyakan pasangan yang tak menggunakan situs kencan biasanya berjodoh dengan mutual friends yang sudah sangat lama mereka kenal. Karena sudah kenal dengan baik inilah, biasanya akan terjadi ajang saling jodoh-jodohan yang bisa saja berakhir pernikahan. Another story, bisa saja terjadi di bar ketika sama-sama sudah meneguk alkohol dan keberanian untuk bertegur sapa dengan orang lain pun semakin besar. Sedikit berbeda untuk usia di atas 45 tahun, karena koneksi manusia single tak seluas dahulu, masih banyak juga dari mereka yang akhirnya terlibat blind date dan menggunakan situs kencan premium. ( Here is a story kalau kamu ingin tahu karakter cowok Norwegia di situs kencan!)

In the end, meskipun online dating menyebalkan dan tak akan pernah bisa menggantikan proses kenalan yang terjadi secara natural, namun kisah cinta terbaik tetap bisa terukir lewat keduanya. Maybe you are not that lucky meeting someone directly in real life, but online dating. Karena sesungguhnya, jodoh bisa muncul dari mana saja. Meskipun ada banyak cowok baik nan serius di situs kencan, tapi tetaplah waspada untuk tak membuang banyak waktu meladeni cowok-cowok creepy yang kadang otaknya hanya selangkangan—kecuali motivasi kamu di sana memang hanya untuk having fun.

What do you think, what do you scare the most of online dating scenes?