Saturday, May 2, 2020

Tips 7 Alasan Mengapa Sebaiknya Kamu Jadi Au Pair di Kawasan Eropa|Fashion Style

Sekitar 6 atau 7 tahun lalu saat saya pertama kali tahu au pair, negara paling populer bagi au pair Indonesia masih ditempati oleh Jerman, Belanda, dan Prancis. Negara terakhir biasanya dipilih karena banyak mahasiswa Sastra Prancis yang berniat mengasah bahasa asing mereka di negaranya langsung. Sementara Jerman populer hingga sekarang karena menawarkan kesempatan tinggal lebih luas dari negara lainnya ― meskipun uang sakunya kecil. Lalu Belanda, karena mungkin punya sejarah panjang dengan Indonesia dan populasi orang Indonesianya juga lebih banyak ketimbang kawasan lain di Eropa, makanya dipilih karena ingin tetap "feel at home".

Saat ini dengan semakin mudahnya informasi didapat, perlahan au pair juga tertarik ke negara lainnya selain 3 daftar negara mainstream di atas. Yang saya dengar, sekarang Denmark dan Belgia malah jadi negara favorit menggantikan Prancis! Bahkan saya juga banyak menerima pesan dari blog readers yang tertarik ke Jepang, Turki, atau Inggris untuk jadi au pair. Kalau kamu baru pertama kali au pair, coba buka postingan saya di sini  sebagai referensi negara mana yang saya rekomendasikan bagi first timer.

Namun dari semua negara yang memungkinkan, saya tetap merekomendasikan kawasan Eropa sebagai tempat terbaik bagi application au pair ini. Mengapa?

1. Regulasinya jelas

Au pair berasal dari bahasa Prancis "at par" atau "setara (equal to)", yang berarti adanya kesetaraan relasi bagi au pair untuk dianggap sebagai bagian dari keluarga, ketimbang pembantu. Di Eropa konsep au pair ini berbeda dengan Amerika Utara, apalagi Asia. Au pair di Amerika Utara dan Australia lebih condong sebagai pengasuh anak purna waktu, sementara di Eropa lebih sebagai pekerjaan paruh waktu yang memungkinkan au pair bisa sekolah bahasa sebagai bagian program pertukaran budaya.

Karena memang berasal dari Eropa, aturan untuk au pair ini pun sangat jelas di negara-negara kawasan Schengen seperti Swedia, Belanda, Prancis, Jerman, atau Austria. Meskipun tiap negara punya aturan yang berbeda soal jam kerja dan uang saku, namun adanya kejelasan aturan ini di keimigrasian membuat proses dokumentasi dan izin tinggal pun tak memusingkan. Kita bisa langsung buka situs imigrasi bersangkutan dan informasi soal au pair sudah tersedia dengan lengkap. Beberapa negara juga sudah menyediakan formulir khusus, kontrak kerja, dan tes tersendiri bagi host family yang berminat mengundang au pair ke rumah mereka.

2. Status mu dilindungi badan ketenagakerjaan

Karena status yang jelas ini, au pair pun masuk ke dalam skema tenaga kerja yang dilindungi oleh negara. Artinya, kalau ada masalah besar yang menimpa mu dan host family , kamu bisa melaporkan keluarga tersebut ke polisi atau badan ketenagakerjaan lokal. Status host family ini bisa sangat tidak menguntungkan dan kalau kasusnya memang dirasa berat, mereka bisa di-blacklist negara untuk tak boleh punya au pair 2 sampai 5 tahun berikutnya.

Setelah saya meninggalkan Belgia beberapa tahun lalu, kabar soal betapa banyaknya kasus bermasalah terhadap au pair semakin sering terdengar. Untuk mengantisipasi host family yang abusive, polisi sering kali menyamar sebagai orang asing dan melakukan razia ke rumah-rumah yang terlihat memiliki wajah-wajah gadis asing. Seorang teman saya bahkan pernah terazia hanya membantu host family-nya buang sampah ke luar, meskipun saat itu belum mengantungi izin kerja. Hal ini memang sangat dilarang karena ditakutkan host family hanya memanfaatkan tenaga kita sebelum keluarnya izin yang valid dari pemerintah. Ada banyak juga polisi yang siap membantu au pair jika memang dirasa perlu, karena sejatinya di Eropa juga banyak host family mean!

3. Less scammers

Sampai sekarang, saya belum pernah mendengar cerita ada keluarga palsu dari Eropa yang ending-nya minta uang. Kebanyakan keluarga palsu (scammers) berasal dari negara-negara berbahasa Inggris seperti Amerika Utara dan Britania Raya. Tujuannya simpel, pura-pura menjadi keluarga yang mencari au pair, bertukar kontak, lalu ujung-ujungnya minta uang untuk pengurusan dokumen di agensi ini itu. Masalah profil bisa dibuat-buat karena foto bisa dicomot dari internet, alamat bisa Googling sendiri pakai alamat orang, dan masalah agensi yang terlihat real itu hanyalah topeng palsu agar terlihat meyakinkan. Bahkan saya sempat menerima email dari orang tua calon au pair yang sampai menanyakan ke saya soal keabsahan kontrak kerja dari "host family" Inggris, yang jelas-jelas adalah scammer!

Di Eropa, keberadaan host family fiktif PASTI ada! Hanya saja, akan sangat mudah melacaknya karena tipe-tipe keluarga ini biasanya hanya akan menghubungi via Facebook. Seorang teman pernah dihubungi bapak-bapak di Facebook yang alasan awalnya cari au pair, namun ternyata malah cari istri baru.

Kembali ke para penipu bermodus uang tadi, selain harus bisa bahasa asing (yang mana para scammers hanya bisa bahasa Inggris), menyertakan dokumen berbahasa lokal akan sangat menyulitkan mereka karena sistem imigrasi di Eropa bagi au pair sudah sangat solid. Tak perlu was-was juga kalau ketemu host family dari situs pencarian au pair atau agensi terpercaya, karena hampir semua profil yang kamu temukan di situs tersebut memang betul-betul sedang mencari au pair. (Baca juga postingan saya di sini agar kamu lebih waspada terhadap penipuan !)

4. Agensi lebih mengerti ‘what to do

Karena status dan jenis visa yang sesuai regulasi, serta status kita dilindungi negara, agensi lokal yang berperan aktif dalam pengurusan dokumen pun tahu apa yang harus dilakukan. Tidak sama seperti agensi yang hanya butuh uang, banyak juga agensi gratis di kawasan Eropa mau menjadi mediator saat kita punya masalah dengan host family. Agensi ini juga sudah diberikan pengetahuan bagaimana mendamaikan konflik, informasi soal hari libur dan uang saku, serta seluk-beluk pertanyaan lain yang mungkin ada di benak kita.

Sudah berdedikasi mengurusi persoalan au pair, kamu juga bisa langsung minta tolong carikan host family baru lewat mereka karena banyak keluarga biasanya mendaftar lewat agensi yang sama. Di Belanda, peran agensi begitu penting karena merekalah yang akan mewawancara kita terlebih dahulu untuk tahu apakah motivasi kita jadi au pair sejalan dengan tujuan program tersebut. Bahkan banyak agensi yang juga bekerja sama dengan badan ketenagakerjaan lokal mengadakan workshop, aktifitas luar ruangan, dan merayakan Natal bersama au pair lainnya untuk menangkis kesepian saat di tanah rantau.

5. Tak perlu visa lagi keliling kawasan Schengen/Uni Eropa

Sebagai benua eksotis yang memikat banyak orang Asia dan Amerika untuk berkunjung, kepemilikan izin tinggal sementara yang sakti memungkinkan kita jalan-jalan keliling Eropa tanpa perlu daftar visa baru. Ketika mendapat kesempatan tinggal di Inggris atau Australia, kamu tetap harus daftar visa Schengen lebih dulu untuk berkunjung ke Eropa. Bahkan Turki yang three persennya masih masuk kawasan Eropa, tetap harus daftar visa baru karena bukan bagian kawasan Schengen atau Uni Eropa.

Keuntungan lainnya, pemegang izin tinggal Eropa juga punya kesempatan mengunjungi negara lain tanpa harus repot apply visa; contohnya Taiwan. Bahkan kalau kamu punya izin tinggal Denmark, mengunjungi Greenland juga tak mustahil tanpa perlu apply visa lagi! Tahu sendiri kan betapa repotnya apply visa Schengen dengan menyertakan bukti tabungan ini itu, sebelum akhirnya diperbolehkan masuk ke salah satu negara mereka.

6. Bahasa asingnya berlaku di banyak negara

Kalau tertarik belajar bahasa Inggris di level advanced, tentu saja negara terbaik yang bisa kamu pilih untuk homestay adalah negara-negara yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris. Meskipun, untuk jadi au pair di negara ini sendiri pun ada syarat minimum bahasa Inggris yang mesti kamu penuhi. Di Australia contohnya, karena au pair bukanlah sebuah program khusus, lebih seperti pekerjaan alternatif dibalik WHV (Working Holiday Visa), maka kamu setidaknya harus mengantongi minimum skor bahasa Inggris untuk level General lebih dulu. Jadinya, tak harus kursus bahasa Inggris di Australia pun tak masalah.

Di Eropa, banyak bahasa berasal dari akar yang sama dan keuntungannya, kamu bisa tetap memakai bahasa tersebut di negara lain. Contohnya, bahasa Prancis yang kamu pelajari di Prancis tetap bisa dipakai di Belgia, Luxembourg, dan Swiss. Sama halnya jika kamu fasih berbahasa Jerman, jangan takut untuk tak terpakai saat travelling ke Austria, Swiss, dan sisi selatan Belgia yang berdekatan langsung dengan Jerman. Bahkan untuk bahasa seaneh Finlandia pun, kamu tetap bisa gunakan sedikit-sedikit di Estonia, atau pelajari bahasa Swedia yang juga bahasa resmi kedua di negara tersebut. Yang pasti, ada skill baru yang mempercantik CV mu jika mampu menguasai salah satu bahasa asing lain selain Inggris.

7. Pindah negara lebih mudah

Hampir semua au pair Indonesia yang saya kenal merasa ketagihan jadi au pair dan punya keinginan untuk mencoba negara lain di tahun-tahun berikutnya. Saya juga yakin bahwa kenyamanan dan kebebasan di negara orang punya magnet tersendiri yang membuat banyak au pair malas kembali kempung halaman. Salah satu perk-nya tinggal di Eropa, kamu punya banyak kesempatan lompat-lompat negara tanpa perlu repot-repot lagi apply visa baru dari Indonesia. Banyak negara juga memungkinkan calon au pair untuk datang langsung ke negara tersebut sambil menunggu selesainya izin tinggal. Yang pasti, cara ini dinilai lebih mudah dan murah. (Cek disini bagi yang belum tahu apa beda 'visa' dan 'izin tinggal!')

Tambahan lainnya, karena punya au pair butuh biaya yang mahal, banyak sekali host family mencari au pair yang sudah berada di wilayah Eropa saja. Mengapa, biasanya mereka malas menunggu proses visa dan izin tinggal yang cukup lama dari Asia. Kedua, mereka enggan membayar uang tiket pesawat mu yang mahal itu (meskipun jatuhnya fifty:fifty). Yang ketiga, host family ini ada niat ketemu langsung terlebih dahulu sebelum tertarik mengundang mu jadi au pair di rumah mereka.

Satu hal lagi yang tak saya bahas di atas adalah program pertukaran budaya akan begitu terasa karena tiap negara di Eropa punya budaya dan tradisi yang berbeda. Meskipun Belgia dan Belanda adalah negara identik dengan bahasa yang sama, namun mereka punya kultur dan pola pikir yang cukup berbeda satu sama lain.

Tentu saja Inggris, Irlandia, Italia, dan Spanyol itu bagian kawasan Eropa (dan Schengen) yang juga memiliki kualifikasi au pair. Sayangnya, regulasinya untuk orang Indonesia tidak ada dan kita tak memungkinkan apply visa au pair ke sana, kecuali pakai visa pelajar. Di sini, tujuan kita utamanya adalah belajar, sementara au pair sendiri hanyalah pekerjaan sampingan. Bayangkan kalau kita tiba-tiba punya masalah dan ditendang dari rumah host family, kepada siapa kita harus laporan dan berapa banyak keluarga yang saat itu betul-betul butuh au pair sebagai pengganti?

Saya juga tidak melarang kalian ke Turki, Jepang, atau dimana pun negara Asianya. Hanya saja sama halnya dengan Inggris atau Italia, saya melihat tidak ada regulasi khusus soal au pair ini. Bahkan di Jepang, au pair ini sama halnya seperti Australia, hanya dibalut visa liburan dan bekerja yang jatuhnya seperti pekerjaan sampingan sekalian tinggal bersama host family. Tak sampai di situ, saya juga merasa bahwa kebanyakan orang Asia masih berpikir bahwa keberadaan au pair itu sama saja dengan pembantu rumah tangga. Jangankan di benua Asia, banyak imigran yang sudah tinggal dan besar lama di Eropa pun pikirannya kadang masih kolot dan manja sejak adanya au pair. (Baca postingan saya di sini tentang keluarga imigran yang harus kamu pertimbangkan kembali!)

Saran saya, kalau kalian tidak ada tujuan khusus untuk jadi au pair , maka carilah host family dari negara-negara di Eropa yang peraturan dan visanya jelas bagi pemegang paspor Indonesia. Kecuali memang ada niat spesifik untuk tinggal lama dan cari kesempatan kerja lebih realistis, mungkin bisa coba ke Amerika atau Australia yang job market-nya lebih luas. Yang ingin lebih dekat dengan Eropa, namun tetap ingin merasakan suasana Muslim, cobalah Turki yang memiliki masjid dan makanan halal dimana-mana. Lalu jika kamu memang nekad ingin ke Inggris, siapkan bukti tabungan finansial dan cobalah untuk berhati-hati karena banyak sekali penipu di internet. Minusnya memilih negara-negara ini, kamu tetap mesti siap-siap apply visa Schengen kalau berniat liburan ke Eropa ;)

Rekomendasi bacaan untuk kamu lainnya: Rangkuman jadi au pair from A-Z

I desire you an awesome luck for your choice!

Friday, May 1, 2020

Tips The Bunad Dreams|Fashion Style

Mei adalah bulan paling spesial dan bersejarah bagi warga Norwegia. Tujuh belas Mei atau dalam bahasa lokal disebut Syttende Mai, adalah Hari Nasional atau Hari Konsititusional yang dirayakan sebagai rasa kebanggaan dan nasionalis bangsa setelah lepas dari Kesatuan Swedia di tahun 1905. Bisa dibilang, Syttende Mai ini adalah perayaan terbesar tiap tahun selain Natal di Norwegia.

Sama halnya dengan 17 Agustus di Indonesia, 17 Mei juga dirayakan dengan suka cita. Meskipun di tahun ini euforianya tidaklah sama karena krisis Korona, namun esensi perayaan dibuat semaksimal mungkin meskipun setengah penduduk Norwegia merayakan dari rumah. Semua bersuka cita dengan menaikkan bendera dari beberapa hari sebelumnya, membeli buket bunga segar didominasi warna merah, masak makanan khas untuk lunch dan dinner, serta ikut membuat video kereta anak (barnetog) di sekolah meskipun harusnya parade kereta ini diadakan langsung di tengah kota.

Yang paling berkesan dan menarik saat perayaan adalah para warga Norwegia yang kompak berdandan secara tradisional menggunakan pakaian nasional mereka, Bunad. Ohh, I have a lot to tell you, tapi kekaguman tentang Bunad sampai membuat saya bermimpi punya Bunad sendiri suatu hari nanti! Bahkan saat presentasi di kelas Norwegia, saya memilih topik "Bunad" karena uniknya sejarah di balik pakaian nasional ini. Jadi sebetulnya apa yang menarik dari Bunad?

Iklan Bunad di salah satu toko terkenal dan mahal, Norsk Flid Husfliden

First of all, kekaguman saya dengan Bunad hampir sama dengan kekaguman saya terhadap orang Indonesia, Jepang, Cina, atau Korea yang di zaman modern ini masih terlihat konvensional dan kultural mengenakan pakaian tradisional mereka di acara tertentu. Tak sama dengan Asia yang memang kaya budaya dan adat, kuatnya budaya retro yang mengakar sampai sekarang ini belum pernah saya rasakan selama tinggal di Eropa. Hingga akhirnya, saya diperkenalkan oleh Bunad ketika tinggal dengan keluarga Norwegia.

Saat itu saya membantu host mom membereskan pakaian yang ada di loteng. Satu gantung pakaian cukup berat berbungkus plastik bening nampak sangat menarik, meskipun warnanya mulai lusuh. Saya iseng-iseng tanya ke host mom apa itu, karena warna dan motifnya lucu sekali, merah muda, kuning, hijau, seperti potongan rok.

"Oh, itu Bunad. Apa ya, mungkin gaunnya orang Norwegia. Itu dijahitkan nenek saya dulu," kata host mom.

That's all, sesingkat itu sampai saya lupa kemudian hari. Lalu ketika dibawa merayakan 17 Mei di pulau pribadi bersama para sahabatnya, saya paham masih senasionalis dan konvensional itu orang Norwegia! Satu keluarga sahabat host mom sampai membawa sendiri Bunad dari rumah untuk dikenakan saat 17 Mei. Mulai dari bapak, mamak, sampai dua anaknya juga berdandan cantik memakai perintilan perak yang melekat dari atas sampai bawah. Wow!

Dibandingkan dengan sejarah pakaian tradisional di Asia yang panjang, Bunad baru menjadi ide di akhir abad ke-17 karena warga mulai tertarik dengan citra pakaian tradisional yang melekat dengan tradisi rakyat kala itu. Hingga di pertengahan abad ke-18, kultur dan gaya hidup petani di Norwegia terlihat begitu menarik dan menjadi sorotan untuk diangkat menjadi sesuatu yang lebih estetik. Bunad yang kalian lihat di foto-foto di atas sebetulnya merupakan pakaian sehari-hari yang duluya dipakai oleh para petani di Norwegia. Hanya saja, banyak pengaruh dari beberapa orang di awal abad ke-19 untuk menciptakan Bunad yang ada hingga sekarang ini; kemeja putih, atasan dan bawahan berbahan wol, warna dan sulaman di atas kain yang berbeda, hingga perhiasan perak lainnya untuk menambah kesan elegan.

Foto di abad ke-18 menunjukkan keluarga petani yang pakaiannya jadi awal mula ide Bunad. Sumber: NDLA

Sama halnya Indonesia dengan keberagaman pakaian tradisional dari Sabang sampai Merauke, Bunad juga memiliki ciri khusus sesuai daerahnya masing-masing. Meskipun dari Utara sampai Selatan Norwegia punya bentuk Bunad yang sama; potongan rompi dan rok, namun perbedaannya sangat terlihat di warna, motif bahan yang dikenakan, serta sulaman bunga yang dibuat menggunakan tangan. Karena kerumitan inilah, Bunad biasanya dibuat dengan waktu yang cukup lama, 4-7 bulan.

Meskipun Bunad sebetulnya lebih menjadi tipikal para kaum hawa, tapi banyak juga kaum lelaki yang punya Bunad, kok. Hanya saja jumlahnya memang sangat sedikit karena untuk memakai Bunad ini termasuk ribet dan tak semua orang punya melihat harganya yang mahal.

Satu set Bunad dari atas ke bawah ditambah perintilan peraknya, bisa menghabiskan dana 70-100 juta Rupiah! Selain harus disulam satu per satu memakai tangan, bahan yang digunakan memang berasal dari wol tebal serta sutra terbaik dari Norwegia. Harga juga semakin mahal jika dibuat oleh orang Norwegia asli yang sangat tahu detail per Bunad. Makanya Bunad tak pernah dijual di pasaran dengan ukuran XS-XXL, tapi mesti dijahit langsung menggunakan ukuran yang pas dengan tubuh kita. Itulah mengapa Bunad juga sangat personal karena hanya dibuat untuk ukuran tubuh kita sendiri.

Di Norwegia, Bunad biasanya diberikan oleh nenek ke sang cucu perempuan saat Konfirmasjon atau pengukuhan ketika anak mulai beranjak dewasa di usia 16 tahun. Dari beberapa bulan sebelumnya, nenek yang menjahit dan menyulam Bunad tersebut untuk diberikan sebagai hadiah. Banyak juga orang yang menghibahkan Bunadnya ke anak atau cucu untuk bisa dijahit ulang agar cocok dengan ukuran tubuh. Makanya usia Bunad ada yang sampai puluhan atau ratusan tahun namun masih terlihat bagus.

Mungkin karena sifatnya yang personal inilah membuat Bunad menjadi istimewa di mata saya. Karena tidak dijual dan disewakan sembarangan, tidak semua orang juga memiliki kesempatan mencoba pakaian tersebut. Namun kalau tertarik, kita bisa menyewa Bunad untuk acara khusus lewat Finn.no dengan harga sekitar NOK 1500-3000 (2-4,5 juta Rupiah) per hari. Beberapa orang yang tak mau merogoh kocek mahal juga bisa melirik Bunad "bekas" yang biasanya baru dipakai beberapa kali dengan harga lumayan miring. Bunad yang dijual dengan tas kecilnya, bisa dicari mulai dari harga NOK 8-10.000 (11-15 juta Rupiah) tergantung kondisi. Untuk kemeja putihnya menurut saya bisa cari sendiri di luar dengan harga lebih murah, karena kemejanya bisa mencapai NOK 5000 (7 jutaan Rupiah)! Kenapa, karena tidak hanya Bunad yang bersifat personal, tapi sulaman di kemeja juga bisa dibuat motif sesuai yang kita mau. Semakin rumit motif sulaman, semakin mahal.

Cara lainnya kalau mau, kita bisa membeli satu set bahan jadi Bunad yang siap jahit dan sulam. Saya menemukan ada satu toko di internet yang menjual bahan jadi dari Oslo seharga NOK 10.000-an (sekitar >14 jutaan Rupiah) sudah termasuk bahan wol, pola sulaman, dan benang sulam. Seorang cewek pernah saya baca ceritanya lewat blog yang didedikasikan khusus tentang Bunad dan pengalamannya menjahit Bunad sendiri.

Namun kalau memang enggan repot-repot menjahit dan tak menemukan ukuran Bunad bekas yang pas, bisa juga beli Bunad di Norskbunader . Toko ini sangat terkenal menjual Bunad setengah harga dari Husfliden karena memang tidak menjahit dan menyulamnya di Norwegia, melainkan di Cina. Jadi bahan dan pola Bunadnya sendiri berasal dari Norwegia, namun pengerjaannya di Cina. Tidak 100% 'original' memang, namun bentuknya sendiri sebetulnya asli. Everything comes from Norway pasti mahal, tak terkecuali upah buruhnya.

Satu cara lain yang paling murah kalau memang ingin sekali punya Bunad untuk 17 Mei; beli festdrakt atau pakaian pesta yang bentuknya mirip Bunad! Jadi kalau Bunad asli punya motif dengan sejarah khusus, maka pakaian pesta ini hanya berupa replika yang menyerupai Bunad. Salah satu toko di Norwegia setiap tahun selalu merilis iklan di TV atau media cetak bagi keluarga yang tertarik membeli replika Bunad untuk perayaan. Harganya juga super miring dan bisa jadi opsi kalau ingin membeli untuk anak-anak atau hanya seru-seruan.

Bahkan kalau kamu tertarik membuat Bunad sendiri dari kain-kain khas Indonesia, bisa juga dicoba. Karena saya rasa, kain dari Indonesia punya motif yang lebih beragam dan cara tenun yang rumit pula. Namun, kalau tertarik mereplika Bunad menggunakan bahan kita sendiri dan menyisipkan sedikit budaya luar, pakaian ini hanya disebutfestdrakt biasa.

Tapi kalau dipikir-pikir, apakah worth-it beli Bunad mahal-mahal hanya dipakai satu kali setahun? Belum tentu juga saya bisa tinggal lama di Norwegia kan? I don't know, tapi saya benar-benar jatuh cinta dengan Bunad dari Lundeby ini! Bahkan kalau suatu hari nanti punya uang sisa lebih, inginnya beli yang setengah harga saja dari toko sebelah. Untuk persiapan wisuda tahun depan saja pun, saya sudah berpikir untuk menyewa Bunad ketimbang memakai kebaya ;) Mungkin bagi saya, worth-it saja kalau memang punya uangnya.

In the end, meskipun 17 Mei tahun ini harus dirayakan di rumah tanpa bisa menonton kereta anak (barnetog) di tengah kota, tapi saya sangat beruntung bisa memakai Bunad asli dari Lofoten, Nordland milik ibunya Mumu ! Meskipun sedikit kebesaran di bagian dada, tapi the chance of wearing an old and genuine Bunad adalah hal yang sangat langka. I was in cloud 9, for sure! Perayaan juga terasa syahdu karena kali ini dirayakan dengan keluarga Mumu di rumah orang tuanya. Sang kakak cewek dan pacarnya juga nampak sangat anggun kompakan memakai Bunad dari Lier dan Buskerud. Bagi yang tak punya atau tak mau memakai Bunad, biasanya hanya simpel memakai setelan jas atau kemeja berwarna putih.

Hal pertama yang saya rasakan, bahwa apapun yang ada di Bunad adalah genuine. Wol 100% asli punya Norwegia dan lumayan berat di pinggang, penutup tas kecil yang asli perak, tenun sutra bermotif lucu, plus sulaman cantik yang asli dibuat dengan tangan. Spesialnya lagi, Bunad yang saya gunakan saat itu adalah warisan dari bibinya ibu Mumu yang usianya sudah lebih dari 50 tahun. Isn't it cute, beli atau jahit satu Bunad mahal-mahal tapi dipakainya bisa puluhan tahun sampai bisa diwariskan ke keluarga?! What do you think?

Tips The Asian Drama Syndrome: Online Dating itu Menyebalkan!|Fashion Style

Karena semester tahun ini hampir berakhir dan sedikit cheating deadline tugas dari kantor, saya memutuskan untuk mengisi hari dengan menonton drama series di Netflix. Series are not my thing, sebetulnya. Kenapa, karena saya mudah bosan dan tidak betah berlama-lama menonton kelanjutan cerita. Tapi karena memang sedang suntuk, jadinya mulai lagi mengecek beberapa drama Korea yang paling direkomendasikan tahun ini.

Tahu sendiri kan drama seri buatan Asia itu kaya konflik mulai dari persahabatan, keluarga, hingga percintaan?! Makanya tak heran dari dulu film India, dorama Jepang, series vampir cantik atau percintaan dari Cina/Taiwan, dan drama Korea sukses ditonton banyak orang Indonesia sampai booming, karena memang cerita hidupnya sangat related dengan budaya kita sebagai orang Asia sehari-hari.

Hanya saja, karena biasanya sering terlarut saat nonton drama Asia, ada satu hal yang saya sangat rindukan back in the old days; the dating cultures! Oh man, I missed all those things about secret admirers, childhood love, dan semua proses perkenalan yang dimulai sebelum pacaran!! Gara-gara teringat semua cerita cinta saya dulu kala (hwekk..), saya dan Mumu sampai punya topik pembicaraan sendiri soal ini.

"Mu, kalau kamu bisa memilih antara bisa punya pacar lewat Tinder atau kenal dari koneksi, kamu lebih pilih yang mana?" tanya saya setelah menonton beberapa episode drama.

"Tentu saja bukan lewat app atau online dating!"

"Oh yeah, you know what.. I am so lucky having you by my side right now. But if I may be honest, I am not that so happy we knew each other through Tinder," kata saya.

Kasihan si Mumu,I am being too harsh on him 😟. Gara-gara obrolan ini juga, Mumu sampai menyangka kalau saya ingin putus dan berusaha mencari pacar lagi bukan lewat app. My wish!Here, in Scandinavian countries, ketika banyak orang terlalu sibuk sekolah & kerja, miskin koneksi, dan bukan budayanya untuk tiba-tiba menyapa orang asing, cara paling utama untuk mencari pasangan memang lewat online dating. (Baca postingan tentang karakter cowok-cowok Skandinavia !)

Online dating sucks!! Apalagi kamu adalah cewek asing yang harus pindah ke luar negeri, lalu berusaha mencari belahan hati. Ketemu cowok ala-ala drama Asia di taman, lalu tiba-tiba menyapa, minta nomor ponsel lalu jadian? Mimpi! Atau, kamu berharap ketemu cowok lucu yang lagi duduk sendirian di kafe, lirik-lirikan, lalu pura-pura salah tingkah sampai akhirnya si cowok menghampiri dan memulai obrolan? Girls, you are watching too much Hollywood things!

Kalau dulu kita tak akan bisa menjemput jodoh hanya dengan duduk di rumah, zaman sekarang sudah berbeda. Asal punya smartphone dan koneksi internet, lagi nongkrong di WC pun bisa saja tiba-tiba menemukan pasangan impian dari balik layar. Mari ambil contoh kehidupan para au pair, yang didominasi oleh cewek-cewek muda yang datang ke Eropa sekalian mencari cinta . Tinggal unduh atau daftar diri di salah satu online dating, geser kanan kiri, sama-sama matched, tukar pesan sehari dua hari, lalu kemudian hari bisa saja sudah jadian. Itu kalau memang cocok dan kebetulan berjodoh. Belum lagi ditambah drama lainnya. Drama si tukang pencari hiburan alias mencari teman tidur semata, ghosting, texting miscommunication, dan masih banyak hal lain yang membuat kita semakin mudah terbawa perasaan dengan orang baru lewat dunia maya.

Apalagi online dating sesungguhnya memang sangat menguntungkan bagi kaum Hawa karena sehari dapat 100 Likes dan 50 pesan pun mudah saja. Kadang saking populernya di situs kencan, kebanyakan cewek juga tak sempat lagi membalas semua pesan atau justru kerajinan sampai jari keriting membalasi semua pesan yang masuk. Makanya saya tak wow, menemukan profil seorang teman yang sudah matched dengan lebih dari >500 cowok di situs kencan, tapi kehidupan percintaannya di dunia nyata lempem saja.

Mencari jodoh memang semakin mudah karena bantuan situs atau app pencari teman kencan. Deretan profil dan foto-foto cowok ganteng atau cewek seksi terpampang jelas untuk didekati sesuai dengan tipe kita. Kalau dulu ada yang namanya mak comblang, sekarang dengan bantuan algoritma preferensi dan karakter, situs atau app kencan mudah saja menemukan calon-calon orang yang cocok dengan karakter tersebut. Oh, seems so obvious! Tapi, apa mencari cinta sejati memang semudah swipe kanan kiri? Definitely NOT!

Keseringan, kita harus jadi serial dater terlebih dahulu sebelum menemukan pasangan yang benar-benar tepat dan inilah fase paling melelahkannya. Kita tak hanya harus berkorban waktu dan usaha untuk satu orang saja, namun harus terlibat kencan dengan 2 atau bahkan 4 orang lainnya dalam satu waktu. Belum tentu semua orang ini cocok dan sesuai dengan isi profilnya. Lalu fase lingkaran kencan pun terus berputar, cari lagi, ketemu lagi, sampai akhirnya kita lelah sendiri terus-terusan memperkenalkan diri ke orang-orang baru saat pertama kali ketemu. Kenapa saya tahu, karena sayalah mantan serial dater itu! HAH!

Dulunya, proses kenalan dan pedekate tidaklah mudah. Contohnya sewaktu kuliah, saya sering melihat cowokberinisial F di halte bus saat ingin berangkat ke kampus. Hampir setiap hari saya selalu menyempatkan datang ke halte di jam-jam yang sama dengan doi hanya karena ingin melihat gaya doi hari itu. Tak tahu harus memulai dari mana, suatu hari saya kebetulan menemukan nomor ponselnya darimana entahlah, lalu berusaha SMS tak penting menanyakan soal tugas. Padahal kami lain fakultas!

Atau, proses saya kenalan dengan seorang cowok saat mengikuti kuliah umum. Saat itu saya seperti love at the first sight dengan si Y yang secara tiba-tiba lewat di depan kelas. Karena penasaran, dua minggu kemudian saya minta tolong teman sekelas secara basa-basi menanyakan identitas cowok ini. Padahal teman seangkatan saya ini juga tak kenal dengan doi. Tapi setelah dapat identitasnya, ternyata si Y satu SMA dengan teman baik saya! Eng.. ing.. eng.. Singkat cerita, saya akhirnya berkesempatan kenalan dengan doi dan jadi pengagum rahasia sampai beberapa bulan hingga sadar ternyata doi masih belum bisa move on dari mantannya.

There! There! Maksud saya jalan cerita ala kura-kura seperti ini yang saya rindukan! Saat kamu tiba-tiba dicomblangin teman, disorak ciye ciye padahal tak punya rasa, dapat salam ini itu, lirik-lirikan saat jam istirahat, atau jadi pengagum rahasia berbulan hingga bertahun-tahun sampai akhirnya berhasil mengungkapkan. Oldish tapi sangat natural! (Padahal saya dulu lebih banyak jadi pengagum rahasia saja 😁). Paham kan mengapa saya betul-betul rindu proses berkencan atau pedekate sebelum jadian setelah menonton drama Korea tersebut??

Dulu, kalau cewek-cewek sedang kumpul dan curhat soal cowok, yang dibicarakan biasanya hanya satu orang. Si A naksir si B. Done. Then here we are now, ketika kumpul-kumpul lalu yang diceritakan lebih dari satu orang. Kemarin si L ngedate dengan si X tapi gagal, sekarang lagi usaha dengan si C yang baru matched tadi siang. Minggu depan karena si C juga gagal, ada cerita baru tentang si cowok berinisial D. Bahkan karena merasa populer di online dating, tak jarang juga banyak cewek-cewek yang merasa hal ini jadi ajang kompetisi siapa yang paling banyak mendapatkan Likes. Girls.. Girls.. Girls.. Paham kan mengapa menemukan cowok serius lewat situs kencan  itu cukup sulit dan menguras waktu serta perasaan?!

"Sorry, bukannya saya menyesal kita kenal lewat Tinder. But it seems like we are missing the gold story to be told to our kids or family later on. Bayangkan, saat anak atau keluarga kita bertanya, kalian kemarin ketemu dimana? Lalu kita jawab, Tinder. Done. I know, orang-orang pasti tak peduli entah itu di Tinder, sekolah, atau manalah itu. Tapi kamu mengerti kan, that process-of-pedekate yang full-of-cenat-cenut bisa jadi bahan cerita itu, lho," kata saya berusaha mendamaikan perasaan Mumu.

Saya dan Mumu sempat sedikit berimajinasi; tanpa Tinder, berapa persen kah dan kira-kira dimana kesempatan kami bisa bertemu di dunia nyata. "Maybe at the park nearby your place since my parents and I like to be there quite often? Maybe when you babysit the kids with Pia (the dog), one of your host kids threw the ball towards me so it would strike the small talk between us? Then I might start the conversation and be interested to pet Pia? Maybe we were not going to exchange the numbers in a sudden, but had a chance to accidentally meet again in the National Theatre since it was close to my brother's place and yours? Might be." Ohh.. saya berharap itulah cerita sesungguhnya yang memang penuh kebetulan dan khayalan!

Tapi akhirnya saya mengerti, untuk budaya kolektif semacam Asia, menemukan pasangan bisa jadi bukan masalah besar. Koneksi kita tak hanya dari teman SD sampai lingkungan kerja, tapi juga keluarga. Tegur sapa dengan orang asing, lalu tukaran nomor telpon sampai akhirnya jadian, tidaklah mustahil. Namun sebagai pendatang di Eropa, apalagi bagian Utara, untuk bisa mendarat mulus di hati seseorang tanpa bantuan online dating rasanya sulit. Ibaratnya, online dating inilah yang bisa menjadi perantara kita mengenal calon pendamping tanpa harus gagu. Mengapa, karena di Eropa Utara, kebanyakan pasangan yang tak menggunakan situs kencan biasanya berjodoh dengan mutual friends yang sudah sangat lama mereka kenal. Karena sudah kenal dengan baik inilah, biasanya akan terjadi ajang saling jodoh-jodohan yang bisa saja berakhir pernikahan. Another story, bisa saja terjadi di bar ketika sama-sama sudah meneguk alkohol dan keberanian untuk bertegur sapa dengan orang lain pun semakin besar. Sedikit berbeda untuk usia di atas 45 tahun, karena koneksi manusia single tak seluas dahulu, masih banyak juga dari mereka yang akhirnya terlibat blind date dan menggunakan situs kencan premium. ( Here is a story kalau kamu ingin tahu karakter cowok Norwegia di situs kencan!)

In the end, meskipun online dating menyebalkan dan tak akan pernah bisa menggantikan proses kenalan yang terjadi secara natural, namun kisah cinta terbaik tetap bisa terukir lewat keduanya. Maybe you are not that lucky meeting someone directly in real life, but online dating. Karena sesungguhnya, jodoh bisa muncul dari mana saja. Meskipun ada banyak cowok baik nan serius di situs kencan, tapi tetaplah waspada untuk tak membuang banyak waktu meladeni cowok-cowok creepy yang kadang otaknya hanya selangkangan—kecuali motivasi kamu di sana memang hanya untuk having fun.

What do you think, what do you scare the most of online dating scenes?

Friday, March 2, 2012

How to Deodorize a Fur Wool Coat

Take care of your fur coat and it can last for years.Fur coats that are combined with wool require special handling, whether wearing, storing or cleaning. For the most part coats that have real fur on them should only be cleaned by a professional dry cleaner. However, there are times when an odor of so...

Accessorizing With All Black Work Clothes

Accessorizing adds interest to all-black work clothes.Being required to wear all black for your job doesn't mean you can't show some style in other ways. Black outfits create a solid background for accessories, both fun and classy. Use your work clothes as a way to showcase accessories you really love,...

How to Repair a Bentax Type P2000 Ozonator

Bentax is a brand of air purifiers designed for commercial and home use. The P2000 is an air purifier that is designed to operate in rooms up to 1500 square feet. The unit looks similar to a window air conditioning unit, and can be mounted on a wall...

Thursday, March 1, 2012

Casual vs. Formal Wear

It's smart, but is it appropriate for an office?With the relaxing of formal boundaries, the decision whether to wear formal or casual wear can seem subjective. The different types of attire makes this subject even more confusing. Most places will state a dress code, and if this is not provided, ob...